• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesaria, indikasi dilakukan bedah sesar, jenis-jenis seksio sesaria, perawatan post

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesaria, indikasi dilakukan bedah sesar, jenis-jenis seksio sesaria, perawatan post"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1. Konsep Dasar Seksio Sesaria

Pada konsep dasar seksio sesaria akan diuraikan tentang pengertian seksio sesaria, indikasi dilakukan bedah sesar, jenis-jenis seksio sesaria, perawatan post seksio sesaria, komplikasi post seksio sesaria, dan masalah yang dialami ibu post seksio sesaria.

2.1.1. Pengertian Seksio Sesaria

Tindakan operasi seksio sesaria menurut Sarwono (2008) dalam buku Ilmu Kebidanan merupakan proses persalinan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim yang utuh dengan indikasi tertentu untuk melahirkan janin dengan berat diatas 500 gram. Mochtar (1998) mendefinisikan seksio sesaria sebagai suatu proses persalinan dengan membuat sayatan pada dinding depan perut (histerotomy) untuk mengeluarkan janin dari dalam rahim.

Dalam kamus Dorland (2002) seksio sesaria merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seksio sesaria merupakan kelahiran melalui sayatan pada abdomen dan uterus dengan indikasi tertentu untuk melahirkan janin dengan berat > 500gram.

(2)

2.1.2. Indikasi Seksio Sesaria

Tindakan pembedahan seksio sesaria dilakukan untuk keselamatan ibu dan janin selama persalinan berlangsung. Indikasi pembedahan seksio sesaria terdiri dari dua faktor, yaitu faktor janin dan faktor ibu (Kasdu, 2003) seperti :

1) Faktor Janin

a) Bayi besar (makrosomia)

Berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih dapat menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir

b) Kelainan letak bayi, seperti : letak sungsang, letak melintang, presentasi dahi dan muka

c) Ancaman gawat janin (fetal distress)

d) Kelainan tali pusat seperti : prolapsus tali pusat dan terlilit tali pusat

e) Kelainan plasenta seperti : plasenta previa, solusio plasenta dan plasenta akreta

f) Janin abnormal, misalnya kerusakan genetik dan hidrosephalus

2) Faktor ibu a) Usia

b) Tulang Panggul

c) Persalinan sebelumnya dengan operasi

d) Faktor hambatan jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir dan tali pusat pendek

e) Ketuban pecah dini

(3)

Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan, karena robeknya kantung ketuban membuat air ketuban merembes ke luar sehingga air ketuban berkurang atau habis

f) Kelainan kontraksi rahim

Kontraksi rahim yang lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim menyebabkan jalan kelahiran janin tidak dapat melebar selama proses persalinan, sehingga kepala bayi tidak terdorong dan tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.

g) Preeklamsia dan hipertensi

2.1.3. Jenis-jenis Seksio Sesaria

Adapun jenis-jenis arah sayatan seksio sesaria dibagi menjadi dua antara lain :

1) Seksio sesaria transperitonealis a) Seksio sesaria klasik (korporal)

Tindakan ini dilakukan dengan cara membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm (Mochtar, 1998).

b) Seksio sesaria profunda

Seksio sesaria profunda (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim) merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus (Sarwono, 2008). Tindakan ini dilakukan dengan cara membuat sayatan melintang pada segmen bawah rahim (SBR) kira-kira sepanjang 10 cm (Mochtar, 1998). Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesaria memilih teknik ini

(4)

karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.

2) Seksio sesaria ekstraperitonealis

Seksio sesaria tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal (Mochtar, 1998). Menurut Manuaba (1999) tindakan ini dilakukan tanpa insisi peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis tengah kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.

2.1.4. Perawatan post Seksio Sesaria

Setelah selesai operasi, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Adapun Clinical Pathway Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar post seksio sesaria di Ruang Bakung Timur antara lain :

a. Monitoring vital sign dan perdarahan 0.5-2 jam post operasi dan tiap satu jam setelah keluar dari Recovery Room (RR) dalam dua jam.

b. Puasa selama enam jam post operasi, kemudian setelah puasa akan diberikan nutrisi berupa bubur.

c. Mobilisasi yang dilakukan pasien akan dibantu sampai mampu melakukan mobilisasi tanpa bantuan.

d. Pada hari ketiga akan dilakukan pemeriksaan vital sign sebanyak dua kali dalam sehari, stop intra venous, aff douwer kateter dan melakukan monitoring penyembuhan luka serta perdarahan pervaginam.

e. Pemberian terapi farmakologis

(5)

Terapi farmakologis yang diperoleh adalah IVFD, ampicilin injeksi 3x1 gram, alinamin F injeksi 3x1 ampul dan Vitamin C injeksi 2x1 ampul. Kemudian pada hari ketiga akan diberikan amoxicilin oral 3x500mg, asam mefenamat 3x1 dan SF 2x1. Pemberian terapi ini sesuai dengan indikasi pasien.

f. Rencana pulang pada hari 2-3 post operasi

Selain itu, adapun prinsip perawatan post operasi menurut Sarwono (2008) adalah :

1) Perawatan Awal

a) Pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 15 menit selama jam pertama dan tiap 30 menit untuk jam selanjutnya

b) Pemantauan tingkat kesadaran setiap 15 menit sampai pasien sadar c) Memantau kontraksi uterus

d) Analgesik

Analgesik diberikan sesudah pembedahan dan pemberian pengobatan sesuai program dokter. Pasien dapat keruangan apabila pasien telah sadar, perdarahan berkurang, tekanan darah stabil, dan urin >30cc/jam.

2) Perawatan lanjutan

a) Pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 4 jam, kontraksi uterus dan memantau perdarahan.

b) Perawatan Luka

Penutupan luka berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi selama proses penyembuhan. (Hakimi, 2010). Berdasarkan SOP di Ruang Bakung Timur RSUP

(6)

Sanglah Denpasar, perawatan luka dilakukan pada hari ketiga ketika pasien diperbolehkan untuk pulang.

c) Ambulasi dini dan Mobilisasi Pasca Seksio Sesaria

Pasien dapat menggerakkan kaki dan tangan serta tubuhnya secara perlahan, kemudian dapat duduk pada 8-12 jam (Sarwono, 2008). Namun sesuai perkembangan SOP di Ruang Bakung Timur RSUP Sanglah pasien diperbolehkan miring kanan-miring kiri enam jam post operasi. Ambulasi dini bertujuan untuk mempercepat involusi uterus dan mengurangi kejadian trombosis. Selama latihan ambulasi dini, adanya periode istirahat sangat penting (Benson dan Pernoll, 2008).

d) Diet

Diet segera diberikan ketika pasien merasa lapar dan bebas dari pengaruh analgesik, dan anestetika. Selama perawatan dianjurkan untuk makan makanan yang berprotein tinggi, buah-buahan dan sayuran (Benson dan Pernoll, 2008).

e) Perawatan kandung kemih f) Waktu pemulangan

Konsensus medis menganjurkan rawat inap hingga 48 jam setelah persalinan pervaginam tanpa komplikasi dan 96 jam setelah persalinan sesar tanpa komplikasi (Leveno,dkk, 2009). Pasien diminta datang untuk kontrol setelah tujuh hari pasien pulang dan memberitahu pasien segera datang bila tedapat perdarahan, demam, dan nyeri perut berlebihan (Sarwono, 2008).

(7)

2.1.5. Komplikasi Seksio Sesaria

Komplikasi yang dapat mempengaruhi derajat nyeri menurut Mochtar (1998) adalah :

1) Infeksi puerperal merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan alat-alat genetalia dalam masa nifas. Infeksi puerperal diklasifikasikan menjadi tiga kategori antara lain :

a) Infeksi puerperal ringan ditandai dengan kenaikan suhu beberapa hari saja

b) Infeksi puerperal sedang ditandai dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung.

c) Infeksi puerperal berat ditandai dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik, hal ini sering dijumpai pada partus terhambat, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intraportal karena ketuban yang telah lama.

2) Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh :

a) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka b) Atonia uteri

c) Perdarahan pada placental bed.

3) Luka kandung kemih

4) Ruptur uteri spontan pada kehamilan mendatang

Selain penjelasan diatas, ada beberapa resiko lain yang mungkin dialami oleh wanita yang melakukan proses persalinan dengan operasi meliputi keloid, demam, alergi dan mempengaruhi produksi air susu ibu (ASI) (Kasdu, 2003)

(8)

2.1.6. Masalah yang dialami ibu post Seksio Sesaria

Masa nifas (peurperium) adalah periode penyesuaian pasca kehamilan yang memungkinkan ibu untuk menyusui dan tubuh ibu dapat kembali ke keadaan sebelum kehamilan, dimana masa ini berlangsung enam minggu setelah melahirkan (Benson dan Pernoll, 2008). Terjadi beberapa perubahan fisiologis pada ibu nifas, antara lain :

1) Involusi Uterus

Uterus mulai mengecil setelah dua hari pertama sehingga dalam waktu dua minggu uterus akan turun ke dalam rongga panggul. Ukuran uterus akan kembali normal seperti pra kehamilan dalam waktu sekitar empat minggu (Leveno,dkk, 2009).

2) Lokia

Pada awal masa nifas terjadi peluruhan jaringan desidua yang menyebabkan pengeluaran lokia dengan jumlah yang bervariasi. Selama beberapa hari pertama setelah persalinan lokia berwarna merah (lokia rubra).

Secara normal, lokia akan berubah warna menjadi semakin pucat (lokia serosa) setelah hari ketiga atau keempat. Lokia akan tampak berwarna putih bening pada hari ke-10 atau sampai hari ke-14 (lokia alba) (Leveno,dkk, 2009).

3) Masalah fisik yang dialami ibu post seksio sesaria antara lain : a. Nyeri

Nyeri post seksio sesaria timbul karena terjadinya involusi, kontraksi, pengerutan rahim dan adanya kerusakan jaringan akibat proses pembedahan.

Nyeri post operasi termasuk kategori nyeri akut, jika tidak di atasi secara adekuat

(9)

dapat menimbulkan ketidaknyamanan, keterbatasan dalam mobilisasi, dan menghambat pemulihan (Brunner dan Suddarth, 2002). Selain itu nyeri yang tidak diatasi juga menghambat proses laktasi.

b. Perdarahan terjadi apabila rahim tidak mengalami kontraksi selama proses persalinan.

2.2. Konsep Dasar Nyeri

Pada konsep dasar nyeri akan diuraikan tentang pengertian nyeri, klasifikasi nyeri, fisiologi nyeri, karakteristik nyeri, faktor yang mempengaruhi respon nyeri dan intensitas nyeri.

2.2.1. Pengertian Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatau perasaan yang tidak nyaman. Nyeri yang dirasakan dapat berupa nyeri ringan maupun nyeri berat yang disebabkan oleh stimulus yang bersifat fisik maupun mental. Nyeri tidak dapat diukur secara objektif seperti menggunakan pemeriksaan darah (Potter dan Perry, 2005).

Guyton dan Hall (1995) mendefinisikan nyeri sebagai mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul apabila mengalami kerusakan jaringan sehingga individu ingin menghilangkan rangsangan nyeri tersebut. Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (dalam buku Brunner dan Suddarth, 2002) nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Dampak yang terjadi akibat nyeri yang dirasakan klien berpengaruh terhadap pemenuhan aktivitas kehidupan sehari-hari misalnya pola

(10)

tidur menjadi terganggu dan keterbatasan dalam mobilisasi (Potter dan Perry, 2005). Nyeri yang tidak reda setelah diberikan pengobatan dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan immunologik (Yeager dkk, 1987; Benedetti dkk, 1984 dalam Brunner dan Suddarth, 2002).

Berdasarkan beberapa definisi dapat disimpulkan nyeri post seksio sesaria adalah rasa nyeri yang menimbulkan ketidaknyamanan akibat dari kerusakan jaringan sebagai mekanisme proteksi bagi tubuh dan mempengaruhi beberapa sistem organ dalam tubuh.

Bentuk nyeri pada post seksio sesaria adalah nyeri akut yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan karena insisi pada saat pembedahan dengan karakteristik nyeri seperti awitannya mendadak dengan sebab dan daerah nyerinya dapat diketahui, intensitas ringan sampai berat, durasinya singkat mulai dari beberapa detik sampai enam bulan (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.2.2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri akut datang secara tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik.

Nyeri akut berlangsung beberapa detik hingga enam bulan yang awitannya muncul secara mendadak dengan sebab dan daerah nyerinya dapat diketahui (Smeltzer dan Bare, 2002). Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang terjadi secara terus-menerus atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu.

Nyeri kronis akan berlangsung dalam durasi lama (enam bulan atau lebih). Nyeri kronis bersifat dalam, tumpul, dan diikuti berbagai macam gangguan yang terjadi

(11)

secara lambat dan akan meningkat secara perlahan setelah detik pertama sampai beberapa detik atau menit (Tailor, 1993). Nyeri kronis dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan seperti menimbulkan distres, menggangu fungsi fisik, sosial, dan emosional (Dodd et al, 2001; Benedetti et al, 2000 dalam Price dan Wilson , 2006).

2.2.3. Mekanisme nyeri post operasi

Nyeri post operasi akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. Menurut Potter dan Perry (2005), munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor. Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya berespon pada stimulus yang kuat secara potensial merusak jaringan (Smeltzer dan Bare, 2002). Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik atau kimiawi yang dapat menimbulkan nyeri (Price dan Wilson, 2006). Antara kerusakan jaringan (sumber rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi terdapat suatu proses elektrofisiologis yang disebut nociceptive.

Proses awal yang terjadi pada nociceptive adalah proses transduksi nyeri, yang merupakan proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aliran listrik di reseptor nyeri. Rangsangan ini dapat berupa rangsang fisik, tekanan, suhu dan kimia. Proses selanjutnya adalah proses transmisi nyeri, yang merupakan penyaluran hasil isyarat listrik yang terjadi pada proses transduksi melalui saraf A delta bermielin dari perifer ke medula spinalis, kemudian isyarat

(12)

nyeri tersebut melalui medulasi sebelum diteruskan ke thalamus melalui traktus spinotalamikus yang selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di kortek serebri dimana isyarat tersebut diterjemahkan. Dilanjutkan dengan proses modulasi nyeri, dimana pada proses ini melibatkan aktivitas saraf melalui jalur- jalur saraf desenden dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri yang masuk di medula spinalis yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi juga melibatkan beberapa faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Pada proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subjektif bagi setiap individu.

Kemudian dilanjutkan dengan proses persepsi nyeri yang merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang diterjemahkan oleh daerah somatosensorik kortek serebri yang menghasilkan suatu perasaan subjektif sebagai persepsi nyeri (Price dan Wilson, 2006).

Nyeri post operasi terjadi akibat kerusakan jaringan yang merangsang nociceptor pada lokasi operasi yang mengaktifkan proyeksi impuls saraf ke otak dan sebagai akibatnya muncul sensasi nyeri (Donovan, 1990 dalam Roykulcharoen, 2003). Rangsangan nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanik yang berasal dari daerah luka setelah dilakukan insisi akan merangsang pengeluaran mediator-mediator kimia dari nyeri seperti substansi P, arakidonat kaskade metabolit (prostaglandin, leukotrien), histamin, serotonin, dan bradikinin.

Mediator-mediator kimia ini yang dapat meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Rangsangan nyeri berjalan di sepanjang saraf spinal ke bagian akar dorsal dan masuk ke medula spinalis menuju ke otak.

(13)

Jaringan serabut saraf aferen akan berakhir pada saraf-saraf di kornu dorsalis (Guyton dan Hall, 1996). Selain zat yang mampu merangsang kepekaan nyeri, tubuh juga memiliki zat yang mampu menghambat nyeri seperti endorfin dan enkefalin yang mampu meredakan nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.2.4. Karakteristik Nyeri

Pengkajian nyeri melalui deskripsi verbal merupakan penilaian terbaik.

Yang termasuk dari karakteristik nyeri meliputi letak atau lokasi, durasi (menit, jam, hari, bulan), irama (misalnya : terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas nyeri) dan kualitas nyeri (misalnya : nyeri seperti tertusuk, seperti terbakar, seperti digencet, tumpul, berdenyut, dan perih) (Smeltzer dan Bare, 2002). Pengkajian nyeri juga dapat dilihat dari hasil observasi fisik. Pasien dengan nyeri akut ditandai dengan terjadinya perubahan tanda-tanda vital seperti takikardi dan perubahan tekanan darah yang awalnya meningkat lalu menurun (Ignatavicius dan Workman, 2006 dalam Sanjiwani, 2010).

2.2.5. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu antara lain :

1. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeriterutama pada anak dan orang dewasa. Anak yang masih kecil akan mengalami kesulitan untuk

(14)

memahami nyeri yang dirasakan, terutama anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak akan kesulitan dalam mendeskripsikan sesuatu yang dialami secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.

Sedangkan pada orang dewasa terkadang melaporkan nyeri jika sudah muncul gejala patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2006).

2. Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri yang pernah dirasakan sebelumnya. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu membuat individu memiliki respon yang lebih baik terhadap nyeri pada masa mendatang. Namun demikian, kemungkinan yang terjadi ketika individu mengalami nyeri di masa mendatang, yaitu individu akan lebih siap untuk melakukan berbagai tindakan yang diperlukan dalam mengatasi nyeri atau sebaliknya individu akan mengalami kecemasan (ansietas) bahkan rasa takut ketika mengalami nyeri di masa mendatang (Potter dan Perry, 2005)

3. Jenis Kelamin

Secara umum, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam berespon terhadap nyeri (Gil, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005). Namun, masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan suatu faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin, misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama.

(15)

4. Keletihan

Keletihan dapat meningkatkan persepsi nyeri. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur akan semakin meningkatkan rasa nyeri klien. Nyeri akan berkurang ketika individu dapat tidur dengan lelap (Potter dan Perry, 2005)

5. Ansietas

Ansietas yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri dan sebaliknya nyeri yang dirasakan oleh klien dapat menimbulkan kecemasan (Potter dan Perry, 2005)

6. Dukungan Keluarga dan Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang terdekat klien. Individu yang sedang mengalami nyeri sering bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Sehingga kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri (Potter dan Perry, 2005)

7. Pola Koping

Pola koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Sumber- sumber dari pola koping seperti berkomunikasi dengan keluarga dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk memberikan dukungan kepada klien (Potter dan Perry, 2005)

8. Efek plasebo

Efek plasebo merupakan respon fisiologis terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan dengan harapan akan memberikan hasil bukan karena pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Efek plasebo timbul dari

(16)

produksi endorfin yang mampu menurunkan intensitas nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.2.6. Intensitas Nyeri

A. Pengertian Intensitas Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2005) intensitas nyeri merupakan tingkat keparahan nyeri. Intensitas nyeri diartikan juga sebagai gambaran seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu (Tamsuri, 2006). Dari dua penjelasan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa intensitas nyeri merupakan tingkat keparahan nyeri yang dirasakan oleh individu.

B. Pengukuran Intensitas Nyeri

Untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan seseorang dan untuk mengatahui apakah suatu tindakan yang diberikan mempengaruhi intensitas nyeri, maka perlu adanya suatu alat ukur. Adapun beberapa alat ukur yang digunakan dalam pengukuran tingkat nyeri, seperti yang terlihat pada gambar berikut :

(17)

Gambar 1. Visual Descriptive Scale (VDS, Numeric Rating Scale (NRS) dan Visual analogue scale (VAS)

Visual deskriptif scale (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga samapi lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis (Potter dan Perry, 2005). Sedangkan Numeric rating scale (NRS) digunakan untuk menilai intensitas atau derajat keparahan nyeri dan memberi kesempatan kepada klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri yang dirasakan menggunakan angka yang dimulai dari skala 0 sampai 10. Klien diminta untuk menunjukkan angka sesuai dengan keberadaan tingkat nyeri yang dirasakan (Potter dan Perry, 2005), dan Visual analogue scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri dan memiliki alat keterangan verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi kebebasan klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS merupakan pengukur intensitas nyeri yang lebih sensitif,

(18)

karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter dan Perry, 2005) Skala ini menggunakan angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri. Pasien diminta untuk menunjuk titik yang terdapat disepanjang garis yang akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Pada bagian ujung kiri menandakan tidak ada nyeri atau tidak nyeri, sedangkan pada bagian ujung kanan menandakan nyeri yang dirasakan berat. (Smeltzer dan Bare, 2002).

Gambar 2. Face Pain Rating Scale

Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia pra sekolah dan sekolah. Pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah mulai dari wajah yang tersenyum untuk tidak ada nyeri , kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih hingga wajah yang menangis untuk nyeri berat (Potter dan Perry, 2005)

(19)

Untuk mengetahui pengukuran intensitas nyeri secara objektif, dapat menggunakan skala Bourbanis yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Pengukuran Skala Bourbanis

Pengukuran Keterangan

0 Klien mengatakan tidak merasakan nyeri

1-3 Nyeri ringan, klien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6 Nyeri sedang, klien tampak mendesis, menunjukkan lokasi nyeri, mendeskripsikan nyeri, mampu mengikuti perintah dengan baik, dan responsif 7-9 Nyeri berat, tampak klien mulai apatis, mengacuhkan perintah tapi masih memberi

respon terhadap tindakan, mampu menunjukkan lokasi nyeri, sudah tidak mampu mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas dalam maupun distraksi lainnya.

10 Nyeri sangat berat, klien tampak tidak mau berkomunikasi dengan baik, berteriak, dan histeris, klien tidak dapat mengikuti perintah lagi, selalu mengejan tanpa dapat dikendalikan, menarik-narik apa saja yang tergapai, dan tidak dapat menunjukkan lokasi nyeri

2.2.7. Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2005), pentalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua, yaitu : penatalaksanaan nyeri secara farmakologis dan non farmakologis.

1) Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis

Metode farmakologi secara umum yang diberikan sebagai penatalaksanaan nyeri adalah pemberian analgesik. Obat-obatan tersebut terdiri dari analgesik non- narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik, dan tambahan (Potter dan Perry, 2005). Terapi farmakologis yang diberikan pada nyeri post operasi ringan sampai sedang adalah NSAID. Mekanisme kerja NSAID tidak diketahui pasti, namun NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respon selular selama inflamasi. Sebagian besar NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan

(20)

resepsi stimulasi nyeri (McKenry dan Saleno, 1995 dikutip dari Potter dan Perry, 2005).

Tabel 2. Analgesik dan Indikasi (Potter dan Perry, 2005)

ANALGESIK DAN INDIKASI TERAPI

KATEGORI OBAT INDIKASI

Analgesik Non Narkotik :

Asetaminofen (Tylenol)

Asam asetilsalisilat (Aspirin)

 Nyeri pasca operasi ringan

 Demam

NSAID :

Ibuprofen (motrin, Nuprin)

Naproksen (Naprosyn)

Indometasin (Indocin)

Tolmetin (Tolectin)

Piroksikam(Feldene)

Ketorolak (Toradol)

 Nyeri haid

 Nyeri kepala vaskuler

 Artritis reumatoid

 Cedera jaringan lunak

 Gout

 Nyeri pasca opersi dan nyeri traumatik berat Analgesik Narkotik :

Meperidin (Demetrol)

Metilmorfin (Kodein)

Morfin sulfat

Fentanil (Sublimaze)

Butofanol (Stadol)

Hidromorfon HCL

(Dilaudid)

 Nyeri kanker

 Infark Miokard

Adjuvan :

Amitriptilin (Elavil)

Hidroksin (Vistral)

Klorpromazin (Thorazine)

Diazepam (Valium)

 Cemas

 Depresi

 Mual

 Muntah

2) Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis

Ada beberapa tindakan nonfarmakologis yang dapat dilakukan perawat untuk penanganan nyeri. Bentuk-bentuk penanganan nyeri non farmakologis, meliputi :

(21)

a) Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah stimulus kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot (Smeltzer dan Bare , 2002).

b) Terapi panas

Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan (Smeltzer dan Bare, 2002).

c) Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulating/TENS)

Terapi ini dilakukan dengan memberikan stimulasi pada kulit menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda. Elektroda dipasang pada daerah dekat lokasi nyeri yang memberikan sensasi kesemutan pada klien. Sensasi kesemutan dibiarkan sampai nyeri hilang. TENS efektif diberikan untuk mengontrol nyeri post operasi dan mengurangi nyeri yang disebabkan akibat tindakan post operasi (Potter dan Perry, 2005).

d) Distraksi

Distraksi adalah pengalihan perhatian dari hal yang menyebabkan nyeri, contoh : menyanyi, berdoa, menceritakan gambar atau foto dengan kertas, mendengar musik dan bermain satu permainan (Smeltzer dan Bare, 2002). Salah satu distraksi yang efektif adalah musik,yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian individu dari nyeri (Potter dan Perry, 2005)

(22)

e) Teknik relaksasi

Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau pelepasan ketegangan (Smeltzer dan Bare, 2002). Salah satu contoh relaksasi yang dapat digunakan adalah relaksasi Benson

f) Imajinasi terbimbing

Pada cara ini klien dianjurkan untuk membayangkan hal yang lebih baik khususnya dari rasa nyeri yang dirasakan (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3. Konsep Dasar Relaksasi Benson

Pada konsep dasar relaksasi Benson akan diuraikan tentang pengertian relaksasi Benson, manfaat relaksasi Benson, langkah-langkah relaksasi Benson dan Efektifitas relaksasi Benson terhadap penurunan intensitas nyeri luka post seksio sesaria

2.3.1. Pengertian Relaksasi Benson

Relaksasi Benson merupakan teknik relaksasi dengan menggabungkan keyakinan yang dianut oleh pasien. Teknik relaksasi ini dapat dilakukan secara mandiri atau dilakukan bersama pembimbing. Relaksasi yang dikombinasi dengan pemilihan formula kata-kata atau kalimat tertentu yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keyakinan menimbulkan respon relaksasi yang lebih kuat daripada hanya relaksasi tanpa melibatkan unsur keyakinan (Benson dan Proctor, 2000). Dalam buku The Respone Relaxation oleh Herbert Benson (2000) menjelaskan kata atau kalimat yang diucapkan sesuai dengan keyakinan masing-

(23)

masing. Agama Katolik dapat mengucapkan „Salam Maria‟ dengan penuh rahmat.

Bagi Protestan dapat mengucapkan kata „Our Father who art in Heaven‟ calming, dan mengucapkan „Insha Allah‟ bagi agama Islam serta mnegucapkan kata “OM‟

untuk agama Hindu. Bagi seseorang yang tidak memiliki kepercayaan dianjurkan untuk fokus pada kata-kata yang menarik bagi mereka seperti mengucapkan kata- kata perdamaian, ketenangan dan kata-kata cinta.

2.3.2. Manfaat Relaksasi Benson

Menurut Benson (2000) teknik respon relaksasi terbukti memodulasi stres terkait kondisi seperi marah, cemas, disritmia jantung, nyeri kronik, depresi, hipertensi dan insomnia serta meningkatkan perasaan menjadi lebih tenang.

Sebagai penatalaksanaan nyeri, penggunaan relaksasi Benson tidak membuat nyeri itu hilang tetapi hanya mengurangi intensitas nyeri. Teknik ini terdiri dari empat komponen utama antara lain :

1) Lingkungan yang tenang 2) Perangkat mental

Perangkat mental ini terdiri dari satu kata atau kalimat atau doa secara singkat yang diucapkan berulang-ulang dalam hati atau dengan nada yang cukup keras atau pandangan yang tetap pada objek.

3) Sikap yang pasif

Apabila muncul pikiran-pikiran yang mengacaukan, pikiran tersebut harus diabaiakan dan kembali fokus ke pengulangan kata atau kalimat atau doa sesuai dengan keyakinan. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang bagaimana ketika

(24)

seseorang melakukan teknik ini mengalami gangguan pada pikiran dan kembali ke satu fokus lagi.

4) Posisi yang nyaman

Posisi tubuh yang nyaman penting agar tidak menyebabkan ketegangan otot. Posisi nyaman yang digunakan biasanya posisi duduk dan berbaring ditempat tidur.

2.3.3. Langkah-langkah Relaksasi Benson

Respon relaksasi pertama kali dijelaskan oleh Herbert Benson dalam bukunya The Respone Relaxation (2000). Dalam buku ini dijelaskan pemberian latihan relaksasi ini dilakukan sekali sampai dua kali sehari selama 10-20 menit.

Selama pemberian perlu diperhatikan waktu ambulasi pasien. Setelah melakukan ambulasi, maka dianjurkan untuk istirahat terlebih dahulu selama 10 menit.

Kemudian akan dilanjutkan pemberian relaksasi ini. Pemberian relaksasi Benson dapat diberikan pada pascaoperasi hari pertama dan hari kedua (Good, 1999 dalam Roykulcharoen, 2003).

Berikut langkah-langkah dari respon relaksasi yang dijelaskan oleh Herbert Benson (2000) antara lain :

1) Usahakan situasi ruangan atau lingkungan yang tenang

2) Anjurkan klien untuk memilih posisi yang nyaman seperti posisi duduk atau berbaring

(25)

3) Pejamkan mata dan anjurkan untuk mengendurkan otot-otot serileks mungkin, mulai dari kaki sampai wajah hingga ke semua otot tubuh.

Usahakan agar tetap rileks.

4) Mulailah dengan menarik napas melalui hidung secara lambat sampai klien mulai merasakan pernapasan itu. Kemudian anjurkan untuk mengucapkan satu kata atau kalimat sesuai dengan keyakinan yang dianut ketika kembali menarik napas dan saat menghembuskan napas. Pastikan klien tetap rileks dalam melakukan tindakan ini.

5) Lakukan selama 10 sampai 20 menit. Selama tindakan klien diperbolehkan membuka mata untuk melihat waktu, namun tidak diperkenankan menggunakan alarm. Bila kegiatan telah usai anjurkan untuk tetap duduk atau berbaring selama beberapa menit, mula-mula dari mata terpejam dan kemudian membuka mata.

6) Informasikan kepada klien agar tidak khawatir untuk keberhasilan dalam mencapai teknik relaksasi. Ketika pikiran mulai terganggu, anjurkan klien untuk mengabaikan pikiran tersebut dan memulai kembali dari tahap pertama. Respon akan dirasakan sedikit demi sedikit. Latihan ini dilakukan sekali atau dua kali sehari.

2.3.4. Efektifitas Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Luka Post Seksio sesaria

Seksio sesaria merupakan tindakan pembedahan obstetrik untuk melahirkan janin melalui insisi pada daerah abdomen dan dinding uterus.

(26)

Kerusakan jaringan terjadi akibat insisi yang dilakukan setelah operasi dan dapat menimbulkan nyeri. Nyeri post operasi harus mendapatkan penanganan yang adekuat sebab nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan menghambat mobilisasi serta mengganggu organ lain. Salah satu tindakan penanganan nyeri non farmakologi yang dapat dilakukan yakni dengan pemberian teknik relaksasi, antara lainnya Teknik Relaksasi Benson (Horowitz et al, 1984 dalam Roykulcharoen, 2003). Relaksasi Benson merupakan salah satu terapi komplementer yang diberikan untuk mengurangi rasa nyeri post operasi (Stevensen, 1995 dalam Roykulcharoen, 2003). Pemberian Relaksasi Benson yang mampu mengurangi rasa nyeri post operasi secara tidak langsung membantu klien dalam mengontrol ketidaknyamaan akibat dari nyeri yang dirasakan. Respon Relaksasi Benson berkaitan dengan hubungan antara respon hipotalamus dan menurunkan responnya dalam arousal simpatis. Teknik ini memiliki empat komponen penting yaitu lingkungan yang tenang, perangkat mental (sebuah kata atau frase yang diucapkan secara berulang dalam hati), sikap yang pasif (mengesampingkan pikiran yang mengganggu), dan posisi yang nyaman (Benson, 2000).

Teknik relaksasi menghasilkan respon fisiologis yang terintegrasi dan memberikan perubahan sebagai respon relaksasi (Benson, 1975 dalam Roykulcharoen, 2003). Latihan relaksasi benson dapat mengembalikan tubuh ke kondisi yang tenang dan nyaman. Relaksasi ini memberikan efek terhadap peningkatan gelombang alfa sehingga membuat kondisi otak dalam keadaan relaksasi. Ketika mencapai gelombang alfa, otak dalam keadaan tenang dan fokus

(27)

pada suatu objek, sehingga dapat membangun rasa nyaman terhadap nyeri yang dirasakan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat (Benson & Proctor 2000, dalam Oka Aryana & Novitasari 2013) relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan yang lebih tinggi. Cara dari relaksasi Benson ini dapat melatih tubuh dengan mengatur irama pernafasan secara baik dan benar sehingga pemusatan pikiran dan penghayatan akan lebih mempercepat penyembuhan dan membangun rasa nyaman terhadap nyeri serta meningkatkan kesehatan. Pelatihan relaksasi dapat menimbulkan keadaan tenang dan rileks dimana gelombang otak mulai melambat sehingga akhirnya membuat seseorang menjadi tenang dan nyaman (Guyton, 2007; Benson, 2000).

Good (1999) menjelaskan bahwa mekanisme efek relaksasi terhadap nyeri post operasi yaitu menghambat impuls noxius pada sistem kontrol gerbang (gate control theory). Dalam teori kontrol gerbang dari Melzaks dan Wall (1965 dikutip dari Potter dan Perry, 2005) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel substansi gelatinosa di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik (Clancy dan McVicar, 1992 dikutip dari Potter dan Perry, 2005). Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri akan merangsang sel T di kornu dorsalis kemudian naik menuju medula spinalis dan ke otak ketika gerbang pertahanan terbuka sehingga nyeri dirasakan dan implus nyeri tidak dapat dirasakan atau dihambat ketika gerbang pertahanan

(28)

tertutup. Upaya untuk menutup pertahanan tersebut merupakan terapi dasar dalam mengurangi nyeri (Potter dan Perry, 2005). Ketika relaksasi mengalihkan pikiran, talamus akan menengahi perhatian secara selektif ke kortek prefrontal untuk merubah suara-suara terhadap rangsangan nyeri sehingga menghambat impuls nyeri. Kemudian otak sebagai penghambat impuls menutup pintu transmisi pada impuls noxius sehingga impuls nyeri tidak dapat dirasakan atau dihambat (Benson dan Proctor, 2000 dalam Roykulcharoen, 2003) dan alur serabut saraf desenden melepaskan opioid endogen seperti endorfin dan dimorfin sebagai penghambat nyeri alami yang berasal dari tubuh (Potter dan Perry, 2005). Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.

Relaksasi juga akan membatasi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Perubahan fisiologis yang terjadi akibat respon relaksasi yang menyebabkan pembatasan aktivitas simpatis seperti penurunan denyut jantung, penurunan tekanan darah, penurunan frekuensi pernapasan, penurunan konsumsi oksigen, dan penurunan tegangan otot. Selain itu relaksasi memberikan dampak terhadap respon psikologis seperti menurunkan stres, depresi, kecemasan, dan persepsi terhadap kontrol nyeri post operasi (Benson dan Proctor, 2002 dalam Roykulcharoen, 2003).

Pernyataan di atas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rambod M., Sharif F., Pourali-Mohammadi N., Pasyar N., dan Rafli F. (2013) yang berjudul “Evaluation of the effect of Benson's relaxation technique on pain and quality of life of haemodialysis patients: A randomized controlled trial”

menunjukkan bahwa teknik relaksasi Benson dapat mengurangi intensitas rasa

(29)

sakit dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien hemodialisa. Pemberian intervensi pada kelompok perlakuan diberikan dengan cara mendengarkan rekaman audio dari teknik Relaksasi sebanyak dua kali sehari dan setiap kali pemberian selama 20 menit selama delapan minggu. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Gad Datak (2008) yang berjudul “Efektifitas Relaksasi Benson Terhadap Nyeri Pasca Bedah Pada Pasien TUR (Transurethral Resection) Prostat di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati” juga menunjukkan bahwa kombinasi relaksasi Benson dengan terapi analgesik lebih efektif untuk menurunkan rasa nyeri pasca bedah pada pasien TUR Prostat dibandingan hanya diberikan terapi analgetik menggunkaan metode penelitian quasi-eksperimental dengan pre test and post test design with control group di RSUP Fatmawati Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5, 2014 ISPRS Technical Commission V Symposium, 23 – 25 June 2014, Riva

Pendidikan merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui sesuatu. Pendidikan bertujuan untuk mencapai tujuan kualitas sumber daya manusia. Untuk meningkatkan kualitas

Therefore, a so-called real image, captured by a smartphone camera, has to be matched with a so-called synthetic image which consists of reverse projected 3D point cloud data to

[r]

Behavior as a computational concept 1 captures major aspects, including the following: demographics of behavioral subjects and objects; social relationships or norms governing

Penelitian ini dilakukan melalui kajian reaksi dua senyawa yaitu sitronelal dan L-tirosinaa yang ada hubungannya antara struktur senyawa dan aktivitas antibakteri

Secara praktis, hasil penelitian dapat bermanfaat bagi peserta didik, guru, sekolah, peneliti, dan peneliti selanjutnya. 1) Bagi peserta didik, hasil penelitian ini dapat

kembali data-data yang telah diperoleh kemudian akan mempertimbangkan data- data tersebut ke dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang barub. Pada hal