i
KAJIAN KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN OLEORESIN TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DENGAN VARIASI TEKNIK
PENGERINGAN DAN WARNA KAIN PENUTUP
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh :
Agung Adi Nugraha H 0606037
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
KAJIAN KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN OLEORESIN TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DENGAN VARIASI TEKNIK
PENGERINGAN DAN WARNA KAIN PENUTUP
Yang dipersiapkan dan disusun oleh AGUNG ADI NUGRAHA
H 0606037
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal: 1 Juli 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua
Ir. Kawiji, MP NIP. 196112141986011001
Anggota I
Ir. Windi Atmaka,MP NIP. 196108311988031001 Anggota II Rohula Utami, STP, MP NIP. 198103062008012008 Surakarta, Juli 2010 Mengetahui
Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 195512171982031003
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi dengan judul “Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol Dan Aktivitas Antioksidan Oleoresin Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) Dengan Variasi Teknik Pengeringan Dan Warna Kain Penutup”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Stratum Satu (S-1) pada program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Ir. Kawiji, MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan selaku Pembimbing Utama Skripsi. Masih teringat pesan Bapak ketika selesai selesai seminar hasil “Kamu harus memperbaiki cara presentasi kamu karena kamu masih terbata-bata dalam pembawakan presentasi”. Pesan itulah yang terus mengingatkan saya agar selalu lebih baik dari waktu ke waktu dalam setiap membawakan presentasi. Terima kasih Bapak.
3. Bapak Ir. Windi Atmaka, MP selaku Pembimbing Pendamping Skripsi yang selalu memberi masukan dan nasehat kapada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih Bapak.
4. Ibu Rohula Utami, STP, MP selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah cermat dalam memperbaiki skripsi saya. Tanpa bantuan Ibu, kiranya skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Terima kasih Bu Uut.
5. Bapak Godras Jati Manuhara, STP selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan motivasi kepada saya agar tidak hanya fokus ke akademik tetapi juga ikut organisasi.
6. Ibu Sri Liswardani, STP, Pak Slameto, Pak Giyo, Pak Joko, terima kasih banyak atas segala bantuannya.
iv
7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala bantuan selama masa perkulihan penulis. 8. Skripsi ini, saya persembahkan kepada orang tua saya “Bapak dan Ibu” yang
telah banyak berjasa kepada saya dalam mendidik, merawat dan menyekolahkan saya sehingga saya dapat lulus menjadi Sarjana (S1), “kasihmu dan jasamu akan selalu aku kenang sampai akhir hayatku”. Terima kasih my father dan my mother.
9. Prima Riska Oktaviana, yang selalu mendampingiku dan memberi semangat disaat diriku rapuh dan tak berdaya. Engkau bagaikan sinar yang telah menyinari hidupku selama ini. Berkat engkau, hidupku lebih berwarna. Terima kasih my partner.
10. Kakakku “Arif Setiawan” yang selalu menjagaku dan menjadi teman saat kita dahulu masih kecil.
11. Teman-teman satu jurusan, satu angkatan, Allawi dan Erna yang banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi.
12. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini dan memberi dukungan, doa serta semangat bagi penulis untuk terus berjuang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Juli 2010
v DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x RINGKASAN ... xi SUMMARY... . ... xii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1. Tujuan Penelitian ... 4
2. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Temulawak... 5 B. Rimpang temulawak... ... 6 C. Kurkuminoid... 7 D. Antioksidan... 9 E. Senyawa fenol... 10 F. Pengeringan... 11
G. Warna kain penutup... 13
H. Ekstraksi... 13
I. Oleoresin... 14
J. Hipotesa ... 15
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16
vi
1. Bahan ... 16
2. Alat... 16
C. Tahapan Penelitian ... 17
1. Penyiapan Bahan & Perajangan ... 17
2. Pengeringan... 17
3. Penepungan & Pengayakan... 18
4. Ekstraksi... 19
5. Penyaringan... 19
6. Evaporasi... 19
7. Analisis Senyawa Aktif Oleorasin Temulawak... 19
D. Rancangan Penelitian... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air ... 22
B. Kadar kurkuminoid... . 24
1. Pengaruh Teknik Pengeringan Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak... 24
2. Pengaruh Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak... 26
3. Pengaruh Interaksi Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak... 28
C. Total Fenol... ... 29
1. Pengaruh Teknik Pengeringan Terhadap Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak... 30
2. Pengaruh Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak... 31
3. Pengaruh Interaksi Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak... 32
D. Aktivitas Antioksidan... 33
1. Pengaruh Teknik Pengeringan Terhadap Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak... 34
2. Pengaruh Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak... 35
3. Pengaruh Interaksi Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak... 37
vii V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 39
B. Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA... 41
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Simplisia temulawak... 7 Tabel 3.1 Metode Analisis Senyawa Aktif Oleoresin Temulawak………..19 Tabel 3.2 Rancangan Percobaan Acak Lengkap Dengan Dua Faktor………… .21 Tabel 4.1 Hasil Analisis Air Simplisia Bubuk Temulawak...23 Tabel 4.2 Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Teknik Pengeringan... ...24 Tabel 4.3 Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Warna Kain Penutup... ...26 Tabel 4.4 Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup... ...28 Tabel 4.5 Hasil Analisis Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Teknik Pengeringan... ...30 Tabel 4.6 Hasil Analisis Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Warna Kain Penutup... ...31 Tabel 4.7 Hasil Analisis Kadar Total Fenol Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup... ...33 Tabel 4.8 Hasil Analisis Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Teknik Pengeringan... ...34 Tabel 4.9 Hasil Analisis Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak Pada
Pengaruh Warna Kain Penutup... ...35 Tabel 4.10 Hasil Analisis Kadar Antioksidan Oleoresin Temulawak Pada
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Rimpang Temulawak... 6
Gambar 2.2 Rumus Bangun Kurkumin... 8
Gambar 3.1 Pengeringan Sinar Matahari Langsung dan Solar Dryer... 17
Gambar 3.2 Diagram Alir Pengujian Kadar Air Simplisia Temulawak... 20
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian Pembuatan Oleoresin Temulawak... 21
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Faktor Pengenceran……… 47
a. Kurkuminoid... 47
b. Total Fenol... 49
c. Antioksidan... 50
2. Metode Analisa... 53
a. Analisa Kadar Air... 53
b.Analisa Kurkuminoid... 53
c. Analisa Total Fenol... 53
d. Analisa Antioksidan... 54
3. Hasil Analisis Aktivitas Kadar Air... 54
4. Hasil Analisis Analisis Kimia Pengaruh Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup... 55
a. Hasil Analisa Kurkuminoid... 55
b. Hasil Analisa Total Fenol... 56
c. Hasil Analisa Antioksidan... 57
5. Hasil Analisa SPSS Pengaruh Teknik Pengeringan dan Warna Kain Penutup... 58
a. Hasil Analisa SPSS Kadar Kurkuminoid... 58
b. Hasil Analisa SPSS Total Fenol... 60
c. Hasil Analisa SPSS Aktivitas Antioksidan... 62
xi
KAJIAN KADAR KURKUMINOID, TOTAL FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN OLEORESIN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN WARNA KAIN PENUTUP
AGUNG ADI NUGRAHA H 0606037
RINGKASAN
Temulawak merupakan tanaman obat yang memiliki banyak manfaat dalam kesehatan karena kandungan senyawa aktif seperti kurkuminoid, senyawa fenol dan antioksidan. Salah satu pemanfaatan temulawak yaitu dengan menjadikan oleoresin temulawak. Oleoresin temulawak merupakan campuran minyak dan resin yang dihasilkan dari temulawak yang berbentuk cairan kental, memiliki aroma dan rasa tajam seperti temulawak. Oleoresin temulawak dibuat dengan mengekstrak bubuk temulawak dengan metode maserasi yang kemudian dilakukan pemisahan bahan dan pelarut dengan menggunakan rotary evaporator.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik pengeringan dan warna kain penutup serta interaksi keduanya terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu variasi teknik pengeringan (solar dryer dan sinar matahari langsung) dan warna kain penutup (tanpa penutup, kain hitam & kain putih). Adapun perlakuan tersebut yaitu: SMK (Sinar matahari tanpa kain penutup), SMP (Sinar matahari kain penutup putih), SMH (Sinar matahari kain penutup hitam), SDK (Solar Dryer tanpa kain penutup), SDP (Solar Dryer kain penutup putih), SDH (Solar Dryer kain penutup hitam).
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan solar dryer dan kain penutup berpengaruh terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak. Selain itu, terjadi interaksi antara teknik pengeringan dan warna kain penutup pada kadar total fenol tetapi tidak terjadi interaksi pada kadar kurkuminoid dan kadar antioksidan oleoresin temulawak. Sedangkan kombinasi solar dryer kain penutup putih merupakan teknik pengeringan yang efektif yang dapat meminimalkan terjadi kerusakan pada senyawa aktif temulawak (kurkuminoid, total fenol dan antioksidan) jika dibandingkan dengan kombinasi lainnya.
Kata kunci : Oleoresin Temulawak , kurkuminoid, aktivitas antioksidan, total fenol
xii
STUDY ON ANTIOXIDANT ACTIVITY, TOTAL PHENOL AND CONCENTRATION CURCUMINOIDS CURCUMA OLEORESIN (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) IN VARIATION DRYING TECHNIQUE
AND FABRIC COLORS CLOSING
AGUNG ADI NUGRAHA H 0606037
SUMMARY
Curcuma is a medicinal plant that has many health benefits because of the content of active compounds such as curcuminoids, phenolic compounds and antioxidants. One is by making use of curcuma oleoresin . curcuma leoresin is a mixture of oil and resins produced from curcuma shaped viscous liquid, has a sharp smell and taste like turmeric. Created with the extract of curcuma oleoresin from curcuma powder with a maceration method and then performed the separation of materials and solvents with a rotary evaporator.
This study aims to determine the effect of drying techniques and cover fabric color with interaction the two of them on serum antioxidant activity, total phenol and concentration curcuminoids curcuma oleoresin. This research using Completely Randomized Design (CRD) with two factors: variety of drying techniques (solar dryer and direct sunlight) and the color of the fabric cover (without cover, black & white linen cloth). The treatments were as follows: SMK (sun without fabric cover), SMP (Sunlight white cloth), SMH (Sunlight black cloth), SDK (solar dryer without fabric cover), SDP (Solar Dryer white cloth), SDH (Solar Dryer black cloth).
The results showed that using of solar dryer and cloth covering influential on serum antioxidant activity, total phenol and concentration curcuminoids curcuma oleoresin. Beside that, accour interaction between of drying techniques and cover fabric color on concentration total phenol but not interaction on antioxidant activity and concentration curcuminoids curcuma oleoresin. Whereas of solar dryer white cloth combination from effective drying techniques to minimize of active compounds damage the curcuma oleoresin better than other combination.
xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Temulawak merupakan tanaman obat yang tumbuh merumpun dengan tinggi mencapai 1 sampai 2 meter. Tanaman ini merupkan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya dimulai dari kawasan Indo-Malaysia. Saat ini tanaman temulawak selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat dan beberapa negara eropa (Anonima, 2009). Menurut data dari BPS dalam Sembiring (2006) ekspor rimpang temulawak Indonesia tahun 2003 sebesar 5.452 juta US$ dengan jumlah 9.149 ton rimpang temulawak. Sedangkan di Jawa Tengah kebutuhan industri terhadap rimpang temulawak menempati urutan pertama jika dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya yang mencapai sekitar 3,140 ton/tahun berat segar (Kemala dkk, 2003).
Kandungan utama pada rimpang temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid dan minyak atsiri. Pati pada rimpang temulawak merupakan komponen yang paling besar yaitu sekitar 48,18 – 59,64% (Sidik et all, 1995). Kurkuminoid merupakan zat warna kuning pada temulawak yang terdiri dari senyawa kurkumin, desmetoksi kurkumin dan bis desmetoksi kurkumin. Sedangkan menurut Krisnamurthy (1976) minyak atsiri rimpang temulawak merupakan cairan berwarna kuning atau kuning jingga yang mempunyai rasa tajam dan bau khas aromatik dengan kadar berkisar 3-12%. Kurkuminoid dan komponen yang menyusun minyak atsiri seperti kamfor, turmeron, xanthorrhizol dll merupakan senyawa fenol yang bersifat sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan radikal-radikal bebas dan menghambat terbentuknya oksidasi lipida (Sidik et all, 1995).
Salah satu pemanfaatan rimpang temulawak yaitu dengan mengekstrak rimpang temulawak dengan menggunakan pelarut organik kemudian dilakukan proses evaporasi sehingga menjadi suatu produk yang
xiv
disebut oleoresin. Oleoresin merupakan campuran minyak dan resin atau gum yang dihasilkan melalui ekstraksi menggunakan pelarut organik dari berbagai jenis rempah baik yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang (Abubakar dkk, 2006). Oleoresin biasanya berbentuk cairan kental, pasta atau semi padat, yang memiliki aroma dan rasa sesuai dengan bahan yang diekstrak. Pemanfaatan oleoresin biasanya digunakan sebagai bahan baku flavor pada industri makanan, bahan baku obat & kosmetik, dan sebagai bahan pewarna makanan (Anonimb, 2009).
Proses pembuatan oleoresin dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan mengekstrak langsung dari temulawak segar dan melalui proses pengeringan. Tujuan dilakukan proses pengeringan dalam pembuatan oleoresin adalah menstandarkan bahan yang dibuat menjadi oleoresin. Selain itu bahan yang dikeringkan terlebih dahulu juga lebih awet, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu lama. Proses pengeringan yang efektif sangat dibutuhkan dalam menghasilkan simplisia yang berkualitas baik. Dengan proses pengeringan yang efektif dapat meminimalkan terjadinya kerusakan pada bahan yang dikeringkan. Pada umuumnya proses pengeringan pada simplisia dilakukan dengan cara penjemuran langsung dibawah sinar matahari . Cara ini dianggap oleh masyarakat merupakan cara yang sederhana dan praktis karena tidak membutuhkan biaya yang mahal dan dapat dilakukan oleh semua orang. Akan tetapi bila dilihat dari segi kualitas simplisia yang dihasilkan maka cara ini kurang efektif meminimalkan terjadinya kerusakan terhadap senyawa yang terkandung dalam temulawak.
Salah satu cara alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan senyawa yang terkandung dalam temulawak yaitu proses pengeringan solar dryer. Solar dryer merupakan alat pengeringan buatan yang masih menggunakan sinar matahari sebagai sumber panasnya. Prinsip pengeringan solar dryer berasal dari dua arah yaitu radiasi matahari dan aliran udara panas dari bawah yang kemudian dibuang keluar menggunakan blower (Rachman, 2009). Selain solar dryer, cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan senyawa pada temulawak adalah dengan
xv
menggunakan kain penutup. Kain penutup dapat berfungsi sebagai pelindung temulawak dari sinar UV dan dapat menghalangi sinar matahari langsung masuk ke mengenai temulawak. Menurut Hartiwi (2001), tujuan pengeringan dengan penutup kain hitam adalah untuk menghalangi sinar matahari agar tidak langsung mengenai temulawak sehingga kerusakan kurkuminoid karena cahaya dapat diminimalkan. Warna kain berbeda juga dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktif pada temulawak. Hal ini disebabkan karena panjang gelombang warna tersebut berbeda-beda.
Kandungan senyawa aktif pada temulawak khususnya kurkuminoid dan antioksidan merupakan senyawa yang penting dalam temulawak karena sifatnya sebagai antioksidan yang dapat meniadakan radikal-radikal bebas dan menghambat terbentuknya oksidasi lipida sehingga dapat mencegah penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal-radilkal bebas tersebut. Kedua senyawa tersebut rentan mengalami kerusakan akibat proses pengeringan. Untuk itu perlu dilakukan proses penanganan yang baik agar dapat meminimalkan terjadinya kerusakan terhadap senyawa aktif tersebut. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, seperti potensi sumber daya alam Indonesia yang cukup besar untuk menghasilkan rimpang temulawak, perlunya proses pengeringan yang efektif terhadap temulawak serta manfaat yang begitu banyak dari penggunaan oleoresin maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dengan variasi teknik pengeringan dan warna kain penutup.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
2. Bagaimana pengaruh warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
xvi
penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
2. Mengetahui pengaruh warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
3. Mengetahui pengaruh interaksi teknik pengeringan dan warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang teknik pengeringan yang paling efektif & efisien terhadap kandungan kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak.
2. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang besarnya kandungan kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin rimpang temulawak sehingga dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk dapat mengembangkan produk olahan oleoresin temulawak.
xvii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Temulawak merupakan tanaman obat yang tumbuh merumpun dengan tinggi mencapai 1 sampai 2 meter. Tanaman ini merupkan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya dimulai dari kawasan Indo-Malaysia. Saat ini tanaman temulawak selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat dan beberapa negara eropa (Anonima, 2009). Menurut data dari BPS dalam Sembiring (2006) ekspor rimpang temulawak Indonesia tahun 2003 sebesar 5.452 juta US$ dengan jumlah 9.149 ton rimpang temulawak. Sedangkan di Jawa Tengah kebutuhan industri terhadap rimpang temulawak menempati urutan pertama jika dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya yang mencapai sekitar 3,140 ton/tahun berat segar (Kemala dkk, 2003).
Kandungan utama pada rimpang temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid dan minyak atsiri. Pati pada rimpang temulawak merupakan komponen yang paling besar yaitu sekitar 48,18 – 59,64% (Sidik et all, 1995). Kurkuminoid merupakan zat warna kuning pada temulawak yang terdiri dari senyawa kurkumin, desmetoksi kurkumin dan bis desmetoksi kurkumin. Sedangkan menurut Krisnamurthy (1976) minyak atsiri rimpang temulawak merupakan cairan berwarna kuning atau kuning jingga yang mempunyai rasa tajam dan bau khas aromatik dengan kadar berkisar 3-12%. Kurkuminoid dan komponen yang menyusun minyak atsiri seperti kamfor, turmeron,
xviii
xanthorrhizol dll merupakan senyawa fenol yang bersifat sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan radikal-radikal bebas dan menghambat terbentuknya oksidasi lipida (Sidik et all, 1995).
Salah satu pemanfaatan rimpang temulawak yaitu dengan mengekstrak rimpang temulawak dengan menggunakan pelarut organik kemudian dilakukan proses evaporasi sehingga menjadi suatu produk yang disebut oleoresin. Oleoresin merupakan campuran minyak dan resin atau gum yang dihasilkan melalui ekstraksi menggunakan pelarut organik dari berbagai jenis rempah baik yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang (Abubakar dkk, 2006). Oleoresin biasanya berbentuk cairan kental, pasta atau semi padat, yang memiliki aroma dan rasa sesuai dengan bahan yang diekstrak. Pemanfaatan oleoresin biasanya digunakan sebagai bahan baku flavor pada industri makanan, bahan baku obat & kosmetik, dan sebagai bahan pewarna makanan (Anonimb, 2009).
Proses pembuatan oleoresin dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan mengekstrak langsung dari temulawak segar dan melalui proses pengeringan. Tujuan dilakukan proses pengeringan dalam pembuatan oleoresin adalah menstandarkan bahan yang dibuat menjadi oleoresin. Selain itu bahan yang dikeringkan terlebih dahulu juga lebih awet, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu lama. Proses pengeringan yang efektif sangat dibutuhkan dalam menghasilkan simplisia yang berkualitas baik. Dengan proses pengeringan yang efektif dapat meminimalkan terjadinya kerusakan pada bahan yang dikeringkan. Pada umuumnya proses pengeringan pada simplisia dilakukan dengan cara penjemuran langsung dibawah sinar matahari . Cara ini dianggap oleh masyarakat merupakan cara yang sederhana dan praktis karena tidak membutuhkan biaya yang mahal dan dapat dilakukan oleh semua orang. Akan tetapi bila dilihat dari segi kualitas simplisia yang dihasilkan maka cara ini kurang efektif meminimalkan terjadinya kerusakan terhadap senyawa yang terkandung dalam temulawak.
Salah satu cara alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan senyawa yang terkandung dalam temulawak yaitu proses
xix
pengeringan solar dryer. Solar dryer merupakan alat pengeringan buatan yang masih menggunakan sinar matahari sebagai sumber panasnya. Prinsip pengeringan solar dryer berasal dari dua arah yaitu radiasi matahari dan aliran udara panas dari bawah yang kemudian dibuang keluar menggunakan blower (Rachman, 2009). Selain solar dryer, cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan senyawa pada temulawak adalah dengan menggunakan kain penutup. Kain penutup dapat berfungsi sebagai pelindung temulawak dari sinar UV dan dapat menghalangi sinar matahari langsung masuk ke mengenai temulawak. Menurut Hartiwi (2001), tujuan pengeringan dengan penutup kain hitam adalah untuk menghalangi sinar matahari agar tidak langsung mengenai temulawak sehingga kerusakan kurkuminoid karena cahaya dapat diminimalkan. Warna kain berbeda juga dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktif pada temulawak. Hal ini disebabkan karena panjang gelombang warna tersebut berbeda-beda.
Kandungan senyawa aktif pada temulawak khususnya kurkuminoid dan antioksidan merupakan senyawa yang penting dalam temulawak karena sifatnya sebagai antioksidan yang dapat meniadakan radikal-radikal bebas dan menghambat terbentuknya oksidasi lipida sehingga dapat mencegah penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal-radilkal bebas tersebut. Kedua senyawa tersebut rentan mengalami kerusakan akibat proses pengeringan. Untuk itu perlu dilakukan proses penanganan yang baik agar dapat meminimalkan terjadinya kerusakan terhadap senyawa aktif tersebut. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, seperti potensi sumber daya alam Indonesia yang cukup besar untuk menghasilkan rimpang temulawak, perlunya proses pengeringan yang efektif terhadap temulawak serta manfaat yang begitu banyak dari penggunaan oleoresin maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dengan variasi teknik pengeringan dan warna kain penutup.
B. Perumusan Masalah
xx sebagai berikut :
4. Bagaimana pengaruh teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
5. Bagaimana pengaruh warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
6. Bagaimana pengaruh interaksi teknik pengeringan dan warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
4. Mengetahui pengaruh teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
5. Mengetahui pengaruh warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
6. Mengetahui pengaruh interaksi teknik pengeringan dan warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
3. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang teknik pengeringan yang paling efektif & efisien terhadap kandungan kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin temulawak.
4. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi tentang besarnya kandungan kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan oleoresin rimpang temulawak sehingga dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk dapat mengembangkan produk olahan oleoresin temulawak.
xxi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Temulawak
Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun dengan habitus mencapai ketinggian 2 – 2,5 meter. Tiap rumpun tanaman ini terdiri atas beberapa anakan dan tiap anakan memiliki 2-9 helai daun. Daun temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar 50 – 55 cm dan lebar ± 18 cm. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga kuning tua dan pangkal bunganya berwarna ungu. Rimpang temulawak bentuknya bulat seperti telur dengan warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning dengan cita rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang. Untuk sistem perakaran tanaman temulawak termasuk tanaman yang berakar serabut dengan panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan. Berdasarkan kedudukan temulawak dalam tata nama (sistematika) tanaman temasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales Familia : Zingiberceae Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza ROXB (Rukmana, 1994 dalam Anonima, 2009). Pemanenan temulawak yang baik dilakukan berdasarkan umur tanaman untuk mendapatkan produkstivitas yang tinggi yaitu pada umur 10 – 12 bulan setelah tanam dan biasanya daun mulai luruh atau mengering. Cara
xxii
panen dapat dilakukan dengan cara menggali dan mengangkat rimpang secara keseluruhan (Rahardjo dkk, 2005).
B. Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak merupakan hasil dari tanaman temulawak yang didapatkan dari akar. Satu rimpang induk biasanya menghasilkan 3-4 rimpang temulawak. Rimpang temulawak biasanya berbentuk bulat seperti telur dengan warna kulit rimpang cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang orange tua atau kuning (Anonim, 2007). Rimpang temulawak segar dengan umur 10-12 bulan dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Rimpang temulawak
Menurut Sidik et all (1995), temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri. Pati merupakan komponen terbesar pada temulawak yaitu sekitar 48,18%-59,64%. Makin tinggi tempat tumbuh temulawak maka kadar patinya semakin tinggi pula. Kurkuminoid merupakan zat warna kuning pada temulawak yang terdiri dari senyawa kurkumin, desmetoksi kurkumin dan bis desmetoksi kurkumin dengan kadar sekitar 2 – 3,3% (Raharjo, 2005). Sedangkan minyak atsiri pada temulawak yang terdiri dari isofuranogermakren, trisiklin, allo-aromadendren, germakren, xanthorrizol dengan kadar sekitar 6-10% (Setiawan, 2000). Menurut Sembiring dkk (2006), Karakteristik mutu simplisia temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.1.
xxiii
Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Simplisia Temulawak
C. Kurkuminoid
Kurkuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara lain : Curcuma longa syn, Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza (temulawak). Kandungan utama dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna kuning. Fraksi kurkuminoid terdiri kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Tiga komponen dari kurkuminoid semuanya berada dalam bentuk turunan disinnamoilmetan yaitu kurkumin {diferuloilmetan = 1,7 bis (4 hidroksi 3 metoksifenil) hepta 1,6 diene 3,5 dione}, demektoksikurkumin {p-hidroksinnamoilferuloilmetan = 1-(4 hidroksifnil) 7 (4 hidroksi 3 metoksifenil) hepta 1,6 diene 3,5 dione} dan bisdemektoksikurkumin {p, p-dihidroksidisinnamoilferuloilmetan = 1,7 bis (4 hidroksifenil) hepta 1,6 diene 3,5 dione} (Stankovic, 2004).
Sifat kimia kurkuminoid yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat perubahan pH lingkungan. Dalam susana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Keunikan lain yang terjadi pada sifat kurkumin dalam suasana basa selain terjadi proses disosiasi adalah terjadi degradasi kurkumin menjadi asam ferulat dan ferulloilmetan. Degradasi ini terjadi bila kurkumin
xxiv
berada dalam lingkungan pH 8,5 – 10,0 dan dalam waktu yang relatif lama. Salah satu hasil degradasi, yaitu feruloilmetan mempunyai warna kuning coklat yang akan mempengaruhi warna merah yang seharusnya terjadi (Y. Kiswanto, 2000).
Di dalam suatu larutan, prinsip pewarnaan dari kurkuminoid adalah tampilnya bentuk tautomeri keto-enol. Kurkuminoid merupakan zat warna yang memiliki sifat dapat larut dalam minyak dan mudah larut dalam larutan basa tetapi tidak larut dalam air pada keadaan pH asam ataupun netral. Kurkuminoid juga bersifat stabil terhadap suhu tinggi dan dalam keadaan asam tetapi tidak stabil dalam kondisi basa dan terhadap cahaya (Stankovic, 2004).
Sedangkan sifat kurkuminoid lain yang penting adalah aktivitasnya terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karsen, 1985). Rumus bangun kurkumin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Rumus bangun kurkumin
Menurut The merck Index (1976) dalam Wahyuni dkk (2004), sifat-sifat kurkumin adalah sebagai berikut :
1. Berat molekul : 368,37 (C = 68,47 %; H = 5,47 %; O = 26,06 %). 2. Warna : light yellow
3. Melting point : 183oC
4. Larut dalam alcohol dan asam asetat glacial 5. Tidak larut dalam air
xxv D. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menangkal radikal bebas dalam tubuh manusia. Antioksidan rentan teroksidasi dengan adanya efek seperti cahaya, panas, logam peroksida atau secara langsung bereaksi dengan oksigen. Ada dua macam anti oksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetis. Antioksidan alami dapat diperoleh dari ekstrak bagian tanaman rempah-rempah atau tanaman obat-obatan seperti akar, batang, daun, bunga dan biji. Senyawa yang berperan senyawa antioksidan di dalam ekstrak adalah fenol, amina aromatik, vitamin C, tokoferol, vitamin E, flavonoid dan lain sebagainya (Sukardi, 2003).
Menurut Jitoe et al (1992), efek antioksidan dari sembilan jenis rimpang temu-temuan dengan metode Tiosianat dan metode Tiobarbituric Acid (TBA) dalam sistem air-alkohol menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam temulawak. Senyawa yang berperan besar sebagai aktivitas antioksidan pada temulawak adalah minyak astri yang terdiri dari isofuranogermakren, trisiklin, allo-aromadendren, germakren dan xanthorrizol.
Kurkumin yang terdapat pada temulawak juga merupakan antioksidan alami yang lain dimana aktifitasnya lebih besar dibanding dengan α tokoferol jika diuji dalam minyak (Wahyudi, 2006 dalam Widiyanti, 2006). Sedangkan antioksidan sintetis merupakan antioksidan buatan yang memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas. Contoh antioksidan sintetis adalah butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat dan tert-butil hidoksi quinon (TBHQ) (Zapsalis,1985 dalam Ratna Widiyanti, 2006). Atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) yaitu sebagai berikut :
1. Antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi
xxvi
molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sampai bereaksi. Antioksidan primer yang ada dalam tubuh yang sangat terkenal adalah enzim superoksida dismutase. Enzim ini sangat penting karena dapat melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas. Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperi mangan, seng, tembaga, dan selenium yang harus terdapat dalam makanan dan minuman.
2. Antioksidan sekunder berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh yang popular dari antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.
3. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Antioksidan yang termasuk kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk memperbaiki DNA pada penderita kanker
4. Oxygen Scavanger yang mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.
5. Chelators atau Sequesstrants mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam sitrat dan asam amino (Kumalaningsih, 2006).
E. Senyawa Fenol
Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa ini fenol kebanyakan memiliki gugus hidroksi lebih dari satu sehingga disebut sebagai polifenol (Putra, 2009). Kurkumin merupakan molekul dengan kadar polifenol yang rendah namun memiliki aktivitas biologi yang tinggi antara lain potensi sebagai antioksidan (Jayaprakasha dkk., 2005 dan Jayaprakasha dkk., 2006).
Senyawa fenol pada bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi fenol sederhana dan asam folat (P-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dietil fenol,
xxvii
hidroksiquinon, vanilin dan asam galat), turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat, kafeat, asam fenolat dan asam kloregenat) dan flavonoid (katekin, proantosianin, antisianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya). Fenol juga dapat menghambat okidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas. Senyawa fenol (AH) jika berdiri sendiri tidak aktif sebagai antioksidan, substitusi grup alkil pada posisi 2, 4 dan 6 dapat meningkatkan densitas elektron gugus hidroksil, sehingga meningkatkan keaktifannya terhadap radikal lipid. Reaksi fenol dengan radikal lipid membentuk radikal fenoksil (A-) yang dapat terokidasi lebih lanjut menghasilkan radikal bebas sebagai berikut :
(Widiyanti, 2006). F. Pengeringan
Pengeringan bahan simplisia, umumnya dilakukan dengan cara penjemuran. Penjemuran simplisia pada umumnya dilakukan di tempat terbuka, namun tidak di bawah terpaan sinar matahari langsung. Penjemuran di bawah sinar matahari langsung dapat berpotensi merusak kadar senyawa aktif yang terkadung dalam bahan simplisia. Alas jemur bisa berupa kepang (anyaman bambu rapat), widik (anyaman jarang-jarang) atau tampir (nyiru). Cara pengeringan simplisia bisa dengan perajangan terlebih dahulu atau bisa pula secara utuh. Untuk rimpang biasanya dilakukan proses perajangan terlebih dahulu sedangkan yang secara utuh biasanya untuk daun-daun tanaman obat yang digunakan sebagai jamu (Anonimb, 2008). Metode pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari langsung merupakan metode pengeringan yang murah dan praktis tetapi metode ini banyak sekali kekurangan yaitu:
AH + ROO- A- + ROOH AH + RO- A- + ROH A- + O2 AOO-
AOO- + RH AOOH + R- A- + RH AH + R-
xxviii 1. Mudah terkontaminasi berbagai kotoran. 2. Suhu sulit dikontrol
3. Laju pengeringan yang sangat lambat, mendukung pertumbuhan jamur. 4. Sulit dicapai batas kadar air terendah untuk menghambat pertumbuhan
jamur (Pratomo, 2009).
Perajangan pada rimpang temulawak dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Ketebalan untuk rimpang temulawak biasanya sekitar 3-5 mm (Raharjo dkk, 2005). Perajangan yang terlalu tebal memerlukan waktu lama dalam proses pengeringan dan kemungkinan besar bahan mudah terkontaminasi baik oleh bakteri maupun jamur. Sedangkan jika terlalu tipis dapat menyebabkan kadar minyak atsiri maupun zat aktif yang terdapat pada bahan menurun (Sembiring, 2006). Menurut Anonima (2009), kadar air simplisia temulawak maksimal 12%.
Salah satu alternatif metode pengeringan yang efektif yaitu dengan menggunakan solar dryer. Pengeringan solar dryer merupakan pengeringan dengan alat sederharna yang seluruh transparan sehingga sinar matahari
langsung mengenai produk yang berada di dalam alat pengering (Yani dkk, 2009). Metode ini bersifat ekonomis pada skala pengeringan
besar karena biaya operasinya lebih murah dibandingkan dengan pengeringan mesin. Prinsip dari solar drying ini adalah pengeringan dengan menggunakan bantuan sinar matahari. Perbedaan dari pengeringan dengan sinar matahari biasa adalah solar drying dibantu dengan alat sederhana sedemikian rupa sehingga pengeringan yang dihasilkan lebih efektif (Rohman, 2008). Pengeringan dengan solar dryer ini dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu aktif dan pasif. Pada pengering pasif, aliran udara pengering terjadi karena adanya perbedaan tekanan akibat dari udara yang dipanaskaan (konveksi bebas), sedangkan pada pengering aktif diperlukan alat tambahan seperti fan atau blower untuk mengalirkan udara pengering ke produk yang dikeringkan (konveksi paksa) (Yani dkk, 2009).
xxix
Selain solar dryer, cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan senyawa pada temulawak adalah dengan menggunakan kain penutup. Menurut Hartiwi (2001), tujuan pengeringan dengan penutup kain hitam adalah untuk menghalangi sinar matahari agar tidak langsung mengenai temulawak sehingga kerusakan kurkuminoid karena cahaya dapat diminimalkan. Penggunaan warna kain penutup yang berbeda dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktif pada temulawak. Hal disebabkan karena panjang gelombang warna tersebut berbeda-beda. Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap oleh mata manusia berkisar antara 380-780 nanometer. Warna-warna dengan panjang gelombang itu misalnya merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Sedangkan warna di atas panjang gelombang itu tidak bisa ditangkap oleh mata. Di dalam ilmu warna, hitam dianggap sebagai ketidakhadiran seluruh jenis gelombang warna. Sementara putih dianggap sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi seimbang (Anonimc, 2009).
Pada siang hari warna hitam akan lebih menyerap panas, hal ini disebabkan oleh kepekatan warna hitam (gelap) sehingga cepat sekali menyerap panas. Penyerapan panas yang cepat tersebut disebabkan karena semua spectrum cahaya diserap sehingga energi radiasi yang diterima pada warna hitam menjadi semakin besar seiring bertambahnya spectrum cahaya yang diserap. Sebaliknya, pada warna putih semua spectrum cahaya dipantulkan sehingga efek yang dirasakan lebih sejuk. Tentunya bukan warna hitam saja yang dapat menyerap semua spectrum cahaya, tetapi semua warna gelap contohnya merah. Kita bisa menyimpulkan dari efek yang dihasilkan cahaya yaitu, bila cahaya (terang) bertemu dengan warna yang terang (misal : putih) maka cahaya tersebut akan dipantulkan, kemudian bila cahaya bertemu dengan warna gelap (misal: hitam) maka cahaya akan diserap (Yadie, 2009).
H. Ekstraksi
Setelah dilakukan proses pengeringan, tahap selanjutnya untuk pembuatan oleoresin adalah proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu
xxx
metode pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan. Secara umum ekstraksi dapat didefinisikan sebagai proses pemisahan dan isolasi zat dari suatu zat dengan penambahan pelarut tertentu untuk mengeluarkan komponen campuran dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solvent), sedangkan fraksi padat lainnya tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solute dipisahkan dari pelarutnya, misalnya dengan cara distilasi/penguapan (Wahyuni dkk, 2004).
Proses ekstraksi temulawak dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu ekstraksi soklet dan ekstraksi dengan cara meserasi. Pada metode soklet, bahan berupa tepung temulawak dibungkus kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam alat soklet yang telah berisi pelarut organik berupa alkohol/etanol. Kemudian bahan tersebut diekstrak oleh pelarut tersebut. Sedangkan maserasi adalah pencampuran bahan berupa tepung temulawak dengan cara merendam bahan dengan pelarut (Anonimd, 2009). Proses maserasi pada ekstrak temulawak menggunakan pelarut etanol 96 % dengan waktu maserasi 1 x 24 jam yang kemudian dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan pompa vacum (Zahro dkk, 2008). Menurut Eryanto dkk (2009), proses maserasi yang paling baik digunakan yaitu perbandingan bahan dengan pelarut 1 : 5 (b/v).
I. Oleoresin
Oleoresin merupakan campuran minyak dan resin diperoleh dari hasil ekstraksi, pemekatan dan stadarisasi minyak atsiri (minyak essential dan komponen non volatile dari rempah-rempah) melalui proses evaporasi dengan menggunakan alat rotary evaporator. Oleoresin biasanya berbentuk cairan kental, pasta atau padat (Anonima, 2008). Menurut Aprita (2008), keuntungan pengguanan oleoresin antara lain sebagai berikut :
1. Flavor dan warna yang diperoleh lebih seragam.
2. Bahan dapat distandarisasi dengan tepat, terutama berkaitan dengan rasa, aroma dan warna. Dengan adanya standarisasi ini, kualitas produk terkontrol.
xxxi
3. Bersih dan bebas dari kontaminasi mikroba serangga dan kontaminan lainnya.
4. Bebas enzim dan mengandung antioksidan alami. 5. Kadar air sangat rendah
6. Mempunyai massa simpan yang lama dalam kondisi penyimpanan normal
7. Bahan mudah dicampur merata ke dalam bahan makanan dan minuman. 8. Menghemat ruang penyimpanan dibandingkan dengan menyimpan
rempah – rempah segar.
Oleoresin temulawak adalah sari temulawak yang mengandung komponen-komponen temulawak baik menguap (minyak atsiri) maupun tidak menguap (seperti resin dan pigmen). Oleoresin temulawak diperoleh dengan mengekstrak temulawak dengan pelarut organik. Jenis pelarut yang digunakan antara lain alkohol, heksan, etil asetat, etil alcohol, isopropyl alcohol, aseton, gliserol dan gliseril. Diantara bahan-bahan tersebut alkohol banyak dipakai karena relative aman untuk makanan dan sifat polarnya banyak membantu dalam mendapatkan emulsi oleoresin yang baik (Said, 2009). Menurut Huda dkk (2008), proses pembuatan oleoresin dilakukan dengan menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 50oC setelah proses meserasi temulawak. Dalam proses rotary vacum evaporator terjadi pemisahan antara pelarut dengan oleoresin berdasarkan perbedaan titik didih dengan menggunakan perputaran dan pemvakuman.
J. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Teknik pengeringan yang berbeda (Sinar matahari dan Solar dyer) yang digunakan diduga mempengaruhi kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
2. Proses pengeringan dengan penggunaan kain penutup dengan warna yang berbeda yaitu putih dan hitam diduga mempengaruhi kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
xxxii
mempengaruhi kadar kurkuminoid, total fenol dan antioksidan oleoresin temulawak.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Pangan dan Gizi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Laboratorium CV. CHEM-MIX PRATAMA Bantul, Yogyakarta dan Institusi Obat dan Bahan Alam Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu 4 bulan mulai bulan Februari - Mei 2010.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan
Bahan utama dalam penelitian ini berupa rimpang temulawak yang dirajang dengan ukuran 3 mm. Dalam proses ekstraksi temulawak pelarut yang digunakan adalah pelarut etanol 96%. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain :
a. Analisis Kadar air : toluene (xylene)
b. Analisis kadar kurkuminoid : kurkuminoid standar, etanol 96% c. Analisis Antioksidan : DPPH (Diphenyl picrylhydrazyl), etanol d. Analisis Total Fenol : aquadest, folin Ciocalteu, Na2CO3 dan as.
galat 2. Alat
Alat yang digunakan dalam proses pembuatan oleoresin temulawak adalah 3 buah tampah, 1 solar dryer, kain hitam & putih (masing-masing 2 buah), mesin penepungan dengan saringan kecil,
xxxiii
ayakan 80 mesh, rotary evaporator, pipet, bekker glass, pompa vacum, kertas saring dan termometer. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain :
a. Analisis Kadar air : pipet volume, labu destilasi, pipet, alat destilasi. b. Analisis kadar kurkuminoid : spektofotometer UV-Vis, beker glass,
pipet, gelas ukur, vortex, tabung reaksi.
c. Analisis Antioksidan : spektrofotometer UV-Vis, tabung reaksi, pipet volume dan vortex
d. Analisis Total Fenol : erlenmeyer 100 ml, gelas ukur, shaker (vortex), tabung reaksi, spektrofotometer UV-Vis, bekker glass, labu takar 10 ml, pengaduk, pipet.
C. Tahap Penelitaian
Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan Bahan & Perajangan
Rimpang temulawak yang digunakan berasal dari Batu, Wonogiri dengan umur rata-rata 10 – 12 bulan. Kemudian rimpang tersebut dicuci sampai bersih dan dilakukan proses perajangan dengan menggunakan slicer. Proses perajangan dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Ketebalan rimpang temulawak mengacu pada Raharjo dkk (2005) sekitar 3 mm yang kemudian ditimbang 800 gr untuk masing-masing sampel.
2. Pengeringan
Proses pengeringan rimpang temulawak dilakukan dengan 2 cara yaitu pengeringan sinar matahari langsung dan solar dryer. Tiap pengeringan dilakukan perlakuan berupa : tanpa ditutup kain, ditutup kain putih dan ditutup kain hitam. Gambar pengeringan sinar matahari langsung dan solar dryer dapat dilihat pada Gambar 3.1.
xxxiv
Gambar 3.1 Pengeringan Sinar Matahari Langsung dan Solar Dyer Proses pengeringan tersebut dihentikan sampai kadar air rimpang temulawak sebesar 12% (rimpang kering bisa dipatahkan) yang mengacu pada Anonima (2009). Pengujian kadar air dilakukan dengan pengambilan sampel secara acak dengan menggunakan metode thermovolumetri (Sudarmajdi dkk, 1997). Diagram alir pengujian kadar air simplisia temulawak dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Rajangan temulawak
Simplisia kering
Pengujian kadar air dengan Pengeringan (Sinar matahari
langsung & Solar dryer) dengan perlakuan tidak ditutup
Pengambilan sampel secara acak
xxxv
Gambar 3.2 Diagram alir pengujian kadar air simplisia temulawak 3. Penepungan & Pengayak
Proses penepungan simplisia temulawak dilakukan dengan menggunakan mesin penepung saringan berukuran kecil untuk menghasilkan bubuk temulawak. Selanjutnya bubuk temulawak dilakukan proses pengayakan dengan ayakan berukuran 80 mesh dengan menggunakan mesin pengayak.
4. Ekstraksi
Proses ekstraksi dilakukan dengan metode yang mengacu pada Eryanto dkk (2009) yang dipadukan dengan Srijanto dkk (2004) dan Zahro dkk (2008). Ekstrasi temulawak dilakukan dengan cara maserasi dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 5 (b/v) selama 1 x 24 jam pada suhu ruang (28 – 30oC) dan dilakukan pengadukan sebanyak 20 kali dengan arah pengadukan searah jarum jam. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi rimpang temulawak adalah etanol 96%.
5. Penyaringan
Penyaringan digunakan untuk memisahkan antara ampas (endapan) dan filtrat. Proses penyaringan pada ekstrak temulawak dilakukan dengan pompa vacum untuk mempercepat proses penyaringan pada ekstrak temulawak.
6. Evaporasi
Proses pembuatan oleoresin temulawak menggunakan alat rotary vacum evaporator pada suhu 75oC dengan kecepatan yang konstan dan proses ini dihentikan setelah pelarut etanol teruapkan semua serta didapatkan oleoresin yang berbentuk pasta. Dalam proses evaporasi ini terjadi pemisahan antara pelarut dengan oleoresin berdasarkan perbedaan titik didih dengan menggunakan perputaran dan pemvakuman. Diagram alir penelitian pembuatan oleoresin temulawak
xxxvi
Proses ekstraksi dengan pelarut organik (alkohol) dengan proporsi pelarutan 1 : 5 (b/v)
dapat dilihat pada Gambar 3.3.
7. Analisis senyawa aktif oleoresin temulawak
Metode analisis senyawa aktif pada oleoresin temulawak dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Metode analisis senyawa aktif oleoresin temulawak
No Macam uji Metode
1 Kurkuminoid spektrofotometer UV-visible 2 Total fenol folin Ciocalteu
3 Antioksidan DPPH yang kemudian dilanjutkan dengan uji pembanding menggunakan As. Askorbat
Perajangan
Pengujian kadar air max Penepungan
Simplisia kering
Rimpang Temulawak bubuk Proses pengeringan dengan dua faktor perlakuan : Faktor 1 : teknik pengeringan (sinar matahari & solar
dryer)
Faktor 2 : Warna kain penutup (tanpa kain, kain hitam
Penyaringan Ampas
Rotary Evaporator
Larutan campuran oleoresin dengan pelarut
Pelarut
xxxvii
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian Pembuatan Oleoresin Temulawak
D. Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor yaitu variasi teknik pengeringan (solar dryer & sinar matahari langsung) dan warna kain penutup (tanpa penutup, kain hitam & kain putih) dengan ulangan tiga kali tiap sampelnya. Tabel rancangan percobaan Acak Lengkap dengan dua faktor yaitu variasi teknik pengeringan dan warna kain penutup dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Rancangan Percobaan Acak lengkap dengan dua faktor
Teknik Pengeringan Warna kain Penutup SM SD K SMK SDK P SMP SDP H SMH SDH Keterangan :
SM = Sinar Matahari langsung SD = Solar Dryer
K = tanpa ditutup kain P = ditutup kain putih H = ditutup kain hitam
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan two way ANOVA untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan masing-masing
Uji Karakteristik ekstrak temulawak : 1. Uji kadar kurkuminoid
2. Uji aktivitas antioksidan dengan DPPH Oleoresin
xxxviii
perlakuan dan interaksi pada kedua perlakuan tersebut pada pada tingkat α = 0,05, kemudian dilanjutkan dengan one way ANOVA untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pada masing-masing sampel dengan kedua perlakuan tersebut pada tingkat α = 0,05.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Oleoresin temulawak merupakan salah satu produk olahan temulawak yang berbentuk cairan kental atau pasta yang memiliki aroma dan rasa temulawak. Oleoresin temulawak dibuat dengan mengekstrak bubuk temulawak dengan metode maserasi yang kemudian dilakukan pemisahan bahan dan pelarut dengan menggunakan rotary evaporator. Dalam pembuatan bubuk temulawak, temulawak terlebih dahulu dilakukan proses perajangan dan pengeringan hingga terbentuk simplisia yang kemudian ditepungkan menjadi bubuk temulawak. Perlakuan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan 2 faktor yaitu variasi teknik pengeringan (solar dryer & sinar matahari langsung) dan warna kain penutup (tanpa penutup, kain hitam & kain putih). Adapun parameter yang diamati dalam pengujian meliputi kadar air, kurkuminoid, total fenol dan aktivitas antioksidan.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang dikehendaki, penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu membandingkan pengaruh teknik pengeringan terhadap kadar kurkuminoid, total fenol & aktivitas antioksidan oleoresin temulawak, membandingkan pengaruh warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol & aktivitas atioksidan oleoresin temulawak dan pengaruh interaksi antara teknik pengeringan dengan warna kain penutup terhadap kadar kurkuminoid, total fenol & aktivitas atioksidan oleoresin temulawak.
xxxix
Air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan. Meskipun bukan merupakan sumber nutrisi, tetapi air sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme. Dalam bahan pangan air berfungsi untuk menentukan bentuk, ukuran, kenampakan, kesegaran, cita rasa dan daya simpan sutu bahan pangan. Terdapatnya air dalam bahan makanan karena adanya dua tipe pengikat yaitu pengikat air secara kimia dan pengikat air secara fisik. Air yang terikat secara kimia merupakan komponen penyusun dan merupakan bagian dari komposisi kimia bahan makanan tersebut. Lain halnya untuk air yang terikat secara fisik oleh bahan makanan, air ini mempunyai kekuatan fisik yang cukup sehingga air yang diserap atau diikat oleh bahan akan saling tarik-menarik dengan molekul bahan. Untuk itu bisa dilakukan pengurangan kadar air dengan cara dikeringkan. Kadar air bahan merupakan jumlah air yang terikat secara fisik dalam bahan sehingga bahan dapat dinyatakan sebagai suatu material basah atau kering. Jumlah kandungan air dalam bahan makanan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikrobia. Dengan demikian, pengurangan kadar air hingga jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang daya tahan bahan makanan selama penyimpanan (Siswanto, 2004).
Salah satu parameter utama untuk menentukan kualitas simplisia temulawak adalah dengan menentukan kadar airnya. Kadar air simplisia temulawak menurut Materia Medika Indonesia (1979) dalam penelitiannya Sembiring, dkk (2006) adalah maksimal 12%. Hasil analisis kadar air simplisia bubuk temulawak dapat dilihat padaTabel 4.1
Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Air Simplisia Bubuk Temulawak
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Sampel
11,4029 % 11,4147 % 11,4620 % 11,4265 %
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air simplisia bubuk temulawak dengan 3 kali ulangan adalah 11,4029%; 11,4147%; 11,4620% dengan nilai rata-rata adalah 11,4265%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar air simplisia bubuk temulawak pada keseluruhan sampel yang
xl
diwakili dari pengambilan sebagian pada masing-masing sampel berada diangka <12%. Sampel-sampel tersebut memenuhi karakteristik mutu simplisia temulawak yang dinyatakan oleh Materia Medika Indonesia (1979) dalam penelitiannya Sembiring, dkk (2006) yang mengatakan bahwa kadar air simplisia temulawak maksimal 12%. Jika dilihat dari standar mutu simplisia temulawak menurut RSNI (2006) untuk bahan baku obat nilai kadar air simplisia temulawak maksimal 10% maka nilai kadar air pada sampel tersebut tidak memenuhi standar yaitu >10% karena proses pengeringan pada sampel temulawak ini dihentikan sampai temulawak tersebut bisa dipatahkan. Untuk mengukur kadar air simplisia tersebut diperlukan suatu indikator yang berupa penghentian proses pengeringan. Penghentian proses pengeringan mengacu pada Cahyano (2007) yang mengatakan bahwa pada umumnya indikator yang digunakan oleh para petani dalam memperoleh gambaran mengenai kadar air simplisia jika simplisia tersebut bisa dipatahkan. Umumnya kadar air simplisia yang bisa dipatahkan kira-kira antara 10 – 12%.
4.2 Kadar Kurkuminoid
Kurkuminoid merupakan zat warna yang memiliki sifat dapat larut dalam pelarut minyak dan mudah larut dalam larutan basa tetapi tidak larut dalam air pada keadaan pH asam ataupun netral. Kurkuminoid bersifat stabil terhadap suhu tinggi dan dalam keadaan asam tetapi tidak stabil dalam kondisi basa dan terhadap cahaya (Stankovic, 2004). Sifat kurkuminoid yang penting adalah aktivitasnya terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karsen, 1985). Produk degradasi kurkumin adalah asam ferulat, feruloilaldehid, dihidroksinaftalen, vinilguaikol, vanillin dan asam vanilat (Price dan Buescher, 1996).
4.2.1 Pengaruh Teknik Pengeringan Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Pada penelitian ini, perlakuan pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu dengan sinar matahari langsung dan solar dryer. Pengeringan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur
xli
temulawak langsung dibawah terik matahari. Sedangkan pengeringan solar dryer dilakukan dengan alat sederhana yang masih menggunakan bantuan sinar matahari sebagai sumber panasnya. Hasil pengujian analisis kadar kurkuminoid oleoresin temulawak dengan perlakuan teknik pengeringan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2. Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Pengeringan Kadar (%)
Sinar Matahari Langsung 2,515a
Solar Dryer 2,828b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05
Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan sinar matahari langsung dan solar dryer memiliki kadar kurkuminoid yang saling berbeda nyata. Sampel dengan perlakuan sinar matahari langsung mempunyai kadar kurkuminoid sebesar 2,515 %. Sedangkan sampel dengan solar dryer mempunyai kadar kurkuminoid sebesar 2,828%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kadar kurkuminoid pada perlakuan sinar matahari langsung lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan solar dryer. Pada umumnya pengeringan sinar matahari langsung memiliki suhu yang relatif lebih tinggi yang berkisar antara 28 – 45oC (Zahro, 2008). Dengan sifat kurkuminoid stabil terhadap suhu tinggi maka seharusnya tidak terjadi proses degradasi kurkuminoid (Stankovic, 2004). Tetapi kestabilan itu hanya terjadi pada kurkuminoid standar (murni) jika dipanaskan sedangkan untuk ekstrak kurkuminoid dari suatu bahan kurang stabil terhadap suhu tinggi (Pudjihartati, 1999). Selain suhu yang relatif lebih tinggi, proses degradasi kurkuminoid juga disebabkan oleh sinar UV. Hal itu ditandai dengan pucatnya warna simplisia yang dihasilkan pada pengeringan sinar matahari.
xlii
Pengeringan solar dryer merupakan proses pengeringan dengan bantuan alat yang berupa solar dryer tetapi masih menggunakan sinar matahari sebagai sumber panasnya. Prinsip pengeringan solar dryer berasal dari dua arah yaitu radiasi matahari dan aliran udara panas dari bawah yang kemudian dibuang keluar menggunakan blower sehingga menyebabkan suhu pengeringan di dalam solar dryer lebih rendah (Rachman, 2009). Proses pengeringan solar dryer ini lebih efektif untuk meminimalkan terjadinya degradasi kurkuminoid jika dibandingkan dengan pengeringan sinar matahari langsung. Hal ini dibuktikan dengan warna simpilisia temulawak yang lebih cerah dan kadar kurkuminoid yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sinar matahari langsung.
Selain itu, pengeringan solar dryer juga dapat melindungi temulawak dari sinar UV karena desain solar dryer yang seluruhnya tertutup oleh plastik bening dengan blower di atas sehingga pengeringan solar dryer merupakan pengeringan yang efektif untuk mempertahankan kandungan kurkuminoid dari suhu dan sinar UV yang dihasilkan dari sumber panas yang berupa sinar matahari. Menurut Zahro (2008), penyebab degradasi kurkuminoid pada proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari adalah sinar UV. Dari kedua teknik pengeringan tersebut yang berperan besar dalam mengakibatkan terjadinya degradasi kurkuminoid adalah sinar UV yang dihasilkan dari proses pengeringan yang sama-sama menggunakan sinar matahari. Hal tersebut sesuai dengan sifat kurkuminoid yang sensitif terhadap cahaya.
4.2.2 Pengaruh Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Dalam penelitian ini, perlakuan penggunaan kain penutup pada masing-masing teknik pengeringan dilakukan dengan tiga cara yaitu tanpa menggunakan kain penutup, menggunakan kain penutup warna putih dan menggunakan kain penutup warna hitam. Fungsi kain
xliii
penutup pada pengeringan adalah untuk melindungi bahan yang dikeringkan dari panas sinar matahari yang dapat menyebabkan rusaknya kandungan dalam bahan yang dikeringkan. Hasil pengujian analisis kadar kurkuminoid oleoresin temulawak dengan perlakuan penggunaan kain penutup yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.3 Tabel 4.3. Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Warna kain penutup Kadar (%)
Tanpa penutup kain 2,369a Kain penutup hitam 2,666 b Kain penutup putih 2,980c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05
Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar kurkuminoid pada perlakuan penggunaan kain penutup pada masing-masing teknik pengeringan berbeda nyata. Hal tersebut dibuktikan dengan berbedanya huruf yang mengikuti kadar kurkuminoid pada tiap-tiap perlakuan. Kadar kurkuminoid pada sampel perlakuan tanpa penutup kain, dengan kain putih dan kain hitam berturut-turut yaitu 2,369%; 2,980% dan 2,666%. Dari data tersebut, kadar kurkuminoid tertinggi terdapat pada sampel dengan perlakuan kain penutup putih sedangkan kadar kurkuminoid terendah terdapat pada sampel perlakuan tanpa penutup kain. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan perlakuan penggunaan penutup kain dapat melindungi kandungan kurkuminoid pada temulawak dari suhu dan sinar UV yang dihasilkan selama proses pengeringan. Seperti sifat kurkuminoid yang sensitif terhadap cahaya (Tonnesen dan Karsen, 1985), maka dengan penggunaan kain penutup dapat meminimalkan terjadinya degradasi kurkuminoid akibat sinar UV yang dihasilkan selama proses pengeringan.
Jika dilihat dari perlakuan penutup kain putih dan hitam, perlakuan penutup kain putih memiliki kadar kurkuminoid yang lebih
xliv
tinggi dari pada penutup kain hitam karena warna kain putih bersifat memantulkan semua spectrum cahaya. Berbeda dengan warna hitam, sifat warna hitam adalah menyerap semua spectrum cahaya sehingga energi radiasi yang diterima pada warna hitam menjadi semakin besar seiring bertambahnya spectrum cahaya yang diserap yang menyebabkan warna hitam menyerap panas lebih besar dari warna lainnya (Yadie, 2009). Dengan sifatnya warna hitam yang menyerap semua spectrum cahaya menyebabkan warna hitam tidak efektif melindungi kandungan kurkuminoid pada temulawak jika dibandingkan dengan warna putih yang memantulkan semua spectrum cahaya.
4.2.3 Pengaruh Interaksi Teknik Pengeringan Dan Warna Kain Penutup Terhadap Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai signifikasi teknik pengeringan dan warna kain penutup diatas α 0,05 yang berarti tidak ada interaksi antara teknik pengeringan dengan warna kain penutup. Hal ini terjadi karena masing-masing perlakuan teknik pengeringan dan warna kain penutup tidak saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya terhadap kadar kurkuminoid.
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pada masing-masing sampel dengan perlakuan teknik pengeringan dan warna kain penutup dapat dilanjutkan one way ANOVA pada tingkat α yang sama yaitu 0,05. Hasil analisis kadar kurkuminoid oleoresin temulawak pada masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Hasil Analisis Kadar Kurkuminoid Oleoresin Temulawak
Sampel Kadar (%)
Sinar matahari tanpa kain penutup 2,2369a Sinar matahari kain penutup hitam 2,5262b Sinar matahari kain penutup putih 2,7826c