• Tidak ada hasil yang ditemukan

ratu bertugas menghasilkan telur; lebah pejantan bertugas mengawini atau menunasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ratu bertugas menghasilkan telur; lebah pejantan bertugas mengawini atau menunasi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Madu

Definisi madu menurut Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) 0 1 -3545- 1994 adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nektar (Pusat Standarisasi Industri, 1994). Sertifikat madu di Selandia Baru mendefinisikan madu sebagai bahan cair, kental ataupun mengkristal yang dihasilkan lebah madu dari nektar bunga atau dari sekresi bagian tanaman selain bunga yang oleh lebah dikunpulkan, diubah atau dicarnpur dengan bahan-bahan dari lebah itu sendiri, lalu disimpan atau dibiarkan menjadi matang &am sisiran madu (Matheson, 1984).

Madu diproduksi oleh beberapa jenis lebah seperti lebah tidak bersengat (Meliponi~ae), bumble bee (Bombus sp.), dan tawon; namun yang dimaksud dengan lebah madu adalah Apis sp. Hanya tiga spesies Apis yang banyak dikenal di Indonesia, yakni A. cerana, A. mellifera, dan A. Dorsata. Dari ketiga spesies tersebut, hanya A. dorsata yang sampai saat ini belum dapat dibudidayakan karena keganasannya. Lebah madu membentuk satu koloni yang terdiri atas tiga strata atau kasta, yaitu puluhan ribu lebah pekerja, seekor lebah ratu, dan beberapa ribu lebah pejantan. Lebah peke rja bertugas mencari pakan serta merawat telur, larva, dan ratu; ratu bertugas menghasilkan telur; lebah pejantan bertugas mengawini atau menunasi ratu (Sihombing, 1997).

Madu yang diproduksi lebah madu sebenarnya merupakan makanan bagi koloni. Madu melimpah pada musim berbunga dan disimpan dalam sel sarang sebagai persediaan makan pada musim paceklik. Lebah memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar nektari tanaman (Sihombing, 1997).

Nektar memiliki kandungan kimia yang berbeda antara satu tanaman dengan tanaman lain dan antara satu musim dengan musim yang lain. Kadar gula nektar bervariasi antara 5-80%. Pada umumnya, nektar dikategorikan berdasarkan jenis gula dominannya, yakni (1) nektar yang kandungannya didominasi sukrosa, (2) nektar yang kandungannya didominasi glukosa dan fi-uktosa, (3) nektar yang kandungan glukosa, fi-uktosa, dan sukrosanya seimbang. Perbedaan komposisi nektar ini mempengaruhi komposisi dan sifat madu yang dikasilkan (Hooper, 1976). Sumber nektar di Indonesia antara tanarnan randu,rambutan, durian, lengkeng, kopi,

(2)

coklat, kaliandra,

dan

karet. Masih banyak lagi jenis tanaman yang merupakan surnber pakan lebah madu, seperti yang diinventarisasi oleh Tantra dan Suwanda (1 977).

Selain nektar, lebah madu juga menggunakan nambur madu (honeydew) sebagai bahan baku madu, terutarna di daerah hutan berdaun jarum (coniferous forest). Nambur madu merupakan ekskreta serangga yang mengisap cairan jloem, misalnya Aphidina, Coccina, dan Cicadina. Nambur madu memiliki bahan kering 5-1 8% dengan kandungan gula 10-95% dari bahan kering (White, 1979; Sihombing, 1997).

Nektar atau nambur madu dikumpulkan dari berbagai tanaman oleh lebah-lebah pekerja (forager) dan disimpan dalam kantung madunya (honey sac). Kantung madu bukan organ pencerna, melainkan tempat penampungan sementara makanan cair. Nektar dalam kantung madu tercampur dengan saliva lebah yang berasal dari kelenjar hipofaringeal dan kelenjar saliva, sehingga nektar tersebut memiliki kadar gula yang lebih rendah dan enzim yang lebih banyak daripada nektar asal. Enzim saliva tersebut adalah enzim diastase yang merombak karbohidrat kompleks (polisakarida) menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Apabila kantung madu telah terisi penuh, forager kembali ke sarang (Achmadi, 1991).

Forager yang telah masuk ke sarang mentransfer isi kantung madunya kepada lebah pekerja yang bertugas dalam sarang. Pada aktivitas transfer ini terjadi lagi penambahan enzim yang berasal dari saliva, yaitu enzim invertase dan glukosa oksidase. Enzim invertase menguraikan sukrosa menjadi glukosa dan fiuktosa; sedangka enzim glukosa oksidase mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Aktivitas transfer juga berfhgsi m e n d a n kadar air nektar. Jika kadar air telah mencapai 50-60%, nektar dimasukkan ke sel madu dan dikipasi sampai kadar air sekitar 20%, lalu sel disegel dengan malam (wax) dan dibiarkan (dimatangkan). Hasil

akhir

proses pematangan ini adalah madu (Maurizio, 1979). Madu yang matang biasanya mengandung sedikit air (sekitar 20%), sehingga tidak rentan terhadap fermentasi karena pada kadar air yang rendah, aktivitas khamir (yeast) penyebab fermentasi madu dapat ditekan (White, 1979).

(3)

Madu biasanya digolongkan berdasarkan sumber nektarnya Apabila surnber nektar didominasi oleh satu jenis tanaman (bunga),

maka

madu yang dihasilkan digolongkan madu monoflora. Madu randu, madu lengkeng, madu karet, dan madu kaliandra merupakan contoh madu monoflora. Jika sumber nektar dari berbagai jenis tanaman, maka madu yang dihasilkan dikategorikan sebagai madu multiflora, misalnya madu Nusantara, madu Sumba, dan madu Kalimantan. Madu yang berasal dari nambur madu disebut madu honeydew. Perbedaan sumber nektar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik madu.

Komposisi Madu

Sampai saat ini telah ditemukan sekitar 181 jenis zat yang dikandung madu (Gojmerac, 1980), narnun hanya beberapa jenis zat yang diperhatikan dalarn menentukan dan membandingkan komposisi madu. Sebagai contoh, perbandingan komposisi madu yang berasal dari Amerika dan dari Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Madu dari Amerika Serikat dan Indonesia

Amerika ~erikat' 1ndonesia2 Komposisi Satuan

Rataan Kisaran nilai Rataan Kisaran nilai Air Fruktosa Glukosa Sukrosa Asam bebas Laktone Asam total Abu Nitrogen PH Nilai Diastase 'No 'No % Yo a a a 'No Yo Diastase Number (DN) mg/kg madu Sumber : 1 . White(1979) 2. Kartini (1986)

Keterangan : a = satuan untuk Amerika Serikat adalah %, sedan- untuk Indonesaia adalah miliekivalen (mek)/kg

(4)

Perbedaan yang paling menonjol antara madu Amerika Serikat dan Indonesia adalah kadar air serta kadar ffuktosa, glukosa, dan sukrosanya.

Air

Kadar air madu sangat beragam, tergantung pada kadar air surnber nectar dan iklim. Bila kadar air nectar tinggi,

kadar

air madu yang dihasilkan cenderung tinggi pula (Maurizio, 1979). Madu bersifat higroskopis atau menarik air dari sekitarnya. Martin (1958) menunjukkan keseimbangan antara kelembaban nisbi (Relative humidity=Rh) lingkungan dengan kadar air madu (Tabel 2).

Tabel 2. Hubungan Keseimbangan antara Rh Udara dan

Kadar

Air Madu Clover

Kelembaban nisbi (Rh) Kadar air madu

(%I

("A)

52 16,l ' 58 17,4 66 21,5 76 28,9 8 1 33,9 Sumber : Martin (1 958)

Kelembaban nisbi

(Rh)

daerah tropis umumnya lebih tinggi daripada

Rh

daerah subtropis, sehingga

kadar

air madu di daerah tropis biasanya juga lebih tinggi, seperti yang tampak pada Tabel 1 (1 7,2 versus 22,9%).

Kadar air mempellgaruhi viskositas madu. Viskositas menunjukkan kekentalan dari aliran madu yang biasa disebut body. Pengaruh peningkatm satu persen kadar air sarna dengan pengaruh peningkatan temperatur 3 3 %

"C

dalam menurunkan viskositas madu (Root, 1980).

Kadar air madu juga sangat berpegaruh terhadap kristalisasi dan fermentasi. Kadar air yang rendah akan menjaga madu dari kerusakan untuk jangka waktu relatif lama (Gojmerac, 1980).

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan fiaksi terbesar dari madu, yakni sekitar 80%. Sebagian besar dari karbohidrat ini (85-95%) berupa monosakarida (fiuktosa

dan

glukosa), selebihnya berbentuk disakarida, oligosakarida, dan polisakarida (Tabel 3).

(5)

Tabel 3. Jenis-jenis Karbohidrat dalam Madu

Jenis karbohidrat Nama

Monoskarida Disakarida

Oligosakarida dan polisakarida

Glukosa, fiuktosa

Sukrosa, maltosa, isomaltosa, nigerosa, turanosa, maltulosa, kojibiosa, leukrosa, neotrehalosa, gentibiosa, laminaribiosa, isomaltulosa

Melezitosa, erlosa, kestosa,rafinosa, dekstrantriosa, 6-a-glukosilsukrosa, panosa, isomaltotriosa, 34-isomaltosilglukosa, isopanosa, maltotriosa, isomaltotetranosa, isomaltopentaosa,centosa, rabogalaktomenan Sumber : White (1 979)

Sifat higroskpois madu dikarenakan madu merupakan larutan jenuh gula. Fruktosa mempakan gula yang paling bertanggung jawab akan sifat higroskopis madu karena fivktosa lebih mudah larut dibandingkan glukosa (White, 1992a).

Asam

Madu bersifat asam dengan pH 3 , 2 4 5 . pH madu yang rendah ini mendekati pH cuka, tetapi kandungan gula yang tinggi membuat madu terasa manis, bukan kecut seperti cuka

athe he so;

1984). pH madu dipengaruhi oleh kandungan asam organik dan anorganik. Asam organik yang dominan dalam madu adalah asam glukonat yang merupakan hasil perombakan glukosa oleh enzim. Asam organik lainnya yang terdapat dalam madu adalah asam asetat, butirat, sitrat, format, laktat, maleat, malat, oksalat, piroglutamat, 2- atau 3-fosfogliserat, a atau

P

gliserofosfat, glukosa-6-fosfat (White,1979). Asam-asam organik ini sangat menentukan citarasa (flavor), aroma, dan daya tahan madu terhadap mikroorganisme (Root, 1980; Molan, 1992; Sihombing, 1997)

Asam organik dalam madu sangat sedikit dan pada umumnya merupakan asam lemah sehingga pH madu lebih dipengaruhi oleh asam organik yang dibentuk dari mineral yang dikandung madu (Rodwell, 1 983; Achmadi, 199 1).

Protein, Asam Amino, dan Enzim

Protein dalam madu berasal dari sisa-sisa larva, polen, dan dari lebah itu sendiri. Protein madu terdapat dalam bentuk albumin, globulin, porotease, pepton, histon, albumosa, alburninoid, nukleoprotein, dan asam-aam amino esensial (White, 1979). Asam am,ino bereaksi perlahan-lahan dengan gula dan membentuk senyawa

(6)

berwama kuning atau coklat. Reaksi ini diperkirakan merupakan penyebab perubahan warna madu menjadi coklat dan gelap pada suhu tinggi atau pada penyimpanan yang lama (White, 1992a).

Sebagian protein dan asam amino ini bertanggung jawab terhadap sifat koloidal madu (Matheson, 1984). Protein juga menyebabkan kecenderungan membentuk gelembung udara kecil dan buih pada madu (Sukartiko, 1986).

Enzim pada dasarnya adalah protein dan terdenaturasi oleh beberapa faktor luar seperti suasana terlalu asam, terlalu basa, serta terkena panas atau logam berat (Rodwell, 1983). Yoirish (1 959) menyatakan bahwa madu merupakan bahan makanan dengan kandungan enzim tertinggi. White (1992a) berpendapat bahwa enzim dalam madu berasal dari nektar, polen, dan kelenjar ludah lebah. Jenis enzim yang penting dalam madu adalah diastase, invertase, glukosaoksidase, dan enzim yang aktif dalam fermentasi.

Diastase berperan dalarn mengubah polisakarida menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Invertase memecah sukrosa menjadi glukosa dan fi-uktosa. Glukosaoksidase mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida pada madu yang diencerkan (Matheson, 1984; Molan, 1992). Achmadi (1 99 1) menyatakan bahwa enzim tertentu mengkatalisis gula menjadi alkohol dan asam organik ketika madu terfermentasi.

Mineral

Yoirish (1 959) menyatakan bahwa madu merupakan bahan makanan yang bersifat alkali karena mengandung unsur mineral alkali. Sifat alkali madu dapat mengurangi akumulasi asarn bebas yang mengakibatkan gangguan fisiologis dan menurunkan daya tahan tubuh.

Semakin tinggi kandungan mineral, biasanya semakin gelap warna madunya (Gojmerac, 1980). Hasil penelitian Kartini (1986) menunjukkan juga bahwa semakin tinggi kadar abu madu, semakin tinggi pula pHnya.

Potensi anti bakteri madu meningkat sepuluh kali apabila terdapat 0,83 mmollliter mineral besi (Fe), tembaga (Cu), kromium (Cr), kobalt (Co), atau mangan

(Mn)

(Molan, 1992).

Hidroksimetilfurfural (HMF)

HMF merupakan hasil dekomposisi glukosa, fruktosa, dan monosakarida lain yang memiliki enam atom C dalam suasana asam dan dipercepat dengan bantuan

(7)

panas. Reaksi ini selanjutnya menghasilkan asam format dan levulinat (Gambar 1 ; Achmadi, 1 99 1).

H-C-C-H H2C

-

CHI

panas

L

H+

I1

II

I

t

C6HI206 ---.) HOCH2

-

C C

-

CHO ---fH3C

-

C COOH

+

HCOOH

-3H20

v

0 0

I1

Gambar 1. Reaksi Pembentukan HMF, Asam Levulinat, dan Asam Format dari Monosakarida (Heksosa) dalam Suasana Asam (Achmadi, 1991) Oksigen dari udara akan mengoksidasi HMF sehingga membentuk warna gelap. Pada tahun 1908, pengukuran HMF dilakukan untuk menguji pernalsuan dengan gula invert, karena penambahan gula invert akan meningkatkan HMF. Pada tahun yang sarna pula diketahui bahwa HMF juga terbentuk akibat pemanasan madu. Bahkan, madu yang barn dipanen pun mengandung HMF dalam jumlah keci1,yakni 0,06-0,2 mg/100 g madu (White, 1979).

Vitamin

Kandungan vitamin dalam madu sangat sedikit, sehingga tidak signifikan (nyata) secara nutrisi bila dihubungkan dengan jumlah madu yang biasa dikonsumsi. Beberapa jenis vitamin yang ditemukan dalam madu adalah asam askorbat (vitamin C), niasin, piridoksin (B6), asam pantotenat, riboflavin (B2), tiamin (BI), biotin, menadion

(K),

dan asam folat (White, 1079). Menurut Winarno (1982), kadungan tiamin (BI) madu sekitar 0,l mg1100 g madu, sedangkan riboflavin sekitar 0,02 mg/ 1 00 g madu.

Penyimpanan Madu

Penyimpanan madu dilakukan untuk tujuan pengumpulan atau menunggu saat pemasaran. Beberapa perubahan yang cukup kompleks terjadi selama penyimpanan madu. Perubahan tersebut merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perubahan yang umum terjadi adalah perubahan fraksi karbohidrat, kadar

HMF,

aktivitas enzim, dan keasaman madu.

(8)

Karbobidrat

Menurut White (1979), pembahan yang terjadi pertama kali adalah peningkatan kadar disakarida pereduksi (maltosa) akibat penggabungan monosakarida pereduksi (glukosa dan fiuktosa). Peristiwa ini dibuktikan oleh Krauze dan Krauze (1991) yang menyimpan madu selama dua tahun pada suhu ruang. Madu tersebut mengalami p e n m a n kadar glukosa, fiuktosa, dan sukrosa; tetapi kadar disakarida selain sukrosa meningkat. Chai et al. (1988) juga menunjukkan bahwa temperatur penyimpanan mempengaruhi laju p e n m a n monosakarida pereduksi tersebut. Mereka menyimpan madu pada temperatur 5,20, dan 35

OC

selama satu tahun; pada akhir penyimpanan ternyata p e n m a n kadar glukosa dan fivktosa semakin besar dengan semakin tingginya temperatur penyimpanan.

Perubahan selanjutnya yang mungkin terjadi adalah peningkatan kadar karbohidrat berantai panjang (oligosakarida) (White, 1979; Sihombing, 1997). Peningkatan oligosakarida disebabkan oleh dua mekanisme, yakni aktivitas enzim dan reaksi pembalikan oleh suasana asam. Enzim pemecah sukrosa, yaitu invertase, juga merupakan enzim transglukosidase yang membentuk oligosakarida sewaktu memecah sukrosa. Bila dalam larutan madu terdapat monosakarida bebas dan asam, maka monosakarida tersebut diubah menjadi disakarida dan oligosakarida (White,

1 979; Achrnadi, 1 99 1).

Hidroksimetilfurfural (HMF)

Bosch dan Serra (1986) melaporkan bahwa kadar

HMF

madu di daerah panas (17-21 "C) meningtat dua kdi lebih cepat setelah disimpan selama enam bulan dibandiigkan madu di daerah dingin (14-18 "C ) dengan lama penyimpanan yang sama. Ghostidar dan Chakrabarti (1992) juga meneliti pengaruh suhu dan lama penyirnpanan terhadap kadar HMF. Penelitian mereka menunjukkan bahwa kadar HMF meningkat sejalan dengan bertambahnya lama clan suhu penyimpanan. Berbeda dari kedua hasil penelitian ini, Chai et al. (1988) menunjukkan bahwa penyimpanan madu selama satu tahun pada suhu 5 "C ternyata menurunkan kadar HMF madu tersebut.

Aktivitas Enzim

White (1979) menyatakan bahwa suhu

dan

lama penyimpanan mempengaruhi aktivitas enzim (Tabel 4).

(9)

Tabel 4. Perkiraan Paruh-hidup Enzim Diastase dan Invertase Paruh-hidup enzim Temperatur P C ) Diastase Invertase 10 12.600 hari 9.600 hari 20 1.480 hari 820 hari 25 540 hari 250 hari 3 0 200 hari 83 hari 3 2 126 hari 48 hgari 3 5 78 hari 28 hari 40 3 1 hari 9,6 hari 5 0 5,38 hari 4,7 hari

60 1,05 hari 3,O jam

63 16,2 jam 47 menit

70 5,3 jam 39 menit

7 1 4,s jam 8,6 menit

80 1,2 jam 1,28 hari

Sumber : White (1979)

Pernyataan White (1979) tersebut didukung oleh hasil penelitian Chai et al. (1988), Kim (1988), serta Krauze dan Krauze (1991). Mereka menyimpulkan bahwa aktivitas enzim diastase (Diastase Number=DN) terus menurun selama penyimpanan dan semakin tinggi suhu penyimpanan, semakin besar penuruna. DN. Lebih lanjut, Krauze dan Krauze (1991) menyatakan bahwa penurunan aktivitas enzim glukosaoksidase, katalase, dan invertase lebih banyak dibandingkan enzim diastase pada madu honeydew yang disimpan selama dua tahun pada suhu ruang.

Keasarnan

Kadar keasaman madu dipengaruhi oleh faktor suhu dan lama penyimpanan. Chai et al. (1988) merlunjukkan bahwa kadar asam bebas semakin meningkat bersama peningkatan suhu penyimpanan dari 5, 20, sampai 35 "C. Sebaliknya, Ghazali dan Sin (1986) serta Ghazali et al. (1995) menyatakan bahwa keasaman madu (titratable acidity

dm

pH) tidak dipengaruhi oleh pemanasan dan suhu penyimpanan, melainkan oleh lama penyimpanan.

Perubahan karbohidrat,

HMF,

aktivitas enzim, dan keasaman yang terjadi selama penyimpanan hanya dapat dideteksi melalui uji laboratorium. Gejala yang terlacak oleh panca indera adalah perubahan warna, kristalisasi, dan fermentasi.

(10)

Warna

S e l m a penyimpanan, warna madu akan semakin gelap (White,1979). Ghazali dan Sin (1986) melaporkan bahwa suhu penyimpanan juga mempengaruhi warna madu. Warna madu yang disimpan selama 18 minggu pada suhu 50 "C ternyata enam kali lebih gelap dibandingkan madu yang disimpan pada 28 "C dalam waktu yang sama.

Perubahan warna madu tersebut dapat disebabkan oleh reaksi mailard antara nitrogen amino (misalnya asam amino, polipeptida, serta protein) dan gula pereduksi atau oleh kombinasi komponen polifenol dengan zat besi, maupun oleh ketidakstabilan fruktosa dalam larutan asam (karamelisasi)(Sihombing, 1997). Hasil akhir dari reaksi-reaksi ini adalah senyawa berwarna coklat yang mempergelap warna madu.

Kristalisasi

Kristalisasi adalah peristiwa pembentukan glukosa menjadi kristal glukosa monohidrat dan kristal tersebut lalu memisahkan diri dari air dan fiuktosa. Hal ini terjadi karena madu merupakan larutan yang lewat jenuh dan tidak stabil. Kristal yang terjadi dapat berupa endapan di dasar wadah atau koagulasi yang me!ayang rata di seluruh wadah madu dan menyebabkan madu tarnpak keruh (Dyce, 1979; Achmadi, 199 1 ; White, 1992a).

Kristalisasi madu dipengaruhi oleh suhu penyimpanan (Dyce, 1979; Tabouret et al., 1992), seperti disajikan pada Tabel 5 yang menunjukkan hubungan antara perubahan suhu penyimpanan dan proses kristalisasi.

Tabel 5. Pengaruh Temperatur terhadap Kristalisasi Madu Suhu penyimpanan

PC)

Proses kristalisasi

-1 Tidak terjadi kristalisasi walaupun telah disimpan selama dua tahun di bawah 4,s Hampir tidak terjadi kristalisasi

di bawah 10 Kristalisasi sangat terhambat

14 Temperatur optimal untuk kristalisasi madu

15 Temperatur optimal untuk kristalisasi madu berkadar air rendah

16 Sebagian besar madu tidak mengkristal; kristal yang terbentuk besar dan kasar

27 Madu tetap dalam keadaan cair Sumber : Dyce (1979)

(11)

White (1979) menambahkan bahwa laju kristalisasi semakin cepat dengan semakin besar rasio glukosa terhadap air (dextroselwater=DNV). Pembentukan kristal mulai terjadi pada D/W sekitar 1,76. Lebih lanjut, Bogdanov et al. (1987) melaporkan bahwa apabila kadar glukosa kurang dari 27,8% dan rasio DIW kurang dari 1,69, maka madu tersebut tidak mengkristal. Assil et al. (1991) menggunakan rasio fiuktosa terhadap glukosa (levuloseldextrose=L/D) untuk menduga kecenderungan kristalisasi, yakni pada rasio L/D lebih kecil dari 1,12, madu mulai mengkristal.

Kristalisasi madu dapat dicegah melalui pemanasan sampai 77 "C selama lima menit, lalu disaring --dm dengan cepat didinginkan sampai 57 "C. Pada temperatur 57 "C ini, madu dimasukkan ke wadah dan langsung ditutup (Townsend, 1979). Cara lain adalah dengan memanaskan madu secara berulang selama 30 menit pada suhu 60-66 "C (Gojmerac, 1980).

Dyce (1979) menyatakan bahwa madu yang telah dipanaskan akan membentuk kristal yang besar dan kasar, demikian pula dengan madu yang lambat laju kristalisasinya. Di beberapa negara (misalnya Selandia Baru dan Kanada), madu yang baru dipanen dengan sengaja dikristalisasi agar tidak terbentuk kristal yag besar dan kasar selama penyimpanan. Proses pengknstalan yang banyak dipakai sampai saat ini adalah metode Dyce, yang menghasilkan kristal halus dan melayang rata

.

Madu yang dihasilkan dikenal sebagai madu kristal (crystallized atau granulated honey). Menurut Matheson (1384), madu kristal ini meskipun secara fisik berbeda dengan madu czir, secara kimia d m nutrisi tetap sama

.

Fermentasi

Fennentasi merupakan proses biokimia yang umum terjadi pada madu yang disimpan. Penyebabnya adalah sejenis khamir (yeast) dari genus

Zygosaccharomyces yang tahan terhadap konsentrasi gula tinggi, sehingga dapat hidup dan berkembang dalam madu. Sel khamir akan mendegradasi gula dalam madu (khususnya glukosa dan fi-uktosa) men. ai alkohol (etanol). Bila alkohol bereaksi dengan oksigen (02), alkohol tersebut akan membentuk asam asetat yang mempengaruhi kadar keasaman, rasa, dan aroma madu. Pada akhir proses fermentasi akan terbentuk karbon dioksida (COz) dan air (White, 1979; Achmadi, 1991).

Madu yang terfermentasi &an bertambah encer dengan rasa dan aroma yang masam. Madu tersebut &an mengeluarkan gas dan menghasilkan suara mendesis

(12)

ketika tutup wadahnya dibuka. Bahkan, tutup botol madu dapat terlepas dan madu berbau seperti tape apabila proses fermentasi telah berlangsung lama (White, 1992a). Aktivitas sel khamir dalam madu sangat dipengaruhi oleh kadar air madu. Madu berkadar air tinggi (lebih dari 18%) sangat rentan terhadap fermentasi, karena kadar air di atas 18% merangsang perturnbuhan dan perkembangan sel khamir. Sebaliknya, sel khamir tidak aktif (inaktif) pada kadar air 18% atau lebih rendah (White, 1992a). Tabel 6 memperlihatkan hubungan antara kadar air dengan kepekaan madu terhadap fermentasi.

Tabel 6. Kepekaan Madu terhadap Fermentasi

Kadar air Kepekaan terhadap fermentasi

Kurang dari 1 7,1% Tahan terhadap fermentasi berapapun jumlah sel khamirnya Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari 1.000 seVg madu

Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari 10 sellg madu

Tahan terhadap fermentasi jika jumlah sel khamir kurang dari 1 sellg madu

Lebih dari 20,0% Selalu peka terhadap fermentasi

Sumber : White (1992a)

Kristalisasi juga dapat menjadi pencetus proses fermentasi. Sewaktu mengkristal, glukosa melepaskan air ke larutan madu sehingga kadar air pada kristal glukosa monohidrat turun menjadi 9,1% dan kadar air pada larutan madu meningkat. Peningkatan kadar air l m + m madu rnenciptakan kondisi yang ideal bagi pertumbuhan khamir (Dyce, 1979).

Selain kandungan air madu, suhu penyimpanan juga mempengaruhi aktivitas sel khamir dalam madu. Pada peyimpanan sekitar suhu ruang, khamir berkembang biak sangat cepat. Penurunan temperatur penyimpaan sampai mendekati

0

"C

tidak membunuh khamir karena khamir dapat membentuk ascospora yang tahan terhadap temperatur rendah, narnun aktivitas perkembangbiakan vegetatilkya terhambat sehingga fermentasi terhenti (Root, 1980). Graham (1 992) memperlihatkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap perkembangan sel khamir (Tabel 7).

(13)

Tabel 7. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Perkembangan Khamir dalam Madu

Suhu penyimpanan

("C) Perkembangan khamir

1 1 Khamir tidak dapat tumbuh

13-21 Kisaran minimal untuk proses fermentasi madu

27 Kisaran maksimal untuk proses ferrnentasi madu

7 1 Temperatur penting untuk mengawasi perkembangan khamir 75 Terjadi perubahan kimia dan flavor madu secara cepat Sumber : Graham (1 992)

Fermentasi dapat dicegah dengan menghambat aktivitas khamir melalui penurunan kadar air madu di bawah 17,1% atau dengan menyimpan madu pada suhu di bawah 1 1 "C, selain itu juga dengan membunuh khamir melalui pemanasan madu. Temperatur dan lama pemanasan yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Suhu dan Waktu Pemanasan untuk Membunuh Khamir dalam Madu

Suhu pemanasan Waktu pemanasan

("c)

(menit) 51,7 470,O 54,4 170,O 57,2 60,O 60,O 22,O 62,8 7,s 65,8 7,o 68,3 2,s

Sumber : White ( 1 992a)

Semakin tinggi suhu pemanasan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk membunuh khamir. Pemanasan yang berlebihan dapat menurunkan kualitas madu yang ditandai dengan penurunan aktivitas enzim diastase dan peningkatan kadar HMF (Sukartiko, 1986; White, 1992a).

Ghazali et al. (1995) membandingkan kualitas fisik dan kimia madu yang tidak dipanaskan dengan madu yang dipanaskan. Pemanasan madu dilakukan dengan

microwave sampai 71 "C dan dilanjutkan dengan penyimpanan madu selama 16 minggu pada suhu 3 clan 28 "C. Ternyata, hanya madu yang tidak dipanasi dan disirnpan pada suhu 28

"C

yang mengalami fermentasi.

(14)

Penurunan Kadar Aii Madu

Pemanenan madu terdiri atas beberapa tahap, yakni pembukaan tutup sel sarang, pengekstraksian madu dari sel sarang, pengendapan agar gelembung udara dan

remukan sarang naik ke permukaan dan dapat diarnbil setelah satu atau dua hari, penyaringan, serta penurunan kadar air (Sihombing, 1997).

Penunman kadar air madu sangat perlu dilakukan di Indonesia karena kadar air madu di Indonesia sangat tinggi (Tabel I), sehingga rentan terhadap fermentasi (Hadisoesilo, 1986; Kartini, 1986). Kadar air madu dapat diturunkan melalui pemanasan langsung, tak langsung dengan dehidrator vakurn (Sukartiko, 1986), atau penpapan dengan ciehumrd!fier (Febrinda, 1 993).

Prinsip ke j a alat dehidrator vakum adalah penurunan kadar air madu dalam wadah vakum dengan menggunakan temperatur tinggi yang terkontrol (dapat diatur suhu dan waktu pemanasannya) (Hadisoesilo, 1986). Dehidrator yang digunakan di Pusat Perlebahan Nasional (Pusbahnas) Parungpanjang berasal dari Thailand dengan kapasitas 50 kg madu (Gambar 2).

(15)

Pengontrolan suhu dan waktu pernanasan pada alat dehidrator memperkecil kemungkinan terjadinya pemanasan yang berlebihan (over heating) yang dapat meningkatkan kadar HMF dan merusak enzim ddarn madu. Railonsala (1990) menyatakan bahwa akumulasi HMF dalam madu proporsional terhadap lama pemanasan, yakni semakin lama madu dipanaskan, semakin tingpj kadar HMFnya. White (1992a) juga menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur pemanasan per satuan waktu (heat mitttime), semakin tinggi jumlah HMF madu.

Selain untuk menurunkan kadar air, pemanasan madu juga dapat membunuh khamir penyebab fermentasi (Townsend, 1979). Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Ghazali el 01. (1995). Mereka memanaskan madu sampai 71 "C dan ternyata jumlah khamir menurun, sehingga madu tidak terfermentasi ketika madu tersebut disimpan selamal6 minghw pada suhu ruang (sekitar 28 "C).

Dehumidifier (Gambar 3) merupakan alat yang berfungsi menurunkan kelembaban udara dengan menggunakan listrik untuk mengkondensasi air dari udara. DehumidJer menurunkan kadar air madu berdasarkan prinsip hubungan keseimbangan antara Rh udara dan kadar air madu (Tabel 3). Rh udara diturunkan lebih rendah daripada Rh keseimbangan kadar air awal madu agar kandungan air madu menguap mencapai kadar yang diinginkan (Febrinda, 1993).

(16)

Dehumidifier di Parungpanjang ditempatkan pada ruang dehumi-i bedcwm 6x3,s

m2,

dilengkapi dengan air conditioner (AC)

dan

exhaust fan. Ruangan ini terbuat dari bahan partisi papan

kayu

lapis dan

harus

ditutup =lama proses penurunan kadar air madu.

Standar Mutu Madu

Penetapan standar mutu bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk (madu) yang tidak memenuhi syarat dan menjaga produk (madu) yang baik

dari

persaingan yang tidak sehat (pemalsuan madu). Setiap negara pengimpor madu pada umurnnya memiliki standar mutu madu yang berbeda-beda, sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Persyaratan Mutu Madu Menurut FA0 dan Indonesia

Persyaratan mutu Komponen F AOa lndonesiab Air Sukrosa Gula pereduksi Dekstrin Keasaman Abu

Padatan tak larut Aktivitas diastase

HMF

Rekasi Fiche Reaksi Lund Reaksi lugol Polarimetri Cemaran logam 1. Timbal 2. Tembaga 3. Arsen maksimal 18% maksimal3% minimal 70% maksimal5% maksimal5 mekkg madu

0,l-0,25% maksimal 0, 1 % 8- 1 0 skala Gothe maksimal 40 ppm negatif 0,6-3,0% negatif levorotari (-2 1)

-

(-2)0 maksimal22% maksimal20% minimal 60% td

maksimal40 mekkg madu maksimal0,5% maksimal0,5% minimal 3 DN maksimal40 ppm td td td td maksimal0,l ppm maksimal5,O ppm maksimal0,5 ppm Sumber : a. Fasler (1979)

b. Pusat Standarisasi Industri (1994) Keterangan: td = tidak dispesifikasi

Dustman et al. (1985) berpendapat bahwa level aktivitas sukrase (invertase,

a-

glukosidase) merupakan indikator yang lebih baik untuk menentukan kualitas madu diband'igkan HMF. Pengujian aktivitas sukrase memerlukan

waktu

yang sama iamanya dengan pengujian

HMF,

tetapi hasilnya lebih akurat dan dapat diulang

(17)

(reproducible). Lebih lanjut, mereka mengusulkan analisis kadar

HMF

sebaiknya dipertimbangkan hanya pada madu yang rendah kadar enzirnnya.

Thrasyvoulou (1986) menambahkan bahwa penggunaan kadar HMF clan aktivitas diastase sebagai kriteria mutu madu tidak selalu tepat. Beberapa madu asli yang baru dipanen dan tidak dipanasi tenyata dapat dianggap tidak baik kualitasnya karena kadar enzimnya rendah; padahal madu tersebut sangat disukai konsumen. Selain itu, madu yang berasal dari sumber yang sama pun memiliki laju penurunan aktivitas diastase dan peningkatan kadar HMF yang berbeda akibat penyimpanan dan pemanasan.

White (1992b) menyimpulkan bahwa penolakan terhadap madu yang berkualitas baik sering te rjadi karena standar toleransi HMF yang rendah, sehingga banyak madu denganflavor dan aroma yang disukai harus diafkir atau dikategorikan sebagai madu industri. Padahal, penanganan (antara lain ekstraksi madu dari sisiran sarang, penyaringan dan pembotolan madu) serta penyimpanan pada temperatur ruang sekali pun dapat meningkatkan kadar HMF, terutama di daerah tropis dan subtropis.

Penggunaan diastase sebagai dasar untuk mengukur kualitas madu juga masih dipertanyakan, bahkan dianggap tidak perlu karena kandungan dan aktivitas enzim diastase madu secara alami sangat bervariasi. Madu dari daerah panas dan kering biasanya mengandung diastase yang lebih rendah daripada madu dari daerah sejuk dan basah. Selain itu, kandungan enzim dalam madu tidak cukup banyak untuk patut dipertimbangkan secara nutrisi (White, 1992b).

Gambar

Tabel 1.  Komposisi Madu dari Amerika Serikat dan Indonesia
Tabel 3.  Jenis-jenis Karbohidrat dalam Madu
Gambar 1.  Reaksi Pembentukan HMF, Asam Levulinat,  dan  Asam Format dari  Monosakarida (Heksosa) dalam  Suasana  Asam (Achmadi, 1991)  Oksigen dari udara  akan  mengoksidasi HMF sehingga membentuk warna gelap
Tabel  4.  Perkiraan Paruh-hidup Enzim Diastase dan Invertase  Paruh-hidup enzim  Temperatur  P C )   Diastase  Invertase  10  12.600  hari  9.600  hari  20  1.480  hari  820  hari  25  540  hari  250  hari  3 0  200  hari  83  hari  3  2  126  hari  48  h
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya untuk menggumuli bagaimana gereja (dalam hal ini GKI Ngupasan Yogya) melakukan upaya pembinaan bagi anggota jemaatnya berhadapan

Model matematis Fulfillment Index (FI) yang sudah dirancang akan menghitung tingkat pemenuhan kebutuhan tenaga kerja di level jabatan (l), departemen (i), serta perusahaan

a) Pasukan Penyiasat bertanggungjawab menyediakan Laporan Hasil Siasatan atau Laporan Akhir dan kemukakan kepada Urusetia Kehilangan dan Hapuskira dalam tempoh dua

Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2017

Maka, dapat disimpulkan bahwa cara belajar adalah suatu strategi atau kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam rangka mencapai hasil belajar yang baik dimana

Perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang faktor lain yang mempengaruhi kristalinitas sintesis ZSM-5 secara langsung dari kaolin tanpa templat organik ini,

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa extreme programming dapat digunakan dalam mebuat rancang bangun sistem informasi pengarsipan dokumen dengan komunikasi

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, sudah dijelaskan bahwa rata-rata produk yang dihasilkan Pertukangan Kayu Rian Palembang tidak terjual habis per