• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN HARGA DIRI MELALUI TERAPI EKSISTENSIAL UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN HARGA DIRI MELALUI TERAPI EKSISTENSIAL UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI TESIS"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN HARGA DIRI MELALUI TERAPI

EKSISTENSIAL UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Psikologi Profesi

Disusun oleh:

RULLITA ARISTYA MINTARSIH

NIM: 201810500211008

DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)
(3)

T E S I S

Dipersiapkan dan disusun oleh:

RULLITA ARISTYA MINTARSIH

201810500211008

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada hari/tanggal, Sabtu, 16 Januari 2021

dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Magister/Profesi di Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua : Assoc. Prof. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog

Sekretaris : Muhammad Salis Yuniardi, Ph.D., Psikolog

Penguji I : Assoc. Prof. Dr. Iswinarti, M.Si., Psikolog

Penguji II : Dr. Djudiyah, M.Si

(4)
(5)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah/tesis dengan judul “Peningkatan Harga Diri melalui Terapi Eksistensial untuk Menurunkan Gejala Depresi” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Psikologi Profesi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan tesis ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. H. Fauzan, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang sebagai pengambil kebijakan untuk seluruh aktivitas akademik Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Prof. Akhsanul In’am, Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang dan seluruh civitas akademik di Direktorat Program Pascasarja.

3. Dr. Cahyaning Suryaningrum, M.Si., Psikolog selaku Ketua Program Studi yang telah selama kurang lebih dua tahun setengah mendampingi penulis dan memberikan nasihat serta dorongan untuk segera menyelesaikan Program Studi Magister Psikologi Profesi di Universitas Muhammadiyah Malang. 4. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog dan M. Salis Yuniardi, Ph.D., Psikolog

selaku Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang bermanfaat di sela-sela waktu mengajarnya sebagai dosen mata kuliah, hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat waktu.

5. Dr. Iswinarti, M.Si., Psikolog selaku Pembimbing PKPP yang telah mendampingi penulis dalam menyelesaikan tugas Praktik Kerja Psikologi Profesi dan tidak pernah lelah dalam memberikan motivasi dan bimbingannya.

(6)

ii

6. Ayahanda Kasmadi dan Ibunda Sunarsih yang selalu menyelipkan nama penulis dalam setiap doa-doanya dan tak pernah berhenti mengasihi serta memberikan semangat saat penulis merasa putus asa atau kurang motivasi. Kasih sayang mereka yang tiada batasnya selalu menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Kakakku tercinta Meganingtyas Herdiningrum yang selalu ada untuk memberikan semangat kepada adiknya yang tak pernah berhenti menyayanginya. Ia yang selalu menjadi teman terdekat dan terbaik bagi penulis.

8. Kepada subjek yang telah bersedia menjadi subjek penelitian dan berkomitmen untuk mengikuti serangkaian kegiatan dari asesmen, intervensi, hingga follow

up.

9. Teman-teman MAPRO-2018 yang menemani hari demi hari semenjak penulis masih mahasiswa baru hingga sekarang dan yang selalu memberikan semangat serta bantuannya dalam setiap proses, yang berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan pengalaman berharga dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tidak ada satupun karya manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, sehingga kritik serta saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ini sangat penulis harapkan. Demikian, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, Januari 2021 Penulis,

(7)

iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul Lembar Pengesahan Surat Pernyataan Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

Daftar Gambar ... v Daftar Lampiran ... vi ABSTRAK ... 1 ABSTRACT ... 2 PENDAHULUAN ... 3 KAJIAN PUSTAKA ... 9 Gejala Depresi ... 9

Faktor yang Mempengaruhi Depresi ... 10

Depresi dalam Perspektif Islam ... 11

Harga Diri ... 12

Pandangan Islam terhadap Harga Diri ... 14

Terapi Eksistensial dan Teknik Bibliotherapy ... 15

Pengaruh Terapi Eksistensial terhadap Harga Diri dan Depresi ... 18

Kerangka Berpikir ... 20

Hipotesis ... 20

METODE PENELITIAN ... 20

Desain Penelitian ... 20

Subjek Penelitian ... 21

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 21

Prosedur Penelitian ... 22

Analisis Data ... 24

HASIL PENELITIAN ... 25

Karakteristik Subjek Penelitian ... 25

Perubahan Tingkat Harga Diri ... 26

Perubahan Tingkat Gejala Depresi ... 26

(8)

iv Kesadaran Diri ... 28 Penerimaan Diri ... 29 Pemecahan Masalah ... 30 Hubungan Sosial ... 31 PEMBAHASAN ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

REFERENSI ... 41

(9)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir ... 20

Gambar 2. Desain Penelitian ... 21

Gambar 3. Grafik Perubahan Tingkat Harga Diri ... 26

(10)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 51

Lampiran 2. Diagnosa DSM-5 ... 52

Lampiran 3. Modul Intervensi ... 55

Lampiran 4. Skala Rosenberg Self-Esteem Scale ... 69

Lampiran 5. Skala Beck Depression Inventory-II ... 70

Lampiran 6. Rancangan Intervensi dan Hasil ... 62

Lampiran 7. Data Kasar Skor Skala Harga Diri ... 73

Lampiran 8. Data Kasar Skor Skala Depresi ... 79

Lampiran 9. Perubahan Kondisi Harga Diri Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 80

Lampiran 10. Perubahan Kondisi Gejala Depresi Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 81

(11)

1

PENINGKATAN HARGA DIRI MELALUI TERAPI

EKSISTENSIAL UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI

Rullita Aristya Mintarsih (NIM, 201810500211008) rullita.aristyam15@gmail.com

Assoc. Prof. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog (NIDN, 0713016301) diah@umm.ac.id

Muhammad Salis Yuniardi, S.Psi., M.Psi., Ph.D (NIDN, 0705067701) salisyuniardi@gmail.com

Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK

Perasaan sedih, putus asa, kecewa, rasa bersalah, kehilangan minat dengan hidup atau aktivitas sehari-hari merupakan gejala-gejala dari perasaan depresi. Gejala depresi dapat terjadi karena individu cenderung mengisolasi diri dari lingkungan. Individu mengembangkan emosi negatif terhadap diri sendiri karena tidak dapat mengevaluasi diri secara positif dan selalu memandang diri sebagai sosok yang lemah, tidak berdaya, atau tidak mampu. Hal ini membuat mereka lebih mudah membandingkan diri dengan orang lain dan menghindari hubungan sosial, dengan kata lain individu memiliki harga diri rendah. Jadi, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan harga diri melalui terapi eksistensial dan teknik bibliotherapy yang akhirnya dapat menurunkan tingkat gejala depresi. Desain dari penelitian ini adalah

single case design dimana subjek penelitian ini yaitu seorang perempuan (23 tahun)

yang memiliki harga diri rendah dan tingkat gejala depresi berat. Hasil penelitian pada pengukuran pra intervensi dan pasca intervensi menunjukkan bahwa subjek mengalami peningkatan skor harga diri dari 8 (rendah) menjadi 12 (sedang). Sebaliknya, tingkat gejala depresi menunjukkan penurunan dari skor 35 (depresi berat) menjadi 8 (normal). Kesimpulannya, subjek dapat meningkatkan harga diri dan menurunkan tingkat gejala depresi setelah mengikuti terapi eksistensial yang ditandai dengan adanya kesadaran diri, penerimaan diri, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan mampu membangun hubungan sosial.

(12)

2

INCREASING SELF-ESTEEM THROUGH EXISTENTIAL

THERAPY TO REDUCE DEPRESSIVE SYMPTOMS

Rullita Aristya Mintarsih (NIM, 201810500211008) rullita.aristyam15@gmail.com

Assoc. Prof. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog (NIDN, 0713016301) diah@umm.ac.id

Muhammad Salis Yuniardi, M.Psi., Ph.D (NIDN, 0705067701) salisyuniardi@gmail.com

University of Muhammadiyah Malang

ABSTRACT

Feelings of sadness, hopelessness, disappointment, guilt, loss of interest in life or daily activities are depressive symptoms. Depressive symptoms can occur because individuals tend to isolate themselves from the environment and society. Individuals develop negative emotions towards themselves because they cannot evaluate themselves positively and always see themselves as weak, helpless, inadequate, or incapable. It makes them easier to compare themselves with others and avoid social relationships. Therefore, individuals have low self-esteem. This current study aims to increase self-esteem through existential therapy and bibliotherapy techniques that can ultimately reduce depressive symptoms. The design was a single case design in which the subject of this study is a woman (23 years old) who has low self-esteem and a high level of depression symptoms. The result was showed from the measurement of the subject's pre-intervention and post-intervention that the subjects experienced an increase in self-esteem scores from 8 (low) to 12 (moderate). By contrast, the depressive symptom level showed a decrease from a score of 35 (major depression) to 8 (normal). The conclusions indicated an increase in esteem and a low level of depressive symptoms. It has characterized by self-awareness, self-acceptance, problem-solving, and social relationships.

Keywords: Self-Esteem, Depression Symptoms, Existential Therapy, Bibliotherapy

(13)

3 PENDAHULUAN

Manusia sangat rentan terhadap gejala gangguan psikologis, dimana terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana emosi dan tindakan individu dalam mengatasi sebuah masalah atau perubahan fase kehidupan. Krisis perkembangan terjadi ketika individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan fase kehidupannya sehingga dapat mengancam eksistensi manusia, munculnya konflik, dan mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Tatala, 2009). Selain masalah perkembangan, masalah-masalah psikososial juga mampu mempengaruhi kerentanan psikologis bagi individu seperti adanya masalah pada pola hidup, hubungan dengan orang tua/keluarga, kehilangan, kondisi sosio-ekonomi, ketidakmampuan dalam berhubungan sosial, pendidikan, atau ketidakmampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.

Gangguan psikologis yang paling umum dialami oleh individu dan menjadi salah satu penyebab terjadinya disabilitas global adalah depresi, karena kasus depresi menjadi penyebab meningkatnya angka kematian hampir di seluruh dunia. Masalah-masalah psikologis ini dapat memicu meningkatnya kasus bunuh diri. Menurut data WHO tercatat bahwa Jepang, Korea Selatan, Rusia dan Lithuania adalah beberapa negara yang tercatat sebagai negara dengan kasus bunuh diri terbesar di dunia yang menjadi penyebab kematian. Indonesia juga diprediksikan oleh WHO pada tahun 2020 telah terjadi peningkatan 2,4 per 100.000 jiwa dan diperkirakan kasus bunuh diri bisa mencapai 1.800 kasus per tahun (World Health Organization/WHO, 2017).

Depresi dapat dirasakan oleh anak-anak hingga orang tua, namun remaja awal dan individu di bawah usia 30 tahun lebih cenderung mengalami depresi. Hal ini terjadi karena pada masa remaja awal dan dewasa awal terdapat banyak peristiwa yang mempengaruhi kehidupan yaitu perubahan perkembangan, perubahan fase kehidupan, dan tuntutan penyesuaian diri (Mundy et al., 2020). Sebuah survey yang dilakukan di U.S antara tahun 2010 hingga 2015 pada remaja usia 13 sampai 18 tahun meunjukkan adanya peningkatan rata-rata remaja yang mengalami gejala depresi, percobaan bunuh diri, dan tindakan bunuh diri, dalam survey ini remaja perempuan memiliki tingkat kerentanan yang lebih besar (Twenge, Joiner, Rogers, & Martin, 2017). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa

(14)

4

perempuan adalah individu yang paling rentan dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa depresi lebih banyak dialami oleh perempuan (Abdelati, Zaharim, & Mydin, 2014; Bhat, 2017; Bhowmik, Kumar, Srivastava, Paswan, & Dutta, 2012; Razzak, Harbi, & Ahli, 2019).

Gejala awal depresi muncul akibat seringnya individu mengalami stress, hambatan, dan kesulitan (Bembnowska & Jośko-Ochojska, 2015). Kehilangan minat, kehilangan kesenangan, kehilangan energi, perasaan sedih, merasa gagal, merasa bersalah, tidak berharga, tidak menyukai diri sendiri, agitasi, perubahan nafsu makan, perubahan pola makan, gangguan tidur, adanya pikiran atau keinginan untuk bunuh diri, dan kehilangan makna hidup merupakan ciri-ciri dari gejala depresif (Sorayah, 2015). Apabila gejala yang dirasakan semakin intens dan parah maka akan memunculkan yang disebut depressed mood atau dysphoria. Ini merupakan karakteristik utama untuk mendiagnosa gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder/MDD). Gejala yang ditunjukkan oleh gangguan depresi menurut DSM-V meliputi kehilangan minat pada aktivitas, perubahan pola tidur dan makan, perasaan bersalah, keputusasaan, kelelahan, kegelisahan, kehilangan konsentrasi, dan pikiran bunuh diri (American Psychiatric Association/APA, 2013; Maina, Mauri, & Rossi, 2016). Individu dapat memiliki pengalaman depresi yang bervariasi, bisa jadi satu individu mengalami kenaikan berat badan dan insomnia. Individu lainnya akan mengalami penurunan berat badan disertai dengan hypersomnia. Sedangkan, orang lain juga dapat mengalami penurunan dan peningkatan berat badan atau insomnia dan hypersomnia, namun pada waktu yang berbeda (Kanter, Busch, Weeks, & Landes, 2008).

Penjelasan tentang gejala depresi tentu tidak terlepas dari apa faktor yang menjadi penyebab dari munculnya permasalahan ini. Gejala depresi dapat terjadi karena dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi gejala depresi adalah usia, gender, adanya riwayat keluarga yang mengalami depresi, masalah kognitif, riwayat gangguan makan, penyakit kronis, rendahnya harga diri, adanya masalah pada hubungan interpersonal, dan adiksi terhadap alkohol/obat-obatan atau gadget. Faktor eksternal meliputi rendahnya status sosioekonomi/kesulitan finansial, pengalaman stressful/traumatik, pola pengasuhan orang tua, rendahnya dukungan sosial dan kondisi budaya atau

(15)

5

lingkungan (Bembnowska & Jośko-Ochojska, 2015; Dowd, 2004; Razzak et al., 2019). Data penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara harga diri dan tingkat depresi pada mahasiswa, selain itu harga diri memberikan pengaruh sebesar 7,3% pada tingkat depresi (Fitriah & Hariyono, 2019). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa harga diri memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan faktor kesepian terhadap depresi yaitu sebesar 28,3%, sedangkan faktor kesepian adalah 24,2%. Secara bersama, harga diri dan kesepian memberikan pengaruh sebesar 30,9% pada tinggi rendahnya tingkat depresi (Yusuf, 2016).

Individu yang mengalami gejala depresi cenderung merasa lemah, tidak berdaya, dan putus asa dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Perasaan ini akan menghambat keberfungsian, produktivitas, bahkan perkembangan. Hal ini terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan perubahan fase hidup, maka individu cenderung mengembangkan perasaan bersedih, tidak berdaya dan tidak berharga serta tidak memiliki motivasi untuk menjalankan aktivitas pribadi atau sosial (Fried & Nesse, 2014). Perasaan tidak berharga merupakan faktor yang paling sering dialami oleh individu dengan gejala depresi. Individu dengan harga diri rendah cenderung memberikan penilaian negatif tentang diri sendiri (Emler, 2001). Harga diri dapat terbentuk sejak masa pengasuhan orang tua, anak bisa belajar tentang penghargaan diri dengan menumbuhkan penerimaan diri. Jika, individu tidak menumbuhkan harga diri maka ia akan kesulitan untuk menilai dirinya sendiri secara positif (Maya, Soetjiningsih, Windiani, & Adnyana, 2018).

Setiap individu memiliki kelebihan, potensi, dan kekuatannya masing-masing untuk menjalani kehidupan dan terus berkembang maju dalam mencapai tujuan hidup. Akan tetapi, individu dengan harga diri rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Akhirnya, individu tersebut mudah menyerah untuk mengembangkan potensinya dan kehilangan arah karena tidak dapat menghargai apa yang dimilikinya. Strategi untuk meningkatkan harga diri menjadi penting bagi individu yang menunjukkan tanda-tanda harga diri rendah, kesehatan baik fisik atau mental yang buruk, dan kurangnya kemampuan dalam fungsi sehari-hari (Ventegodt et al., 2007). Individu akan memiliki tanggung jawab atas hidupnya sendiri, mampu mengatur dan

(16)

6

mengarahkan hidupnya untuk mencapai tujuan hidup, serta memiliki makna hidup dan merasa hidupnya lebih berarti, apabila mengalami peningkatan harga diri. Berdasarkan penjelasan tersebut, individu perlu meningkatkan harga dirinya agar tidak mengalami masalah psikologis seperti gejala depresi atau kecemasan.

Fenomena ini terjadi pada subjek yang menunjukkan ciri-ciri harga diri rendah dan rentan mengalami gejala depresi. Subjek dalam hal ini merasa dirinya tidak memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan teman-temannya. Ia menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu lulus tepat waktu seperti teman-temannya yang lain dan tidak segera mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan. Subjek mengalami kebingungan dalam menentukan apa yang diinginkannya dalam hidup, sehingga Subjek cenderung merasa tidak yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahan yang dialami oleh Subjek menghambat kondisi emosi, pikiran, dan perilaku dalam fungsi keseharian. Gejala pada emosi Subjek menunjukkan bahwa Subjek jadi mudah bersedih, merasa bersalah, tidak termotivasi, dan merasa dirinya tidak bermakna. Subjek juga memunculkan pikiran bahwa dirinya tidak mampu, tidak memiliki kelebihan dibandingkan orang lain, dan berpikir bahwa dirinya pasti gagal. Akibatnya, perilaku yang dimunculkan Subjek adalah menghindari situasi sosial, menghindar dalam mengambil kesempatan, dan mengisolasi diri.

Pengalaman yang dialami oleh subjek menunjukkan bahwa ia memiliki gejala depresi karena rendahnya harga diri. Subjek cenderung menilai negatif tentang dirinya, sehingga ia kehilangan makna hidup dan kurang menghargai potensi yang dimilikinya (Kleftaras & Psarra, 2012). Hal ini terjadi karena subjek memiliki sifat perfeksionis dimana ia selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan merasa kecewa ketika apa yang diharapkannya tidak terwujud. Individu yang menuntut kesempurnaan dalam hidup lebih rentan mengalami stress hingga mereka merasa atau menilai dirinya gagal ketika tidak mencapai tujuan tertentu. Tipe kepribadian ini cenderung mempengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan individu dalam menyikapi masalah. Akibatnya, seseorang yang selalu merasa semua harus sesuai harapan tidak dapat menerima kesalahan yang diperbuat oleh dirinya sendiri, hal ini memicu munculnya perasaan tidak berharga dan merendahkan diri sendiri atas kegagalannya (Besser, Flett, Hewitt, & Guez, 2008;

(17)

7

Hamza & Helal, 2012; Lessin & Pardo, 2017; Sevlever & Rice, 2010; Sherry, Sherry, Hewitt, Mushquash, & Flett, 2015).

Individu dengan permasalahan ini dapat mengancam motivasi hidup dan perasaan senang. Individu jadi sulit untuk mengaktualisasi diri atau menjadi pribadi yang utuh (Wardle, 2016). Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi untuk memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki keunikan dan potensi yang berbeda antara satu dan lainnya untuk mencapai tujuan hidup. Adanya tujuan hidup, dapat membuat individu mampu mengarahkan hidupnya dan memberikan makna dalam setiap aktivitas yang dijalaninya, sehingga ia akan lebih menghargai dirinya dan kehidupan yang sedang dijalaninya. Akan tetapi, bagi beberapa orang akan kesulitan untuk menemukan tujuan hidup ketika mereka tidak memiliki penghargaan diri (Reitinger & Schwaiger, 2017).

Individu yang merasa dirinya gagal, kecewa, pesimis, tidak berdaya, dan lebih fokus pada kelemahan akan cenderung menyebabkan mereka mengalami gejala depresi (Fitriah & Hariyono, 2019). Ini merupakan tanda bahwa individu memiliki penghargaan diri yang kurang sehingga ia cenderung memandang dirinya negatif, merasa dirinya tidak memiliki kemampuan, dan selalu membandingkan diri dengan orang lain. Individu dengan harga diri rendah merupakan salah satu gejala dari depresi yang dapat menyebabkan hambatan pada masalah psikososial, akademik, perkembangan, perilaku sosial, dan kemampuan belajar. Hal ini dapat menghambat eksistensi individu karena mereka akan mengalami ketidakpuasan dalam hidup dan cenderung mengisolasi diri dari kehidupan sosial sehingga mereka tidak dapat mengaktualisasi diri (Bas, Hamarta, & Koksal, 2014; Bembnowska & Jośko-Ochojska, 2015).

Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan efektifitas intervensi dalam meningkatkan harga diri dan menurunkan gejala depresi pada individu. Beberapa jenis metode intervensi yang efektif dilakukan diantaranya adalah

Cognitive Behavior Therapy/CBT (Damayanti & Nurjannah, 2016; Mcmanus,

Waite, & Shafran, 2009; Puig & Encinas, 2012; Rohde, 2005), Cognitive

Restructuring (Larsson, Hooper, Osborne, Bennett, & McHugh, 2016), Person Centered Therapy (von Humboldt & Leal, 2012), Logotherapy (Robatmili et al.,

(18)

8

Shafiabadi, 2013; Guigno, Miranda, & Hallmark, 2017; Hana, 2016; Maxwell & Gayle, 2013; Reitinger & Schwaiger, 2017; Sadati, Hosseini, Hakami, & Sadati, 2017; Walsh, Szymczynska, Taylor, & Priebe, 2018). Menurut beberapa data hasil penelitian, intervensi yang paling sering dan efektif digunakan untuk mengatasi permasalahan individu dengan harga diri rendah adalah terapi eksistensial.

Karakteristik dari terapi eksistensial adalah adanya pengalaman terapeutik yang berdampak positif pada kemampuan adaptasi dengan perasaan negatif

(self-distancing), kemampuan untuk memperluas batasan pribadi (self-transcendence),

kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility), sehingga individu dapat memberikan penilaian yang objektif terhadap diri dan lingkungannya (Haugan, Rannestad, Garåsen, Hammervold, & Espnes, 2012; Kross & Ayduk, 2017; Solobutina & Miyassarova, 2019). Meskipun, terdapat kelebihan dalam menerapkan terapi eksistensial, namun terapi ini juga memiliki kekurangan yaitu tidak adanya struktur dan teknik yang tegas dalam metodologinya, sehingga terapis lebih mengandalkan pada kemampuan subjek sepenuhnya. Untuk itu, penerapan terapi eksistensial perlu melibatkan teknik lain yang cukup relevan yaitu teknik

bibliotherapy.

Menurut Czernianin, Czernianin, & Chatzipentidis (2019), teknik dalam

bibliotherapy dapat dipertimbangkan menjadi salah satu metode pelengkap terapi

yang efektif. Teknik ini bertujuan untuk membantu menciptakan insight dan kesadaran terhadap masalah sehingga individu dapat memiliki pemahaman mendalam terkait masalah yang sedang dihadapinya. Teknik bibliotherapy memiliki efek terapeutik yaitu dapat menstimulus individu dalam mengekspresikan emosi/perasaan, mengurangi kecemasan mental, dan memfasilitasi perspektif baru berdasarkan media karya seni, karya sastra, literatur, cerita atau objek pengalaman estetika yang diberikan.

Oleh karena itu, terapi eksistensial dan teknik bibliotherapy diperlukan untuk meningkatkan harga diri individu. Strategi untuk meningkatkan harga diri dapat menja di kunci untuk mencapai kehidupan yang baru bagi individu yang kurang mampu berfungsi secara utuh, memiliki perasaan rendah diri, merasa tidak berdaya, tidak bermakna, dan rasa bersalah karena ketidak mampuannya dalam mengatasi masalah atau kekurangan yang dimilikinya (Ventegodt et al., 2007).

(19)

9

Dampak dari peningkatan harga diri ini akan menurunkan gejala depresi yang dirasakan oleh individu (Bas et al., 2014).

Berdasarakan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan harga diri diperlukan terapi eksistensial yang melibatkan teknik

bibliotherapy dalam penerapannya agar individu dapat menemukan makna hidup,

menentukan tujuan hidupnya, serta lebih menghargai kelebihan dan kekurangannya, sehingga gejala depresi pada individu tersebut dapat menurun seiring dengan meningkatnya harga diri. Jadi, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan harga diri pada individu dewasa melalui terapi eksistensial dan bibliotherapy dapat mengurangi gejala depresi?

KAJIAN PUSTAKA Gejala Depresi

Depresi adalah gangguan afektif yang paling umum dan paling banyak dialami oleh individu. Depresi terdiri dari lima manifestasi yang berbeda yaitu emosional, kognitif, motivasional, vegetatif & fisik, dan delusional (Dowd, 2004). Individu yang didiagnosa mengalami gejala depresi menunjukkan adanya perasaan sedih, keputusasaan, ketidak berdayaan, pikiran bunuh diri, rendahnya harga diri, dan tampak selalu pesimis (Bhat, 2017; Iyer & Khan, 2012). Gejala depresi akan dialami oleh individu sebagai akibat dari reaksi negatif terhadap situasi kehidupan. Gejala depresi berkembang ketika individu memunculkan reaksi negatif yang terjadi secara berulang-ulang dan intens. Depresi dapat dikategorikan menjadi depresi ringan, depresi moderate, dan depresi berat baik yang disertai dengan gejala psikotik seperti halusinasi dan/atau delusi maupun depresi tanpa gejala psikotik (Bhowmik et al., 2012).

Manusia umumnya dapat merasakan emosi positif dan negatif, seperti kegembiraan, frustasi, ketakutan, kebahagiaan, kemarahan, dan kesedihan yang mana terkadang emosi-emosi tersebut dapat dirasakan secara bersamaan (Robinson, Berman, & Neimeyer, 1990). Gejala depresi meliputi perasaan sedih (sadness,

grief, and pressed down) dan kehilangan rasa senang (lack of pleasure or anhedonia), tetapi perasaan itu saja tidak cukup untuk menegakkan sebuah

(20)

10

pengalaman individu yang terindikasi memiliki gangguan depresi (Kring, Johnson, Davidson, & Neale, 2012). Istilah depresi bukan hanya sebuah kata yang menjelaskan perasaan sedih atau terpuruk karena suatu kondisi dalam hidup, melainkan suatu kondisi yang memiliki banyak variasi gejala-gejala. Penyebab dari kondisi ini pun dapat bermacam-macam. Individu dapat merasakan depresi disaat mereka merasa hidup tidak memiliki arti, tidak memiliki harapan hidup, dan merasa kehilangan diri atau sosok yang dikasihi (Kanter et al., 2008).

Gejala depresi dapat disebabkan karena adanya sifat perfeksionis, karena individu yang tidak puas dengan dirinya atau segala sesuatu yang ada disekitarnya akan mengalami tekanan, sehingga muncul perasaan cemas dan depresi ketika keingin tersebut tidak terpenuhi (Lessin & Pardo, 2017; Melrose, 2011; Sevlever & Rice, 2010). Gejala depresi dapat dialami oleh individu yang menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya. Individu ini cenderung tidak dapat menerima kekurangannya dan merasa takut apabila melakukan kesalahan yang berdampak pada peristiwa memalukan. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepribadian perfeksionis dapat mengalami gejala depresi karena individu tidak dapat menerima kekurangan yang dimilikinya. Individu akan cenderung menghakimi dirinya sendiri jika ada hal yang tidak sesuai dengan harapannya. Ia mudah merasa tertekan dengan kesalahan kecil yang dilakukannya sehingga individu ini cenderung menghindari melakukan sesuatu yang dapat mempermalukannya di depan public (Sherry et al., 2015).

Jadi, secara umum, gejala depresi adalah reaksi normal yang muncul akibat peristiwa stressful dan rasa kekecewaan dalam hidup atau berbagai macam aspek kehidupan. Gejala depresi akan semakin parah jika dirasakan secara terus menerus. Individu yang mengalami gejala depresi hampir setiap hari dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan dapat mengembangkan depresi berat atau gangguan depresi klinis dimana diikuti dengan upaya melarikan diri dari realita dan masalah atau percobaan bunuh diri.

Faktor yang Mempengaruhi Depresi

Perasaan dan/atau gejala depresi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat muncul karena masalah-masalah internal dan eksternal. Artikel dari Bembnowska

(21)

11

& Jośko-Ochojska (2015) membahas tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab depresi pada individu dewasa, yaitu: a) faktor genetik – individu memiliki kerentanan karena adanya riwayat keluarga yang mengalami gangguan psikologi; b) faktor biologis – kemungkinan dapat disebabkan karena memiliki penyakit kronis yang sulit disembuhkan; c) faktor sosial dan pola hidup – termasuk dalam pengalaman traumatis, stress, kecanduan, kelelahan setelah seharian melakukan aktivitas, dan insomnia; d) pengaruh keluarga – hubungan antara orang tua dan anak yang kurang harmonis dapat memicu munculnya beberapa gejala depresi; e) lingkungan sekolah/pekerjaan – tingkat stress yang dirasakan dalam setting sekolah dan kantor disebabkan adanya kompetisi dan ekspektasi; f) faktor sosio kultural – gejala depresi yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, keagamaan, nilai-nilai sistem, kondisi sosial, pola perilaku; dan 7) faktor lain – dapat berupa terjadinya perubahan yang tiba-tiba seperti kehilangan, pindah tempat tinggal, sekolah, atau lainnya. Sedangkan faktor yang dapat memprediksi lama waktu penyembuhan untuk gejala depresi meliputi: onset Major Depressive Disroder, Riwayat ADHD, keterbatasan fungsi, keputusasaan, pikiran negatif, kelekatan orang tua, coping

skills, pikiran bunuh diri dan perilaku bermasalah orang tua (Rohde, Seeley,

Kaufman, Clarke, Gregory, & Stice, 2006).

Depresi dalam Perspektif Islam

Islam memandang kesehatan mental sebagai kemampuan setiap individu agar dapat mengelola fungsi-fungsi kejiwaan dan mampu menyesuaikan diri sendiri, orang lain, ataupun lingkungan sekitarnya secara harmonis berdasarkan pedoman hidup umat muslim yaitu Al-Quran dan Hadist. Ini menunjukkan bahwa religiusitas dan spiritualitas dalam Islam dapat menurunkan depresi dan kecemasan (Basri & Hong, 2014). Jadi, Islam memandang apabila individu yang mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian artinya jiwanya bermasalah dan jauh dari pedoman hidup. Islam mengajarkan manusia agar senantiasa menyerahkan diri kepada Allah SWT dalam segala keadaan, namun individu sering berkeluh kesah, sedih, hingga marah dengan keadaan yang menghimpitnya. Akibatnya, individu mudah menyalahkan keadaan yang sedang

(22)

12

dihadapinya, semakin jauh dari pedoman hidup, merasa tidak berarti, mudah putus asa, dan memutuskan untuk bunuh diri.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Quran, “Dan Janganlah kamu

bersedih (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Ali-Imran: 139). Allah

menciptakan manusia dengan derajat yang tinggi, artinya manusia itu lebih berharga dari dunia dan seisinya jika ia dapat mengetahui. Akan tetapi, terkadang manusia dapat merasa kurang cukup dengan apa yang dimilikinya sehingga ia bersedih dan berkeluh kesah, padahal Allah SWT telah menjanjikan kebaikan bagi setiap hambanya tanpa peduli kedudukan. Seperti yang dijelaskan dalam ayat,

“…Jangalah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (Q.S. Fushshilat: 30). Untuk itu, sebenarnya manusia yang beriman

tidak memiliki alasan untuk merasa sedih karena janji Allah selalu benar.

Rasa sedih yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang mudah berputus asa terhadap hidupnya, serta sulit menjalani kehidupan dengan hati yang tenteram dan damai. Jadi, manusia seharusnya mampu mengatasi masalahnya karena Allah tidak pernah memberikan kesulitan diatas batas kemampuan hamba-Nya. Tiap manusia yang tidak menyerah dengan hidupnya pasti akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT seperti dijelaskan dalam Al-Quran, “Wahai anak-anakku! Pergilah

kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Yusuf: 87). Psikologi dalam perspektif

Islam menawarkan beberapa alternatif terapi untuk dapat mengatasi masalah/gangguan psikologis pada individu yang memiliki masalah kesehatan mental yaitu dengan menerapkan ibadah sholat, dzikir, membaca Al-Quran, puasa, dan ibadah lainnya sebagai modalitas dalam psikoterapi (Ariadi, 2013).

Harga Diri

Rosenberg mendefinisikan harga diri sebagai suatu evaluasi positif atau negatif terhadap diri sendiri secara keseluruhan. Harga diri terbentuk dari penilaian terhadap diri dan komparasi sosial. Individu melakukan penilaian terhadap diri

(23)

13

berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah dialami atau memperoleh penilaian berdasarkan standar yang telah ditentukan di masyarakat. Aspek-aspek dalam harga diri mencakup self-competence yaitu evaluasi terhadap kelebihan dan kekurangan diri secara keseluruhan apakah individu memiliki kompetensi yang bagus atau tidak; dan self-liking yaitu evaluasi terhadap keseluruhan diri yang dapat diterima atau tidak (Pyszczynski & Kesebir, 2013).

Individu yang memiliki pandangan negatif terhadap dirinya, umumnya memiliki harga diri rendah dan cenderung lebih rentan terhadap gangguan depresi, penggunaan obat-obatan, dan perilaku menghindar dari situasi sosial. Individu dengan harga diri rendah juga memiliki hambatan dalam menjalin hubungan sosial, membandingkan diri dengan orang lain, dan kurang proaktif dalam menentukan/mengarahkan hidup. Harga diri rendah merupakan prediktor dari meningkatkan perasaan sedih, rasa takut, dan kehilangan harapan (Ciarrochi, Heaven, & Davies, 2007). Sedangkan harga diri yang tinggi akan meningkatkan afeksi positif dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya (Baumeister, Campbell, Krueger, & Vohs, 2003).

Ciri-ciri individu dengan harga diri tinggi adalah individu yang memiliki inisiatif, resiliensi, perasaan puas terhadap dirinya sendiri, dan memiliki kemampuan interpersonal yang baik. Individu ini memiliki rasa percaya diri yang membuat mereka mudah disukai dan menarik bagi orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa harga diri yang tinggi dapat mencerminkan kondisi pribadi yang positif, dimana individu dapat menunjukkan sikap positif dalam menghadapi masalah dan berinteraksi dengan orang lain (Baumeister et al., 2003; Srisayekti, Setiady, & Sanitioso, 2015). Akan tetapi, individu yang mengharapkan kesempurnaan tetapi tidak dapat memenuhinya akan cenderung rendah harga dirinya. Harga diri seseorang dapat terancam ketika mereka mengalami kegagalan atau kekecewaan yang menyebabkan harga diri menurun. Situasi dimana individu perlu mempertahankan harga diri ini terkadang menyebabkan mereka memandang rendah orang lain dan membanggakan kesuksesan, kelebihan, dan sifat baiknya secara berlebihan. Akibatnya, individu menunjukkan reaksi seperti ‘menjatuhkan’ orang lain. Disisi lain individu juga dapat mengkritik dirinya sendiri atas kegagalan yang dialaminya (Besser et al., 2008; Dunkley, Berg, & Zuroff, 2012; Neff, 2003).

(24)

14

Secara umum, harga diri merupakan kondisi dimana individu memberikan penilaian secara subjektif tentang diri dan kehidupannya. Harga diri pada remaja dapat berkorelasi positif dengan pola asuh demokratis ibu karena didominasi oleh perhatian, kasih sayang, dan kelekatan emosional antara ibu dan anak. Individu yang mendapatkan rasa kasih sayang ini akan merasa dirinya berharga, bernilai, dan penuh harapan yang realistis terhadap diri dan kehidupannya. Sebaliknya, jika pola asuh orang tua yang mengkritik, menghukum, tidak puas, dan tidak percaya dengan kemampuan anak maka akan dapat menghambat terbentuknya harga diri yang positif (Maya et al., 2018).

Harga diri dan hubungan sosial dapat saling mempengaruhi. Hubungan sosial berperan dalam menentukan tingkat harga diri individu, dan sebaliknya tingkat harga diri juga berpengaruh terhadap peningkatan hubungan sosial seseorang (Harris & Orth, 2019; Sa’ari & Harun, 2018). Harga diri seseorang dapat berubah berdasarkan tingkat penerimaan orang lain dan bagaimana individu memandang diri melalui perspektif orang lain. Individu dengan harga diri rendah akan cenderung menarik diri dari situasi sosial dimana mereka memiliki keyakinan internal akan ketidak berhargaan dan ketidak mampuan diri. Individu yang memandang dirinya rendah akan kesulitan untuk mengembangkan diri sehingga mereka semakin jauh dari tujuan hidup. Oleh karena itu, untuk meningkatkan harga diri, individu perlu merasakan kebebasan dalam menentukan tujuan hidup, situasi sosial yang mendukung, dan hubungan positif dengan orang lain.

Pandangan Islam Terhadap Harga Diri

Menurut pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang mulia dan memiliki kelebihan serta kekuatannya masing-masing. Manusia dianugerahi kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan serta mampu mencapai keberhasilan sesuai dengan usaha yang ditunjukkannya. Tetapi, ketika individu tidak mendapatkan keberhasilan seperti orang lain maka, mereka akan merasa tidak lebih mampu dibandingkan orang lain. Artinya mereka tidak dapat menghargai apa yang telah didapatkannya. Seperti penjelasan dalam ayat Al-Quran, “Dan jangalah kamu iri

hati terhadap karunia yang telah Dilebihkan Allah kepada Sebagian kamu atas Sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka

(25)

15

usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah Sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa’: 32). Individu yang cenderung kurang

menghargai diri akan menyebabkan mereka merasa tidak mampu, hina, dan tidak dapat mencapai tujuan, hal ini dapat berpengaruh pada kualitas dan perkembangan hidupnya (Abarghooi & Abarghooi, 2013).

Sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini, “Dan sungguh, Kami telah

memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami Beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami Ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q.S.

Al-Isra’: 70). Hal ini berarti, sesuai janji Allah bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, mereka dapat berfungsi secara utuh apabila mampu memberikan pandangan positif dan memberikan penghargaan pada diri sebagai individu yang hidup. Ketika individu kehilangan makna hidupnya dan hanya melihat sisi negatif dalam dirinya, maka akan sulit bagi mereka untuk melanjutkan hidup. Islam memandang harga diri sangat penting bagi manusia karena pengakuan dan kepercayaan diri adalah proses pecapaian sikap dan keyakinan yang dibutuhkan dalam hubungan di masyarakat. Selain itu, individu dapat menjadi lebih percaya dan mengandalkan Tuhan ketika mereka dalam keadaan suka ataupun duka. Jadi, mereka dapat mencegah masalah kesehatan fisik atau mental (Ghodrati, 2016; Sa’ari & Harun, 2018).

Terapi Eksistensial dan Teknik Bibliotherapy

Berdasarkan pendekatan humanistik menurut Maslow, individu memiliki kebebasan dalam menentukan nasibnya, mengambil keputusan, dan mengaktualisasikan diri. Pandangan Frankl juga berfokus pada tiga asumsi dasar yaitu freedom of will (kebebasan bersikap dan berkehendak), will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna), dan meaning of life (makna hidup). Sedangkan hakikat eksistensi bagi manusia adalah adanya faktor spiritualitas, kebebasan, dan tanggung jawab. Jadi, individu memiliki tanggung jawab untuk mencari makna hidup dan menyesuaikan diri dengan dunianya sendiri atau orang lain terlepas dari

(26)

16

adanya perasaan cemas sebagai suatu unsur dasar, hal ini dilakukan karena manusia memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasi diri (Corey, 2013).

Eksistensial membahas tentang bagaimana hubungan individu dengan dunianya sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Individu memiliki hubungan dengan dunia biologisnya (umwelt), dunia sosialnya (mitwelt), dan dunianya sendiri (eigenwelt). Ketiga dunia tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Ketika manusia menyadari pentingnya ketiga dunia tersebut maka akan muncul penilaian terhadap diri dan dunianya secara positif sehingga mereka dapat menyadari keunikannya dan mampu mencapai aktualisasi diri (Misiak & Sexton, 2009).

Pendekatan pada terapi eksistensial, menekankan pada proses perenungan tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh (Sharf, 2016). Menurut Rolo May, psikologi eksistensial berfokus pada manusia yang dapat berfungsi secara utuh dengan adanya pengaruh sosial, budaya, dan pengalaman individu itu sendiri. Fokus utamanya adalah untuk memahami manusia, kapasitas mereka di dalam hidup, dan keterbatasan yang menghalangi kapasitas manusia secara utuh (Pitchford, 2009). Individu pada dasarnya dapat memandang secara positif atau negatif tentang kehidupannya secara keseluruhan. Penilaian negatif tentu akan berdampak pada kehilangan arah dalam menentukan tujuan. Hal ini membuat individu kesulitan untuk mengambil keputusan yang tepat bagi kehidupannya dan mulai memunculkan emosi-emosi negatif. Selain itu, individu yang memandang kehidupannya dengan penilaian negatif akan sulit untuk menggali potensi yang ada dalam dirinya serta sulit mengaktualisasikan diri (Nigesh & Saranya, 2017).

Terapi eksistensial dapat diterapkan dalam mengatasi masalah psikologis karena intervensi ini dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan tanggung jawab diri, menuntun individu dalam pencarian makna hidup serta mengembangkan kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Rey, 2018). Kelebihan terapi eksistensial dibandingkan dengan jenis terapi lain adalah terapi ini lebih berfokus pada masa sekarang daripada peristiwa di masa lalu serta dapat menyadarkan individu bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang menakutkan. Terapi ini juga bersifat nondirective dimana individu mendapatkan kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan sikap dan tindakan apa yang diharapkan, tetapi

(27)

17

individu harus berani untuk bertanggung jawab dengan konsekuensi dari apa yang dilakukan. Hal ini diperlukan karena setiap individu memiliki tanggung jawab atas kehidupannya sendiri sehingga tugas psikoterapis adalah mendorong individu menemukan jalan untuk memahami dunianya sendiri (Hasna, 2019).

Kelebihan lain dari terapi eksistensial adalah pendekatan ini lebih cocok digunakan untuk masalah terkait karir, kegagalan, pengucilan atau isolasi diri dari pergaulan, ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menuju dewasa. Meski demikain, terapi ini juga memiliki kekurangan yaitu metodologi dari teknik eksistensial kurang terstruktur dengan jelas dan tidak adanya teknik yang tegas seperti halnya CBT, psikoterapis akan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada kemampuan individu jadi terapis tidak dapat mengarahkan secara berlebihan kepada individu (person centered). Teknik terapeutik dalam terapi eksistensial dapat dianggap suatu hambatan dalam memahami individu, hal ini menjadikan terapi eksistensial membutuhkan waktu yang lama. Selain itu tidak semua karakteristik masalah atau subjek dapat menggunakan jenis intervensi nondirective sehingga perlu adanya penyesuaian dalam menerapkan teknik terapeutik bagi individu-individu tertentu (Vos, Craig, & Cooper, 2015). Untuk itu, dalam terapi eksistensial ini perlu diterapkan satu teknik dari psikoterapi lain yang memiliki efek psikoterapeutik dan dapat membantu individu mendapatkan pemahaman mendalam (insight), sehingga individu dapat lebih mudah memahami dan menyadari permasalahan yang sedang dialaminya.

Biblioterapi merupakan psikoterapi yang tidak dapat berdiri sendiri. Namun, teknik-teknik dan beberapa elemen yang terdapat dalam metode biblioterapi mampu memberikan dampak psikoterapeutik. Efek terapeutik ini dapat membantu masalah pasien dengan gangguan ataupun individu normal (Czernianin et al., 2019). Teknik ini mampu menstabilkan emosi individu yang mengalami gangguan emosi, perasaan bersedih, hingga depresi sehingga tercipta perasaan dan perilaku positif karena adanya pengaruh positif pada proses berpikir, emosi, dan sosial.

Proses terjadinya efek terapeutik dalam penerapan teknik biblioterapi diantaranya 1) proses mengidentifikasi dimana individu dapat mengenali penyebab dari masalahnya. 2) Katarsis dimana individu dapat mengekspresikan emosi untuk

(28)

18

melepaskan perasaan tidak nyaman atau cemas. 3) Insight dimana individu memahami bagaimana proses suatu masalah berdampak pada masalah lainnya. 4) Individu dapat menggeneralisasikan pengalamannya dengan orang lain. 5) Kemampuan integrasi dimana individu mampu mengintegrasikan solusi yang didapat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti teknik biblioterapi dapat dijadikan sebagai pelengkap terapi eksistensial untuk membantu kemampuan

problem solving individu, meningkatkan self-compassion, mengembangkan

empati, dan meningkatkan kesadaran diri (McCulliss, 2012; Pehrsson & Mcmillen, 2005).

Pemberian teknik bibliotherapy dapat berupa bacaan (buku fiksi, nonfiksi, atau puisi) atau audiovisual (menonton film/video, membuat karya seni, dan menulis) yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah emosional atau gangguan mental. Bibliotherapy dapat diberikan kepada kelompok usia yang bervariasi, pasien dengan masalah/gangguan psikologis, atau individu yang sehat. Teknik ini bermanfaat untuk mendorong refleksi diri, penyembuhan (healing), dan pengembangan diri (Karpova, 2016; McCulliss, 2012; Pehrsson & Mcmillen, 2007). Teknik dalam bibliotherapy meliputi empat tahap yaitu a) recognition – mengenal cerita dalam video, b) examination – menguji pemahaman tentang konten video, c) juxtaposition – membandingkan kondisi diri dengan tokoh yang ada dalam video, dan d) application to self – menerapkan tindakan tokoh di video dalam kehidupan sehari-hari (Lucas & Soares, 2013; Purwanto, 2015).

Kelebihan dari teknik bibliotherapy adalah a) untuk menyampaikan informasi terkait masalah yang sedang dialami, b) memberikan pemahaman (insight), c) mendorong terciptanya diskusi, d) membahas tentang sikap dan moral yang dapat diambil, e) membangun kesadaran (awareness) bahwa orang lain mampu menemukan solusi untuk masalah yang sama seperti pengalamannya, dan f) menyediakan alternatif solusi dari masalahnya (Herlina, 2012).

Pengaruh Terapi Eksistensial terhadap Harga Diri dan Gejala Depresi

Akibat dari seseorang yang tidak dapat memaknai hidup, dapat memberikan tekanan psikologis bagi kehidupan sehari-hari. Sehingga memunculkan reaksi emosional seperti cemas, khawatir, takut, sedih, dan depresi serta rendahnya

(29)

19

motivasi dalam aktivitas sosial maupun pribadi (Bhat, 2017; Kleftaras & Psarra, 2012). Kondisi yang menyebabkan seseorang merasa dirinya tidak mampu mengatasi tekanan, selalu membandingkan diri dengan orang lain, dan merasa tidak berarti dalam hidupnya akan membuat individu kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidup, merasa sedih, cemas, kesepian, tidak memiliki harapan akan hidup, dengan kata lain individu ini menunjukan gejala depresi. Hal ini menyebabkan seseorang yang memiliki harga diri rendah dan tidak mampu memaknai hidup cenderung mengalami gejala-gejala depresi (Fitriah & Hariyono, 2019; Ventegodt et al., 2007).

Seseorang dengan harga diri rendah lebih cenderung merasa tidak berharga dan tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan potensi dirinya, ia cenderung menghindari situasi-situasi yang melibatkan hubungan sosial karena adanya pandangan negatif terhadap diri sendiri. Individu akan merasa kecewa, gagal, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak puas dengan diri sendiri atau hidupnya, tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan, dan merasa kesulitan saat membangun hubungan dengan orang lain (Bas et al., 2014; Ginting, Näring, Van Der Veld, Srisayekti, & Becker, 2013). Masalah-masalah tersebut dapat mempengaruhi penghargaan diri dan sikap yang ditunjukkannya. Individu akan lebih mudah mengisolasi diri saat ia merasa tidak mampu mengatasi masalahnya, akibatnya hal ini dapat berdampak buruk pada eksistensi mereka dalam hidup.

Adanya pengalaman psikoterapeutik melalui hubungan antara individu dengan terapis akan merangsang penghargaan diri individu, akhirnya ia dapat merasakan kepuasan terhadap hidup. Individu juga dapat meningkatkan kemampuan resiliensi, semakin memahami kebutuhan personal, dan mampu meningkatkan kemampuan interpersonalnya berdasarkan pengalaman orang lain (Nigesh & Saranya, 2017; Solobutina & Miyassarova, 2019; Sudani & Suarni, 2013). Perubahan positif yang diperoleh dari hubungan antara terapi eksistensial dengan harga diri ini dapat mengurangi munculnya gejala-gejala depresi.

(30)

20 Kerangka Berpikir

Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat harga diri sebelum dan setelah diberikan terapi eksistensial dan teknik terapeutik bibliotherapy pada individu yang memiliki gejala depresi dengan ciri-ciri kehilangan minat untuk beraktivitas sosial, memiliki perasaan benci pada diri sendiri, dan ketidakmampuan dalam mengekspresikan kesedihannya.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini adalah single case research design dimana subjek diberikan intervensi berupa terapi eksistensial dengan teknik bibliotherapy setelah diketahui hasil sebelum intervensi dan kemudian dilakukan pengukuran pasca intervensi untuk mengetahui ada tidaknya perubahan yang terjadi setelah diberikan intervensi. Selanjutnya dilakukan follow up sebanyak dua kali yaitu dua bulan setelah intervensi dan 8 bulan setelah follow up pertama. Perubahan skor pra dan pasca intervensi dijelaskan dengan cara yang relatif langsung menggunakan data-data statistik sederhana (Gerring & McDermott, 2007; Sjödén, 1988). Data dapat diperoleh dari pengukuran dengan skala dan wawancara mendalam terkait harga diri dan gejala depresif yang dimiliki oleh subjek penelitian.

Penelitian single case dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan perilaku dan fungsi dari hubungan antara intervensi dan hasil intervensi. Penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian studi kasus yang memaparkan deskripsi Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Terapi Eksistensial dan Teknik

Bibliotherapy

Terapi berfokus pada situasi ‘here

and now’ untuk memberikan

kesadaran (awareness), yang dikombinasikan dengan teknik

biblioterapi agar individu mendapatkan pemahaman mendalam (insight) terkait masalah

yang dihadapi.

Harga Diri (x)

Penilaian individu tentang diri dan sikap terhadap diri yang dapat berupa penilaian

positif ataupun negatif.

Gejala Depresi (y)

Gejala psikologis yang menunjukkan adanya perubahan dalam emosi, perilaku,

dan kognitif individu secara negatif dan mempengaruhi keberfungsian hidup.

(31)

21

unit data tunggal yang berkaitan dengan masalah-masalah klinis individu secara kualitatif untuk menghasilkan tema-tema berdasarkan hasil penelitian (L. L. Cohen, Feinstein, Masuda, & Vowles, 2014; Tarlow, Mccord, Nelon, & Bernhard, 2020).

Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjenis kelamin perempuan yang berusia 23 tahun. Subjek diperoleh berdasarkan purposive sampling dengan kriteria subjek memiliki kecenderungan harga diri rendah dan tingkat gejala depresi tinggi. Kriteria ini diperoleh dari hasil observasi, wawancara, pengukuran skala, tes psikologi dan kriteria gangguan klinis berdasarkan DSM-V untuk menegakkan diagnosis. Pengambilan data ini dilakukan secara individual sehingga data yang diperoleh merupakan subjek yang tunggal.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Harga diri adalah variabel x yaitu kemampuan seseorang dalam mengevaluasi diri dan merefleksikan diri menggunakan pandangan positif terhadap diri sendiri atau kehidupannya. Alat ukur harga diri dikembangkan berdasarkan teori self-esteem oleh Rosenberg (1965). Untuk itu, skala ini diberi nama Rosenberg Self-Esteem

Scale (RSES). Skala harga diri dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan

rendah. Alat ukur ini berupa skala likert dengan empat pilihan jawaban yaitu, Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju. RSES memiliki 10 item dengan skala interval. Aturan pemberian skor ini ditentukan berdasarkan butir-butir pernyataan favorable pada item nomor: 1, 3, 4, 7, dan 10. Untuk butir-butir-butir-butir pernyataan unfavorable pada item nomor: 2, 5, 6, 8, dan 9 (Wicaksana & Suwartono, 2012). Semakin besar skor total artinya individu memiliki harga diri yang tinggi. Skala harga diri yang digunakan telah dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia. Berdasarkan uji validitas konstruk pada RSES yang dilakukan oleh Maroqi (2018) dengan menggunakan confirmatory factor analysis (CFA) Gambar 2. Desain Penelitian

Pra intervensi (A) Intervensi (B) Pasca intervensi (A’)

(32)

22

menunjukkan bahwa skala self-esteem adalah skala yang bersifat unidimensional dan hanya terdapat 7 item dari 10 item yang mengukur satu faktor saja yaitu harga diri. Korelasi antar kesalahan pengukuran item ditemukan pada nomor item 2, 5 dan 8 karena item ini memiliki muatan negatif dan tidak signifikan. Jadi, 3 item tidak akan diikutsertakan dalam menentukan true score. Reliabilitas Cronbach’s alpha dari skala harga diri versi Indonesia adalah 0.9024 (Maya et al., 2018).

Gejala depresi adalah variabel y yaitu gejala-gejala psikologis dan fisik yang ditandai dengan kehilangan minat dan kesenangan, gangguan makan, gangguan tidur, sulit konsentrasi, perasaan sedih, perasaan bersalah, rendah diri, dan yang paling berat adalah gejala munculnya pikiran bunuh diri. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan BDI (Beck Depression Inventory) oleh Beck di tahun 1967 dan ditelah direvisi oleh Steer & Brown pada tahun 1996 dengan nama BDI-II untuk mengukur tingkat depresi individu. Terdapat enam kategori dalam menentukan tingkat depresi yaitu normal, gangguan mood ringan, ambang depresi klinis, depresi sedang, depresi berat, dan depresi ekstrim/parah. Semakin besar skor total dari hasil pengukuran ini menunjukkan tingkat depresi parah. Skala ini telah dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia. Berdasarkan uji statistik confirmatory factor

analysis (CFA) oleh Sorayah (2015) didapatkan hasil bahwa 21 item BDI-II dapat

digunakan karena seluruh item bernilai signifikan dan tidak memiliki satupun muatan faktor negatif. Akan tetapi, terdapat item yang juga mengukur faktor lain artinya multidimensional item. Sehingga pada item nomor 4, 5 dan 20 perlu dipertimbangkan untuk mengukur true score agar dapat digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosa tingkat depresi dengan benar. Untuk nilai Cronbach’s alpha dari skala depresi versi Indonesia adalah 0.90 (Ginting et al., 2013).

Prosedur Penelitian

Tahap persiapan yaitu, 1) Menyiapkan skala RSES (Rosenberg Self-Esteem Scale) dan BDI-II (Beck Depression Inventory II) dalam Bahasa Indonesia. 2) Memberikan informed consent sebagai bukti bahwa subjek telah menyepakati ketentuan dan apa yang akan didapatkannya selama proses asesmen dan intervensi. 3) Menyiapkan rancangan asesmen seperti observasi, wawancara, tes inteligensi

(33)

23

(DAP), house tree person (HTP), dan draw a tree (BAUM) untuk mengetahui gambaran kepribadian, serta kriteria DSM-V tentang gejala gangguan depresi yang bertujuan untuk menegakan diagnosis terkait permasalahan subjek penelitian. Selanjutnya, 4) Menyusun rancangan dan modul intervensi agar tahapan intervensi dapat terstruktur dan sistematis.

Tahap pelaksanaan, melaksanakan prosedur intervensi dalam 6 sesi yaitu Sesi 1, menetapkan tujuan, kontrak, dan building rapport. Sesi ini dilakukan dalam durasi 90 menit yang memiliki tujuan yaitu untuk menentukan bersama tujuan atau target yang ingin dicapai antara subjek dan terapis. Serta menyepakati kontrak yang dibuat bersama.

Sesi 2, identifikasi masalah dan penemuan makna hidup. Sesi yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah subjek selanjutnya menjelaskan tentang penyebab dan dampak dari permasalahan tersebut. Subjek diminta untuk menuliskan kelebihan dan kekurangannya, serta tujuan hidup yang dimiliki oleh subjek. Sesi ini berlangsung selama 90 menit.

Sesi 3, penerapan teknik bibliotherapy yang terdiri dari beberapa tahap yaitu a) recognition – mengetahui cerita dalam video, b) examination – memahami konten video, c) juxtaposition – membandingkan kondisi diri dengan tokoh yang ada dalam video, dan d) application to self – menerapkan perilaku dan sikap tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Teknik biblio dengan menunjukkan video merupakan bagian dari terapi eksistensial yang berfungsi sebagai penguat teknik eksistensial. Teknik ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman (insight) subjek terhadap permasalahan yang dihadapinya melalui media berupa video. Sesi yang berdurasi 90 menit ini, diharapkan mampu menumbuhkan motivasi internal subjek dalam memahami tentang dirinya lebih baik serta dapat memberikan insight pada subjek tentang solusi yang dapat diterapkannya dalam sehari-hari.

Sesi 4, eksplorasi diri dan penugasan. Tujuan dari sesi ini adalah untuk menemukan potensi-potensi yang dimiliki subjek sehingga ia mampu membuat perencanaan kegiatan sehari-hari ataupun tujuan hidupnya. Subjek menentukan beberapa kegiatan positif yang dapat dilakukannya tanpa perlu merasa khawatir dengan pendapat orang lain ataupun pikiran negatif yang dimilikinya. Durasi dari sesi ini adalah selama 90 menit.

(34)

24

Sesi 5, evaluasi dan terminasi. Sesi ini bertujuan untuk megevaluasi apakah kedua intervensi yang diberikan telah mencapai target atau tujuan intervensi. Apabila telah terdapat perubahan dalam hal perilaku dan sikap subjek yang tampak, maka intervensi dapat diakhiri jika subjek telah mendapatkan insight terkait permasalahan, mampu mengevaluasi hidupnya, menentukan sendiri solusi yang akan dilakukannya, dan memiliki kesadaran akan tanggung jawab terhadap kehidupan dirinya sendiri maupun orang-orang disekitarnya, seperti keluarga. Sesi ini dilakukan selama 60 menit.

Sesi terakhir yang dilakukan adalah follow up yaitu untuk mengevaluasi apakah terdapat perkembangan yang signifikan terkait harga diri dan juga gejala depresi subjek selama kurun waktu dua bulan dan delapan bulan setelah dilakukan intervensi. Pada sesi ini dilakukan secara virtual, dikarenakan kondisi pandemi yang menyebabkan adanya kesulitan untuk melakukan pengambilan data secara langsung. Jadi, follow up hanya bisa dilakukan secara virtual yaitu melalui pengisian skala harga diri dan gejala depresi dengan menggunakan google form. Selanjutnya dilakukan tahap wawancara secara virtual atau daring.

Tahap pelaporan, pada tahap ini dilakukan pengolahan data secara kuantitatif dan kualitatif dari hasil skor tingkat harga diri dan gejala depresi serta hasil setiap sesi-sesi yang telah dilakukan. Setelah itu, hasil penelitian dibahas menggunakan bukti-bukti hasil penelitian yang relevan.

Analisis Data

Analisa data secara deskriptif kuantitatif digunakan untuk melihat dan membandingkan perubahan skor sebelum dan sesudah intervensi dari skala harga diri. Ini dimaksudkan untuk mengetahui ada/tidaknya perubahan harga diri setelah subjek mendapatkan intervensi yang berupa terapi eksistensial. Selanjutnya, analisa data yang sama digunakan untuk mengetahui perubahan tingkat gejala depresi dengan membandingkan hasil skor sebelum dan sesudah intervensi untuk skala depresi, serta membandingkan hasil skor sesudah intervensi dengan hasil skor

follow up pada skala harga diri dan depresi.

Setelah dilakukan analisa data secara kuantitatif selanjutnya, dilakukan analisa data secara kualitatif yaitu mereduksi data dan menemukan tema-tema

(35)

25

berdasarkan perubahan sebelum dan sesudah intervensi untuk menggambarkan kondisi harga diri dan gejala depresi yang dirasakan oleh subjek selama proses intervensi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran perubahan kondisi harga diri dan gejala depresi subjek secara detail dan jelas berdasarkan tema-tema yang ditemukan.

HASIL PENELITIAN

Karaktersitik Subjek Penelitian

Subjek adalah perempuan berusia 23 tahun yang telah lulus kuliah namun belum mendapatkan pekerjaan. Sejak Subjek tertinggal lulus kuliahnya dibandingkan dengan teman-teman, Subjek kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidup atau melakukan aktivitas sehari-hari. Ia cenderung memandang dirinya secara negatif, menganggap dirinya tidak berdaya dan tidak lebih baik dibandingkan orang lain. Subjek kurang mampu menentukan apa yang diinginkannya dan bingung menentukan tujuan hidupnya. Sehingga membuat Subjek kesulitan untuk mencari pekerjaan. Ia selalu berusaha menghindar saat akan mengikuti wawancara kerja karena takut ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan tersebut dan takut berinteraksi dengan orang lain.

Subjek merasa takut ketika akan menemui orang lain karena ia tidak bisa memulai atau mempertahankan obrolan, ia juga selalu memikirkan penilaian orang lain tentang dirinya. Perasaan ini membuat Subjek ingin menghindar saat akan bertemu dengan orang lain. Setiap kali Subjek diajak berkumpul dengan teman-temannya, ia sering beralasan agar tidak datang atau ia lebih banyak diam ketika berkumpul. Aktivitas sehari-hari yang Subjek lakukan adalah menonton, ia bisa menghabiskan seluruh waktunya dalam satu hari di dalam kamarnya, tanpa melakukan aktivitas yang berarti.

Berdasarkan hasil tes grafis, Subjek memiliki pandangan terhadap diri yang tampak kabur, ia tidak percaya diri, dan meragukan kemampuannya sendiri. Subjek juga menunjukkan gejala kehilangan minat pada aktivitasnya dan tampak murung/sedih seharian. Subjek kurang termotivasi untuk menjalani hidup dan sulit menjalin hubungan sosial, akibatnya ia cenderung menghindar atau menarik diri dari hubungan sosial. Hal ini terjadi karena Subjek sering membandingkan dirinya

(36)

26

dengan orang lain, memberikan penilaian negatif terhadap dirinya, dan menggangap dirinya tidak mampu.

Perubahan Tingkat Harga Diri

Berdasarkan perubahan hasil skor skala harga diri sebelum intervensi hingga follow

up-2 dapat dilihat sebagaimana Gambar 3, di bawah ini:

Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari pertama kali skor diperoleh hingga follow up. Skor harga diri subjek sebelum intervensi adalah 8 yang masuk dalam kategori rendah. Skor meningkat menjadi 12 dengan kategori sedang setelah dilakukan intervensi. Pengukuran skala harga diri pada follow up-1 (dua bulan setelah intervensi) skor tidak mengalami peningkatan atau penurunan, nilai skor harga diri sama seperti pada saat pasca intervensi yaitu 12 (ringan). Pengukuran keempat pada follow up-2 (delapan bulan setelah intervensi) didapatkan hasil skor harga diri adalah 17 dimana subjek berada pada batas kategori harga diri tinggi. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa subjek mengalami peningkatan harga diri yang semula memiliki skor 8 menjadi 17 atau yang semula subjek dalam kategori rendah menjadi kategori tinggi untuk harga diri.

Perubahan Tingkat Gejala Depresi

Berdasarkan perubahan hasil skor skala tingkat depresi dari sebelum intervensi sampai follow up-2 dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:

8 12 12 17 0 5 10 15 20 P r a I n t e r v e n s i P a s c a I n t e r v e n s i F o l l o w u p - 1 F o l l o w u p - 2 Harga Diri

(37)

27

Apabila diperhatikan pada Gambar 4, hasil pengukuran skala depresi mengalami perubahan yang fluktuatif. Skor sebelum intervensi didapatkan nilai sebesar 35 yang mengandung arti bahwa tingkat depresi subjek dalam kategori depresi berat, namun setelah dilakukan intervensi hasil pengukuran skala menunjukkan tingkat depresi subjek turun menjadi 8 dengan kategori normal. Selang waktu dua bulan setelah intervensi subjek melakukan pengukuran kembali pada follow up-1 namun kali ini subjek mengalami peningkatan skor menjadi 12. Hal ini dikarenakan subjek kembali merasa tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya telah dilakukan. Subjek merasa bersalah saat ia hanya bisa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa. Meski demikian, setelah delapan bulan dilakukan follow up-2 hasil pengukuran skor tingkat depresi menunjukkan penurunan yang semula gangguan depresi ringan dengan skor 12 menjadi skor 5 yang berkategori normal. Hal ini terjadi karena subjek mulai menyibukkan diri dengan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan untuk mengalihkan emosi-emosi negatif yang muncul.

Berdasarkan data perubahan hasil skor skala yang telah dijelaskan dalam Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan hubungan antara harga diri dan tingkat depresi. Berdasarkan data dapat disimpulkan bahwa hipotesa penelitian diterima, hal ini terjadi karena tingginya harga diri dapat disertai dengan penurunan tingkat gejala depresi pada subjek penelitian setelah pemberian intervensi berupa terapi eksistensial dan teknik biblioterapi.

35 8 12 5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 P r a I n t e r v e n s i P a s c a I n t e r v e n s i F o l l o w u p - 1 F o l l o w u p - 2 Depresi

(38)

28

Perubahan Kondisi Harga Diri dan Gejala Depresi Tiap Sesi

Perubahan kondisi subjek dijelaskan berdasarkan deskripsi hasil setiap sesi intervensi yang menghasilkan empat tema besar yaitu kesadaran diri

(self-awareness), penerimaan diri (self-acceptance), kemampuan penyelesaian masalah

(problem solving), dan hubungan sosial (social relationship). Keempat tema ini menunjukkan proses terjadinya perubahan pada tingkat harga diri dan gejala depresi subjek. Berikut adalah penjelasan dari keempat tema tersebut:

Kesadaran Diri

Pengalaman subjek dalam proses intervensi pada sesi satu dan dua menghasilkan kesadaran diri subjek tentang masalah yang dihadapi. Hasil ini tergambar pada sesi pertama, yaitu menetapkan tujuan dan kontrak. Subjek bersama terapis menentukan target intervensi yang diharapkan. Subjek berharap melalui intervensi ini ia mampu berinteraksi sosial dengan orang lain dan tidak khawatir dengan penilaian negatif orang lain maupun dirinya. Penetapan tujuan dalam sesi ini penting dilakukan karena target yang dikehendaki dapat menjadi acuan keberhasilan intervensi. Jadi dapat diketahui bahwa dari sesi ini, subjek telah menunjukkan sikap kooperatif dan komitmennya untuk mengikuti serangkaian sesi hingga akhir. Sikap ini menunjukkan bahwa subjek menyadari tanggung jawab yang dimilikinya. Subjek mendapatkan kebebasan untuk memilih dan memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidupnya, sehingga ia dapat lebih menyadari keberadaannya di dunia dan bertanggung jawab atas dirinya.

Setelah dilakukan sesi pertama, subjek semakin menyadari permasalahannya saat mengikuti sesi kedua, yaitu identifikasi masalah dan penemuan makna yang bertujuan agar subjek mengetahui dan mendapatkan pemahaman tentang masalah yang dihadapinya. Subjek pada sesi ini memahami bahwa dirinya kurang penghargaan diri. Ia beranggapan bahwa ia memiliki banyak kekurangan dan kelebihan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang pantas dihargai. Ia selalu melihat keberhasilan orang lain lalu memandang dirinya tidak mampu, kemudian percaya bahwa ia tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan itu. Subjek menyadari bahwa ia selalu bingung dengan tujuan hidupnya sehingga ia merasa kehilangan arah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menjalani

Gambar

Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari pertama kali skor  diperoleh hingga follow up
Gambar 4. Grafik Perubahan Tingkat Gejala Depresi
Grafik yang fluktuatif ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan ada beberapa hal  atau  situasi  yang  tidak  bisa  dikendalikan  oleh  manusia

Referensi

Dokumen terkait