• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karaktersitik Subjek Penelitian

Subjek adalah perempuan berusia 23 tahun yang telah lulus kuliah namun belum mendapatkan pekerjaan. Sejak Subjek tertinggal lulus kuliahnya dibandingkan dengan teman-teman, Subjek kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidup atau melakukan aktivitas sehari-hari. Ia cenderung memandang dirinya secara negatif, menganggap dirinya tidak berdaya dan tidak lebih baik dibandingkan orang lain. Subjek kurang mampu menentukan apa yang diinginkannya dan bingung menentukan tujuan hidupnya. Sehingga membuat Subjek kesulitan untuk mencari pekerjaan. Ia selalu berusaha menghindar saat akan mengikuti wawancara kerja karena takut ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan tersebut dan takut berinteraksi dengan orang lain.

Subjek merasa takut ketika akan menemui orang lain karena ia tidak bisa memulai atau mempertahankan obrolan, ia juga selalu memikirkan penilaian orang lain tentang dirinya. Perasaan ini membuat Subjek ingin menghindar saat akan bertemu dengan orang lain. Setiap kali Subjek diajak berkumpul dengan teman-temannya, ia sering beralasan agar tidak datang atau ia lebih banyak diam ketika berkumpul. Aktivitas sehari-hari yang Subjek lakukan adalah menonton, ia bisa menghabiskan seluruh waktunya dalam satu hari di dalam kamarnya, tanpa melakukan aktivitas yang berarti.

Berdasarkan hasil tes grafis, Subjek memiliki pandangan terhadap diri yang tampak kabur, ia tidak percaya diri, dan meragukan kemampuannya sendiri. Subjek juga menunjukkan gejala kehilangan minat pada aktivitasnya dan tampak murung/sedih seharian. Subjek kurang termotivasi untuk menjalani hidup dan sulit menjalin hubungan sosial, akibatnya ia cenderung menghindar atau menarik diri dari hubungan sosial. Hal ini terjadi karena Subjek sering membandingkan dirinya

26

dengan orang lain, memberikan penilaian negatif terhadap dirinya, dan menggangap dirinya tidak mampu.

Perubahan Tingkat Harga Diri

Berdasarkan perubahan hasil skor skala harga diri sebelum intervensi hingga follow

up-2 dapat dilihat sebagaimana Gambar 3, di bawah ini:

Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari pertama kali skor diperoleh hingga follow up. Skor harga diri subjek sebelum intervensi adalah 8 yang masuk dalam kategori rendah. Skor meningkat menjadi 12 dengan kategori sedang setelah dilakukan intervensi. Pengukuran skala harga diri pada follow up-1 (dua bulan setelah intervensi) skor tidak mengalami peningkatan atau penurunan, nilai skor harga diri sama seperti pada saat pasca intervensi yaitu 12 (ringan). Pengukuran keempat pada follow up-2 (delapan bulan setelah intervensi) didapatkan hasil skor harga diri adalah 17 dimana subjek berada pada batas kategori harga diri tinggi. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa subjek mengalami peningkatan harga diri yang semula memiliki skor 8 menjadi 17 atau yang semula subjek dalam kategori rendah menjadi kategori tinggi untuk harga diri.

Perubahan Tingkat Gejala Depresi

Berdasarkan perubahan hasil skor skala tingkat depresi dari sebelum intervensi sampai follow up-2 dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:

8 12 12 17 0 5 10 15 20 P r a I n t e r v e n s i P a s c a I n t e r v e n s i F o l l o w u p - 1 F o l l o w u p - 2 Harga Diri

27

Apabila diperhatikan pada Gambar 4, hasil pengukuran skala depresi mengalami perubahan yang fluktuatif. Skor sebelum intervensi didapatkan nilai sebesar 35 yang mengandung arti bahwa tingkat depresi subjek dalam kategori depresi berat, namun setelah dilakukan intervensi hasil pengukuran skala menunjukkan tingkat depresi subjek turun menjadi 8 dengan kategori normal. Selang waktu dua bulan setelah intervensi subjek melakukan pengukuran kembali pada follow up-1 namun kali ini subjek mengalami peningkatan skor menjadi 12. Hal ini dikarenakan subjek kembali merasa tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya telah dilakukan. Subjek merasa bersalah saat ia hanya bisa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa. Meski demikian, setelah delapan bulan dilakukan follow up-2 hasil pengukuran skor tingkat depresi menunjukkan penurunan yang semula gangguan depresi ringan dengan skor 12 menjadi skor 5 yang berkategori normal. Hal ini terjadi karena subjek mulai menyibukkan diri dengan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan untuk mengalihkan emosi-emosi negatif yang muncul.

Berdasarkan data perubahan hasil skor skala yang telah dijelaskan dalam Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan hubungan antara harga diri dan tingkat depresi. Berdasarkan data dapat disimpulkan bahwa hipotesa penelitian diterima, hal ini terjadi karena tingginya harga diri dapat disertai dengan penurunan tingkat gejala depresi pada subjek penelitian setelah pemberian intervensi berupa terapi eksistensial dan teknik biblioterapi.

35 8 12 5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 P r a I n t e r v e n s i P a s c a I n t e r v e n s i F o l l o w u p - 1 F o l l o w u p - 2 Depresi

28

Perubahan Kondisi Harga Diri dan Gejala Depresi Tiap Sesi

Perubahan kondisi subjek dijelaskan berdasarkan deskripsi hasil setiap sesi intervensi yang menghasilkan empat tema besar yaitu kesadaran diri

(self-awareness), penerimaan diri (self-acceptance), kemampuan penyelesaian masalah

(problem solving), dan hubungan sosial (social relationship). Keempat tema ini menunjukkan proses terjadinya perubahan pada tingkat harga diri dan gejala depresi subjek. Berikut adalah penjelasan dari keempat tema tersebut:

Kesadaran Diri

Pengalaman subjek dalam proses intervensi pada sesi satu dan dua menghasilkan kesadaran diri subjek tentang masalah yang dihadapi. Hasil ini tergambar pada sesi pertama, yaitu menetapkan tujuan dan kontrak. Subjek bersama terapis menentukan target intervensi yang diharapkan. Subjek berharap melalui intervensi ini ia mampu berinteraksi sosial dengan orang lain dan tidak khawatir dengan penilaian negatif orang lain maupun dirinya. Penetapan tujuan dalam sesi ini penting dilakukan karena target yang dikehendaki dapat menjadi acuan keberhasilan intervensi. Jadi dapat diketahui bahwa dari sesi ini, subjek telah menunjukkan sikap kooperatif dan komitmennya untuk mengikuti serangkaian sesi hingga akhir. Sikap ini menunjukkan bahwa subjek menyadari tanggung jawab yang dimilikinya. Subjek mendapatkan kebebasan untuk memilih dan memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidupnya, sehingga ia dapat lebih menyadari keberadaannya di dunia dan bertanggung jawab atas dirinya.

Setelah dilakukan sesi pertama, subjek semakin menyadari permasalahannya saat mengikuti sesi kedua, yaitu identifikasi masalah dan penemuan makna yang bertujuan agar subjek mengetahui dan mendapatkan pemahaman tentang masalah yang dihadapinya. Subjek pada sesi ini memahami bahwa dirinya kurang penghargaan diri. Ia beranggapan bahwa ia memiliki banyak kekurangan dan kelebihan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang pantas dihargai. Ia selalu melihat keberhasilan orang lain lalu memandang dirinya tidak mampu, kemudian percaya bahwa ia tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan itu. Subjek menyadari bahwa ia selalu bingung dengan tujuan hidupnya sehingga ia merasa kehilangan arah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menjalani

29

hidupnya. Hal ini terjadi karena subjek tidak benar-benar menekuni aktivitas yang disenanginya, ia menganggap bahwa setiap aktivitas yang dilakukannya itu tidak ada artinya. Subjek dan terapis pada akhirnya berdiskusi tentang arti sebenarnya makna hidup. Hidup yang bermakna berarti bahwa individu tersebut mampu mengambil arti dari setiap keunikannya dan menjalankan tugasnya untuk mendapatkan pengalaman hidup.

Individu yang menyadari makna dari hidup berarti mampu memaknai setiap pengalaman-pengalaman dan yakin bahwa hidup yang dijalaninya sangat berharga sekalipun ada hambatan dalam melakukannya. Proses ini merupakan proses penemuan makna hidup yang positif. Akhirnya, subjek dapat memahami bahwa individu yang memiliki makna hidup dapat menghargai diri dan kemampuannya sehingga kehidupannya menjadi lebih berarti. Namun, meski subjek telah menyadari permasalahannya, ia masih mengalami kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Subjek bingung bagaimana menerapkan solusi dalam kehidupan sehari-hari.

Penerimaan Diri

Hasil ini didapatkan berdasarkan hasil intervensi sesi ketiga, yaitu penerapan teknik

bibliotherapy dengan media video. Teknik biblio memberikan kesempatan pada

subjek untuk memahami lebih dalam tentang sebab dan akibat dari kurangnya penghargaan diri melalui video yang ditampilkan, selanjutnya subjek juga mendapatkan insight terkait solusi yang ditawarkan oleh karakter cerita. Terdapat empat tahap yang dilakukan dalam penerapan teknik bibliotherapy ini. Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah recognition, subjek diajak untuk menonton video yang memiliki cerita tentang pencarian makna seseorang yang baru lulus sekolah. Cerita ini cukup mirip dan relevan dengan kondisi yang dialami oleh subjek, jadi diharapkan subjek dapat merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya juga dialami oleh orang lain. Tahap 2, examination, subjek diminta untuk menceritakan isi dari video tersebut untuk mengetahui apa yang didapatkan dari cerita tersebut.

Tahap 3, juxtaposition, subjek menjelaskan bahwa tokoh yang ada dalam video tersebut mengalami permasalahan yang sama dengan dirinya, namun ada

30

perbedaan karena tokoh berusaha keras untuk mencari makna hidupnya, sedangkan Subjek merasa mudah menyerah dan tidak berani mencoba sesuatu yang diinginkannya karena ia takut dengan kegagalan dan hambatan yang dihadapinya. Pada tahap ini, subjek mulai menunjukkan emosinya, ia menangis karena menyadari bahwa dirinya sudah terlalu keras terhadap diri sendiri. Subjek merasa dirinya selalu mencela hingga membenci diri sendiri dan membandingkan diri dengan orang lain. Hal ini membuat subjek mulai menerima apa yang terjadi pada dirinya dan bertekad untuk mengubah sikap dan perilakunya.

Tahap terakhir adalah application to self, subjek dalam hal ini telah menunjukkan tekad yang kuat untuk mengatasi masalahnya. Ia menyadari bahwa jika subjek ingin menjadi lebih baik maka ia perlu menerima kekurangan dan kelebihannya, mengubah sikapnya terhadap diri sendiri dan menentukan solusi yang tepat untuk menghadapi masalah hidupnya. Untuk itu, Langkah pertama yang dilakukan oleh subjek adalah menerima kelebihan dan kekuranganya serta menerima dirinya sebagai pribadi yang unik.

Pemecahan Masalah

Hasil intervensi sesi keempat, yaitu eksplorasi diri dan penugasan menunjukkan bahwa subjek mampu menentukan dan mengarahkan dirinya untuk menemukan solusi agar harga dirinya dapat meningkat. Jadi, sesi ini bertujuan untuk memberikan kebebasan pada subjek dalam menentukan solusi apa yang bisa dilakukanya. Kebebasan yang diberikan kepada subjek dapat menstimulus kemampuan subjek dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Subjek tidak perlu bergantung pada terapis untuk menemukan solusi karena subjek dapat menumbuhkan keyakinan bahwa dirinyalah yang paling mengetahui dan memahami apa yang dibutuhkannya, selain itu subjek meyakini bahwa ia memiliki kekuatan untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik.

Hasil yang didapatkan dari sesi ini adalah subjek dapat menentukan sendiri apa yang ingin dilakukan, ia mampu menentukan perubahan apa yang akan diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan mengetahui bagaimana caranya agar dapat meningkatkan penghargaan terhadap dirinya. Subjek menentukan bahwa ia akan mencoba untuk menjalin hubungan sosial sekaligus membuktikan bahwa

31

penilaiannya tentang orang lain terhadap dirinya adalah salah. Subjek juga menentukan sendiri aktivitas-aktivitas yang ingin dilakukannya untuk mengisi kekosongan agar ia tidak merasa kesepian. Setelah itu, subjek membuat perencanaan sendiri untuk menerapkan solusi-solusi yang telah disampaikannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kebebasan dan kepercayaan seluas-luasnya pada subjek dapat menumbuhkan motivasi dan rasa tanggung jawab subjek terhadap hidupnya. Subjek dapat menghargai dan mengapresiasi dirinya ketika ia mampu mengarahkan hidupnya secara positif melalui solusi-solusi yang ditemukannya sendiri, dengan begitu subjek dapat meningkatkan penghargaan dirinya karena ia memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahannya.

Hubungan Sosial

Hasil dari sesi kelima yaitu evaluasi dan terminasi, menunjukkan perubahan yang signifikan. Sebelum intervensi, ekspresi subjek selalu muram dan tidak bersemangat. Namun, pada sesi ini subjek dapat mengekspresikan perasaan senang dan gembira melalui senyum yang ditunjukkannya. Subjek mengaku bahwa emosinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Sesi ini membahas tentang hasil evaluasi dari solusi-solusi yang telah dilakukan subjek. Subjek menjelaskan bagaimana perasaannya setelah mencoba untuk menjalin hubungan sosial dengan teman barunya. Subjek menyebutkan bahwa sebelum ia benar-benar memfokuskan dirinya pada obrolan dalam forum tersebut, subjek terlebih dulu membuang semua prasangka buruk yang ada dalam pikirannya. Ia mencoba untuk berfokus pada apa yang terjadi saat itu dan bagaimana respon yang sebenarnya dari orang lain terhadap dirinya.

Setelah melakukan percakapan, subjek mengungkapkan bahwa dirinya merasa lega karena ia menyadari bahwa apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Ia tidak merasa dirinya sedang dikucilkan dalam interaksi sosial tersebut. Justru sebaliknya, subjek dapat merasa aman karena ia tidak perlu menghakimi diri sendiri lagi. Perubahan ini menunjukkan bahwa subjek telah mampu mengatasi rasa takutnya dan menciptakan emosi positif pada dirinya dengan menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Subjek juga dapat keluar dari zona nyamannya dengan tidak mengisolasi diri lagi, ia jadi lebih sering keluar untuk melakukan

aktivitas-32

aktivitas yang melibatkan orang lain seperti keluarga atau masyarakat sekitar. Subjek dapat membangun interaksi sosial yang baik dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini berarti bahwa dengan membangun hubungan sosial dapat membantu peningkatan harga diri subjek, kepercayaan diri subjek, dan motivasi hidup subjek. Selain itu, subjek juga mampu menurunkan gejala depresinya karena ia tidak lagi mengisolasi diri atau menghindari situasi sosial sehingga subjek menemukan kesenangan dan kepuasan dalam menjalani hidup.

Hasil yang berkaitan dengan tema hubungan sosial juga diperoleh dari hasil wawancara pada saat follow up. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa hubungan sosial adalah faktor terpenting dalam mempertahankan kondisi harga diri dan gejala depresi subjek. Hal ini disebabkan karena pada saat kondisi pandemi Covid-19, subjek terpaksa harus menjalani lock down dimana subjek harus tinggal di rumah untuk melindungi diri dari penularan virus corona yang sedang menyebar. Peristiwa ini menyebabkan subjek merasa kesulitan untuk menjalin hubungan dengan sosialnya. Subjek merasakan kehampaan dan kurang berminat dalam menjalani aktivitas sehari-hari seperti sebelumnya. Subjek menyadari bahwa ia tidak bisa mengontrol peristiwa ini jadi ia kembali merasakan perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh rasa kehilangan dan kesepian. Akan tetapi, setelah delapan bulan sejak follow up pertama subjek dapat menemukan kembali apa yang diharapkannya. Ia mampu mengatasi kesendiriannya dengan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Subjek juga mendapatkan dukungan sosial dari keluarga sehingga ia merasa bahwa dirinya tidak mengalami penderitaan ini sendiri. Berdasarkan hasil tersebut, subjek mampu meningkatkan harga diri dan menurunkan gejala depresi dengan mempertahankan hubungan sosialnya baik dengan keluarga atau orang lain.

PEMBAHASAN

Kondisi subjek sebelum mengikuti intervensi menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat harga diri rendah yang ditandai dengan subjek menganggap dirinya tidak memiliki kelebihan karena dirinya tidak mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat, subjek selalu menghindar karena merasa kesulitan dan tidak percaya diri saat memulai pembicaraan dengan orang lain sehingga ia sulit untuk menjalin

33

hubungan sosial dengan teman atau orang sekitarnya, dan subjek juga berpikir bahwa orang lain akan menilai kekurangannya dan menganggap dirinya membosankan. Akibatnya, subjek sering membandingkan diri dengan orang lain dan menilai dirinya secara negatif karena kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Kondisi ini merupakan ciri-ciri dari individu yang memiliki harga diri rendah (Maina et al., 2016; Srisayekti et al., 2015; Twenge et al., 2017).

Rendahnya harga diri subjek mempengaruhi keseharian subjek dimana ia sering mengisolasi diri dan tidak bersemangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Subjek lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya dan tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau melakukan aktivitas positif. Perilaku yang ditunjukkan ini memunculkan perasaan-perasaan bersalah terhadap diri subjek dan keluarganya. Subjek merasa dirinya telah menghindari tanggung jawabnya untuk mencari pekerjaan, meskipun ia menyadari akan kewajibannya untuk membantu ekonomi keluarga. Subjek merasa bingung karena tidak tahu apa tujuan hidupnya dan bagaimana harus mengarahkan hidupnya. Akibatnya, subjek jadi rentan mengalami gejala depresi. Munculnya perasaan sedih yang terus dipendam sendiri dan ketidak tahuan subjek dalam mengekspresikan perasaan serta kegelisahannya menyebabkan subjek semakin merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri. Subjek merasa dirinya tidak mampu dan tidak bermanfaat untuk orang lain.

Subjek adalah perempuan dimana hasil penelitian telah banyak menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala depresi, dalam penelitian Abdelati et al. (2014) sebanyak 60.8% orang berjenis kelamin perempuan yang mengalami gejala depresi sedang dengan rentang usia 17-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa subjek rentan mengalami gejala depresi. Gejala depresi yang dirasakan oleh subjek sebelum dilakukan intervensi diantaranya adalah kehilangan minat/motivasi hidup, kehilangan minat dalam menjalin hubungan sosial, memiliki perasaan benci pada diri sendiri, dan adanya perasaan sedih namun tidak dapat mengekspresikan kesedihannya. Gejala ini menunjukkan bahwa subjek kurang mampu mengelola pikiran, emosi, dan perilakunya ketika dihadapkan pada suatu masalah (Al Qahtani & Al Qahtani, 2017; Bhat, 2017). Oleh karena itu, subjek mengikuti terapi eksistensial dengan teknik terapeutik biblioterapi untuk

34

menumbuhkan insight dan kesadaran tentang masalah yang dihadapinya, sehingga ia mampu menentukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah rendahnya harga diri dan gejala depresi (Pehrsson & Mcmillen, 2005; Slyter, 2011).

Saat subjek menjalani intervensi, subjek menunjukkan komitmennya dalam mengikuti serangkaian proses terapi. Hal ini berarti bahwa subjek menginginkan perubahan kearah positif dalam hidupnya. Subjek menyadari bahwa tindakan yang dipilihnya ternyata dapat berdampak buruk bagi kehidupannya, diantaranya adalah subjek jadi merendahkan dirinya sendiri dan tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri. Melalui intervensi ini, subjek jadi memiliki agar ia dapat mengubah pola pikir dan penilaiannya terhadap diri sendiri. Subjek juga ingin bisa menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya dan orang lain tanpa perlu merasa khawatir akan pendapat negatif orang lain. Harapan ini menunjukkan bahwa subjek telah menyadari tanggung jawab yang dimilikinya terhadap hidup dan mampu memilih serta memutuskan apa yang terbaik dalam hidupnya. Artinya individu dapat memahami fungsi keberadaannya di dunia, tanggung jawab atas hidup yang dijalaninya, dan tujuan hidup yang ingin dicapainya (Leary, Tate, Adams, Allen, & Hancock, 2007; Solobutina & Miyassarova, 2019; Yusuf, 2016).

Subjek menyadari bahwa ia kurang menghargai dirinya sendiri. Ia selalu memandang kekurangan dirinya dan tidak mau menerima kelebihannya. Hal ini terjadi karena subjek tidak menemukan kesenangan dari aktivitas yang dilakukannya, ia menganggap apa yang dilakukannya tidak berharga dibandingkan dengan keberhasilan orang lain. Jadi, subjek kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidupnya atau mengembangkan potensi dirinya. Setelah subjek menyadari bahwa dirinya hanya melihat kekurangan dibandingkan kelebihannya, subjek pun memahami bahwa permasalahan yang dihadapinya disebabkan oleh kurangnya subjek dalam memaknai hidup sehingga ia tidak mampu menghargai kelebihan dirinya. Subjek sadar bahwa ia terlalu berfokus pada keberhasilan yang akan dicapai sehingga, ia tidak memaknai pengalaman-pengalaman dan proses-proses yang dilaluinya dalam hidup. Munculnya kesadaran diri pada subjek menunjukkan bahwa subjek dapat menemukan makna hidup yang positif. Individu yang memiliki makna hidup artinya ia mampu menghargai diri dan menjadikan

35

kehidupannya lebih berarti meskipun terdapat banyak kekurangan dan tantangan dalam melaluinya (Kleftaras & Psarra, 2012; Spinelli, 2006).

Selain munculnya kesadaran diri, peningkatan kondisi harga diri subjek dapat dilihat dari adanya penerimaan diri subjek dimana ia telah menerima kekurangan dan kelebihannya serta munculnya perasaan depresi yang dialaminya. Subjek menunjukkan perubahan kearah positif dengan melakukan hal-hal baru di luar dari kebiasaannya, dan juga menunjukkan komitmen dalam mengikuti serangkaian intervensi hingga akhir. Berarti subjek dapat menghargai setiap proses yang dijalaninya tanpa terlalu berharap pada hasil yang sempurna. Hasil ini selain dapat meningkatkan harga diri subjek juga dapat mengurangi gejala depresi yang disebabkan oleh sifat perfeksionisme subjek. Subjek yang sebelumnya tidak menerima kekurangan atau takut melakukan kesalahan akhirnya dapat menghargai dan menerima usahanya apapun hasil yang akan diperolehnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerimaan diri, individu mampu menumbuhkan penghargaan diri dan lebih bisa menerima kelebihan serta kekurangannya sebagai bagian dalam dirinya (Maxwell & Gayle, 2013; Nigesh & Saranya, 2017).

Melalui terapi eksistensial ini, subjek mendapatkan kebebasan untuk menentukan sendiri solusi yang ingin dilakukan dan perubahan yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga subjek memiliki penghargaan terhadap diri. hal ini dimaksudkan karena pandangan eksistensial meyakini bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menentukan dan mengatasi masalahnya sendiri. Ketika individu mampu menentukan kebutuhan atau keinginannya dalam hidup tanpa bergantung pada orang lain maka akan menumbuhkan penilaian positif terhadap dirinya. Individu dapat merasa yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahannya sendiri. Sehingga, ia dapat menumbuhkan perasaan berharga pada diri sendiri. Rasa berharga ini dapat membantu individu dalam memaknai hidupnya dan terus berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya (Hamarta, 2009; Koruklu, 2015).

Pemberian kebebasan dan kepercayaan seluas-luasnya pada subjek melalui terapi eksistensial ternyata dapat menumbuhkan motivasi dan rasa tanggung jawab subjek terhadap kehidupan yang dijalaninya. Individu yang mengarahkan hidupnya secara positif akan memiliki pengalaman-pengalaman positif yang bermakna pula.

36

Akhirnya, subjek dapat mengatasi masalah dan mencapai tujuan hidup dengan menerapkan solusi dalam kehidupan sehari-harinya. Jika, subjek mampu mengatasi masalahnya dengan menentukan solusinya sendiri artinya subjek dapat lebih menghargai diri sendiri serta mampu mengendalikan pikiran, perasaan atau perilaku negatif yang menjadi penghalang bagi pemenuhan kebutuhan harga dirinya (Hasna,