• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

Pendahuluan

1.1.Latar Belakang

Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Piaget, remaja usia 11-20 tahun berada dalam tahap pemikiran formal operasional. Dalam tahap ini remaja dapat berpikir secara abstrak, remaja mengembangkan citra tentang hal-hal yang ideal. Mereka mungkin memikirkan tentang seperti apa orang tua, guru, dan teman-teman yang mereka anggap ideal untuk menjadi contoh di kehidupannya (Santrock, 2003). Maka dari itu remaja membutuhkan sosok yang ia anggap untuk menjadi panutan yang ideal atau menjadi role model.

Pada periode ini juga berbagai perubahan terjadi pada remaja baik perubahan hormonal, fisik, emosi, psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan ini mencakup masa pubertas dan perhatian mengenai gambaran tubuh, mulai adanya ketertarikan terhadap lawan jenis, perubahan struktur sekolah, kelas dan sistem guru, perubahan kelompok teman sebaya yang homogen menjadi heterogen, serta meningkatnya perhatian untuk mencapai prestasi tertentu (Santrock, 2003). Banyaknya perubahan-perubahan dalam kurun waktu yang relatif singkat dapat menimbulkan masalah dalam penyesuaian di dunia remaja yang berdampak bagi remaja itu sendiri maupun terhadap orang lain. Remaja yang kurang berprestasi dan memiliki kegagalan dalam bidang akademis di sekolahnya, misalnya, jika dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan yang tidak kondusif akan mudah berpaling kepada hal-hal negatif sebagai pelariannya, seperti membolos, penggunaan zat adiktif, dan kenakalan remaja lainnya. Namun efek dari masa transisi ini dapat juga berakibat positif, seperti mereka menjadi lebih dewasa, memperoleh banyak mata pelajaran yang dapat dipilihnya, memiliki

(2)

banyak teman sebaya dan lebih tertantang secara intelektual dengan adanya tugas-tugas akademis (Santrock, 2003).

Remaja yang mengalami permasalahan-permasalahan seperti di atas salah satunya adalah siswa Sekolah Menengah Kejuruan atau biasa disingkat dengan SMK yang berada dalam rentang usia 15-17 tahun. SMK adalah lembaga pendidikan formal yang bertujuan untuk menciptakan lulusan-lulusan yang siap bekerja dalam berbagai bidang usaha atau industri di masyarakat. (Sodikin & Noersasongko, 2009) Proses belajar pada SMK ditujukan untuk mencetak lulusan yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang memadai pada bidangnya supaya siap bekerja atau melanjutkan ke jenjang ketrampilan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu proses pembelajaran bagi para siswa SMK tidak terbatas pada teoretika semata namun diimplementasikan dalam bentuk praktek nyata di lapangan. Maka siswa harus lebih serius untuk mengikuti kegiatan sekolah dan diharapkan agar mereka mengerti mengenai materi yang diberikan di kelas sehingga siswa kompeten dalam bidang masing-masing pada saat bekerja nanti. (Sodikin & Noersasongko, 2009)

Kelas satu SMK adalah tingkat atau kelas pertama dimana para siswa harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, baik dengan teman sekolah, para guru yang mengajar, peraturan sekolah yang baru, dan senior mereka yang berada di tingkatan atau kelas yang lebih tinggi yaitu kelas dua dan tiga. Dengan demikian siswa SMK kelas satu memiliki tugas dan tuntutan yang cukup berat, karena mereka harus beradaptasi mengenai banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh siswa kelas satu tersebut sesuai dengan penelitian dari Eccles & Midgely (1990) yang mengemukakan bahwa proses transisi dari SMP menuju SMA di tahun pertama dapat menjadi tahun yang sulit bagi banyak siswa, sehingga siswa kurang puas dengan sekolah, kurang melibatkan diri dengan sekolah, dan kurang menyukai gurunya. Di lain pihak siswa mengalami fenomena top-dog yaitu keadaan-keadaan dimana siswa bergerak dari posisi yang

(3)

paling atas ketika di SMP yaitu menjadi yang tertua, terbesar, dan berkuasa menuju posisi yang paling rendah saat memasuki SMA yaitu menjadi paling muda, kecil dan tidak berkuasa di sekolah. (Santrock, 2003)

Tugas utama para siswa di sekolah adalah belajar serta menjalankan tuntutan-tuntutan akademis lainnya. Untuk mengetahui permasalahan akademis yang mereka hadapi peneliti melakukan wawancara dengan sepuluh siswa di SMK Ki Hajar Dewantoro. Diperoleh informasi bahwa sebagai seorang siswa, mereka dituntut untuk memenuhi standar akademis yang ditetapkan sekolah. Setiap siswa dari mulai kelas satu sudah menentukan jurusan yang ingin diambil yaitu Bisnis dan Manajemen (terdiri dari Bidang Akuntansi, Administrasi Perkantoran, dan Pemasaran) lalu jurusan Teknologi Informasi dan Komunikasi (yaitu Bidang Teknik Jaringan Komputer, dan Multimedia). Pada mata pelajaran yang diujikan dan nilainya di bawah rata-rata maka siswa akan diwajibkan untuk menjalani remedial serta mengikuti kelas tambahan sesuai mata pelajaran yang tidak mencukupi standar nilai tersebut. Daftar kehadiran juga diperhatikan, apabila siswa tidak mengikuti pelajaran sebanyak tiga kali berturut-turut maka orangtuanya akan di panggil untuk membuat surat perjanjian di atas materai agar tidak melakukan hal tersebut kembali, apabila dikemudian hari masih melanggar maka akan dikeluarkan oleh pihak sekolah.

Di SMK Ki Hajar Dewantoro tersebut diperoleh data bahwa ada peningkatan daftar ketidak hadiran siswa sebanyak 5% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2011-2012. Tahun 2012-2013 ini daftar kehadiran siswa sebanyak 85% sedangkan tahun 2011 dan 2012 sebanyak 90%. Berdasarkan wawancara kepada wali kelas, permasalahannya adalah beberapa siswa yang absen dalam pelajaran karena bermain warnet, karena ajakan teman sebaya, pergi ke mall dibandingkan pergi ke sekolah dan sebagainya. Ada juga siswa yang alpha sebanyak dua minggu dan ketika orangtuanya dimintai keterangan, pihak orang tua mengatakan bahwa siswa tersebut selalu pamit untuk berangkat ke sekolah namun ternyata siswa membolos dan

(4)

berbohong kepada orang tuanya. Permasalahan lain siswa yang tidak hadir untuk belajar adalah karena ia malu untuk masuk kelas setelah rambutnya dipotong secara paksa oleh gurunya karena rambutnya panjang lalu tidak rapih, dan lain sebagainya.

Peneliti juga mewawancarai empat orang guru wali kelas di SMK tersebut untuk mengetahui harapan mereka, mewakili sekolah, terhadap para siswanya. Pada dasarnya mereka berharap bahwa siswa-siswa lulusan SMK ini kelak dapat bekerja di tempat yang mereka minati dengan berbekal ilmu yang mereka kuasai sehingga dapat mencapai kesuksesan dalam bidang masing-masing. Para wali kelas ini juga berharap bahwa siswa didikannya dapat mengemban misi sekolah untuk meraih prestasi sesuai bidangnya dan berguna bagi pihak-pihak yang mempekerjakannya. Hal tersebut pada akhirnya akan membawa nama baik SMK ini di masyarakat luas.

Dengan berbagai macam tuntutan dan permasalahan tersebut, sosok guru menjadi penting karena guru adalah sosok yang diperlukan untuk memacu keberhasilan anak didiknya. Menurut penelitian dari Sardiman (2003) perwujudan interaksi antara guru dan siswa harus lebih banyak berwujud pemberian motivasi agar siswa merasa bergairah, memiliki semangat, potensi dan kemampuan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Dengan demikian siswa diharapkan aktif dalam kegiatan belajar. Lebih lanjut lagi, untuk dapat belajar dengan baik, diperlukan juga proses dan motivasi yang baik. Hasil belajar akan menjadi optimal jika ada motivasi (Rangkuti & Anggraeni, 2005). Di dalam proses belajar mengajar, semua siswa memiliki keinginan dan tujuan agar berhasil dan meraih hasil yang optimal dibidang akademisnya, dan guru adalah salah satu faktor yang bisa menjadi jalan bagi siswa-siswanya untuk mengantarkan mereka menuju kesuksesan dalam bidang akademis, terutama guru yang bertugas sebagai wali kelas.

(5)

Pengertian dari wali kelas adalah guru yang mempunyai tugas untuk mendampingi kelas tertentu. Wali kelas harus mengenal detail mengenai berbagai karakter siswa dan permasalahan siswa di kelas tersebut. Wali kelas harus menjadi panutan bagi para siswanya dengan menjaga hubungan komunikasi dan kedekatan emosional yang harus dibangun agar dapat memotivasi siswa untuk belajar dan memberikan solusi dari setiap permasalahannya, apalagi dalam tahapan formal operasional menurut Piaget yang mengatakan bahwa remaja mengembangkan citra tentang hal-hal yang ideal. Wali kelas memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada guru lainnya karena secara khusus harus membina siswa di dalam suatu kelas yang terdiri dari banyak kepribadian, permasalahan, dan karakter siswa. Oleh karena itu seorang wali kelas dituntut melalui sikap dan perbuatan menjadikan dirinya sebagai panutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya. Dalam kehidupan sehari-hari terutama di sekolah, wali kelas banyak menemukan masalah psikologis yang dihadapi peserta didik, apakah yang berkaitan dengan minat, kemampuan, motivasi, maupun kebutuhannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh orang siswa mewakili berbagai kelas satu yang peneliti lakukan di SMK tersebut mengenai peran wali kelas dalam meningkatkan motivasi belajar mereka, diperoleh jawaban yang beragam. sebagian besar siswa yang berpendapat bahwa wali kelasnya jauh dari harapan ideal yang diinginkan. Seperti wali kelasnya saat ini terlalu kaku dan keras dalam menerapkan disiplin sekolah, jika siswa melanggar tata tertib di kelas atau mendapat teguran dari guru lain karena tidak mengikuti pelajarannya. Pendapat lainnya bahwa mereka kurang dapat berinteraksi dengan wali kelasnya jika ada permasalahan dengan guru pengajar atau teman mereka di kelas, setiap keluhan yang mereka ajukan tidak mendapat jawaban yang memuaskan dan cenderung menyalahkan mereka. Ada dua siswa yang berpendapat bahwa wali kelasnya saat ini sudah cukup baik dan memahami permasalahan mereka yang bersifat akademis maupun non

(6)

akademis, jika ada siswa yang mendapat nilai jelek dalam ulangan mereka dipanggil untuk dikonsultasikan kesulitannya secara persuasif.

Mereka mengharapkan sosok wali kelas yang dapat melakukan pendekatan kepada siswanya secara tepat, antara lain mengerti siswa seperti apa adanya, memiliki sifat yang ramah, humoris, tidak memojokkan ketika hasil yang siswa dapat tidak sesuai harapan, pengertian, perhatian mengenai permasalahan siswa. Wali kelas yang perhatian atau empati terhadap permasalahannya di sekolah apakah itu berkaitan dengan guru yang mengajar atau dengan teman sebaya siswa, bisa memberi solusi terhadap kesulitan dalam suatu mata pelajaran tanpa harus langsung memarahi atau memberikan hukuman karena nilai yang kurang, adil dan bijaksana kepada siswanya tanpa terkecuali dan tidak di beda-bedakan, maka permasalahan siswa dapat terselesaikan dan siswa termotivasi untuk belajar.

Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada anak yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, yang pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung (Uno, 2012). Menurut penelitian dari Mc. Combs (2001) siswa yang merasa didukung dan diperhatikan oleh guru lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan akademik daripada siswa yang tidak didukung oleh gurunya (Rangkuti & Anggraeni, 2005).

Peneliti juga mewawancarai para guru yang menjadi wali kelas untuk kelas satu yang berada di SMK tersebut, dan menurut mereka motivasi siswa dalam belajar dapat menurun dikarenakan beberapa faktor, antara lain teman sebaya, guru yang mengajar, orang tua yang kurang perhatian dan lain sebagainya. Cara wali kelas untuk memotivasi siswa dalam belajar adalah dengan cara melihat hasil ulangan yang rendah, lalu akan diberikan konseling mengenai penyebabnya. Lalu pendekatan kepada setiap siswa juga berbeda, apabila siswa tidak menurut setelah diberi nasehat maka wali kelas akan bertindak lebih tegas dan

(7)

memanggil orang tuanya ke sekolah. Selanjutnya wali kelas melihat juga dari daftar kehadiran, apabila banyak yang alpha maka akan dipanggil dan dimintai keterangannya. Di lain fihak para wali kelas merasa mempunyai keterbatasan pula untuk dapat memahami permasalahan per individu para siswa kelas satu yang relatif baru dalam berinteraksi dengan mereka, mengingat keragaman sifat dan karakter anak-didiknya yang berlatar belakang sosial, ekonomi, dan pergaulan mereka di luar sekolah yang berbeda-beda. Ada anak yang bersifat patuh dan penurut serta mudah diatur, ada pula anak yang berontak ketika mendapat teguran atau nasihat.

Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak (Lahey, 2009). Persepsi siswa terhadap kompetensi kepribadian wali kelasnya merupakan hal yang penting karena untuk membangun suatu persepsi ada tahapan seleksi atau proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar. Selanjutnya tahap interpretasi atau proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang, dari proses interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Reaksinya adalah ketika siswa memiliki persepsi yang positif terhadap kompetensi kepribadian wali kelasnya sehingga termotivasi dalam belajar begitu juga sebaliknya.

Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang guru harus memiliki 4 kompetensi, Kompetensi Profesional (kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam), Kompetensi Pedagogik (pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar), Kompetensi Sosial (kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif), dan Kompetensi Kepribadian. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan

(8)

kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap, stabil, dewasa, disiplin, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia (Mulyasa, 2012)

Kompetensi kepribadian guru yang menjadi wali kelas tersebut yang menjadi fokus peneliti dalam melakukan penelitian ini, karena siswa membutuhkan wali kelas yang dapat memberikan tindakan kongkrit antara lain wali kelas yang memiliki kepribadian mantap atau stabil (konsisten dalam bertindak), dewasa (objektif), arif (adil dan bijaksana), berwibawa (disegani), dan berakhlak mulia (empati dan suka menolong siswanya) semua itu terangkum dalam aspek-aspek kompetensi kepribadian guru. Dengan dimiliknya kompetensi kepribadian maka wali kelas akan mampu melakukan pendekatan yang tepat kepada para siswa, mampu menyelesaikan permasalahan dan menjadi contoh teladan bagi para siswanya. Disinilah letak kompetensi kepribadian wali kelas sebagai pembimbing diperlihatkan.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di SMK tersebut dan telah peneliti uraikan di atas maka peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap kompetensi kepribadian guru yang menjadi wali kelas dengan motivasi belajar siswa kelas satu di SMK Ki Hajar Dewantoro.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti ingin meneliti mengenai “Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Kompetensi Kepribadian Guru Yang Menjadi Wali Kelas dengan Motivasi Belajar Siswa Kelas Satu SMK Ki Hajar Dewantoro”

(9)

Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara persepsi siswa terhadap kompetensi kepribadian guru yang menjadi wali kelas dengan motivasi belajar siswa kelas satu di SMK Ki Hajar Dewantoro.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini akan mengevaluasi website serta membahas identifikasi informasi terhadap koleksi tanaman dan layanan perpustakaan pada empat kebun raya yang dikelola oleh

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh biopori terhadap infiltrasi dan limpasan pada tanah pasir berlanau dengan peubah intensitas hujan, jumlah biopori, dan

Sebagai Pengendali Hayati Terhadap Kapang Patogen Tular Tanah Rhizoctonia solani Secara In Vitro (Dimanfaatkan sebagai Sumber Belajar Biologi). Malang: Program Studi

Tujuan penulisan artikel ini adalah membahas tentang pengaruh pelaksanaan kebijakan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) terhadap manajemen pembelajaran bahasa Inggris

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

Tanpa pengarang, judul karya dikutip dalam tanda “ ….“ atau singkatan dalam tanda kurung (“……. “ ) jika tidak disebutkan dalam kalimat kutipan.. Basis filosofis tasawuf

Menurut Bustami dan Nurlela (2007:136) produk cacat adalah produk yang dihasilkan dalam proses produksi, dimana produk yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan standar mutu

Skripsi yang berjudul MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN ini merupakan kulminasi dari perjuangan panjang menimba pengetahuan dalam bidang