Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 1
Geologi dan Potensi Andesit
Daerah Cikutamahi dan Sekitarnya Kecamatan Cariu
Kabupaten Bogor Jawa Barat
Oleh : Emmi Vathreescia, Djauhari Noor, dan Denny Sukamto Kadarisman
Abstrak
Secara administratif daerah pemetaan merupakan wilayah dari dearah Cikutamahi dan sekitarnya, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 66 km2.
Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 4 (empat) satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan, Satuan Geomorfologi Perbukitan Intrusi, Satuan Perbukitan Lereng Gunungapi, dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola aliran sungai rektangular dan radial, dengan jentera geomorfik secara umum adalah dewasa.
Tatanan batuan di daerah penelitian dari yang tua ke muda, adalah : Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung (Formasi Parigi) yang berumur Miosen Tengah (N13– N14) diendapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tepi (5-20 m) hingga neritik tengah (20-100 m). Selaras di atasnya diendapkan satuan batulempung (Formasi Subang) yang berumur Miosen Akhir (N15 – N18) pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tengah (20-100 m). Pada Kala Pliosen yang menerus hingga Pleistosen (Plio-Plistosen) terbentuk Satuan Intrusi Andesit serta satuan batuan produk gunungapi tak terurai yang diendapkan pada lingkungan pengendapan darat dengan mekanisme pengendapan pyroklastik (proximal volcaniclastic facies, Visser,1972). Pada kala holosen, satuan aluvial sungai menutupi satuan-satuan yang lebih tua yang tersingkap di daerah penelitian.
Struktur–struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa struktur lipatan dan patahan yang terjadi dalam satu fase tektonik, yaitu pada Kala Miosen Akhir menerus hingga Kala Plistosen dengan gaya utama berarah barat utara – selatan yaitu, N 5° E. Struktur lipatan berupa Sinklin Sukajadi, Antiklin Medalsari, Sinklin Kutamekar, Antiklin Cikutamahi, Sinklin Cibatutiga, Antiklin. Struktur patahan yang berkembang berupa Sesar Naik Cibeet, Sesar Mendatar Cibatutiga, Sesar Mendatar Kutamekar, Sesar Mendatar Medalsari, Sesar Mendatar Bantarkuning, Sesar Mendatar Cikutamahi.
Potensi bahan galian yang berada di daerah penelitian berupa breksi andesit yang meliputi perhitungan dan penyebaran sumber daya breksi pada satuan breksi gunungapi untuk untuk diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk keperluan industri.
Potensi sumberdayayang terdapat di daerah penelitian berupa andesit dengan jumlah sumber daya 21.036.574 m3. Kajian yang dilakukan berupa perhitungan jumlah cadangan andesit yang terdapat di Gunung Rungking.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 2 1. Umum
1.1 Pendahuluan
Secara regional, geologi daerah Cikutamahi, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor berada pada cekungan Jawa Barat bagian utara yang masuk dalam mandala sedimentasi paparan kontinen dengan sejarah perkembangan cekungannya yang relatif stabil (Soejono, 1984).
Mandala Kontinen Jawa Barat bagian utara dibatasi oleh suatu sistem antiklin dan sinklin yang umumnya berarah barat–timur yang di pengaruhi oleh sesar naik Baribis dan di selatan di batasi oleh struktur Rajamandala yang mempunyai pola struktur barat daya-timur laut mengikuti pola sesar Cimandiri, di bagian timur di pengaruhi oleh sesar Baribis yang umumnya berarah barat laut-tenggara, dapat di simpulkan bahwa daerah Bogor merupakan daerah sedimentasi laut dangkal dengan arah sedimentasi dari utara karena di bagian selatannya merupakan daerah cekungan laut dalam.
Daerah ini dipilih sebagai daerah penelitian disamping untuk mengetahui persebaran batuannya, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan potensi Andesit, juga untuk mengetahui sejarah sedimentasi perkembangan cekungan Jawa Barat bagian uttara.
1.2. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi geologi daerah Cikutamahi dan sekitarnya, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang mencakup sejarah perkembangan cekungan, sejarah perkembangan tektonik dan sejarah perkembangan bentangalam (geomorfologi).
1.3. Metodologi Penelitian.
Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka, pemetaan geologi lapangan, pekerjaan laboratorium dan studio serta pembuatan laporan. Kajian pustaka dilakukan untuk mempelajari hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan daerah penelitian sedangkan pemetaan geologi lapangan berupa pengamatan, pengukuran, dan penyontohan batuan. Adapun pekerjaan laboratorium berupa analisis petrografi,
analisis mikropaleontologi, analisis sedimentologi. Pekerjaan studio berupa pembuatan peta-peta dan analisa struktur geologi, pembuatan laporan sebagai bagian akhir dari proses penelitian.
1.4. Letak, luas, kesampaian dan waktu pelaksanaan
Secara administratif, daerah penelitian termasuk ke dalamwilayah Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor,Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Secara geografis batas-batas daerah penelitian adalah 06°30’01” LS - 06°34’08” LS, dan 107°07’37” BT- 107°12’26” BT.
dengan luas wilayah kurang lebih 66 km2. Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua, sedangkan untuk mencapai lapangan kerja daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor dan berjalan kaki.
Waktu pelaksanaan penelitian kurang lebih 6 (enam) bulan di mulai sejak awal bulan Januari 2013 hingga Julii 2013, dimulai dari kajian literatur, pemetaan geologi lapangan, pekerjaan laboratorium dan studio, serta penyusunan laporan.
2. Geologi Umum 2.1. Fisiografi Regional
Berdasarkan bentuk morfologi serta litologinya Van Bemmelen, (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 Zona Fisiografi (Gambar 1.2), yaitu : (1). Zona Dataran Pantai Jakarta; (2). Zona Bogor; (3). Zona Depresi Tengah (Zona Bandung) dan (4). Gambar 2.1 Peta fisiografi Jawa Barat (van
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 3 Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat.
Geomorfologi daerah penelitian berdasarkan fisiografi regional daerah penelitian termasuk dalam Zona Bogor dan Gunung Api Kuarter.
2.1.1. Geomorfologi Daerah Penelitian
Berdasarkan genetika pembentukan geomorfologinya maka daerah penelitian dapat di bagi menjadi 4 (empat) satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan, Satuan Geomorfologi Perbukitan Intrusi, Satuan Perbukitan Lereng Gunungapi, dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial.
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan
Satuan geomorfologi ini berupa bukit-bukit yang terbentuk akibat perlipatan dan patahan, menempati sekitar 62%luas daerah penelitian. Berada pada ketinggian 62,5 hingga 125 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan yaitu 7o – 35o. Stadia geomorfik pada satuan ini dapat dimasukkan dalam stadia dewasa.
2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Intrusi
Satuan geomorfologi bukit intrusi ini berbentuk kerucut dengan dinding curam dan tidak diketahui batas bawahnya yang disebut dengan Jenjang Gunungapi (Volcanic Neck), menempati sekitar 2% luas daerah penelitian. Berada pada ketinggian 300 hingga 600 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng 20o – 40o. Stadia geomorfik pada satuan ini dapat dimasukkan dalam stadia dewasa.
3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lereng Gunung Api
Satuan geomorfologi ini berupa bukit-bukit yang terbentuk dari hasil pengendapan produk erupsi gunung api, menempati sekitar 27,5% luas daerah penelitian, berada pada ketinggian 200 hingga 400 meter di atas permukaan laut. dengan kemiringan 60o – 90o. Stadia geomorfik pada satuan ini dapat dimasukkan dalam stadia muda.
4. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial
Satuan ini terbentuk sebagai akibat dari aktivitas sungai berupa proses pengendapan disepanjang saluran sungai, menempati 8,5% luas daerah penelitian, berada pada ketinggian 50 hingga 100 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan dari 3o-7o. Stadia geomorfik pada satuan ini dapat dimasukkan dalam stadia muda.
Lembah
Cuesta
Foto 1.1. Bentuk bentang alam Satuan
Geomorfologi Lipat Patahan, diambil dari arah barat ke arah timur daerah penelitian
G. Rungking
Foto 1.2. Satuan Geomorfologi Perbukitan
Intrusi memperlihatkan bentuk morfologi vulaknik neck barat ke arah timur
daerahpenelitian
Foto 1.3 Satuan Gemorfologi Perbukitan
Lereng Gunung Api memperlihatkan bentuk perbukitan
dengan puncak-puncaknya yang runcing
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 4 Gosong Pasir
Dataran BanAjir Tanggul Alam
Foto 1.4Satuan Geomorfologi DataranAluvial Foto
diambil di Sungai Cigentis CR-86
Secara garis besar pola aliran sungai daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu pola aliran rektangular dan pola aliran radial. Pola aliran rektangular dijumpai di daerah yang wilayahnya dikendalikan oleh struktur geologi, yang paling dominan, yaitu struktur patahan (sesar), menempati bagian utara hingga bagian tengah daerah penelitian. Sedangkan pola aliran radial memperlihatkan aliran sungai-sungai yang menyebar dari bagian puncak yang lebih tinggi, umumnya sungai radial berasosiasi dengan bagian puncak gunungapi atau bukit intrusi, ditunjukkan oleh beberapa sungai yang berada di sebelah selatan daerah penelitian.
2.2. Stratigrafi
2.2.1. Stratigrafi Regional
Berdasarkan struktur dan sejarah sedimentasi daerah Jawa Barat (Soejono, 1984) Jawa Barat dibagi menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu: Mandala Paparan Kontinen, Cekungan Bogor dan Cekungan Banten. Mandala Paparan menempati bagian utara Jawa Barat, dengan batas selatan di bagian timur adalah Gunung Kromong,
Jatiluhur sampai Cibinong Jawa Barat, menyebar ke utara ke lepas pantai utara pulau Jawa.
Tatanan batuan yang menyusun Mandala Paparan Kontinen dari yang tertua hingga muda adalah Formasi Cibulakan yang terdiri dari napal, batupasir, batulempung dan batugamping, selaras diatas formasi ini ditutupi oleh Formasi Parigi berupa batugamping yang berumur Miosen Tengah, selanjutnya diatasnya secara selaras diendapkan Formasi Subang berupa lempung sisipan batupasir, kemudian diendapkan Formasi Kaliwangu berupa batupasir dan batulempung yang kaya moluska dan diatas satuan ini diendapkan Formasi Tambakan berupa endapan gunungapi muda yang berumur Kuater.
Lingkungan pengendapan pada Mandala Paparan Kontinen ini menunjukan proses pengendapan laut dangkal dengan kondisi tektonik yang stabil.
2.2.2. Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi Daerah Penelitian terdiri atas 4 (empat) satuan batuan, di mulai dari tua ke muda yaitu :
1. Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung 2. Satuan Batulempung 3. Satuan Intrusi Andesit
4. Satuan Batuan Produk Gunungapi tak Terurai
5. Satuan Endapan Aluvial
2.2.2.1. Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung
Penamaan satuan ini didasarkan atas perselingan batugamping pasiran dengan batulempung, tersebar di bagian utara hingga bagian tengah daerah penelitian, dengan luas sekitar 54% dari luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna biru. Satuan ini tersebar di wilayah Desa Cibatutiga, Desa Kutamekar, Desa Cikutamahi, Desa Medalsari, Desa Kertasari, dan Desa Cipurwasari.Kedudukan satuan ini pada umumnya berarah barat - timur dengan ketebalan yang diperoleh berdasarkan hasil rekonstruksi penampang yaitu ± 660,25 m.
Satuan ini tersingkap dalam keadaan yang sebagian telah lapuk, dengan perlapisan yang cukup tegas pada umumnya dengan ketebalan 7 cm sampai dengan 20 cm.
Gambar 2.3Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 5 Secara megaskopis batugamping pasiran
memiliki ciri-ciri berwarna coklat terang, keras, berbutir halus hingga sedang, bersifat pasiran, dan biasanya terdapat urat-urat kalsit. Sedangkan batulempung berwarna abu-abu, umumnya telah lapuk, lunak. Ketebalan bervariasi antara 5 cm – 10 cm.
Untuk menentukan umur Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung ini, penulis menganalisa conto batuan di dua lokasi yang mewakili bagian atas dan bagian bawah satuan ini, yaitu yang mewakili bagian bawah satuan batugamping pasiran Selang-seling batulempung menunjukkan kisaran umur N13-N14. Conto diambil di lokasi CR-63 Sungai Ciomas pada batugamping pasiran. Sedangkan yang mewakili bagian atas satuan batugamping Selang-seling batulempung yang menunjukkan umur N14 di CR-58 Sungai Ciomas pada batugamping pasiran. Berdasarkan kedua conto tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kisaran umur Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung adalah N14 – N16 atau pada Kala Miosen Tengah (Zonasi Blow, 1969).
Kemudian untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan Batulempung sisipan Batupasir ini, yaitu
berdasarkan
keterdapatan fosil foraminifera bentonik
pada conto batuan yang diambil di lokasi
CR-54 Sungai Ciomas,
satuan ini berada pada lingkungan Neritik Tepi (5-20 meter) ke Neritik Tengah (20-100 meter).Hubungan stratigrafi satuan batugamping pasiran selang-seling batulempung dengan satuan yang ada di bawahnya tidak diketahui karena tidak ditemukan di lapangan. Sedangkan hubungan
stratigrafi dengan satuan yang ada di atasnya yaitu satuan batulempung adalah selaras berdasarkan umur yang menerus serta kedudukan perlapisan batuan yang relatif sama.
Satuan batugamping pasiran selang-seling batulempung di daerah penelitian memiliki ciri litologi yang sama dengan Formasi Parigi (Soejono M, 1984), yaitu terdapat litologi gamping pasiran yang mengandung kuarsa, disebandingkan dengan ciri dari Formasi Parigi bagian atas, maka dengan demikian penulis menyatakan satuan ini sebagai bagian dari Formasi Parigi.
2.2.2.2. Satuan Batulempung
Penamaan satuan ini didasarkan atas atas keterdapatan batulempung yang tidak berlapis, menempati luas sekitar + 8% dari luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna hijau dengan penyebaran umumnya di bagian utara dan selatan daerah penelitian yang meliputi Desa Sukajadi dan Desa Bantarkuning. Kedudukan satuan ini pada umumnya berarah barat - timur. Ketebalan berdasarkan hasil rekonstruksi penampang pada peta geologi + 397,5 m.
Singkapan satuan ini tersingkap dalam kondisi pada umumnya lapuk dan segar pada daerah penelitian, yang umumnya tidak menunjukkan perlapisan. Batulempung berwarna abu-abu terang, keadaan singkapan sebagian lapuk, lunak, semen karbonatan, di beberapa tempat terdapat konkresi batupasir gampingan.
Untuk menentukan umur Satuan
Batulempung ini, penulis
Foto 2.1. Foto singkapan Batugamping Pasiran
Selang-seling Batulempung (CR-11, Sungai Cibeet)
Foto 2.3. Singkapan batulempung dengan
konkresi batugamping. Foto diambil di lokasi CR-28 Sungai Bojongkoneng
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 6 menganalisacontobatuan di dua lokasi yang
mewakili bagian atas dan bagian bawah satuan ini, yang mewakili bagian bawah satuan batulempung yang menunjukkan kisaran umur N15-N17. Conto diambil di lokasi CR-27 Sungai Cibeet pada batulempung. Sedangkan yang mewakili bagian atas satuan batulempung yang menunjukkan umur N16-N18 di CR-11 Sungai Cibeet pada batulempung. Berdasarkan kedua conto tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kisaran umur Satuan Batulempung adalah N15 – N18, yaitu pada Kala Miosen Tengah (Zonasi Blow, 1969).
Kemudian untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan Batulempung sisipan Batupasir ini, yaitu berdasarkan keterdapatan fosil foraminifera bentonik pada conto batuan yang diambil di lokasi CR-27, Sungai Cibeet, satuan ini berada pada lingkungan Neritik Tengah (20-100 meter).
Bidang
kontak
antara
satuan
batulempung dengan satuan batuan yang
berada
di
bawahnya,
yaitu
satuan
batugamping
pasiran
selang-seling
batulempung tidak dijumpai di lapangan.
Hubungan stratigrafi dengan satuan yang
berada di bawahnya adalah selaras selaras
berdasarkan umur yang menerus serta
kedudukan perlapisan batuan yang relatif
sama. Sedangkan hubungan stratigrafi
dengan satuan yang berada di atasnya yaitu
satuang produk gunungapi tak terurai
adalah tidak selaras yang ditandai dengan
adanya orogenesa pada kala Plistosen.
Satuan batulempung di daerah penelitian memiliki ciri litologi yang sama dengan Formasi Subang (Soejono M, 1984), yaitu dijumpai litologi batulempung yang tidak berlapis yang umumnya terdapat konkresi berukuran hingga satu meter, sebanding dengan ciri dari Formasi Subang bagian tengah, maka dengan demikian penulis menyatakan satuan ini sebagai bagian dari Formasi Subang.
2.2.2.3. Satuan Intrusi Andesit
Penamaan satuan ini didasarkan kepada batuan penyusun satuan ini yaitu batuan beku andesit, terdapat di bagian tenggara daerah penelitian, yaitu tepatnya di Gunung Rungking dan Gunung Aseupan. Satuan ini menempati sekitar 2
% dari luas
daerah penelitian dan pada peta geologi
berwarna merah. Tidak dijumpai kontak
antara satuan batuan intrusi andesit dengan
satuan batuan yang diterobosnya, yaitu
satuan batulempung. Intrusi ini berbentuk
kerucut dengan bagian puncak sudah tidak
bersudut, serta dinding yang curam dan
tidak diketahui batas bawahnya. Singkapan
yang
terungkap
dipermukaan
pada
ketinggian 300 meter hingga 600 meter.
Satuan ini secara umum memiliki singkapan yang segar tetapi di beberapa tempat sudah tertutup oleh vegetasi.
Secara megaskopis memiiki ciri-ciri berwarna abu-abu, hipokristalin, fanerik, subhedral – anhedral, inequigranular, kompak, dengan komposisi mineral piroksen, hornblende, plagioklas, ortoklas, kuarsa, pirit, gelas.
Satuan ini diperkirakan berumur N21 (Plistosen), menerobos batuan samping yang umurnya lebih tua yaitu satuan batulempung yang berumur N16-N18 (Miosen Akhir).
2.2.2.4 Satuan Batuan Produk Gunungapi tak Terurai
Penamaan satuan ini didasarkan atas ciri-ciri litologi, yaitu berupa batuan produk hasil erupsi gunung api, yang terdiri dari breksi vulkanik, tuff kristal, dan tuf lapili, tersebar di bagian barat daya dan bagian tenggara daerah penelitian dengan luas penyebaran 27,5 % dari luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna oranye. Satuan ini dapat teramati dengan jelas di Gunung Seureuh, Gunung Tonjong, Gunung Gadung, Gunung Klangir, Gunung Paseban, Gunung Foto 2.4 Singkapan Intrusi Andesit di G. Rungking.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 7 Gebang, dan sungai Cibatutiga. Membentuk
morfologi yang bergelombang kuat, ketebalan satuan ini tidak dapat ditentukan dengan pasti dikarenakan pelamparannya yang mengikuti bentuk morfologi sebelumnya, tetapi berdasarkan hasil rekontruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini adalah + 200 meter.
Keadaan singkapan pada satuan ini secara umum segar, tetapi di beberapa tempat sudah ada yang lapuk. Terdiri dari breksi vulkanik, tuff kristal, dan tuf lapili.
Secara megaskopis, variasi litologi yang dijumpai pada satuan batuan ini adalah:
1) Breksi vulkanikberwarna coklat, dengan ukuran fragmen 3 – 5 cm, bentuk menyudut – menyudut tangung, pemilahan buruk, kompak, fragmen berupa tuff gelas kristal dengan massa dasar tuff gelas kristal.
2) Tuf kristalberwarna abu-abu terang
kecoklatan, tekstur fanerik, hipohyalin, kompak.
3) Tuf lapiliberwarna abu-abu terang
dengan ukuran butir halus, porositas sedang.
Penentuan umur pada satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi terhadap satuan batuan yang berada di bawahnya, dimana satuan ini menutupi satuan batulempung (Formasi Subang), serta dihubungkan dengan orogenesa yang terjadi pada daerah penelitian yang berumur Plio-Plistosen (N18-N21). Pada satuan ini juga tidak dijumpai adanya fosil dan belum mengalami perlipatan ataupun pensesaran, atas dasar tersebut maka umur dari satuan ini adalah N21 (Plistosen) dan merupakan hasil dari aktifitas gunungapi.
Untuk penentuan lingkungan pengendapan dari satuan produk gunungapi tak teruarai ini dilihat dari ciri litologi yang ada, disebandingkan dengan model Pyroclastic Volcaniclastic Facies (Bogie, I. dan Mackenzie, K.M., 1998). Satuan endapan vulkanik ini disusun oleh litologi berupa breksi gunungapi dan endapan piroklastik, maka satuan breksi gunungapi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan piroklastik (Fasies Proximal).
Foto 2.6 Singkapan tuf gelas kristal, pada lokasi
pengamatan CR-71 Curug Ciomas.
Foto 2.5 Singkapan breksi vulkanik, pada lokasi
pengamatan CR-71 Curug Ciomas
Foto 2.7Singkapan tuf pada lokasi pengamatan
CR-20
Foto 2.8Singkapan breksi vulkanik, pada lokasi
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 8 Hubungan stratigrafi satuan produk
gunungapi tak terurai dengan satuan yang berada di bawahnya yaitu satuan batulempung adalah tidak selaras sedangkan bagian atasnya ditutupi oleh endapan aluvial yang batasi oleh bidang erosi.
2.2.2.5 Satuan Endapan Aluvial
Penyebaran satuan ini ± 8,5 % dari seluruh luas daerah penelitian, pada peta geologi berwarna abu-abu, terdapat di bagian utara hingga selatan daerah penelitian, yaitu di Sungai Cibeet dan Sungai Cigeuntis. Satuan ini terbentuk sebagai akibat dari aktivitas sungai berupa proses pengendapan disepanjang saluran sungai. Morfometri satuan ini berada pada diketinggian 37,5 – 50 mdpl dengan kemiringan lereng antara 0% - 2%. Ketebalan dari satuan ini dari 1 meter hingga 3 meter di daerah penelitian.
Terdiri dari material-material yang berukuran pasir kasar hingga bongkah yang berasal dari batuan beku, batulempung dan batupasir. Satuan ini membentuk bentang alam sungai berupa gosong pasir, dataran banjir, serta tanggul alam.Proses-proses geomorfologi yang terjadi berupa pengendapan hasil pengikisan batuan yang lebih tua oleh sungai yang berlangsung hingga saat ini.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahwa proses erosi, transportasi dan sedimentasi pada satuan ini masih terus berlangsung hingga saat ini (berumur holosen). Hubungan stratigrafi satuan endapan aluvial dengan Satuan Gunungapi tak Terurai adalah tidak selaras, dibatasi oleh bidang erosi.
2.3. Struktur Geologi
2.3.1. Struktur Geologi Regional
Menurut Van Bemmelen(1949), selama zaman Tersier Jawa Barat telah mengalami tiga kali periode tektonik (orogenesa), yaitu :
1. Orogenesa Oligo-Miosen
Pada orogenesa ini terjadinya pembentukan cekungan Bogor, di mana sebelumnya terletak pada cekungan depan busur menjadi cekungan belakang busur.
2. Orogenesa Intra Miosen
Orogenesa periode ini di cirikan oleh perlipatan dan pensesaran yang kuat, terjadi pembentukan geantiklin yang terletak di sebelah selatan Pulau Jawa yang melahirkan gaya ke arah utara. Gaya – gaya ini membentuk lipatan – lipatan yang berarah barat – timur dan sesar – sesar mendatar dengan arah barat daya – timur laut. Periode tektonik ini di perkirakan berlangsung dari kala Miosen hingga Pliosen.
3. Orogenesa Plio-Plistosen
Orogenesa pada periode ini di cirikan oleh adanya aktifitas gunung api, gaya-gayanya mengarah ke Utara dan menyebabkan terjadinya amblesan pada Zona Bandung bagian Utara. Proses amblesan Bandung ini mengakibatkan tekanan-tekanan kuat terhadap Zona Bogor sehingga terbentuk lipatan dan sesar naik yang berkembang di bagian Utara Zona Bogor dan memanjang dari Subang hingga Gunung Ceremai.
Menurut Sukendar (1986) pola umum struktur Jawa Barat berdasarkan data gaya berat dan data seismik di bagi menjadi tiga pola arah umum, yaitu :
1. Pola struktur Barat Laut-Tenggara
Secara umum sesar ini membatasi daerah Bogor, Purwakarta,
Bandung, Sumedang,
Tasikmalaya, Banjar dan menerus ke sebagian Jawa Tengah. Sebagian besar daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Bogor.
Foto 2.9 Endapan aluvial sungai
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 9 2. Pola struktur Barat-Timur
memotong sepanjang jalur Pegunungan Selatan, merupakan sesar normal dengan bagian Utara yang relatif turun terhadap bagian Selatannya.
3. Pola struktur Timurlaut-Baratdaya
seperti yang terlihat di lembah Cimandiri dekat Pelabuhan Ratu.
Ketiga pola struktur tersebut sangat di pengaruhi oleh posisi jalur subduksi dan busur magmatik Indonesia. Seiring dengan proses yang terjadi, maka terjadi pula deformasi dan perkembangan tektonik hingga terbentuk morfologi pada masa sekarang. Sesar regional yang mempengaruhi geologi Jawa Barat, di antaranya adalah sesar regional Cimandiri dan Baribis. Keberadaan kedua sesar ini di yakini berbeda dalam hal umur serta mekanisme pembentukannya. Berbeda dengan sesar Cimandiri, sesar Baribis merupakan sesar muda (pola Jawa) yang terbentuk pada periode tektonik Plio-Plistosen dan di yakini masih aktif hingga sekarang (Pulunggono dan Martodjojo, 1984). Sesar Baribis untuk pertama kalinya di kemukakan oleh Van Bemmelen (1949) sebagai sesar naik yang membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Majalengka.
Beberapa peneliti mempunyai pandangan seperti yang di kemukakan oleh Martodjojo (1984), Simandjuntak (1994), Haryanto dkk (2002) dan Rahardjo dkk (2002). Martodjojo (1984), meyakini bahwa sesar Baribis menerus ke arah Tenggara melalui kelurusan Citanduy sebagai sesar naik,
sedangkan Haryanto dkk (2002) berpendapat bahwa penerusan sesar ke arah tenggara sebagai sesar mendatar dekstral. Berbeda dengan kedua penulis di atas, Simandjuntak (1994) berpendapat bahwa sesar Baribis menerus ke arah timur melalui daerah Kendeng dan berakhir di sekitar Nusa Tenggara Barat, sehingga penulis ini menamakannya sebagai Baribis-Kendeng Fault Zone. Selanjutnya Rahardjo dkk (2002) berpendapat bahwa sesar Baribis merupakan sesar inversi yang semula merupakan sesar normal berubah menjadi sesar naik.
Kendeng dan berakhir di sekitar Nusa Tenggara Barat, sehingga penulis ini menamakannya sebagai Baribis-Kendeng Fault Zone. Selanjutnya Rahardjo dkk (2002) berpendapat bahwa sesar Baribis merupakan sesar inversi yang semula merupakan sesar normal berubah menjadi sesar naik.
2.3.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian di jumpai indikasi struktur geologi yang berupa kekar, lipatan dan sesar.
2.3.2.1. Struktur Lipatan
Struktur lipatan yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa antiklin dan sinklin. Lipatan yang kemiringan lapisan batuan ke arah berlawanan disebut antiklin dan kemiringan lapisan batuan ke satu arah disebut sinklin. Lipatan yang dijumpai di daerah penelitian antara lain :
a. Sinklin Sukajadi b. Antiklin Medalsari c. Sinklin Kutamekar d. Antiklin Cikutamahi e. Sinklin Cibatutiga f. Antiklin Bantarkuning a. Sinklin Sukajadi
Penamaan sinklin ini didasarkan pada sumbu sinklin yang melewati Desa Sukajadi, dengan sumbu sepanjang ± 8,7 km. dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan pada satuan batugamping pasiran selang-seling batulempung, dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 80° E sampai N 100° E kemiringan 15° sampai 20°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 260° E sampai N 290° E kemiringan 12° sampai 22°. Sehingga Sinklin Sukajadi sebagai sinklin simetris.
Gambar 2.4Pola Struktur Umum Jawa Barat
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 10 b. Antiklin Medalsari
Antiklin Medalsari berkembang di daerah penelitian yang membentang di wilayah Desa Medalsari, dengan sumbu sepanjang ± 8,7 km, dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan pada satuan batugamping pasiran selang – seling batulempung, dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 260° E sampai N 290° E kemiringan 12° sampai 22°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 80° E sampai N 110° E kemiringan 21° sampai 37°. Sehingga Antiklin Medalsari sebagai antiklin simetris.
c. Sinklin Kutamekar
Penamaan lipatan ini didasarkan pada sumbu lipatan yang melintasi Desa Kutamekar, dengan sumbu sepanjang ± 8,7 km, dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan pada satuan batugamping pasiran selang – seling batulempung,dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 80° E sampai N 100° E kemiringan 21° sampai 37°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 260° E sampai N 280° E kemiringan 50° sampai 54°. Sehingga Sinklin Kutamekar sebagai sinklin simetris.
d. Antiklin Cikutamahi
` Antiklin Medalsari berkembang di daerah penelitian yang membentang di wilayah Desa Cikutamahi, dengan sumbu sepanjang ± 8,7 km, dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan, dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 260° E sampai N 280° E kemiringan 50° sampai 54°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 70° E sampai N 115° E kemiringan 18° sampai 31°. Sehingga Antiklin Cikutamahi sebagai antiklin asimetris.
e. Sinklin Cibatutiga
Penamaan lipatan ini didasarkan pada sumbu lipatan yang melintasi Desa Cibatutiga, dengan sumbu sepanjang ± 8,7 km, dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan, dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 70° E sampai N 155° E kemiringan 18° sampai 31°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 250° E sampai N 270° E kemiringan 20° sampai 25°. Sehingga Sinklin Cibatutiga sebagai sinklin simetris, sebagian besar sudah tertutup oleh endapan gunungapi.
f. Antiklin Bantarkuning
Antiklin Bantarkuning berkembang di daerah penelitian yang membentang di wilayah Desa Bantarkuning, dengan sumbu sepanjang ± 8,6 km, dicirikan oleh adanya pembalikan arah perlapisan batuan, dengan kedudukan batuan sayap bagian utara N 250° E sampai N 270° E kemiringan 20° sampai 25°, serta kedudukan batuan sayap bagian selatan N 90° E sampai N 110° E kemiringan 26° sampai 36°. sehingga Antiklin Bantarkuning sebagai antiklin simetris.
4.2.2 Struktur Patahan (Sesar)
Berdasarkan hasil pengamatan unsur-unsur struktur geologi di lapangan dapat diketahui bahwa di daerah penelitian terdapat 2 jenis sesar, yaitu sesar naik dan sesar mendatar sebagai berikut :
a. Sesar Naik Cibeet
b. Sesar Mendatar Cibatutiga c. Sesar Mendatar Kutamekar d. Sesar Mendatar Medalsari e. Sesar Mendatar Bantarkuning f. Sesar Mendatar Cikutamahi
a. Sesar Naik Cibeet
Sesar Naik Cibeet diketahui berdasarkan indikasi-indikasi sesar antara lain adanya perubahan kemiringan perlapisan dari keadaan normal ke arah yang lebih terjal 54° - 60°, terdapat gawir sesar Cibeet yang memperlihatkan cermin sesar berupa gores garis di CR-32 Sungai Cibeet dengan bidang sesar N800 E/ 600, gores garis 550. N 1600 E. Pitch 850, adanya Drag Fold dengan sayap kanan N 75° E/ 18° dan sayap kiri N 255° E/ 22° dengan sumbu N 75° E.
b. Sesar Mendatar Cibatutiga
Foto 2.10 Gawir sesar Cibeet yang memperlihatkan cermin sesar
berupa gores garis di CR-32 Sungai Cibeet dengan bidang sesar N800 E/ 600, gores garis 550. N 1600 E. Pitch 850
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 11 Sesar Mendatar Cibatutiga diketahui
berdasarkan indikasi sesar antara lain ditemukan adanya kedudukan batuan yang memperlihatkan pola yang searah dengan arah sesar mendatar, yaitu barat daya - timur laut, serta pembelokan sungai yang sangat tajam serta ditemukan gawir sesar yang memperlihatkan cermin sesar berupa gores garis di Sungai Cibeet dengan bidang sesar N450 E/ 250, gores garis 300. N 1100 E. Pitch 250.
Berdasarkan data-data tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Sesar Cibatutiga merupakan sesar mendatar. Hasil dari analisis data diatas diperoleh jenis sesar adalah sesar mendatar mengengiri (sinistral).
c. Sesar Mendatar Kutamekar
Sesar Mendatar Kutamekar diketahui berdasarkan hasil analisa peta topografi dan didukung dengan adanya data dilapangan, yaitu adanya milonitisasi dengan arah umum N25°E di Sungai Cibojonggede (CR-41), kedudukan batuan yang memperlihatkan pola yang searah dengan arah sesar mendatar, yaitu barat daya - timur laut. Pembelokan sungai yang sangat tajam.
Berdasarkan data-data tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Sesar Kutamekar merupakan sesar mendatar. Hasil dari analisis data diatas diperoleh jenis sesar adalah sesar mendatar mengengiri (sinistral).
d. Sesar Mendatar Medalsari
Sesar Mendatar Medalsari diketahui berdasarkan indikasi-indikasi sesar yaitu ditemukannya gores garis di CR-64 di Sungai Ciomas dengan data sebagai berikut :
1. Bidang sesar N 120 E/ 720
2. Gores garis 620, N 580 E, Pitch 570 Berdasarkan data-data tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sesar Medalsari merupakan sesar mendatar. Berdasarkan hasil analisis dari data kedudukan arah cermin sesar diperoleh jenis sesar adalah sesar mendatar mengiri (sinistral).
e
. Sesar Mendatar BantarkuningSesar Mendatar Medalsari diketahui berdasarkan indikasi-indikasi sesar yaitu ditemukannya gores garis di CR-21 di Sungai Cibeet dengan data sebagai berikut :
1. Bidang sesar N 1520 E/ 820
2. Gores garis 250, N 1720 E, Pitch 300 Foto 2.11 Gawir sesar yang memperlihatkan cermin
sesar berupa gores garis di Sungai Cibeet dengan bidang sesar N450 E/ 250, gores garis 300. N 1100 E. Pitch 250
lokasi Sungai Cibeet CR-03)
Foto 2.13 Cermin sesar yang ditemukan pada Satuan
Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung Pasiran (Lokasi Sungai Cibeet CR-64)
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 12 Berdasarkan data-data tersebut diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa sesar Bantarkuning merupakan sesar mendatar. Berdasarkan hasil analisis dari data kedudukan arah cermin sesar diperoleh jenis sesar adalah sesar mendatar menganan (dextral).
f. Sesar Mendatar Cikutamahi
Sesar Mendatar Cikutamahi diketahui berdasarkan hasil analisa peta topografi dan didukung dengan adanya data dilapangan, yaitu pola kedudukan batuan yang tidak beraturan di Sungai Ciomas dan pola kelurusan sungai disepanjang sungai Ciomas, serta dijumpai milonitisasi dengan arah umum Milonitisasi dengan arah umum N147°E di Sungai Cibojonggede CR-47.
Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sesar Cikutamahi merupakan sesar mendatar. Hasil dari analisis data diatas diperoleh jenis sesar adalah sesar mendatar menganan (dextral).
2.3.3. Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian
Dari hasil analisis data-data di lapangan berupa cermin sesar dan hasil intepretasi peta geologi, maka gaya utama yang bekerja di daerah penelitian adalah Utara-Selatan (N 5°E). Umur dari struktur-struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terjadi dalam satu fase tektonik saja, yaitu pada kala Pliosen-Plistosen di mana gaya/aktifitas tektonik yang terjadi pada kala Pliosen masih terus berlangsung sampai pada kala Plistosen sehingga pada kala Plistosen memicu terjadinya aktifitas erupsi gunungapi di bagian tenggara daerah penelitian yaitu Gunung
Sanggabuwana yang endapannya
menghasilkan Satuan Batuan Gunungapi tak Terurai serta Satuan Intrusi Andesit di daerah penelitian.
Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian di mulai pada Kala Pliosen awal seperti yang telah disebutkan di atas dengan arah gaya utamanya adalah N 5°E yang membentuk perlipatan berupa sinklin dan antiklin, kemudian gaya masih terus berlangsung sehingga terbentuk sesar naik serta sesar mendatar di daerah penelitian.
2.4. Sejarah Geologi
2.4.1. Sejarah Geologi Jawa Barat
Kondisi Paleogeografi Jawa Barat pada kala Miosen awal adalah bagian daratan berada di bagian selatan Jawa Barat, yang meliputi sekitar Jampang Kulon, ke arah bagian tengah berupa laut dalam yang meliputi daerah Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung hingga ke Tasikmalaya. Sedangkan di bagian utara Jawa Barat mulai Serang, Rangkas Bitung, Jakarta hingga Cirebon berupa laut dangkal.
Foto 4.8 Cermin sesar yang ditemukan di CR-21
Sungai Cibeet pada Satuan Batugamping Pasiran Selang-seling Batulempung Pasiran
Foto 4.9 Zona hancuran (milonitisasi) dengan arah umum
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 13 Pada kala akhir Miosen Tengah,
kondisi Paleogeografi Jawa Barat daratan yang berada di bagian selatan Jawa Barat sudah mengalami penyusutan, tersebar dari Jampang Kulon hingga ke Ujung kulon, sedangkan ke arah bagian tengah Jawa Barat masih berupa laut dalam dan ke arah utara di tempati oleh terumbu Batugamping yang menyebar hingga ke laut Jawa. Laut dangkal berada di bagian utara, barat dan selatan laut Jawa, Selat Sunda dan Samudra Hindia.
Pada kala Miosen Akhir kondisi paleogeografi Jawa Barat sudah mengalami perubahan yang cukup berarti yaitu daratan ada pada bagian barat (Banten) dan selatan Jawa Barat (Jampangkulon–Tasikmalaya). Kondisi laut dalam semakin menyempit, berada di bagian tengah Jawa Barat sedangkan laut transisi berada di bagian utaranya tersebar dari selatan Jakarta-Cirebon. Laut dangkal tersebar di bagian utara Jawa Barat mulai dari dataran pantai Jakarta hingga Cirebon dan menerus hingga kelaut Jawa.
Pada Kala Pliosen kondisi Paleogeografi Jawa Barat hampir separuh Jawa Barat sudah berupa daratan, yaitu mulai dari Serang, Rangkas Bitung, Bogor, Bandung hingga ke Tasikmalaya. Ke arah utara di tempati oleh endapan kipas alluvial, sedangkan laut dangkal menempati bagian utara Jawa Barat, mulai dari dataran pantai Jakarta hingga Cirebon dan lautan berada di bagian utaranya yaitu di laut Jawa sekarang.
2.4.2. Sejarah Geologi Daerah Penelitian
Sejarah geologi di daerah penelitian dimulai pada Kala Miosen Tengah pada rentang waktu N13-N14, dengan kondisi pada waktu itu adalah laut dangkal antara 20 – 100 mdpl (Neritik Tengah). Batuan yang diendapkan yaitu satuan batugamping pasiran selang-seling batulempung (Formasi Parigi). Ketebalan terukur satuan ini adalah ± 660,25 m. Kemudian pada kala Miosen Akhir (N15-N18) diendapkan secara selaras di atasnya yaitu satuan batulempung (Formasi Kaliwangu) pada lingkungan pengendapan laut dangkal dengan kedalaman 5 – 20 mdpl (Neritik Tepi) hingga 20 – 100 mdpl (Neritik Tengah).
Kemdian pada Kala Pliosen Awal mulai terjadi aktivitas tektonik, sehingga batuan mengalami proses perlipatan, pengangkatan dan terpatahkan. Proses tektonik ini terus berlangsung sampai kala Pleistosen, diikuti oleh aktivitas vulkanisme. Adanya aktivitas vulkanisme pada Kala Pliosen hingga Pleistosen tersebut menghasilkan produk berupa batuan intrusive dan batuan ekstrusive. Batuan intrusive berupa intrusi di Gunung Rungking dan Gunung Aseupan. Sedangkan Gambar 2.5 Paleogeografi kala Miosen Tengah
Gambar 2.6 Paleogeografi kala Miosen Akhir
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 14 batuan ekstrusive berupa material-material
hasil erupsi Gunung Api berupa breksi gunungapi, tuff kristal, dan tuf lapili yang menutupi satuan batuan sebelumnya. dengan sumber pengendapan diperkirakan berasal dari Gunung Sanggabuwana yang berada di arah Selatan lokasi penelitian, di luar daerah penelitian.
Akibat dari perlipatan dan pensesaran di beberapa tempat pada daerah penelitian, dan seiring dengan waktu geologi yang berlangsung terjadi pula proses eksogen yaitu pelapukan-pelapukan pada zona lemah yang kemudian membentuk sungai-sungai. Sungai-sungai tersebut mengikuti pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian, sehingga menghasilkan endapan aluvial yang merupakan hasil rombakan dari batuan yang terbentuk sebelumnya. Sehingga menghasilkan bentuk ekspresi morfologi yang ada seperti pada saat ini. Endapan aluvial sungai ini menutupi seluruh satuan batuan yang ada di bawahnya dengan batas berupa bidang erosi.
2.5. Potensi Andesit Gunung Rungking 2.5.1. Kondisi Geografis Gunung Rungking
Gunung Rungking merupakan salah satu dari dua buah bukit intrusi yang ditemukan di daerah penelitian, berada di bagian tenggara daerah penelitian, dimana lokasi ini merupakan perbatasan antara Kabupaten Bogor bagian timur laut dengan Kabupaten Karawang bagian barat daya.
Berada pada elevasi 300 meter dengan titik puncak di ketinggian 600 meter, dengan bentuk yang kokoh dan menjulang tegak yang berada di antara beberapa bukit-bukit di sekelilingnya menunjukkan bahwa Gunung Rungking merupakan bentang alam vulkanik neck atau jenjang gunungapi.
Area penelitian memiliki luas 846.804
m2 (didapat dari perhitungan menggunakan
metode gridding, dengan ketinggian yang tersingkap di atas permukaan tanah adalah ± 300 meter.
2.5.2 Metode Perhitungan
Dalam perhitungan sumber daya bahan galian di daerah peneltian dibagi menjadi dua tahapan, yaitu :
1. Tahapan perhitungan luas Dalam perhitungan luas digunakan metode gridding, yaitu perhitungan luas yang
membagi area pada peta yang berbentuk bujur sangkar. Satu buah bujur sangkar memiliki luas 50 m2.
2. Tahapan perhitungan volume Dalam perhitungan volume digunakan metode kontur menurut B.C.Craft and M.F.Hawkins (1959). Elevasi Kontur a ( m ) Luas Area a ( m2 ) Interval h ( m ) Volume V ( m3 ) Dasar batas perhitungan ( a0 ) A0 - - Kontur antara dasar dan puncak ( a1 )* A1 h1 = a1 – a0 ** Puncak dengan ketinggian kontur tertentu ( a2 ) - h2 = a2 – a1 V2 = 1/3.h2 (A1) Keterangan:
* : Banyaknya kontur tergantung dari data kontur di peta antara kontur dasar
batas perhitungan dengan titik puncak
** : Jika A1/A0> 0.5, maka rumus yang digunakan
adalah
V1 = 𝒉𝟏
𝟑 ( A0 + A1 + 𝑨𝟎 . 𝑨𝟏 )
Jika A1/A0 < 0.5, maka rumus yang digunakan adalah V1 = 𝒉𝟏 𝟐 ( A0 + A1 ) Tabel2.7.Metodeperhitungan volume sumberdayabahangaliandenganmetodekonturberdasark anB.C.Craft and M.F.Hawkins, 1959dalam “Petroleum
Reservoir Engineering”
Gambar 2.4Gambar metode perhitungan volume berdasarkan
B.C.Craft and M.F.Hawkins, 1959 dalam “Petroleum Reservoir Engineering”
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 15 2.5.3 Perhitungan Sumber Daya Andesit
Gunung Rungking
Kajian mengenai ketedapatan sumber daya andesit di Gunung Rungking hanya dilakukan berupa perhitungan jumlah sumber dayanya saja tanpa menguji kualitas keteknikan dari batuan tersebut. Sehingga berdasarkan klasifikasi sumber daya menurut SNI, daerah penelitian termasuk ke dalam sumber daya mineral hipotetik.
Dengan menggunakan metode kontur menurut B.C.Craft and M.F.Hawkins maka didapatkan jumlah sumber daya andesit Gunung Rungking adalah sebesar 21.036.574
m3.
2.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemetaan geologi serta pengamatan yang telah dilakukan mengenai unsur-unsur geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan perhitungan sumber daya andesit di daerah Cikutamahi dan sekitarnya, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, maka dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
Geomorfologi daerah penelitian terbentuk sebagai akibat dari proses Endogen dan Eksogen. Proses endogen menghasilkan perlipatan dan patahan pada batuan yang terdapat di daerah penelitian sehingga menampakkan morfologi lipat patahan setelah batuan tererosi akibat dari proses eksogen. Selain daripada itu proses endogen yang menimbulkan aktivitas vulkanik menghasilkan morfologi perbukitan intrusi dan perbukitan lereng gunung api pada daerah penelitian yang disusun oleh batuan produk gunung api. Adapun proses eksogen pada daerah penelitian menghasilkan morfologi endapan sungai atau endapan aluvial sungai serta membentuk pola-pola sungai berdasarkan kondisi litologi daerah penelitian maupun struktur geologinya.
Stratigrafi daerah penelitian tersusun atas Formasi Parigi dan Formasi Subang, dimana hubungan stratigrafi keduanya adalah selaras berdasarkan umur yang menerus serta kedudukan lapisan yang relatif sama. Pada daerah penelitian Formasi Parigi diwakili oleh satuan satuan batugamping selang-seling batulempung yang disebandingkan dengan ciri Formasi Parigi bagian atas yaitu berupa litologi batugamping pasiran. Sedangkan Formasi Subang diwakili oleh satuan batulempung yang disebandingkan dengan litologi batulempung
tidak berlapis, konkoidal dan kaya akan konkresi, dari ukuran beberapa centimeter sampai lebih dari 1 m. Kedua litologi ini diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal. Pada kala Pliosen tidak terjadi pengendapan batuan karena adanya proses tektonik berupa pengangkatan yang disertai perlipatan hingga terbentuk patahan. Aktivitas vulkanik pada Kala Plistosen menghasilkan satuan batuan intrusi dan satuan batuan produk gunungapi tak terurai yang merupakan produk daratan.
Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian dicirikan dengan lipatan dan patahan, yang membentang pada satuan batugamping selang-seling batulempung (Formasi Parigi) dan satuan batulempung (Formasi Subang). Struktur geologi terbentuk akibat proses tektonik yang berlangsung pada Kala Pliosen Awal menerus hingga Kala Pleistosen (Plio – Pleistosen) akibat adanya gaya utama yang mendorong dari arah utara dan selatan sehingga menghasilkan struktur perlipatan yang umumnya berarah barat-timur berupa : Sinklin Sukajadi, Antiklin Medalsari, Sinklin Kutamekar, Antiklin Cikutamahi, Sinklin Cibatutiga, Antiklin Bantarkuning, serta membentukan patahan berupa : Sesar Naik Cibeet, Sesar Mendatar Cibatutiga, Sesar Mendatar Kutamekar, Sesar Mendatar Medalsari, Sesar Mendatar Bantarkuning, Sesar Mendatar Cikutamahi. Intrusi andesit di Gunung Rungking memiliki luas wilayah 846.804 m dengan ketebalan terukur di permukaan yaitu ± 300 meter. Dengan jumlah sumber daya sebesar
21.036.574 m3.
2.7 Daftar Pustaka
Asikin, Sukendar., 1986, Geologi
Struktur Indonesia, Departemen
Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung.
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, 1999, Peta Rupabumi Digital Indonesia lembar
Cariu No. 1209-234, Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Cibinong, Bogor.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 16
Bemmelen, R. W. Van., 1949, The
Geology of Indonesia, Vol. IA : General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Government
Printing Office, The Hague, 732 p.
Billings, Marlan P., 1960, Structural
Geology, Second Edition, Prentice –
Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 514 p.
Blow, W. H. and Postuma J. A., 1969. “Range Chart, Late Miosen to Recent
Planktonic Foraminifera
Biostratigraphy”, Proceeding of The
First.
Bogie, I dan Mackekenzie, K.M., 1998. The application of volcanic
facies models to an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java Indonesia. Procceedings, 20 th New
Zealand Geothermal Workshop, h 265-276.
Dunham, 1962, Op Cit Mudjur M., 1985, Petrografi Batuan Metamorf
dan BatuanSedimen,Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan Bogor.
Koesoemadinata, R.P., 1985, ”PRINSIP-PRINSIP
SEDIMENTASI”, Jurusan Geologi,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Martodjojo, Soejono., 1984, Evolusi
Cekungan Bogor Jawa Barat,
Fakultas Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Noor, Djauhari, dan Kadarisman, Denny. S., 2002, Pedoman Ekskursi
Geologi Regional Jawa Barat – 2011,
Edisi 4, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor.
Noor, Djauhari., 2012, Pengantar
Geologi Edisi II, Program Studi
Teknik Geologi Universitas Pakuan, Bogor.
Noor, Djauhari., 2006, Geomorfologi
dan Geologi FotoEdisi I, Program
Studi Teknik Geologi Universitas Pakuan, Bogor.
Noor, Cahyo.Yuniarti., Panduan Praktikum Sedimentologi Analisa Besar Butir , Universitas Padjajaran
2010
Robert L Folk , 1985, ”PETROLOGY
OF SEDIMENTARY ROCKS”,
Hemphill publishing company Austin Texas.78703
Sukandarrumidi, 1999, Bahan Galian
Industri, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Thornburry W.D., 1958, Principles Of
Geomorfologi, JHon Wiley and sons,
Inc. London.
2.8 Lampiran Peta 1. Peta Lintasan 2. Peta Geologi 3. Peta Geomorfologi
4. Peta Penyebaran Sumberdaya Andesit
PENULIS
1. Emmi Vathreescia, ST. Alumni (2013) Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Unpak
2. Ir. Djauhari Noor, M.Sc. Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Unpak
3. Ir. Denny Sukamto Kadarisman, MT. Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Unpak