• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(3)

Dr. Rimba Hamid, M.Si

Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka

(4)

Dr. Rimba Hamid, M.Si - Makassar : © 2018

Layout : Nas Media Creative

Design Cover : Nas Media Creative Copyright © Rimba Hamid 2018

Hak cipta ada pada Penerbit Nas Media Pustaka All right reserved

Cetakan Pertama, April 2018

Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka

CV. Nas Media Pustaka Anggota IKAPI

Jl. Batua Raya No. 550 Makassar 90233 Telp. 0811-43222-71 / 0853-6363-5252 redaksi@nasmediabooks.com

www.nasmediapustaka.co.id www.nasmediabooks.com

Instagram : @nasmediapustakapenerbit Fanspage : Penerbit Nas Media Pustaka

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Rimba Hamid.

Katalisme Dalam Pembelajaran Sains / Rimba Hamid; –cet. I –Makassar : Nas Media Pustaka, 2018.

xvi + 190 hlm; 15,5 x 23 cm ISBN 978-602-5662-18-8

I. Buku Pendidikan II. Judul

899.221 1

Dicetak oleh Percetakan CV. Nas Media Pustaka, Makassar Isi di luar tanggung jawab percetakan

(5)

SAMBUTAN PENERBIT

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebuah Keberkahan syukur kehadirat Allah Azza wa Jalla yang memberikan akal pikiran pada tiap diri manusia sehingga terbentuklah kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, dan terucap salam serta sholawat tercurahkan teruntuk Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam, suri tauladan ummat manusia sebagai cermin pembentuk peradaban yang didalamnya tergoreskan nilai-nilai kemanusiaan.

Katalisme dalam Pembelajaran Sains karya Dr. Rimba Hamid, M.Si adalah buku yang di susun dengan begitu rinci, detail dan lengkap. Menyajikan tema yang sangat kuat dan bersandar pada data dan kaya akan literatur teori, sehingga sangat baik menjadi refensi bagi khalayak banya dalam mempelajari bahasan tentang katalisme dalam pembelajaran sains.

Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, terkhusus para akademisi, peneliti dan mahasiswa

(6)

yang ingin memperdalam literatur terkait katalisme dalam pembelajaran sains.

Akhirul Qalam.

Makassar, April 2018

Nur Amin Saleh,S.Psi.,M.H Founder Nas Media Pustaka

(7)
(8)

P R O L O G

Dewasa ini sangat banyak pilihan model pembelajaran yang dapat diajadikan sebagai alternatif oleh guru dalam menyelenggara-kan suatu proses pembelajaran. Menetapkan suatu model pembelaja-ran yang tepat pada suatu konsep yang diajarkan bukanlah pilihan mudah bagi guru.

Pertimbangan tersebut paling tidak didasarkan pada dua aspek utama, yakni: 1) karaketristik materi atau konsep yang akan diajarkan dan 2) karakteristik peserta didik yang akan belajar.

Di dalam kurikulum 2013 menyarankan tradisi pembelajaran dengan beberapa model seperti: discovery learning, inquiry learning, problem based learning dan project based learning serta model lainnya yang berbasis konstruktivisme, dimana pendekatan saintifik 5M (Mengamati, Menanya, Mencoba, Menalar, dan Mengkomunika-sikan) bukanlah satu-satunya metode saat mengajar dan apabila digunakan maka susunannya tidak harus berurutan. Melalui beberapa tahapan revisi, maka kurikulum 2013 tidak lagi berorientasi produk pembelajaran tetapi pada prosesnya yakni mengintegrasikan

(9)

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di dalam pembelajaran. Karakter yang diperkuat terutama 5 karakter, yakni: religious, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Mengintegrasikan literasi; keterampilan abad 21 atau dengan istilah 4C (Creative, Critical thinking, Communicative, dan Collaborative. Menginteg-rasikan HOTS (Higher Oreder Thinking Skill).

Mengacu pada dimensi pengetahuan menurut Anderson dan Krathwohl, 2001 bahwa pengetahuan itu dibagi menjadi empat, yakni: 1) pengetahuan faktual; 2) pengetahuan konseptual; 3) pengetahuan prosedural; dan 4) pengetahuan meta-kognitif, maka guru perlu melihat varian dimensi pengetahuan ini dalam memilih model, pendekatan, strategi, metode maupun teknik pembelajaran yang bersesuaian.

Model pembelajaran merupakan suatu representasi mekanistik dengan tahapan/sintaks yang meniru atau beranalogi dengan sistem atau konsep tertentu dan diadopsi menjadi tahapan pembelajaran yang bertujuan pada efektifitas dan efisiensi suatu proses pembelajaran dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Muatan utama buku ini sebagaimana yang dipaparkan pada Bab V mengajukan suatu model pembelajaran berbasis mekanisme katalisis beserta tahapannya dalam sebuah reaksi kimia. Melalui analogi tahapan katalisme reaksi inilah yang

(10)

menjadi dasar mendesain sebuah langkah-langkah pembelajaran dengan paradigma konstruktivis.

Penulis berharap bahwa buku ini dapat menjadi bacaan yang dapat mengilhami para guru dalam menemukan model pembelajaran alternative dari model-model pembelajaran yang selama ini ada.

Berkaitan dengan hal tersebut, usulan model pembelajaran ini dapat segera divalidasi melalui uji coba terbatas dengan penelitian-penelitian di tingkat mahapeserta didik, sehingga model ini dapat setara dengan model-model pembelajaran lainnya.

Membaca buku ini diharapkan juga akan memberi kontribusi pada perubahan paradigma pembelajaran menuju basis tradisi konstruktivis. Khususnya bagi guru sains yang akan menambah pemahamannya dalam hal model mental, perubahan konseptual, dan pengaturan awal (advanced organizer), sehingga dengan memahami aspek-aspek tersebut diharapkan dapat menambah kemampuan guru mengekplorasi kemampuan konseptual peserta didik dalam mengonstruksi pengetahuannya.

Kendari, April 2018

(11)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN PENERBIT ... v

PROLOG ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB 1 KATALISATOR: PERAN INTEGRATIF GURU ... 1

BAB 2 HAKIKAT SAINS DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN ... 19

A. Desain Konseptual Pembelajaran Berbasis NOS 25

B. Karakteristik Sains Sebagai Inti Pembelajaran .... 32

C. Kedudukan Produk Sains Dalam Pembelaran IPA ... 48

BAB 3 KONSTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN SAINS ... 53

A. Awal dari Teori Pembelajaran Konstruktivisme . 56 B. Konstruktivisme Individual ... 59

C. Konstruktivisme Sosial ... 61

D. Konstruktivisme Afilosofis ... 63

(12)

BAB 4 KATALISME DALAM BERBAGAI

PERSPEKTIF ... 109

A. Katalisme dalam Perspektif Kimia ... 110

B. Katalisme dalam Perspektif Motivasi ... 115

C. Katalisme dalam Perspektif Pembelajaran ... 133

BAB 5 OPTIMALISASI PERAN KATALITIK GURU DALAM PEMBELAJARAN SAINS ... 143

A. Peran Guru dalam Pembelajaran ... 143

B. Refleksi Peran Katalis dalam Konteks Pembelajaran ... 151

C. Transformasi Siklus Katalitik sebagai Model Pembelajaran Alternatif ... 154

BAB 6 DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PERAN KATALIS GURU ... 163

A. Alternatif Strategi berdasarkan Perspektif Piaget dan Ausubel ... 163

B. Constructivist-Oriented Science Classroom ... 167

C. Constructivist Teaching Sequences (CTS) ... 169

DAFTAR PUSTAKA ... 177

(13)

DAFTAR TABEL

1. Kategoru komponen_komponen NOS ... 24 2. Rancangan desain aktivitas guru dan peserta didik

berbasis NOS ... 26 3. Pandangan konstruktivisme sosial terhadap

Pengetahuan dan belajar ... 62 4. Peran guru berdasarkan tingkat satuan pendidikan .. 148 5. Sintaks model pembelajaran katalis ... 158 6. Alternatif strategi pembelajaran berdasarkan

perspektif Piaget dan Ausubel ... 163 7. Tahapan pembelajaran beserta aktivitas guru dan

(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Ilustrasi sub-sub peran guru dalam melaksanakan peran Utamanya sebagai katalis ... 9 2. Persamaan pengajaran (PP) ... 15 3. Persamaan pembelajaran berbasis peran guru

sebagai katalisator ... 17 4. Tahapan metode ilmiah ... 37 5. Struktur dasar dari rangkaian pengajaran

konstruktivis ... 69 6. Diagram representasi pandangan konstruktivis

tentang proses pembelajaran ... 73 7. Proses perkembangan mental seseorang dalam

Mencapai equilibrasi ... 86 8. Siklus belajar mengintegrasikan tiga fase

pembelajaran: eksplorasi, penemuan konseptual dan aplikasi konsep ... 88 9. Perspektif teori Piaget mengenai perkembangan

Kognitif anak ... 91 10. Atribut pembelajaran bermakna ... 94 11. Ilustrasi kontinum yang berbasis pada produksi

kreatif yang dihasilkan dari perkembangan

bermakna dengan tingkat yang tinggi ... 97 12. Ilustrasi perubahan struktur peserta didik dengan

adanya Informasi baru ... 99 13. Zone of Proximal Development ... 106 14. Siklus katalis dan tahap-tahap dasarnya ... 109

(15)

15. Proses katalisasi menurunkan energi aktivasi

dengan menempuh tahap reaksi yang berbeda ... 111 16. Profil pengaruh katalis dalam reaksi kimia ... 113 17. Peran guru sebagai katalis dalam menghantar

peserta didik memanjat tangga scaffolding ... 149 18. Reflektif siklus katalis dalam pembelajaran sains ... 155 19. Fase pembelajaran berbasis katalisme ... 158

(16)
(17)

KATALISATOR:

PERAN INTEGRATIF GURU

1

Dalam sebuah proses pembelajaran, peran guru sangatlah variatif, mulai dari peran sebagai motivator dan inspirator pada kegiatan pendahuluan, fasilitator pada kegiatan inti, atau dapat menjadi konfirmator dan evaluator di akhir pembelajaran. Lalu apakah kita membutuhkan seorang guru yang pintar atau guru yang baik. Sebuah pepatah Tiongkok mengatakan bahwa “Guru yang pintar adalah yang mengajarkan ilmu, tetapi guru yang baik adalah menginspirasi”.

Ketika mekanisme proses “pencarian” ilmu oleh seorang peserta didik sedang berlangsung, maka paling tidak terdapat dua pertanyaan yang paling esensial yang harus dilontarkan, yakni: 1) di manakah sesungguhnya pengetahuan yang sedang dicari oleh peserta didik? 2) bagaimanakah cara memperoleh dan membangunnya; dan 3) peran-peran apakah yang seharusnya

(18)

guru harus lakoni pada saat terlibat dalam mekanisme proses pembelajaran tersebut?

Berbagai teori yang menjadi dasar pendekatan lahirnya aplikasi-aplikasi paket pembelajaran yang dikemas dalam desain yang sangat apik telah diterapkan di dalam kelas, khsusnya kelas sains. Akan tetapi efektivitas dan efisiensi pembelajaran belum sepenuhnya memenuhi harapan banyak kalangan. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat aspek-aspek substansial yang belum tersentuh, atau bahkan hingga akhir jaman kompleksitas mengenai persoalan pembelajaran mungkin belum akan terselesaikan secara komprehensif.

Buku ini secara mendalam akan mengulas sebuah peran alternatif guru yang belum banyak diaplikasikan yakni sebagai katalisator beserta sintaksis (langkah-langkah operasional) pembelajaran yang mengadopsi siklus proses katalisis dalam reaksi kimia. Analogi ini dipilih untuk digunakan sebagai suatu model dalam pembelajaran, karena mekanisme proses katalisasi dalam suatu reaksi kimia memiliki “kemiripan” dengan mekanisme proses penemuan dan konstruksi pengetahuan baru sebagai produk berpikir peserta didik dalam proses pembelajaran, di mana guru sebagai katalisnya.

Para peserta didik yang datang ke kelas untuk belajar memiliki rentang pengetahuan awal yang variatif dari apa yang telah diketahuinya sebagai pengetahuan awal atau model mental,

(19)

dari keterampilan yang telah dimilikinya, dan dari kepercayaan serta sikap atau pendirian, yang berpengaruh terhadap bagaimana mengasimilasi, mengakomodasi, menafsirkan dan mengelola informasi baru yang diterimanya sebagai suatu pengetahuan yang baru.

Kondisi tersebut akan memiliki pengaruh terhadap bagaimana peserta didik memproses dan mengintegrasikan informasi yang baru, yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara mereka mengingat kembali, berpikir, menerapkan, dan menciptakan pengetahuan baru. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan keterampilan baru tergantung pada pengetahuan dan keterampilan yang telah ada sebelumnya, maka mengetahui apa yang peserta didik ketahui dan dapat lakukan sebelum memulai topik yang baru dari suatu pelajaran, dapat membantu guru untuk mendesain aktivitas pembelajaran yang memungkinkan membangun kekuatan peserta didik dan mengungkapkannya serta menetapkan kelemahannya (Mellon, 2015).

Berdasarkan perspektif di atas, tentu saja guru harus mengubah paradigmanya dalam memposisikan diri sebagai sosok yang membatu atau memfasilitasi peserta didik dalam membangun pengetahuannya. Peran sentral yang harus dilakoni oleh guru adalah menjadi katalisator dalam proses penemuan dan konstruksi pengetahuan oleh peserta didik.

(20)

Dalam konteks peran sebagai katalisator tersebut, guru harus memulai sub perannya sebagai inisiator bagi terciptanya suasana yang memudahkan bagi peserta didik untuk memulai aktivitas pembelajaran dalam rangka pengaturan awal (advance organizer) sehingga dapat memetakan titik-titik awal sebagai starting point untuk memulai proses membantu penemuan dan konstruksi pengetahuannya. Di sisi lain, sub peran sebagai motivator juga harus melebur dalam kegiatan awal pembelajaran untuk merangsang peserta didik dalam belajar agar energi yang harus dikeluarkan oleh guru dalam proses inisiasi semakin kecil, karena ketertarikan peserta didik pada materi yang akan dijelaskan oleh guru. Kondisi ini semakin tercipta ketika guru dapat memainkan sub peran tambahan sebagai seorang inspirator, yang dengannya peserta didik memiliki figur inspiratif karena mampu menginspirasi pemikiran-pemikiran awal peserta didik untuk menjadi dasar perkembangan konstruksi pengetahuan yang diperoleh berikutnya.

Fungsi utama guru sebagai katalisator adalah menurunkan “energi aktivasi” (faktor-faktor penghambat) dalam diri peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang akan dikonstruksinya secara bertahap. Pada tahap ini, guru harus dapat mengidentifikasi tahapan-tahapan proses memperoleh pengetahuan dari bahasan materi yang akan dijelaskannya sesuai dengan karakteristiknya. Prinsip utama dalam suatu tahapan

(21)

mekanisme reaksi dalam mencapai produk adalah jika dalam proses tersebut terdapat beberapa tahapan-tahapan reaksi, maka tahap yang menentukan adalah tahap lambatnya. Karena itu, guru selanjutnya harus dapat menetapkan pada bagian mana dari tahapan perolehan pengetahuan tersebut yang merupakan tahapan lambat, dan identifikasi tahap lambat ini membutuhkan kecermatan guru.

Sub peran selanjutnya yang harus dimainkan oleh guru dalam pembelajaran, khususnya dalam kegiatan inti adalah sebagai fasilitator, di mana pada titik ini guru harus mampu menfasilitasi peserta didik dalam merangkai dan merajut pengetahuan baru yang diperolehnya dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dalam serangkaian proses akomodasi maupun asimilasi pengetahuan untuk mencapai kondisi equilibrasi pemahaman. Pada fase ini guru dituntut untuk dapat memfasilitasi semua karakteristik peserta didik yang sangat beragam dalam perolehan pengetahuan. Karakteristik ini antara lain, yakni: pengalaman, pengetahuan awal, gaya belajar, motivasi, sikap, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta sejumlah faktor lainnya yang turut mentukan bagimana terjadinya dinamika proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal ini pula yang akan mempengaruhi efektivitas peran guru sebagai fasilitator.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid, 2017 menunjukkan bahwa memfasilitasi pemikiran peserta didik

(22)

secara bertahap pada konsep induksi magnet melalui fenomena-fenomena baru yang bersesuaian dapat meningkatkan jumlah peserta didik yang meimiliki perubahan berpikir dalam kategori “lebih progressif” yang teramati dari perubahan model mental yang dimilikinya. Selain itu, fakta lain dari proses fasilitasi tersebut data menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik memiliki pemikiran yang konsisten dan progressif, akan tetapi juga terdapat peserta didik yang berpikir lebih acak.

Sebagai seorang mediator, guru hendaknya dapat menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik dan membantu memediasinya untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan mengomunikasikan ide ilmiah mereka, serta menyediakan sarana yang merangsangnya berpikir secara kritis dan kreatif sehingga memiliki kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses perkembangan kognitifnya. Di sisi lain yang tak kalah pentingnya adalah guru perlu menyediakan pengalaman konflik untuk menginisiasi pertumbuhan struktur kognitif peserta didik.

Dalam konteks transmiter, maka guru harus berperan sebagai penyalur pengetahuan yang dapat mengubah kerumitan pemahaman suatu pengetahuan kepada interpretasi pengetahuan yang lebih spesifik dan lebih mudah dipahami oleh peserta didik melalui suatu proses transformasi. Hal inilah yang sering kita ketahuai dari pernyataan bahwa guru yang baik adalah yang

(23)

mampu menyederhanakan yang sulit, dan membuat sesuatu yang abstrak menjadi konkrit (analogi pada fungsi transmitter yang mengubah sinyal yang diterima dari sensor menjadi sinyal standar).

Sarana yang dapat digunakan oleh guru dalam memfasilitasi varian-varian karakter ini antara lain dengan mendesain lembar kegiatan peserta didik (LKPD) yang interaktif dalam membangun pengetahuan dan melibatkan keterampilan proses sains peserta didik, atau mungkin dengan forum tanya jawab dan diskusi untuk mengeksplorasi kemampuan lainnya dalam belajar.

Sub peran berikutnya yang tak kalah penting bagi guru adalah sebagai konfirmator dan evaluator pada fase akhir pembelajaran yang berfungsi untuk mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik berkembang atau tidak. Guru sedapat mungkin menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan atau memiliki hubungan (konteks berbeda). Mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik adalah hal yang sangat penting, karena guru perlu mengonfirmasi untuk mengetahui sejauh mana rangkaian perkembangan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik pada sebuah proses pembelajaran yang telah berlangsung melalui suatu evaluasi produk akhir pengetahuan. Pada titik ini, guru harus dapat mengidentifikasi secara kasar

(24)

mengenai produk-produk pengetahuan baru apa yang telah menjadi pemahaman akhir dari masing-masing atau kelompok peserta didik mengenai suatu konsep yang diajarkan oleh guru. Hal ini dapat dilakukan oleh guru melalui teknik-teknik penilaian yang ada sesuai dengan karakteristik pemahaman yang akan dinilai. Akhirnya sebagai seorang guru, yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga harus berperan sebagai edukator yang menekankan pada perubahan sikap dan perilaku (karakter) peserta didik, khususnya dalam menghargai pendapat dan ide peserta didik lainnya yang berbeda, serta menuntunnya untuk senantiasa memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar pada masa yang akan datang, sehingga mereka akan terpicu secara mandiri untuk memperoleh pengetahuan baru meskipun bukan dari gurunya lagi, melainkan dari sumber belajar lainnya yang tersedia di lingkungan sosial dan budaya di mana mereka tinggal. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh L. Ron Hubbard bahwa "Edukator sejati menempatkan kecerdasan dan kemampuan di dalam kemampuan yang lainnya, sebagai gambaran untuk semua orang, bahkan muridnya, untuk menyaksikan. Kemudian melangkah keluar, yang memungkinkan untuk mengembangkan, menciptakan, dan mengejar bakat mereka (Jackson, 2012)" Pada fase ini guru melepaskan diri dari proses pengembangan pengetahuan peserta didik di lingkungannya.

(25)

Secara umum dapat dikatakan bahwa dari seluruh peran-peran guru yang telah dijelaskan di atas, maka pada dasarnya peran utama guru dalam proses pembelajaran sesungguhnya adalah sebagai “Katalisator”, dan dalam peran besar inilah guru memiliki sub-sub peran, yakni: pada kegiatan awal dapat melakoni sub peran sebagai inisiator, motivator, maupun sebagai inspirator. Pada kegiatan inti guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator, transmitter, atau sebagai mediator dalam perolehan pengetahuan. Pada kegiatan akhir, sub peran guru adalah sebagai konfirmator dan evaluator untuk mengetahui produk akhir dari pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Keterlibatan masing-masing peran tersebut pada setiap tahapan pembelajaran dapat diillustrasikan seperti pada Gambar 1. INISIATOR MOTIVATOR INSPIRATOR FASILITATOR TRANSMITER MEDIATOR EVALUATOR P e ra n G u ru s e b a g a i K a ta lis a to r P e m b e la ja ra n Fase Awal Fase Transisi Fase Akhir KONFIRMATOR EDUKATOR

Gambar 1. Illustrasi Sub-sub peran guru dalam melaksanakan

(26)

Peran guru sebagai katalisator merupakan akumulasi dari beberapa sub-sub peran yang sangat substansial, dan untuk mewujudkan peran ini secara optimal tentu saja tantangan besanya akan muncul jika tanpa adanya pelatihan in-service yang praktis, sehingga para guru tidak dapat menjadi katalisator yang efektif dalam melaksanakan perannya. Bukan hanya itu, peran guru ini juga akan lebih optimal jika ditunjang oleh keterlibatan orang tua ketika peserta didik kembali ke lingkungan masyarakat dan keluarga. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Fullan dan Stiegelbauer (1991: 231) dalam Skosana dan Moyai (2013) bahwa bukan hanya agen guru katalitik yang sangat penting dalam transformasi dan implementasi kurikulum tetapi juga keterlibatan orang tua sampai ke tingkat kelas.

Mongonfirmasi hal tersebut, kesimpulan dari hasil penelitian Skosana dan Moyai (2013) mengenai “The Teacher as a Catalytic Agent in the Implementation of the Curriculum” menemukan bahwa pada kebanyakan sekolah di kota kecil di Afrika, guru tampaknya mengajar, peserta didik belajar tapi standar penilaian, hasil belajar dan hasil kritis tidak dicapai, disebabkan karena guru berperan bukan sebagai katalis dalam mendorong kurikulum di kelas mereka, misalnya menggunakan sumber daya yang relevan seperti grafik, surat kabar atau benda konkret untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran di

(27)

kelas. Pengajaran dan pembelajaran di kelas tidak dibuat menarik dan praktis seperti yang ditentukan oleh Kebijakan Kurikulum dan Penilaian. Konsekuensinya adalah peserta didik tidak siap untuk dapat secara bermakna mengingat fakta agar pembelajaran lebih efektif yang dapat dilakukan sesuai potensi optimal mereka sebagimana rekan-rekan mereka di sekolah-sekolah yang ada di kota. Kondisi ini juga diperparah dengan tidak adanya pemantauan dan dukungan yang efektif dari pejabat kabupaten untuk memastikan bahwa guru mengajar sesuai dengan pedoman dan edaran kebijakan yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan.

Jika dibandingkan dengan apa yang sedang diupayakan oleh pemerintah dewasa ini, yakni penyelenggaraan pendidikan profesi guru (PPG) oleh perguruan tinggi / LPTK yang telah memenuhi syarat dan ditunjuk oleh Menteri. Paradigma keguruan terkini yang dituangkan dalam Permenristekdikti RI No. 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru pada pasal 1 ditegaskan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” dengan proses pendidikannya mengacu pada pasal 4 ayat 3 yang menyatakan bahwa: “Pendidikan Guru bersifat nasional dan bertujuan untuk menghasilkan guru sebagai pendidik profesional yang nasionalis

(28)

dan memiliki wawasan global sesuai dengan kebutuhan nasional, lokal, dan / atau perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni”

Jika konsep keguruan di atas dikonfirmasi dengan Kerangka Konseptual Guru dalam konteks Katalis dari Unit Pendidikan Guru di West Liberty University Amerika (2015) yang memilih metafora "The Teacher as Catalyst" sebagai tema pemersatu untuk menentukan kerangka konseptual bagi program pendidikan guru. Sebagai struktur pengorganisasian untuk basis pengetahuan profesional guru sebagai katalisator, Unit Pendidikan Guru menciptakan tujuan dan hasil program yang spesifik, yakni:

1. Kandidat guru akan menunjukkan penguasaan di bidang konten materi.

a. Bukti kompetensi standar isi nasional.

b. Bukti kompetensi standar teknologi nasional.

c. Secara akurat menyampaikan konten dalam mengajar. 2. Kandidat guru secara positif akan mempengaruhi hasil

belajar.

a. Merancang dan menerapkan berbagai penilaian formatif. b. Merancang dan menerapkan berbagai penilaian sumatif. c. Membuat hubungan yang bermakna antara tujuan,

(29)

d. Menggunakan hasil penilaian untuk menginformasikan instruksi.

3. Kandidat guru akan berkolaborasi dengan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan kolega untuk menginspirasi perubahan positif.

a. Menunjukkan komunikasi yang efektif dengan keluarga. b. Terlibat dalam upaya penjangkauan masyarakat di

sekolah.

c. Berpartisipasi dalam proyek dan inisiatif di wilayah / masyarakat yang lebih luas.

d. Berpartisipasi dalam peluang pengembangan profesional di tingkat universitas, regional, negara bagian, nasional, dan / atau internasional.

4. Kandidat guru akan memanfaatkan penelitian terkini untuk merancang instruksi efektif dalam Kerangka Abad 21. a. Memasukkan prinsip-prinsip desain instruksional

berbasis penelitian yang efektif (Understanding Backward Design and Universal Design for Learning). b. Secara aktif melibatkan peserta didik dalam kemampuan

berpikir kritis tingkat tinggi.

c. Mengevaluasi dan memilih teknologi tepat guna dan alat instruksional berdasarkan faktor kontekstual.

(30)

5. Kandidat guru akan merespon beragam kebutuhan peserta didik.

a. Menerapkan pengetahuan perkembangan anak dan remaja terhadap desain instruksional.

b. Mengidentifikasi berbagai perbedaan budaya, sosio-ekonomi, dan rasial yang dapat mempengaruhi interaksi dan pembelajaran peserta didik.

c. Mengidentifikasi berbagai jenis kelamin, kekhasan, dan perbedaan bahasa yang dapat mempengaruhi interaksi dan pembelajaran peserta didik.

6. Kandidat guru akan terlibat dalam pengembangan lingkungan kelas yang positif dan berbasis pada peserta didik.

a. Membuat rencana disiplin kelas yang positif.

b. Menerapkan pengetahuan tentang berbagai teknik motivasi untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik. c. Menggunakan teknik komunikasi yang efektif untuk

mempromosikan komunitas kelas yang terhormat.

d. Merefleksikan semua aspek pengajaran yang berkontribusi pada lingkungan kelas peserta didik yang positif dan berbasis peserta didik. Aspek ini meliputi pengajaran, penilaian, manajemen kelas, dan interaksi peserta didik dan orang tua.

(31)

7. Kandidat guru secara efektif akan memanfaatkan teknologi pembelajaran dalam mengajar.

a. Mengidentifikasi, membandingkan, menggunakan, dan menggabungkan berbagai jenis teknologi pendidikan yang tersedia.

b. Menanamkan teknologi sebagai komponen penting dalam perencanaan pembelajaran.

c. Merancang pelajaran dengan menggunakan teknologi tepat guna seperti papan tulis interaktif, penanggap tangan pribadi, dan / atau teknologi terkait lainnya.

Secara lebih spesifik, bagaimana proses katalitik yang harus diperankan oleh guru telah diusulkan oleh Rogerson dan Comicz, 2014 dalam bentuk “Persamaan Pengajaran” seperti Gambar 2 berikut:

Student + Engagement +Motivation Lifelong Learning Catalytic Teaching

Gambar 2. Persamaan Pengajaran (PP)

Model ini menyamakan pendidik dengan katalisator yang mempromosikan dan mempercepat laju pembelajaran dalam sebuah kelas. Selanjutnya, tiga pendekatan praktis disarankan agar mendukung guru untuk menerapkan Persamaan Pengajaran (PP) di dalam kelas mereka. Berdasarkan PP di atas, dapat dijelaskan bahwa sebuah pembelajaran dengan perspektif

(32)

katalitik, wajib melibatkan motivasi secara terintegrasi dengan karakteristik peserta didik, dan tentu saja motivasi ini sangat berkaitan dengan konten materi yang akan dijelaskan oleh guru dalam sesi pembelajaran tersebut.

Pendekatan katalitik ini selaras dengan keterlibatan, motivasi dan elemen pembelajaran sepanjang hayat sesuai dengan persamaan pengajaran pada Gambar 1, untuk memastikan bahwa praktik pengajaran yang positif (diinisiasi oleh guru dengan melibatkan motivasi peserta didik sebagai zat pemicu) dapat dilaksanakan di setiap tahap pembelajaran. Oleh karena itu, konsekuensi dari pendekatan ini adalah guru harus memiliki pemahaman yang memadai, minimal dari dua aspek utama, yakni: 1) cara mengaplikasikan teori-teori pembelajaran yang berbasis konstruktivis individual maupun konstruktivis sosial, dan 2) menguasai secara mendalam konten materi yang akan diajarkan.

Fenomena yang jamak dijumpai di sekolah-sekolah, khususnya di tingkat dasar, bahwa banyak guru belum mampu merancang pembelajaran secara utuh, disebabkan karena selain kurangnya kemampuan memahami konsep secara luas, juga disebabkan karena kurangnya perspektif teori-teori dan pendekatan belajar yang mereka miliki untuk diaplikasikan dalam kelas. Sebagai solusi pragmatis, mereka lebih memilih mencari RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang telah

(33)

ada di internet dan mengunduhnya atau meminjam dari rekan guru lainnya, tanpa perlu mengetahui dasar-dasar pertimbangan lahirnya RPP tersebut. Misalnya mengapa menggunakan pendekatan, startegi, metode atau model pembelajaran tertentu untuk mengajarkan materi yang bersangkutan?

Bagaimanakah seharusnya guru memosisikan diri dalam persamaan pembelajaran tersebut dan apakah hakikat peran katalitik guru dalam pembelajaran IPA dengan pendekatan mekanisme katalisis pada reaksi kimia? Pembahasan mengenai hal tersebut akan diuraikan secara khusus dalam bagian akhir buku ini. Akan tetapi, penulis perlu memperkenalkan lebih awal pada bagian pendahuluan buku ini mengenai usulan persamaan pengajaran yang dapat menghasilkan pembelajaran efektif seperti yang ditampilkan pada Gambar 3 berikut:

Pengetahuan awal Pembelajaran Efektif yang menghasilakan pemahaman

terbaru yang ilmiah Guru/katalisator

Motivasi siswa Pengetahuan baru

+

Gambar 3. Persamaan Pembelajaran berbasis Peran Guru

sebagai Katalisator

Dalam persamaan yang diajukan pada Gambar 3 tersebut, tampak bahwa hal terpenting yang harus dilakukan guru adalah terlibat menginisiasi terjadinya proses “reaksi” antara pengetahuan awal dengan pengetahuan baru dari peserta didik untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dengan

(34)

indikatornya adalah lahirnya pemahaman terbaru yang ilmiah dari peserta didik. Karena sesungguhnya zat pemicu berekasinya pengetahuan lama dengan pengetahuan baru yang diberikan oleh guru secara berantai membentuk pengetahuan terbaru dan seterusnya, seperti layaknya reaksi polimerisasi dalam kimia. Motivasi adalah medium yang menjadi penentu cepat atau lambatnya perkembangan reaksi berantai dari pengetahuan awal peserta didik setelah diinisiasi oleh peran-peran katalitik dari seorang guru.

(35)

HAKIKAT SAINS DAN

IMPLIKASINYA DALAM

PEMBELAJARAN

2

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau natural science yang dewasa ini orang lebih sering menyebutnya sebagai sains merupakan aktivitas intelektual dan praktis yang mencakup studi sistematis tentang struktur dan sifat fisik dan hakikat alam melalui pengamatan dan eksperimen. Pandangan lainnya mengenai IPA dikemukakan oleh Academic Press Dictionary of Science & Technology bahwa IPA adalah: 1) pengamatan sistematis terhadap kejadian dan kondisi alam untuk menemukan fakta tentangnya dan untuk merumuskan undang-undang dan prinsip berdasarkan fakta ini; 2) kumpulan pengetahuan terorganisir yang berasal dari observasi semacam itu dan dapat diverifikasi atau diuji dengan penyelidikan lebih lanjut; dan 3) Cabang spesifik dari badan pengetahuan umum ini, seperti biologi, fisika, kimia, geologi, atau astronomi.

(36)

Di sisi lain, para ilmuwan dan guru sains sepakat bahwa sains adalah cara untuk menjelaskan sifat alam. Dalam bahasa umum, sains adalah seperangkat praktik dan akumulasi pengetahuan historis. Bagian penting dari pendidikan sains adalah mempelajari praktik sains dan teknik dan mengembangkan pengetahuan tentang konsep yang mendasar bagi disiplin sains. Selanjutnya, peserta didik harus mengembangkan pemahaman tentang usaha sains secara keseluruhan, yakni: keingintahuan, menyelidiki, mempertanyakan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pernyataan akhir ini menetapkan hubungan antara Next Generation Science Standards (NGSS) dan sifat sains (NGSS, 2013).

Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa Sifat sains termasuk dalam Standar Sains Generasi Berikutnya (NGSS) menyajikan matriks NOS (Natural of Science) atau sifat sains. Pemahaman dasar tentang sifat sains adalah:

1. Investigasi ilmiah menggunakan berbagai metode 2. Pengetahuan ilmiah didasarkan pada bukti empiris 3. Pengetahuan ilmiah terbuka untuk revisi karena adanya

bukti baru yang lebih kuat.

4. Model ilmiah, hukum, mekanisme, dan teori menjelaskan fenomena alam

(37)

6. Pengetahuan ilmiah menganggap suatu ketertiban dan konsistensi dalam sistem alam

7. Ilmu pengetahuan adalah upaya manusia

8. Ilmu pengetahuan mengetahui pertanyaan tentang alam dan material dunia

Empat yang pertama dari pemahaman ini terkait erat dengan praktik dan empat yang kedua dengan persilangan konsep. Matriks sifat sains menyajikan konten khusus untuk tingkatan K-2, 3-5, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Masih berkaitan dengan sifat sains, karakteristiknya dikemukakan dalam perspektif yang lebih umum (McComas, Almazroa & Clougii, 1998.) sebagai berikut:

1. Para ilmuwan / saintis bisa jadi membuat penafsiran yang berbeda-beda terhadap pengamatan pada peristiwa yang sama.

2. Teori-teori ilmiah yang didasarkan pada percobaan atau eksperimen yang tepat tidak akan pernah berubah.

3. Teori-teori ilmiah sebenarnya telah ada di alam raya ini dan teori-teori tersebut diungkap melalui penyelidikan ilmiah. 4. Penelitian ilmiah tidak dipengaruhi oleh lingkungan sosial

dan budaya karena ilmuwan / saintis dilatih untuk melaksanakan penelitian murni yang tidak dibiaskan oleh faktor sosial dan budaya.

(38)

5. Para ilmuwan / saintis menggunakan imajinasi dan kreativitasnya ketika mereka menganalisis dan menafsirkan data.

6. Percobaan atau eksperimen bukanlah satu-satunya cara untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah.

7. Ilmu pengetahuan merupakan percobaan untuk menjelaskan gejala alam.

8. Pengetahuan baru harus dilaporkan dengan jelas dan terbuka.

9. Ilmuwan membutuhkan catatan pengamatan yang akurat, ulasan dan tinjauan yang tajam.

10. Ilmu pengetahuan dan teknologi saling memberikan pengaruh yang kuat satu sama lain.

11. Ilmu pengetahuan itu bersifat sementara.

12. Tidak ada tingkatan antara hipotesis, teori, dan hukum. 13. Ilmu pengetahuan menyatu dari kehidupan sosial dan

budaya

Paling tidak terdapat tiga pertanyaan mendasar dalam IPA yang memerlukan jawaban, yaitu: apa yang terjadi? Bagaimana itu bisa terjadi? dan mengapa itu terjadi?. Misalnya jika seorang peserta didik melihat fenomena tertariknya sepihan kertas pada plastik yang telah digosok dengan kain wol, maka terjadi sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah ditemukan oleh peserta didik dalam pengalaman hidupnya, yakni serpihan

(39)

kertas akan tertarik pada mistar sebelum mistar bersentuhan dengan kertas. Bagaimana ini terjadi, hal ini terjadi karena pada saat didekaktkan terjadi gaya tarik menarik antara dua benda yang bermuatan listrik. Lalu mengapa ini terjadi? Jika elektron dalam suatu atom atau benda berpindah ke atom atau benda lainnya, maka benda atau atom semula akan kekurangan elektron. Dengan demikian jumlah muatan positifnya lebih besar dari pada jumlah muatan negatifnya sehingga bahan tersebut akan bermuatan positif. Jadi dalam kasus di atas, perpindahan elektron terjadi pada kain wol menuju penggaris plastik. Penggaris plastik akan bermuatan negatif karena mendapat sejumlah elektron dari kain wol, dan penggaris dapat menarik serpihan kertas.

Kerangka atau sistem konseptual IPA biasanya terdiri dari konsep-konsep IPA yang memiliki hubungan-hubungan bermakna antara konsep-konsep yang dipelajari dengan yang telah ada. Oleh karena itu pembentukan sistem konseptual IPA haruslah melalui hubungan bermakna antar konsep yang dipelajari. Hubungan bermakna ini dapat bersifat subordinat dan koordinat sesuai dengan ruang lingkup konsep dasar IPA yang lebih luas, lebih sempit atau sama luas.

Dalam menyusun model pembelajaran hendaknya dipertimbangkan hal-hal berikut:

(40)

b. Merujuk pada tujuan / indikator kompetensi yang harus dicapai atau dikuasai.

c. Mempertimbangkan prakonsepsi dan tigkat perkembangan kognitif peserta didik.

d. Menggunakn teknik bertanya dan pertanyaan produktif. e. Mendorong peserta didik terlibat aktif secar mental

(minds-on) dan manual (hands-(minds-on).

f. Mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan keterampilan proses sains (KPS).

g. Memungkinkan interaksi antar peserta didik dalam kelompok kecil dan kelas

h. Mempertimbangkan cakupan topik atau materi pelajaran dalam waktu yang tersedia

Berdasarkan sifat-sifat sains yang telah dijelaskan sebelumnya, maka jika dikelompokkan dalam komponen-komponen NOS dapat dikategorikan seperti Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Kategori Komponen-komponen NOS

No Kategori

1 Pengamatan & penafsiran 2 Teori ilmiah & perubahannnya 3 Hukum ilmiah & hipotesis

4 Lingkungan sosial-budaya & sains

(41)

Inilah ruang lingkup aktivitas yang merupakan proses NOS yang dapat menjadi ciri pembelajaran yang berbasis NOS. Atas dasar rangkaian proses ini, kemudian dirancang tahapan berdasarkan urutan yang logis sehingga produk NOS (pengetahuan sains, keterampilan sains dan sikap sains) dapat diimiliki oleh peserta didik setelah belajar IPA berlangsung.

Untuk mengembangkan suatu model pembelajaran berbasis NOS ini, maka ditempuh beberapa langkah utama, yakni:

a. Membuat desain awal tahapan pembelajaran secara konseptual.

b. Melakukan validasi teoritis / internal

c. Melakukan validasi empirik (uji coba di kelas)

Sebagai dasar pengembangan desain pembelajaran ini, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan ketiga langkah utama tersebut.

A. Desain Konseptual Pembelajaran berbasis NOS

Berdasarkan pada ruang lingkup dan perspektif tentang NOS yang telah dibahas pada bagian terdahulu (lihat Tabel 1 tentang kategori komponen-komponen NOS), maka dalam konteks ini dapat dirancang tahapan-tahapan pembelajaran beserta aktivitas guru dan peserta didik pada setiap tahapan yang

(42)

ada dengan dasar komponen NOS tersebut, seperti pada Table 2 berikut:

Tabel 2. Rancangan desain aktivitas guru dan peserta didik

berbasis NOS

Fase (Tahapan) Aktivitas Guru dan Peserta didik

Komponen Sains

Mengidentifikasi pemahaman konsep sains awal peserta didik Guru memberi pertanyaan kepada peserta didik untuk mengetahui konsep awal yang dipahami masing-masing peserta didik sebelum materi dijelaskan Peserta didik berdiskusi dan mencatat / memberi jawaban atas konsep yang dipahaminya dari materi yang akan dijelaskan oleh guru, sehingga peserta didik paham bahwa ada beberapa pendapat peserta didik lain yang berbeda dengan dirinya. Hukum ilmiah & hipotesis Memferivikasi bukti ilmiah Guru membimbing peserta didik melakukan pengamatan / ekperimen sesuai dengan prosedur yang Peserta didik memferivikasi konsep yang mereka pahami (secara reflektif) melalui Pengamata n & penafsiran

(43)

terdapat dalam LKS yang disiapkan guru. pengamatan / eksperimen sebagai bukti ilmiah yang ditemukannya Menarik kesimpulan Sementara Guru meminta peserta didik membuat kesimpulan dan mengorganisir atau mengklasifika si perbedaan kesimpulan yang dibuat oleh peserta didik Peserta didik mempertegas konsep awal yang dimilikinya menjadi kesimpulan sementara berdasarkan bukti yang telah dimilikinya. Teori ilmiah & perubahann ya Refleksi-Komunikatif Guru merangsang imajinasi dan kreativitas peserta didik untuk terlibat dalam diskusi dan mempertahan kan kesimpulan masing-masing dan mengklarifika si kebenaran konsep yang dipahami peserta didik Peserta didik diberi kesempatan mempertahan kan kesimpulan sendiri berdasarkan pemahaman subjektifnya dan bukti ilmiah yang diperolehnya, yang tidak harus sesuai dengan teori yang ada. Imajinasi & kreativitas dalam penyelidika n ilmiah Aplikasi pemahaman Guru memberi Peserta didik menerapkan Lingkungan

(44)

sosial-konsep sains tugas kepada peserta didik untuk mengaplikasi kan konsep yang dipahaminya pada konteks yang berbeda di lingkungan sosial, budaya dan objek sain lainnya konsep yang dipahaminya pada konteks (situasi) yang berbeda dari fakta sosial dan budaya serta objek sains lainnya yang ada di sekitarnya. budaya & sains

Beberapa hal yang dapat dijelaskan sekaitan dengan penjelasan pada Tabel 2 di atas adalah:

1. Ketika guru menjelaskan teori dan hukum ilmiah serta memberi kesempatan kepada peserta didik menemukan konsep dasar dari teori dan hukum ilmiah tersebut, maka akan menumbuhkan sikap ilmiah, mengasah berpikir, dan menambah pengetahuan peserta didik.

2. Proses pengamatan dan penafsiran selain manambah keterampilan sains juga menambah keyakinan dan penghargaan terhadap perbedan tafsir pada suatu fakta, sehingga memberi peluang meningkatnya rasa ingin tahu peserta didik.

3. Penyampaian latar belakang lahirnya suatu teori berdasarkan kosep dan hipotesisnya akan memberikan pandangan (sikap) kerja keras bahwa sesuatu itu tidak diperoleh secara tiba-tiba, semakin memperteguh keyakinan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan. Pemberian pandangan bahwa teori itu bisa saja berubah, membuka

(45)

peluang kreativitas anak untuk membangun konstruk berpikir teoretik yang variatif.

4. Selanjutnya, jika imajinasi dan kreativitas anak dilibatkan dalam memahami konsep, toeri, hukum dan fakta, maka secara langsung guru memberi peluang kepada mereka berpikir konstruktif yang dapat menjadi informasi bagi kemungkinan adanya konsep baru yang sedang dipikirkan oleh peserta didik.

5. Akhirnya, guru harus memanfaatkan seluruh sumber belajar yang ada di lingkungannya, baik itu fakta sosial, budaya dan objek sains, sehingga peserta didik merasa bahwa apa yang diajarkan guru di kelas memiliki basis faktual di lingkungan sekitarnya, sehingga dapat memunculkan motivasi, penghargaan pada guru, kreativitas, keingintahuan yang tinggi dalam mengeksplorasi potensi yang dimilikinya dan senantiasa ingin mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan sainnya.

Sebuah rangkaian pembelajaran yang mengacu pada rancangan di atas diharapkan akan melahirkan peserta didik yang mandiri dalam proses penemuan pengetahuan baru yang berasal dari lingkungan yang terfasilitasi oleh guru. Ketika guru di awal pembelajaran mampu mengidentifikasi pemahaman awal peserta didik secara umum, maka sesungguhnya guru tersebut telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi bangunan pembelajaran pada fase berikutnya. Sebaliknya, jika guru tidak mampu melakukan itu, maka sesungguhnya guru tersebut telah kehilangan orientasi tahapan pembelajaran fase berikutnya, dan akan menjadi robot pembelajaran yang tunduk pada program

(46)

yang telah dirancang sebelumnya dalam bentuk RPP, tetapi pembelajarannya tidak memiliki “ruh”.

Aktivitas guru lainnya yang sangat esensial adalah meransang imajinasi dan kreativitas peserta didik agar dalam proses diskusi dapat memunculkan pikiran-pikiran imajinatif dalam mempertahankan pendapat serta mengklarifikasi kebenaran konsep yang telah dipahaminya. Hal ini menjadi penting, sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein bahwa “Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited, imagination encircles the world”. Atau dalam pemaknaan yang lain bahwa imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B, imajinasi akan membawa anda ke mana-mana.

Ketika pengetahuan tentang sesuatu belum banyak dikembangkan oleh manusia, para ahli terlebih dahulu telah berimajinasi melampaui batas ruang dan waktu. Berkat imajinasi inilah yang kemudian melahirkan temuan-temuan yang bermanfaat hari ini. Misalnya, Thomas Alfa Edison, menemukan lampu pijar ketika pengetahuan mengenai teori-teori dan konsep listrik belum banyak ditemukan. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat mengembangkan imajinasi peserta didik dalam pembelajaran dan bersedia menerima suasana kelas yang lebih dinamis. Imajinasi itu merupakan pendahulu dari pengetahuan,

(47)

dan pengetahuan berikutnya akan berkembang dengan imajinasi (angan-angan yang terarah) baru berikutnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan seorang guru dalam mengajar, tidaklah dilihat dari seberapa “mirip” pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik jika dibandingkan dengan pengetahuan gurunya. Sebaliknya, keberhasilan seorang guru adalah ketika ia mampu menginspirasi peserta didik agar mereka mampu mengembangkan imajinasinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses konstruksi pengetahuan.

Perlu diingat oleh guru bahwa mekanisme mendahulukan imajinasi dari logika ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran menentukan kreativitas anak. Artinya, jika guru menyampaikan logika ilmu pengetahuan dan konsep-konsep terlebih dahulu, maka sudah dapat dipastikan bahwa pikiran peserta didik akan terperangkap dalam patron atau pola logika yang disampaikan guru, sehingga peserta didik akan kehilangan imajinasi karena pikirannya sudah dipengaruhi oleh batasan-batasan logika dan definisi. Tetapi jika guru di awal pembelajaran memberi ruang imajinasi kepada peserta didik untuk berpikir tanpa batasana-batasan logika, maka guru akan menemukan pemikiran-pemikiran peserta didik yang dapat melampaui batas-batas logika, dan guru perlu menghargainya sebagai suatu proses berpikir.

(48)

Ketika guru telah menyampaikan konsep kebenaran pengetahuan yang relatif itu, maka pastilah kebebasan berpikir peserta didik akan terbatasi olehnya, karena para peserta didik akan takut melakukan kesalahan-kesalahan dalam berpikir, apalagi sampai mengemukakan pendapat yang berbeda dengan konsep yang disampaikan oleh guru. Hendaknya guru dapat menjadi inisiator bagi lahirnya peserta didik sebagai penggagas ide baru. Jangan menjadikan otak peserta didik kita hanya sebagai memori tempat menyimpan fakta / data, tetapi jadikanlah sebagai perangkat untuk berpikir dan berimajinasi. Dengan demikian, maka kebanggaan seorang guru pada peserta didik, bukan lagi pada kemampuan mengungkapkan fakta-fakta serta menghafal banyak pengetahuan, akan tetapi hendaknya kebanggaan guru pada peserta didik karena kemampuan berpikirnya.

B. Karakteristik Sains sebagai Inti Pembelajaran

Di tahun 1970-an Ilmu Pengetahuan Alam disebut sebagai Ilmu Pasti. Walaupun demikian, IPA bukanlah suatu kebenaran yang pasti. Mungkin masih banyak orang yang berpendapat bahwa IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mutlak kebenarannya. Artinya, mereka meyakini jika IPA adalah suatu kebenaran yang pasti, yang harus diterima begitu saja tanpa perlu dikonfirmasi lagi. Tetapi apakah ini benar demikian?

(49)

Sebagai ilmu pengetahuan, sains meliputi proses, prosedur dan produk.

1. IPA sebagai Proses

IPA sebagai proses merujuk pada suatu aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh para ahli Sains. Setiap aktivitas ilmiah memiliki ciri: rasional, kognitif dan bertujuan. Aktivitas ini tidak terlepas dalam konteks penelitian dengan proses-proses ilmiah. Melalui proses penelitian yang saksama, ditemukan banyak hal baru yang berbeda dengan apa yang ada sebelumnya, artinya penelitian memberi kontribusi pada berkembangnya pengetahuan baru yang lebih baik. Pengetahuan yang baru harus diterima karena dasar-dasar keilmiahannya terpenuhi, dan bukan karena banyaknya orang yang menganut suatu teori tertentu.

Untuk itu kita perlu melihat salah satu contoh betapa relatifnya suatu pengetahuan itu, misalnya tentang teori atom yang dikembangkan oleh para ahli dari waktu ke waktu, dimulai dari Demokritus (460 SM) yang berpendapat bahwa setiap material di alam semesta dapat dibagi menjadi pecahan yang kecil hingga sampai keadaan di mana partikel tersebut tidak dapat dibagi lagi, kemudian John Dalton (1766-1844 M) mengatakan bahwa setiap material di alam semesta tersusun atas atom, dan atom adalah bagian terkecil dari suatu zat, Selanjutnya J.J. Thomson (1856-1940)

(50)

menemukan elektron yang merupakan partikel dasar dari atom, sekaligus membantah teori atom Dalton yang menyatakan bahwa atom adalah partikel terkecil di alam semesta, Perkembangan berikutnya adalah Ernest Rutherford (1871-1937) yang merupakan mahapeserta didik dari J.J. Thomson di Cambridge University Inggris yang menemukan inti atom dan memperkenalkan istilah sinar alfa, beta dan gamma, proton dan neutron kemudian membangun model atom yang mirip tata surya, dan menumbangkan teori atom dan model atom Thomson. Pada perkembangan berikutnya, Niels Bohr (1885-1962) yang juga merupakan murid dari Rutherfor yang membuat penyempurnaan pada model atom Rutherford dengan mengatakan bahwa setiap lintasan elektron mengelilingi inti memiliki tingkat energi tertentu, sehingga tidak jatuh ke dalam inti, dan yang terkini adalah teori dari Erwin Schrodinger (1887-1961) yang menghasilkan persamaan yang memperhitungkan sifat partikel dan gelombang pada elektron. Contoh lainnya adalah dualitas apakah cahaya itu gelombang atau partikel?

2. IPA sebagai Prosedur

Pengetahuan yang diperoleh dalam IPA dibangun atau dikonstruksi melalui prosedur-prosedur ilmiah yang

(51)

harus dapat dipertanggungjawabkan, yang sekarang ini dikenal sebagai metode ilmiah.

Kebenaran yang diklaim oleh seseorang atau kelompok harus dapat diuji sebelum menjadi sebuah produk sains. Oleh karena itu, semua yang tidak memenuhi syarat dengan sendirinya akan gugur dan direvisi ulang, sebagaimana teori-teori dari para ahli berkembang dan berubah dengan perkembangan zaman setelah sebagian tidak lagi memenuhi syarat faktual. Semua produk baru yang ditemukan dalam sains juga harus dapat dijelaskan secara sederhana, karena semakin sederhana penjelasan sesuatu, maka semakin mudah diterima oleh masyarakat. Kita bisa berkaca dari: hukum gravitasi dan hukum-hukum tentang gerak dari Sir Isaac Newton yang sangat sederhana atau dapat disederhanakan, beliau mengatakan bahwa jika suatu benda dengan massa m dibiarkan jatuh dengan bebas, maka percepatan yang dialaminya adalah percepatan gravitasi (g), dan gaya yang bekerja pada benda hanyalah berat benda itu sendiri (W), kemudian dinyatakan dalam persamaan matematis W = m.g. Demikian halnya dengan teori relativitas dari Albert Einstein yang sangat rumit tapi bisa disederhanakan dalam persamaan matematis yang sederhana menjadi: E=mc2. Begitu juga dengan hukum kekekalan energi yang dikemukakannya bahwa “energi alam semesta ini konstan dan hanya dapat berubah dari suatu bentuk ke

(52)

bentuk yang lain. Hal yang sama dari hukum kekekalan massa yang dikemukakan oleh Antoni Laurent Lavoisier yang menyatakan bahwa massa zat-zat sebelum dan setelah reaksi kimia sama jika terjadi reaksi sempurna (semua pereaksi habis bereaksi).

Bagaimana seorang ahli sains melakukan aktivitasnya dalam menemukan produk sains? Segala sesuatu bermula dari masalah, kemudian mebuat hipotesis, lalu mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data serta membuat kesimpulan. Setiap ahli sains sampai pada kesimpulan, mereka harus bertanya, menginvestigasi ulang serta membuat hipotesis-hipotesis baru, sehingga tampak bahwa sains merupakan suatu proses memahami alam semesta. Seperti inilah prosedur ilmiah yang dikembangkan oleh para saintis, karena sains merupakan suatu metode ilmiah yang dapat jelas tahapan dan prosedurnya.

Secara sederhana dapat digambarkan bagaimana tahapan-tahapan dalam metode ilmiah seperti Gambar 3 berikut:

(53)

Tahapan Metode Ilmiah Mengajukan Pertanyaan Pertanyaan Hipotesis Membuat Kesimpulan Menganalisis Data Melakukan Eksperimen 1 2 1 5 4

Gambar 4. Tahapan dari metode ilmiah

Metode ilmiah sebagai sebuah proses siklik atau berdaur, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 memiliki konsekuensi bahwa tidak ada kesimpulan yang dibuat secara permanen, sekalipun kesimpulan ini basisnya adalah eksperimen dengan analisis yang sangat memadai. Inilah sifat dari sains, dimana pengetahuan itu bersifat sementara. Sebuah teori dapat tumbang oleh teori baru yang dianggap lebih mendekati kebenaran.

Suatu produk sains akan dapat diinterpretasi oleh banyak perspektif konsep, dan dapat didekati dengan teori-teori yang dianggap paling mewakili fakta yang ada, sehingga kestabilannya sangat bergantung pada seberapa jauh produk sains tersebut mampu bertahan dengan

(54)

pertanyaan-pertanyaan yang mungkin menjadi awal dari siklus selanjutnya dalam metode ilmiah.

Mungkin kasus berikut ini tidak terlalu tepat dalam mewakili konteks di atas, akan tetapi akhir-akhir ini banyak orang mengajukan pertanyaan “Betulkah orang pernah ke bulan?” Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh mereka yang yakin akan kebenaran itu. Jika benar, maka kini setelah 48 tahun yang lalu orang pertama kali menginjakkan kaki di bulan, tetapi mengapa sampai detik ini kejadian tersebut belum pernah terulang untuk yang kedua kalinya. Ada apa sesungguhnya? Mengapa di saat teknologi semakin canggih dewasa ini, justru orang semakin sulit ke bulan?. Apa yang harus dikatakan oleh seorang guru di hadapan peserta didiknya jika muncul pertanyaan sejenis ini di dalam kelas?.

3. IPA sebagai Produk

Produk sains merupakan aspek-aspek yang menjadi ruang lingkup dari topik pembicaraan guru sains di kelas. Berikut akan diuraikan beberapa produk sains secara ringkas, yang diharapkan dapat menambah perbendaharaan guru sains dalam perannya sebagai katalisator pembelajaran yang efektif.

Dalam komunitas ilmiah, "teori," "hukum", dan "fakta" merupakan istilah teknis yang memiliki makna yang

(55)

berbeda dan kompleks. Banyak orang yang tidak memiliki latar belakang ilmiah, termasuk peserta didik kelas pengantar sains di sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi, tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang perbedaan antara ketiga istilah ini. Bahkan dalam perbincangan di masyarakat umum ditemukan adanya perbedaan pemaknaan antara istilah-istilah sains dan istilah yang umum digunakan. Misalanya pada istilah “gaya” yang dimasyarakat diartikan sebagai model, sementara sains memaknainya sebagai massa dikali dengan percepatan. Demikian halnya dengan “momentum”, yang di masyarakat diartikan sebagai waktu yang tepat, sementara sains memaknainya sebagai massa kali kecepatan.

a. Fakta

Fakta dalam sains adalah sebuah pengamatan yang telah berulang kali dikonfirmasi dan untuk semua tujuan praktis diterima sebagai "benar." Kebenaran dalam sains, bagaimanapun, tidak pernah final dan apa yang diterima sebagai fakta hari ini dapat dimodifikasi atau bahkan dibuang besok (The National Academy of Sciences, 2007). Atau dapat dikatakan bahwa fakta adalah setiap pengamatan yang telah berulang kali dikonfirmasi dan diterima sebagai benar; ada pengamatan ilmiah yang belum dibantah. Fakta-fakta sains merupakan produk

(56)

paling dasar yang memberikan landasan bagi konsep, teori, prinsip dan hukum. Fakta merupakan suatu kebenaran dan keadaan suatu objek atau benda, serta merepresentasikan pada apa yang dapat diamati. Fakta sains dapat didefinisikan berdasarkan 2 (dua) kriteria yaitu: 1) dapat diamati secara langsung; 2) dapat ditunjukkan atau didemonstrasikan setiap waktu.

Oleh karena itu, fakta terbuka bagi siapa saja untuk mengamatinya, Namun demikian, harus diingat bahwa tidak semua fakta dapat ditunjukkan setiap saat, misalnya letusan gunung api, sunami, gerhana matahari atau gerhana bulan dan sebagainya.

Contoh dari fakta yakni: struktur dari membran sel sebagai sesuatu yang dianggap fakta ilmiah, oksigen adalah gas, dan besi adalah logam.

b. Konsep

Membuat definisi mengenai apa itu konsep merupakan hal yang sulit. Rosser, 1984 (Dahar, 2011) mendefinisikan konsep sebagai suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Konsep memiliki banyak perspektif, misalnya dari tinjauan psikologi memaknai konsep sebagai sebuah gagasan atau

(57)

gambaran mental yang bersesuaian dengan entitas yang jelas atau tingkatan entitas, atau fitur dasarnya, atau menentukan penerapan istilah (terutama predikat), dan dengan demikian berperan dalam penggunaan akal atau bahasa (https://en.oxforddictionaries.com/definition/ concept).

Konsep merupakan representasi pemikiran seseorang terhadap fenomena-fenomena yang diamati, dan melahirkan konstruksi mental sebagai suatu bentuk ide atau gagasan. Misalnya, jika seorang anak melihat sebuah kendaraan yang melaju dengan kencang, maka konsep yang ada dalam pemikirannya adalah kecepatan. Jika melihat sebuah benda terapung atau tenggelam, maka konsep seseorang bisa beragam, mungkin tekanan, massa jenis, berat, atau mungkin saja memiliki konsep lain yang menjadi representasi mentalnya berkaitan fenomena tersebut.

Jika konsep seseorang berbeda dengan konsep para ahli, maka saat itu terjadi miskonsepsi. Sebagai contoh, saat guru memperlihatkan sebuah fenomena dimana mistar yang telah digosok dengan kain wol akan dapat menarik serpihan kertas kecil sebelum bersentuhan. Mungkin saja sekelompok peserta didik yang mengamati fenomena ini akan memiliki konsep yang berbeda.

(58)

Terdapat sebagian peserta didik kelompok yang menganggap fenomena ini berkaitan dengan konsep panas (karena panas mampu melengketkan sesuatu, misalnya kerak nasi lengket pada panci), kelompok yang lain mungkin menganggap bahwa fenomena ini berkaitan dengan konsep magnet (magnetlah yang dapat menarik benda lain), dan kelompok lainnya merepresentasi pemikirannya pada konsep listrik statis (gaya tarik menarik antara dua benda yang memiliki muatan yang berbeda).

Oleh karena konsep merupakan abstraksi mental seseorang berdasarkan pengalamnnya dan sangat mungkin tidak ada seseorang yang memiliki pengalaman yang persis sama, sehingga konsep yang dibentuk juga akan berbeda. Dalam pembelajaran sains, banyak macam konsep, antara lain: konsep panas, konsep perpindahan dan jarak, konsep gaya, konsep tekanan, konsep energi.

c. Teori

Secara ilmiah, sebuah teori adalah penjelasan rasional mengapa suatu aspek dari dunia kita berfungsi dengan cara tertentu. Definisi teori akan memasukkan fakta dan hukum, walaupun ketiganya secara mendasar terpisah. Sebuah teori dibangun dari hipotesis awal (dugaan bertujuan) dan dapat direvisi sesuai dengan

(59)

perkembangan pemahaman ilmiah tentang suatu fenomena (Sarokin, 2017).

Sebuah teori dikonfirmasikan oleh semua bukti yang ada sehingga dapat digunakan untuk memprediksi fenomena baru yang belum teramati. Teori ini digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, sementara hukumnya menggambarkan fenomena di bawah keadaan tertentu di alam. Misalnya, Teori Seleksi Alami ilmiah sesuai dengan Hukum Evolusi. Sementara hukum menyatakan fenomena alam yang teramati (bentuk kehidupan mengembangkan karakteristik baru berdasarkan keadaan eksternal), teori tersebut menjelaskan bagaimana dan mengapa hal ini terjadi.

Dalam pembelajaran, guru dapat meminta peserta didik untuk mendefinisikan beberapa teori ilmiah, dan Anda sebagai guru dapat membangun dari pemahaman mereka sendiri untuk mengembangkan definisi "teori" yang lebih canggih. Definisi yang baik harus menjelaskan bahwa teori ilmiah adalah pernyataan yang bermaksud menjelaskan fenomena alam. Hal ini menjadi bahan klarifikasi kepada peserta didik Anda.

Sebuah teori bernilai sangat sedikit jika tidak memprediksi secara benar semua bukti yang diketahui. Teori tunduk pada perubahan saat bukti baru tersedia.

(60)

(Sebagian besar teori yang akan guru bahas di kelas sains sekolah menengah dikonfirmasikan dengan baik dan tidak mungkin direvisi dalam arti signifikan) Mintalah peserta didik menyebutkan beberapa teori ilmiah. Anda akan mendapatkan beberapa jawaban umum seperti: Teori relativitas: bahwa hukum fisika sama untuk semua pengamat.

Teori evolusi melalui seleksi alam: bahwa perubahan spesies yang teramati terjadi karena pemilihan spesimen yang diadaptasi dengan baik dengan spesimen yang kurang disesuaikan dengan baik. Teori Big Bang: bahwa alam semesta dimulai sebagai titik kecil yang tak terbatas yang mengalami ekspansi untuk membentuk alam semesta seperti yang kita kenal sekarang.

Teori merupakan usaha intelektual yang sangat keras karena ilmuwan harus berhadapan dengan kompleksitas dan kenyataan yang tidak jelas dan tersembunyi dari pengamatan langsung. Teori juga merupakan kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta, data-data, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Teori ini dapat berubah jika ada bukti-bukti baru yang berlawanan dengan teori tersebut. Menurut Kerlinger (1973) yang terjemahannya sebagai berikut. “Suatu teori adalah seperangkat pengertian (konsepsi)

(61)

definisi dan proposisi yang saling berkaitan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis dari berbagai fenomena dengan mengungkapkan adanya hubungan yang spesifik antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena tersebut.”

d. Prinsip

Dalam pembelajaran sains, di sekolah tingkat dasar maupun menegah juga banyak diajarkan tentang prinsip. Prinsip merupakan pernyataan yang berlaku bagi sekolompok gejala tertentu yang mampu menjelaskan suatu kejadian. Prinsip diperoleh lewat proses induksi dari hasil berbagai macam observasi. Beberapa contoh prinsip sederhana yang diajarkan dalam sains adalah sebagai berikut:

1) Logam bila dipanaskan akan memuai

2) Semakin besar besar intensitas cahaya, semakin efektif proses fotosintesis.

3) Larutan yang bersifat asam bila dicampur dengan larutan yang bersifat basa akan membentuk garam dan bersifat netral.

4) Semakin besar perbedaan tekanan udara, semakin kuat angin berhembus.

(62)

5) Listrik mengalir dari potensial tinggi ke potensial rendah

6) Secara alami air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah

7) Prinsif Aufbau pada konfigurasi elektron yang menyatakan bahwa, secara hipotetis, elektron yang mengorbit satu atau lebih atom mengisi tingkat energi terendah sebelum mengisi tingkat yang lebih tinggi.

8) Prinsip Archimedes pada fluida statis: bahwa jika sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut akan mendapat gaya tekan ke atas seberat zat cair yang dipindahkan oleh benda tersebut.

9) Prinsip Bernoulli pada fluida dinamis: bahwa di mana kecepatan aliran fluida tinggi, tekanan fluida tersebut menjadi rendah, dan sebaliknya.

e. Hukum

Hukum dapat dikatakan sebagai teori jenis khusus. Sebuah generalisasi deskriptif tentang bagaimana beberapa aspek dari dunia alam berperilaku dalam keadaan yang dinyatakan. Hukum cenderung lebih bersifat matematis dan biasanya diturunkan dari pernyataan sederhana tentang sistem matematika dan perilakunya. Sebagaimana halnya

(63)

sebuah teori, hukum juga dapat digunakan untuk membuat prediksi, namun tujuan utama hukum ini adalah untuk menggambarkan fenomena alam. Beberapa hukum ilmiah dalam sains antara lain adalah:

1) Hukum Newton mengenai pemanasan dan pendinginan: perubahan suhu dua benda dalam kontak termal sebanding dengan perbedaan suhu.

2) Hukum gerak Newton: pernyataan tentang seberapa besar benda yang terbuat dari atom berperilaku saat bergerak pada kecepatan rendah relatif terhadap satu sama lain.

3) Hukum Termodinamika: pernyataan tentang entropi, suhu, dan kesetimbangan termal.

4) Hukum Ohm: tegangan pada elemen resistif murni sama dengan arus yang melalui elemen kali tahannya.

5) Hukum kekekalan massa dari Lavoisier: massa zat sebelum dan setelah reaksi sama jika terjadi reaksi sempurna.

6) Hukum kekekalan energi dari Albert Einstein: Energi alam semesta adalah konstan

7) Hukum Pascal: tekanan yang diberikan zat cair dalam ruang tertutup diteruskan ke segala arah dengan sama besar.

Gambar

Gambar  1.  Illustrasi  Sub-sub  peran  guru  dalam  melaksanakan  peran utamanya sebagai katalisator
Gambar  3.  Persamaan  Pembelajaran  berbasis  Peran  Guru  sebagai Katalisator
Tabel 1. Kategori Komponen-komponen NOS  No  Kategori
Tabel  2.  Rancangan  desain  aktivitas  guru  dan  peserta  didik  berbasis NOS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertanyaan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui profil miskonsepsi siswa SMA di.. Kabupaten Majalengka pada materi

Langkah Peningkatan Kapabilitas APIP 2 Adanya informasi mengenai biaya 17 Kami telah mengembangkan sistem informasi biaya untuk melaksanakan kegiatan pengawasan. 18

Salah satu bahan pengikat dalam kue kering yang dapat digunakan untuk meningkatkan gizi kue kering adalah tepung ikan bandeng yang memiliki kadar gizi tinggi

Jumlah pemberian kotoran ayam sebanyak 1,5 kg/m 3 menghasilkan fitoplankton (Closterium sp.) paling banyak ditemukan dalam pencernaan ikan pelangi, sedangkan pemberian jumlah

Proses perkembangan embrio kedua patin hibrida tersebut hampir serupa dengan proses perkembangan embrio patin siam sebagai induk betinanya (pada suhu media inkubasi y ang sama,

maha sempurna ”Allah SWT” atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ”Pengaruh Ekstrak Abu Sekam dan

Variabel Disiplin dan Lingkungan kerja mempunyai koefisien yang bertanda positif terhadap produktivitas karyawan , artinya bahwa arah hubungan antar

akademisi yang mengklaim bahwa hermeneutik Yahudi yang tak terkontrol merupakan pendekatan yang sah pada saat itu tetapi barangkali tidak bagi kita, meskipun sebagian dari