18
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN
PENJUALAN OBAT
A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah ada beberapa
peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Peraturan
perundang-undangan pada zaman Hindia-Belanda tersebut dapat
disebutkan antara lain:32
a. Reglement Industriele Eigendom, S.1912-545, jo. S.1913 Nomor 214,
b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S.1931 Nomor
28,
c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S.1926-226
jo.S.1927-449, jo.S.1940-14 dan 450,
d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S.1931-509, e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S.1932-143,
f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S.1932-143,
g. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih),
S.1936-671,
h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat
Keras), S.1937-641,
i. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran
Perusahaan), S.1938-86,
j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175,
k. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S.1949-377, dan
l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S.1955-660.
32 Gunawan Widjaja dan A. Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Selain itu, dalam Burgerlijk Wetboek juga terdapat
ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, khususnya dalam Buku
III tentang Perikatan33. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) juga ditemukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen, misalnya tentang pihak ketiga yang harus
dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum
maritim, dan sebagainya. Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUH Pidana), misalnya tentang pemalsuan, penipuan,
persaingan curang, pemalsuan merk, dan sebagainya. Dalam hukum adat
pun ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen,
seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak
berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk
saling menghormati sesamanya, pinsip terang pada pembuatan transaksi
(khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya kepala
adat/kepala desa dalam transaksi tanah, dan prinsip adat lainnya34
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya
bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-Undang yang
materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
.
35
a. Undang-Undang Nomor 10 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan;
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri;
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseoan Terbatas;
l. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
p. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
q. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
r. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s. Undang-UndangNomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen terjadi
setelah pergantian tampuk kekuasaan di Indonesia, yaitu tatkala
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih
hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene hak itu tidak
pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 196636
2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap
orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan’’. Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan
bahwa arti konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan
jasa37, sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara
lebih luas, yaitu konsumen bukan hanya individu (orang), tetapi juga suatu
perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir38
Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’. Ruang lingkup yang .
36
Shidarta, op.cit., hal. 52 37Ibid., hal. 3
diberikan sarjana ekonomi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonsia (ISEI) mengenai pelaku usaha adalah sebagai berikut :39
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan seperti perbankan, usaha leasing, “tengkulak”, penyedia dana, dan sebagainya;
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan /atau jasa-jasa yang lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Pelaku usaha dalam kategori ini dapat terdiri dari orang dan/ badan yang memproduksi sandang, orang dan/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dan sebagainya;
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat. Pelaku usaha pada kategori ini misalnya pedagang retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut dan udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus
berfokus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam
hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga
legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang
berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Perikatan tersebutlah yang
menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
atau yang tidak bolek dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam
perikatan40
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang diakui
secara internasional, yaitu: .
39 Az. Nasution, op.cit., hal. 23
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
c. Hak untuk memilih (the right to choose);
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)41
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen Bab III Pasal 4,
hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan
barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban,
seperti tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha
dan sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen
dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan konsumen, maka kepada
pelaku usaha diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen42
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi:
b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban
seperti yang tertera pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunanaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak seseuai dengan perjanjian.
Selain adanya kewajiban, pelaku usaha juga dilarang melakukan
hal-hal seperti yang tertera di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistiewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2):
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3):
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi lengkap dan benar.
Ayat (4):
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potonga harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Ayat (2):
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
Ayat (3):
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Dalam hal ini, konsumen dapat dipersamakan dengan para pembeli
obat-obatan dan pelaku usaha Apotek dapat dipersamakan dengan penjual,
sehingga hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajiban pelaku
usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan dasar
hak dan kewajiban pembeli obat-obatan, serta dasar hak dan kewajiban
pelaku usaha Apotek.
Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian,
penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat43
43 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36
Tahun 2009 yaitu “meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter,pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
kefarmasian tersebut dilakukan oleh seorang Apoteker, yaitu seorang sarjana
farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker44. Apoteker atau
Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana Apotek dapat melakukan
kegiatan usaha di luar sediaan farmasi, sehingga kegiatan usaha Apotek tidak
berbeda dengan badan usaha lainnya, yaitu menjual komoditinya untuk
mendapatkan profit45
a. Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang
yang dibeli di Apotek sesuai kesepakatan dengan pembeli; .
Secara lebih khusus, hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah:
b. Pelaku usaha Apotek berhak mendapat perlindungan hukum atas
tindakan pembeli yang beritikad tidak baik;
c. Pelaku usaha Apotek berhak melakukan pembelaan diri di dalam
penyelesaian sengketa konsumen bilamana terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli;
d. Pelaku usaha Apotek berhak menerima rehabilitasi nama baik
apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian pembeli tidak diakibatkan oleh barang yang diperdagangkan di Apotek;
e. Pelaku usaha Apotek wajib beritikad baik dalam melakukan
usahanya;
f. Pelaku usaha Apotek wajib memberikan informasi yang akurat
mengenai barang yang diperjualbelikan di Apotek secara terperinci;
g. Pelaku usaha Apotek wajib melayani pembeli tanpa diskriminasi;
h. Pelaku usaha Apotek wajib menjamin mutu barang yang
diperdagangkan;
44 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
45 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002
i. Pelaku usaha Apotek wajib memberikan ganti rugi / penggantian atas barang yang dibeli apabila barang tersebut pemanfaatannya tidak sesuai dengan perjanjian.
Selanjutnya, hak dan kewajiban pembeli di Apotek menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. Pembeli berhak mendapatkan kenyaman dan keselamatan dalam
menggunakan atau mengkonsumsi barang yang dibeli di Apotek;
b. Pembeli berhak mendapatkan informasi yang lengkap atas barang
yang dibelinya di Apotek;
c. Pembeli berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli;
d. Pembeli berhak dilayani tanpa diskriminasi oleh pelaku usaha
Apotek;
e. Pembeli berhak mendapatkan ganti rugi / penggantian atas barang
yang penggunaanya tidak sesuai yang diperjanjikan;
f. Pembeli wajib membaca dan mengikuti informasi prosedur
pemakaian yang ada;
g. Pembeli wajib beritikad baik dalam membeli barang di Apotek
h. Pembeli wajib membayar sesuai harga yang disepakati di Apotek;
i. Pembeli wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek sebagai penjual ditinjau dari
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
a. Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang
yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1457 KUHPerdata);
b. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menyerahkan barang
yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1474 KUHPerdata);
c. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual berhak tidak menyerahkan
barang yang bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya (Pasal 1478 KUHPerdata);
d. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin bahwa
barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1483 KUHPerdata)
e. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin pembeli
tetapi pelaku usaha Apotek sebagai penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan oleh pembeli (Pasal 1505 KUHPerdata).
Hak dan kewajiban konsumen sebagai pembeli ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
a. Pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang
telah disepakati (Pasal 1513 KUHPerdata);
b. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki
barang itu dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian (Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509 dan 1510 KUHPerdata).
4. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen
Bentuk-bentuk perlindungan konsumen ada dua macam, yaitu
bentuk perlindungan konsumen yang berbentuk preventif dan bentuk
perlindungan konsumen yang berbentuk represif.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, mengamanatkan pembentukan lembaga yang
akan menyelenggarakan perlindungan konsumen, yaitu Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sehingga melalui fungsi, tugas
dan wewenang dari kedua lembaga tersebut diharapkan dapat mewujudkan
perlindungan konsumen yang bersifat preventif.
Sedangkan yang bertindak dalam memberikan perlindungan
konsumen yang bersifat represif yaitu melalui pengaturan tanggung jawab
diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 yang lebih dikenal dengan
sebutan tanggung jawab perdata dan lembaga yang diamanatkan oleh
Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)46
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
.
Bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif meliputi:
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk
berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional. Lembaga ini dibentuk untuk membantu
upaya pengembangan perlindungan kosumen.
BPKN berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan
bertanggungjawab kepada Presiden, dan apabila diperlukan BPKN dapat
membentuk perwakilan di Ibukota Daerah Provinsi untuk membantu
pelaksanaan tugasnya.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mempunya
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
upaya mengembangkan perlindungan konsumen. Untuk menjalankan
fungsinya BPKN mempunyai fungsi:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam
rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
46 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
b. Melakukan penelitian dan pengkajjian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang
menyangkut keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM);
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keperpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lebaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, anggota BPKN terdiri
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25
(dua puluh lima) orang yang mewakili semua unsur, dengan seorang ketua
dan wakil merangkap anggota. Unsur keanggotaan BPKN terdiri dari:
a. Pemerintah
b. Pelaku Usaha
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
d. Akademisi
e. Tenaga Ahli
Anggota BPKN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, atas
usul Menteri Perdagangan, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan masa
jabatan sebagai anggota BPKN selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya47
47
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
.
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
LPKSM merupakan lembaga perlindungan konsumen yang
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen.
Dalam rumusan Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa LPKSM
mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:48
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran
atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Selain bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif,
adapula bentuk perlindungan konsumen yang bersifat respresif yaitu
adanya Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini,
peran BPSK dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen merupakan
ujung tombak di lapangan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen yang telah dirugikan atau yang telah menderita sakit.
Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK kepada konsumen
adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha dan juga melalui pengawasan terhadap setiap pencantuman
perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang
merugikan konsumen. BPSK berfungsi ganda, disatu sisi Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan yudikatif untuk
menyelesaikan sengketa konsumen dan disisi lain diberikan kewenangan
eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman klausula baku
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
BPSK berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang berfungsi
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan,
khusus untuk Ibukota DKI Jakarta BPSK berkedudukan daerah tingkat
I/Provinsi.
Keanggotaan BPSK diwakili dari 3 (tiga) unsur, yang terdiri dari
unsur pemerintah, unsur pelaku usaha, dan unsur konsumen. Unsur pelaku
usaha berasal dari perkumpulan/organisasi atau asosiasi pelaku usaha,
sedangkan unsur konsumen berasal dari Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang telah terdaftar dan diakui
oleh Bupati atau Walikota atau Dinas setempat.
Tugas dan fungsi BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
antara lain :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaiamana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen, atau
alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian
dipihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang.
Konsumen dapat mengadu ke BPSK sepanjang dipenuhi
persyaratan berikut:
a. Konsumen sebagai pihak yang mengajukan permohonan
pengaduan atau gugatan, hanya dapat diterima jika diajukan oleh konsumen akhir.
Terhadap pengertian konsumen akhir, juga meliputi warga negara
asing yang berada di Indonesia, maka dapat menggugat pelaku usaha di BPSK. Gugatan sekelompok orang/konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dikenal dengan sebutan gugatan class action tidak dapat diterima di BPSK demikian juga dengan pengajuan gugatan yang diajukan oleh LPKSM. Kedua gugatan tersebut hanya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.
b. Yang dapat diadukan konsumen ke BPSK adalah pelaku usaha,
baik orang perserorangan, badan usaha berbentuk hukum maupun bukan badan hukum, termasuk BUMD dan BUMN, bukan instansi atau lembaga pemerintah.
c. Yang dapat diadukan ke BPSK adalah barang dan/atau jasa yang
Proses penyelesaian sengketa konsumen secara perdata melalui
BPSK dilakukan dengan konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, yang
bersifat non litigasi. Sedangkan proses penyelesaian sengketa perdata
melalui badan peradilan umum, bersifat litigasi.
Prinsip dasar penyelesaian, di BPSK antara lain49
a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bilamana para pihak telah sepakat memilih BPSK sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka para pihak untuk kedua kalinya  harus sepakat untuk memilih salah satu dari cara penyelesaian sengketa yang berlaku di BPSK, yakni dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase.
:
b. Bukan berjenjang, Jika konsumen dan pelaku usaha telah sepakat
memilih cara penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi dan ternyata tidak terdapat penyelesaian, maka sengketa tidak dapat diajukan penyelesaiannya dengan cara mediasi atau arbitrase.
c. Penyelesaian oleh Para Pihak, Bilamana para pihak telah sepakat
memilih cara penyelesaian secara konsiliasi atau mediasi, maka penyelesaian sepenuhnya berada ditangan para pihak baik mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi secara pembayaran tunai atau cicilan. Majelis BPSK hanya bersifat fasilitator yang wajib memberikan masukan, saran, dan menerangkan isi Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
d. Penyelesaian oleh Majelis, Bilamana para pihak sepakat memilih
penyelesaian secara arbitrase, maka penyelesaian sepenuhnya penyelesaian diserahkan kepada Majelis BPSK baik bentuk dan besarnya ganti rugi.
e. Tanpa Pengacara, Pada prinsipnya penyelesaian sengketa
konsumen melalui BPSK tanpa lawyer (pengacara), hal ini mengingat yang ditonjolkan dalam proses penyelesaian sengketa adalah musyawarah kekeluargaan, bukan masalah aspek hukum yang ketat, kaku karena putusan yang diharapkan di BPSK adalah win-win solution.
f. Murah, Cepat dan Sederhana, Penyelesaian sengketa di BPSK
tidak dipunggut biaya, baik kepada konsumen maupun pelaku usaha, sedangkan waktu penyelesaiaannya relatif cepat, yakni
49
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sudah diterbitkan putusan BPSK.
B. Pengawasan Penjualan Obat 1. Kementerian Perdagangan
Berkaitan dengan pengawasan penjualan obat, Kementerian
Perdagangan (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Standarisasi dan
Perlindungan Konsumen bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan
perlindungan konsumen bersama dengan Badan Pengawas Obat dan
Makanan, beserta Kementerian terkait lainnya berdasarkan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tahun 1999. Kemendag juga
bertugas mengawasi produk non pangan, sementara BPOM mengawasi
produk obat dan pangan olahan50. Rapat koordinasi (Rakor) antara Menteri
Perdagangan dan Menteri Kesehatan dilakukan untuk membahas
standarisasi kesehatan produk obat, salah satunya terkait produk jamu
lokal yang memiliki standar kesehatan serta produk herbal lainnya yang
nantinya akan diatur standarisasinya sesuai regulasi yang ditangani oleh
Kemenkes, BPOM dan Kemendag51.
50 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Pemusnahan Produk
Ilegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen”, diakses dari
51 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, diakses dari
2. Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan memiliki peran penting dalam penjualan
obat oleh Apotek. Salah satu wujud perlindungan konsumen yang
diberikan oleh Kementerian Kesehatan terhadap penjualan obat adalah
dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek .
Pengawasan penjualan obat oleh Kementerian Keseahatan tampak jelas
pada Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu
“Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara
berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga
pengawas peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM bertugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku seperti yang tertera dalam Pasal 67 Keputusan Presiden No. 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen,
selanjutnya Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas
meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan
atas keamanan pangan dan bahan berbahaya seperti yang tertera dalam
Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan52
Adapun visi dan misi BPOM meliputi .
53
a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar
Internasional.
:
Visi:
Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.
Misi:
b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.
c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di
Berbagai Lini.
d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari
Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.
e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
Dalam menjalankan visi dan misinya, BPOM memiliki beberapa
nilai luhur sebagai budaya organisasinya, yaitu:
a. Profesional
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektifitas, ketekunan, dan komitmen yang tinggi
b. Kredibel
52 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tugas Utama Badan POM dan Tugas Balai
Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)”, diakses dari
53 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Visi dan Misi Badan POM), diakses dari
Dapat dipercaya dan diakui masyarakat luas, nasional, dan internasional.
c. Cepat tanggap
Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.
d. Kerjasama tim
Mengutamkan keterbukaan, saling percaya, dan komunikasi yang baik.
e. Inovatif
Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
BPOM berfungsi dalam hal sebagai berikut:54
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan
POM;
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Adapun wewenang BPOM menurut Pasal 69 Keputusan Presiden
No. 103 Tahun 2001 meliputi tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen:55
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro;
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;
54 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Fungsi badan POM”, diakses dari
22.14
55 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Kewenangan Badan POM”, diakses dari
d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran obat dan makanan;
e. Pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan
industri farmasi;
f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan
pengawasan tanaman obat.
4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
LPKSM merupakan lemabaga perlindungan konsumen yang
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen56
Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan
ketertiban dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia,
setiap LPKSM wajib melakukan Pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten
atau Kota, untuk memperoleh Tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai
bukti bahwa LPKSM yang bersangkutan benar-benar bergerak di bidang
Perlindungan Konsumen, sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar dan atau
Rumah Tangga dari Akta Pendirian LPKSM tersebut. Tanda Daftar
LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang bersangkutan untuk
melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di seluruh
Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai pencatatan dan
bukan merupakan suatu perizinan. Setelah LPKSM yang bersangkutan
memperoleh Tanda Daftar LPKSM, maka Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi landasan hukum .
bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen di
Indonesia, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen dengan
cara pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui
pelaksanaan tugas LPKSM sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, berikut peraturan pelaksanaannya.
LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan
perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen,
lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas
kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan
oleh LPKSM yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang
dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam
anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh
lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum
(Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen)57
Dalam rumusan Pasal 44 Angka (3), dikatakan bahwa LPKSM
mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: .
58
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran
atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
57
Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
15 Februari 2015 pukul 14.10
58
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT
TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT
OLEH APOTEK
A. Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi 1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi
Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504
sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut
tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan
seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali
orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut59
Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual
selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi.
Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan
adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau
tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang
tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat .
59 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,