1
A. Latar Belakang
Perlindungan konsumen dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dirumuskan sebagai “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”1. Namun tampaknya kehadiran Undang-Undang ini tidak serta
merta menyelesaikan segala masalah menyangkut perlindungan konsumen.
Masalah perlindungan konsumen masih menjadi isu penting hingga saat
ini. Diperlukan suatu perhatian lebih cermat lagi mengingat masih
banyaknya kasus pelanggaran konsumen yang belum terselesaikan
cenderung merugikan konsumen2
Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat
keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.
Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh
konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan .
1
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1, Angka 1
2
hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun
akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
produsen.
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak
selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas,
karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa
sesuai dengan harapannya3. Prinsip yang digunakan para pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi,
yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat
mungkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak
langsung4
Ditambah lagi kini transaksi menjadi semakin beraneka ragam dan
rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey
project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial,
dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling
ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan,
investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intenstas persaingan.
Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi
teknologi .
5
3
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 1-2 4
Happy Susanto, op.cit., hal. 4 5
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 4-5.
media-media promosi, iklan, dan penawaran yang canggih membuat posisi
konsumen semakin sulit jikalau tidak diberikan informasi yang memadai,
sehingga konsumen pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa
menerima, dan menjadi objek yang pasif6
Transaksi jual-beli merupakan suatu perjanjian timbal-balik
dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik
atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk
membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut
.
7
. Sahnya transaksi jual-beli tersebut adalah
saat terjadinya kesepakatan antara penjual dengan pembeli 8 . Sifat
konsensual (kesepakatan) ditegaskan sesuai dengan bunyi Pasal 1458
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “jual-beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar”9
6
Happy Susanto, op.cit., hal. 29-30. 7
R.Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1. 8Ibid.
, hal. 2 9
Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
.
Pada dasarnya dalam hubungan transaksi jual-beli ini, baik pihak
penjual maupun pihak pembeli tidak ada yang mau mengalami kerugian
apapun. Namun realitanya di dunia ini tidak ada yang sempurna selain
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tentunya dalam transaksi jual-beli dapat
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pengertian barang adalah “setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen”10. Sedangkan produk dapat diartikan sebagai semua benda
bergerak atau tidak bergerak/tetap11. Dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dipergunakan istilah barang sebagai pengganti istilah produk
sebagaimana yang sudah lazim digunakan, sehingga penggunaan istilah
produk tersebut mengandung makna yang sama dengan pengertian barang
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen12
Tidak dapat dipungkiri bahwa barang-barang yang tersedia untuk
konsumen tidak selamanya berada dalam kondisi yang sempurna. Dengan
kata lain, suatu barang tersebut bisa saja mengandung cacat. Cacat
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
“kekurangan yang menyebabkan berkurangnya nilai atau mutunya kurang
baik atau kurang sempurna”
.
13
. Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak
dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena : 14
1. Cacat produk atau manufaktur, dimana keadaan produk yang
umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula
10
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 249.
14
cacat itu demikian rupa sehingga dapat membahayakan harta bendanya;
2. Cacat desain, dimana desain produk tidak dipenuhi sebagaimana
semestinya, sehingga merugikan konsumen;
3. Cacat peringatan atau industri, dimana produk tidak dilengkapi dengan
peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu.
Jadi pengertian produk cacat adalah setiap produk yang tidak dapat
memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan
dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi
dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi
manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan
orang15. Barang cacat ada yang sifat cacatnya kelihatan dan ada yang sifat
cacatnya tersembunyi. Cacat tersembunyi mengandung sifat bahwa adanya
cacat tersebut tidak mudah dilihat oleh seseorang pembeli yang terlampau
teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti akan
menemukan adanya cacat tersebut16
Obat dengan berbagai macam jenis dapat dijumpai dengan mudah
di Apotek. Salah satu tugas dan fungsi Apotek adalah sebagai tempat
penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi obat, .
Dalam kaitannya dengan penjelasan mengenai barang atau produk
di atas, obat dapat dikategorikan sebagai barang atau produk lainnya yang
sifatnya tidak dapat dipungkiri bisa mengalami cacat, baik cacat yang
terlihat maupun cacat tersembunyi.
15
Az.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media, 2001), hal. 248. 16
bahan obat, obat asli Indonesia, kosmetik, alat-alat kesehatan, dan
sebagainya17
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis
siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait
. Dengan kata lain, Apotek merupakan tempat terjadinya
transaksi jual-beli dengan mendistribusikan obat-obatan kepada
masyarakat.
Dalam transaksi jual-beli di Apotek layaknya transaksi jual-beli
pada umumnya, bisa saja ditemui adanya obat yang mengandung cacat,
baik cacat yang dapat dilihat dengan mata maupun cacat tersembunyi.
Apabila obat tersebut di beli konsumen, pembeli cenderung akan kembali
untuk meminta pertanggungjawaban kepada penjual (pelaku usaha
Apotek) karena tidak mau mengalami kerugian atas obat cacat yang
dibelinya.
18
. Adapun dalam hal
perlindungan konsumen ditemui terminologi ‘‘product liability“ yang
diterjemahkan sebagai ‘‘tanggung gugat produk“19 atau ‘‘tanggung jawab
produk‘‘20
17
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik, Pasal 2.
18
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 59. 19
Az. Nasution, et.all, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan dalam Hal Makanan dan Minuman, (Jakarta: BPHN, 1994), hal. 44.
20
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal. 100
. Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk
tersebut21
Salah satu contoh kasus mengenai obat yang mengandung cacat
tersembunyi dapat dilihat di tulisan dari Bali Post, yaitu masih banyaknya
apotek, toko dan warung kecil menjual obat tradisional dengan bahan baku
zat kimia secara leluasa. Jenis produk yang melanggar antara lain obat
keras daftar G seperti analgetika, hormon, dan antibiotika. Dicontohkan,
Sase Buyer atau obat pegalinu dan rematik yang beredar di lapangan
ternyata mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) .
22
Contoh lainnya mengenai obat yang mengandung cacat
tersembunyi ini adalah berasal dari Consumer Reports yang meninjau
beberapa label dari 14 jenis suplemen yang terdiri dari 233 produk dari
sejumlah toko di New York City dan menemukan banyak inkonsistensi.
Beberapa suplemen memberikan peringatan jika anda pernah mengidap
suatu jenis kondisi medis tertentu tertentu namun tidak memberikan
keterangan spesifik mengenai kondisi medis tertentu itu. Label suplemen .
21
Ibid., hal. 101. 22
Bali Post, “Obat Bermasalah Disita, Proses Hukum Nihil”, diakses dari
lainnya menyebutkan adanya efek samping yang mungkin terjadi tanpa
memberikan detail efek samping apa yang mungkin terjadi23
23
Dokter Sehat, “Bahaya Tersembunyi dari Vitamin”, diakses dari
.
Apotek Yakin Sehat adalah apotek yang menjual barang-barang
medis, termasuk obat-obatan. Setiap tahun Apotek ini melakukan
pengecekan jumlah stok beserta tanggal kadaluarsa dan kelayakan
penjualan barang-barang termasuk obat-obatan di Apotek tersebut. Namun
karena pengecekan stok menggunakan system manual, bisa saja terjadi
human error dimana beberapa barang-barang medis termasuk obat-obatan
yang mengandung cacat yang sangat sulit terlihat tidak terlihat saat
pengecekan tahunan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dianggap penting
untuk mengangkat topik penulisan skripsi dengan judul:
“ Tanggung Jawab Hukum Apotek Terhadap Obat Yang
Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Studi pada Apotek Yakin Sehat)”
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan
pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan dan bentuk-bentuk cacat tersembunyi pada
obat?
2. Apa saja bentuk kerugian yang dialami konsumen atas terbelinya obat
yang mengandung cacat tersembunyi?
3. Bagaimana tanggung jawab hukum Apotek Yakin Sehat terhadap obat
yang mengandung cacat tersembunyi menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang diungkap sebelumnya, maka
tujuan dalam menyusun tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan dan bentuk-bentuk cacat tersembunyi
pada obat.
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk kerugian yang dialami konsumen
atas terbelinya obat yang mengandung cacat tersembunyi.
3. Untuk memahami tanggung jawab hukum Apotek Yakin Sehat
terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Secara teoritis, hasil kajian dapat dijadikan sebagai bahan kajian
kepustakaan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya
mengenai hukum perlindungan konsumen yang berkaitan dengan
barang cacat tersembunyi.
2. Secara praktis, hasil kajian dapat dijadikan sebagai pedoman dan
masukan bagi Apotek Yakin Sehat terhadap masalah seputar
perlindngan konsumen yang berkaitan dengan barang cacat
tersembunyi.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka mencari dan menemukan suatu kebenaran ilmiah
dan mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi
penulisan skripsi ini, maka metode yang dilakukan meliputi:
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis-normatif, yaitu
pendekatan yang menggunakan konsep legis-positivis yang menyatakan
bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain
bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat24.
Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma hukum sebagaimana
terdapat dalam Undnag-Undang, kitab hukum, maupun putusan
pengadilan25
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, yaitu
data yang dinyatakan oleh responden sacara tertulis atau lisan serta juga
tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh
.
26
2. Sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari tangan pertama atau
secara langsung dari narasumber, seperti wawancara. Data sekunder yaitu
data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus
serta data yang terdiri atas:27
a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma-norma atau kaedah-kaedah
dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-Undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang
24
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 11.
25
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 139.
26
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 180. 27
menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus, ensklopedia, bahan dari
internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Metode pengumpulan data
Penelitian perpustakaan (library research), yaitu penelitian yang
menunujukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu
penelitian. Sebenarnya suatu penelitian mutlak menggunakan kepustakaan
sebagai sumber data sekunder. Di tempat inilah diperoleh hasil-hasil
penelitian dalam bentuk tulisan yang sangat berguna bagi mereka yang
sedang melaksanakan penelitian. Peneliti dapat memilih dan menelaah
bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan guna dapat memecahkan dan
menjawab permasalahan pada penelitian yang dilaksanakan28
Penelitian lapangan, yaitu tempat para peneliti untuk mendapatkan
data primer. Peneliti seyogianya tidak hanya mencukupkan data sekunder
yang telah diperoleh dari kepustakaan, tetapi juga didukung oleh data
lapangan wawancara dengan informan, yaitu pihak Apotek Yakin Sehat
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kelengkapan data
sangat menentukan hasil penelitian yang diperoleh
.
29
28
Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, (Medan:Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 21.
29Ibid., hal. 21
. Dalam skripsi ini,
4. Analisis data
Analisis data dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang
bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat
diobservasi dari manusia30
5. Penarikan kesimpulan
.
Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu
proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada
suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus31
F. Keaslian Penelitian
. Dalam
skripsi ini digunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif, yaitu
suatu kesimpulan akan ditarik melalui tinjauan pustaka dan kebenaran
yang ada.
Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide dan pemikiran secara
pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun pemikiran yang
ada muncul karena melihat kondisi yang berkembang saat ini mengenai
ketidakjelasan nasib konsumen khusunya terhadap barang cacat yang
sifatnya tersembunyi. Dengan kata lain, tulisan ini bukanlah merupakan
hasil ciptaan ataupun penulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari
penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada judul penulisan yang hampir
menyerupai, seperti:
30
Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 16. 31
1. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk
Farmasi Di Indonesia, Studi pada PT. Mutiara Mukti Farma
Medan (Robert, 100200115);
Rumusan masalah:
a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen
yang memakai produk farmasi ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen?
b. Apakah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu produk
farmasi agar produk tersebut bisa dijual di masyarakat dan
bagaimana penyelesaiannya jika terjadi sengketa konsumen
dibidang produk farmasi?
c. Bagaimanakah menentukan standarisasi harga produk
farmasi di Indonesia sebagai bentuk perlindungan
konsumen?
2. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Kerugian atas
Penggunaan Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi,
Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata
Rumusan masalah:
a. Bagaimana perlindungan hukum dan tanggung jawab
pelaku usaha terhadap kerugian konsumen berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata?
b. Bagaimana peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan
Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang
mengandung cacat tersembunyi?
c. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa atas kerugian
konsumen terhadap penggunaan barang yang mengandung
cacat tersembunyi?
Akan tetapi substansi pembahasan dalam skripsi ini sangatlah berbeda
sehingga keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara sistematis dan terperinci agar
memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan
memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu
kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat
Bab I, Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Perlindungan Konsumen dan Pengawasan Penjualan Obat,
terdiri dari aspek hukum perlindungan kosumen yang meliputi pengaturan
perlindungan konsumen di Indonesia, pengertian konsumen dan pelaku
usaha, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, bentul-bentuk
perlindungan konsumen; pengawasan penjualan obat yang meliputi
kementerian perdagangan, kementerian kesehatan, BPOM, LPKSM.
Bab III, Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi
dan Mekanisme Perdagangan Obat oleh Apotek, terdiri dari pengertian
barang cacat tersembunyi, bentuk-bentuk dan ciri-ciri barang yang
mengandung cacat tersembunyi, pengertian apotek dan dasar hukumnya,
mekanisme pembelian obat oleh apotek ke pabrik,
pembatasan-pembatasan perdagangan obat oleh apotek kepada konsumen.
Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat
Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, merupakan pembahasan pokok dan utama dalam
penulisan skripsi ini yang terdiri dari pengaturan dan bentuk-bentuk obat
obat yang mengandung cacat tersembunyi, tanggung jawab apotek
terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi.
Bab V, Penutup, terdiri dari kesimpulan penulisan skripsi ini dan