• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara menyeluruh dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bodgan & Taylor, 1975: 4).

Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif (Suparlan, 1994: 6). Secara teoritis, ada beberapa paradigma yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan penelitian kualitatif. Paradigma tersebut yakni, fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan kontruktivisme (Irawan, 2006: 13).

(2)

Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran seseorang kepada orang lain, subjek yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman mereka.

(3)

certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26), yang berarti “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”

Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas. Nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivis ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/ kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/ lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari.

Selanjutnya menurut Guba (1990: 27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme, yaitu:

Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk

konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”

Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke

dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi

individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial

(4)

Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang berdiri sendiri, tapi lebih dari itu ia seringkali digambarkan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Secara khusus rangkaian kesatuan konstruktivisme ini dibagi dalam tiga katagori besar yaitu konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme radikal (Suparno, 1997: 25).

Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

(5)

Tidak seperti konstruktivisme kognitif dan konstrukvisme radikal, konstruktivisme sosial menekankan pada menetapkan prinsip-prinsip dalam memelihara pengetahuan alamiah sosial, dan percaya bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari interaksi sosial dan menggunakan bahasa, jadi pengetahuan didapat lebih banyak dari hasil tukar pendapat daripada pengalaman individu (Prawatt & Floden, 1994: 37). Konstruktivisme sosial pada umumnya mengecilkan konstruksi mental pada pengetahuan (bukan karena konstruksi sosial tidak percaya pada konstruksi mental, tapi karena melihatnya relatif mudah) dan menekankan pada konstruksi arti dalam aktivitas sosial. Jadi, konstruktivisme sosial lebih memperhatikan konstruksi arti daripada struktur.

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (Bungin, 2009: 195) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan

pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam

realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

(6)

hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, bahkan pengasaran fakta.

Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi media. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara-cara tertentu untuk menjadikan pesan-pesan. Media tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 1990: 39).

Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai Deridda (1978) yang terkenal dengan gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial. Gagasan Deridda sejalan dengan Habermas (1972), bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia dengan kepentingan, walau tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

(7)

demikian maka dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial di konstruksi dan dimaknai oleh individu lain sehingga memantapkan realitas sosial itu secara objektif. Individu mengonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Semiotika

Basis dari seluruh komunikasi adalah tanda-tanda (signs) (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, isyarat tangan, sebuah kata, keheningan, kebiasaan makan, gejala mode, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda.

(8)

mahasiswa. Selepas kuliah, kabarnya Irma menjadi aktivis Non Government Organization (NGO) internasional. Untuk mengetahui kebenaran mengenai Irma, saya membutuhkan informasi yang berasal dari dua sumber, yang pertama informasi dari sesorang yang mengetahui Irma adalah aktivis dan kedua, informasi yang saya ketahui langsung atau dalam istilah semiotika tanda-tanda yang saya lihat. Beberapa bulan setelah reuni, saya liburan ke Jakarta. Saya memanfaatkan busway sebagai transportasi yang murah dan praktis. Sekitar 200 meter sebelum melewati Bundaran Hotel Indonesia (tanda simbolik) gerak bus melambat. Posisi duduk saya didekat jendela menghadap ke arah bundaran, saya melihat ternyata sedang ada aksi/ demontrasi.

Pandangan saya tertuju pada seorang wanita memakai baju putih bergambar hewan, memakai ikat kepala, yang sedang berteriak-teriak kepada pengguna jalan menggunakan pengeras suara (tanda ikonik) ditengah kerumunan demonstran (tanda indeksikal). Saya merasa mengenal wanita itu. Dia seperti teman saya Irma. Karena jarak pandang yang cukup jauh, sehingga wajahnya samar-samar. Dari banyaknya spanduk/ poster (tanda verbal) yang mereka pegang, mereka melakukan aksi penyelamatan hutan Indonesia dan meminta kepada presiden untuk serius mengusut pihak-pihak atau perusahaan lokal maupun asing yang melakukan eksploitasi berlebihan pada hutan. Apa yang telah saya lihat, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Irma yang pendiam, sekarang menjadi aktivis. Meskipun tidak menutup kemungkinan, bisa saja Irma adalah masyarakat yang hanya berpartisipasi dan mendukung aksi penyelmatan hutan.

(9)

Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang karut-marut ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Pines mengungkapkan “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran” (Berger, 2000a: 14). Manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika.

Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Maka dari itu, pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut.

Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang

berarti “tanda” atau “seme” yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari

studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap yang menandai adanya api (Sobur, 2009: 16-17). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).

(10)

sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Chales Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna (Sobur, 2009: 16).

Scholes menyebutkan, semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of science), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2004: 3). Bahkan Eco menyatakan, semiotika pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh (Sobur, 2009: 18). Maksud dari pernyataan Eco adalah, jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.

Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi yang tidak bisa terlepas dari Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang identik dengan Charles Sanders Pierce. Namun, menurut Yasraf Amir Piliang, pembacaan ulang yang dilakukan oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault terhadap karya Saussure dan Pierce sesungguhnya tidak saling beroposisi atau berseteru, melainkan saling melengkapi seperti sebuah totalitas teori bahasa yang saling menghidupi. Seperti yang dikatakan Eco, bagaimanapun juga „tanda‟ adalah asal usul dari „proses semiosis‟, sehingga dengan demikian tidak ada oposisi atara aktivitas interpretasi Pierce dan kekakuan tanda Saussure (Sobur, 2009: vi).

(11)

dalam buku A Theory of Semiotics (1979). Perdebatan mengenai semiotika yang akhirnya diredam oleh Eco, membuat orang-orang yang akan menggunakan pandangan Saussure maupun Pierce ataupun para ahli lainnya, akan merangkai sendiri sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial dalam berbagai media komunikasi (iklan, sastra, film, komik, karikatur, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

Beberapa tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika diantaranya (Sobur, 2009: 39-63) :

a) Charles Sander Peirce. Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (index) dan symbol (simbol). Dijelaskan, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya foto dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

b) Ferdinand de Saussure. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, salah satunya ialah signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi ysng bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Bisa juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan. “penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai

(12)

c) Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser (pengirim), message (pesan), addresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact (kontak).

d) Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. e) Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

2.2.2 Ikonografi dalam Analisis Semiotika

(13)

seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis (Van Leeuwen, 2001: 92). Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswa/i yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual (semiotika visual Barthes) tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah.

Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar” dengan graphia yang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti

“penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi

seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas.

Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas karya-karya visual yang berupa engraving (produksi ilustrasi buku seni).

(14)

antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866-1929), Fritz Saxl (1890-1948) dan Erwin Panofsky (1826-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat, dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya seni” (Panofsky, 1939: 16).

Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui pendekatan iconography (ikonografis)-iconology (ikonologi) maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001: 93).

Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in Iconology (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya)” (Panofsky, 1939: 3). Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan penggayaan (stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni.

Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok

atau makan” (three strata of subject matter of meaning) karya visual. Ketiga

(15)

kerangka pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri – memperhatikan bagian-bagian tertentu gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografi pengamat memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada lapisan ikonologi pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik dari gambar yang diamati. Penjelasan Panofsky mengenai ketiga lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya, yaitu (Panofsky, 1939:5-8) :

1. Makna primer atau alamiah, yang terbagi dalam makna faktual dan ekspresional

Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu : susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya, dengan mengidentifikasi hubungan timbal balik diantara objek-objek itu sebagai peristiwa, serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni. 2. Makna sekunder atau konvensional

Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk mengahadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan pose tertentu merepresentasikan perjamuan terakhir, atau bahwa dua sosok yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan perlawanan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motif-motif artistik dan menggabungkan motif-motif-motif-motif artistik (komposisi) dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam

disebut “invenzioni”, kita biasa menyebutnya cerita dan alegori.

(16)

Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, kelas, persuasi keagamaan atau filosofis – yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut diungkapkan dan karena itu diarahkan pada, „metode

kompensional‟ dan „signifikansi ikonografi‟. Interpretasi yang benar-benar

(17)

Panofsky juga merangkum ketiga strata penafsiran tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky

Objek

(18)

fenomena, yakni karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu (Panofsky, 1939: 16).

Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine art, yang karateristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya visual yang ditelaah dalam penelitian ini, yakni foto-foto terkait peristiwa tewasnya Moammar Khadafi. Namun, pada dasarnya metode Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual.

Dalam penelitian ini, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni motif (motif) dan makna (meaning). Motif mengacu pada hal yang tampak pada bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal yang tersirat di balik gambar. Demikianlah dengan mengkaji serangkaian foto kematian Moammar Khadafi pada Oktober 2011, diharapkan akan memperdalam pemahaman mengenai fotografi khususnya yang mengandung unsur sadis serta mengenai kehidupan masyarakat Libya.

2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik

(19)

mengungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai mahluk yang memiliki tubuh seksual (sexual body). Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa. Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan. Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara (Phillips, 2005: 1-2).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring) edisi III tahun 2008 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sadis berarti tidak mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas, atau kasar. Bila mendapat akhiran – isme yang artinya „faham‟ maka istilah sadisme dapat didefinisikan sebagai kenikmatan atau kepuasan yang diperoleh lewat upaya menyakiti, melecehkan, menghina dan menghancurkan pihak-pihak lain. Sadisme merupakan patologi psiko-sosial yang sangat berbahaya terutama bila bukan lagi sekedar diidap oleh segelintir orang, namun juga masyarakat luas.

Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis? Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering dianggap berwatak sadis.

(20)

Erich Fromm menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakkuasaan (inpotence) ke dalam pengalaman yang maha kuasa (omnipotence). Sadisme menurut Fromm, adalah keinginan untuk memiliki secara sempurna orang lain, membuat orang lain menjadi objek yang tak berdaya. Orang yang didominasi dan diperlakukan sebagai benda untuk dipergunakan dan dieksploitasi (Fromm, 1988: 84).

Secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki objek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi "tuan" dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya. Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang. Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan, baik itu kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu.

Di penghujung tahun 2011, dunia dikejutkan dengan kabar mengenai kematian Presiden Libya, Moammar Khadafi. Kematiannya menuai kecaman dari sejumlah pimpinan negara lain hingga PBB. Betapa tidak, ia meninggal dengan cara yang tragis bahkan hingga sebelum ia dikuburkan. Video dan foto detik-detik menjelang kematiannya yang mengenaskan, beredar luas bahkan menjadi headline pemberitaan media massa selama sepekan.

(21)

Jurnalis foto bukanlah profesi eksklusif meski dalam diri mereka melekat hak-hak yang bersifat istimewa. Dibanding masyarakat umum jurnalis foto memiliki lebih banyak keleluasaan dalam memotret. Mereka bisa menjangkau tempat-tempat terlarang atau terlindung dari penglihatan publik. Mereka leluasa memotret presiden di istana negara, aktivitas orang, alat-alat dan latihan militer, tempat privat dengan alasan komersial seperti rumah, kamar, pabrik, dan mal. Pemberian akses yang lebih luas kepada jurnalis foto semata-mata untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi.

Namun keistimewaan yang dimiliki jurnalis foto tidak luput dari hal-hal yang bisa dipertanyakan secara etis. Persoalan tersulit adalah menentukan porsi yang tepat antara boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas. Jurnalis foto hendaknya menggunakan perasaannya untuk bertindak selayaknya ia sebagai individu dan di saat yang sama sebagai fotografer. Momen memang menjadi nilai tinggi dari sebuah karya fotojurnalistik. Ia tak dapat diulang atau direkayasa. Namun ketika bicara tentang momen, terkadang ada suatu hal yang jarang dipikirkan jurnalis foto, yaitu moralitas.

Jurnalis foto memang berkewajiban merekam seluruh kejadian atau peristiwa, sekeji atau sesadis apapun itu. Tapi tak semua hasil foto itu layak dipublikasikan. Seperti halnya tulisan, foto pun bisa menimbulkan efek traumatik, kengerian, bahkan konflik. Itu sebabnya media berperan dalam penyeleksian foto-foto. Memilah mana yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Namun, fakta yang ditemukan, tak sedikit foto-foto yang melanggar etika dimuat pada surat kabar lokal, maupun nasional. Louis A. Day dalam bukunnya, Ethics In Media Communications: Cases and Controversies, mengharapkan setidaknya tiga hal mengenai etika, yaitu (Wijaya. 2011: 114) :

(22)

boleh surut, karena faktanya kekurangan kepercayaan dapat merugikan reputasi jurnalis dan medianya.

 Integritas. Salah satu hal yang paling krusial dalam pendewasaan moral adalah integritas. Louis mengutip tulisan Stephen Carter yang mendefinisikan integritas sebagai, (1) melihat apa yang benar dan apa yang salah; (2) beraksi atas apa yang kamu lihat, bahkan dengan biaya sendiri; dan (3) terbukalah atas pemahamanmu pada kebenaran dari pada kesalahan.

 Kesopanan. Kesopanan atau civility mungkin dijabarkan sebagai “prinsip

pertama” dari moralitas karena ini meliputi satu perilaku pengorbanan oleh

diri sendiri dan penghormatan pada yang lain. Bagi media, menempatkan kesopanan di tempat yang lebih tinggi mampu meningkatkan penghargaan dari publik, karena hal itu merupakan penghormatan bagi pembaca. Musuh dari kesopanan adalah egois, kerena egois tidak mendukung orang untuk melihat bagaimana sesuatu berakibat bagi orang lain. Dalam kompetisi pasar yang mengedepankan sensasi, mengejutkan, atau skandal, maka kesopanan bukan aspek yang termasuk dalam agenda liputan.

Menurut Taufan Wijaya, Untuk foto-foto korban kecelakaan, tindak kejahatan, dan musibah, menampilkan foto dengan menjaga agar wajah korban tidak sebagai point of interest adalah upaya mengedepankan empati (Wijaya, 2011: 114). Bukankah kita akan sangat sedih bahkan marah bila foto korban tersebut adalah orang yang kita sayangi? Foto seorang kriminal yang babak-belur penuh luka dan darah misalnya, dapat membuat pembaca yang seorang pengusaha muntah saat sarapan. Surat kabar harian dengan segmentasi menengah-atas bisa bermasalah dengan pelanggannya gara-gara foto seperti itu. sebagai jalan tengah, kebanyak jurnalis foto akan berupaya mencari angle supaya foto tersebut tidak terlihat vulgar, mengaburkan bagian foto yang sadis dan porno, atau membuatnya menjadi foto hitam putih.

(23)

saat ini. Kidder meguraikan tiga jenis pendekatan dalam pembuatan etika berdasar pada tradisi-tradisi falsafah moral. Masing-masing dapat dipakai untuk memecahkan masalah, tapi masing-masing memiliki kelemahan dan jebakannya sendiri (Prayitno, 2006: 9-12).

 Utilitarianisme. Pendekatan ini meminta kita untuk menjajaki konsekuensi dari tindakan dan keputusan kita (jurnalis). Jika saya melakukan hal ini, maka akan terjadi begini; jika saya melakukan hal itu, yang akan terjadi lain lagi. Keputusan etis ini, dengan pendekatan utilitarian adalah hasil dari sebuah kalkulasi etis.

 Keputusan Berdasar Peraturan: Imperatif Kategoris Kant. Istilah Emmanuel Kant ini adalah cara yang agak menakutkan untuk menyebutkan sebuah pendekatan yang relatif sederhana terhadap alasan moral; apapun yang anda putuskan, anda boleh meyakini bahwa keputusan itu bersifat moral atau etis jika anda bisa menyatakan bahwa prinsip atau peraturan yang menjadi keputusan anda adalah sebuah hukum universal. Dengan kata lain, anda (jurnalis) memutuskan untuk berlaku sama bagi siapa saja di dunia ini dalam situasi yang sama.

 Aturan Emas atau Keterbalikan. Prinsip bahwa and harus “melakukan

sesuatu terhadap orang lain sebagaimana orang lain melakukan terhadap

anda” adalah pokok dari semua agama besar. “ini mungkin prinsip etika

yang sudah lebih banyak dipakai oleh kebanyakan orang ketimbang prinsip lain manapun dalam sejarah dunia,” disini anda menempatkan diri pada kedudukan orang lain, jadi saling tukar peran. Aturan emas ini sering disebut sebagai pendekatan “berdasar kepedulian”.

(24)

tanggung jawab kepada instansi yang memberinya upah, maka profesi mengemban tanggung jawab lebih luas yakni kepada masyarakat.

John C Merril mengungkapkan “Lebih mudah membicarakan hukum daripada etika, sebab etika adalah tentang pribadi, sedangkan hukum berhubungan dengan sosial. Agaknya apa yang diungkapkan John C. Merril ada benarnya. Kecenderungan untuk melanggar etika dalam media massa tak hanya terlihat di berita-berita yang diproduksi tapi juga foto-foto yang dimuat. Unsur Sadisme adalah salah satu hal yang sering digambarkan dalam foto di media massa.

William H Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia menambahkan, “saya perlu katakan bahwa anda (jurnalis) perlu misi yang jelas dan pemahaman soal pentingnya infromasi dalam masyarakat dunia. Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan. Tantangannya adalah bagaimana menyajikan infromasi dengan cara yang menarik sehingga, orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui (Natasukarya, 2006: 39).

Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik jurnalistik. Bisa juga seperti yang dikatakan seorang penulis, Robert H Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan kebebasan. Dan kebebasan pernyataan tersebut merupakan kode etik yang menghormati tindak tanduk pers (Prayitno, 2004: 34). Dalam menjalankan profesi sebagai jurnalis, kode etik merupakan acuan moral dalam menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya.

Sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Maka, berdasarkan Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 yang disepakati 29 organisasi pers di Indonesia menyepakati Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) terdapat 7 pasal, yakni (Teba, 2009: 136):

(25)

2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber infromasi.

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran infromasi serta tidak melakukan plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan infromasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record susuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Pelarangan pemberitaan yang mengandung unsur sadis, sangat jelas

tertuang dalam pada pasal 4 berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak memuat berita

bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Fotojurnalistik yang mengandung unsur sadis dikhawatirkan akan membuat pembaca trauma, ketakutan, atau gelisah. Tak hanya pembaca, traumatik juga akan dialami oleh korban atau keluarga korban. Namun, seringkali hal ini tidak diindahkan oleh fotografer, redaktur foto, atau pemimpin redaksi suatu media massa, terutama surat kabar. Foto-foto mengandung unsur sadis tetap dimuat agar terlihat lebih sensasional dan menarik perhatian pembaca.

Berdasarkan laporan program Dewan Pers Periode 2010-2013, Dewan Pers melakukan penelitian pada wartawan pada tahun 2011. Penelitian ini melibatkan 1.200 responden dari 33 provinsi di Indonesia, dengan menggunakan metode kuantitatif survei. Responden adalah wartawan yang berasal dari suratkabar harian (27%), media mingguan (13%), media bulanan (4%), televisi (25%), radio (26%), dan online (5%).

(26)

2011. Ditemukan juga data yang menunjukkan adanya korelasi: wartawan yang pernah membaca seluruh isi Kode Etik Jurnalistik sebagian besar memiliki pengetahuan yang benar tentang pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Tabel 2. Presentase Membaca Kode Etik Jurnalistik

No Uraian Hasil survey

1 Belum pernah sama sekali membaca KEJ 10% 2 Pernah membaca seluruh isi KEJ 42% 3 Pernah membaca sebagian isi KEJ 48%

Sumber: Laporan Akhir Dewasn Pers Periode 2010 – 2013 (www.dewanpers.or.id)

Dewan Pers menegaskan bahwa fungsi Dewan Pers bukanlah menjadi pembela media. Tugas Dewan Pers adalah menegakkan Kode Etik Jurnalistik dan melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tidak pernah ragu menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers seandainya ada media yang melanggar kode etik.

Laporan Dewan Pers tahun 2010-2013, pada tahun 2010 Dewan Pers menerima 421 pengaduan, terdiri atas 117 pengaduan langsung dan 304 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 98 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Lalu pada tahun 2011 Dewan Pers menerima 502 pengaduan, terdiri atas 157 pengaduan langsung dan 345 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 101 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Serta, tahun 2012 Dewan Pers menerima 439 pengaduan, terdiri atas 176 pengaduan langsung dan 263 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 167 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.

(27)

berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers, dan bukan melalui jalur hukum. Kedua, banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme di Indonesia, ada banyak masalah dalam proses penegakan Kode Etik Jurnalistik. Banyak pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

2.2.4 Fotografi

Secara etimologi, fotografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, photography. Photography itu sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, fotos yang berarti cahaya, dan grapos/ graphein yang berarti menulis atau melukis. Jadi, fotografi dapat diartikan menulis dengan bantuan cahaya, menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media kamera dengan bantuan cahaya. Sementara itu, kata kamera berasal dari bahasa latin Camera Obscura yang berarti kamar gelap atau dark room (Mulyanta, 2008: 5).

Ilmu fotografi sudah muncul sejak zaman dahulu. Buktinya, manusia prasejarah selalu berkeinginan untuk mengabadikan setiap peristiwa yang dialaminya. Peristiwa demi peristiwa didokumentasikan melalui berbagai cara. Salah satunya dengan menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut pada dinding gua, kulit kayu atau kulit binatang melalui teknik melukis sampai teknik fotografi yang sangat sederhana.

(28)

Teknik fotografi sederhana mulai terungkap sekitar abad ke-10. Saat itu, ilmuwan Arab bernama Alhazen menjelaskan cara melihat gerhana matahari menggunakan ruang gelap. Ruangan tersebut dilengkapi dengan sebuah lubang kecil (pinhole) yang menghadap ke matahari. Untuk pertama kalinya, prinsip kerja Alhazen berhasil ditemukan oleh Reinerus Gemma-Frisius (1554), seorang ahli fisika dan matematika dari Belanda (Giwanda, 2001: 3).

Fotografi secara resmi lahir di Paris tahun 1839 ketika Louis Jacques Mande Daguerre memperkenalkan kameranya yang bernama Daguerreotype. Sejak itu, era perkembangan fotografi terus berjalan mengikuti perkembangan kemajuan manusia, hingga kini memasuki masa booming teknologi kamera digital. Ada beberapa macam jenis fotografi diantaranya yaitu (Santoso, 2010: 14) :

1. Fotografi Murni atau Hobi

Jenis fotografi yang digolongkan ke dalam kelompok fotografi murni ini adalah jenis karya fotografi yang dibuat semata-mata karena hobi atau kesukaan sang fotografer. Karya tersebut tidak dimasukkan sebagai ilustrasi artikel pada majalah atau surat kabar atau juga tidak dimasukkan sebagai bahan promosi atau iklan. Karya tersebut dibuat atas dasar keinginan atau mood si pemotret terhadap objek atau keindahan objek yang dilihatnya. Tujuan yang dikejar oleh sang fotografer adalah menciptakan momen eksotik.

2. Fotografi Jurnalistik

Fotografi jurnalistik yang khusus menampilkan foto-foto yang memiliki nilai berita, baik benda, bahan atau situasi kehidupan manusia yang menarik perhatian umum. Bersifat aktual sebagai berita yang mampu mengungkapkan kejadian, menjelaskan dan menimbulkan rasa ingin tahu. 3. Fotografi Komersil

Fotografi komersial memiliki aturan-aturan yang ditaati dan ditepati. Fotografer di bidang ini harus menunjukkan hasil yang subjektif secermat mungkin. Bahkan pada saat-saat tertentu para pemotret harus pula menjaga kerahasian, keamanan dan keselamatan objek yang dipotretnya.

4. Fotografi Iklan

(29)

5. Fotografi Pernikahan

Fotografi pernikahan adalah bagian dari fotografi komersial yang berfungsi sebagai sarana pendokumentasian upacara pernikahan. Fotografi pernikahan merupakan “tambang emas” bagi seorang fotografer yang tidak ada habis-habisnya. Cabang fotografi ini tidak akan pernah berakhir sepanjang masa, karena merupakan keinginan manusiawi jika pasangan yang melakukan pernikahan ingin mengabadikan hari bahagia mereka tersebut.

6.Fotografi Fashion

Fotografi fashion tidak lagi berbentuk foto produk tetapi berkembang menjadi aliran yang mengutamakan artistik yang tinggi yang mewakili rancangan mode. Persaingan dalam menjual ide, konsep dan tidak hanya dari sisi rancangan mode, tapi juga teknik fotografi, make-up dan rambut, tata gaya, tata ruang dan sebagainya yang menghasilkan sebuah karya seni. Hal pokok yang penting dikuasai dalam bidang fotografi adalah kemampuan teknis dalam memotret dan kreativitas komposisi foto. Kemampuan teknis yaitu kemampuan untuk menguasai dan mengoperasikan alat-alat fotografi. Beberapa teknik perlu dikuasai apabila ingin menghasilkan foto yang indah. Sedangkan, kreativitas komposisi foto adalah kemampuan dalam mengolah suatu objek fotografi sehingga karya tersebut menjadi enak dipandang, mempunyai nilai bagi subjek yang menjadi penikmat foto.

Memandang suatu benda, atau apapun, dengan kamera tentulah tidak seleluasa melihat dengan mata telanjang. Apabila seorang fotografer membidik melalui view vinder, maka hanya dapat mengambil sebagian dari yang mampu dilihat oleh mata. Oleh karena itu, untuk memperlihatkan keindahan dari suatu objek yang berhasil dibidik fotografer, diperlukan adanya komposisi foto. Komposisi merupakan susunan seni penempatan objek yang dilakukan oleh fotografer dalam sebuah foto. Unsur yang membuat gambar berhasil lebih baik dan membuat menarik adalah mutu dari komposisi yang diciptakan oleh fotografer.

(30)

Komposisi tersebut dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu (Alwi, 2004: 42):

a. Point of interest : hal atau sesuatu yang paling menonjol pada foto. Kadang orang mengatakannya adalah sebagai pusat perhatian.

b. Framing : kegiatan membingkai di mana objek yang akan difoto berada dalam suatu bingkai.

c. Balance : kegiatan di mana mempertimbangkan keseimbangan letak objek foto agar posisi objek foto (point of interest) saat akan melakukan framing.

Dalam pengambilan gambar, jarak dalam mengambil gambar perlu diperhatikan, karena penentuan terebut mempengaruhi akan foto yang terekam dalam kamera. Kalau jaraknya jauh dari objek, maka gambar yang terekam akan terambil secara luas dan menyeluruh. Lalu ketika pengambilan gambar dengan jarak lebih mendekat dengan objek, maka hanya beberapa komponen yang terekam oleh kamera. Selain itu ada teknik close up yang lebih dekat lagi dengan objek. Komposisi lainnya, ada juga yang disusun berdasarkan jarak pemotretan. Jarak yang dimaksud adalah jarak antara fotografer dengan objek foto. Variasi komposisi tersebut antara lain (Alwi, 2004: 45-46) :

a. Long shot

(31)

b. Medium shot

Medium shot merupakan pandangan yang lebih mengarah kepada suatu tema pokok dengan latar belakang yang sedikit dihindari. Ketika pemotretan dengan objek manusia, maka yang diambil dalam foto tersebut dari pinggul ke atas (Sugiarto, 2004: 88). Sebuah objek manusia ditampilkan dari lutut atau sedikit di bawah pinggang sampai dengan ke atas. Komposisi yang dihasilkan adalah objek yang difoto (point of interest) sudah terlihat lebih besar dibandingkan dengan pemotretan dengan teknik long shot dan dapat menjelaskan lebih detail. Jarak antara kamera dengan objek lebih dekat.

c. Close up

Dengan teknik close up ini, yang difoto sebatas wajah, diambil dari jarak dekat. Fungsi dari jepretan (shot) adalah untuk mengungkapkan detail dan ekspresi wajah model. Jepretan (shot) ini banyak disukai oleh para fotografer karena dapat mengungkapkan wajah objek dengan dengan baik dan jelas (Sugiarto, 2004: 18). Komposisi yang dihasilkan hanya objek yang difoto saja atau pada wajah orang saja. Biasanya pemotretan close up dilakukan untuk memperlihatkan ekspresi orang atau detail suatu benda.

Komposisi ada juga yang berdasarkan dari sudut pengambilan gambar (Alwi, 2004: 46). Sudut pengambilan gambar yang dimaksud disini adalah seberapa tinggi pengambilan gambar antara fotografer dengan objeknya. Komposisi tersebut antara lain :

(32)

dalam suatu foto cerita. Apabila dalam foto pemandangan, maka dapat memperlihatkan situasi keadaan yang luas dari atas, sehingga dapat memperlihatkan secara keseluruhan pemandangan tersebut.

b. Frog Eye Level atau Low angle (pandangan rendah) merupakan kebalikan dari high angle. Sudut pandang dalam teknik ini yaitu pemotretan dengan kedudukan fotografer lebih rendah dari objek pemotretan. Gambar yang dihasilkan seolah-olah objek lebih tinggi dari aslinya (Sugiarto, 2004: 82). Foto dengan komposisi Frog Eye Level atau Low angle (pandangan rendah) memberi kesan gagah, suasana yang penuh kekuatan atau keangkeran, membuat suasana dramatik, dapat mengurangi foreground yang tidak disukai, menurunkan cakrawala, dan menyusutkan latar belakang serta meningkatkan ketinggian yang lebih kuat dari suatu objek.

c. Eye Level View atau Normal Angle (pandangan normal) yaitu pandangan setinggi mata manusia dalam posisi berdiri. Pemotreran eye level merupakan pengambilan gambar yang dilakukan dengan cara mata kamera (fotografer meletakkan posisi kamera sama dengan objek) sejajar dengan objek yang akan diambil. Dalam pemotretan dengan teknik eye level (pandangan normal) ini hasilnya akan sama dengan pandangan mata biasa (Sugiarto, 2004: 49). Komposisi ini memberikan kesan santai, landai, monoton, biasa (apa adanya), umum, dan tidak menciptakan suasana dramatik. Unsur kedekatan penikmat foto akan dapat terbangun apabila menggunakan komposisi ini.

(33)

2.2.5 Fotojurnalistik

Ketika kebutuhan manusia untuk merekam suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai nilai berita, dalam arti bahwa suatu berita harus diketahui oleh orang banyak, maka kebutuhan untuk merekam dengan sarana yang mudah, terpercaya keotentikan detail yang memadai, relatif cepat proses produksinya telah terwakili dalam karya fotojurnalistik. Untuk itu maka pilihan yang efektif tiada lain adalah fotografi yang berfungsi sebagai pencipta imaji yang dapat disebarluaskan melalui media cetak, baik sebagai pendukung atau ilustrasi berita verbal, maupun yang berdiri sendiri sebagai imaji rekaman peristiwa (foto berita) yang faktual dan terpercaya. Maka lahirlah documentary photography yaitu foto yang sesuai dengam sifat hakiki dari fotografi yang berfungsi merekam atau mendokumentasikan sesuatu. Namun secara khusus foto tidak sekadar mendokumentasikan, tetapi juga merekam peristiwa yang harus diketahui secara umum, maka terciptalah apa yang disebut photojournalism atau fotojurnalistik.

Esensi dari fotojurnalistik adalah bahwa sebuah berita harus ditampilkan secara faktual, visual, dan menarik. Sedangkan entitas fotojurnalistik yang menampilkan fakta dan realitas dalam bentuk visual yang terdokumentasikan dengan baik bila dirunutkan secara kronologis melalui alur waktu yang benar dapat dikatakan sebagai suatu sejarah fakta bergambar. Ia merupakan catatan yang terekam dalam mata visual karena mengandung jejak dan langkah kenyataan dan kejadian yang patut diketahui orang banyak karena nilai vitalitasnya dalam perjalanan peradaban manusia.

Ketika kata fotografi menjadi fotojurnalistik ada makna lain yang harus ditambahkan. Ada pula aturan-aturan khusus yang mengikat. Jurnalistik identik dengan bidang kewartawanan atau pers, yaitu kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita melalui media massa.

(34)

untuk membuktikan atau fungsi dokumenter bagi teks (Alwi, 2004: 4). Jadi, fotojurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang disebut dengan teks atau caption. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke khalayak. Tanpa caption, sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya. Unsur 5W+1H dipaparkan lewat caption.

Fotojurnalistik berbeda dengan foto-foto keluarga, foto kenangan, foto proyek bangunan dan lain-lain, karena fotojurnalistik memiliki tujuan yang berbeda dengan foto-foto tersebut. Fotojurnalistik bertujuan untuk dikonsumsi media masa yang memiliki berita. Menurut perkembangannya, fotojurnalistik tak lagi sebagai pendukung suatu berita, bahkan bisa berdiri sendiri menjadi sebuah berita dan dikenal sebagai berita foto. Sehingga, kehadirannya pada media cetak bisa memiliki fungsi ganda, yang pertama sebagai ilustrasi pendukung berita, yang kedua sebagai „berita‟ itu sendiri.

Fotojurnalistik menjadi bagian penting dalam surat kabar sejak tahun 1920an. Para penerbit semula tidak terlalu suka banyak mengurus soal fotografi, namun kini cara pikir tersebut berubah sesuai dengan kemajuan jaman dan kesuksesan media cetak. Fotografi punya banyak fungsi. Selain memperindah halaman surat kabar, fotojurnalistik juga memberi gambaran visual tentang suatu peristiwa. Fotojurnalistik dalam media masa sangat diperlukan dan penting. Dikarenakan fotojurnalistik memiliki banyak unggulan, yakni (Ermanto, 2005:154) :

1. Nilai sebuah foto sama dengan sebuah berita karena mengungkapkan semua aspek dari kenyataan dengan menyiratkan rumus 5W + 1H

2. Fotojurnalistik membuat segar halaman surat kabar dan menolong pembaca untuk melihat hal-hal yang menarik

3. Fotojurnalistik dapat memisahkan dua berita agar tidak monoton 4. Fotojurnalistik dapat dibuat dengan mudah, cepat, dan akurat 5. Fotojurnalistik dapat mengejar jangka waktu

(35)

7. Fotojurnalistik lebih kompak

8. Fotojurnalistik memiliki efek yang lebih besar kepada pembaca.

Kenneth Kobre, professor yang memimpin jurusan Fotojurnalistik di San Fransisco State University dalam bukunya yang berjudul Photojournalism: The Professionals Approach menegaskan bahwa fotojurnalistik bukan hanya melengkapi berita di sebuah edisi sebagai ilustrasi atau sebagai hiasan untuk mengisi bagian abu-abu sebuah halaman. Fotojurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif. Oscar Matuloh, pendiri Galeri Foto Jurnalistik Antara mengutip Wilson Hick, mantan redaktur foto majalah Life dari buku Words and Pictures menjelaskan bahwa fotojurnalistik adalah media komunikasi yang mengabungkan elemen verbal dan visual. Elemenen verbal yang berupa kata-kata itu disebut caption yang melengkapi informasi sebuah gambar (Wijaya, 2011: 9-10).

Ada delapan karakter fotojurnalistik menurut Frank P. Hoy dari Sekolah Jurnalistik dan Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang berjudul Photojournalism the Visual Approach. Delapan karakter ini memang harus dipenuhi sebuah fotojurnalistik, namun syarat paling utama adalah fotojurnalistik harus mencerminkan etika atau norma hukum, baik dari segi pembuatannya maupun penyiarannya. Karakter tersebut ebagai berikut :

1. Fotojurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan pewarta foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.

2. Medium fotojurnalistik adalah media cetak koran atau majalah dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire service). 3. Kegiatan fotojurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita. 4. Fotojurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.

5. Fotojurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek sekaligus pembaca fotojurnalistik.

(36)

7. Fotojurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.

8. Tujuan fotojurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press) (Alwi, 2004: 4).

Keunggulan fotojurnalistik dibanding medium penyampai informasi lainnya adalah ia mampu mengatasi keterbatasan manusia pada huruf dan kata. Aspek penting yang harus ada dala fotojurnalistik adalah mengandung unsur-unsur fakta, informatif dan mampu bercerita. Meski begitu keindahan teknis dan sentuhan seni menjadi nilai tambah fotojurnalistik.

Fotojurnalistik merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik, sehingga berita maupun fotojurnalistik (foto berita) sebagai sebuah karya jurnalistik tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu sehingga layak dikatakan berita. Nilai berita tersebut terdiri atas :

a. Magnitude. Nilai ini menunjukkan besaran atau bobot dari sebuah peristiwa. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk dijadikan berita. Misalnya, kapal laut tenggelam, pesawat terbang jatuh, tabrakan kereta api.

b. Timeliness. Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak orang. Misalnya tertundanya pelaksanaan Ujian Nasional atau berita mengenai kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau tokoh nasional.

c. Proximity. Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting (geografis dan psiko-grafis). Jarak geografis dapat diukur dengan kilometer atau mil. Psiko-grafis yang berhubungan dengan kejiwaan, psikologis, politik, kebudayaan, dan lain-lain. Contoh berita yang mengandung psiko-geografis yakni terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 2009. Peristiwa tersebut menjadi semakin penting untuk Indonesia karena Obama pernah tinggal dan mengenyam pendidikan di Indonesia.

d. Prominence. Sesuatu yang menonjol, atau bisa dikatakan aspek ketokohan. Misalnya, melekat pada seorang tokoh, menyangkut prestasinya, kecelakaannya, gaya hidupnya dan lain-lain.

(37)

f. Impact atau Consequence. Akibat atau konsekuensi yang sangat luas dirasakan masyarakat tentulah merupakan nilai yang tinggi. Kenaikan BBM misalnya, menjadi isu yang sangat penting.

g. Conflict atau Controversy. Informasi yang mengandung konflik dan kontroversi jelas mempunyai nilai cukup tinggi. Konflik yang dialami warga Bali di Lampung pada Oktober 2012 dan berita mengenai penetapan lambang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang mirip dengan bendera GAM.

h. Sensation. Peristiwa yang besar disebut sensasi atau menggemparkan tapi peristiwa kecil yang dibesar-besarkan dinamakan sensasional. Sensasional tidak dibenarkan karena bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya (tidak faktual). Misalnya berita mengenai perseteruan Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur.

i. Novelty, oddity, or the unusual. Ini adalah nilai yang menyangkut hal-hal baru, aneh, atau yang tidak lazim.

j. Human Interest. Yaitu lebih pada kepentingan manusiawi, biasanya berukuran menarik untuk semua orang. Misalnya kisah anak kecil yang merawat orang tuanya atau kisah perjuangan anak-anak melewati jurang atau jembatan berbahaya menuju sekolah.

k. Unique. Ini adalah nilai yang berlaku umum tentang hal yang unik. l. Sex. Orang akan tertarik hal-hal yang berbau seks pada lawan

jenisnya. Foto gadis seksi atau peristiwa perselingkuhan.

m. Crime. Peristiwa yang berbau kriminal memiliki magnet yang cukup besar bagi masyarakat. Seorang perempuan diperkosa di angkot oleh tujuh pemuda tentunya termasuk berita kriminal.

2.2.6 Foto Headline

Foto utama di halaman surat kabar dikenal dengan foto headline atau HL. Karena sifatnya yang lebih utaman dibanding foto-foto lainnya, biasanya foto headline dimuat paling besar dan dominan. Foto headline adalah foto terpenting sebuah edisi karena ia dipilih dari sekian banyak foto yang masuk ke meja redaktur sehari sebelumnya. Bisa dibilang foto headline adalah foto terbaik dari keseluruhan foto yang terdapat pada cetakan edisi itu.

(38)

sebuah foto. Sebab, foto yang baik adalah foto yang mampu menarik perhatian pembaca.

Apabila kita membuat foto yang sama dengan yang lain atau isi foto yang biasa-biasa saja maka para pembaca tidak akan tertarik untuk membaca atau membeli surat kabar tersebut. Namun, tidak ada metode khusus untuk menilai foto yang akan dijadikan sebagai headline selain foto yang menarik dan atau memuat isu terpenting. Lebih dari itu semua foto headline lahir dari selera redaktur. Selera redaktur bermain terutama saat menilai mana foto yang terbagus di antara banyak pilihan foto. Selera untuk menilai bagus dan tidaknya tampilan visual suatu foto, antara redaktur surat kabar X dan surat kabar Y tentu berbeda.

Redaktur foto adalah orang yang bertanggung jawab dalam penentuan foto headline, kekuasaan redaktur untuk memilih foto diberikan karena ia dianggap paling menguasai fotojurnalistik dan kaya akan pengalaman visual. Pengalaman visual itulah yang digunakan untuk menilai seberapa menarik sebuah foto untuk tampil sebagai headline. Selain didasari pertimbangan untuk memenuhi keinginan pembaca dan memberikan infromasi terbaik, pemilihan foto headline juga mempertimbangkan aspek komersial, yaitu bagaimana membuat tampilan koran menarik pembeli ditingkat eceran. Foto yang menarik menuntut kesederhanaan visual (Wijaya, 2011: 37).

Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami karena melibatkan usnur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca. Artinya, hanya dengan melihat foto dan keterangannya, pembaca dapat mengetahui gambaran umum dari peristiwa tersebut tanpa harus membaca dalam bentuk berita tulis.

2.2.7 Media Massa dan Surat Kabar

(39)

Media massa atau dalam hal ini disebut pula sebagai media jurnalistik, merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa. Sebab komunikasi massa sendiri secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communicating with media). Dalam ilmu jurnalistik, media massa yang menyiarkan berita atau informasi disebut juga dengan istilah pers.

Menurut Undang-Undang (UU) Pokok Pers pasal 1 ayat (1), pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media eletronik dan segala jenis yang tersedia. Misi yang diemban dan dilaksanakan oleh pers atau media massa adalah ikut mengamankan, menunjang dan menyukseskan pembangunan nasional. Baik media massa eletronik seperti media massa televisi, radio, maupun media massa cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid.

Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Bahkan, media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch,

menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government).

Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks

(40)

Bentuk-bentuk media massa seperti yang dijelaskan Ardianto (2004: 97-143) yaitu sebagai berikut:

a. Surat Kabar

Surat kabar merupakan media massa paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Kelebihan surat kabar adalah mampu memberi informasi yang lebih lengkap, bisa dibawa ke mana-mana, terdokumentasi sehingga mudah diperoleh bila diperlukan.

b. Majalah

Menurut Dominick (Ardianto, 2004: 107) klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama, yakni: (1) general consumer magazine (majalah konsumen umum), (2) business publication (majalah bisnis), (3) literacy reviewsand academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), (4) newsletter (majalah khusus terbitan berkala), (5) Public Relations Magazine (majalah humas).

c. Radio Siaran

Radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Selama hampir satu abad lebih keberadaannya, radio siaran telah berhasil mengatasi persaingan keras dengan bioskop, rekaman kaset, televisi, televisi kabel, electronic games dan personal casset players. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya. Radio juga dapat melakukan fungsi kontrol sosial seperti surat kabar, di samping empat fungsi lainnya yakni memberi informasi, menghibur, mendidik dan melakukan persuasi (Ardianto, 2004: 115-119). Salah satu kelebihan media radio dibanding dengan media lainnya adalah cepat dan mudah dibawa ke mana-mana. Radio bisa dinikmati sambil mengerjakan pekerjaan lain seperti membersihkan rumah, menulis, menjahit dan semacamnya. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada media lain seperti TV, film dan surat kabar.

d. Televisi

(41)

e. Film

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan TV. Film (motion pictures) ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film dengan kemampuan visualnya yang didukung dengan audio yang khas, sangat efektif sebagai media hiburan dan juga sebagai media pendidikan dan penyuluhan. Ia bisa diputar berulangkali pada tempat dan khalayak yang berbeda. Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun.

f. Komputer dan Internet

Menurut LaQuey (dalam Ardianto, 2004: 143), yang membedakan internet (dan jaringan global lainnya) dari teknologi komunikasi tradisional adalah tingkat interaksi dan kecepatan yang dapat dinikmati pengguna untuk menyiarkan pesannya. Tak ada media yang memberi setiap penggunanya kemampuan untuk berkomunikasi secara seketika dengan ribuan orang. Media massa hadir sebagai sebuah institusi sosial, dan menjalankan fungsinya untuk menyediakan informasi bagi orang-orang yang berada dalam berbagai institusi sosial. Media menjadi bagian dari tataran institusional, yang melayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian dari suatu institusi sosial. Sebagai institusi media, media massa berbeda dengan institusi pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama. ilmu pengetahuan, pendidikan, dan lain-lain) karena media massa memiliki fungsi pengantar bagi segenap macam pengetahuan, media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik serta media massa dapat menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya.

Gambar

Tabel 2. Presentase Membaca Kode Etik Jurnalistik
Gambar 1. Skema Model Teoritik

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengolahan air siap minum ini merupakan kombinasi proses oksidasi dengan kalium permanganat atau khlorine, penyaringan dengan filter pasir, filter mangan zeolit dan

Bagaimana jenis usaha masyarakat miskin di Desa

Kacang kedelai (Glycine max L. Merr) merupakan bahan dasar pembuatan tempe juga dapat dihidrolisat oleh enzim protease dibuat sebagai bahan penyedap rasa alami yang

 Sebagai pisau analisis masalah umat islam iaitu , memanfaatkan psikologi untuk menjelaskan masalah umat Islam serta meningkatkan sumber daya umat , namun seringkali

Hampir semua department store memberikan tawaran yang menarik kepada pelanggan dengan mengadakan promosi besar-besaran seperti discount dan hadiah langsung, sebab

Judul penelitian ini Strategi Dakwah Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat dalam Menanggulangi Dampak Prostitusi (Studi Kasus Dukuh Selempung Desa Dukuhseti Kecamatan Dukuhseti

Pada dasarnya, teknik serangan dan pertahanan dalam seni bela diri Taekwondo hampir seluruhnya memakai bagian-bagian dari tangan dan kaki, namun perlu diingat bahwa arus

Koreksi geometrik sistematik melakukan koreksi geomertri dengan menggunakan informasi karakteristik sensor yaitu orientasi internal ( internal orientation ) berisi informasi