• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Baru TNI dan Peluang Kembaliny

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradigma Baru TNI dan Peluang Kembaliny"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA BARU TNI DAN PELUANG

KEMBALINYA TENTARA KE PANGGUNG POLITIK

(Studi mengenai Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru)

Agus Sutisna, tisna_1965@ymail.com Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik

SPs Universitas Nasional Jakarta

Abstrak

Pasca reformasi 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan dokumen yang berisi paradigma baru ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paradigma ini dimaksudkan sebagai respon positif kalangan militer terhadap tuntutan reformasi untuk meredefinisi dan mereposisi peran ABRI dalam kehidupan politik yang selama rezim Orde Baru dianggap telah menghambat perkembangan demokrasi dan pelanggaran-pelanggaran atas Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai ekses dari penerapan doktrin Dwi Fungsi. Secara ringkas substansi paradigma baru itu dapat dirumuskan dalam jargon : “tidak selalu harus di depan; tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan”. Studi ini membahas esensi dan kecenderungan paradigma baru tersebut dalam kaitannya dengan peluang/kemungkinan ABRI (sekarang TNI) kembali melakukan intervensi dalam kehidupan politik di era reformasi dalam kerangka konsepsi hubungan sipil-militer di Indonesia. Data untuk studi ini dihimpun dari berbagai sumber literatur dan dokumen yang relevan; kemudian dianalisis dan disajikan secara kualitatif. Hasil studi menunjukkan, bahwa paradigma baru TNI tidak menyatakan secara

assertif bahwa TNI akan mundur sepenuhnya dari panggung politik. Oleh karena itu peluang kembalinya TNI ke panggung kehidupan politik Indonesia tetap terbuka, terutama jika para elit dan otoritas sipil gagal mewujudkan demokrasi dan stabilitas politik-keamanan nasional.

Kata-kata Kunci : Relasi Sipil-Militer, Dwi Fungsi ABRI, Paradigma Baru TNI,

(2)

1.

Latar Belakang

Merespon desakan berbagai elemen masyarakat agar ABRI

mundur dari arena kehidupan politik yang merupakan area masyarakat

sipil, tanggal 5 Oktober 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan “buku

putih” berjudul : ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi

Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Suatu dokumen yang oleh Tim

PPW-LIPI dinilai sebagai indikasi adanya keinginan di lingkungan internal

ABRI untuk melakukan perubahan.1

Sebagaimana tercatat dalam sejarah kiprahnya, sepanjang era

pemerintahan Orde Baru, ABRI merupakan aktor politik utama yang

peranannya dalam kehidupan politik sangat dominan dan determinatif.

Beralaskan doktrin Dwi Fungsi yang ditafsir-kembangkan oleh Soeharto

dari konsep “Jalan Tengah”nya Nasution, ABRI praktis menjadi

pengendali kehidupan politik nasional. Doktrin ini menegaskan, bahwa

selain berfungsi sebagai alat pertahanan-keamanan negara, ABRI juga

mengemban fungsi sosial-politik. Fungsinya yang kedua inilah yang

kemudian banyak dikritik dan digugat oleh masyarakat, karena dianggap

menjadi sumber penghambat tumbuh-kembangnya demokrasi. Seperti

dikemukakan Daniel S. Lev, dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli

(3)

politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi

kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara

diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.2

Selain melalui doktrin Dwi Fungsi, dominasi ABRI dalam kehidupan

politik Indonesia pada masa Orde Baru juga difasilitasi oleh model

struktur kekuasaan territorial yang membentang dari pusat hingga ke

desa. Dalam hasil kajiannya, Peter Britton3 mengungkapkan :

“...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah,di setiap desa dengan tugas memelihara nan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik. Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian”.

Dominasi dan cengkraman tentara dalam kehidupan politik itu

bukan saja telah mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan demokrasi

di Indonesia. Melainkan juga telah melahirkan rentetan peristiwa dan

berbagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh aparatur

ABRI di berbagai daerah. Sebut saja misalnya peristiwa Tanjung Priok

(1984), Talangsari Lampung (1989), kerusuhan 27 Juli 1996 dan Timtim

pasca referendum penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur (1999)

dll.

Ringkasnya, pelbagai distorsi dan ekses negatif penerapan dotkrin

Dwi Fungsi yang dikombinasikan dengan model struktur kekuasaan

2 Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS, 2005, hal. 8

(4)

teritorial telah “menjerumuskan” ABRI sebagai tulang punggung

pertahanan-keamanan negara yang mestinya fokus pada kesiagaan

pengamanan negara dari berbagai ancaman (domestik maupun luar

negeri, potensial maupun nyata) ke dalam area permainan politik yang

sejatinya merupakan domain masyarakat sipil, yang oleh sebab itu

kerapkali “memaksa” mereka untuk berhadapan dengan rakyatnya

sendiri; dengan para mahasiswa, para aktifis LSM, para kyai serta

elemen-elemen masyarakat sipil lainnya.4

Itulah sebabnya, kehadiran “buku putih” yang berisi paradigma

baru peran sosial-politik ABRI menerbitkan, sekurang-kurangnya

harapan positif terhadap positioning masa depan ABRI yang lebih tepat

dalam lanskap kepolitikan bangsa. Satu hal harus segera ditegaskan

dalam kaitan reposisi ini, terlepas dari sejarah kelamnya sepanjang era

Orde Baru, keberadaan ABRI yang saat ini sudah berganti nama dengan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah suatu keniscayaan sejarah.

Kehadirannya bersifat mutlak sebagai pilar utama

pertahanan-keamanan negara-bangsa.

Maka menjadi penting memang untuk terus mendiskusikan

bagaimana posisi paling tepat dan jalan lurus yang harus ditempuh oleh

TNI sebagai salah satu komponen utama negara dan sistim nasional.

Pada saat yang sama, tidak kalah pentingnya pula adalah

mendiskusikan bagaimana performa kepolitikan yang harus dibangun,

(5)

suasana sehat dan dinamis dalam kerangka mengkonsolidasikan

demokrasi, serta perilaku politik yang harus dikembangkan oleh para

eksponen masyarakat sipil yang menjadi aktor-aktor pada domain

kehidupan politik negara-bangsa sedemikian rupa, sehingga tidak

“mengundang” syahwat politik tentara untuk kembali “berjoget ria” di

panggung kepolitikan bangsa.

2.

Fokus Kajian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, studi ini difokuskan

pada 2 (dua) pokok pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana paradigma baru tentara Indonesia dalam kerangka

hubungan sipil-militer pasca reformasi 1998 ?

2. Bagaimana peluang tentara Indonesia kembali ke panggung

kehidupan politik di era reformasi ?

3.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan/metode kualitatif. Data

dan informasi untuk kebutuhan analisis dikumpulkan melalui studi

literatur, dokumen, dan eksplorasi peristiwa-peristiwa dinamis seputar

hubungan sipil-militer dalam lanskap kehidupan politik Indonesia

mutakhir (pasca reformasi). Data dan informasi yang terhimpun

sedemikian rupa itu dianalisis dan interpretasi, kemudian disajikan

(6)

4.

Landasan Teori

Fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam politik di

berbagai negara telah banyak dikaji dan diperbincangkan dalam

kerangka hubungan sipil-militer. Pada umumnya para ahli memetakan

isu hubungan sipil-militer ini ke dalam dua perspektif. Pertama

perspektif Barat dan kedua perspektif negara berkembang atau negara

otoriter.5 Di negara-negara barat dimana demokrasi pada umumnya

telah mengalami konsolidasi dan establish berlaku model civilian

supremacy upon the military (supremasi sipil atas militer). Dalam model

ini, militer berada dalam posisi sebagai sub-ordinat dari pemerintahan

sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Sementara

di negara-negara berkembang pada umumnya atau di negara-negara

otoriter, militer kerap dianggap sebagai kekuatan politik yang memiliki

hak untuk ikut mengatur dan mengambil keputusan-keputusan politik

strategis bersama kekuatan politik lainnya, terutama partai politik dan

parlemen. Di atas basis cara pandang inilah kemudian militer di

negara-negara berkembang atau otoriter seringkali --jika tidak selalu-- terlibat

jauh (intervensi) dalam kehidupan politik.

Intervensi militer ke dalam kehidupan politik itu oleh S.E. Finer

dipetakan dalam 5 (lima) model sebagai berikut.6 Yaitu melalui : (1)

saluran konstitusional resmi; (2) kolusi dan atau kompetisi dengan

(7)

otoritas sipil; (3) intimidasi terhadap otoritas sipil; (4) ancaman

non-kooperasi dengan atau kekerasan terhadap otoritas sipil; dan (5)

penggunaan kekerasan pada otoritas sipil.

Perspektif lain diperkenalkan oleh Marcus Mietzner7 yang

memetakan 4 (empat) model intervensi militer dalam kehidupan politik.

Pertama model Praetorian. Dalam model ini, militer praktis mengontrol

semua pranata kenegaraan dan masyarakat sipil. Lembaga-lembaga

negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh militer

baik secara langsung maupun melalui otoritas sipil yang loyal dan

tunduk pada kehendak militer. Model ini melahirkan rezim Praetorian

yang biasanya berkuasa melalui pintu masuk situasi darurat di negara

yang bersangkutan. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan

Afrika pada dekade 1950-an merupakan contoh dari model Praetorian

ini.

Kedua, model Participant-Rule. Di dalam model ini Mietzner

menggambarkan keterlibatan (intervensi) langsung dilakukan oleh

militer dalam pemerintahan, namun tidak memegang kontrol

sepenuhnya atas pemerintah. Dalam model ini biasanya militer

membangun aliansi atau melayani kepentingan elit sipil serta terlibat

dalam pemerintahan. Contoh negara dengan model ini adalah Filipina di

bawah rezim Marcos dan Thailand pada dekade 1980-an.

7 Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to

(8)

Ketiga, model Guardian. Di dalam model ini militer tidak terlibat

secara langsung dalam pemerintahan sipil. Artinya militer tetap berada

di luar pemerintahan dan bertugas menjalankan fungsinya sebagai alat

utama pertahanan-keamanan negara. Akan tetapi, biasanya

berdasarkan legitimasi historis, militer menjadi kekuatan yang sangat

menentukan (determinative) nasib pemerintahan sipil. Militer dalam

tipologi ini biasanya memiliki apa yang disebut sebagai esprit de corpus

sebagai penjaga ideologi bangsa atau keutuhan negara. Turki adalah

contoh negara dengan model seperti ini.

Keempat, model Referee. Militer dalam model ini digambarkan

oleh Meitzner layaknya wasit (refree) yang bukan hanya menjadi

“pengadil” dalam situasi konflik antar faksi atau kekuatan aktor-aktor

politik sipil. Tetapi juga bisa menjadi “king makers” yang menentukan

dalam pertarungan kekuasaan antar faksi politik di negaranya. Model ini

biasanya dijumpai pada negara-negara otoriter atau yang baru

memasuki tahapan transisi demokrasi dimana persaingan antar faksi

politik demikian tinggi. Dan dalam konteks persaingan ini militer hadir

sebagai faktor penentu perihal faksi mana yang akan didukung untuk

berkuasa. Sebagai imbalannya militer diberikan jatah kursi menteri,

otoritas ekslusif untuk mengatur sendiri institusi dan kebijakannya, atau

berupa konsesi-konsesi ekonomi bagi para elitnya.

Intervensi militer ke dalam politik di negara-negara berkembang

(9)

Sejumlah literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata

dalam politik suatu negara pada umumnya diakibatkan situasi-situasi

berikut ini8 :

(1) Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang

memegang pemerintahan, yang menyebabkan rezim bersangkutan

semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban

dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi

krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan

pendapat; (2) Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin

politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer

apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif; (3)

Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang

besar atau oleh negara-negara tetangga dalam hal perebutan

kekuasaan; (4) Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di

negara-negara tetangga; (5) Permusuhan sosial dalam negeri, yang

paling jelas terjadi di negara-negara yang diperintah oleh suatu

kelompok minoritas; (6) Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya

kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat

kota yang terorganisir; (7) Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan

partai yang tidak efesien, atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil

8 Lihat misalnya Calude E.Welch, Jr., “Cincinnatus in Africa: The Possibility of Military Withdrawl From

Politics,” dan Robert P. Clarck, “Devolopment and Instabillity: Political change in the Non-Western World”,

dalam Robert P. Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989, hal. 155-

(10)

berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing; (8) Struktur

kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi

satu-satunya saluran yang terbuka untuk anak miskin naik status dari bawah

ke atas; (9) Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada

anggota-anggota militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang

mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk

menarik negara keluar dari tata-caranya yang tradisional; (10) Pengaruh

asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing, pengalaman

yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat

latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam bentuk peralatan dan

senjata; dan (11) Kekalahan militer dalam perang dengan negara lain,

khususnya kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil

telah mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan

perdamaian yang tidak menguntungkan atau karena salah menjalankan

kegiatan perang di belakang garis pertempuran.

Dalam konteks sejarah kepolitikan atau hubungan sipil-militer di

Indonesia, para ahli memetakan sejumlah faktor yang telah mendorong

ABRI melakukan intervensi ke dalam kehidupan politik. Faktor-faktor itu

antara lain : tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara;

adanya ancaman terhadap keamanan nasional; ambisi tentara

mempertahankan privilege seperti otonomi dalam merumuskan

(11)

pertahanan institusi militer; serta melindungi aset dan akses ekonomi

dan tugas sejarah.9

Sementara itu, Daniel S. Lev menyimpulkan10, bahwa dalam

sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari

kalangan perwira tentara itu sendiri untuk masuk ke ranah kehidupan

politik. Yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik

pemerintah; dicampurinya urusan internal tentara oleh pimpinan politik;

terjadinya pertentangan dikalangan perwira tentara sendiri, serta tidak

disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh tentara.

5.

Hasil dan Pembahasan

1. Paradigma Baru TNI

Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dalam kerangka

merespon tuntutan agar ABRI menarik diri dari kehidupan politik sebagai

bagian penting dari agenda reformasi 1998, Markas Besar ABRI

menerbitkan suatu dokumen yang diberi judul “ABRI Abad XXI :

Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam

Kehidupan Bangsa”. Dokumen ini memuat sikap sekaligus paradigma

baru ABRI dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara

setelah terjadinya turbulensi politik yang dipuncaki oleh mundurnya

9 Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan Transisi di Indonesia,”

dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia,

Jakarta: CSIS, 1999, hal. 10

(12)

Soeharto dari jabatan Presiden setelah lebih dari 30 (tiga puluh tahun)

tahun berkuasa. Suatu paradigma yang dilandasi cara berpikir yang

bersifat analitik dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan

komprehensif yang memandang ABRI sebagai bagian dari sistem

nasional.

Paradigma baru ini dalam fungsi sosial politik mengambil bentuk

implementasi sebagai berikut11 :

Pertama, mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di

depan. Artinya, posisi sentral yang pada masa Orde Baru mereka

nikmati, kini dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan

oleh institusi fungsional yang bersangkutan.

Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi.

Pada masa Orde Baru, penugasan di luar struktur ABRI mencakup

lingkup amat luas. Kini lingkup tersebut makin diperkecil dan dibatasi

pada posisi yang memiliki nilai strategis serta mengurangi

keterlibatannya dalam kegiatan politik praktis. Memperngaruhi di sini

tidak dimaksudkan intervensi, tetapi lebih bermakna kontribusi

pemikiran yang konstruktif.

Ketiga, mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi

tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelibatan ABRI

secara berlebihan.

Keempat, kesediaan untuk melakukan political role sharing

(kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan

(13)

pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya. Jalinan dan

pembagian peran dengan mitra sipil akan menempatkan peran setiap

institusi secara fungsional.

Ringkasnya, paradigma baru ABRI itu dapat dirumuskan sebagai

berikut : “tidak selalu harus di depan; tidak lagi menduduki tapi

mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi tidak

langsung; dan siap berbagi peran dengan komponen bangsa lainnya

dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan.”

Paradigma baru ini menggantikan paradigma lama ABRI yang full-power

sebagai stabilisator dan dinamisator kehidupan berbangsa dan

bernegara.12

Mencermati 4 (empat) bentuk implementasi paradigmatika baru

ABRI tersebut, beberapa simpulan hipotetis dalam kerangka hubungan

sipil-militer di Indonesia, atau secara khusus isu keterlibatan TNI dalam

kehidupan politik pasca Orde Baru ini dapat dirumuskan sebagai berikut

:

Pertama, paradigma itu menunjukkan secara tersirat, bahwa TNI

sesungguhnya tidak sepenuhnya akan mundur dari keterlibatannya

dalam kepolitikan bangsa. TNI berkomitmen mundur dari panggung

politik dengan sejumlah syarat tertentu. Analisis KontraS menduga,

bahwa salah satu syarat itu adalah jika hak-hak privilege (istimewa)

mereka tidak dilucuti oleh otoritas (pemerintah) sipil. Jika privillege itu

terganggu maka TNI akan memberanikan diri maju kedepan baik secara

(14)

langsung maupun tidak langsung. Artinya TNI tidak akan surut dari

panggung politik begitu saja.13

Penulis sendiri melihat di antara syarat penting yang tersirat itu

adalah menyangkut soal keselamatan negara-bangsa yang dapat saja

menjadi rentan atau berpotensi terancam setelah TNI mundur dari

panggung politik oleh karena pertarungan politik di kalangan elit sipil

atau tensi dinamika kepolitikan yang sangat tinggi sebagai implikasi

dibukanya kran kebebasan dan demokrasi, yang menjurus pada

instabilitas politik-keamanan negara-bangsa. Jika ini terjadi, hemat

penulis, TNI tidak akan berpangku tangan; TNI akan “terpaksa” kembali

ke panggung politik untuk memenuhi “panggilan tugas sebagai tentara

pejuang” guna menyelamatkan negara-bangsa.

Kedua, muatan paradigma itu juga menunjukkan bahwa TNI

sebetulnya masih memposisikan diri sebagai kekuatan politik utama

dalam lanskap demokrasi kepolitikan Indonesia pasca Orde Baru. Sikap

pemosisian diri ini jelas terbaca dalam kalimat “dalam mengambil

keputusan penting TNI siap berbagi peran (political role sharing) dengan

komponen bangsa lainnya”. Kalimat ini mengisyaratkan dua hal;

pertama TNI menyadari betul bahwa pada masa Orde Baru mereka

merupakan kekuatan politik tunggal yang secara hegemonic menjadi

penentu dalam setiap pengambilan berbagai keputusan strategis negara

dan pemerintahan; kedua posisi ini tidak akan mereka lepas

(15)

sepenuhnya, TNI hanya akan “berbagi” dengan (dan bukan

“menyerahkan”) kepada komponen bangsa lainnya.

Terkait dengan gagasan mengenai berbagi peran dengan pihak

sipil itu, KontraS melihat bahwa dalam paradigma barunya TNI sama

sekali tidak menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan

yang telah menciptakan “kekacauan”. Disamping itu juga, TNI tidak

menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, sejalan dengan

norma-norma yang lazim menjadi rujukan dan dipraktikkan dalam tradisi

demokrasi, TNI mestinya hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil.14

Ketiga, paradigma mengubah tradisi “menduduki menjadi

mempengaruhi” dan “mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung”

meskipun secara semantik cukup jelas maknanya, namun substansi

phrasa ini jelas menyiratkan masih kuatnya semangat dan keinginan TNI

untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis. Dalam praktiknya, istilah

“mempengaruhi” dalam aktifitas politik praktis seringkali lebih,

sekurang-kurangnya sama saja bobot implikasinya, dengan

“menduduki”.

Keempat, dalam paradigma baru TNI itu juga tidak secara tegas

dan eksplisit dinyatakan bahwa doktrin Dwi Fungsi dihapuskan oleh

sebab telah menimbulkan berbagai distorsi yang menghambat

pertumbuhan demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia sepanjang

era Orde Baru.

(16)

Dengan demikian, tanpa bermaksud menegasikan

perubahan-perubahan kearah positif yang sudah dicapai sejauh ini, paradigma baru

TNI sesungguhnya belum mengubah secara total dan signifikan posisi,

budaya dan postur TNI dalam lanskap kepolitikan negara-bangsa pasca

Orde Baru. Seperti disimpulkan Kusnanto Anggoro, bahwa dengan

paradigma barunya itu TNI sesungguhnya masih tetap berada dalam

ruang konservatisme menyangkut kepercayaan pada supremasi sipil

dalam pengelolaan negara.15

2. Dinamika Kepolitikan Pasca Reformasi

dan Peluang Kembalinya Tentara ke Panggung Politik

Memasuki era reformasi setelah 30 tahun lebih berada dalam

cengkraman rezim otoriter Orde Baru yang represif dan anti-demokrasi,

lanskap kehidupan politik Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena

ledakan partisipasi politik secara massif sebagai implikasi dari dibukanya

kran kebebasan. Dimana-mana, gairah partisipasi politik berbagai

elemen masyarakat tumbuh dan merebak sebagaimana tercermin

antara lain dalam berbagai aksi unjukrasa mengartikulasikan

kekecewaan atau tuntutan atas beragam persoalan bangsa;

bertumbuhnya organisasi-organisasi baru yang mewadahi

elemen-elemen civil society; dan kebebasan pers.

Di satu sisi, situasi tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa

demokrasi yang sesungguhnya sedang tumbuh dalam masyarakat

(17)

Indonesia. Tetapi tidak jarang diantara bentuk-bentuk ekspresi dan

atikulasi partisipasi politik itu juga menjurus ke arah yang destruktif dan

berpotensi menimbulkan gesekan dan benturan sosial dalam

masyarakat, menjurus ke arah instabilitas, bahkan berpotensi

menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

Terbuka luasnya kran kebebasan yang telah memicu tumbuh

suburnya gairah partisipasi dan berdemokrasi masyarakat Indonesia

pasca reformasi 1998 ini tampak hampir dalam semua lapangan dan

dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

(kebudayaan, informasi dan komunikasi, ekonomi, sosil-politik, bahkan

juga hukum). Dalam bidang kebudayaan dan kesenian, kebebasan itu

tampak dalam bentuk-bentuk ekspresi dan artikulasi berbagai kegiatan

dan kerya seni-budaya yang pada masa Orde Baru sukar bisa dilakukan.

Di bidang informasi dan komunikasi, kebebasan itu lebih menonjol lagi

dengan mengarus derasnya penyebaran dan pertukaran informasi

melalui saluran-saluran yang tersedia dan semakin kaya ragam dan

bentuknya.

Dalam bidang politik terbukanya kran kebebasan dan gairah

partisipasi rakyat itu tampak marak dan massif, baik di ruang-ruang

political society (masyarakat politik) seperti partai politik, parlemen dan

pemerintahan, maupun di dalam arena civil society (masyarakat sipil)

seperti Ormas, LSM, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya, di

(18)

Kegiatan demokrasi elektoral (kepemiluan) yang menyita

perhatian dan energi segenap bangsa nyaris sepanjang tahun; adu

kekuatan antara parlemen dengan pemerintah dalam konteks relasi

DPR-Presiden yang dikuasai masing-masing oleh partai atau koalisi

partai politik yang berbeda sehingga melahirkan fenomena dual

democratic legitimacy; kisruh dan sengketa antara lembaga

kepemerintahan seperti konflik Polri vs KPK; aksi buruh yang nyaris

tanpa jeda menuntut perbaikan nasib; aksi berbagai elemen civil society

yang juga tak pernah sepi menyuarakan kepentingan publik atas

kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat seperti

kenaikan harga BBM dan komoditas publik lainnya; semuanya itu

menggambarkan betapa rentan sesungguhnya dinamika kehidupan

politik Indonesia di era reformasi ini. Suatu kondisi yang berdasarkan

pengalaman sejarah dimanapun di negara-negara pasca kolonial dan

transisional, dapat dengan mudah “mengundang” kembali intervensi

militer, manakala otoritas sipil gagal menyelesaikannya secara damai

dan demokratis.

Tentu saja dari semua bentuk kegaduhan politik itu, merujuk pada

sejarah keterlibatan militer dalam kepolitikan Indonesia yang paling

potensial membuka jalan bagi intervensi militer adalah kegaduhan dan

konflik yang berlangsung di ruang political society. Terutama

(19)

pertarungan kepentingan di dalam parlemen sendiri menyangkut

berbagai isu strategis kenegaraan dan pemerintahan.

Oleh sebab itu, berlatar gambaran sederhana tersebut yang

dikonfimasikan dengan sejumlah perspektif teoritik, substansi

paradigma baru TNI dan aspek kesejarahan sebagaimana dipaparkan di

depan, menurut hemat penulis potensi militer untuk kembali intervensi

dan kembali ke panggung politik Indonesia di era reformasi ini tetap

terbuka. Terutama jika pemerintah dan elit-elit sipil/partai politik di

parlemen gagal menciptakan stabilitas politik lalu berimplikasi pada

timbulnya kerawanan-kerawanan aspek keamanan nasional; gagal

menghadirkan wajah demokrasi yang memperkuat integrasi bangsa lalu

berimbas pada terancamnya keselamatan negara-bangsa; dan akhirnya

kehilangan kepercayaan dari rakyat, maka TNI sebagaimana sudah

sering ditunjukkan dalam perjalanan sejarah bangsa ini, secara subyektif

akan merasa “terpanggil” untuk maju kembali dengan misi

menyelamatkan bangsa dan negara. Inilah yang terjadi pada peristiwa

17 Oktober 1952 dan pasca peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tahun

1965, dimana ABRI tampil ke depan dengan misi menyelamatkan

ideologi, negara dan bangsa.

6.

Kesimpulan

Paradigma baru TNI yang diharapkan akan memperkuat agenda

(20)

sebagai alat pertahanan keamanan negara sebagaimana dituntut oleh

kalangan masyarakat sipil, sesungguhnya belumlah sampai pada apa

yang secara ideal diharapkan. Selain tidak secara eksplisit dan tegas

menghapuskan doktrin Dwi Fungsi ABRI, substansi paradigma tersebut

juga tidak menyatakan secara assertif, bahwa ABRI atau TNI menarik diri

sepenuhnya dari kehidupan politik. Paradigma itu hanya memuat

sejumlah komitmen, yakni : tidak selalu harus di depan; tidak lagi

menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara

langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan

komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting

kenegaraan dan pemerintahan.

Di sisi lain, dinamika kehidupan politik pasca Orde Baru hingga

saat ini masih menunjukkan kecenderungan ke arah kegaduhan dan

instabilitas. Para elit sipil dan otoritas pemerintahan sipil yang dihasilkan

melalui pemilu belum sepenuhnya berhasil mewujudkan tatanan

kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis sekaligus tertib

dan stabil.

Pertemuan dua fakta tersebut, yakni : paradigma baru TNI yang

tidak sepenuhnya mundur dari kehidupan politik dan situasi politik yang

cenderung gaduh sepanjang waktu serta menjurus ke arah instabilitas

politik-keamanan, jika tidak disikapi dengan tepat dan segera, ia akan

(21)

panggung politik. Dan secara historis, ini adalah keniscayaan sejarah

bangsa yang telah berulang kali terbukti.

Daftar Pustaka

1. Bhakti, Ikrar Nusa, “Hubungan Baru Sipil-Militer”, Kompas, edisi 28 Juni 2000.

2. Clark, Robert P., Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989.

3. Finer, S.E., The Man on Horseback : The Role of Military in Politics, New York : Preafer, 1962.

4. Lev, Daniel S., “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Jurnal Diponegoro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI,

5. Mabes TNI, TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Markas Besar TNI, 1999.

6. Mietzner, Marcus, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation, Singapore : ISEAS, 2009.

7. Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000.

8. Sukma, Rizal dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: CSIS, 1999.

9. Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS, 2005.

10. Tim LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli ?, Jakarta : LIPI-Mizan, 2001.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Tempat untuk budidaya jamur bisa dibuat lembab dengan selalu menjaga kelembaban, caranya dengan menyemprotkan air ke tanah (tidak perlu di media jamur tumbuh) dalam jangka

Biasanya para petani yang memanen labu kuning hanya menjualnya dengan harga yang sangat murah selebihnya para petani memanfaatkan labu kuning untuk dibuat makanan dengan

(Tesis), Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Pascasarjana,. Universitas Pendidikan

ةطشنأا ءارجإ هيلع لاسي ح ةديد ا ةرث لا تادرفماب ةيوغللا هترخذ ذيماتلا نب ةيما لا. ااجاتنإ و ااتغايصب ةثحابلا تمأ دق لا

Pada CDM aplikasi analisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan mahasiswa terdapat sembilan tabel yang terdiri atas tabel pegawai, tabel mahasiswa, tabel

Studi praktek penyusunan komposisi desain 2 dimensi, melatih kepekaan akan komposisi warna, garis, bidang, tekstur dalam mewujudkan suatu gagasan terencana..

- Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan Kegiatan : 1.20.1.20.16.06.01.. - Penyusunan laporan capaian kinerja dan ikhtisar realisasi kinerja

Furthermore, assessing the uncertainties of classification requires a sufficient number of observations per class to be created that retain statistical power of