BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Gangguan Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur
dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik
(Soetjiningsih, 1995).
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Secara garis besar
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal)
yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin,
kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan faktor luar (eksternal/lingkungan) yang
terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam
darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan
kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia
(Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi
pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Kemenkes RI, 2010).
Penilaian gangguan pertumbuhan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak
dilahirkan. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan pertumbuhan anak
secara dini, sehingga upaya pencegahan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas
pada masa-masa kritis proses pertumbuhan sesuai dengan umur anak, dengan
demikian dapat tercapai kondisi pertumbuhan yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan
Kesmas, 1997). Penilaian pertumbuhan dapat dilakukan melalui penilaian
pertumbuhan fisik salah satunya adalah melalui pemantauan tinggi badan anak.
Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan
dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah
anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada
kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani (WHO, 2010).
Penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama
dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku
(standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan
dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk
menilai kecepatan pertumbuhan.
Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan
atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi
Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra
(2003) macam-macam penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah:
1. Pengukuran Berat Badan (BB)
Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan
keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu
Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya
dan dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan.
2. Pengukuran Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan
berbaring sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil
pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik
pertumbuhan tinggi badan.
3 Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak
maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada
diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai
standar.
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal
KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola
pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih
dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal.
Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak
mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Anak
yang kurang gizi akan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan mentalnya.
2.2.Faktor-faktor yang Memengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak
Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan. Dari seluruh
siklus kehidupan, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan
kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh
kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa
keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu
pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia
sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi saat lahir dan balita. Hal ini
Gambar 2.1. Masalah Gizi menurut Siklus Kehidupan (Atmarita, 2004)
Pada gambar 2.1, dijelaskan bahwa masalah gizi dapat terjadi pada seluruh
siklus kehidupan. Selajutnya untuk memberikan gambaran keadaan masalah gizi pada
masing-masing siklus dapat dijelaskan berikut ini:
Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu,
manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya
menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang
mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin
tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang
mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya.
Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 - 2000 telah
menjadikan asupan zat gizi ibu hamil dari masyarakat kurang mampu khususnya
menurun secara signifikan dan menjadikan mereka mengalami Kurang Energi Kronis
(KEK) yang didefinisikan dengan Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm. Meskipun
tidak ada penelitian khusus yang mendokumentasikan efek dan krisis ekonomi
terhadap outcome kehamilan, tetapi penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan dengan jelas bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang mengalami KEK
mempunyai rata-rata berat badan lahir 2.568 gram atau 390,9 gram lebih rendah
dibandingkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lahir dari ibu-ibu yang tidak
mengalami KEK. Ibu Hamil yang mengalami KEK mempunyai risiko melahirkan
bayi dengan BBLR 5 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK
(Mustika 2004). Tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil ini mempunyai
kontribusi terhadap tingginya angka BBLR di Indonesia yang diperkirakan mencapai
350.000 bayi setiap tahunnya (Depkes, 2004). Anemia merupakan masalah kesehatan
lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara
2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang sebagian besar karena kekurangan
zat besi. Konsekuensi lain dari anemia pada ibu hamil adalah tingginya risiko
melahirkan bayi prematur dan bayi BBLR. Selain KEK dan anemia defisiensi besi,
ibu hamil juga rawan terhadap kekurangan zat gizi lain seperti vitamiin A, yodium,
dan zinc. Kekurangan zat-zat gizi ini secara bersama-sama akan membawa dampak
Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah umumnya akan mengalami
kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi
untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Mereka yang dapat bertahan
hidup dalam lima tahun pertama akan mempunyai risiko lebih tinggi untuk
mengalami hambatan dalam kehidupan jangka panjangnya. Bagi bayi non BBLR,
pada umumnya mereka mempunyai status gizi saat lahiryang kurang lebih sama
dengan status gizi bayi di negara lain. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan
kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka
sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak
penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah
prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi
(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Kekurangan
gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi
seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zinc.
Masa balita menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang
kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi
6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan
masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang
menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah
dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998 dikutip oleh
Hadi, 2005).
Masalah kurang gizi lain yang dihadapi anak usia balita adalah kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Lebih dan 50% anak
balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol
<20 mcg/dl (Hadi, 2000) dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita
anemia kurang zat besi (SKRT, 2001). Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang
kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami gangguan pertumbuhan, menderita beberapa penyakit infeksi seperti
campak, dan diare.
Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi pada
masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth)
yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia sekolah
banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia
sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang
merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin
meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada
laki-laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendekdari tahun ke
karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dan 39,8% pada tahun 1994
menjadi 36,1% pada tahun 1999 (Depkes, 2004).
Gagal tumbuh antar generasi ibu hamil yang mengalami kurang gizi
mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil
yang tidak menderita kurang gizi. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan,
bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI Ekslusif yang kurang
dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Oleh karena itu bayi BBLR
cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang lebih jelek. Balita yang
kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan juga terutama apabila
konsumsi makanannya tidak cukup dan pola asuh tidak benar. Oleh karena itu balita
kurang gizi cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan
pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh
dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu
wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR
lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005).
2.3. Program Gizi yang Berhubungan dengan Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak
Program perbaikan gizi merupakan bagian integral dari program kesehatan
yang mempunyai peranan penting dalam menciptakan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan tersebut, program perbaikan gizi
melalui suatu rangkaian upaya terus menerus mulai dari perumusan masalah,
penetapan tujuan yang jelas, penentuan stategi intervensi yang tepat sasaran,
identifikasi kegiatan yang tepat serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi
institusi yang berperan di berbagai tingkat administrasi.
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) melalui
intervensi yang mencakup penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan
pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
utama namun penurunannya dinilai kurang cepat. Adapun program penanggulangan
ke empat masalah gizi tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1. Penanggulangan Kurang Energi dan Protein (KEP)
KEP merupakan suatu bentuk masalah gizi yang termasuk dalam kategori
kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang
berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi
bergizi kurang atau buruk. Untuk mengetahui ada tidaknya KEP pada anak perlu
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan besaran masalah KEP
di Indonesia, yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga bentuk masalah KEP
tersebut mempunyai riwayat dan pendekatan pemecahan yang berbeda. Prevalensi
gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4% sedangkan pada tahun 2013
sebesar 19,6%. Prevalensi gizi kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan -
perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar tingkat pendidikan. Selain masalah gizi
kurang riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak balita
2007 sebesar 36,8% dan 37,2% pada tahun 2013, prevalensi kurus 2007 sebesar
13,6% dan 12,1% tahun 2013. Status gizi anak sangat terkait dengan status gizi ibu
hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) 2007
diperkirakan sebesar 13,6%. Ibu hamil KEK akan beresiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR).
Upaya-upaya yang dilakukan berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi
kurang antara lain penyelenggaraan posyandu dengan pemantauan pertumbuhan,
pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI serta
tatalaksana gizi buruk yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Program Pemantauan Pertumbuhan
Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan melalui penimbangan berat
badan dan tinggi badan atau panjang badan yang dapat dilakukan baik di posyandu
maupun diluar posyandu. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap bulan. Tujuan
normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah
gangguan pertumbuhan yang perlu ditangani.
Anak yang mempunyai masalah pertumbuhan atau kecenderungan mengalami
masalah gangguan pertumbuhan dicari faktor penyebabnya agar dapat dilakukan
tindakan mengatasi atau memecahkan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan tersebut. Menilai pertumbuhan jika tidak didukung oleh tindak lanjut
yang sesuai tidak dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan anak.
Hasil pemantauan dinilai melalui indikator D/S, K/S dan N/D. Indikator D/S
digunakan untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap kegiatan posyandu,
indikator K/S untuk mengetahui cakupan program penimbangan dan indikator N/D
untuk mengetahui keberhasilan program.
Berdasarkan hasil riskesdas menunjukan secara nasional cakupan
penimbangan balita (anak pernah ditimbang di posyandu sekurang-kurangnnya satu
kali selama sebulan terakhir) di posyandu sebesar 74,5%. Frekuensi kunjungan balita
ke posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai
gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di posyandu 91,3%, pada anak
usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi
73,3%.
Masalah yang berkaitan dengan kunjungan posyandu antara lain
tersedianya dana operasional untuk menggerakkan kegiatan posyandu, tersedianya
sarana dan prasarana serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader
serta konseling masih lemah, masih kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat
akan manfaat posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader (Minarto, 2011).
2. Program ASI Eksklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan
selama 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman lain, kecuali obat, vitamin dan
mineral. Menurut Lancet (2010) yang dikutip oleh Depkes RI (2013), pemberian ASI
Eksklusif dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 13% dan dapat
menurunkan prevalensi balita pendek.
Upaya perbaikan gizi melalui penerapan pemberian ASI Eksklusif telah
diamanatkan melalui Undang-undang No. 36 tahun 2009 bahwa bayi berhak
mendapatkan ASI Eksklusif dan Peraturan Pemerintah RI No. 33/2012 menyebutkan
bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggungjawab dalam pemberian ASI Eksklusif. Selain itu, untuk meningkatkan
pemberian ASI Eksklusif pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah
menetapkan program Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM)
dan melatih tenaga konselor untuk memberikan konseling dan penyuluhan kepada ibu
menyusui. Dengan adanya tenaga konselor ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan ibu dalam pemberian ASI karena ASI merupakan makanan terbaik bayi.
Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi
dan menunjukkan kecenderungan menurun selama 3 tahun terakhir. Cakupan
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi
sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008.
Cakupan pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih
sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang
Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan
kampanye terkait pemberian ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana
KIE ASI dan belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI.
3. Program Tatalaksana Gizi Buruk
Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak
ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian.
Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk
rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi
(Terapheutic Feeding Center) sedangkan Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan
perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos Pemulihan Gizi berbasis
masyarakat (Community Feeding Centre/CFC).
Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau
ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk
melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan
prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya
tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Minarto, 2011).
2.3.2. Penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)
Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Ada 3 fungsi vitamin
dan fungsi dalam proses reproduksi. Hubungan vitamin A dengan pertumbuhan
dalam fungsinya sebagai metabolisme umum yang berkaitan dengan metabolisme
protein. Pada defesiensi vitamin A terjadi hambatan pertumbuhan. Dasar hambatan
pertumbuhan ini karena hambatan sintesa protein. Gejala ini tampak terutama pada
anak-anak (balita), yang sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat.
Sintesa protein memerlukan vitamin A sehingga pada defisiensi vitamin ini terjadi
hambatan sintesa protein yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan
(Sediaoetama, 2000). Salah satu program pemerintah untuk menanggulangi masalah
kurang vitamin A adalah dengan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
1. Program Pemberian Kapsul Vitamin A
Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A
adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi. Sasarannya adalah bayi
(6-11 bulan), anak balita (12-59 bulan) dan ibu nifas (0-42 hari).
Suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas bertujuan tidak hanya
untuk pencegahan kebutaan tetapi juga untuk penanggulangan Kurang Vitamin A
(KVA). Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
kapsul vitamin A sebanyak 2 kali setahun pada balita merupakan salah satu
intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan kekurangan vitamin
A dan kebutaan serta penurunan kejadian kesakitan dan kematian pada balita (Depkes
RI, 2009).
Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah
propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%
dan indeks serum retinol kurang dari 20 µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut
menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survey
vitamin A pada tahun 1992.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A
secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi
dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat
mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian
kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan
cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan
sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul
vitamin A < 60% .
Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah
yang dihadapi dalam peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping
itu belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang
administrasi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang
Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan
dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15%
dan menurunkan prevalensi balita pendek menjadi setinggi-tingginya 32%. Untuk
mencapai RPJMN tersebut, dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah
badannya, 2) Balita gizi buruk mendapat perawatan, 3) Balita mendapat kapsul
vitamin A, 4) Bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eskklusif, 5) Ibu hamil mendapat 90
tablet Fe, 6) Rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium, 7) Melaksanakan
surveilans gizi, 8) Penyediaan stock cadangan (buffer stock) MP-ASI untuk daerah
bencana.
Adapun indikator kinerja dan target kegiatan pembinaan gizi program
perbaikan gizi tahun 2010-2014 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Indikator Kinerja dan Target Kegiatan Pembinaan Gizi Program Perbaikan Gizi Tahun 2010-2014
No Indikator Kinerja Target
2010 2011 2012 2013 2014
1. Persentase balita ditimbang berat
badannya (% D/S) 65 70 75 80 85
2. Balita gizi buruk mendapat perawatan 100 100 100 100 100
3. Persentase balita 6-59 bulan mendapat
kapsul vitamin A 75 78 80 83 85
4. Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif 65 67 70 75 80
5. Persentase ibu haml mendapat 90 tablet
Fe 84 86 90 93 95
6. Cakupan rumah tangga yang
mengkonsumsi garam beryodium 75 77 80 85 90
7. Persentase kabupaten/kota melaksanakan
surveilans gizi 100 100 100 100 100
8.
Persentase penyediaan buffer stock Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) untuk daerah bencana
100 100 100 100 100
Sumber : Depkes RI, 2012
Selain indikator diatas yang perlu dicapai, ada juga indikator gizi lainnya yang
secara berkala diperlukan seperti: 1) prevalensi balita gizi kurang berdasarkan
prevalensi resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS) dan
ibu hamil, 4) prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Yodium
(GAKY), kurang Vitamin A (KVA) dan masalah gizi mikro lainnya, 5) tingkat
konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi dan
yodium), 6) data pendistribusian MP-ASI dan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT), 7) data terkait lainnya yang diperlukan (Depkes RI, 2012).
Menurut Azwar (1988), ada 4 unsur pokok dalam sistem pelayanan kesehatan
yang sangat berperan menentukan berhasil atau tidaknya program yang
diselenggarakan, yaitu unsur masukan (input), unsur proses (process), unsur keluaran
(output) dan unsur dampak (outcome). Adapun penjelasan masing-masing unsur
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Masukan (input) adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya
pelayanan gizi, yang terdiri dari 6 M yaitu man (orang), money (dana), material
(sarana dan prasarana), metode (cara), market (sasaran), minute (jangka waktu
pelaksanaan kegiatan).
b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam pelayanan gizi yang terdiri
dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, pengawasan
dan pengendalian.
c. Keluaran (output) adalah yang menunjuk pada hasil pelayanan yang dilakukan
dalam bentuk cakupan kegiatan program yaitu jumlah kelompok masyarakat
yang sudah diberikan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan jumlah
d. Dampak (outcome) adalah akibat yang dihasilkan dari pelayanan yang
dilakukan yang dapat diukur melalui peningkatan status kesehatan masyarakat.
Keberhasilan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas
sebagai organisasi pelayanan kesehatan fungsional terdepan. Kegiatan program
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (TPG Puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang bertujuan untuk
menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan program dan
selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan (outcome).
Peran TPG Puskesmas menjadi sangat penting karena merekalah sebagai
pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung menghadapi masyarakat.
Pengembangan sumber daya manusia terutama tenaga gizi puskesmas, pengetahuan
dan keterampilan merupakan kebutuhan dalam upaya pencapaian efektivitas program
gizi selain peningkatan ketersediaan tenaga gizi dan sarana. Namun demikian,
pengembangan SDM bidang gizi akan sangat tergantung dengan latar belakang
pendidikan yang dimliki, motivasi yang dimiliki serta kebijakan pimpinan puskesmas
dalam mendorong tenaganya untuk terus mengembangkan kemampuannya. Menurut
Hadi (2005), masalah gizi dan kesehatan di masa yang akan datang di Indonesia akan
semakin komplek, satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu
Pada saat ini tenaga gizi yang bekerja di jajaran Dinas Kesehatan maupun di Rumah
Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan Dl. Kompetensi minimal
yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan
masalah gizi dan kesehatan saat ini dan apalagi untuk menangani masalah gizi dan
kesehatan 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu mengambil
peranan dalam mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan
memformulasikannya dalam bentuk kurikulum pendidikan tinggi yang dapat
memenuhi tuntutan zaman. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam
memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar supaya pembangunan
kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah
masyarakat.
2.4. Landasan Teori
Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di
masa depan karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat
masa janin dalam kandungan. Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi
(Kurang Energi Kronis/KEK) mempunyai resiko melahirkan bayi dengan Berat
Badan Lahir Rendah/BBLR. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi
BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak,
ASI yang tidak cukup. Jika keadaan ini berlanjut maka akan terjadi kekurangan gizi
sampai masa balita.
Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan
sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran
merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit
diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya.Balita yang kurang gizi
biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan dan cenderung tumbuh menjadi
remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang
rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa
yang pendek, dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai
risiko melahirkan bayi BBLR lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya
program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan
pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna masa masa berikutnya akan
menimbulkan dampak masalah gangguan pertumbuhan pada anak.
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui
anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan yang bertujuan
untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah
pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani
(WHO, 2010).
Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus
kehidupan seperti KEP pada balita, ibu hamil KEK, kurang zat gizi mikro (vitamin A,
zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak,
maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di setiap siklus
kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan
untuk memperbaiki status gizi masyarakat (Depkes RI, 2010).
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
melalui intervensi yang mencakup penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan
pertumbuhan, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi dan tablet besi), pemantauan garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
utama namun penurunannya dinilai kurang cepat (Aswar, 2004).
Pelaksanaan program perbaikan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (petugas gizi puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
pelaksanaan kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang
bertujuan untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan
program dan selanjutnya dapat memberikan dampak sesuai yang diharapkan
(outcome). Secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2. Analisis Program Gizi terhadap Dampak Gangguan Pertumbuhan dengan Pendekatan Input, Proses, Output dan Out Come
(Dikembangkan dari Depkes RI, 2006 dan Soekirman 2001)
Tenaga
Sumber Daya Program Perbaikan
Gizi
Pada gambar 2.2, dijelaskan bahwa tenaga pelaksana gizi merupakan
pelaksana dari program gizi di puskesmas yang perlu dikembangkan keterampilan
dan pengetahuannya.Program gizi yang dilaksanakan bertujuan untuk menanggulangi
4 masalah gizi yang menghasilkan indikator-indikator perbaian gizi. Program gizi
dinyatakan berjalan dengan baik apabila capaiannya sesuai dengan target yang telah
ditentukan dan jika sebaliknya maka akan menyebabkan masalah gizi yang salah
satunya adalah masalah gangguan pertumbuhan pada anak. Pelaksanaan program
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi diharapkan dapat
memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi gangguan pertumbuhan.
2.5.Kerangka Pikir
Pencapaian program gizi di Kabupaten Karo yang masih rendah menunjukkan
pelaksanaan program gizi belum berjalan dengan maksimal yang diperkirakan
menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak. Kegiatan program
perbaikan gizi yang dilakukan meliputi 1) penanggulangan KEP melalui pemantauan
pertumbuhan di posyandu dan di luar posyandu, tatalaksana gizi buruk dengan
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI), 2) penanggulangan KVA melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, 3)
penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil,
dan 4) peningkatan SDM bidang gizi melalui pelatihan-pelatihan. Keberhasilan
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diketahui melalui pencapaian indikator outputnya
menunjukkan pencapaian cakupan program gizi di Kabupaten Karo masih dibawah
target yang telah ditetapkan. Selain itu, peran tenaga gizi puskesmas sangat penting
karena merekalah sebagai pelaksana program gizi di puskesmas yang langsung
berhadapan dengan masyarakat. Capaian program yang rendah salah satunya dapat
disebabkan karena kinerja petugas gizi yang kurang baik (Agustijani, 2005). Selain
itu, sarana dan prasarana juga dibutuhkan sebagi pendukung dari kegiatan program
gizi seperti posyandu, timbangan, paket gizi, dll.
Sehubungan masih rendahnya pencapaian program gzi di Kabupaten Karo
maka peneliti merasa perlu dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan program gizi
yang dilihat dari komponen input (tenaga, sarana dan prasarana), proses (yang
difokuskan pada pelaksanaan program gizi balita) yang dibandingkan dengan hasil
capaian program (output) sehingga diketahui upaya perbaikan terhadap dampak
(outcome) dari program tersebut yaitu gangguan pertumbuhan pada anak. Adapun
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pikir Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
di Kabupaten Karo
Pada gambar 2.3, dijelaskan kegiatan program gizi balita di Kabupaten Karo
terdiri dari program pemantauan pertumbuhan, program ASI Eksklusif, program
tatalaksana gizi buruk dan program pemberian kapsul vitamin A. Pemantauan
pertumbuhan balita dilaksanakan sebulan sekali di posyandu dan diluar posyandu
mencakup penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan dan
dibandingkan dengan standar pertumbuhan. Selain itu, pemantauan juga berguna
untuk mengidentifikasi anak-anak yang kurang gizi dan yang perlu intervensi
mendesak seperti pemberian makanan tambahan dan pemulihan.
Pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif dilakukan melalui penyuluhan dan
konseling. Penyuluhan dilakukan di posyandu oleh tenaga pelaksana gizi puskesmas
kepada ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan. Untuk konseling dilakukan kepada Gangguan
Proses Output Outcome
Tenaga Gizi
Sarana dan Prasarana
ibu hamil dan ibu bersalin yang datang berkunjung ke puskesmas. Tatalaksana gizi
buruk dilaksanakan setelah dilakukan identifikasi balita yang menderita gizi buruk.
Jika ditemukan balita gizi buruk dilakukan perawatan dengan pendekatan tatalaksana
anak gizi buruk. Anak gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan
di puskesmas dan poskesdes melalui pemberian makanan pendamping ASI sedangkan
anak gizi buruk dengan komplikasi dirawat di rumah sakit umum. Pemberian vitamin
A dosis tinggi dilakukan 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus kepada bayi
umur 6-11 bulan (kapsul vitamin A warna biru 100.000 SI) dan anak balita umur