commit to user
i
KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA
DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN
LAMONGAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Prasyarat guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Adhitya Widya Kartika
NIM. E0008001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA
DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN
LAMONGAN
Oleh
Adhitya Widya Kartika
NIM. E0008001
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2012
Co Pembimbing Dosen Pembimbing
Sutedjo, S.H.,M.M.
NIP. 195808281986011001
Suranto, S.H, M.H.
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA
DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN
LAMONGAN
Oleh
Adhitya Widya Kartika
NIM. E0008001
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Senin
Tanggal : 16 Juli 2012
DEWAN PENGUJI
1. Maria Madalina, S.H., M.Hum. : NIP. 196010241986022001
Ketua
2. Sutedjo, S.H., M.M. : NIP. 195808281986011001
Sekretaris
3. Suranto, S.H., M.H. : NIP. 195608121986011101
Anggota
Mengetahui Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Adhitya Widya Kartika
NIM : E0008001
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA
DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN
LAMONGAN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan
hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Mei 2012
Yang membuat pernyataan
Adhitya Widya Kartika
commit to user
v
ABSTRAK
Adhitya Widya Kartika, E0008001. 2012. KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di desa Moro kecamatan Sekaran kabupaten Lamongan dan hambatan yang dihadapi serta solusi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum nondroktinal bersifat deskriptif kualitatif, permasalahan yang diangkat menyangkut realitas yaitu mengenai kewenangan kepala desa dalam pelaksanaannya, pelaksanaan pengelolaan usaha desa, cara pengelolaan, dan hambatan yang terjadi ketika pelaksanaan dilakukan. Data diperoleh dari data primer yang bersumber dari pemerintah desa yaitu kepala desa dan perangkat desa, data sekunder, dan tersier. Tehnik pengumpulan data menggunakan studi dokumen, wawancara, observasi. Tehnik analisa data menggunakan analisa kualitatif model interaktif menggunakan tiga alur yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu kewenangan kepala desa membina perekonomian desa dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu dengan tugas kepala desa melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa dalam pengelolaan keuangan desa, pengelolaan usaha desa dilakukan dengan cara lelang. Usaha desa masuk dalam sumber keuangan dituangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa yang ditetapkan dalam peraturan desa oleh kepala desa dengan persetujuan badan permusyawaratan desa. Seluruh pendapatan dan kekayaan disalurkan melalui kas desa. Pertanggungjawaban merupakan kewajiban dilakukan dengan memberikan laporan kepada badan permusyawaratan desa setahun sekali. Hambatan yang terjadi adalah dari faktor keterlambatan pembayaran, kriminalitas, cuaca.
commit to user
vi
ABSTRACT
Adhitya Widya Kartika, E0008001. 2012. AUTHORITY OF VILLAGE HEADS IN THE MANAGEMENT OF VILLAGE OWNED ENTERPRISES AT MORO SEKARAN LAMONGAN. Faculty of Law Sebelas Maret University.
This study aims to describe the authority of village heads in the management of village owned enterprises at Moro Sekaran Lamongan and obstacles faced and the solutions.
This research is a qualitative descriptive, nondroktinal, the issue raised concerning the reality of the authority of village heads in the implementation, the implementation of rural business management, management methods, and obstacles that occur when the execution carried out. Data obtained from primary data sourced from the village government is the village head and village officials, secondary data, and tertiary. Techniques of data collection using the study of documents, interviews, observation. Techniques of data analysis using an interactive model of qualitative analysis using the three grooves are data reduction, data presentation, and conclusions.
The conclusion are authority of village leaders to foster rural economic and execute other authority in accordance with statutory regulation with the task ot carrying out the affairs of the village which become the authority the village in the financial management of the village. The village owned enterprises conducted by auction then viilage owned enterprises included in the financial resources set out in the budget revenue and expenditure specified in regulation village by headman of the village with the approval of the village consultative body. The entire income and wealth is channeled through the village treasury. Accountability is accomplished by providing a report to BPD once a year. Problems that occur are late payments, crime, weather.
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) dengan judul: KEWENANGAN
KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA MORO
.
Adapun kajian dalam penulisan hukum ini dimaksudkan untuk mengetahui
mengenai tugas dan tanggung jawab kepala desa dalam mengelola usaha desa
serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mengelola usaha.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. Selaku Rektor Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret;
2. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret serta selaku Pembimbing Akademik;
3. Maria Madalina, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
dan Ketua Penguji;
4. Suranto, S.H.,M.H. selaku Pembimbing I Penulisan Hukum serta Anggota
Penguji yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga yang dengan
sabar memberikan saran dan bimbingan sehingga terselesaikannya skripsi
ini;
5. Sutedjo, S.H., M.M. selaku Pembimbing Seminar Proposal, Co
Pembimbing serta Sekretaris Penguji yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis;
6. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis semoga
commit to user
viii
7. Segenap Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan pelayanan dalam bidang akademik kepada penulis
selama masa studi;
8. Pengelola Penulisan Hukum yang telah membantu dalam mengurus segala
administrasi skripsi dari mulai pengajuan judul, pelaksanaan seminar
proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi;
9. Keluarga besar Sukamto, SE, Ning Suhatmi, serta saudara Dwi
Wahyuningrum, Adhiyatma Srinarbito yang telah memberikan semua hal
yang sangat berarti dalam hidup penulis, doa, harapan, cinta, motivasi, dan
kepercayaan yang telah diberikan;
10.Keluarga besar Budi Utomo, Zulaikah saudara Surya Utomo, Sugiati atas
doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan ;
11.Keluarga besar Rahmat Utomo yang telah memberikan semua hal yang
sangat berarti dalam hidup penulis, doa, harapan, cinta, motivasi, dan
kepercayaan yang telah diberikan;
12.Teman dan sahabat penulis atas kebersamaan, kepercayaan, perhatian,
dorongan dan bantuaannya selama ini;
13.Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga penulisan
hukum ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi
perkembangan ilmu hukum.
Surakarta, Mei 2012
Penulis
Adhitya Widya Kartika
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...iii
HALAMAN PERNYATAAN ...iv
ABSTRAK ...v
ABSTRACT ...vi
KATA PENGANTAR ...vii
DAFTAR ISI ...ix
DAFTAR TABEL ...xi
DAFTAR BAGAN ...xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...3
C. Tujuan Penelitian ...4
D. Manfaat Penelitian ...4
E. Metode Penelitian ...5
F. Sistematika Penulisan Hukum ...9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...11
A. Kerangka Teori ...11
1. Letak Desa ditinjau dari Pemerintahan Daerah ...11
2. Pemerintahan Desa ...20
commit to user
x
4. Tinjauan Kepala Desa ...33
5. Sumber Pendapatan Desa ...37
6. Otonomi Desa ...44
B. Kerangka Pemikiran ...46
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...47
A. Hasil Penelitian...47
1. Diskripsi Obyek Penelitian ...47
2. Kewenangan Kepala Desa dalam Pengelolaan Usaha Desa...69
3. Hambatan yang dihadapi dan Cara Mengatasi...85
B. Pembahasan ...85
1. Kewenangan Kepala Desa dalam Pengelolaan Usaha Desa...85
2. Hambatan dan Cara Mengatasi ...93
BAB IV PENUTUP ...96
A. Simpulan ...96
B. Saran ...98
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten
Lamongan Menurut Umur ...48
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Moro dengan Kriteria Penggolongan
Menurut Usia dan Pendidikan ...49
Tabel 3.3 Struktur Jumlah Penduduk Desa Moro Menurut Jenis Mata
Pencaharian ...51
Tabel 3.4 Jumlah Kepala Keluarga Desa Moro Kecamatan Sekaran
Kabupaten Lamongan Menurut Tingkat Kesejahteraan ...52
Tabel 3.5 Keadaan Pertanahan Desa Moro Menurut Jenis Tanah ...53
Tabel 3.6 Uraian Hasil apengelolaan Sumber Daya Alam Desa Moro
Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ...54
Tabel 3.7 Sarana dan Prasarana Pemerintahan Desa Moro Kecamatan
Sekaran Kabupaten Lamongan ...55
Tabel 3.8 Pemegang Jabatan Kepala Desa dan Perangkat Desa Moro
Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ...68
Tabel 3.9 Daftar Tanah Kas Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten
commit to user
xii
Tabel 3.10 Batas Lokasi Lelang ...82
Tabel 3.11 Pemenang Lelang Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan Tahun 2012 ...83
DAFTAR BAGAN Bagan 1.1 Teknis Analisis Kualitatif...7
Bagan 2.1 Otonomi Desa ...45
Bagan 2.2 Kerangka Pemikiran ...46
Bagan 3.1 Susunan Organisasi ...68
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan/Ijin Lokasi/Instansi ...103
Lampiran 2 Peraturan Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelelangan ...104
commit to user
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia memiliki wilayah dengan pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang yang di dalam
menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kewenangan berupa
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Semua itu dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang. Kemudian di dalam Pasal 200 ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten atau kota
dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan
pemusyawaratan desa. Pemerintahan desa sangat berperan penting karena
pemerintahan desa merupakan pemerintahan yang paling dekat dengan
masyarakat sehingga lebih memahami situasi dan kondisi di suatu daerah dan oleh
karena tidaklah mungkin jika semua urusan ditangani oleh pemerintah pusat
sehingga dianggap perlu dan penting dibentuk suatu pemerintahan yang lebih
kecil yaitu pemerintahan desa.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintah daerah dilaksanakan
berdasarkan atas asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas
commit to user
propinsi dan pemerintah kota yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sebagai perwujudan otonomi daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengakui adanya ekonomi yang dimiliki oleh desa yang
kemudian dapat diberikan penugasan atau pendelegasian dari pemerintah di
atasnya untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Otonomi desa yang
merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai
sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk
tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa. Urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
kabupaten atau kota yang diserahkan pada desa, tugas pembantuan dari
pemerintah dan pemerintah daerah serta urusan pemerintahan lainnya yang oleh
peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Pemerintahan desa di dalam menyelenggarakan pemerintahannya dengan
otonomi dapat mencapai keberhasilan dari tujuan yang hendak dicapai apabila di
dukung oleh beberapa faktor salah satunya adalah keuangan desa yang diperoleh
dari sumber-sumber pendapatan desa. Sumber-sumber pendapatan tersebut
dikelola dengan baik agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan
lancar sehingga dapat mensejahterakan masyarakatnya. Sumber-sumber
pendapatan desa di tiap daerah belum tentu sama. Hal ini salah satunya karena
faktor perbedaan kondisi dan permasalahan tiap desa.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan untuk
meningkatkan pelayanan, pemberdayaan masyarakat serta membina
perekonomian, desa memiliki sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli
desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten atau kota, bagian dari
dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten atau
kota, bantuan dari pemerintah daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak
commit to user
Pendapatan asli desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Salah
satu pendapatan asli desa adalah hasil usaha desa. Hasil usaha desa di Desa Moro
Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan yaitu didapat melalui usaha desa yang
dokelola dengan cara lelang antara lain lelang telaga kali dan kali desa, lelang
kali dan rawa, lelang lamtoro tepi jalan raya, tanah wedusan, dan lelang
perbatasan Moro-Karang sesuai dengan situasi serta kondisi daerah serta
permasalahan yang masing-masing dari usaha tersebut memberikan masukan
kepada pendapatan desa. Hasil usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran,
Kabupaten Lamongan memiliki pemasukan pendapatan desa yang besar, sehingga
diperlukan pengelolaan secara baik agar pendapatan semakin meningkat dan
bermanfaat bagi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan
desa.
Pemerintahan desa dalam pengelolaan usaha desa dikelola oleh kepala
desa sebagai tugas dan kewajiban serta yang diberikan kekuasaan untuk
pengelolaan keuangan desa yang dalam kewenangannya di bantu oleh perangkat
desa dan melibatkan peran serta dari masyarakat. Peran kepala desa sangat
penting di dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, kepala desa harus mampu
mengelola dengan baik agar hasilnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk
penyelenggaraan pemerintahan desa sehingga dapat berjalan dengan lancar dan
dapat mensejahterakan masyarakat.
Penulisan hukum berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti mengambil
judul sebagai berikut: KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM
PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di
commit to user
b. Hambatan apa saja yang dihadapi kepala desa dalam pengelolaan usaha
desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan dan
bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
a.Tujuan Obyektif:
1) Untuk mengetahui kewenangan kepala desa dalam pengelolaan
usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten
Lamongan.
2) Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi kepala desa dalam
pengelolaan usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran,
Kabupaten Lamongan dan bagaimana cara mengatasi hambatan
tersebut.
b.Tujuan Subyektif
Untuk memenuhi prasyarat mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.Teoritis
1) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
2) Hasil penelitian ini dapat menambah dan memperdalam ilmu
pengetahuan Hukum Tata Negara.
b.Praktis
1) Menambah wawasan bagi pembaca khususnya mengenai peranan
Kepala Desa dalam mengelola usaha desa serta hambatan yang
commit to user
2) Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait
dengan permasalahan ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian non doktrinal yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses
bekerjanya hukum dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 2011:42)
Penelitian ini juga dapat disebut socio- legal reserch
Penelitian hukum non doktrinal ini menggunakan studi empiris
yang pada awalnya meneliti mengenai data sekunder untuk kemudian
dilanjutkan dengan meneliti mengenai data primer di lapangan atau
terhadap masyarakat. (Soerjono Soekanto, 2010:52)
2.Sifat penelitian
Sifat penelitian dalam penelitian hukum ini adalah dengan
deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan suatu data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya. (Soerjono
Soekanto, 2010:10)
Selain deskriptif juga bersifat kualitatif karena memusatkan pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala
yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat
yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola
yang berlaku. (Burhan Ashshofa, 2001:20-21)
3.Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian dengan paradigma konstruktivisme.
Paradigma konstruktivisme dimana realitas ada dalam beragam bentuk
konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat
commit to user
Atas dasar pandangan filosofis ini, hubungan epistemologis antara
pengamat dan obyek merupakan satu kesatuan subyektif dan merupakan
perpaduan interaksi diantara keduanya. Konstruktivisme merupakan
pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah,
agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta
dan memelihara dunia sosial. (Agus Salim, 2006: 71)
4.Jenis dan sumber data
Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber
primer atau sumber utama yang berupa fakta atau keterangan yang
diperoleh secara langsung dari sumber data yang berkaitan dengan
penulisan hukum ini. Adapun data ini diperoleh secara langsung dari
kepala desa Moro dan perangkat desa di Desa Moro, Kecamatan
Sekaran, Kabupaten Lamongan.
b. Data sekunder
Data Sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara
langsung dari lapangan, terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan,
dokumen resmi, dan data tertulis dari Desa Moro Kecamatan
Sekaran Kabupaten Lamongan.
2) Bahan hukum sekunder, meliputi hasil karya ilmiah, hasil-hasil
penelitian sebelumnya, jurnal hukum, kamus hukum, buku teks,
dan smber lainnya.
3) Bahan hukum tersier, meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5.Teknik pengumpulan data
a. Studi dokumen
Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan
commit to user
perundang-undangan, buku, dan dokumen lain yang berhubungan
dengan obyek penelitian.
b. Wawancara
Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh
dengan mengadakan tanya jawab secara langsung kepada responden
yaitu Kepala Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan
beserta perangkatnya.
c. Observasi
Observasi merupakan pengamatan disertai dengan pencatatan
fenomena yang diteliti yang dapat dilakukan dengan pengamatan
tidak langsung yaitu penulis tidak menjadi kelompok yang diteliti.
Pengamatan dilakukan di Desa Moro, Kecamatan Sekaran,
Kabupaten Lamongan.
6.Teknik analisa data
Teknik analisa data yang dipakai adalah dengan metode analisis
kualitatif dengan model interaktif yaitu bahwa data yang terkumpul di
analisis melalui tiga tahap yaitu mereduksi, menyajikan data, dan
menarik kesimpulan dengan proses siklus antara tahap-tahap tersebut
sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan yang
lainnya secara sistematis.
Metode analisis interaktif, yang menjadi pedoman dalam
penyusunan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
Sumber: Pengantar Penelitian Kualitatif. HB Sutopo. 2002
Bagan 1.1 Teknik Analisis Kualitatif
Reduksi Data Sajian Data
commit to user
Keterangan bagan metode analisis interaktif adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian
kepada penyederhanaan, pengabstrakkan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan tertulis di kepustakaan. Reduksi
tersebut berlangsung terus-menerus bahkan sebelum data
benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir
lengkap tersusun.
2. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kamungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
3. Penarikan kesimpulan berarti dari permulaan pengumpulan data
seorang penganalisis mulai mencari arti benda-benda, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur
sebab-akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan tetap akan
ditangani dengan longgar tetap terbuka dan skeptis tetapi kesimpulan
sudah disediakan, mula-mula belum jelas kemudian meningkat
menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok.
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Verifikasi itu sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam
pikiran penulis selama ia menulis suatu tinjauan ulang pada catatan-
catatan, atau menjadi seksama.
Peneliti harus bergerak di antara keempat sumbu kumparan
itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di
antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi selama penelitian. Aktivitas yang dilakukan dengan proses
itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti serta data
yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan kemudian dirediksi
dengan klasifikasi dan seleksi. Kemudian mengambil kesimpulan
yang berhubungan sehingga membentuk siklus. (HB Sutopo,
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum
Guna memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian
yang dilakukan oleh penulis, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian
sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini
terdiri dari empat bab yang masing-masing bab terbagi dalam sub-sub bagian
yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan
hasil dari suatu penelitian. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian
diantaranya tujuan obyektif dan tujuan subyektif, manfaat
penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan praktis, metode
penelitian terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan
serta jenis dan sumber data yaitu data primer, sekunder, tersier,
kemudian teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka terdiri atas kerangka teori dan kerangka
pemikiran. Kerangka teori terdiri dari letak desa ditinjau dari
pemerintahan daerah, pemerintahan desa, organisasi pemerintahan
desa, tinjauan kepala desa, sumber pendapatan desa, otonomi desa.
kerangka pemikiran berisi bagan dan keterangan mengenai struktur
proses untuk menjawab permasalahan penelitian.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian dan pembahasan berisi hasil penelitian yaitu antara
lain diskripsi lokasi penelitian, kewenangan kepala desa dalam
pengelolaan usaha desa, hambatan yang dihadapi serta solusi, serta
pembahasan yang berisi kewenangan kepala desa dalam mengelola
usaha desa serta hambatan yang dihadapi kepala desa dalam
commit to user
BAB IV PENUTUP
Penutup terdiri dari simpulan yang telah didapat dari hasil
penelitian dan pembahasan dalam penulisan hukum ini. Saran
berisi saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi dari
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Letak Desa Ditinjau Dari Pemerintahan Daerah
Pergantian kepemimpinan di pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagian besar banyak memberikan perubahan di berbagai bidang
dalam pemerintahan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah dari pemerintahan
yang berbentuk sentralistik yaitu pemerintahan dengan sistem terpusat kemudian
diganti dengan pemerintahan yang desentralistik. Sesuai dengan konstitusi yaitu
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintahan
Daerah sebagai berikut:
(1)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang.
(2)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4)Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5)Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah pusat.
(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
commit to user
(7)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
Wilayah Indonesia dibagi menjadi sejumlah daerah besar dan kecil yang
otonom yaitu daerah yang boleh mengurus rumah tangganya sendiri dan daerah
bersifat administrasi yaitu daerah yang tidak boleh berdiri sendiri. Hal ini dapat
dilihat di dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam ayat (1) bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi tersebut dibagi atas kabupaten
dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang. Kemudian disebutkan dalam ayat (2)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan yaitu pemerintahan daerah menjalankan otonomi yang
seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kemudian dalam pasal
Pasal 18A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah. Kemudian hubungan keuangan, pelayanan umum dan pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
commit to user
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, negara Indonesia merupakan negara kesatuan sehingga
Indonesia tidak akan mempunyai negara di dalam lingkungannya yang bersifat
negara. Negara Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi
lagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah tersebut bersifat otonom atau
daerah administrasi yang kesemuanya menurut aturan yang akan ditetapkan
dengan undang-undang. Daerah-daerah yang bersifat otonom tersebut ada badan
perwakilan daerah sehingga pemerintahan tersebut berdasarkan permusyawaratan.
Negara Indonesia memiliki daerah-daerah yang mempunyai susunan yang asli dan
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan yang mengenai daerah-daerah tersebut
akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah-daerah besar dan kecil dengan
dibentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang tersebut
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara serta memperhatikan hak-hak dan asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa. Hal tersebut secara tidak langsung Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati
hak-hak dan asal usul suatu daerah atau yang dapat disebut sebagai desa. Walaupun
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
mencantumkan nama desa. Undang-undang Dasar 1945 dalam penjelasannya
pada pasal 18 hanya menjelaskan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu suatu
een heidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam
daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih
kecil. Daerah-daerah itu bersifat autoonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah
commit to user
daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam
territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan
Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah itu mempunyai susunan
asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pelaksanaan pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut diwujudkan dalam pokok-pokok penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas
pembantuan. Asas desentralisasi yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang
lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi
urusan rumah tangga daerah itu. Sehingga prakarsa, wewenang dan tanggung
jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah
itu. Asas desentralisasi ini memiliki latarbelakang yaitu oleh karena pemerintah
pusat tidak dapat menyelesaikan sendiri urusan yang banyak sehungga perlunya
penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang lebih kecil. Selain itu alasan
pemerintah yang lebih kecil lebih mengerti kebutuhan serta permasalahan maupun
situasi dan kondisi yang ada di daerahnya karena lebih dekat dengan masyarakat
daerah yang bersangkutan daripada pemerintah pusat. Tetapi tidak semua urusan
pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintahan di bawahnya yaitu
pemerintahan daerah mengingat terbatasnya kemampuan daerah tersebut dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaannya. Karena itu diperlukan juga asas
dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada
pejabat-pejabatnya di daerah yang tanggung jawabnya tetap ada pada pemerintah
pusat. Urusan tersebut pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam
commit to user
dekonsentrasi juga diperlukan adanya asas tugas pembantuan yaitu yang
menyatakan bahwa tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang
ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Hal-hal tersebut maka
dapat terlihat bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah otonomi dan
wilayah administrasi. Daerah otonomi bahwa kesatuan masyarakat hukum
memiliki batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tetapi tidak boleh berdiri sendiri
karena tetap terikat dalam negara kesatuan republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan disebut sebagai otonomi daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di
dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi,
asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Hubungan fungsi maupun politik
pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kebijakan politik dengan kesetaraan dan checks and balances
dilaksanakan derngan asas otonomi seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.
Otonomi seluas-luasnya yaitu daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi nyata yaitu bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah
ada serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi
dan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah
tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Prinsip otonomi bertanggung jawab merupakan penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
commit to user
Otonomi daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai
budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah, bukan untuk
memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten atau kota. (Indra Djati
Sidi,2001:41)
Mekanisme check and balances menurut hakim Mahkamah Konstitusi
Maruarar Siahaan S.H bahwa check and balances merupakan proses saling
mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan
(Maruarar Siahaan, 2008:49).
Desentralisasi merupakan bentuk yang efektif untuk pelaksanaan otonomi
In 1999 the central
government of Indonesia designed a set of laws to promote Otonomi Daerah,
Otonomi Daerah laws to be effective in
(Richard Seymour dan Sarah Turner, 2002:33)
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto, Indonesia sudah memilih sistem
fall in 1998, Indonesia has transformed from one
(Simon Butt,2010:177)
Konsep otonomi daerah sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an dalm
bentuk undang-undang. Walaupun pada masa itu belum menerapkan otonomi
daerah dengan sebagaimana mestinya.
commit to user
Desentralisasi merupakan bentuk pemerintahan yang digunakan di negara
berkembang dan telah menjadi pilihan untuk Indonesia. Hal ini sesuai dengan data
sebagai berikut:
Decentralisation can take a number of different forms, of which Rondinelli and Cheema (1983) suggest four major ones. The first, deconcentration, involves the transfer of central government responsibilities to regions. It can operate at varying scales and to different degrees of autonomy. For example, deconcentration might not actually increase local input in decision making because it may only allow for administration to be undertaken at that level. Until recently, Indonesia operated with such a deconcentrated government (Alm, Aten and Bahl, 2001). The second form of decentralisation, delegation to semi autonomous organisations
and management authority for specific functions to organisations that are
and Cheema,1983:20). Organisations this authority could be delegated to might include public corporations, multi and singular-purpose authorities such as a transit authority, or project implementation units. The third form involves the transfer of functions from government to non-government controls. This namely involves privatisation of government services and to an extent, de-bureaucratisation.
Finally, devolution, the fourth form of decentralisation, is the most common form of decentralisation in developing countries and has become the chosen option for Indonesia (Crook and Manor, 1994; Rondinelli and en independent levels or units of government through devolution of functions and
government relinquishes control of certain functions and, if necessary, creates new layers of government. In its most ideal form, devolution encompasses autonomous local governments which become democratic institutions, existing in a non hierarchical relationship with other forms of government. However, in reality this will only ever happen to a certain degree. In sum, both regional and central governments share authority over particular non-overlapping functions which in combination constitute the total government (Rondinelli and Cheema, 1983). (Richard Seymour dan Sarah Turner, 2002:34)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemeritahan Daerah, pembagian urusan pemerintahan mencakup empat
kelompok:
1. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat
commit to user
3. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahn
kabupaten atau kota
4. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan desa.
(Pipin Syarifin dan Daedah Jubaedah, 2006: 47)
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan dengan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan kesemuanya bersifat koordinatif
administratif yaitu hakikat fungsi pemerintahan tersebut tidak ada yang saling
membawahi namun demikian fungsi dan peran pemerintahan provinsi juga
mengemban pemerintahan pusat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Sehingga dalam rangka desentralisasi dibentuk dan disusun pemerintahan
yang lebih kecil lagi yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sebagai perwujudan otonomi daerah yang diharapkan lebih
mendukung pemberdayaan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan umum
dan pembangunan di daerah.
Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah
urusan pemerintahan dari Pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang
lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi
urusan rumah tangga daerah itu. Hal ini penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat
yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada
pada pemerintah pusat baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun
pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku
wakil pemerintah daerah. Latar belakang asas ini adalah bahwa tidak semua
urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas
commit to user
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
Asas tugas pembantuan asas yang menyatakan tugas turut serta dalam
pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas,
misalnya pajak. (C.S.T. Kansil, 2002:3)
Asas tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan atau desa, dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten atau
kota dan atau desa, serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Sistem pemerintahan di Indonesia meliputi:
1. Pemerintahan pusat, yakni pemerintah;
2. Pemerintahan daerah, yang meliputi pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten atau kota;
3. Pemerintahan desa. (Siswanto Sunarno,2006:5)
Hal ini untuk mendukung pemberdayaan serta meningkatkan kualitas di
suatu daerah maka perlu suatu pemerintahan daerah dibagi lagi menjadi
pemerintahan yang lebih kecil yang disebut desa. Karena desa yang cakupannya
lebih kecil dari pada kabupaten atau kota adalah pemerintahan yang paling dekat
dengan masyarakat maksudnya yaitu desa lebih dapat menjangkau atau lebih
mengetahui aspirasi, persoalan-persoalan serta kebutuhan yang ada di dalam desa
tersebut. Desa juga dianggap penting sebagai penghubung antara pemerintah
dengan masyarakatnya karena desa merupakan organisasi pemerintahan yang
paling dekat dengan rakyat serta mengetahui kebutuhan dan masalah-masalah
yang terdapat di masyarakat.
Pasal 18A Undang-undang Dasar Tahun 1945 diamanatkan tentang
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi, kabupaten serta kota diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah serta
commit to user
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa pada ayat (1) negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang, kemudian dalam ayat (2) negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Hal yang ada di dalam pasal tersebut secara tidak langsung atau secara
tersirat telah mengakui serta mengatur daerah pemerintahan lebih kecil yaitu desa.
Pengaturan mengenai desa ini tidak diatur secara implisit di dalam konstitusi yaitu
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Dasar menetapkan hanya ada dua tingkatan daerah
otonom yang disebut dengan propinsi. Daerah propinsi tersebut dibagi lagi di
dalam daerah kabupaten atau kota. Pembagian ini dimaksudkan untuk
menjalankan otonomi daerah. Desa bukanlah termasuk daerah otonom, tetapi di
dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya disebutkan dimana desa
memiliki hak untuk mengatur kewenangan yang bersifat asli.
Konsekuensinya, maka desa diserahkan pengaturannya kepada kabupaten.
Pasal 200 ayat (1) di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten atau kota
dibentuk pemerintahan desa. Hal ini mengandung artian bahwa dimana
pemerintahan desa lahir atau dibentuk oleh pemerintah di atasnya dan merupakan
bagian dari pemerintah kabupaten atau kota tetapi bersifat otonom. Sehingga
kedudukan desa berada di dalam kabupaten atau kota.
2. Pemerintahan Desa
Pemerintahan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara,
commit to user
negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan
negara.
Pemerintahan desa menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dalam
mengatu dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 200 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur mengenai desa yang dimana dalam pemerintahan daerah
kabupaten atau kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa
dan badan permusyawaratan desa.
Hal ini merupakan bentuk desentralisasi seperti pendapat Philip Mawhod
menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebuah kekuasaan pemerintah
oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang
masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara.
(Siswanto Sunarno, 2006:13)
Susunan organisasi dan pemerintahan desa tidak lagi sekedar cermin
sejarah pemerintahan masa lalu dengan segala keaslian tradisionalnya.
Pemerintahan desa harus menjadi bagian integral pemerintahan negara Republik
Indonesia yang menjalankan fungsi- fungsi pemerintahan. (I Gde Pantja Astawa.
2008:327)
Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah Desa
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di kabupaten atau kota. Landasan pemikiran di dalam
pengaturan mengenai desa ini adalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi,
otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. (Siswanto Sunarno,
commit to user
Landasan pengaturan pemerintah desa adalah sebagai berikut:
1. Landasan keanekaragaman adalah memiliki makna bahwa istilah desa
dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya
setempat, seperti nagari, negeri, kampung, pekon, lembanga,
pamusungan, huta, hori, atau marga kesemuanya berarti pola
penyelenggaraan pemerintahan desa akan menghormati sistem nilai
yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya masyarakat setempat,
namun tetap mengindahkan sistem nilai bersama di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Partisipasi adalah penyelenggaraan pemerintah desa harus mampu
mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat merasa memiliki
dan bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama
sebagai sesama warga desa.
3. Otonomi asli yaitu kewenangan pemerintah desa di dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dimana didassrkan
kepada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang pada
masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam prospektif
administrasi modern.
4. Demokratisasi yaitu memiliki makna bahwa penyelenggaraan
pemerintahan desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang
diartikulasi dan diagresi melalui Badan Perwakilan Desa (sekarang
disebut sebagai Badan Pemusyawaratan Desa) dan Lembaga
Kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.
5. Pemberdayaan masyarakat yaitu bermakna penyelenggaraan
pemerintahan desa diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program, dan
kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat. (HAW Widjaja, 2004:36-37)
Desa yang dimaksud termasuk juga antara lain Nagari di Sumatera Barat,
Gampong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembang di Sulawesi Selatan,
commit to user
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi oleh desa
ataupun dengan sebutan lainnya dan kepala desa melalui pemerintah desa dapat
diberikan pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah, untuk
melaksanakan urusan pemerintah yang bersifat administratif, seperti desa yang
dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi, atai karena alasan
yang lainnya yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen maka
otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri. (Siswanto Sunarno, 2006:19)
Desa menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tentang
Desa bahwa desa atau yang disebut nama dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal usul
desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus
memenuhi syarat:
1. Jumlah penduduk
2. Luas wilayah
3. Bagian wilayah kerja
4. Perangkat
5. Sarana dan prasarana pemerintahan
Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian
desa yang bersandingan atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau
lebih atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pemekaran dari satu
desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling tidak
lima tahun penyelenggaraan pemerintahan desa. Desa yang kondisi masyarakat
dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan maka dapat dihapus atau
digabung.
Syarat pembentukan desa yaitu sebagai berikut:
commit to user
1) Wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1.500 jiwa atau 300
kepala keluarga
2) Wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1.000 jiwa atau
200 kepala keluarga
3) Wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 kepala
keluarga.
b. Luas wilayah yang dapat dijangkauu dalam meningkatkan pelayanan
dan pembinaan masyarakat;
c. Wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar
dusun;
d. Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat
beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat
setempat;
e. Potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya
manusia;
f. Batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan
dengan peraturan daerah;
g. Sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur
pemerintahan desa dan perhubungan. (Sadu Wasistiono, Ismail
Nurdin, M. Fahrurozi, 2009:208)
Desa yang tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung.
Desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan dengan memperhatikan:
1. Jumlah penduduk
2. Luas wilayah
3. Prasarana dan sarana pemerintahan
4. Potensi ekonomi
5. Kondisi sosial budaya masyarakat
Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub sistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk
commit to user
jawab kepada badan perwakilan desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan
tersebut kepada bupati. Hal ini dalam pengertian kepala desa pada dasarnya
bertanggung jawab kepada rakyat desa, yang dalam tata cara dan prosedur
pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau walikota, melalui camat.
Kepada Badan Pemusyawaratan Desa, kepala desa wajib memberikan keterangan
laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi
pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap harus memberi peluang
kepada masyarakat melalui badan pemusyawaratan desa untuk menanyakan dan
atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban yang dimaksud.
Badan pemusyawaratan adalah sebagai perwujudan demokrasi di dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan
serta pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan
belanja desa dan keputusan kepala desa di dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa, seperti pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan
dan belanja desa, keputusan kepala desa. Serta dibentuk lembaga kemasyarakatan
desa dalam memberdayakan masyarakat desa. Lembaga kemasyarakatan sesa
merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa.
Anggaran pendapatan dan belanja desa adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan
badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan peraturan desa.
Indikasi perubahan yang memperlihatkan desa di dalam masa transisi,
yaitu:
1) Desa mempunyai sumber keuangan yang berasal dari bagian dana
perimbangan yang diterima oleh kabupaten atau kota setelah
dikurangi belanja aparatur, bagian dari hasil pajak daerah dan hasil
retribusi daerah kabupaten atau kota.
2) Sebagian sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil atau diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil.
3) Adanya urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang pengaturannya
commit to user
4) Masuknya peraturan desa dalam tata urut peraturan
perundang-undangan.
5) Desa menerima tugas pembantuan baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota.
(Sadu Wasistiono, Ismail Nurdin, M. Fahrurozi, 2009:213)
Kepala desa dan perangkatnya diisi oleh Pegawai Negeri sipil. Kekayaan
desa merupakan kekayaan daerah yang dikelola oleh desa. Pendanaan akibat
perubahan tersebut dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat
desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Kepala desa dipilih
langsing oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia.
Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku
ketentuan hukum adat setempat. Jabatan kepala desa adalah enam tahun dan dapat
dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan.
Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun
hukum perdata, memiliki kekayaan harta benda dan bangunan serta dapat dituntut
dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan Badan
Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan
mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu baik uang atau barang yang dapat dijadikan milik
desaberhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Sumber pembiayaan
atau keuangan desa yaitu diperoleh dari sumber pendapatan desa, yaitu:
1. Pendapatan asli desa
2. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten atau kota
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh kabupaten atau kota
4. Hibah
commit to user
Sumbangan dari pihak ketiga yaitu dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf,
atau sumbangan lain serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi
kewajiban-kewajiban pihak penyumbang.
Belanja desa digunakan untuk mandanai penyelenggaraan pemerintahan
desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengelolaan keuangan desa dilakukan
oleh kepala desa dan dituangkan di dalam peraturan desa tentang anggaran
pendapatan dan belanja desa.
Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan
dan potensi desa serta dapat melakukan hubungan kerja sama untuk kepentingann
desa serta bila kerjasama dengan pihak ketika maka dapat dibentuk badan kerja
sama desa yang kesemuanya mengikutsertakan pemerintah desa dan badan
pemusyawaratan desa dengan memperhatikan kepentingan masyarakat desa,
kewenangan desa, kelancaran pelaksanaan investasi, kelestarian lingkungan
hidup, keserasian kepentingan antarkawasan dan kepentingan umum. (Siswanto
Sunarno, 2006:20)
Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan
pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan
pihak ketiga dan pinjaman desa.
Berdasarkan hak asal usul desa yang bersangkutan, kepala desa memiliki
wewenang untuk mendamaikan perkara atau sengketa dari para warganya.
Upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat
yang bercirikan perkotaan, dibentuk kelurahan sebagai unit pemerintahan
kelurahan yang berada di dalam daerah kabupaten dan atau kota. (HAW.
Widjaja.2004:3)
Pasal 200 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintahan desa di bentuk dalam lingkup pemerintahan
daerah kabupaten atau kota yang mana pemerintahan desa terdiri dari pemerintah
desa dan badan pemusyawaratan desa. Ayat (2) bahwa pembentukan,
penghapusan, dan penggabungan desa, dilakukan dengan memperhatikan asal usul
atas prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten atau kota secara bertahap dapat
commit to user
badan pemusyawaratan desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris
desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa adalah:
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban kabupaten atau kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau
kabupaten atau kota yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana
serta sumber daya manusia.
4. Urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan ke desa. (J Kaloh, 2007: 185)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merumuskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Otonomi desa merupakan otonomi yang berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat adalah otonomi yang telah dimiliki sejak dahulu dan telah
menjadi adat istiadat yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
Otonomi yang dimiliki pemerintah kabupaten atau kota adalah otonomi
formal atau resmi. Sedangkan otonomi yang dimiliki pemerintah desa adalah
otonomi berdasarkan asal-usul dan adat istiadat. Artinya jika desa memang
memiliki urusan-urusan yang secara adat diatur dan diurus, maka urusan-urusan
tersebut diakui oleh undang-undang.
Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah kabupaten atau kota:
1. Urusan pendidikan dan kebudayaan
2. Urusan kesehatan
3. Urusan pertanian
4. Urusan ketenagakerjaan.