• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika dan Estetika dalam perang Bhratayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika dan Estetika dalam perang Bhratayu"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH REVISI

ETIKA DAN ESTESTIKA DALAM WAYANG

(KISAH PERANG BHARATAYUDA)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum. Dr. Hari Bakti Mardikantoro, M. Hum.

Oleh:

Arum Ratnaningsih (0103513110) Ana Solikha (0103513024) Tyasmiarni Citrawati (0103513139)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR

KONSENTRASI BAHASA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Situasi sekarang ini banyak terlihat gejala-gejala kemerosotan etika dan estetika (keindahan) yang terjadi dimana-mana. Mulai dari usia anak-anak hingga dewasa maupun orang tua terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan imbas dari adanya modernisasi dan globalisasi yang merusak tatanan etika dan estetika di masyarakat. Padahal etika merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal serta menjadi ciri yang membedakan manusia dengan binatang. Sehingga manusia yang berperilaku berlandaskan dengan etika dan estetika yang menjadi pembatas manusia dengan makhluk lainnya dalam berperilaku.

Seni pedalangan atau pewayangan merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan yang sudah tua umurnya dan masih hidup serta berkembang sampai masa sekarang. Istilah pedalangan mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan dalang atau seorang dalang sebagai sentralnya, sedangkan pewayangan berartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan wayang. Pada dasarnya pewayangan sangat dikenal luas di seluruh dunia bahkan dianggap sebagai wahana pembelajaran budi pekerti yang bisa menjadi tolak ukur ciri khas suatu bangsa. Di Jawa jenis wayang purwa dianggap wayang tertua dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Wayang kulit sebagai bagian dari seni pertunjukkan mengandung nilai-nilai estetika dan etika yang dikemas dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah keindahan agar dapat memukau penghayatnya. Nilai-nilai estetika mengandung peringatan dan cita-cita kreativitas dan tanggapan seniman yang diwujudkan dengan simbol-simbol dalam pewayangan. Nilai-nilai estetika merupakan unsur-unsur penting yang dapat mempengaruhi kreativitas seniman yang mana kreativitas tersebut timbul karena adanya rasa tidak puas dengan bentuk yang sudah ada. Garapan-garapan baru akan timbul yang secara langsung menambah kekayaan kreativitas dan menambah nuansa baru dalam garapan.

(3)

berimbas pada penghayat menjadi mengetahui dan memahami karya-karya baru, bahkan ada beberapa yang mengkultuskan karakter tokoh yang ada di dalam pewayangan.

Pada lakon perang Bharatayuda, sajian pertunjukkan wayang juga selalu ditunggu penonton tentang nilai yang ingin dituangkan oleh seorang dalang. Perang Baratayuda merupakan cerita yang berbobot dan menarik, mengandung nilai-nilai etis yang sebenarnya ingin dipertahankan oleh masyarakat melalui pementasan lakon. Banyak sekali unsur etika maupun estetika yang bisa digali dari cerita seni pewayanagan ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan etika?

2. Pendekatan apa yang digunakan dalam bidang etika? 3. Apakah yang dimaksud dengan moral?

4. Apa saja prinsip-prinsip moral dan sikap kepribadian moral yang kuat? 5. Apakah yang dimaksud estetika?

6. Apa saja relasi estetika dalam wayang dan makna perang Bharatayuda? C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diuraikan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian etika dari berbagai sudut pandang ahli. 2. Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam bidang etika. 3. Untuk mengetahui pengertian moral dari berbagai sudut pandang ahli. 4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dan sikap kepribadian moral yang kuat. 5. Untuk mengetahui pengertian estetika dari berbagai sudut pandang ahli.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Etika

1. Pengertian Etika

Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Sedangkan yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.

Jika kita melihat dalam KBBI, etika membedakan tiga arti yaitu pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Kedua, kumpulan asas atau nilai. Ketiga, nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah suatu refleksi tentang tema-tema yang menyangkut perilaku kita. Dalam etika menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Jadi etika adalah ilmu atau asas atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku berdasarkan kebiasaan yang berlaku.

Menurut Sunoto dalam Fuad Ihsan mengatakan bahwa etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Sedangkan etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.

(5)

Menurut sebagian penulis, Socrateslah filosof pertama yang meletakan dasar-dasar ilmu etika, dan Aristoteleslah (384-322 SM) filosof pertama yang membangun madzhab etika. Sebelum Aristoteles, “ilmu etika” dengan metode yang berbeda sudah ada. Socrates tidak memisahkan antara etika dan agama (metafisika). Kehidupan etika bagi Socrates, bertumpu pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum Ilahi yang tidak tertulis. Socrates sendiri tidak menemukan adanya kontradiksi apapun antara sendi transcendental ini dengan eksistensi etika yang merupakan ilmu praktis. Hal ini bukan hanya karena Socrates berbicara seakan-akan dibimbing oleh wahyu atau ilham, tapi karena – khususnya pada detik-detik menjelang wafatnya Dia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. 3. Metode Etika

Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritits. Sehingga etika tidak membiarkan pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Jadi metode yang tepat pada etika yaitu dengan pendekatan kritis.

Metode yang dipergunakan dalam etika adalah metode pendekatan kritis. Etika pada hakekatnya mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran ataupun ideology, melainkan memeriksa, merefleksi, mengevaluasi, dan menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut agar ajaran-ajaran moral tersebut dapat dipelajari dan dihayati oleh setiap manusia, kemudian dapat dilaksanakan dalam kehidupannya secara nyata, dan dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, etika dengan motode pendekatan kritisnya, berusaha untuk menjernihkan persoalan-persoalan moral secara benar dan porposional.

4. Pendekatan Pembinaan Etika

(6)

pembelajaran berbuat. Penjelasan pendekatan-pendekatan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. PendekatanPenanamanNilai

Pendekatan Penanaman Nilai (Values Inculcation Approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan akan pentingnya nilai-nilai budi pekerti. Seseorang harus menerima dan meyakini bahwa nilai-nilai tersebut adalah benar. Ada dua tujuan dari pendekatan ini, yaitu: diterimanya nilai-nilai budi pekerti dan berubahnya prilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Metode yang digunakan dalam pendekatan antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan yang lainnya.

b. PendekatanPerkembangan Moral Kognitif

Pendekatan ini disebut Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Depelovment Approach) karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya Pendekatan ini mendorong untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu: Pertama, membantu untuk membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.

c. PendekatanAnalisisNilai

(7)

membantu untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. d. Pendekatan Klarifikasi Nilai

Pendekatan Klarifikasi Nlai (Vlues Clarification Aproach) memberi penekanan pada usaha untuk membantu dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang ilai-nilai mereka sendiri. ujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu supaya mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, membantu, supaya mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain. e. Pendekatan Pembelajaran Berbuat

Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach) member penekanan pada usaha memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.

5. Fungsi Etika

Adapun fungsi pengajaran etika, seperti dijelaskan oleh Suharsono danYodi Orbawan (2004), antara lain:

a. Pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku manusia dari yang buruk menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih baik, sehingga mendekati kesempurnaan. b. Penyaluran, yaitu membantu manusia agar menyalurkan potensi-petensi yang

(8)

c. Perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya.

d. Pencegahan, yaitu mencegah manusia agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak harga diri, keluarga, agama, bangsa, dan negara.

e. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, seperti sombong, iri, dengki, riya, dan lainnya, agar manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah manusia, ajaran agama, dan budaya bangsa.

f. Penyaring, yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa, baik bangsa sendiri maupun bangsa lain, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.

6. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Jadi moral adalah ukuran baik dan buruk sikap manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.

Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Macam-macam norma ada dua yaitu pertama norma khusus, yang berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Contohnya peraturan tata tertib di kampus universitas yang hanya berlaku selama kita berada di kampus. Kedua norma umum, terbagi menjadi tiga macam antara lain norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.

Pertama norma sopan santun, menyangkut sikap lahiriah manusia. Sikap lahiriah mengungkapkan sikap hati dan mempunyai kualitas moral. Kedua norma hukum, adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Pengertian lain, bahwa norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar jika ada orang yang melanggar hukum pasti akan dikenai hukum sebagai sanksi. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Hal ini dikarenakan norma hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Ketiga norma moral, adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sehingga penilaian moral selalu berbobot.

(9)

Etika normatif yang mempunyai tolak ukur menilai tindakan manusia secara moral. Sehingga sebagai panduan dalam tolak ukur etika normatif tersebut menggunakan prinsip-prinsip moral dasar. Prinsip-prinsip moral dasar terbagi menjadi tiga bagian antara lain:

a. Prinsip sikap baik

Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Hal ini dikarenakan prinsip sikap baik mempunyai dasar dalam struktur psikis manusia. Misalnya kita bertemu dengan orang yang belum kita kenal, dengan adanya sikap dasar ini kita dapat bertemu dengan orang yang belum kita kenal tanpa takut. Jadi sikap yang biasa pada manusia bukan sikap memusuhi dan mau membunuh, melainkan sikap bersedia untuk menerima baik dan membantu. Jadi prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang kita pahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan “syukur” suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia.

b. Prinsip keadilan

Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja dan apa yang menjadi haknya. Karena hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasar adalah keadilan. Keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

c. Prinsip hormat terhadap diri sendiri

(10)

kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Jadi prinsip kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak membuang diri.

8. Sikap Kepribadian Moral yang Kuat

Berikut sikap-sikap yang perlu dikembangkan untuk memperoleh kekuatan kepribadian yang mantap dalam kesanggupan untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar, antara lain:

a. Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Bersikap jujur terhadap orang lain mempunyai dua arti yaitu pertama, sikap terbuka yang dimaksud adalah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Kedua bersikap fair, maksudnya terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar. Orang jujur memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia akan menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Orang yang jujur tidak pernah bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya.

b. Nilai-nilai otentik

Otentik berarti asli, manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dengan kepribadian yang sebenarnya.

c. Kesediaan untuk bertanggung jawab

(11)

memberikan, pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.

d. Kemandirian moral

Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai norma agama.

e. Keberanian moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, demikian pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan.

f. Kerendahan hati

Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya.

g. Realistik dan kritis

Sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja, melainkan kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip moral dasar.

B. Estetika

Nilai estetika dalam filsafat yang dalam kamus besar bahasa Indonesia, cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia mengenai keindahan akan sesuatu yang indah. Estetika digunakan oleh Alexander Baumgarten dalam arti cabang filsafat sistematis yang menempatkan keindahan dan seni sebagai objek telaahnya. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni

(12)

ilmu yang membahas keindahan, bagaimana bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.

Beberapa pemikir estetika yang terkenal antara lain adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Aristoteles dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan indah karena mengikuti aturan-aturan (order), dan memiliki magnitude atau memiliki daya tarik. Immanuel Kant dalam Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu.

Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusia. Jadi estetika berbicara tentang rasa yang mencakup penyerapan perhatian dalam pengalaman. Rasa estetika itu dappat dibangkitkan dari rasa seni ketika berusaha menimbulkan tanggapan (respon) dari bermacam objek dan pengalaman. Ia yang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.

C. Relasi Estetika dan Etika dalam Wayang serta Makna Perang Bharatayuda 1. Pengertian Pewayangan dan Pendalangan

Bicara tentang wayang dikandung sejumlah pengertian yaitu wayang mengacu pada boneka (sejenisnya), wayang mengacu pada pertunjukkan (performance), wayang mengacu pada kisah (lakon), dan wayang mengacu pada orang-orang yang menari. Pertunjukan wayang dapat disebut teater total di dalamnya terkandung sejumlah jenis seni yang di ramu menjadi satu kesatuan, yakni seni drama (sanggit), musik (vokal–instrumen), rupa, gerak (tari), dan seni sastra. Di samping itu dalam pertunjukan wayang dikandung pula efek-efek yang terdengar dan terlihat ( audio-visual efek) dan artis pendukung perlengkapan (dramatis personal dan equipment).

(13)

Sebuah pertunjukkan wayang kulit yang klasik dinamakan semalam suntuk, lamanya delapan jam atau lebih. Selama pertunjukan, seorang dalang duduk di belakang kelir, menggerakkan wayang, menyuarakan wayang, menyanyi bahasa khusus, dan memimpin karawitan.

2. Relasi Estetika dalam Wayang

Estetika pertunjukan wayang merupakan totalitas keindahan yang terdiri dari garap artistik dan estetik yang disajikan secara utuh sehingga menimbulkan kesan rasa bagi penghayat wayang. Estetika pertunjukan wayang dibentuk oleh pelaku, peralatan, unsur garap pakeliran, dan penonton yang memiliki hubungan sinergis dan organis. Dalang merupakan tokoh sentral yang mengolah unsur-unsur garap pakeliran dengan didukung kelompok karawitan dan peralatan pertunjukan untuk menyajikan lakon wayang yang dikomunikasikan kepada penonton. Hubungan antara berbagai unsur ini membentuk estetika pertunjukan wayang.

Dalang menjadi kekuatan utama dalam pertunjukan wayang. Ia merupakan orang yang bertindak sebagai pemain boneka wayang, pemimpin orkestra, sebagai sutradara, juru penerang, dan penghibur. Dalang juga dituntut memahami bidang kerohanian, falsafah hidup, pendidikan, kesusastraan, ketatanegaraan, dan sebagainya. Untuk mencapai pertunjukan wayang yang estetis, dalang dituntut menguasai keterampilan teknik, kemampuan sanggit, dan totalitas ekspresi.

Kelompok karawitan terdiri dari pengrawit, pesinden, dan penggerong.

Pengrawit bertugas memainkan instrumen gamelan. Pesinden bertugas menyajikan

vokal perempuan dalam alunan gendhing ataupun tembang, dan penggerong bertugas menyajikan vokal laki-laki. Kehadiran pengrawit, pesinden, dan penggerong dalam pagelaran wayang adalah mendukung terciptanya kualitas estetik. Hubungan sinergis antara kelompok karawitan dengan dalang ditunjukkan pada makna sasmita gending. Dalang melontarkan sasmita gending yang diterjemahkan kelompok karawitan dalam vokal gending tertentu untuk mendukung pertunjukan wayang.

Untuk menyajikan pertunjukan wayang, diperlukan kehadiran peralatan penunjang seperti boneka wayang, kelir, blencong, kothak, cempala, keprak, gamelan, dan pengeras suara. Semua peralatan memiliki kontribusi bagi terbentuknya estetika pertunjukan wayang. Ada hubungan organis antara peralatan pertunjukan dan estetika pertunjukan wayang lainnya, sehingga meniadakan salah satu peralatan akan mengganggu keutuhan estetika pertunjukan wayang.

(14)

pemahaman lakon menitikberatkan pada sumber lakon, jenis lakon, dan struktur lakon. Pada garap catur, sabet, dan karawitan pakeliran diketahui berdasarkan elemen-elemennya, yaitu pertama, catur terdiri dari bahasa, ginem, janturan, pocapan, dan teknik antawecana. Kedua, sabet meliputi cepengen, tancepan, solah, entas-entasan, ragam gerak, dan makna gerak. Ketiga, karawitan pakeliran terdiri atas urutan sajian dan nama gending, jenis dan cengkok sulukan, maupun dhodhogan-keprakan.

Estetika pertunjukan wayang tidak terlepas dari respon penonton. Sunardi (2012: 4) ada hubungan signifikan antara dalang, pagelaran wayang dengan penontonnya. Tipe penonton penurut dan kritis, daya apresiasi penonton yang tinggi, sikap penonton yang mengikuti tata aturan menonton wayang, jumlah penonton yang banyak dan tetap, serta kualitas penonton sangat berpengaruh dalam pencapaian estetika pertunjukan wayang.

3. Makna Perang Bharatayuda dan Nilai Etika dalam Wayang

Interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang purwa/kulit" banyak versi sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang

purwa/kulit" yang pada hakikatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap makro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Arti simbolik yang bersifat mikro (dalam diri manusia secara individu) pengertian simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan buruk. Peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.

(15)

hak/kepunyaan orang lain, main: kesenangan berjudi, mabuk: kesenangan minum minuman keras). Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tadi yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda, untuk membunuh sebahagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat ksatria utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang, dia mampu mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang kurang terpuji sifat-sifatnya menjadi manusia yang terpuji sifat-sifatnya.

b. Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/akibat perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakannya terhadap nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh berbagai budaya dari luar kadang-kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji maupun kebalikannya terkadang agak sulit menarik garis hitam putih. Tapi kalau kita mengkaji kisah/lakon dalam "wayang purwo/kulit" hal tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh-tokohnya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji, bahkan terhadap tokoh-tokoh yang diidealkan seperti tokoh Pandawa Lima dan Sri Kresna. Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidaksempurnaan manusia.

(16)

menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur kan seluruh kerajaan Hastinapura. Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara murkaan itu semacam candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya, harus ada pihak-pihak yang berani memerangi dan menghancurkannya.

Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau sangat menakutkan tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan yang akan meminta banyak korban dimana akhirnya semua seratus Kurawa dan segala Ksatria yang membantunya habis terbunuh, juga dari sisi Pandawa Lima tidak ada anak-anak Pandawa Lima yang bisa lolos dari maut. Kemenangan dari Pandawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa bea" adalah suatu pepatah Jawa yang artinya untuk mencapai suatu tujuan selalu ada biayanya.

BAB III PENUTUP

(17)

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika dan estetika dalam wayang memang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terkait dengan nilai-nilai agung yang ada dalam wayang. Etika adalah ilmu atau asas atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku berdasarkan kebiasaan yang berlaku, membantu untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu di lakukan dan yang perlu di pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan. Sedangkan moral adalah ukuran baik dan buruk sikap manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.

Relasi estetika dalam wayang merupakan totalitas keindahan yang terdiri dari garap artistik dan estetik yang disajikan secara utuh sehingga menimbulkan kesan rasa bagi penghayat wayang. Interpretasi perang Bharatayuda pada hakikatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap makro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Dari penggambaran perang Baharayuda diharapkan masyarakat dapat mengambil ajaran etika yang baik dan memahami unsur estetika yang sesungguhnya, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.

B. Saran

Untuk lebih mendalami etika dan estetika dalam wayang, pembaca disarankan untuk melihat video pementasan wayang atau cerita tentang wayang.

Daftar Pustaka

(18)

Bertens, K. 2007. Sari FilsafatAtma Jaya: 15 etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fuad Ihsan, H.A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.

Kencana Syafiie, Inu. 2010. pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama.

Mark Ruth, Woodward. 1990. Wayang Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.

Sunardi. 2012. Estetika Pertunjukkan Wayang Purwa. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Suseno, Franz Magnis. 2010. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. kamus besar bahasa Indonesia edisi ke 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Potensi di bidang industri pertambangan tersebut membutuhkan strategi perencanaan dan pengembangan yang lebih komprehensif yang mempertimbangkan beberapa aspek,

Hari ketiga dan setemsnya Ayam tidak lagi mengimjungi karena sudah percaya dengan Kambing pasti akan menjaga telumya dengan sangat baik. Selang seminggu Ayam tidak mengunjimgi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ Kualitas Fisik dan

Hasil dari penelitian penulis yaitu alasan-alasan yang mendasari anak membuang bayi karena factor ekstrinsik dan juga kurangnya pengetahuan mengenai peraturan hukum

Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh perbedaan pengaruh Ischaemic compression dan Transverse friction terhadap peningkatan fungsional pada myofascial trigger

Daya beli merupakan tantangan terbesar yang dihadapi oleh para importir dibandingkan hal-hal lain dalam peta kompetitif ini. Para pengolah, pemilik merk dan pengecer

Tahap perancangan dilakukan untuk merancang sistem informasi manajemen aset pada Kantor BMKG Provinsi Jambi yaitu dengan menggunakan pemrograman berbasis web ,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 9 menyatakan Klasifikasi Urusan Pemerintahan Pasal 9 ayat (3) Urusan pemerintahan konkuren