• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERDARAHAN SUBDURAL KRONIK PADA DEWASA MUDA. Norma Medicina*, Lyna Soertidewi**

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERDARAHAN SUBDURAL KRONIK PADA DEWASA MUDA. Norma Medicina*, Lyna Soertidewi**"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERDARAHAN SUBDURAL KRONIK PADA DEWASA MUDA

Norma Medicina*, Lyna Soertidewi**

ABSTRACT

Subdural hemorrhage (SDH) occurred caused by acceleration - deceleration mechanism in the head and bridging veins rupture especially near by superior sinus sagitalis. Subdural hemorrhage (SDH) most common in the brain traumatic injury in old ages and young people either. In old ages mostly a brain atrothpy, and these is a basic pathology process, why subdural hemorrhage (SDH) sometimes occured without significant traumatic brain injury history in old ages. Other aetiologies are alchoholic patient, rupture aneurysma, coagulation, arachnoid cysta, brain tumor and decreased intra cranial pressure like post VP shunt. Subdural hemorrhage (SDH) occurred in aproximatelly 5% in all TBI cases. Chronic Subdudal Hemorrhages occurred 0,13/100.000 a year in ages up to 30 years old patients and 7,4/100.000 a year for patients up to 70 years old. Headache and Vomitus are the most sign in young ages patients while Motoric Deficit and Behavioral Changes are mostly found in old ages. Chronic Subdural hemorrhage (SDH) arises in 2 weeks post TBI. There are obviously differences clinical signs between old ages and young ages. These article will be discuss clinical signs and aetiologies of chronic subdural hemorrhages in young ages.

Keywords: Chronic subdural hemorrhage, clinical signs and aetiologies, young adult ABSTRAK

Perdarahan subdural (SDH) terjadi akibat robeknya bridging veins, dekat dengan sinus

sagitalis superior, karena akselerasi dan deselerasi yang cepat pada kepala, tanpa perlu benturan langsung. Perdarahan subdural ini sering terjadi akibat trauma kapitis baik pada orang muda maupun orang tua. Pada orang tua tanpa ada riwayat trauma kapitis yang bermakna juga dapat terjadi perdarahan subdural ini akibat telah adanya atropi otak pada usia tua.. Penyebab lain dari perdarahan subdural adalah alkoholok, aneurisma yang robek, koagulasi, kista arakhnoid, tumor otak dan penurunan tekanan intracranial akibat dari pemasangan VP shunt karena hidrosefalus.

Perdarahan subdural terjadi kurang lebih 5% dari semua trauma kepala. Kejadian

perdarahan subdural kronik 0,13/100.000 pertahun untuk pasien yang berusia diatas 30 tahun dan 7,4/100.000 pertahun untuk pasien berusia diatas 70 tahun. Perdarahan subdural kronik muncul dua minggu lebih setelah trauma kepala. Penyebab dan gejala klinis perdarahan subdural ada perbedaan antara usia muda dan usia tua. Sakit kepala dan muntah merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien usia muda sementara defisit motorik dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada usia tua. Pada makalah ini akan dibahas mengenai SDH kronik pada usia muda dari penyebab dan gejala klinisnya.

Kata kunci: perdarahan subdural kronik, dewasa muda, penyebab dan gejala klinis

*Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Saraf, FKUI / RSCM, Jakarta ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf, FKUI / RSCM, Jakarta

(2)

PENDAHULUAN

Perdarahan subdural / subdural hemorrhage (SDH) terjadi akibat robeknya bridging veins, terutama yang terletak dekat dengan sinus sagitalis superior. Perdarahan subdural terjadi karena akselerasi dan deselerasi yang cepat pada kepala, tanpa perlu benturan langsung. Perdarahan subdural ini lebih sering terjadi pada usia tua akibat dari adanya atrofi

otak yang menyebabkan meningkatnya pergerakan otak didalam ruang intracranial. SDH

kronik selain terjadi pada orang tua, juga sering terjadi pada orang alkoholik dan pasien dengan tekanan tekanan intrakranial yang rendah, seperti pada pasien pasca pemasangan VP

shunt karena hidrosefalus.1

Perdarahan subdural terjadi kurang lebih 5% dari semua trauma kepala.1 Angka kejadian SDH kronik pada populasi secara general sebanyak 1–3/10.000 pertahun. Angka ini dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya usia di negara barat. Angka kejadian meningkat menjadi 7–13/100.000 pertahun pada usia lebih dari 65 tahun. Dan angka kejadian ini

diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 50 tahun yang akan mendatang.2

Menurut data yang diambil dari penelitian menyatakan bahwa usia pasien dengan perdarahan subdural kronik berkisar 56 sampai 63 tahun. Dan pada pasien berusia kurang dari 40 tahun berkisar 20–30% dari total kasus dan pasien diatas usia 75 tahun berkisar 8%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan di Taiwan tahun 2002 didapatkan angka kejadian

perdarahan subdural kronik pada usia muda lebih rendah dibandingkan dengan usia tua. 3

Manifestasi klinik perdarahan subdural akut muncul segera setelah trauma kepala, perdarahan subdural subakut muncul satu sampai dua minggu setelah trauma kepala dan

perdarahan subdural kronik muncul dua minggu lebih setelah trauma kepala.1

Dari penyebab dan gejala klinis yang muncul ada perbedaan antara perdarahan subdural di usia muda dan usia tua. Pada makalah ini akan dibahas mengenai SDH kronik pada usia muda dari penyebab dan gejala klinisnya.

EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian perdarahan subdural kronik 0,13/100.000 pertahun untuk pasien yang berusia diatas 30 tahun dan 7,4/100.000 pertahun untuk pasien berusia diatas 70 tahun. Sedangkan menurut beberapa penelitian mengenai perdarahan subdural kronik untuk pasien berusia 20 – 50 tahun sebanyak 28% menurut penelitian yang dilakukan oleh RG Robinson pada tahun 1984, 50% menurut penelitian yang dilakukan oleh M Sambasivan pada tahun 1997 dan 55% menurut Z. Kotwika dan kawan – kawan yang dilakukan pada tahun 1991. Tingginya angka kejadian ini dimungkinkan karena rendahnya angka populasi yang berusia

tua.4

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Taiwan oleh Po-Chou Liliang dan kawan - kawan yang dilakukan antara januari 1995 dan Juli 2000, didapatkan 2073 pasien dengan 73% pasien terdiagnosa SDH kronik dengan kisaran umur pasien 16 sampai

92 tahun, dengan rata – rata usia 65,3 tahun.5

SDH kronik lebih sering terjadi pada orang tua, pasien alkoholik, dan pasien dengan tekanan tekanan intrakranial yang rendah, seperti pada pasien pasca pemasangan VP shunt

karena hidrosefalus.1

PATOGENESIS

Perdarahan subdural akut terdiri dari bekuan darah yang terlihat seperti gambaran blackcurrant-jelly. Setelah beberapa hari, bekuan darah ini akan berubah menjadi cairan serous dan setelah satu sampai dua minggu kemudian akan terbentuk membran yang terdiri dari jaringan granulasi dengan proliferasi fibroblast dan kapiler, yang awalnya akan terbentuk di bagian dural dari perdarahan dan kemudian akan terbentuk sampai ke lapisan pial.

(3)

Walaupun perdarahan ini akan terserap, namun perdarahan kembali sering kali terjadi,

perdarahan ini dapat terjadi akibat dari pembuluh darah yang baru terbentuk tidak mature.1

Mekanisme terjadinya perdarahan subdural kronik disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah atrofi otak, perbedaan gradient hiperosmotik dan adanya teori baru yang berhubungan dengan proses inflamasi. Seperti yang akan dijelaskan lebih jelas lagi dibawah ini.

Perdarahan subdural kronik terletak diantara duramater dan arachnoid. Pada kondisi normal, ruangan antara duramater dan arachnoid tidak ada, seperti yang terlihat pada gambar 1. Namun pada perdarahan subdural kronik ditemukan adanya lapisan sel dengan morfologi

unik yang mempunyai kecenderungan untuk robek. Lapisan ini disebut dural border cell

(DBC), seperti yang terlihat pada gambar 2. Lapisan ini ditandai dengan kurangnya ikatan antar sel dan melebarnya ruangan ekstraseluler yang mengandung material amorf nonfilamentosa. Karenanya lapisan ini kurang kuat ikatannya sehingga mudah untuk robek. Vena terikat dengan kuat diantara lapisan arachnoid dan dural tetapi kurang kuat diantara lapisan DBC. Dengan adanya atrofi otak, membran arachnoid akan tertarik ke tengah, dimana dura masih tetap melekat pada tengkorak. Hal ini menyebabkan lapisan DBC dan vena akan merenggang sehingga dengan sedikit benturan dan dengan adanya gaya akselerasi dan deselerasi dari otak dapat menyebabkan vena robek dan darah akan keluar ke lapisan DBC dan membentuk rongga subdural. Hal ini dapat berkembang menjadi higroma dan kemudian

menyebabkan perdarahan subdural kronik. 6

Gambar 1

Gambar 2

Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik, menurut Gardner yang didukung oleh Suzuki, yaitu karena perbedaan gradient hiperosmotik. Gardner, tahun 1932, adalah yang pertama kali mengemukakan bahwa penyebab perdarahan subdural bertambah besar dikarenakan bertambahnya cairan, cairan yang dimaksud dalam hal ini

(4)

adalah LCS, yang tertarik masuk karena meningkatnya tekanan osmotik. Tekanan osmotik dapat meningkat karena lisisnya sel darah merah dan lepasnya protein. Hipotesis ini telah banyak diterima, walaupun tidak didukung oleh data yang ada. Rabe dan kawan – kawan memperlihatkan bahwa pemecahan sel darah merah berkontribusi pada penambahan

akumulasi cairan di ruangan subdural. 7

Teori terbaru mengenai perdarahan subdural kronik yang berhubungan dengan proses inflamasi dikemukakan oleh Drapkin yang didukung melalui penelitian eksperimental oleh Ito et al dan Labadie et al, yang menyatakan bahwa eritrosit yang lisis di dalam ruang

subdural, yang terjadi akibat rupturnya beberapa cortical bridge veins, akan menginduksi

respon inflamasi dan siklus perdarahan – fibrinolisis, sehingga akan terbentuk neo-membran

dan neo-kapiler. Sedangkan Vaquero et al mendemonstrasikan bahwa lapisan terluar dari

neo-membran yang terdiri dari sel plasmatik dan makrofag akan memproduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) bersamaan dengan bFGF (beta Fibroblast Growth Factor), dimana keduanya dikenal sebagai faktor angiogenik. Sama halnya dengan PDGF (Platelet Derived Growth Factor), faktor yang berperan pada penyembuhan luka, dimana konsentrasinya lebih sedikit didalam perdarahan subdural dibandingkan di plasma. Sehingga perdarahan subdural kronik dapat dipikirkan sebagai penyakit angiogenik yaitu berupa

fenomena inflamasi subakut.2

Menurut penelitian lainnya mengenai patogenesis dari perdarahan subdural kronik yang berhubungan dengan inflamasi, yaitu ditemukannya peningkatan sel inflamasi lokal, sitokin, di ruang subdural, hal ini menyongkong hipotesis bahwa inflamasi lokal, angiogenesis, peningkatan permeabilitas vaskular, dan peningkatan aktivitas koagulasi dan fibrinolisis berhubungan dengan pathogenesis dan progresifitas dari SDH kronik. Data penelitian mengatakan bahwa Interleukin-10 (IL-10) teraktivasi pada proses inflamasi pada waktu SDH kronik terjadi. Fenomena ini sama halnya dengan proses inflamasi non spesifik. Pada penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2006 menghasilkan kesimpulan terdapat peningkatan dari kadar IL-10 di cairan subdural yang diambil dari SDH kronik, sama halnya dengan sitokine inflamasi seperti IL-6 dan IL-8. Sehingga IL-10 dapat merupakan suatu

deaktivator inflamasi pada pathogenesis dari SDH kronik. 8,11

ETIOLOGI

1. Trauma

Trauma merupakan penyebab perdarahan subdural kronik tersering pada dewasa muda dan orang tua. Adanya riwayat trauma kepala pada perdarahan subdural kronik

ditemukan pada 50 – 75% kasus. 3

2. Alkohol

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Po Chou Liliang dan kawan – kawan di Taiwan pada tahun 2001, mengatakan bahwa alkoholisme, sebagai penyebab dari perdarahan subdural kronik didapatkan pada dewasa muda dengan prevalensi 25% dan prevalensi pada orang tua sebanyak 4%. Jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Eropa dimana alkoholisme merupakan penyebab SDH

kronik pada sebagian pasien.3

3. Ruptur aneurisme

Ruptur aneurisme dapat menyebabkan perdarahan subdural terisolasi tanpa adanya Subarachnoid hemorrhage (SAH), tapi hal ini jarang ditemukan. Pada laporan kasus, dimana pasien dengan SDH spontan di oksipital tanpa adanya SAH akibat rupturnya

aneurisme arteri karotis interna yang melekat pada membran arachnoid.10 9

4. Penyebab lainnya

(5)

kista arachnoid, tumor otak dan kondisi lainnya yang menyebabkan rendahnya tekanan

intrakranial, seperti pemasangan VP shunt.3

MANIFESTASI KLINIK PERDARAHAN SUBDURAL KRONIK

Perdarahan subdural pada awalnya tidak didapatkan adanya gejala, hal ini dikarenakan lambatnya perdarahan dari sistem vena yang bertekanan rendah. Pada pasien perdarahan subdural kronik dengan riwayat trauma kepala, sebanyak 25% baru menunjukkan gejala klinis antara 1 – 4 minggu. Sementara 25% lainnya baru menunjukkan gejala setelah 5 – 12 minggu. Dan sebanyak 33% pasien yang tidak menunjukkan gejala sama sekali.

Sakit kepala merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien, yang muncul pada 90% kasus. Sakit kepala dapat memberat dan biasanya disertai dengan muntah.Tanaka dkk mengemukakan bahwa penurunan aliran darah otak sebanyak 7% berhubungan dengan sakit kepala, dimana penurunan aliran darah ke otak berhubungan

dengan defisit fokal, seperti hemiparesis.5

Gejala lainnya yang sering muncul adalah gelisah, penurunan kesadaran, kelemahan sesisi tubuh (hemiparese), kejang dan inkontinensia. Gait dysfunction merupakan tanda klinis tersering yang lainya.

Menurut data penelitian pada 75 pasien dengan SDH kronik di Taiwan, mengatakan bahwa penurunan GCS lebih sering terjadi pada pasien muda (42%) dibandingkan dengan usia tua (35%), tapi hal ini secara statistik tidak bermakna. Sakit kepala dan muntah merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien usia muda (P<0.001 dan P = 0.009), sementara defisit motorik dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada usia tua (P

= 0.014 dan P = 0.006).3 Hal ini seperti yang terlihat pada tabel 1. Sama halnya dengan

penelitian yang dilakukan di Itali terhadap 1000 pasien dengan perdarahan subdural kronik, dimana sakit kepala lebih dominan pada pasien usia muda, dan pada usia tua lebih dominan

adanya hemiparesis dan perubahan tingkah laku.4 Hal ini seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 1. Gejala dan tanda klinis pada 75 pasien dengan SDH kronik

Dikutip dari : Po Chou Liliang, Yu-Duan Tsai, Cheng-Loong Liang,dkk. Chronic subdural haematoma in young and extremely aged adults: a comparative study of two age groups. Injury, Int. J. Care Injured 33 (2002) 346

(6)

Tabel 2. Gambaran gejala klinis pada 1000 pasien dengan SDH kronik

Dikutip dari : M. Gelabert-Gonz´alez et al.Chronic subdural haematoma in patient aged under 50.Clinical Neurology and Neurosurgery 107 (2005) 225

Salah satu penyebab dari perdarahan subdural adalah kista arakhnoid dan karakteristik klinis dan radiologis pada SDH kronik yang berhubungan dengan kista arakhnoid dan tanpa kista arakhnoid telah di analisis secara retrospektif oleh Kentaro Mori dan kawan – kawan pada tahun 2002. Gejala klinis yang paling sering muncul pada pasien SDH kronik dengan kista arakhnoid adalah sakit kepala yang disertai dengan muntah, sedangkan gangguan berjalan dan hemiparese lebih dominan pada pasien SDH kronik tanpa kista arakhnoid.

Secara radiologis, kista arakhnoid berlokasi di fossa media (8 kasus), convexity (dua kasus)

dan fossa posterior (dua kasus). Tiga kasus dengan ketebalan 20 mm. 12 pasien SDH kronik dengan kista arakhnoid biasanya lebih muda dibandingkan dengan pasien tanpa kista

arakhnoid.8,9,10,11

DIAGNOSIS

CT scan merupakan alat bantu diagnosis yang penting untuk awal mendiagnosis perdarahan subdural kronik. Alat ini lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan MRI. Namun MRI mempunyai keunggulan dengan mampu memperlihatkan lokasi yang lebih pasti,

ukuran hematoma dan efek massa pada struktur terdekatnya.12

Perdarahan subdural kronik diklasifikasikan menjadi 4 kelompok tergantung dari karakteristik densitas pada CT scan, yaitu hipodens, hiperdens dan densitas campuran dan

isodens (dimana densitas hematoma tampak sama dengan grey matter di otak), seperti yang

terlihat pada gambar 3. Perdarahan subdural akut pada awalnya akan terlihat hiperdense dan akan berubah menjadi isodense sejalan dengan waktu, dan selama itu akan sulit untuk mendeteksi penyebabnya. Dan kemudian secara progresif akan berubah menjadi hipodens

(7)

Gambar 3. Pola densitas dari CT scan. a. subdural hematoma dengan densitas hipodens. b. Subdural hematoma yang isodens. c. Hematoma subdural dengan densitas hiperdens. d. densitas campuran pada frontoparietal kiri dengan level. e. densitas campuran dengan komponen hiperdens (panah hitam) dan membrane intrahematom (panah putih).

Gambaran perdarahan subdural kronik dibagi berdasarkan intensitasnya di MRI di

gambaran T1-weighted, yaitu hiperintens, hipointens dan intensitas campuran., seperti yang

terlihat pada gambar 4. Pada MRI, hematokrit, methemoglobin, dan kadar Fe3+ bebas adalah

tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya intensitas di T1-weighted. Perubahan

gambaran pada MRI sesuai dengan perubahan hematoma pada parenkim, dimana pada

perdarahan akut terlihat lesi hipointense pada gambaran T2 weighted, memperlihatkan

adanya deoxyhemoglobin. Selama beberapa minggu, semua gambaran akan memperlihatkan gambaran hiperintense sebagai hasil dari formasi methemoglobin, yang biasa terlihat pada perdarahan subdural subakut. Dan kemudian bekuan darah yang lama akan memberikan gambaran hipointense pada T1-weighted. Dan pada suntikan kontras, akan terlihat gambaran vaskular dan batas yang reaktif disekelilingnya. Pada minggu keempat, atau lebih, biasanya perdarahan subdural akan menjadi hipodens, hal ini merupakan ciri khas subdural higroma

kronik.7

Gambar 4. KarakteristikMRI. a. hipointens hematom b. Hiperintens hematom. c. intensitas campuran di frontoparietal dengan lokulasi dan membran. d. Intensitas campuran bilateral dengan level.

Rontgen schaedel dapat membantu menegakkan diagnosis, dengan ditemukannya kalsifikasi disekeliling perdarahan subdural kronik, kalsifikasi pineal atau adanya penemuan

garis fraktur. 7

Pemeriksaan EEG dapat dilakukan dan akan terlihat adanya abnormalitas bilateral, dengan turunnya voltage pada perdarahan dan voltage tinggi dengan gelombang lambat pada

sisi otak yang berlawanan.7

Pada pemeriksaan arteriogram dapat ditemukan cabang kortikal dari arteri serebri media terpisah dari permukaan dalam tengkorak, dan arteri serebral anterior dapat berpindah kesisi kontralateral.

Pada pemeriksaan cairan LCS dapat jernih dan aseluler namun lebih sering ditemukan berdarah atau berwarna xantochrom, hal ini tergantung dari ada atau tidaknya kontusio baik yang lama atau baru dan perdarahan subarachnoid. Tekanan dapat normal atau meningkat. Cairan xantochrom dengan protein yang rendah dapat menimbulkan kecurigaan kearah

perdarahan subdural kronis.7

TATALAKSANA

Operasi drainase dikenal sebagai tatalaksana yang efektif pada perdarahan subdural kronik. Drainase dapat dilakukan melalui kraniotomi, burr hole craniotomy, dimana menurut

Weigner dkk, syarat dilakukannya burr hole craniotomy adalah diameter perdarahan 5 – 30

(8)

mm.6 Sedangkan menurut Markwalder indikasi dilakukannya kraniotomi adalah ketika perdarahan subdural kembali terakumulasi, adanya perdarahan yang solid dan tidak hilangnya

ruangan subdural akibat gagalnya otak untuk mengembang kembali. 13 Dan menurut

konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal indikasi dilakukannya operasi pada perdarahan subdural, adalah perdarahan subdural luas dengan volume > 40 cc/ > 5 mm dengan GCS lebih dari 6, dan fungsi batang otak masih baik; perdarahan subdural dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang otak

masih baik.13

Williams dan kawan – kawan mengevaluasi 62 pasien dengan perdarahan subdural kronis yang dioperasi dengan burr hole drainage atau dengan twist drill craniostomy. Mereka

mengemukakan bahwa 64% pasien yang dilakukan twist drill memerlukan evakuasi ulang

jika dibandingkan dengan 11% hanya dengan burrholes dan 7% pada pasien yang dilakukan kombinasi antara burrholes dan drainase.

Beberapa penelitian telah dilakukan yang berhubungan dengan tatalaksana lain untuk perdarahan subdural kronik selain dengan operasi, yaitu dengan terapi medikamentosa, tetapi hal ini menurut beberapa laporan kasus menyebabkan pasien memerlukan perawatan di rumah sakit lebih lama, kurang lebih selama 3 minggu sampai 42 hari dan beberapa pasien akhirnya harus menjalani operasi.

Kombinasi beberapa tatalaksana seperti istirahat total, kortikosteroid, manitol dan cairan hipertonik lainnya telah dilakukan. Menurut Bender dan Christoff, sebanyak 185 pasien yang terdiagnosa perdarahan subdural kronis melalui pemeriksaan angiografi, 75 pasien diantaranya sukses diterapi dengan istirahat total, kortikosteroid, manitol atau kombinasi. Sedangkan 22 pasien lainnya tidak berhasil dengan pengobatan awal dan harus menjalani operasi dengan sebagian dalam keadaan koma dan didapatkan adanya tanda herniasi. Namun ada pebelitian yang dilakukan secara random dan prospektif yang menyatakan bahwa 46 pasien dengan perdarahan subdural kronik gagal untuk memperlihatkan adanya perbedaan antara pasien yang terus tidur selama 3 hari post operatif

dibandingkan dengan pasien yang dalam posisi duduk sebelum operasi.5

Pada tahun 2009 P.D Delgado Lopez, dan kawan – kawan melakukan penelitian mengenai dexamethason yang digunakan untuk terapi perdarahan sudural kronik. Dari 12 pasien, pasien dengan MGS (Markwalder Grading Scale) 1 – 2 mendapat protocol dexamethason dan pasien dengan MGS 3 – 4 mendapat protokol operasi. Yang dimaksud dengan protokol dexamethason, adalah 4 mg dexamethason diberikan tiap 8 jam baik oral maupun intravena, istirahat total, omeprazole 20 mg perhari, dan profilaksis untuk trombophlebitis baik dengan enoxaparin subkutan (20 – 40 mg/hari) dan/atau alat kompresi pneumatic untuk tungkai bawah. Status neurologis pasien diperiksa setiap hari dan keefektifan pemberian kortikosteroid di re-evaluasi setelah 48 – 72 jam. Pada pasien yang tidak mengalami penurunan MGS maka pada pasien ini direncakan untuk operasi dan sisanya

diizinkan untuk dipulangkan dan dexamethason di tapering off dengan menurunkan dosis 1

mg perhari selama tiga hari. Evaluasi klinis dan radiologis dilakukan 6 minggu kemudian.

Operasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan melakukan twist drill mini –

kroniostomi pada hemisfer yang terkena. Dengan jumlah pasien dengan MGS grade 1 sebanyak 33 pasien (27,1%), grade 2 sebanyak 62 pasien (50,8%), grade 3 sebanyak 19 pasien (15,6%) dan grade 4 sebanyak 8 (6,5%), dengan umur antara 25 – 97 tahun. Hasilnya adalah sebanyak 22 pasien yang awalnya menerima dexamethason menjalani operasi drain dan tiga pasien membutuhkan kraniotomi. Jadi jumlah pasien yang berhasil dengan dexamethason sebanyak 97 pasien dari 101 pasien (96%). Bahkan pada pasien yang pada

(9)

Walaupun kortikosteroid terbukti secara klinis tidak efektif untuk trauma kepala, namun obat ini telah digunakan untuk perdarahan subdural kronik berdasarkan cara kerjanya yang menghambat inflamasi yang muncul pada formasi hematoma. Glukokortikoid secara spesifik menghambat pembentukan dari neomembran dan neokapiler melalui dengan menginhibisi mediator inflamasi seperti limfokin dan prostaglandin dan menstimulus inhibitor inflamator seperti lipocortin. Glukokortikoid juga menginduksi sekresi dari

plasminogen inhibitor, suatu substansi yang mengurangi siklus rebleeding-lysis dari bekuan

darah, dan mengurangi ekspresi dari VEGF yang akan menginhibisi angiogenesis yang abnormal.

Dibawah ini diuraikan tentang penelitian yang dikeluarkan yang berhubungan dengan pengobatan kortikosteroid untuk perdarahan subdural

Tabel 3 Penelitian yang berhubungan dengan pengobatan kortikosteroid untuk perdarahan subdural kronik

(10)

PROGNOSIS

Perdarahan subdural dapat dibagi menurut Markwalder Grading Scale (MGS)

menjadi 5, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4 Markwalder Grading Scale (MGS)

Dikutip dari : Bernad Karnath, MD,subdural hematoma presentation and management in older adults. Geriatrics July 2004 Volume 59, Number 7

Mortalitas

Faktor – faktor yang mempengaruhi mortalitas adalah usia lanjut, GCS yang rendah dan penyakit penyerta yang lainnya seperti penyakit jantung dan ginjal. Pada tabel 3 terlihat bahwa pada pasien dengan umur kurang dari 60 tahun mempunyai angka kesembuhan yang cukup tinggi dan mempunyai angka kematian yang rendah, dan pada pasien yang berusia diatas 60 tahun mempunyai angka kematian yang cukup tinggi dibandingkan dengan usia

dibawah 60 tahun.15

Tabel 5. Perbandingan antara usia dengan Glasgow Outcome Scale

Dikutip dari : R. Ramachandran, T. Hegde. Chronic subdural hematomas-causes of morbidity and mortality.Surgical Neurology

67(2007),369

Rekurensi

Walaupun hematoma akan diserap, namun re-bleeding sering ditemui, hal ini

(11)

masih immature, walaupun banyak faktor lainnya yang berperan termasuk fibrinolisis yang

berlebihan.1

Tebalnya membran subdural pada CT scan dengan kontras merupakan salah satu faktor penyebab rekurensi pada SDH kronik. Faktor – faktor lainnya yang dapat menyebabkan rekurensi adalah pada waktu operasi dimana terjadi banyak manipulasi pada membran. Penggunaan subdural drain secara signifikan dapat mengurangi rekurensi. Hal ini

seperti yang tampak pada tabel 6.15

Tabel 6. Faktor – faktor yang memperngaruhi rekurensi

R. Dikutip dari : Ramachandran, T. Hegde. Chronic subdural hematomas-causes of morbidity and mortality.Surgical Neurology 67(2007),370

Hasil keluaran fungsional pada pasien perdarahan subdural kronik yang telah mendapatkan terapi secara umum, baik pada review kasus yang dilakukan pada 500 pasien, sebanyak 89% mengalami penyembuhan sempurna, 8% tidak memberikan adanya perubahan dan sebanyak 2% mengalami perburukan. Dan munculnya perdarahan terjadi pada 10%

pasien pada satu sampai delapan minggu setelah operasi.1

KESIMPULAN

1. Perdarahan subdural terjadi kurang lebih 5% dari semua trauma kepala Angka ini

dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya usia.

2. Mekanisme terjadinya perdarahan subdural kronik disebabkan oleh beberapa hal

diantaranya adalah atrofi otak, perbedaan gradient hiperosmotik dan adanya teori baru yang berhubungan dengan proses inflamasi.

3. Etiologi subdural hemorrhages adalah trauma pada 50-75% kasus, alkohol dengan

prevalensi orang muda 25% dan orang tua 4%, ruptur aneurisma (jarang), koagulasi, kista arakhnoid, tumor otak, dan pemasangan VP shunt.

4. Penurunan GCS lebih sering terjadi pada pasien muda (42%) dibandingkan dengan

usia tua (35%). Sakit kepala dan muntah merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien usia muda (P<0.001 dan P = 0.009), sementara defisit motorik dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada usia tua. Gejala lainnya yang sering muncul adalah gelisah, kejang, inkontinensia, gait dysfunction.

5. Gejala klinis yang paling sering muncul pada pasien SDH kronik dengan kista

arakhnoid adalah sakit kepala yang disertai dengan muntah, sedangkan gangguan berjalan dan hemiparese lebih dominan pada pasien SDH kronik tanpa kista arakhnoid.

6. CT scan, MRI, Rontgen schaedel, EEG, pemeriksaan LCS dan Arteriogram

merupakan alat bantu diagnosis untuk mendiagnosis perdarahan subdural kronik.

7. Kombinasi beberapa tatalaksana seperti istirahat total, kortikosteroid, manitol dan

(12)

8. Faktor – faktor yang mempengaruhi mortalitas adalah usia lanjut, GCS yang rendah

dan penyakit penyerta yang lainnya. Walaupun hematoma akan diserap, namun

re-bleeding sering ditemui, yang mungkin berasal dari pembuluh darah baru yang masih immature dan faktor lainnya seperti fibrinolisis yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Whitfield Peter C, Elfyn D. Thomas, Fiona Summers, dkk. Head injury a multidisciplinary approach.

Cambridge University Press 2009

2. Lopez P.D Delgado, V Martin Velasco, Castilla Diez, dkk. Dexamethason treatment in chronic

subdural haematoma. Neurocirugia. 2009, 20; 346 – 359

3. Po Chou Liliang, Yu-Duan Tsai, Cheng-Loong Liang, dkk. Chronic subdural haematoma in young and

extremely aged adults: a comparative study of two age groups. Injury, Int. J. Care Injured 33 (2002) 345 – 348

4. M. Gelabert-Gonz´alez et al.Chronic subdural haematoma in patient aged under 50.Clinical Neurology

and Neurosurgery 107 (2005) 225

5. Evans Randolph W, MD. Neurology and trauma. Second edition. Oxford. 2006

6. Santarius Thomas MD, PhD, Peter J. Kirkpatrick, FRSC (SN), FMedSci, dkk. Working toward rational

and evidence-based treatment of chronic subdural hematoma. Clinical Neurosurgery. Volume 57, 2010.

7. Ropper Allan H, Robert H Brown. Adams and Victor’s Principles of neurology. Eight edition.

McGraw-Hill. 2005

8. Mori Kentaro, Takuji Yamamoto, Naoki Horinaka, dkk. Arachnoid Cyst Is a Risk for Chronic Subdural

Hematoma in Juveniles: Twelve Cases of Chronic Subdural Hematoma Associated with Arachnoid Cyst. Journal of Nrurotrauma. Volume 19, No 9. 2002

9. McBride William,MD, David G Brock, MD, Jose Biller MD. Subdural Hematoma in adults: etiology,

clinical features and diagnosis diunduh dari www.uptodate.com pada tanggal 10 Mei 2011

10. Subdural hematoma in adults: Prognosis and management diunduh dari www.uptodate.com pada

tanggal 10 Mei 2011

11. Wada Tsukasa, Kiyoshi Kuroda, Yuki Yoshida, dkk. Local elevation of anti-inflammatory

interleukin-10 in the pathogenesis of chronic subdural hematoma. Neurosurgery Rev. Volume 29; 242-24

12. Senturk senem, Aslan Guzel, Liker Takmaz, dkk. CT and MR Imaging of Chronic Subdural

Haematomas: a comparative study. Swiss Medical weakly. 2010. 140(23 – 24); 335 – 340

13. Gonzales Miguel Gelabert, Miguel Iglesias Pais, Alfredo Garcia Allut, dkk. Chronic subdural

haematoma: surgical treatment and outcome in 1000 cases. Clinical Neurology and neurosurgery 107. 2005. 223 – 229

14. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006

15. Mori K, Maeda M: Surgical treatment of chronic subdural hematoma in 500 consecutive cases: Clinical

characteristics, surgical outcome, complications, and recurrence rate. Neurol Med-Chir 41:371–381, 2001.

Gambar

Tabel 1. Gejala dan tanda klinis pada 75 pasien dengan SDH kronik
Tabel 2. Gambaran gejala klinis pada 1000 pasien dengan SDH kronik
Gambar 3. Pola densitas dari CT scan. a. subdural hematoma dengan densitas hipodens. b
Tabel 3 Penelitian yang berhubungan dengan pengobatan kortikosteroid untuk     perdarahan subdural kronik
+3

Referensi

Dokumen terkait

Temuan ini juga memberikan indikasi bahwa (a) kedelapan dimensi kinerja akan dapat membentuk kinerja individual pegawai karena pegawai memiliki dan memenuhi kedelapan

Hasil tangkapan menunjukkan 12 jenis ikan yang medominasi selama alat ini beroperasi dari tahun 2011–2013 adalah peperek (Leiognathus splendens) sebesar 28 % dan dari 12 jenis

$angguan sensasi pada wajah ,subjektif maupun objektif sering ditemukan. itemukannya trigeminal neuralgia pada dewasa muda mungkin merupakan gejala awal dari

Skripsi yang berjudul “Peran Ibu Dalam Pendidikan Ibadah (Studi Kasus Keluarga Petani Desa TInggiran Baru Kecamatan Mekarsari Kabupaten Barito Kuala).”, ditulis

ADLN - Perpustakaan Universitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat resiliensi yang dimiliki anggota Polisi di Polres Sumenep, untuk mengetahui seberapa besar

hal yang harus kita ketahui dan kita laksanakan dalam kaitannya untuk bersikap dan berperilaku baik, sehinga apabila kita pelajari secara keseluruhan kadang kala

Berbicara kemaslahatan mengenai waris beda agama dapat memberikan daya tarik terhadap kafir zimmi untuk masuk Islam tanpa ada rasa takut karena memikir harta