BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Nasionalisme pada dasarnya menitikberatkan pada semangat, perasaan cinta
kepada bangsa dan tanah air yang muncul karena adanya persamaan sikap dan
tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Seperti yang kita ketahui
bersama, bahwa Indonesia terdiri dari aneka ragam suku bangsa, ras, agama, dan
golongan sosial-ekonomi, maka nasionalisme itu sendiri ada ketika muncul
keinginan untuk menyatukan keanekaragaman tersebut. Semangat nasionalisme
diwujudkan oleh para pemuda tahun 1928 dalam sumpah yang menyatukan satu
tekad bahwa mereka mencintai tanah airnya yaitu Indonesia, sumpah tersebut
dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Pada masa perjuangan merebut
kemerdekaan, para pemuda dengan suka rela mengorbankan semua yang
dimilikinya untuk bertempur melawan penjajah hingga terlontar satu motto yang
menggelora dalam hatinya yaitu “Merdeka atau Mati”. Moto dapat memberikan
semangat untuk berjuang membela Indonesia.
Berbeda dengan pemuda yang hidup pada masa perjuangan, generasi muda
ketika ditanya mengenai sikap nasionalisme maka yang ada dalam pikiran mereka
bukan lagi hal yang berkaitan dengan berperang melawan penjajah untuk
mempertahankan wilayah Indonesia, melainkan lebih kepada bagaimana sikap
yang tepat untuk menghadapi permasalahan kemiskinan, kebodohan, korupsi,
ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan yang lainnya. Hal tersebut dapat dilihat
dari hasil pernyataan para generasi muda pada tahun 2007 di salah satu media
massa (Darmawan dan Momon Sudarma, 2011:1) saat diminta mengungkapkan
pendapatnya mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai sikap
nasionalisme. Jawaban yang diberikan oleh generasi muda pun cukup bervariasi,
ada yang menjawab bahwa sikap nasionalisme itu ditunjukkan dengan tidak
korupsi (jujur), membantu orang miskin, membela rakyat (tidak mementingkan
partai/golongan), dan ada juga yang menjawab bahwa sikap nasionalisme itu
dapat ditunjukkan dengan belajar rajin di sekolah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Achdian (2010) mengemukakan bahwa
“tantangan internal seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kepentingan
golongan, dan lainnya dapat mempengaruhi kadar nasionalisme yang sudah
terbentuk sebelumnya”. Fenomena yang kerap lekat dengan keadaan generasi
muda khususnya para peserta didik sekolah menengah saat ini adalah sudah tidak
lagi menampakkan sikap nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Contohnya, di sekolah para peserta didik menganggap bahwa menyontek
merupakan hal biasa yang tidak akan merugikan bangsa ke depannya, namun
sesungghnya tanpa mereka sadari bahwa dengan menyontek kita sudah
membiasakan diri untuk bersikap tidak jujur, dan ketika generasi muda yang kelak
akan menjadi penerus bangsa sudah terbiasa untuk tidak jujur, maka tidak tertutup
kemungkinan kedepannya justru tindakan korupsi akan semakin parah.
Hal lain yang kini terlihat yaitu gaya hidup generasi muda saat ini seperti
digeluti, serta musik yang disenangi lebih cenderung mengarah ke Barat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Darmawan dan Momon Sudarma (2011:9)
bahwa “selera makan, musik, hingga gaya berpakaian generasi muda Indonesia
sudah american minded”. Tidak salah jika generasi muda ingin mempelajari
budaya negara-negara lain, karena hal tersebut dapat memberikan pengetahuan
tersendiri kepada mereka, namun kenyataan yang ada pada generasi muda
Indonesia cenderung tidak menggunakan filter agama untuk memandang baik
buruk budaya tersebut, mereka beranggapan bahwa jika dapat mengikuti budaya
barat berarti mereka telah menjadi generasi modern.
Kenyataan lainnya yaitu generasi muda saat ini dianggap sudah tidak lagi
hirau terhadap bahasa Indonesia, seni, budaya, dan juga nilai-nilai lokal yang ada
di lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut
merupakan konsekuensi dari derasnya arus globalisasi yang masuk kedalam
negara kita, dan bukan hal yang salah ketika generasi muda mempelajari bahasa
asing. Darmawan dan Momon Sudarma (2011:1) menyatakan bahwa “dalam
konteks globalisasi, belajar dan menguasai bahasa asing adalah salah satu peluang
bagi seseorang untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dirinya”. Namun
fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, mempelajari bahasa asing
bukan hanya untuk meningkatkan kualitas diri mereka, namun lebih cenderung
kepada gengsi. Achdian (2010) memaparkan bahwa “banyak generasi muda yang
lebih suka dan bangga menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul untuk
berkomunikasi sehari-hari daripada menggunakan bahasa Indonesia”. Begitupun
“generasi muda saat ini lebih menyukai pakaian-pakaian import daripada buatan
dalam negeri dengan alasan lebih bagus kualitas dan gayanya”. Mereka tidak
menyadari bahwa bahan baku pembuatan pakaian tersebut berasal dari Indonesia
yang dieksport ke luar negeri, hal tersebut berarti sebenarnya generasi muda
tersebut tetap menggunakan produk dalam negeri.
Dalam hal ini lingkungan sosial (keluarga, sekolah, masyarakat) berupaya
menanamkan semangat kebangsaan kepada generasi muda secara menyeluruh,
bukan hanya mengaku sebagai orang Indonesia, namun dapat menunjukkan sikap
cinta dan bangga terhadap bangsanya melalui cara yang sesuai dengan kebutuhan
zamannya saat ini. Baik orangtua, guru, maupun masyarakat diharapkan dapat
memberikan contoh kongkrit hingga akhirnya tertanam dalam diri generasi muda
bagaimana sikap kebangsaan yang sebenarnya. Sikap nasionalisme masa kini
tentu saja tidak sama dengan masa di mana Indonesia masih dijajah. Wiriaatmadja
(2011:7) menjelaskan bahwa “generasi yang mewarisi karakter pejuang bukan
hanya yang berperang melawan penjajah, tetapi berjuang melawan musuh-musuh
zamannya seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidakpedulian”, sama halnya
dengan yang dikemukakan oleh Raptor (2009) bahwa:
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan rasa cinta terhadap tanah air. Seperti belajar dengan baik dalam menggapai cita-cita untuk mengisi kemerdekaan, atau menunjukkan sikap peduli pada negara dengan tidak acuh pada sekitar, menjaga dan memelihara alam semesta, serta menjaga kekayaan bangsa yang telah sekian lama diperjuangkan dan dibangun oleh para pendahulu kita (para pejuang).
Orangtua, guru, dan masyarakat setidak-tidaknya dapat menanamkan
belajar yang tinggi hingga akhirnya dapat menggunakan ilmu mereka kelak untuk
mencerdaskan generasi selanjutnya dibarengi dengan menanamkan nilai-nilai
kejujuran, toleransi, disiplin, dan mementingkan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadi, serta menghargai orang lain. Wiriaatmadja (2011:6)
menyimpulkan bahwa “semangat patriotisme peserta didik bukanlah
mengacungkan kepalan tinju ke udara, melainkan yang mampu menunjukkan
sikap-sikap positif seperti jujur, toleran dan empathy”. Sehingga jelaslah tidak
cukup hanya dengan mengikuti acara-acara seremonial seperti peringatan
kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus saja yang dilakukan tanpa
makna yang mendalam setiap tahunnya.
Fenomena yang terjadi selama ini di lingkungan sekolah (khususnya SMA
di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau), guru pada pembelajaran sejarah
hanya memikirkan bagaimana materi-materi yang telah ditetapkan dalam
kurikulum dapat terselesaikan. Sehingga , dalam pembelajaran di kelas guru
cenderung berorientasi pada penyampaian materi pelajaran dan hanya ditekankan
pada kemampuan kognitif peserta didik saja, sehingga proses belajar mengajar
cenderung bersifat monoton serta tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari. Bagaimana tidak, pembelajaran sejarah yang
terjadi di dalam kelas tidak terlepas dari kegiatan mencatat dan menghafal isi
buku yang digunakan sebagai sumber pembelajaran tersebut. Akibatnya, setelah
keluar dari kelas maka pelajaran itu hanya akan tersimpan dalam buku catatan dan
mereka tidak dapat berbuat banyak untuk kehidupan mereka dari pelajaran yang
Uraian di atas didukung oleh data hasil try out yang dilakukan oleh Arifin
Nasir selaku Kepala Dinas Provinsi Kepulauan Riau di awal tahun 2011 untuk
mengetahui kemampuan berpikir peserta didik (http://www.kompas.com) yang
kemudian dianalisis oleh peneliti menggunakan Taksonomi SOLO (Structure of
Observed Learning Outcomes) dari Rmit dan Atherton, JS (2005). Hasilnya
menunjukkan dari 1099 orang peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau, sebanyak 50% peserta didik ada pada tahap pre-structural,
dimana pada tahap tersebut peserta didik hanya memiliki sedikit informasi yang
bahkan tidak saling berhubungan sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan
konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun. Tahap ke-dua yaitu
uni-structural, sebanyak 37,5 % peserta didik sudah dapat menghubungkan satu
konsep dengan konsep lainnya walaupun hubungan tersebut masih sederhana dan
inti konsep belum dipahami. Tahap multi-structural, sebanyak 12,5 % peserta
didik sudah dapat memahami beberapa komponen konsep, namun masih bersifat
terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman yang
komprehensif. Pada tahap relational dan tahap extended-abstrac tidak ada
pesertadidik yang dapat mencapainya. Dimana pada tahap relational peserta didik
dapat menghubungkan antara fakta dengan teori, tindakan dengan tujuan, serta
dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.
Sehingga tahap extended-abstract yaitu dimana peserta didik melakukan koneksi,
tidak hanya pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan
konsep-konsep di luar itu dan dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan
bahwa peserta didik belum mampu mengaplikasikan teori yang diperoleh dari
sekolah ke dalam perbuatan atau sikap kongkrit pada kehidupan sehari-harinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
menganggap bahwa sejarah merupakan pelajaran hafalan yang sangat
membosankan, dimana isinya tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan
peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal
ujian. Anggara (2007:101) mengemukakan bahwa “pembelajaran sejarah seperti
itu dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominan group seperti rezim yang
berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lainnya sehingga
mengabaikan peran peserta didik sebagai pelaku sejarah zamannya”.
Jika pembelajaran sejarah di sekolah terus demikian, maka tujuan
pembelajaran sejarah tidak akan pernah terpenuhi. Hasan (2008:1)
mengemukakan bahwa “tujuan pendidikan sejarah yaitu untuk mengembangkan
potensi berpikir kronologis dan kritis analitis peserta didik serta dapat memahami
sejarah dengan baik dan benar”. Dijelaskan lebih lanjut oleh Departemen
Pendidikan Nasional (2003:6) mengenai tujuan pembelajaran sejarah di SMA,
yaitu:
Pembelajaran sejarah di SMA diharapkan dapat mendorong peserta didik berpikir kritis analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan masa yang akan datang; memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari; dan dapat mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan di masyarakat.
Berdasarkan tujuan pembelajaran yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik
memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, analisis,
sikap serta perilaku yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman sejarah
dengan menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya serta mampu
membuat keputusan dan mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman
tersebut yang kemudian dijadikan tolak ukur dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku. Dalam kesempatan lain, Hasan (1997:140) mengemukakan
bahwa:
Sesuai dengan fungsi institusional, peserta didik SMA dapat diarahkan pada kemampuan berpikir kritis, analitis, dan keterampilan prosesual yang didasarkan pada disiplin ilmu sejarah. Mereka mulai dapat diperkenalkan dengan berbagai cara kerja, cara analisis dan juga wawasan keilmuan sejarah. Ini dirasakan sebagai suatu kebutuhan untuk mempersiapkan mereka memasuki pendidikan yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Dalam jenjang pendidikan tersebut, tujuan utama pendidikan sejarah bukan lagi menambah keluasan pengetahuan tentang berbagai peristiwa yang terjadi melainkan mendalami peristiwa tersebut.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah yang diharapkan, tidaklah
cukup jika proses belajar mengajar hanya menekankan pada kemampuan kognitif
peserta didik saja, namun diperlukan pembelajaran yang dapat menyiapkan
peserta didik untuk mampu terlibat dan memberikan kontribusi yang berarti
kepada masyarakat. NCSS merekomendasikan untuk pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial abad ke-21 menekankan pada isi IPS itu sendiri serta tidak
memaknai IPS sebagai pengetahuan yang hanya diterima dan dihafalkan, namun
dieksplorasi dan diaktualisasikan di dalam kehidupan bermasyarakat peserta didik.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Saidiharjo (2004:31-32)
Rasional pembelajaran ilmu pengetahuan sosial pada pendidikan dasar dan menengah ditekankan agar peserta didik dapat mensistematiskan bahan, informasi, atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya agar menjadi lebih bermakna, lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab serta meningkatkan rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungannya sendiri dan antar manusia.
Untuk dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang lebih peka dan
tanggap terhadap permasalahan sosial secara rasional dan bertanggung jawab serta
meningkatkan rasa toleransi mereka terhadap orang lain seperti yang disebutkan
pada penjelasan di atas, maka peserta didik perlu dibiasakan dengan
masalah-masalah konkrit yang ada di lingkungan sosial mereka. Bukan berarti harus
membawa para peserta didik untuk belajar ke tengah-tengah masyarakat, namun
bisa dengan cara membawa permasalahan-permasalahan yang terjadi di
lingkungan sosial sekitar peserta didik ke dalam kelas, yaitu dengan menjadikan
lingkungan sosial (keluarga, sekolah dan masyarakat) sebagai sumber
pembelajaran di dalam kelas dengan harapan lingkungan sosial tersebut dapat
membentuk sikap peserta didik seperti apa yang menjadi tujuan ideal
pembelajaran, dan sebagai seorang pendidik, orang tua, masyarakat, seluruh guru
pada umumnya dan guru sejarah pada khususnya harus mampu membangun rasa
“sense of belonging” peserta didik terhadap tanah air, merasakan diri sebagai
bagian dari tanah air, rasa kepedulian terhadap masa depan negerinya,
membangun solidarity, collective consciousness, semangat bersatu, solidaritas,
Berdasarkan permasalahan yang ada serta asumsi yang dibuat, maka judul
penelitian yang diambil yaitu “Kontribusi Lingkungan Sosial sebagai Sumber
Pembelajaran Sejarah terhadap Pembentukan Sikap Nasionalisme Peserta didik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, fokus masalah
yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi lingkungan sosial
terhadap sikap nasionalisme peserta didik. Dari fokus masalah tersebut,
dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun
rumusan masalah yang dimaksud antara lain:
1. Bagaimanakah kontribusi lingkungan keluarga sebagai sumber
pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta
didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?
2. Bagaimanakah kontribusi lingkungan sekolah sebagai sumber
pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta
didik SMA di kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?
3. Bagaimanakah kontribusi lingkungan masyarakat sebagai sumber
pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta
didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?
4. Bagaimanakah pengaruh kontribusi lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan masyarakat, secara bersama-sama terhadap sikap
nasionalisme peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui
bagaimana kontribusi lingkungan sosial sebagai sumber pembelajaran sejarah
terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta didik. Adapun tujuan khusus
yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan keluarga sebagai
sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
2. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan sekolah sebagai
sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
3. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan masyarakat sebagai
sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
4. Untuk mengetahui pengaruh kontribusi lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan masyarakat, secara bersama-sama terhadap sikap
nasionalisme peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini bersifat teoritis dan praktis.
Adapun manfaat-manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pada dunia pendidikan, khususnya mengenai keragaman/variasi sumber
pembelajaran. Selain itu diharapkan juga dapat dimanfaatkan sebagai
landasan awal bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis berikutnya.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
efektifitas pembelajaran dengan melibatkan guru dan peserta didik secara
bersama-sama untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Guru memiliki
informasi tambahan mengenai variasi sumber pembelajaran, sedangkan
peserta didik memiliki pengalaman yang menarik dalam kegiatan belajar
mengajar, dimana pembelajaran tersebut bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik menghadapi masalah-masalah yang kemungkinan sedang dan
atau akan dihadapinya khususnya masalah semakin terkikisnya sikap
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang diambil oleh peneliti
mengenai rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, dimana dugaan
tersebut diambil berdasarkan teori-teori yang ada. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Sugiyono (2007:96) bahwa “hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Hipotesis dikatakan sebagai
dugaan atau jawaban sementara karena jawaban yang diberikan hanya didasarkan
pada teori yang relevan saja, namun belum dibuktikan oleh fakta-fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data sehingga jawaban-jawaban tersebut
belum menjadi jawaban yang empiris. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas penulis
mengajukan beberapa hipotesis yang sesuai dengan rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut:
1) Lingkungan keluarga sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat
memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
2) Lingkungan sekolah sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat
memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
3) Lingkungan masyarakat sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat
memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme
4) Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, secara
bersama-sama memberikan kontribusi berarti terhadap sikap nasionalisme
peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau
F. Kerangka Pemikiran
Sikap nasionalisme peserta didik seperti yang dipaparkan sebelumnya di
mana bentuknya bukan lagi bersatu untuk berjuang melawan penjajah seperti yang
dilakukan oleh para pejuang terdahulu, namun berjuang melawan penjajah di era
millenium ketiga ini perlu dilakukan dengan cara menanamkan sikap-sikap seperti
kejujuran, disiplin, toleran, peduli dan menghargai orang lain, tidak mudah putus
asa (bermental positif), bertanggung jawab, percaya diri, produktif, kreatif, cerdas,
mandiri, menjaga dan memelihara lingkungan, memperhatikan norma dan nilai
yang berlaku dalam masyarakat serta menjadikan agama sebagai landasan dalam
berpikir serta filter dalam melakukan segala sesuatu.
Sikap yang disebutkan di atas, akan lebih mudah diterima dan diterapkan
oleh peserta didik jika mereka melihat contoh kongkrit dari orang-orang yang
berada di sekitar mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Baron dan Donn
Byrne (2003:123) bahwa “salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk
sikap kita adalah mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses
pembelajaran sosial”. Dengan kata lain, sikap dan pandangan kita terhadap
sesuatu terbentuk ketika kita berinteraksi dengan orang lain, sehingga keadaan,
terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta didik karena lingkungan sosial
merupakan tempat peserta didik berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya.
Williams, Harkins, dan Karau (2003) dalam Taylor, Letitia A. P, dan David
O. S (2009:365) menjelaskan bahwa “kehadiran orang lain terkadang memperkuat
dan terkadang menghambat kinerja atau prestasi individu”. Jika dikaitkan dengan
sikap nasionalisme peserta didik, maka pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa
sikap dan perilaku orang-orang yang berada di lingkungan sosial peserta didik
yang memperlihatkan rasa cinta terhadap tanah air yang tinggi maka akan
memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap nasionalisme peserta didik,
begitupun sebaliknya. Berikut kerangka pemikiran yang digambarkan melalui
bagan, dimana pemetaannya dilandasi oleh asumsi yang terbentuk dari teori-teori
LINGKUNGAN KELUARGA
Penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (bergaul, berpakaian)
Pola asuh atau cara didik orang tua
Pola hidup anggota keluarga
Penanaman nilai-nilai/adab/ tata krama/ etika (dalam berinteraksi dengan orang tua, teman sebaya, dan anggota masyarakat lainnya)
Hubungan orang tua dengan anak
Hubungan anak dengan anggota
Sikap guru terhadap peserta didik
Sikap peserta didik terhadap guru
Nilai-nilai keagamaan yang tertanam dalam masyarakat
Norma yang berlaku dalam masyarakat
Sikap dan gaya hidup anggota masyarakat
Hubungan peserta didik dengan anggota masyarakat (mampu
Peduli terhadap orang lain
Memiliki motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu
Peduli atau ramah terhadap lingkungan