• Tidak ada hasil yang ditemukan

t ips 0907655 chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "t ips 0907655 chapter1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Nasionalisme pada dasarnya menitikberatkan pada semangat, perasaan cinta

kepada bangsa dan tanah air yang muncul karena adanya persamaan sikap dan

tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Seperti yang kita ketahui

bersama, bahwa Indonesia terdiri dari aneka ragam suku bangsa, ras, agama, dan

golongan sosial-ekonomi, maka nasionalisme itu sendiri ada ketika muncul

keinginan untuk menyatukan keanekaragaman tersebut. Semangat nasionalisme

diwujudkan oleh para pemuda tahun 1928 dalam sumpah yang menyatukan satu

tekad bahwa mereka mencintai tanah airnya yaitu Indonesia, sumpah tersebut

dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Pada masa perjuangan merebut

kemerdekaan, para pemuda dengan suka rela mengorbankan semua yang

dimilikinya untuk bertempur melawan penjajah hingga terlontar satu motto yang

menggelora dalam hatinya yaitu “Merdeka atau Mati”. Moto dapat memberikan

semangat untuk berjuang membela Indonesia.

Berbeda dengan pemuda yang hidup pada masa perjuangan, generasi muda

ketika ditanya mengenai sikap nasionalisme maka yang ada dalam pikiran mereka

bukan lagi hal yang berkaitan dengan berperang melawan penjajah untuk

mempertahankan wilayah Indonesia, melainkan lebih kepada bagaimana sikap

yang tepat untuk menghadapi permasalahan kemiskinan, kebodohan, korupsi,

(2)

ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan yang lainnya. Hal tersebut dapat dilihat

dari hasil pernyataan para generasi muda pada tahun 2007 di salah satu media

massa (Darmawan dan Momon Sudarma, 2011:1) saat diminta mengungkapkan

pendapatnya mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai sikap

nasionalisme. Jawaban yang diberikan oleh generasi muda pun cukup bervariasi,

ada yang menjawab bahwa sikap nasionalisme itu ditunjukkan dengan tidak

korupsi (jujur), membantu orang miskin, membela rakyat (tidak mementingkan

partai/golongan), dan ada juga yang menjawab bahwa sikap nasionalisme itu

dapat ditunjukkan dengan belajar rajin di sekolah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Achdian (2010) mengemukakan bahwa

“tantangan internal seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kepentingan

golongan, dan lainnya dapat mempengaruhi kadar nasionalisme yang sudah

terbentuk sebelumnya”. Fenomena yang kerap lekat dengan keadaan generasi

muda khususnya para peserta didik sekolah menengah saat ini adalah sudah tidak

lagi menampakkan sikap nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Contohnya, di sekolah para peserta didik menganggap bahwa menyontek

merupakan hal biasa yang tidak akan merugikan bangsa ke depannya, namun

sesungghnya tanpa mereka sadari bahwa dengan menyontek kita sudah

membiasakan diri untuk bersikap tidak jujur, dan ketika generasi muda yang kelak

akan menjadi penerus bangsa sudah terbiasa untuk tidak jujur, maka tidak tertutup

kemungkinan kedepannya justru tindakan korupsi akan semakin parah.

Hal lain yang kini terlihat yaitu gaya hidup generasi muda saat ini seperti

(3)

digeluti, serta musik yang disenangi lebih cenderung mengarah ke Barat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Darmawan dan Momon Sudarma (2011:9)

bahwa “selera makan, musik, hingga gaya berpakaian generasi muda Indonesia

sudah american minded”. Tidak salah jika generasi muda ingin mempelajari

budaya negara-negara lain, karena hal tersebut dapat memberikan pengetahuan

tersendiri kepada mereka, namun kenyataan yang ada pada generasi muda

Indonesia cenderung tidak menggunakan filter agama untuk memandang baik

buruk budaya tersebut, mereka beranggapan bahwa jika dapat mengikuti budaya

barat berarti mereka telah menjadi generasi modern.

Kenyataan lainnya yaitu generasi muda saat ini dianggap sudah tidak lagi

hirau terhadap bahasa Indonesia, seni, budaya, dan juga nilai-nilai lokal yang ada

di lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut

merupakan konsekuensi dari derasnya arus globalisasi yang masuk kedalam

negara kita, dan bukan hal yang salah ketika generasi muda mempelajari bahasa

asing. Darmawan dan Momon Sudarma (2011:1) menyatakan bahwa “dalam

konteks globalisasi, belajar dan menguasai bahasa asing adalah salah satu peluang

bagi seseorang untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dirinya”. Namun

fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, mempelajari bahasa asing

bukan hanya untuk meningkatkan kualitas diri mereka, namun lebih cenderung

kepada gengsi. Achdian (2010) memaparkan bahwa “banyak generasi muda yang

lebih suka dan bangga menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul untuk

berkomunikasi sehari-hari daripada menggunakan bahasa Indonesia”. Begitupun

(4)

“generasi muda saat ini lebih menyukai pakaian-pakaian import daripada buatan

dalam negeri dengan alasan lebih bagus kualitas dan gayanya”. Mereka tidak

menyadari bahwa bahan baku pembuatan pakaian tersebut berasal dari Indonesia

yang dieksport ke luar negeri, hal tersebut berarti sebenarnya generasi muda

tersebut tetap menggunakan produk dalam negeri.

Dalam hal ini lingkungan sosial (keluarga, sekolah, masyarakat) berupaya

menanamkan semangat kebangsaan kepada generasi muda secara menyeluruh,

bukan hanya mengaku sebagai orang Indonesia, namun dapat menunjukkan sikap

cinta dan bangga terhadap bangsanya melalui cara yang sesuai dengan kebutuhan

zamannya saat ini. Baik orangtua, guru, maupun masyarakat diharapkan dapat

memberikan contoh kongkrit hingga akhirnya tertanam dalam diri generasi muda

bagaimana sikap kebangsaan yang sebenarnya. Sikap nasionalisme masa kini

tentu saja tidak sama dengan masa di mana Indonesia masih dijajah. Wiriaatmadja

(2011:7) menjelaskan bahwa “generasi yang mewarisi karakter pejuang bukan

hanya yang berperang melawan penjajah, tetapi berjuang melawan musuh-musuh

zamannya seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidakpedulian”, sama halnya

dengan yang dikemukakan oleh Raptor (2009) bahwa:

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan rasa cinta terhadap tanah air. Seperti belajar dengan baik dalam menggapai cita-cita untuk mengisi kemerdekaan, atau menunjukkan sikap peduli pada negara dengan tidak acuh pada sekitar, menjaga dan memelihara alam semesta, serta menjaga kekayaan bangsa yang telah sekian lama diperjuangkan dan dibangun oleh para pendahulu kita (para pejuang).

Orangtua, guru, dan masyarakat setidak-tidaknya dapat menanamkan

(5)

belajar yang tinggi hingga akhirnya dapat menggunakan ilmu mereka kelak untuk

mencerdaskan generasi selanjutnya dibarengi dengan menanamkan nilai-nilai

kejujuran, toleransi, disiplin, dan mementingkan kepentingan bersama daripada

kepentingan pribadi, serta menghargai orang lain. Wiriaatmadja (2011:6)

menyimpulkan bahwa “semangat patriotisme peserta didik bukanlah

mengacungkan kepalan tinju ke udara, melainkan yang mampu menunjukkan

sikap-sikap positif seperti jujur, toleran dan empathy”. Sehingga jelaslah tidak

cukup hanya dengan mengikuti acara-acara seremonial seperti peringatan

kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus saja yang dilakukan tanpa

makna yang mendalam setiap tahunnya.

Fenomena yang terjadi selama ini di lingkungan sekolah (khususnya SMA

di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau), guru pada pembelajaran sejarah

hanya memikirkan bagaimana materi-materi yang telah ditetapkan dalam

kurikulum dapat terselesaikan. Sehingga , dalam pembelajaran di kelas guru

cenderung berorientasi pada penyampaian materi pelajaran dan hanya ditekankan

pada kemampuan kognitif peserta didik saja, sehingga proses belajar mengajar

cenderung bersifat monoton serta tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam

kehidupan peserta didik sehari-hari. Bagaimana tidak, pembelajaran sejarah yang

terjadi di dalam kelas tidak terlepas dari kegiatan mencatat dan menghafal isi

buku yang digunakan sebagai sumber pembelajaran tersebut. Akibatnya, setelah

keluar dari kelas maka pelajaran itu hanya akan tersimpan dalam buku catatan dan

mereka tidak dapat berbuat banyak untuk kehidupan mereka dari pelajaran yang

(6)

Uraian di atas didukung oleh data hasil try out yang dilakukan oleh Arifin

Nasir selaku Kepala Dinas Provinsi Kepulauan Riau di awal tahun 2011 untuk

mengetahui kemampuan berpikir peserta didik (http://www.kompas.com) yang

kemudian dianalisis oleh peneliti menggunakan Taksonomi SOLO (Structure of

Observed Learning Outcomes) dari Rmit dan Atherton, JS (2005). Hasilnya

menunjukkan dari 1099 orang peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau, sebanyak 50% peserta didik ada pada tahap pre-structural,

dimana pada tahap tersebut peserta didik hanya memiliki sedikit informasi yang

bahkan tidak saling berhubungan sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan

konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun. Tahap ke-dua yaitu

uni-structural, sebanyak 37,5 % peserta didik sudah dapat menghubungkan satu

konsep dengan konsep lainnya walaupun hubungan tersebut masih sederhana dan

inti konsep belum dipahami. Tahap multi-structural, sebanyak 12,5 % peserta

didik sudah dapat memahami beberapa komponen konsep, namun masih bersifat

terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman yang

komprehensif. Pada tahap relational dan tahap extended-abstrac tidak ada

pesertadidik yang dapat mencapainya. Dimana pada tahap relational peserta didik

dapat menghubungkan antara fakta dengan teori, tindakan dengan tujuan, serta

dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.

Sehingga tahap extended-abstract yaitu dimana peserta didik melakukan koneksi,

tidak hanya pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan

konsep-konsep di luar itu dan dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan

(7)

bahwa peserta didik belum mampu mengaplikasikan teori yang diperoleh dari

sekolah ke dalam perbuatan atau sikap kongkrit pada kehidupan sehari-harinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia

menganggap bahwa sejarah merupakan pelajaran hafalan yang sangat

membosankan, dimana isinya tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan

peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal

ujian. Anggara (2007:101) mengemukakan bahwa “pembelajaran sejarah seperti

itu dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominan group seperti rezim yang

berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lainnya sehingga

mengabaikan peran peserta didik sebagai pelaku sejarah zamannya”.

Jika pembelajaran sejarah di sekolah terus demikian, maka tujuan

pembelajaran sejarah tidak akan pernah terpenuhi. Hasan (2008:1)

mengemukakan bahwa “tujuan pendidikan sejarah yaitu untuk mengembangkan

potensi berpikir kronologis dan kritis analitis peserta didik serta dapat memahami

sejarah dengan baik dan benar”. Dijelaskan lebih lanjut oleh Departemen

Pendidikan Nasional (2003:6) mengenai tujuan pembelajaran sejarah di SMA,

yaitu:

Pembelajaran sejarah di SMA diharapkan dapat mendorong peserta didik berpikir kritis analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan masa yang akan datang; memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari; dan dapat mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan di masyarakat.

Berdasarkan tujuan pembelajaran yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik

(8)

memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, analisis,

sikap serta perilaku yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman sejarah

dengan menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya serta mampu

membuat keputusan dan mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman

tersebut yang kemudian dijadikan tolak ukur dalam berpikir, bersikap dan

bertingkah laku. Dalam kesempatan lain, Hasan (1997:140) mengemukakan

bahwa:

Sesuai dengan fungsi institusional, peserta didik SMA dapat diarahkan pada kemampuan berpikir kritis, analitis, dan keterampilan prosesual yang didasarkan pada disiplin ilmu sejarah. Mereka mulai dapat diperkenalkan dengan berbagai cara kerja, cara analisis dan juga wawasan keilmuan sejarah. Ini dirasakan sebagai suatu kebutuhan untuk mempersiapkan mereka memasuki pendidikan yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Dalam jenjang pendidikan tersebut, tujuan utama pendidikan sejarah bukan lagi menambah keluasan pengetahuan tentang berbagai peristiwa yang terjadi melainkan mendalami peristiwa tersebut.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah yang diharapkan, tidaklah

cukup jika proses belajar mengajar hanya menekankan pada kemampuan kognitif

peserta didik saja, namun diperlukan pembelajaran yang dapat menyiapkan

peserta didik untuk mampu terlibat dan memberikan kontribusi yang berarti

kepada masyarakat. NCSS merekomendasikan untuk pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial abad ke-21 menekankan pada isi IPS itu sendiri serta tidak

memaknai IPS sebagai pengetahuan yang hanya diterima dan dihafalkan, namun

dieksplorasi dan diaktualisasikan di dalam kehidupan bermasyarakat peserta didik.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Saidiharjo (2004:31-32)

(9)

Rasional pembelajaran ilmu pengetahuan sosial pada pendidikan dasar dan menengah ditekankan agar peserta didik dapat mensistematiskan bahan, informasi, atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya agar menjadi lebih bermakna, lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab serta meningkatkan rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungannya sendiri dan antar manusia.

Untuk dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang lebih peka dan

tanggap terhadap permasalahan sosial secara rasional dan bertanggung jawab serta

meningkatkan rasa toleransi mereka terhadap orang lain seperti yang disebutkan

pada penjelasan di atas, maka peserta didik perlu dibiasakan dengan

masalah-masalah konkrit yang ada di lingkungan sosial mereka. Bukan berarti harus

membawa para peserta didik untuk belajar ke tengah-tengah masyarakat, namun

bisa dengan cara membawa permasalahan-permasalahan yang terjadi di

lingkungan sosial sekitar peserta didik ke dalam kelas, yaitu dengan menjadikan

lingkungan sosial (keluarga, sekolah dan masyarakat) sebagai sumber

pembelajaran di dalam kelas dengan harapan lingkungan sosial tersebut dapat

membentuk sikap peserta didik seperti apa yang menjadi tujuan ideal

pembelajaran, dan sebagai seorang pendidik, orang tua, masyarakat, seluruh guru

pada umumnya dan guru sejarah pada khususnya harus mampu membangun rasa

“sense of belonging” peserta didik terhadap tanah air, merasakan diri sebagai

bagian dari tanah air, rasa kepedulian terhadap masa depan negerinya,

membangun solidarity, collective consciousness, semangat bersatu, solidaritas,

(10)

Berdasarkan permasalahan yang ada serta asumsi yang dibuat, maka judul

penelitian yang diambil yaitu “Kontribusi Lingkungan Sosial sebagai Sumber

Pembelajaran Sejarah terhadap Pembentukan Sikap Nasionalisme Peserta didik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, fokus masalah

yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi lingkungan sosial

terhadap sikap nasionalisme peserta didik. Dari fokus masalah tersebut,

dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun

rumusan masalah yang dimaksud antara lain:

1. Bagaimanakah kontribusi lingkungan keluarga sebagai sumber

pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta

didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?

2. Bagaimanakah kontribusi lingkungan sekolah sebagai sumber

pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta

didik SMA di kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?

3. Bagaimanakah kontribusi lingkungan masyarakat sebagai sumber

pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta

didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau?

4. Bagaimanakah pengaruh kontribusi lingkungan keluarga, lingkungan

sekolah, lingkungan masyarakat, secara bersama-sama terhadap sikap

nasionalisme peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan

(11)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui

bagaimana kontribusi lingkungan sosial sebagai sumber pembelajaran sejarah

terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta didik. Adapun tujuan khusus

yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan keluarga sebagai

sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

2. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan sekolah sebagai

sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

3. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi lingkungan masyarakat sebagai

sumber pembelajaran sejarah terhadap pembentukan sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

4. Untuk mengetahui pengaruh kontribusi lingkungan keluarga, lingkungan

sekolah, lingkungan masyarakat, secara bersama-sama terhadap sikap

nasionalisme peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan

(12)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini bersifat teoritis dan praktis.

Adapun manfaat-manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan

pada dunia pendidikan, khususnya mengenai keragaman/variasi sumber

pembelajaran. Selain itu diharapkan juga dapat dimanfaatkan sebagai

landasan awal bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis berikutnya.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

efektifitas pembelajaran dengan melibatkan guru dan peserta didik secara

bersama-sama untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Guru memiliki

informasi tambahan mengenai variasi sumber pembelajaran, sedangkan

peserta didik memiliki pengalaman yang menarik dalam kegiatan belajar

mengajar, dimana pembelajaran tersebut bertujuan untuk mempersiapkan

peserta didik menghadapi masalah-masalah yang kemungkinan sedang dan

atau akan dihadapinya khususnya masalah semakin terkikisnya sikap

(13)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan dugaan sementara yang diambil oleh peneliti

mengenai rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, dimana dugaan

tersebut diambil berdasarkan teori-teori yang ada. Sebagaimana yang dikatakan

oleh Sugiyono (2007:96) bahwa “hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian dimana rumusan masalah penelitian telah

dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Hipotesis dikatakan sebagai

dugaan atau jawaban sementara karena jawaban yang diberikan hanya didasarkan

pada teori yang relevan saja, namun belum dibuktikan oleh fakta-fakta empiris

yang diperoleh melalui pengumpulan data sehingga jawaban-jawaban tersebut

belum menjadi jawaban yang empiris. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas penulis

mengajukan beberapa hipotesis yang sesuai dengan rumusan masalah, yaitu

sebagai berikut:

1) Lingkungan keluarga sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat

memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

2) Lingkungan sekolah sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat

memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

3) Lingkungan masyarakat sebagai sumber pembelajaran sejarah dapat

memberikan kontribusi berarti terhadap pembentukan sikap nasionalisme

(14)

4) Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, secara

bersama-sama memberikan kontribusi berarti terhadap sikap nasionalisme

peserta didik SMA di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

F. Kerangka Pemikiran

Sikap nasionalisme peserta didik seperti yang dipaparkan sebelumnya di

mana bentuknya bukan lagi bersatu untuk berjuang melawan penjajah seperti yang

dilakukan oleh para pejuang terdahulu, namun berjuang melawan penjajah di era

millenium ketiga ini perlu dilakukan dengan cara menanamkan sikap-sikap seperti

kejujuran, disiplin, toleran, peduli dan menghargai orang lain, tidak mudah putus

asa (bermental positif), bertanggung jawab, percaya diri, produktif, kreatif, cerdas,

mandiri, menjaga dan memelihara lingkungan, memperhatikan norma dan nilai

yang berlaku dalam masyarakat serta menjadikan agama sebagai landasan dalam

berpikir serta filter dalam melakukan segala sesuatu.

Sikap yang disebutkan di atas, akan lebih mudah diterima dan diterapkan

oleh peserta didik jika mereka melihat contoh kongkrit dari orang-orang yang

berada di sekitar mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Baron dan Donn

Byrne (2003:123) bahwa “salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk

sikap kita adalah mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses

pembelajaran sosial”. Dengan kata lain, sikap dan pandangan kita terhadap

sesuatu terbentuk ketika kita berinteraksi dengan orang lain, sehingga keadaan,

(15)

terhadap pembentukan sikap nasionalisme peserta didik karena lingkungan sosial

merupakan tempat peserta didik berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya.

Williams, Harkins, dan Karau (2003) dalam Taylor, Letitia A. P, dan David

O. S (2009:365) menjelaskan bahwa “kehadiran orang lain terkadang memperkuat

dan terkadang menghambat kinerja atau prestasi individu”. Jika dikaitkan dengan

sikap nasionalisme peserta didik, maka pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa

sikap dan perilaku orang-orang yang berada di lingkungan sosial peserta didik

yang memperlihatkan rasa cinta terhadap tanah air yang tinggi maka akan

memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap nasionalisme peserta didik,

begitupun sebaliknya. Berikut kerangka pemikiran yang digambarkan melalui

bagan, dimana pemetaannya dilandasi oleh asumsi yang terbentuk dari teori-teori

(16)

LINGKUNGAN KELUARGA

 Penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (bergaul, berpakaian)

 Pola asuh atau cara didik orang tua

 Pola hidup anggota keluarga

 Penanaman nilai-nilai/adab/ tata krama/ etika (dalam berinteraksi dengan orang tua, teman sebaya, dan anggota masyarakat lainnya)

 Hubungan orang tua dengan anak

 Hubungan anak dengan anggota

 Sikap guru terhadap peserta didik

 Sikap peserta didik terhadap guru

 Nilai-nilai keagamaan yang tertanam dalam masyarakat

 Norma yang berlaku dalam masyarakat

 Sikap dan gaya hidup anggota masyarakat

 Hubungan peserta didik dengan anggota masyarakat (mampu

 Peduli terhadap orang lain

 Memiliki motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu

 Peduli atau ramah terhadap lingkungan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang akan dilakukan ini mencakup variabel X yaitu Minat Anak Mengikuti Pembelajaran Berbasis Lingkungan Alam yang menurut pandangan peneliti yaitu sebagai suatu

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: “Penerapan Model Pembelajaran Somatic Auditory Visualization Intellectually (SAVI) Berbasis

Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan website ini adalah interview,observasi,studi pustaka dan studi kasus dan selanjutnya dilakukkan perancangan program.Metode

Kartasaputra, perilaku penyimpangan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak sesuai atau tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang

Imam al-Ghazâli adalah tokoh pendidikan Islam yang juga menyebutkan pentingnya pendidikan akhlak yang baik (budi pekerti/ karakter) dalam kehidupan manusia menuju jalan

Penyampaian informasi produk/properti dapat menggunakan media multimedia visualisasi 3 dimensi namun media tersebut juga perlu sesuai dengan keperluan dari sebuah sistem untuk

hadapan manusia namun agar tersohor dan ini termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia a merendahkan dirinya di hadapan manusia dan mengetahui hatinya bahwasanya

Apabila mengacu kepada Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor l Tahun l974 tentang Perkawinan, jelas bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan disesuaikan