• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dzikir sebagai Sarana Pembentukan Kesehatan Jiwa Masyarakat Oleh: Taufik * Kata Kunci: dzikir, sarana pembentukan, kesehatan jiwa, masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dzikir sebagai Sarana Pembentukan Kesehatan Jiwa Masyarakat Oleh: Taufik * Kata Kunci: dzikir, sarana pembentukan, kesehatan jiwa, masyarakat."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Dzikir sebagai Sarana Pembentukan Kesehatan Jiwa Masyarakat

Oleh: Taufik*

Abstrak

Aktivitas dzikir selain membawa kedamaian atau ketenangan bagi individu yang melakukannya juga membawa dampak yang sangat besar pada aspek-aspek fisik dan psikologis, bahkan ketika aspek fisik dan psikologis ini telah terlampaui, maka individu akan mampu mencapai aspek sosialnya. Akhir-akhir ini para terapis mulai mengembangkan metode dzikir sebagai sarana meditasi untuk meraih ketenangan. Metode ini diakui oleh berbagai kalangan sebagai metode terapi yang sangat efektif, dibandingkan metode-metode yang telah ada. Karena ketenangan yang ditemukan dalam dzikir selain terletak pada tiga aspek di atas, aktivitas dzikir juga akan semakin memperteguh keimanan (auto sugesti) dan menjauhkan individu dari perbuatan tercela.

Kata Kunci: dzikir, sarana pembentukan, kesehatan jiwa, masyarakat. A. Pendahuluan

The age of anxiety (abad kecemasan), demikian para ilmuwan menamakan abad ke-21 ini. Nama ini bukanlah julukan kosong, karena pada saat ini kecemasan sudah menjadi bagian hidup masyarakat modern. Beberapa gejala yang muncul antara lain terjadinya: peperangan antar bangsa; antar suku dan antar negara; ledakan penduduk yang tak terkendali lagi oleh upaya perencanaan keluarga; membanjirnya pengungsi dari negara-negara yang dilanda peperangan yang pada gilirannya menimbulkan problem-problem sosial pada negara yang di datangi; pencemaran alam akibat limbah industri; pergantian beberapa tata nilai yang serba cepat; munculnya berbagai krisis dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat; dekadensi nilai-nilai tradisi dan penghayatan agama sebagai akibat samping kemajuan teknologi; serta munculnya berbagai penyakit yang mengerikan dan sulit disembuhkan.

Pada sisi lain, sebaliknya dikatakan banyak ahli saat ini merupakan era “bangkitnya moral" sebagai tahapan baru setelah masyarakat modern memasuki post modernisme. Manusia, sebagaimana dikatakan Jung1, merasa membutuhkan sesuatu yang disebut non-material (daya aktual dan potensial

* Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

1 Hall, C.S., dan G. Lindzey, Theories of Personality, (New York: John Wiley & Sons.

(2)

dari energi psikis), setelah segala kebutuhan material telah dicapai namun tak pernah memberikan kepuasan. Post modernisme, yang secara sederhana, setidaknya dari tahapan dianggap sebagai kelanjutan modernisme, memang memiliki ciri unik. Ada pertentangan yang sulit dipahami oleh orang awam, yaitu ketika rasionalitas yang menjadi ciri utama modernisme ternyata berjalan beriringan dengan semangat mistis (baca: spiritual) yang secara realitas tidak rasional. Tidak heran kalau muncul pernyataan bahwa semakin rasional manusia, maka akan semakin bersikap mistis. Semangat rasional yang menjadi basis berpikir dan bersikap pada masyarakat modern ternyata memerlukan semangat spiritual yang sangat irrasional.

Kondisi di atas jelas dapat mengakibatkan kegelisahan batin, jiwa bahkan hampir bisa mengakibatkan frustrasi yang tidak saja pada pribadi-pribadi, tetapi juga dapat menyebar kepada keluarga dan lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi2. Akibatnya “wabah kegelisahan” sedang

melanda masyarakat, baik masyarakat pada level bawah (rakyat) hingga pada level tinggi (pengusaha, pejabat, birokrat).

Di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar dan sebagainya, beban psikologis ini sudah lazim dirasakan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Hal ini terungkap dalam berbagai keluhan seperti ketakutan, mudah berkeluh kesah, kepanikan, gelisah, serba tidak puas, perasaan serba ragu dan serba salah, frustrasi, sengketa batin dan sengketa dengan orang lain, merasa hampa, kehilangan semangat hidup, munculnya berbagai penyakit

psikosomatis, dan keluhan-keluhan lain yang mencerminkan

ketidaktenangan3. Kebahagiaan dan ketenangan yang mereka tampilkan

adalah semu, karena kebahagiaan tidak akan tercapai jika manusia tidak mengetahui jati dirinya, baik menyangkut hakekat, keinginan maupun tujuan kembali.

B. Manifestasi Keresahan dalam Masyarakat

Dalam realitas kehidupan akhir-akhir ini banyak diberitakan oleh media munculnya ketidaktenangan pribadi, keluarga dan masyarakat, mulai dari pertengkaran antar suami-istri yang berakhir dengan perceraian, penganiayaan bahkan kematian salah satu di antaranya, maraknya ayah yang memperkosa anak tiri atau anak kandungnya, ibu yang diperkosa oleh anak yang terlahir lewat rahimnya (Surabaya, Kebumen, dan Lampung),

2 Bastaman, H.D., Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), p. 130.

(3)

suami dengan alasan ekonomis memaksa istrinya untuk melayani laki-laki hidung belang (Pati). Seorang siswa Sekolah Dasar (SD) di Bandung nekat

gantung diri lantaran belum membayar SPP4. Anak kelas enam SD nekat

mengakhiri hidupnya dengan gantung diri lantaran tidak mampu

membayar peralatan menyulam seharga Rp. 2.500,005. Seorang gadis belia

di kabupaten Brebes nekat bakar diri lantaran sering dimarahi oleh ibunya, seorang murid Sekolah Dasar di Kabupaten Boyolali tanpa pikir panjang membakar tubuhnya lantaran tidak diberi uang untuk menyemir rambutnya6, dan berbagai realitas lain sebagai manifestasi ketidaktenangan jiwa. Kalau dicermati kejadian-kejadian memilukan tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, melainkan juga di kota-kota kecil seperti Pati, Brebes, dan Boyolali. Ini berarti bahwa gejala kecemasan dalam masyarakat telah menjangkit semua wilayah di Indonesia.

Data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, selama tahun 2003 tercatat 62 kasus bunuh diri. Jumlah ini merupakan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Sedangkan hingga pertengahan tahun 2004 tercatat setidaknya 38 kasus bunuh diri. Menurut data yang terekam di Polda Metro Jaya, usia korban sangat bervariasi, mulai dari belasan hingga 65 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah pengangguran, pelajar, karyawan, pembantu rumah tangga, dan buruh lepas yang nasib gajinya tidak menentu. Yang membuat prihatin, kebanyakan kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri itu dilakukan dengan alasan-alasan yang terkadang tidak masuk akal7.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa orientasi-orientasi jangka pendek telah menumpulkan akal masyarakat untuk mengedepankan rasio dan hati dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Masyarakat telah mengalami dekadensi humanistik, karena telah kehilangan pengetahuan dan kesadaran langsung mengenai diri dan keakuannya. Pandangan hidupnya menjadi pendek hanya berorientasi pada persoalan kekinian dan kedisinian (here and now) yang hanya berujung pada materialisme, sementara dimensi nafsaniyah dan ruhaniyahnya dibiarkan dalam kehampaan dan kenestapaan. Kesadaran terdalamnya pada dua orientasi. Pertama, kepada soal pemenuhan aspirasi perut dan bawah perut dengan menghalalkan segala cara (nafs al-amarah). Kedua, dalam keraguan, konflik dan ketegangan

4 Anonim, “Upaya bunuh Diri anak SD, Malu Tak Bisa bayar SPP”, Nova

Mingguan Berita Wanita, 21 Juni 2004.

5 Anonim, “Ketika Merasa Diri Tak Lagi Berarti Bunuh Diri Menjadi Solusi”,

Bahana. Edisi :xxxxi - oktober 2003.

6 Anonim, “Anak SD Bunuh Diri Lantaran Tidak di Beri Uang untuk Menyemir

Rambut”, Solo Pos. 21 Juni 2004.

(4)

antara orientasi dan dorongan kepada materi serta kesadaran akan ketuhanan (nafs al-lawwamah), sehingga hidupnya tidak merasakan kedamaian (nafs al-muthmainnah).

C. Konsep dan Teori Kesehatan Jiwa

Sejak seperempat abad yang lalu di lingkungan kesehatan mental terjadi semacam “gerakan baru” yaitu dikembangkannya metode dan teknik-teknik yang bercorak spiritual, mistikal dan agamis yang dianggap memberikan kontribusi bagi kesehatan jiwa.

Praktik-praktik seperti trancendental meditation (TM), Yoga, Zen-Budhism cukup menarik perhatian para ahli untuk meneliti sejauhmana pengaruhnya untuk kesehatan pada umumnya dan kesehatan mental pada khususnya. Sejalan dengan itu agama, khususnya agama Islam seakan-akan mendapat tantangan untuk memberikan kontribusinya atas berbagai permasalahan sosial, termasuk membentuk kesehatan jiwa.

Menurut Sadli8 terdapat tiga orientasi dalam kesehatan jiwa, yaitu:

Pertama, orientasi klasik, seseorang dianggap sehat bila tidak memiliki keluhan tertentu, seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tak berguna yang semuanya menimbulkan perasaan tak sehat, serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi klasik ini banyak dianut di lingkungan kedokteran. Kedua, orientasi penyesuaian diri, yaitu seseorang dianggap sehat secara psikologis bila mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang-orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Ketiga, orientasi pengembangan potensi, yaitu seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila individu mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga bisa dihargai oleh orang lain dan diri sendiri.

Sementara itu Daradjat9 mengemukakan empat buah rumusan

kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Keempat rumusan itu disusun mulai dari rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya.

Pertama, kesehatan jiwa adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut dikalangan psikiatri yang memandang manusia dari sudut-sudut sehat atau sakit. Kedua, kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan dengan dirinya, orang lain, masyarakat

8 Sadli, S., “Pengantar dalam Kesehatan Jiwa”, dalam buku Pedoman Bimbingan dan

Konseling, (Jakarta: Badan Konsultasi Mahasiswa UI, 1982), p. 28.

(5)

serta lingkungan tempat yang bersangkutan hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Ketiga, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, memiliki kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin. Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan, dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup yang menjauhkan orang dari sikap ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin. Keempat, kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan penyakit jiwa. Definisi ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya sendiri. Kelima, kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia denagn dirinya dan lingkunganya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan semua manusia.

Selain kedua tokoh di atas, terdapat tokoh lainnya yaitu adz-Dzaky10 yang secara lebih spesifik mengemukakan indikator-indikator jiwa yang sehat dalam konsep Islam. Pertama, tersingkapnya kesempurnaan jiwa, yaitu terintegrasinya jiwa yang tenteram (muthmainnah), jiwa yang meridhai (radhiyah) dan jiwa yang diridhai (mardhiyah). Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang senantiasa mengajak kembali kepada fitrah Ilahiyah. Indikasi terlahirnya jiwa muthmainnah pada diri seseorang biasanya terlihat dari perilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar. Jiwa radhiyah adalah jiwa yang tulus, bening, dan lapang dada terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terhadap kebijaksanaan qadrat dan iradat-Nya. Sedangkan jiwa

10 Adz-Dzaky, M.H.B., Konseling dan Psikoterapi Islam, Penerapan Metode Sufistik,

(6)

mardhiyah adalah jiwa yang telah memperoleh titel dan gelar kehormatan tetinggi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jiwa mardhiyah akan terus mendaki mencapai puncak kedekatan kepada penciptanya. Kedua, tersingkapnya kecerdasan uluhiyah, yaitu kemampuan seorang hamba untuk melakukan interaksi vertikal dengan Tuhannya, kemampuan mentaati atas segala yang diperintahkan dan menjauhkan diri atas segala yang yang dilarang dan dimurkainya, serta tabah terhadap ujian dan cobaan. Ketiga, tersingkapnya kecerdasan rububiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang dalam memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupannya (Q.S. 9:12), mendidik dan mengajarkan diri agar menjadi pribadi yang pandai menemukan esensi jati diri (Q.S. 18: 65), memimpin dan membimbing diri untuk secara totalitas tunduk dan patuh kepada Allah (Q.S. 2: 157; 20: 8), mensucikan diri dari penyakit yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi jiwa (Q.S. 4: 108). Keempat, tersingkapnya kecerdasan ubudiyah, kemampuan seseorang dalam dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa dipaksa dan terpaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan primer dan merupakan makanan bagi jiwa. Kelima, tersingkapnya kecerdasan khuluqiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang dalam berperilaku, bersikap dan berpenampilan terpuji sebagaiana yang dicontohkan oleh Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassallam.

D. Agama (Islam) dan Kesehatan Jiwa

Dalam Islam konsep kesehatan jiwa berkorelasi positif dengan aktivitas peribadatan11, dengan kata lain bila menginginkan terbentuknya pribadi yang sehat maka individu harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala dalam bentuk aktivitas-aktivitas peribadatan.

Salah satu pandangan mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan jiwa adalah dari pandangan Viktor Frankl, pendiri Logoterapi.

Frankl12 menunjukkan tiga bidang aktivitas yang secara potensial

mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experience values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Dengan memenuhi dan merasakan nilai-nilai itu diharapkan seseorang

11 Hawari, D., Al Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. (Jakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1997), p. 16. Dapat juga dilihat dalam Ariyanto, M.D., “Dzikir dan Kesehatan Mental”, Jurnal Penelitian Keislaman Ishraqi, Vol. 1, No. 1, 2002, p. 57-76.

12 Frankl, V., Psychotherapy and Existensialism, (New York: Penguin Book, 1967), p.

(7)

akan menemukan dan mengembangkan makna hidupnya, sehingga mengalami hidup secara bermakna (the meaning of live) yang merupakan pintu (jalan) ke arah kebahagiaan (happiness).

Agama pada umumnya dapat digolongkan pada nilai-nilai penghayatan, salah satu nilai yang dapat menjadi sumber makna hidup dan menjadikan hidup bermakna. Walaupun demikian menurut Frankl hubungan antara agama dengan kesehatan mental tidak merupakan hubungan kausalitas langsung, seperti dijelaskan oleh Frankl dalam skema di bawah ini.

Mental Health Salvation and Faith

Psychotherapy Religion

Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan kehidupan jiwa yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama mengembangkan keimanan (faith) dan penyelamatan ruhani (spiritual salvation). Walaupun keduanya memiliki tujuan yang berlainan (yang satu berdimensi psikologis dan yang lainnya berdimensi spiritual) tetapi keduanya memiliki kaitan dalam hal akibat efek sampingnya13.

Pattison14 mengelompokkan berbagai pendapat ahli mengenai

hubungan antara agama dengan kesehatan jiwa. Pendapat pertama, kelompok Spiritual Reductionist, menyatakan bahwa gangguan jiwa dapat disebabkan adanya perasaan dosa kepada Tuhan. Penyembuhannya dengan menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Pendapat kedua, kelompok Material Reductionist, menyatakan bahwa agama tidak memiliki relevansi dalam proses penyembuhan gangguan kejiwaan. Kelompok ini menolak kehadiran agama dalam proses psikoterapi. Pendapat ketiga, kelompok alternativist, menyatakan bahwa gangguan kejiwaan bersifat psikologis, bukan karena dosa kepada Tuhan. Meski demikian kelompok ini berpendapat bahwa baik psikoterapis maupun kaum agamawan dapat menyembuhkan gangguan jiwa. Pendapat keempat, kelompok Dualist, berpendapat bahwa gangguan jiwa merupakan problem yang bersifat psikologis dan agama, oleh karena itu baik psikoterapis maupun agamawan dapat menyembuhkan gangguan tersebut. Pendapat kelima,

13 Bastaman, H.D., Integrasi Psikologi … p. 131. 14 Ariyanto, M.D., “Dzikir dan …,” p. 57-76.

(8)

kelompok specialist, berpendapat bahwa gangguan kejiwaan bersifat psikologis atau keagamaan. Bila gangguan jiwa bersifat psikologis maka terapislah yang dapat menyembuhkannya, namun bila gangguan tersebut bersifat agamis maka kaum agamawanlah yang dapat menyembuhkannya.

Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ahli psikologi meyakini bahwa agama memiliki peranan yang besar dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Hanya pendapat kelompok Material Reductionist saja yang menolak peranan agama dalam penyembuhan gangguan kejiwaan.

Penelitian yang dilakukan dengan subjek mahasiswa kedokteran, menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak mempunyai komitmen agama akan beresiko empat kali lebih besar terlibat penyalahgunaan narkoba15. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Cancerellaro, Larson dan Wilson pada tahun 1982 terhadap para pasien pecandu alkohol, narkotika dan gangguan jiwa skisofrenia menunjukkan bahwa mereka tidak ada atau kurang komitmen terhadap agamanya. Cancerellaro dkk. berkesimpulan bahwa terapi medis yang diberikan tidak memperoleh hasil yang optimal bila tanpa disertai terapi keagamaan16.

Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa agama memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap kesehatan jiwa. Agama tidak hanya mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya, atau sekedar menjalankan ibadah ritual semata, melainkan membawa dampak postif yang luar biasa bagi pemeluknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Hawari17, bahwa ajaran agama memiliki manfaat yang luar biasa bagi ketenangan jiwa.

E. Teori dan Konsep Dzikir serta Keutamaannya

Sepintas istilah dzikir lebih dikenal dalam dunia tasauf, bahkan menjadi salah satu tahapan untuk mencapai derajat sufi. Seseorang belum bisa dikatakan sebagai sufi, kalau hatinya masih diwarnai kegalauan, kegelisahan yang dirasakan oleh jiwanya. Sufi juga identik dengan para rahib, yang sangat jauh dari kehidupan duniawi, pekerjaan utamanya hanya berdzikir dan kemana-mana membawa tasbih. Namun dalam sejarahnya, sufi-sufi besar tergolong orang berkecukupan dalam hal materi, seperti Imam al-Ghazali yang memiliki usaha tekstil. Bercermin dari Al Ghazali maka penempatan makna "dzikir" tidak selalu identik dengan pemahaman selama ini yaitu monopoli bagi "kalangan pinggiran" yang membutuhkan

15 Hawari, D., Al Qur’an, Ilmu Kedokteran …, p. 16-17. 16 Ariyanto, M.D. “Dzikir dan …”, p. 57-76.

(9)

kemurahan Tuhan. Dzikir juga tidak selalu dilakukan oleh kalangan tertentu saja, melainkan juga bias dilakukan oleh siapa saja, dan tidak memisahkan manusia dari urusan duniawi.

Penghayatan dzikir tidak berarti ditempuh dengan cara uzlah, tetapi tetap aktif melibatkan diri dalam aktivitas duniawi. Model seperti ini kemudian dikenal dengan istilah neo-sufisme, yakni sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Tawaran konsep tersebut agaknya mencuat dan mendapat respons positif, khususnya bagi kalangan perkotaan, yang akhirnya disebut tasawuf atau sufi kota.

Dzikir secara harfiah berarti mengingat. Kegiatan “mengingat” memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan. Ketika seseorang ingat akan sesuatu, maka akan mengingatkan pula pada rangkaian-rangkaian yang terkait dengannya. Hanya persoalannya tidak semua orang mudah dalam mengingat-Nya, walaupun potensi untuk itu ada. Makna yang kedua dari dzikir adalah menyebut asma Allah, mengingat dan menyebut dalam bahasa dzikir bersifat komplementer (saling terkait dan melengkapi)18. Selain itu menyebut merupakan dzikir lisan yang akan mendorong hati mengingat nama atau sesuatu yang disebutnya. Demikian pula sebaliknya, ketika mengingat yang menjadi dzikir hatipun akan mendorong lisan selalu menyebut nama atau sesuatu yang diingat itu. Demikianlah dzikir hati (mengingat) dan lisan (menyebut) saling mempengaruhi yang nantinya akan mendorong akal menangkap kehendak Allah SWT.

Adz-Dzaki19 membagi makna dzikir menjadi dua yaitu makna umum

dan makna khusus. Dzikir dalam makna yang umum adalah segala aktivitas manusia baik berupa perkataan, perasaan, fikiran, atau segala amal lahir maupun batin, yang semuanya disandarkan kepada Allah, karena Allah, untuk Allah, menuju jalan allah, dan senantiasa bersama Allah. Dzikir secara khusus yaitu menyebut nama atau yang mempunyai nama secara rahasia (sir), dzikir nama tidak dapat terdeteksi noleh siapapun kecuali Allah semata.

Dalam Serat Pepali Ki Ageng Selo20, disebutkan bahwa dzikir berarti patrap, yaitu orang susila, orang beradab. Peradaban atau kesusilaan seseorang ditentukan oleh pendirian hidupnya dan kesusilaan dalam arti kata yang sedalam-dalamnya dan terikat pada sarat-sarat utama, yaitu dapat menguasai diri sendiri, yang dijabarkan sebagai berikut: Pertama, menguasai tubuh sepenuhnya, yang berarti mampu untuk menguasai perjalanan nafas

18 Ilham, A., Meneguk Kenikmatan Dzikir (Pengantar) dalam buku Menggapai

Kenikmatan Dzikir, (Jakarta: Hikmah, 2004), p. xi-xii.

19 Ariyanto, M.D., “Dzikir dan…”, p. 57-76. 20 Sangkan, A. Berguru kepada …, p. 74.

(10)

dan darah, sehingga orang tidak lekas naik darah dan tidak mudah dipermainkan oleh urat syarafnya (nervous) yang besar faedahnya bagi kesehatan badan. Kedua, menguasai perasaan, yaitu dapat menahan rasa marah, jengkel, sedih, takut dan sebagainya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga selalu tenang dan sabar, oleh karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang setepat-tepatnya. Ketiga, menguasai pikiran, sehingga pikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak bergelandangan semaunya sendiri dengan tidak terarah dan bertujuan, akan tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan kesadaran tentang soal-soal hidup yang penting.

Lebih jauh Sangkan21 mengatakan bahwa dzikir kepada Allah bukan

hanya sekedar menyebut nama Allah di dalam lisan atau di dalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepada Allah ialah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat, dan Af'al-Nya. Kemudian memasrahkan kepada-Nya baik hidup dan matinya, sehingga tidak akan ada lagi rasa khawatir dan takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam bahaya dan cobaan. Sebab kematian baginya merupakan pertemuan dan kembalinya ruh kepada Yang Maha Kuasa. Mustahil orang dikatakan berdzikir kepada Allah yang sangat dekat, ternyata hatinya masih resah dan takut, berbohong, tidak patuh terhadap perintah-Nya dan sebagainya. Kongkritnya berdzikir kepada Allah adalah merasakan keberadaan Allah itu sangat dekat, sehingga mustahil seseorang berlaku tidak senonoh dihadapanNya, berbuat curang, dan tidak mengindahkan perintah-Nya.

Bahjad22 membagi dzikir dalam dua hal, yaitu dzikir lisan dan amali. Dzikir secara lisan seperti menyebut nama Allah berulang-ulang. Satu tingkat di atas dzikir lisan adalah hadirnya pemikiran tentang Allah dalam kalbu, kemudian upaya menegakkan hukum syariat Allah di muka bumi dan membumikan Al Qur'an dalam kehidupan. Dzikir amali dilakukan dengan memperbagus kualitas amal sehari-hari dan menjadikan dzikir ini sebagai pemacu kreatifitas baru dalam bekerja dengan mengarahkan niat kepada Allah.

Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua23, yaitu: dzikir bil-lisan (bil-lisan), dan dzikir bil-qalbi (hati). Dzikir bil-lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham. Al-Qusyairi menambahkan, jika

21 Ibid., p. 74.

22 Bahjad, A. Mengenal Allah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), p. 18. 23 Sangkan, A. Berguru Kepada…, p. 78.

(11)

seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya.

Dalam konteks ini dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat di hadapan-Nya. Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubungkan dengan sumber kehidupan (Al Hayyu). Adapun pengucapan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Al Qur'an, shalat, haji, zakat, dan lain-lain, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan batin) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Implikasi dari dzikir adalah timbulnya suatu kesadaran jiwa yang memperhatikan, mengingat kehadiran Tuhan dalam dirinya sebagai keutuhan hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, dzikir diharapkan dapat memancar ke segenap aspek kehidupan. Sebab, kondisi keseimbangan jiwa dan iman manusia selalu mengalami fluktuasi. Jiwa bergerak bagaikan grafik, yang kadang-kadang menunjukkan kurva menaik dan kadang turun. Untuk menjaga stabilitas keimanan dan meningkatkannya maka dibutuhkan suatu media untuk senantiasa mengingat-Nya, itulah yang dinamakan dzikr24. Pengaruh yang ditimbulkan dari berdzikir secara

konsisten ini, akan mampu mengontrol kehidupan sehari-hari. Haddad25 mengatakan sedikitnya aktivitas dzikir akan menimbulkan rasa manis dan enak di dalam hati terhadap segala kenikmatan duniawi, sedangkan manfaat dzikir yang paling besar adalah luluhnya si pedzikir dalam dzat-Nya.

Urgensi dzikir bagi seorang muslim adalah sebagai sarana komunikasi untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala26,

mendatangkan kebahagiaan, mewujudkan tanda baik sangka kepada Allah, menghasilkan rahmat dan inayat Allah, memperoleh sebutan yang baik dari Allah, melepaskan diri dari azab Allah, memelihara diri dari kecemasan dan membentengi dari dosa, mendatangkan kebahagiaan, mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah, menghilangkan kekeruhan jiwa, melepaskan diri dari rasa sesal, memperoleh penjagaan dari para malaikat,

24 Ilham, A. 2004. “Meneguk …”, p. xiii.

25 Al-Haddad, S.M. 2003. Wirid dengan Dzikir kepada Allah. Dalam Ilham, A.,

ibid., p. 8.

26 Bastaman, H.D., Integrasi Psikologi …, p. 158. Lihat juga dalam Ariyanto, M.D.,

(12)

menghasilkan kemuliaan dan kehormatan, menghasilkan ampunan dan keridhaan Allah, dikasihi oleh para nabi dan para mujahidin27.

Keutamaan yang lain, bahwa dzikir mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Psikoterapeutik ini tidak kalah pentingnya dengan pendekatan medik-psikiatrik. Sebagaimana penelitian

yang dilakukan oleh Larson28 bahwa ada hubungan antara aktivitas ibadah

(mengingat Tuhan) dengan kardiovaskuler. Dalam studinya disebutkan bahwa kelompok yang menjalankan ibadah secara rutin memiliki resiko yang lebih rendah untuk terkena penyakit kardiovaskuler. Selanjutnya menurut Hawari, bahwa rasa percaya diri (self convident) dan optimisme merupakan dua hal yang esensial bagi penyembuhan suatu penyakit, disamping obat-obatan dan tindakan medis yang diberikan. Di samping itu dzikir yang merupakan terapi psikoreligius menjadi kekuatan spiritual untuk meningkatkan kekebalan tubuh dari stres dan memulihkan kembali keseimbangan moralnya.

F. Dzikir sebagai Sarana untuk Meraih Ketenangan Jiwa

Dzikir sebagai sarana meditasi bagi ummat Islam memiliki tujuan lebih dibandingkan hanya sekedar meditasi tanpa dzikir. Seseorang yang senantiasa berdzikir, maka akan mengenal dirinya sendiri dan Rabbnya, seperti dalam sebuah ungkapan man 'arafa nafsahu fa qad 'arafa rabbahu (barangsiapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya). Secara psikologis, mudzakir (orang yang berdzikir) adalah orang yang terjauh dari ambivalensi (goncangan jiwa) akibat derita ataupun kecukupan. Hal ini bisa dikaitkan dengan teori kepribadian Freud29, bahwa orang yang tidak dzikir, semua gerak dan irama hidupnya selalu dalam pengaruh Id (Das Es). Ego (Das Ich) manusia akan senantiasa mengikuti pengaruh alam bawah sadar (Id) tadi. Id yang menurut Freud manifestasi dari insting-insting ketidaksadaran, bekerja hanya dengan prinsip kenikmatan (pleasure principle). Sebaliknya dengan berdzikir maka akan menghidupkan jiwa insani manusia, yaitu Super Ego yang dapat mengendalikan alam ketidaksadaran manusia.

Melalui aktivitas dzikir superego yang terdapat pada diri manusia akan berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku secara baik. Dengan berdzikir manusia akan sejahtera jiwanya, sehingga sejahtera pula tingkah laku individu dan sosialnya. Individu akan mampu menerima kenyataan

27 Ash-Shiddiqy, T.M.H.. Pedoman Dzikir dan Do’a, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971),.

p. 34.

28 Hawari, D. Al Qur’an, …, p. 17.

(13)

yang ada, dan dapat meletakkan hakikat kemanusiaannya. Dzikir juga dapat dijadikan alat penyeimbang (equilibrium) bagi jiwa dan rohani manusia.

Berbagai keresahan atau ketidaktenangan yang terjadi dalam masyarakat, membuat para ahli mulai mengembangkan berbagai macam pendekatan mulai dari kursus kepribadian, latihan relaksasi dan meditasi, terapi tingkah laku dan sebagainya. Kursus kepribadian dilakukan guna membentuk karakter seseorang yang biasanya dipersiapkan dalam lapangan pekerjaan. Latihan relaksasi dilakukan guna menimbulkan rasa tenang, melalui teknik pengencangan dan pengendoran otot-otot tubuh (otot-otot kaki, badan, tangan, dan kepala). Terapi tingkah laku (behaviour therapy) dilakukan guna menghilangkan berbagai bentuk dan gejala kecemasan dengan jalan melatih diri menghadapinya, baik sedikit demi sedikit (systematic desensitization) maupun secara langsung dan frontal menghadapinya (floading). Ada pula terapi-terapi yang dilandasi teori psikoanalisis yang berusaha menelusuri masa lalu dan menyadarkan kembali pengalaman-pengalaman hidup yang sudah tidak disadarinya lagi, serta menyusun kembali sejarah hidupnya secara proporsional. Adapun pendekatan yang bercorak humanistik (humanistic psychology), antara lain logotherapy, memanfaatkan daya-daya kejiwaan manusiawi seperti kemampuan mengambil jarak dengan diri sendiri, kebebasan berkehendak, hasrat untuk hidup bermakna dan rasa humor, yang masing-masing dikembangkan untuk mencapai kesehatan mental dan hidup secara berarti30.

Saat ini pendekatan-pendekatan di atas telah dikembangkan secara canggih (sophisticated) dan menunjukkan hasil guna (effectively) yang cukup baik dalam menanggulangi berbagai penyakit kejiwaan. Kehampaan kehidupan materialistik menyebabkan masyarakat Barat mencari jalan untuk memenuhi kehausan batinnya. Masyarakat Barat mencarinya dalam

tradisi spiritual masyarakat Timur31. Selain pendekatan-pendekatan

tersebut, terdapat pendekatan yang sangat menarik untuk dikaji dari sisi psikologi dan Islam (indegeneous psychology), yaitu pendekatan dzikir.

Sebagaimana dikatakan di depan bahwa dzikir merupakan salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Allah (muraqabatullah) dan merasakan kehadirannya. Dalam Islam, hakekat manusia adalah makhluk yang merindukan kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai sumber

30 Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi …, p. 157.

31 Ismail, F., Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis.

(14)

kebahagiaan dan ketenangan. William James32 berpendapat bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan. Sementara aktualisasi dari keimanan dalam Islam adalah selalu mengingat Sang Pencipta.

Sementara itu dalam tradisi sufi, manusia dikenal memiliki dua dimensi. Pertama disebut lahut, yaitu potensi ilahiah yang selalu mendorong dirinya untuk merindukan kembali dan mencintai kebenaran. Yang kedua adalah unsur nasut, sebagai makhluk bumi yang memiliki kelemahan-kelemahan dan memiliki dorongan-dorongan nafsu sehingga pada saat tertentu ia mudah jatuh dan terperosok ke dalam kemerosotan moral dan spiritual (spiritual bankrupty). Dzikir akan menghunjamkan nilai-nilai ketuhanan secara kukuh, dan hati (al qalb) yang memancarkan kesadaran tentang nilai kemanusiaan. Ungkapan dzikir harus tertanam secara kukuh dalam hati (al qalb) seperti sebatang pohon yang akarnya terhunjam ke dalam perut bumi, cabang, ranting dan dedaunannya menjulang ke langit, sedangkan buahnya dapat dipetik setiap saat (Q.S. Ibrahim: 24). Ayat ini menandaskan bahwa dzikir kepada Allah harus berintegrasi ke dalam kesadaran manusia dan menjiwai seluruh perilaku, serta bermuara pada moralitas yang tinggi (al-ahlaq al-karimah).

Penyebutan dan ingatan kepada Allah (dzikrullah) secara terus menerus dengan penuh kekhidmatan (Q.S. al- A’raf: 205) akan membiasakan hati sanubari manusia senantiasa dekat dan akrab kepada Allah. Akibatnya, secara tidak disadari akan berkembanglah kecintaan yang mendalam kepada Allah (hubbullah) dan akan mantaplah hubungan hamba dengan Rabbnya (hablumminallah).

Eksperimen mengenai efek dzikir terhadap kondisi rileks yang

dilakukan oleh Taufik33 terhadap para guru di Nanggroe Aceh

Daarussalaam, menunjukkan hasil yang cukup mengagetkan. Dalam eksperimen tersebut sebelum diberikan dzikir subjek terlebih dahulu diminta untuk melakukan gerakan-gerakan relaksasi. Selanjutnya subjek dibimbing untuk memejamkan mata sambil membayangkan kedamaian, bertepatan dengan itu Taufik melafadzkan secara perlahan-lahan kalimat-kalimat dzikir, subhanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah wallahu akbar. Dalam waktu tidak lebih dari 15 menit, tiba-tiba para subjek menjerit-jerit sambil memukul-mukul dadanya, merintih memanggil-manggil Asma Allah (Ya Allah..., Ya Allah..., Ya Allah...), dan tanpa sadar mengeluarkan

32 Haryanto, S., Psikologi Sholat. Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Sholat,

(Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2001.), p. 3-4.

33 Taufik., “Desensitisasi terhadap Kekerasan dan Toleransi Stres Pada Guru di

Nanggroe Aceh Daarussalaam”, Laporan Penelitian. (Suarakarta: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), p. 38.

(15)

kata-kata yang menunjukkan tekanan batin yang luar biasa (katarsis), suatu reaksi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Setelah dalam kondisi sadar subjek mengaku bahwa jiwanya kini sangat ringan, tanpa beban, stres yang selama ini diderita sirna, bahkan subjek mengaku dirinya seperti kembali menjadi muda.

Menurut Bastaman34 secara psikologis, akibat perbuatan “mengingat

Allah” ini dalam alam kesadaran akan berkembang penghayatan atas kehadiran Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, yang senantiasa mengetahui segala tindakan, yang nyata (overt) maupun yang tersembunyi (covert). Seseorang yang berdzikir tidak akan merasa hidup sendirian di dunia ini (ma’iyyatullah), karena ada Dzat yang Maha Mendengar keluh kesahnya yang mungkin tak dapat diungkapkan kepada siapapun. Selain itu pelaksanaan dzikir yang dilakukan dengan sikap rendah hati dan suara yang lemah lembut, akan membawa dampak relaksasi dan ketenangan bagi mereka yang melakukannya.

G. Penutup

Dalam Islam, hakekat manusia adalah makhluk yang merindukan kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sumber kebahagiaan dan ketenangan. Untuk menjaga stabilitas keimanan dan meningkatkannya dibutuhkan suatu media untuk senantiasa mengingat-Nya, yang dinamakan “dzikir”. Dzikir merupakan salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Allah (muraqabatullah). Menghubungkan dzikir dengan Allah, berarti menghubungkan dengan sumber kehidupan (Al Hayyu). Seseorang yang senantiasa berdzikir, maka akan mengenal dirinya sendiri dan Rabbnya.

(16)

Daftar Pustaka

Adz-Dzaky, M.H.B., Konseling dan Psikoterapi Islam, Penerapan Metode Sufistik, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Al Qarni, A., La tahzan, Jangan Bersedih. Jakarta: Qisthi Press, 2003.

Anonim, “Ketika Merasa Diri Tak Lagi Berarti Bunuh Diri Menjadi Solusi”. Bahana. Edisi :xxxxi - oktober 2003

_______, “Mengapa Bunuh Diri Makin Sering Terjadi?” Kompas, 16 Juni 2004.

_______, “Upaya bunuh Diri anak SD, Malu Tak Bisa bayar SPP”, Nova Mingguan Berita Wanita. 21 Juni 2004.

_______, “Anak SD Bunuh Diri Lantaran Tidak di Beri Uang untuk Menyemir Rambut”, Solo Pos. 21 Juni 2004

Anshari, M.A. Dzikir Demi Kedamaian Jiwa. Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003.

Ariyanto, M.D. Dzikir dan Kesehatan Mental. Jurnal Penelitian Keislaman Ishraqi, Vol. 1, No. 1, 2002.

Ash-Shiddiqy, T.M.H., Pedoman Dzikir dan Do’a, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Bahjad, A., Mengenal Allah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Bastaman, H.D., Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Daradjat, Z., Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 1984. Frankl, V., Psychotherapy and Existensialism. New York: Penguin Book, 1967. Hall, C.S., dan Lindzey, G., Theories of Personality, New York: John Wiley &

Sons, 1978.

Hawari, D., Al Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Ismail, A.U., “Dzikrullah Membeningkan Hati Menghampiri Ilahi” dalam buku Zikir Sufi Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2000.

Ismail, F., Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

(17)

Ka’bah, R., “Zikir dan Do’a dalam Cahaya Al Qur’an”, dalam buku Zikir Sufi Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2000.

Sadli, S., “Pengantar dalam Kesehatan Jiwa”, dalam buku Pedoman Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Badan Konsultasi Mahasiswa UI, 1982.

Sangkan, A., Berguru Kepada Allah, Menghidupakan Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Bekasi: Penerbit Buku Thursina, 2002.

Subandi, “Latihan Meditasi untuk Psikoterapi”, dalam buku Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Syarif, A., Psikologi Qur’ani, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Taufik, “Kecenderungan Desensitisasi dan Toleransi Stres Pada Guru di Nanggroe Aceh Daarussalaam”. Laporan Penelitian, Surakarta: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Pakar (Expert System) merupakan suatu sistem yang menggunakan pengetahuan manusia dalam komputer untuk memecahkan masalah yang biasanya dikerjakan oleh

Dokumen Rencana Strategis Tahun 2013-2018 yang memuat arah, rencana kerja, kebijakan, program dan kegiatan serta indikator kinerja pembangunan kesehatan yang disusun

Sebelum belajar pada materi ini silahkan kalian membaca dan memahami cerita di bawah ini. Untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut, silahkan kalian lanjutkan ke kegiatan

Dari hasil yang diperoleh diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan yang dihasilkan individu, maka individu tersebut menjadi lebih

Project procurement management adalah proses untuk membeli atau mendapatkan dari pihak luar; produk atau jasa yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan proyek.. Tabel 1 menyajikan

2 Pengaruh Intensitas Menonton Televisi dan Komunikasi Orang Tua-Anak Terhadap Kedisiplinan Anak dalam Mentaati Waktu Arista Fitriawanti (2010), dari Universitas

diadakan dengan menyebut nama, jabatan/pekerjaan dan kapasitasnya dalam pemeriksaan pendahuluan, yang disampaikan langsung kepada Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak

menganai hasil kerja peneliti dan aktivitas belajar siswa selama tindakan dalam. pembelajaran ekonomi dengan menggunakan model