BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika dari tumbuhan bunga pacar air merah (anonim, 2005) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Klass : Magnoliopsida Ordo : Ericales Famili : Balsaminaceae Genus : Impatiens
Spesies : Impatiens balsamina Linn
2.1.2 Sinonim
Sinonim : Impatiens cornuta Linn, Impatiens hortensis Desf, Impatiens
mutila D.C., Balsamina mutila DC 2.1.3. Nama Daerah
Nama daerah dari bunga pacar air merah : lahine (Nias), pacar banyu (Jawa), pacar cai (Sunda), paru inai (Sumbar), pacar toya (Belitung) (Hariana, Arief, 2007).
2.1.4 Morfologi
Pacar air berasal dari india. Di Indonesia ditanam sebagai tanaman hias, kadang-kadang ditemukan tumbuh liar. Terna berbatang basah dan tegak ini mempunyai tinggi 30-80 cm dan bercabang. Daun tunggal, bertangkai pendek. Helaian daun bentuk lanset memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, dan warnanya hijau muda. Bunga keluar dari ketiak daun tanpa daun penumpu, Bunga bewarna cerah, ada beberapa macam warna. Seperti merah, merah jingga, ungu, putih, dll. Ada yang “engkel” dan ada yang “dobel”. Buahnya buah kendaga, bila masak akan membuka menjadi 5 bagian yang terpilin.
2.1.5 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis
Kandungan kimia: Bunga: antosianin yaitu: cyanidin, delphinidin, pelargonidin, dan malvidin, kaempherol, quercetin; Akar: cyanidin mono glycoside.
Efek farmakologis pacar air diantaranya melancarkan peredaran darah dan melunakkan masa/benjolan yang keras. Efek farmakologis akar pacar air diantaranya peluruh haid (emenagog), anti inflamasi (anti radang), rematik, kaku leher, kaku pinggang, sakit pinggang (lumago), dan lain-lain. Efek farmakologis bunga pacar air di antaranya peluruh haid, tekanan darah tinggi (hipertensi), pembengkakkan akibat terpukul (hematoma), bisul (furunculus), rematik sendi, gigitan ular tidak berbisa, dan radang kulit (dermatitis). Efek farmakologi daun pacar air di antaranya mengobati keputihan (leucorrhoea), nyeri haid (dysmenorrrhoea), radang usus buntu kronis (cronic appendicitis), anti radang, tulang patah atau retak (fraktur), radang kulit, dan radang kuku. Sementara biji pacar air memiliki efek farmakologismeluruhkan haid
(emegog), terlambat haid (amenorrhoeae), mempermudah persalinan (paturifasien), dan mengobati kanker saluran pencernaan (Hariana, Arief, 2007).
2.2 Uraian Kimia 2.2.1 Flavonoida
Senyawa Favonoida adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena tersubstitusi yang dihubungkan oleh satu rantai alifatik yang mengandung tiga atom karbon. Kerangka dasar dari struktur flavonoida adalah sistem C6-C3-C6 (Manitto, 1981;Robinson, 1995; Sastrohamidjojo, 1996).
Gambar 1. Kerangka dasar struktur flavonoida
Penggolongan flavonoida dapat dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan. Cincin A umumnya memiliki karakteristik pola hidroksilasi floroglusinol atau resorcinol sementara cincin B biasanya katekol atau fenol. Gugus-gugus hidroksil tersebut merupakan tempat berikatannya berbagai gula yang meningkatkan kelarutan flavonoida dalam air. Sistem penomoran pada struktur dasar flavonoida sebagai berikut:
5 4
Gambar 2. Sistem penomoran pada struktur dasar flavonoida
Cincin A dan oksigen cincin tengah berdasarkan alur biosintesisnya terbentuk melalui jalur poliketida. Sedangkan cincin B dan tiga atom karbon cincin tengah menunjukkan flavonoida yang berasal dari jalur sikimat (Manitto, 1981 dan Salisbury, 1992).
Aglikon flavonoida pada umumnya terdapat dalam berbagai bentuk struktur molekul dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida, sehingga dalam menganalisis flavonoida lebih baik memeriksa aglikon yang telah dihidrolisis dibanding dengan bentuk glikosida, karena stukturnya yang rumit dan kompleks. Modifikasi flavonoida dapat terjadi dengan berbagai tahap dan menghasilkan penambahan (pengurangan) hidroksilasi, metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi (pembentukan biflavonoida), dan yang terpenting glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan flavonoida O-glikosida) atau inti flavonoida (pembentukan flavonoida C-glikosida) (Harborne, 1987 dan Markam, 1988).
Menurut Robinson (1995), senyawa golongan flavonoida dapat diklasifi-kasikan sebagai berikut:
Flavon dan flavonol merupakan senyawa yang paling tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan berwama kuning. Dari segi struktumya, flavon berbeda dengan flavonol, dimana pada flavonol terdapat gugus keton dan alkohol yakni gugus keton pada posisi 4 dan hidroksi pada posisi 3 sehingga berpengaruh terhadap serapan ultraviolet, gerakan kromatogram dan reaksi warnanya. Sedangkan flavon hanya memiliki gugus keton yakni pada posisi 4 dan umumnya terdapat sebagai glikosida pada posisi 7-glikosida. Gula yang terikat biasanya glukosa, galaktosa, dan ramnosa. Aglikon flavonol yang umum dijumpai yaitu kaemferol dan kuersetin yang berkhasiat sebagai antioksidan pada penyakit kanker dan antiinflamasi (Harborne, 1987 ; Hemani dan Rahardjo, 2005 ; Miller, 2005 ; Robinson, 1995 dan Sastrohamidjojo, 1996).
Gambar 3. Struktur flavon dan flavonol
2. Isoflavon
Isoflavon merupakan golongan flavonoida yang jumlahnya sangat sedikit, dan sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun, tetapi
flavon flavonol OH
beberapa isoflavon berwarna biru muda bila dilihat dibawah sinar ultraviolet setelah diberi uap amonia (Harborne, 1987).
Menurut Hernani dan Rahardjo (2005), senyawa isoflavon mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang dapat mengurangi resiko penyakit kanker, jantung koroner, dan osteoporosis. Senyawa ini mempunyai aktifitas biologis sebagai penangkap radikal bebas penyebab kanker. Aktifitas biologis senyawa isoflavon telah diteliti dan menunjukkan bahwa aktifitas isoflavon berkaitan dengan struktur dan gugus-gugus yang berikatan pada struktur molekulnya. Adanya gugus OH ganda, gugus OH pada atom C3 ataupun C5 yang berdekatan
dengan gugus C=O pada struktumya berhubungan terhadap aktifitas biologisnya (Pawiroharsono, 2004)
Gambar 4. Struktur isoflavon
3. Flavanon dan Flavanonol
Kedua senyawa ini terdapat sedikit sekali di alam bila dibandingkan dengan golongan flavonoida yang lain. Pada struktur flavanon dan flavanonol tidak dijumpai adanya ikatan rangkap pada posisi 2 dan 3. Perbedaannya terletak pada adanya gugusan alkohol di posisi 3 pada flavanonol (3-hidroksi flavanon). Glikosida flavanon (dihidroflavon) yang umum seperti hesperidin dan naringin yang terdapat
pada buah jeruk berkhasiat sebagai antioksidan. Polihidroksi flavanon dapat dideteksi dengan pereduksi magnesium dalam asam klorida yang memberikan warna merah atau lembayung. Flavanonol merupakan flavonoida yang kurang dikenal dan tidak diketahui apakah senyawa ini terdapat sebagai glikosida. Beberapa senyawanya yang diasetilasi dikenal karena rasanya yang sangat manis (Bruneton, 1995 ; Hernani dan Rahardjo, 2005 ; Robinson, 1995).
flavanon flavanonol Gambar 5. Struktur flavanon dan flavanonol 4. Antosianin
Antosianin adalah pigmen berwaraa merah, ungu, dan biru yang terdapat pada seluruh tumbuhan kecuali fungus. Sebagian besar antosianin dalam bentuk glikosida, biasanya mengikat satu atau dua unit gula seperti glukosa, galaktosa, ramnosa, dan silosa. Jika monoglikosida, maka bagian gula hanya terikat pada posisi 3, dan pada posisi 3 dan 5 bila merupakan diglikosida dan bagian aglikionnya disebut antosianidin. Sebagian besar antosianin berwarna kemerahan dalam larutan asam, tetapi menjadi ungu dan biru dengan meningkatnya PH yang akhirnya rusak dalam larutan alkali kuat (Sastrohamidjojo, 1996; Salisbury, 1992).
o
Gambar 6. Struktur antosianin
5. Auron dan Khalkon
Auron berupa pigmen kuning yang terdapat pada bunga tertentu dan Bryofita. Dikenal hanya lima aglikon, tetapi pola hidroksilasinya serupa dengan pola pada flavonoida lain begitu pula bentuk yang dijumpai adalah bentuk glikosida dan eter metil. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah rosa. Auron ditandai dengan adanya struktur 2-benzilidenekumaranon. Khalkon tidak mempunyai inti pusat heterosiklik tetapi ditandai oleh adanya 3 rantai karbon dengan gugus keton dan a,p tidak jenuh (Bruneton, 1995; Robinson, 1995).
Gambar 7. Struktur auron dan khalkon
2.2.2 Glikosida
Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis akan menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida ialah
glukosa (Lewis, 1977). Glikosida dihidrolisis dengan cara pendidihan dalam asam encer dan secara kimia maupun fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).
Berdasarkan hubungan ikatan antara glikon dan aglikonnya, glikosida dapat dibagi menjadi empat (Farnsworth, 1966), yaitu :
1 . O-glikosida, jika ikatan antara glikon dan aglikon dihubungkan oleh atom O, contohnya: salisin
Salisin
2. S-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom S. contohnya: sinigrin.
3. N-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom N, contohnya: krotonosida
4. C-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom C, contohnya: barbaloin.
Bentuk O-glikosida sangat mudah terurai oleh pengaruh asam, basa, enzim, air, dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun semakin panas lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat terhidrolisis. Gula yang sering berikatan pada glikosida adalah P-D-glukosa. Tetapi ada juga mengandung gula lain misalnya galaktosa, ramnosa, digitoksosa, dan simarosa. Glikosida berbentuk kristal atau amorf yang umumnya larut dalam air atau etanol encer (kecuali pada glikosida resir). Oleh karena itu, umumnya sediaan farmasi yang mengandung glikosida diberikan dalam bentuk eliksir, ekstrak, tingtur dengan kadar etanol yang rendah. Secara umum, kegunaan glikosida dalam dunia pengobatan diantaranya sebagai obat jantung, pencahar, pengiritasi lokal, dan analgetikum (Farnsworth, 1966; Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif ysng dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel.
Maserasi adalah proses penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang mudah diusahakan.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur tititk didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang pada umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500 C.
4. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000 C.
2.4 Kromatografi
kromatografi adalah metode pemisahan berdasarkan proses migrasi dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebik awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai penjerap, seperti alumina dan silika gel, atau dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Ditjen POM, 1995)
2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah kromatografi adsorbsi dimana adsorben bertindak sebagai fase diam. Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel, alumina, kieselguhr, dan selulosa. Zat-zat penyerap ini dibuburkan dengan air lalu dibuat lapisan tipis yang merata pada lempeng kaca. Plat yang telah kering dipanaskan/diaktifkan dengan memanaskannya pada suhu kira-kira 1000 C selama 30 menit. Campuran senyawa yang akan dipisahkan terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap lalu ditotolkan pada plat menggunakan pipet mikro. Kemudian dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat berisi larutan pengembnag yang cocok (fase gerak) (Adnan, 1997 dan Sastrohamidjojo,1991).
Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi adsorpsi (serapan), dimana sebagai fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut dengan larutan pengembang.
Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan, yaitu :
1. Sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. 2. Mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom
Pemilihan sistem pelrut (fase gerak) pada pengembangan didasarkan atas prinsip like disolves like berati untuk memisahkan campuran yang bersifat non polar digunakan sistem pelarut yang non polar dan sebaliknya. Fase gerak yang dipakai umumnya berupa campuran beberapa pelarut. Proses pengembangan akan lebih baik bila bejana pengembang telah jenuh dengan uap fase gerak (Adnan, 1997; Gritter, dkk., 1991).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf = jarak perambatan bercak dari titik penotolan
Jarak perambatan pelarut dari titik penotolan
Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak dengan harga Rf berada antara 0,00-1,00. harga Rf ini sangat berguna untuk mengidentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 1991) :
1. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan 2. Sifat penyerap
4. Pelarut dan derajat kemurniannya
5. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana 6. Teknik percobaan
7. Jumlah cuplikan yang digunakan 8. Suhu
2.4.2 Kromatografi kertas
Kromatografi kertas merupakan partisi dimana fase geraknya adalah air yang disokong oleh molekul-molekul selulosa dari kertas. Kertas yang digunakan adalah kertas Whatman No. 1 dan kertas yang lebih tebal Whatman No. 3 biasanya untuk pemisahan campuran dalam jumlah yang lebih besar karena dapat menampung lebih banyak cuplikan (Sastrohamidjojo, 1991).
Fase gerak yang digunakan biasanya campuran dari satu komponen organik yang utama, air dan berbagai tambahan seperti asam-asam, basa atau pereaksi-pereaksi kompleks dengan tujuan untuk memperbesar kelarutan dari beberapa senyawa atau untuk mengurangi kelarutan yang lainnya (Sastrohamidjojo, 1991).
Menurut Sastrohamidjojo (1991), kromatografi kertas dapat dikembangkan dengan cara:
1. Menurun (desendens)
Dilakukan dengan membiarkan fase gerak merambat turun pada kertas kromatografi. Kertas digantungkan dalam bejana menggunakan batang kaca dan batang kaca lain menahan ujung atas kertas yang tercelup dalam fase gerak. Setelah bejana ditutup, fase gerak dibiarkan merambatturun pada kertas (Depkes, 1979).
2. Menaik (asendens)
Kertas digantung pada penggantung berbentuk kail yang dipasang pada penutup bejana kromatografi. Pelarut diletakkan pada bagian bawah dari bejana lalu ujung bawah kertas dicelupkan ke dalam fase gerak sehingga fase gerak merambat naik pada kertas.
3. Mendatar
Kertas yang digunakan berbentuk bulat dan ditengahnya diberi lubang tempat untuk meletakkan sumbu yang terbuat dari gulungan kertas atau benang. Fase gerak akan naik membasahi kertasdan merambat melingkar memisahkan senyawa yang ditotolkan.
Kromatografi kertas merupakan metode yang sering digunakan dalam hal analisis senyawa polar (falvonoida). Untuk tujuan isolasi, hanya memerlukan sejumlah bahan yang sedikit. Komponen senyawa flavonoida umumnya mudah dipelajari dengan metode kromatografi karena sifatnya yang menghasilkan warna dan hubungan sifat kelarutannya. Adapun kelebihan kromatografi kertas yaitu senyawa flavonoida dapat menghasilkan warna alami dari berbagai komponen senyawa bila dilihat dibawah sinar ultraviolet yang mudah diamati pada kertas. Kedua tekniknya mudah dipelajari, memberikan hasil yang cepat dan memerlukan peralatan yang tidak mahal. Selain itu, metode kromatografi kertas merupakan cara terbaik untuk mengidentifikasi campuran senyawa flavonoida dengan jumlah yang sedikit (Geissman, 1962).
2.5 Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri ultraviolet adalah suatu metode spektrofotometri serapan dengan cara mengukur radiasi elektromagnetik suatu larutan pada panjang gelombang tertentu. Spektrum ultraviolet digambarkan sebagai hubungan antara panjang gelombang (frekuensi serapan) dengan intensitas serapan (transmitansi atau absorbansi) (Depkes, 1979 dan Sastrohamidjojo, 1985).
Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, maka didalam molekul tersebut terjadi perpindahan dan transisi tingkat energi elektron-elektron ikatan di orbital molekul paling luar daari tingkat energi yang lebih rendah (orbital ikatan π *). Dalam praktek, spektrofotomeri ultraviolet digunakan terbatas pada sistem-sistem terkonjugasi. Keuntungan dari serapan ultraviolet adalah selektivitasnya dimana gugus-gugus yang khas dapat dikenal dalam molekul-molekul yang sangat kompleks (Noerdin, 1985; Sastrohamidjojo, 1985 dan silverstein, dkk., 1986).
Spektrum ultraviolet dari suatu senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (cahaya monokromatis) melalui larutan encer senyawa tersebut.
Sistem (gugus atom) yang menyebabkan terjadinya absorbsi cahaya disebut kromofor. Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi σ → σ* ialah senyawa yang mempunyai elektron pada orbital molekul σ, yaitu molekul organik jenuh yang tidak mempunyai atom dengan pasangan elektron sunyi. Senyawa yang mempunyai transisi σ → σ* mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 150 nm.
Kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi π → π* ialah senyawa yang mempunyai transisi π → π* mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 200 nm.
Kromofor yang menyebabkan n → π* ialah senyawa yang mempunyai orbital molekul n, yaitu senyawa yang mengandung atom yang mempunyai pasangan elektron sunyi. Senyawa yang mempunyai transisi n → π* mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang 200-400 nm (Creswell, et al., 1982; Geissman, 1977).
Istilah-istilah dalam spektrofotometri ultraviolet menurut Noerdin (1985) dan silverstein, dkk (1986) yaitu :
1. Khromofor adalah gugus fungsi berupa ikatan tak jenuh yang menyerap radiasi didaerah ultraviolet dan daerah tampak. Contoh : C=C, C≡C, dan C=O.
2. Auksokrom adalah gugus fungsi dengan ikatan jenuh dan mengandung elektron tidak berpasangan yang tidak menyerap radiasi pada panjang gelombang yang lebih besar dari 200 nm tetapi apabila terikat pada gugus khromofor maka akan merubah panjang gelombang dan intensitas serapan dari khromofor. Contoh : -OH, -NH2, -Cl.
3. Pergeseran batokromik (pergeseran merah) adalah pergeseran serapan ke arah pnjang gelombang yang lebih panjang akibat adanya substitusi gugus khromofor atau pengaruh pelarut.
4. Pergeseran hipsokromik (pergeseran biru) adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek akibat adanya substitusi gugus khromofor atau pengaruh pelarut.
5. efek hiperkromik adalah kenaikan dalam intensitas serapan. 6. Efek hipokromik adalah penurunan dalam intensitas serapan.
Spektroskopi serapan adalah cara yang berguna untuk menganalisis struktur flavonoida. Cara tersebut digunakan untuk mambantu mengidentifikasi jenis flavonoida dan menentukan pola oksigenasi. Disamping itu kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoida dapat ditentukan dengan penambahan pereaksi geser kedalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi (Markham, 1988).
Spektrum falvonoida biasanya ditentukan dalam pelarut metanol. Spektrum khas terdiri atas dua maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) 300-350 (pita I) (Markham, 1988)
2.5.1 Spektrum Natrium Metoksida
Natrium metoksida adalah merupakan basa kuat yang dapat mengionisasi hampir semua gugus hidroksil yang terdapat pada inti flavonoida. Spektrum ini biasanya merupakan petunjuk sidik jari pola hidroksilasi. Degradasi atau pengurangan kekuatan spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk baik akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Pereaksi pengganti natrium metoksida adalah larutan natrium hidroksida 2M dalam air (Markham, 1988)
2.5.2 Spektrum Natrium Asetat
Natrium asetat adalah basa yang lebih lemah dan hanya menyebabkan pengionan yang berarti pada gugus hidroksil flavonoida yang lebih asam. Natrium
asetat digunakan terutama untuk mendeteksi adanya gugus 7 hidroksil (Markham, 1988).
2.5.3 Spektrum natrium asetat/ asam borat
Menjembatani kedua gugus kedua gugus hidroksil pada gugus orto-dihidroksi dan digunakan untuk mendeteksinya (Markham, 1988).
2.5.4 Spektrum AlCl3/HCl
Karena membentuk kompleks antara gugus hidroksil dan keton yang bertetangga dan membentuk kompleks tidak tahan asam dengan gugus orto-dihidroksil, pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut. Jadi spektrum AlCl3 merupakan penjumlahan pengaruh semua kompleks terhadap
spektrum, sedangkan spektrum AlCl3/HCl hanya merupakan pengaruh kompleks
hidroksiketo (Markham, 1988).