• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM NASIONAL INDONESIA:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM NASIONAL INDONESIA:"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM NASIONAL INDONESIA: UNIFIKASI DICITA-CITAKAN,

PLURALISME ACAP MERUPAKAN FAKTA MENYULITKAN* Oleh : Soetandyo Wignjosoebroto

1. Hukum Nasional: Sebuah Pengertian. Berbicara tentang Hukum Nasional ', juga yang berkenaan dengan persoalan di Indonesia, ada satu hal yang harus disepakatkan terlebih dahulu mengenai apa sesungguhnya yang harus dimaksudkan sebagai 'hukum (nasional)' itu. Hukum' adalah suatu konsep abstrak yang karena itu selalu menjadi objek multitafsir. Dalam kehidupan kebangsaan yang terorganisasi dalam bentuk negara yang demokratik, yang lazim didefinisikan sebagai hukum (nasional) itu, (baik dalam teori maupun dalam praktik!) tidaklah lain daripada hukum yang dibentuk dan/atau dibuat oleh suatu organ negara (yang disebut badan legislatif) ke/di dalam wujudnya sebagai hukum perundang-undangan, yang tentu saja tertulis. Sekalipun demikian, dalam banyak perbincangan, apa yang disebut hukum ini acap pula merujuk ke berbagai norma sosial yang tertulis ataupun tak tertulis, sekalipun tak dilandasi sanksi formal negara disebut juga · hukum '; seperti misalnya tlukum adat' atau 'hukum agama '.

2. Riwayat Awal Lahirnya Konsep 'Hukum Nasional'. Dalam riwayat awalnya sebagaimana tersimak dalam sejarah kebangsaan dan sejarah negara bangsa yang bermula di negeri-negeri Eropa kawasan Katolik Barat (yang lazim disebut 'Eropa

'Makalah ini disampaikan pada Seminar Tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya Bagi Pembentukan Sistem Hukum Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Sulawesi Selatan.

(2)

Barat begitu saja), hukum perundang-undangan seperti ini umumnya merupakan hasil nasionalisasi atau formalisasi (yang dalam bahasa teknisnya disebut 'positivisasi) saja dari hukum masyarakat setempat. 1 Lewat nasionalisasi atau formalisasi (yang juga disebut positivisasi ini), hukum rakyat setempat ini - entah yang adat tak tertulis, entah yang terbilang hukum agama dan tertulis - akan diaku sebagai hukum nasional, yang karena itu akan diberlakukan dan ditegakkan di seluruh negeri oleh badan dan/atau aparat negara. Positivisasi hukum yang sekaligus juga merupakan langkah kerja unifikasi - yang di Perancis, pada masa kekuasaan Napoleon, sekaligus juga merupakan kerja kodifikasi - berlangsung pad a a bad 17-18 tatkala the making of Europe is the making of national states dan bukan lagi the making of kings

and queen.2

3. Kebutuhan Akan Hukum Nasional dalam Suatu Kehidupan Negara Bangsa yang Modern. Perkembangan hukum nasional berlangsung seiring dengan perkembangan kekuasaan sentral suatu negara bangsa. Hukum nasional itu pada hakikatnya adalah hukum yang kesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam

skala-' Dalam riwayatnya, sebagaimana berkembang sebagai produk sejarah Eropa Barat (pada suatu era tatkala

the making of Europe is the making of nations. dan tidak lagi ditentukan oleh the making of kings and queens).

hukum yang diakui berlaku bukanlah lagi seperangkat Iiiah raja daniatau fatwa ulama. melainkan tala kebiasaan masyarakat (ius) yang Ieiah dibentuk (conslllutum) oleh suatu badan perwakilan, untuk kemudian menemukan bentuknya yang baru sebagai undang-undang (lex, lege). Ius yang Ieiah dibentuk sebagai hukum nasional inilah yang kemudian diakui sebagai satu-satunya perangkat hukum yang berlaku, yang karena itu diberi kedudukan yang tertinggi, mengatasi aturan macam apapun yang ada dalam kehidupan nasional berdasarkan prinsip the supreme stale of law. Baca: Harold Berman, Law And Revolution: The Development of Western Legal Tradition

(Cambridge, Mass. Harvard University Press, 1983).

'Niklas Luhman, Rechtsso-ziologie (Reinbek bei Hamburg Rowehlt Taschanbuch Verlag, 1972). Terjemahannya ke dalam bahasa lnggris dikerjakan oleh Elizabeth King dan Martin Albrow, A Sociological Theory of law (london: Routledge & Keegan Paul, 1985)., khususnya Bab 3 tentang "The Development of State and law".

(3)

skala yang lebih luas, dan kehidupan komunitas lokal (yang tradisional dan berumur tua) mulai terdisintegrasi untuk meluluh ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal (pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang tunggal dan ditulis dalam ayat-ayat yang terumus pasti lalu amatlah terasanya. Maka gerakan ke arah terwujudnya hukum nasional dengan sanksi sentral lalu terlihat jelas di sini dan tersimak sebagai bagian inheren proses nasionalisasi dan negaranisasi. lnilah gerakan yang, setidak-tidaknya pada masa awalnya, serta merta berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.

4. Nasionalisasi/Positivisasi Hukum Rakyat untuk Menghasilkan Hukum Nasional. Nasionalisasi yang dikerjakan lewat kerja formalisasi atau positivisasi seperti ini, pada awalnya dan pada asasnya, '11anyalah merupakan "kerja meresmikan" saja apa yang telah berlaku dan diikuti oleh warga masyarakat sebagai kebiasaan sehari-hari. Di daratan Eropa Barat, mengikuti tradisi Perancis yang disebut civil law sistem, nasionalisasi ini dilakukan lewat proses-proses legislatif yang menghasilkan kitab-kitab undang-undang untuk dijadikan sumber hukum yang resmi bagi para hakim ketika harus mengadili suatu perkara. Sementara itu, di lnggris berikut daerah-daerah jajahannya dengan tradisi yang tertata di bawah common law system, nasionalisasi norma-norma sosial seperti itu berlangsung lewat proses-proses yudisial yang menghasilkan koleksi judge-made

(4)

laws. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, terbukti bahwa proses nasionalisasi berdasarkan common law system (yang lebih berkesan ditangani hakim dan lawyers professional) bisa lebih bersifat responsif pada tuntutan perkembangan kebutuhan hukum rakyat daripada yang berdasarkan civil law system (yang lebih merupakan hasil political deals para politisi di parlemen), dengan kecenderungan sifatnya yang represif dan "maunya mengontrol ".

5. Unifikasi Hukum Nasional. Upaya nasionalisasi hukum rakyat seperti ini umumnya bermakna sekaligus juga sebagai upaya unifikasi. Unifikasi seperti ini, baik yang berlangsung lewat kerja-kerja legis Iatif (yang mendoktrinkan 'hierarki perundang-undangan ') maupun yang dilaksanakan lewat proses-proses yudisial (dengan doktrin stare decisisnya), tidaklah demikian menimbulkan kesulitan di negeri-negeri Barat. Adapun yang menjadi sebabnya tak lain karena negara-negara bangsa Barat itu dibangun di atas fondasi kesatuan bangsa yang faktual secara kultural (ditengarai utamanya oleh kesamaan bahasa, apapun juga varian dialeknya). Di negeri-negeri berkembang bekas negeri-negeri jajahan, kenyataannya tidaklah demikian. Negeri-negeri berkembang ini umumnya merupakan kelanjutan negara-negara kolonial yang dibangun berdasarkan kepentingan organisasi kehidupan bernegara bangsa di atas kemajemukan sosio-kultural.

6. Kesulitan Menduplikasi Pengalaman Barat untuk Mengunifikasikan Hukum. Kesulitan menduplikasi pengalaman Eropa Barat untuk menata tertib hukum di daerah-daerah jajahan atau ex-daerah jajahan itu terletak pada kenyataan bahwa

(5)

kondisi sosial kultural di negeri-negeri (ex) jajahan itu sangat menggambarkan kemajemukan. Satuan-satuan bangsa di negeri-negeri ex jajahan yang mendambakan terbentuknya negara bangsa dengan suatu hukum nasional yang tunggal ini pada galibnya bukanlah satuan bangsa yang berkesatuan moyang dan/ atau berkesatuan tradisi yang alami. Di negeri-negeri ini satuan-satuan bangsa dilahirkan lewat ikrar-ikrar untuk bersatu sebagai satu kesatuan bangsa, sekalipun secara kultural (bahasa, adat dan hukum adat) satuan-satuan masyarakat di negeri-negeri tak sekali-kali menggambarkan ketunggalan. Positivisasi hukum rakyat ke arah terbentuknya hukum nasional yang tunggal tidaklah akan mudah dilakukan.

7. From Old Traditional Societies to A New Nation State. Betapapun tinggi semangat nasionalisme yang mendasari kehendak untuk menciptakan suatu hukum tunggal untuk seluruh warga bangsa, namun tetap harus diingat bahwa kelahiran negara bangsa itu tidaklah berasal dari suatu ruang hampa. Apa yang disebut lokal dan serba tradisional itu sesungguhnya berumur lebih tua, dan lebih mengakar dalam sejarah, daripada apa yang nasional dan modern itu. Maka, mengingat kenyataan bahwa model hukum nasional, dan bahkan model negara bangsa itu sendiri, adalah invensi Barat yang dicoba untuk dipinjam - pakai di - kalaupun tak ditransplantasikan ke - negeri ini, tidaklah apa yang berasal dari luar itu bisa begitu saja tumbuh kembang dengan mengingkari apa yang telah dan masih tengah berlaku sebagai tradisi dan hukum yang asli.

(6)

8. Ketahanan Hukum Rakyat, Sekalipun Berstatus Informal. Tak pelak lagi, perubahan kehidupan yang sedang terjadi, yang dikatakan Geertz sebagai perubahan from old societies to a new state, tidaklah akan dapat berlangsung begitu saja tanpa hambatan sosial-kultural. Kalaupun hambatan itu tidak terjadi pada proses-proses pembuatannya, kesulitan akan banyak ditemui ketika hukum nasional itu harus direalisasi di dalam kehidupan sehari-hari. Hukum rakyat setempat - sekalipun tak tertulis dan tak memiliki ciri-cirinya yang positif - adalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki makna sosial daripada hukum yang terwujud dan bersitegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral · pemerintah-pemerintah nasional. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum rakyat setempat itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya yang politik. Sekalipun begitu, kekuatan dan kewibawaan hukum rakyat itu memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu, melainkan dari imperativa-impentivanya yang moral dan kultural.

9. Kesatuan Politik Dengan Cita-Cita Kesatuan Hukum Nasional Yang Satu, Namun Yang Harus Dibangun di Atas Kemajemukan Sosiai-Kultural dengan Keragaman Hukum Rakyat. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional, tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional. Tak pelak lagi, di negeri-negeri yang berkultur bhinneka, namun yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lewat berbagai ikrar dan pernyataan tekad!), eksistensi hukum nasional yang memanifestasikan

(7)

nasionalisme politik itu selalu menghadapi masalah pluralisme. Berbagai ragam hukum lokal, yang memanifestasikan kesetiaan-kesetiaan dan kebutuhan-kebutuhan lokal, tidaklah akan mudah tersingkir begitu saja, melainkan tetap saja bertahan kalaupun tidak malah menguat. Pertanyaan yang selalu mengganggu ialah, dapatkah model hukum negara bangsa Eropa yang bertumpu pada suatu kesatuan kultur yang homogen diduplikasi begitu saja guna membangun satuan kehidupan yang ternyata berkultur majemuk, yang oleh karena itu juga akan mencuatkan masalah pluralisme hukum rakyat?

10. Tentang Konsep Legal Gap. Legal gap adalah celah atau silang selisih perbedaan antara apa yang diperintahkan oleh hukum nasional untuk dikerjakan dan apa yang nyatanya dikerjakan oleh warga masyarakat sehubungan dengan pilihan mereka untuk lebih menaati hukumnya sendiri yang informal. Memperbincangkan legal

gap seperti ini secara implisit akan berarti pula memperbincangkan ihwal keefektifan hukum nasional untuk mengontrol kehidupan rakyat. Dalam pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat pada dasawarsa-dasawarsa awal abad 19, hukum yang diundangkan sebagai hukum nasional memang hukum yang bersubstansi tidak terlalu jauh berbeda dengan norma-norma sosial yang lokal. Kodifikasi Napoleon adalah contoh suatu hukum nasional yang merupakan hasil perekaman kembali apa yang memang telah berlaku dan dianut oleh masyarakat-masyarakat lokal di negeri itu. Di sini substansi hukum rakyat yang dianut sebagai tradisi dan substansi hukum perundang-undangan tidaklah banyak berbeda. Maka pada masa itu di negeri Perancis itu, fiksi

(8)

bahwa "setiap orang harus dianggap mengetahui isi setiap undang-undang negara ", dan karena itu 'tak seorangpun boleh mengelak dari hukuman atas dasar dalih bahwa ia tidak pernah mengetahui hukumnya" (ignoratio iuris), tidak pernah menimbulkan keberatan apa-apa.

11. Legal Gap: Pengalaman Austria. Persoalannya menjadi amat berbeda ketika hukum Perancis, yang dikodifikasikan atas perintah Napoleon, diterapkan di dan untuk Austria. Austria memiliki tradisi kaidah hukum rakyatnya sendiri -- yang tumbuh dan berkembang menurut sejarahnya sendiri -- dan yang tentu saja berbeda dari norma-norma sosial yang tumbuh kembang sebagai pengalaman masyarakat Perancis yang telah dikodifikasikan itu. Menerima kodifikasi hukum Perancis, yang ditegakkan berdasarkan sanksi kekuasaan negara, pada hakikatnya adalah suatu kebijakan untuk meresepsi hukum Perancis yang asing itu, yang kandungan normatifnya nyata kalau berbeda dengan kandungan normatif hukum tak tertulis yang dianut masyarakat setempat. Eugen Ehrlich, seorang profesor hukum berkebangsaan Austria, mensinyalir pada waktu itu bahwa hukum yang tercetak di kitab-kitab nyata kalau berbeda dari hukum yang hidup dan dianut rakyat dalam kehidupan sehari-hari dengan segala keyakinannya di tengah masyarakat.

Eugen Ehrlich dan Konsepnya Tentang Das Lebend Recht. Kebijakan untuk memberlakukan hukum perundang-undangan yang secara substantif asing bagi masyarakat setempat adalah kebijakan yang berangkat dari prasangka universalisme. lnilah prasangka bahwa di bumi ini ada hukum yang telah sempurna

(9)

dan final, yang karena itu dapat diberlakukan di manapun dan kapanpun. inilah konsep yang dipercaya oleh Napoleon, yang memotivasi dia dan penasihat-penasihatnya untuk menerapkan

code napoleon ke seluruh dataran Eropa, antara lain ke Austria itu. Syahdan, Eugen Ehrlich itulah orangnya yang dengan jelas mencabar dengan mempertanyakan apakah betul ada

universal law sebagaimana dipositifkan oleh Napoleon. Ehrlich

mempertanyakan, mengapa segala yang telah dideskripsikan secara positif dan formal di dalam hukum perundang-undangan nasional - dan diberlakukan dalam sidang-sidang pengadilan negara - dalam kenyataan sehari-hari yang riil tidaklah diikuti. Dari sini pula lahirnya suatu wacana yang mempertanyakan apakah hukum itu sejatinya seluruh peraturan yang telah ditulis dalam kitab-kitab kodifikasi, ataukah sesungguhnya tak lain daripada seluruh keteraturan perilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka yang rill.

12. Legal Gaps: Pengalaman Indonesia. Pengalaman Austria menunjukkan fakta bahwa sesegera hukum negara yang formal dan positif itu memasuki ranah kultural yang berbeda, sesegera itu pula masalah pluralisme yang bersumber dari fakta kemajemukan kultural akan bermula. Pengalaman Austria tersebut adalah pula pengalaman Indonesia ketika masih merupakan daerah jajahan Belanda. Ketika pada pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 ini pemerintah Hinrlia Belanda memutuskan untuk memberlakukan hukum perdata untuk golongan penduduk Eropa, reaksi-reaksi timbul dengan kerasnya dari beberapa kalangan politisi dan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologik dan historik, mulai

(10)

dari pernyataan van der Vinne pada tahun 1840an sampai usaha van Vollenhoven 6-7 dasawarsa kemudian untuk mempertahankan hukum adat rakyat pribumi. Maka, sudah pada tahun 1850an, kebijakan dualisms (yang menyatakan bahwa setiap golongan penduduk akan tunduk pada hukumnya sendiri), dan kebijakan yang memungkinkan orang-orang pribumi menundukkan diri secara sukarela kepada hukum perdata Eropa ( disebut lembaga vrijwillige onderwerping), diresmikan sebagai kebijakan dasar dalam penataan hukum kolonial.

13. Mengatasi Masalah Yang Tak Selalu Mudah. Pengalaman pada zaman kolonial untuk mengatasi legal gaps yang berpotensi konflik - antara hukum yang diberi sanksi negara dengan hukurn rakyat yang diyakini warga masyarakat lokal - dengan kebijakan dualismenya (yang sedikit banyak boleh dibilang sukses) ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan. Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai 'tlukum yang hidup" berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk "menyatukan" Indonesia ke dalam dan sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan telah bercenderung untuk mengabaikan hak-hak kultural rakyat yang asasi mengenai hukum dan tradisinya sendiri, untuk digantikan dengan hukum nasional yang diunifikasikan dalarn bentuk hukum perundang-undangan nasional. Di sini kebijakan pembangunan dan pembinaan hukum nasional telah merentas jalan ke arah terealisasinya cita-cita untuk memfungsikan hukum nasional sebagai kekuatan pembaharu, demi terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat

(11)

lokal yang berciri agraris dan berskala lokal ke suatu kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial, dalam format dan skalanya yang nasional (dan bahkan kini mungkin juga global).

14. Hukum Nasional Versus Hukum Rakyat: Progresisme Versus Konservatisme? Cita-cita perubahan pada umumnya bermula dari isi pemikiran para pengendali kebijakan pemerintahan. Sementara itu, pada umumnya, kesetiaan warga masyarakat (khususnya dari golongan kurang terdidik secara formal) lebih tertuju ke keyakinan-keyakinan yang dikukuhi secara konservatif di dalam komunitasnya. Maka terjadilah di sini tegangan yang terasa saling memaksa antara ide elit pemerintah (beserta para pendukungnya) dengan lapis-lapis masyarakat awam. Para elit mencita-citakan perubahan ke arah pola kehidupan yang baru, modern, industrial dan berkesetiaan nasional, sedangkan masyarakat awam pada umumnya cenderung meragukan manfaat perubahan. Kenyataan membuktikan betapa (misalnya!) sesegera kepemilikan tanah atau pengelolaan hutan tidak lagi diakui bertumpu pada legitimasi hukum rakyat, melainkan harus disumberkan kesahannya pada hukum nasional yang menjadikan berbagai sumber daya agraria (macam apapun!) menjadi objek kapital yang markettable, sesegera itu pula banyak warga masyarakat yang tahunya cuma dunia nilai dan norma hukumnya sendiri yang lokal-tradisional itu lalu menjadi terancam kesulitan, untuk kemudian kehilangan banyak hak.

15. Contoh lain: Hukum Nasional untuk Merekayasa Status Perempuan. Sementara itu, di lain pihak, sejumlah kebijakan yang tertuang dalam hukum perundang-undangan nasional,

(12)

sekalipun berbeda dan berselisih dengan kelaziman-kelaziman yang telah diadatkan dalam hukum rakyat, diwawas dari progress modernisasi dipandang sebagai upaya yang positif. Perhatikan misalnya di bidang pranata perkawinan tentang kedudukan istri terhadap sua mi. Menjelang era industrialisasi, pembangunan yang dikembangkan pemerintah mengundang (atau mengharuskan?) pula partisipasi perempuan. Tak pelak lagi kedudukan perempuan dalam masyarakat harus diangkat terlebih dahulu, bersanksikan hukum perundang-undangan nasional, agar dapat segera bersejajar dengan kedudukan pria. Dilindungi oleh hak-hak yang dijamin oleh hukum negara, kini perempuan (misalnya!) tak lagi semudah dulu lagi untuk dikawinkan dalam usia yang masih terlalu muda, dicerai atau dimadu berdasarkan pembenaran hak lelaki. Hukum perundang-undangan dengan demikian mengundang alternatif baru, yang dengan sanksi hukum negara malahan dipandang sebagai satu-satunya kaidah yang harus ditaati semua warga masyarakat tanpa kecualinya. Tetapi apakah alternatif baru ini selalu dapat memenuhi kebutuhan hukum rakyat setempat, dan karena itu juga dapat mengundang kesetiaan dan kesediaan mereka menaatinya?

16. Kecenderungan Hilangnya Kebermaknaan Sosial Yang Dialami Hukum Nasional. Hukum negara yang tak bersesuai dengan hukum rakyat cenderung tidak diikuti, atau terkadang malah mengundang perlawanan dari bawah. Sekalipun ditopang oleh sanksi yang dilaksanakan secara terorganisasi oleh organisasi eksekutif, namun apabila kurang dikenal atau dipandang kurang menguntungkan masyarakat luas, hukum nasional ini condong

(13)

terabaikan. Undang-undang mengenai 'bagi hasil" (misalnya) yang tidak lagi menghakkan 2 bagian untuk pemilik tanah dan 1 bagian untuk penggarap, melainkan 1 bagian untuk pemilik tanah dan1 bagian untuk penggarap, tetap saja tak diikuti rakyat. Praktik bagi hasil tetap berlangsung pada pola 2 berbanding 1 dan para penggarap pun sering tak hendak mencoba protes dengan merujuk ke hukum negara. Mungkin karena mereka tak mengetahui hak-hak baru ini, atau mungkin juga karena mereka merasa asing dan tak tahu cara merealisasi hak-haknya yang baru itu. Maka hukum nasional yang mengalami nasib seperti itu tak akan kelihatan wujudnya dalam masyarakat, alias tak bermakna secara sosial. Haruslah disimpulkan bahwa setiap kaidah hukum nasional itu akan signifikan dalam kehidupan sosial manakala berefek fasilitatif, dan karena itu diterima oleh mayoritas warga masyarakat, daripada berefek sebagai a real coercive government's control.

17. Masalah Krisis Legitimasi Hukum Nasional Yang Tak Bisa Diselesaikan Bersaranakan Sanksi-Sanksi Semata. Tak dikenali dan tak diyakini warga masyarakat, sanksi hukum nasional seakan-akan telah kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula daya keefektifannya. Yang terjadi bukan lagi pelanggaran hukum oleh seorang dua orang saja yang tak berkesadaran hukum, yang kalau begitu halnya mestinya akan bisa dikoreksi dengan penjatuhan sanksi terhadapnya. Persoalannya yang paling mendasar adalah persoalan pada tatarannya yang makro. lalah adanya kesenjangan yang melahirkan legal gaps antara kesadaran hukum rakyat yang merujuk ke perangkat budaya mereka dan kebijakan yang diambil para pejabat negara. Maka, persoalan demikian itu jelas kalau

(14)

memerlukan penyelesaian berstrategi jangka panjang. Bukan mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanksi-sanksi yang tegas dan keras, melainkan dengan mengutamakan usaha mensosialisasikan 'hukum baru yang nasional" itu. Sosialisasi seperti ini tentulah bertujuan tunggal, ialah terbangkitannya kesadaran hukum yang baru.

18. Penyadaran Hukum Merupakan Bagian Integral Pendidikan Politik. Upaya membangkitkan kesadaran untuk berhukum nasional tak pelak harus dipandang juga sebagai bagian dari pendidikan politik. Pertama-tama untuk membangkitkan kesadaran akan identitasnya yang baru, tidak (lagi) cuma beridentitas sebagai warga komunitas lama yang terbilang an old society, melainkan untuk mengutamakan identitasnya yang baru sebagai warga suatu negara bangsa. Kedua, kesadaran yang hendak dibangkitkan adalah kesadaran akan hak-hak konstitusional berdasarkan kebenaran normatif hukum perundang-undangan dan tidak terus berkutat pada kewajiban-kewajiban yang melekat pada status-status mereka yang lama sebagai warga komunitas lokal yang berkultur eksklusif. Lebih dari sekadar mengabarkan adanya hukum-hukum baru agar diketahui khalayak ramai, upaya penyadaran hukum sebagai bagian dari pendidikan politik mesti pula merupakan upaya meyakinkan warga masyarakat dalam kapasitasnya sebagai warga negara bahwa hukum baru itu penting untuk diperhatikan agar seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan bernegara. Di sini gerakan 'sadarkum"mestilah lebih dipahami sebagai gerakan penyadaran demi terwujudnya 'melek hak' (legal literacy) di kalangan rakyat, dan tak lagi

(15)

cuma sebagai sosialisasi ke arah terwujudnya 1<esadaran akan kewajiban-kewajiban hukum' di hadapan kekuasaan negara.

19. Penyadaran Hukum Harus Berkiblat Kepada Kepentingan Warga Akan Pemenuhan Hak-Hak Mereka. Dalam kehidupan bernegara bangsa, hukum nasional memang boleh saja diabaikan manakala seseorang memang tak hendak terlibat dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, manakala demikian itu yang terjadi, maka yang merugi adalah warga masyarakat yang tak mau terlibat dalam kehidupan bernegara yang ditata berdasarkan hukum nasional. Maka, di sini, penyadaran akan eksistensi hukum nasional - seperti misalnya untuk mencatatkan kelahiran anak, atau mencatatkan pernikahan yang dijalani, mestilah harus diupayakan sebagai penyadaran hak daripada sebagai upaya penyadaran kewajiban. Mencatatkan kelahiran anak atau telah terjadinya pernikahan, misalnya, sering diabaikan apabila kerja catat-mencatat itu dipahami warga sebagai hal yang harus dilakukan demi kepentingan negara. Halnya akan berubah mana kala warga lebih disadarkan bahwa semua 1<ewajiban' itu sebenarnya merupakan hak warga untuk mendapatkan layanan para punggawa negara. Tiadanya pemenuhan hak atas layanan seperti itu, misalnya ketika pada saatnya nanti seseorang anak memerlukan identitas diri untuk bisa bersekolah, atau seseorang istri yang memerlukan pengakuan atas sahnya perkawinannya, akan benar-benar menyulitkan warga.

20. Tantangan: Adakah Hukum Nasional Bisa Lebih Menjanjikan Keselamatan? Sekalipun dalam pembangunan hukum nasional dewasa ini pemerintah selalu bergerak aktif dan ditunjang oleh

(16)

struktur dan personil pemerintahan yang terorganisasi baik, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agar segera meresepsi hukum nasional tidak berarti akan serta-merta mudah. Mengubah keyakinan atau prasangka dan kemudian juga perilaku sekelompok warga masyarakat harus diakui merupakan tugas berat dan berjangka panjang. Upaya itu tidak akan memadai apabila hanya dibatasi sebagai upaya menumbuhkan kesadaran berbangsa di satu pihak dan sebagai ajakan agar warga masyarakat melupakan komitmennya pada masyarakat lokalnya di lain pihak. Manakala dalam kehidupan berbangsa dengan bersaranakan hukum nasional itu kepentingan dan kebutuhan hukum masyarakat-masyarakat lokal justru kurang terpenuhi, sedangkan tradisi-tradisi tua terasa lebih melindungi dan menyelamatkan dunia akhirat, maka selama itu pula kesadaran lamalah yang akan lebih kuat bertahan.

21. Kini ini, Dalam Era Post-Modernisme, Kehidupan Nasional Dengan Hukum Nasionalnya Bukan Lagi Satu-Satunya Alternatif Kehidupan. Adalah kenyataan yang harus diingat pula bahwa -- berbeda dengan pada zaman awal pertumbuhan negara-negara dan hukumm nasional di Eropa -- kehidupan nasional kini bukanlah satu-satunya alternatif untuk mengatasi kehidupan lokal yang tradisional itu. Kini kehidupan telah kian marak dalam format-formatnya yang lebih global, beyond the boundaries of Nation States, yang seolah menawarkan alternatif baru, yang tak cuma sanggup mengatasi kehidupan yang lokal melainkan juga yang nasional. Dalam kehidupan yang kian bersuasana 'tlunia yang satu, penuh perbedaan namun yang tak mungkin lagi terpilah dan terpecah ". terjadilah suatu paradoks bahwa yang lokal justru tak

(17)

akan terancam mati (seperti yangjustru bisa terjadi dalam suasana yang nasional dan modern (yang cenderung sentralistik dan berkesan anti-tradisi). Globalisme seakan lebih memungkinkan lokalisme hidup kembali untuk koeksis sebagai alternatif. Tatkala modernisme - dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern itu - terbukti tak cukup mampu memecahkan sekian banyak persoalan kemanusiaan, apa yang global (dengan semangat pascamodernnya) dan apa yang lokal (dengan tema-tema moral pramodernnya) seakan lebih mampu menawarkan alternatif dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum kepada umat.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa rasio kualitas aktiva mempunyai pengaruh positif yang tidak signifikan terhadap ROA pada Bank Pembangunan Daerah sampel penelitian periode triwulan

Perhitungan V/C rasio pada saat kampus Undip berpindah di Tembalang maupun sebelum berpindah, ruas koridor Ngesrep memiliki tingkat pelayanan yang sama yaitu

MC merupakan sebuah kemampuan perusahaan untuk menciptakan produk dengan variasi yang tinggi sesuai keinginan konsumen secara individu namun dengan biaya yang

Data primer didapatkan dari hasil pengamatan nilai- nilai parameter kinerja jaringan ( delay end to end , packet loss dan throughput ) menggunakan wireshark pada sisi

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

2019, Ketua Tim Peneliti, “Inovasi Teknologi Digital Kultur Berbasis Web sebagai Aplikasi Penyelenggaraan Festival Budaya”, Program Penelitian, Pengabdian Kepada

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

• -adi, persalinan kala II lama adalah persalinan yang telah berlangsung -adi, persalinan kala II lama adalah persalinan yang telah berlangsung selama 12 jam atau lebih bayi