• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati yang luar biasa, setidaknya sekitar 30 % total luas hutan mangrove dunia dan 18 % total luas terumbu karang dunia terdapat di Indonesia dan lebih dari 60 % atau sekitar 140 juta penduduk Indonesia bertempat tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002).

Sebagai Negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 Km, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat besar (Manu, 2003). Wilayah pesisir mempunyai peranan strategis dan prospek yang cerah dalam pembangunan karena menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, bahan mineral dan energi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, perkembangan pemukiman dan perkotaan ke arah pesisir, maka telah terjadi degradasi sumberdaya di wilayah pesisir. Degradasi sumberdaya pesisir pada umumnya disebabkan oleh aktivitas pembangunan yang ditandai dengan makin intensifnya

(2)

2 pemanfaatan kekayaan alam yang disertai dengan perubahan tata guna ruang sehingga melampaui daya dukung lingkungannya (Manu, 2003).

Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan, serta berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Ekosistem mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, dan serangga. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Menurut Bengen (2004) tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Banyak fauna khususnya bentos yang berkoeksistensi di hutan mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti kepiting bakau, beberapa jenis krustasea, kerang-kerangan, dan gastropoda.

Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan pesisir, baik dari segi fisik, ekologis, dan sosial ekonominya. Oleh karena nilai

(3)

3 ekonominya , maka ekosistem mangrove banyak dimanfaatkan dan dikonversi untuk berbagai keperluan pembangunan seperti budidaya perikanan, pemukiman, daerah industri, perhubungan, wisata bahari, sebagai penyedia sumberdaya kayu. Arief (2003) berpendapat bahwa pembangunan di wilayah pesisir dengan melakukan pembukaan dan eksploitasi hutan mangrove seperti itu, akan berdampak pada kerusakan hutan mangrove, dan secara umum menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini diindikasikan oleh adanya proses erosi atau abrasi pantai, intusi air laut dan degradasi hasil perairan.

Selain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat dan sebagainya. Namun disisi lain, sering kita menemui ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove, memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah. Sebagai contoh adalah berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah manusia yang kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove di kemudian hari. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang ditimbulkan. Kerusakan ini disebabkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor, lemahnya

(4)

4 penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat (Departemen Kelautan Dan Perikanan, 2007).

Kecenderungan masyarakat untuk bermukim di wilayah pesisir pantai telah berlangsung lama secara turun temurun, apalagi setelah diketahui bahwa wilayah pesisir pantai memiliki potensi sumberdaya alam seperti biota laut, terumbu karang dan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Anna,2001).Banyak orang beranggapan salah bahwa ekosistem hutan mangrove merupakan areal yang tidak bernilai, bahkan dianggap sebagai lahan yang terbuang “waste land” (kesemat.blogspot.com). Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong konversi ekosistem mangrove menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih bernilai ekonomis.

Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut (2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan bahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002), menyatakan bahwa adanya kelembagaan

(5)

5 pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove terluas di wilayah Asia Tenggara, bahkan di dunia. Food and Agricultural Organization (2007) menunjukkan bahwa 19 persen luas hutan mangrove di dunia berada di Indonesia pada tahun 2000, seluas sekitar 3 juta hektar dari 15,7 juta hektar yang ada di dunia. Penelitian Giesen, et al., (2006) juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hutan magrove seluas 2,9 juta hektar dari 4,9 juta hektar atau hampir 60 persen dari luas total hutan mangrove yang ada di wilayah Asia Tenggara. Meskipun demikian, dalam kurun waktu 10 Tahun terakhir (1990 – 2000), telah terjadi penurunan luas hutan mangrove di Indonesia sebesar 17 persen. Pada Tahun 1990, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,5 juta hektar dan luas mangrove tinggal sekitar 2,9 juta hektar pada Tahun 2000. Diketahui bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tersisa sekitar 1,9 juta hektar, sebagai akibat pembukaan lahan tambak pada areal hutan mangrove (www.walhi.or.id).

Berdasar data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpetasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (DITJEN INTAG dalam Martodiwirjo, 1994). Bahkan berdasar data Ditjen RRL (1999), luas mangrove Indonesia dalam kawasan hutan hanya seluas 3,7 juta ha, itupun sekitar seluas 1,6 juta ha (43,2%) nya dalam kondisi rusak parah. Di luar kawasan, Indonesia diperkirakan memiliki mangrove seluas 5,5 juta ha, yang sebanyak 4,8 juta ha

(6)

6 (87,3%) dalam kedaan rusak parah. Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun, dengan demikian, mencapai lebih dari 134.000 ha/th.

Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak antara 8°-12° LS dan 118°-125° BT dengan ibukotanya yaitu Kupang. Provinsi ini mempunyai luas wilayah 27.389 Km2 (2,49% dari luas Indonesia. Luas hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur mencapai 10 ribu hektare. Luas hutan mangrove terluas terdapat di Kabupaten Kupang, Sikka, Ende dan juga Kabupaten Belu, wilayah yang berbatasan dengan negara Timor Leste. Di kota Kupang. Luas hutan mangrove ini terdiri dari 5.884 ha yang terdapat di kawasan hutan dan sisanya berada di luar hutan (Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam angka, 2011).

Dewasa ini perhatian Pemerintah Nusa Tenggara Timur terhadap ekosistem wilayah pesisir dan laut terus meningkat karena potensi sumberdaya pesisir dan laut yang terdapat di Nusa Tenggara Timur sangat beraneka ragam sehingga memberikan peluang ekonomis yang cukup tinggi untuk kegiatan perikanan, pariwisata bahari serta jasa-jasa lingkungan laut.

(7)

7 Tabel 1.1.

Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut

No Potensi Sumberdya Pesisir Dan Laut Keterangan

1 Perikanan Tangkap terdiri atas:

 Ikan pelagis besar (Tuna, Cakalang, dll)  Ikan Pelagis kecil (Tembang, Teri, terbang, dll)  Ikan Demersel (Kakap, Bambangan, dll)  Udang (lobster, dan jenis udang Penaid)  Cumu-cumi

365,7 metrik ton/tahun

2 Perikanan Budidaya terdiri atas :

 Budidaya laut yang jenis terdiri dari mutiara, rumput laut, dan teripang

 Budidaya Tambak yang terdiri dari ikan bandeng, belanak, dan udang windu dan potensi tambak garam

 Budidaya Kolam yang terdiri dari ikan mas, mujair, tawas, dan nila

5.150 ha dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 8,74% atau sekitar 450 ha.

35.455 ha dan lahan yang telah diusahakan adalah 284,4 ha atau tingkat pemanfaatan baru 1,23%. 8.375 ha dan lahan yang telah diusahakan 284,5 ha atau tingkat pemanfaatan lahan baru 3,40%

3 Hutan Mangrove Terdapat 11 spesies di P. Timor,

Rote, Sabu, dan Semau denganluas 19.603,12 ha

4 Terumbu karang Terdapat 160 jenis terumbu

karang dari 15 famili dengan 350 jenis ikan yang mendiaminya. Sumber : Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Sekretariat Daerah, 2011

Dahuri (1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kerusakan wilayah pesisir adalah aktivitas perekonomian yang tidak terkendali dan kesadaran pentingnya upaya pelestarian sumberdaya alam wilayah pesisir yang masih rendah di kalangan lintas pelaku. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem penting

(8)

8 di wilayah pesisir, sudah sejak lama mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi

berbagai biota perairan serta pelindung pantai, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis besar sekali.

Berbagai studi menunjukkan bahwa hutan mangrove di seluruh pesisir Kecamatan Kupang Timur telah rusak dengan intensitas yang berbeda-beda antara pantai yang satu dengan pantai yang lain (Rebhung, 1997). Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Nusa Cendana beserta Ditjen Pembangunan Daerah Depdagri dan Bappeda NTT pada tahun 1995 dilaporkan bahwa masalah utama yang dihadapi hutan mangrove di wilayah Kecamatan Kupang Timur disebabkan adanya penebangan liar oleh penduduk. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur melaporkan bahwa di pulau Timor serta beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur telah terjadi abrasi pantai yang semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena adanya konversi hutan mangrove (Manu, 2003). Untuk memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumberdaya, terutama harus didasarkan atas konsep pemanfaatan dan perlindungan.Ini berarti setiap kegiatan yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan dari hutan mangrove, harus berimbang dengan usaha pelestariannya.

(9)

9 Tabel 1.2.

Luas dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Timor dan Alor

No Kabupaten Kecamatan Luas (ha)

Tingkat Kerusakan (ha) Tinggi Sedang Rendah

1 Kupang Kupang Tengah 4,7 4,7 - -

Kupang Timur 3.839,54 3.839,54 - -

Pulau Semau 220 - 220 -

Amarasi 2.499,50 - - 2.499,50

Sabu Barat 3,5 - 1,75 1,75

2 Rote Rote Tengah 544,93 - - 544,93

Rote Barat Laut 1.603,86 - 400,97 1.202,89

Rote Timur 1.281,20 - 749,01 532,19

Pantai baru 488,19 157,69 78,84 229,66

Rote Barat Daya 537,85 - 215,14 322,71

Perw. Rote Timur 157,69 - - 157,69

3 TTS Amanuban Selatan 287,29 254,74 43,52 -

4 TTU Biboko Utara 80,66 80,66 - -

Biboko Selatan 544,93 544,93 - -

Insana 43,52 - 43,52 -

5 Belu Kobalima 1.882,68 - 1.882,68 -

Malaka Tengah 1.363,32 1.363,32 - -

6 Alor Alor Barat 18,37 - - -

Perw. Alor B. Laut 43 - - -

Pantar 543,06 - - -

Pembantu Pantar 619,38 - - -

Alor Timur 143,85 - - -

Perw. Alor Timur 85,14 - - -

Jumlah 16.836,16 6.245,58 3.635,43 5.491,32

Sumber: Provinsi NTT sesuai Laporan IPB Bogor kerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 1999

Dari data tersebut diatas luas 16.245,58 hektar terjadi kerusakan tinggi sebesar 6,245,43 atau sekitar 40%, sedangkan untuk tingkat kerusakan sedang sebanyak 3.635,43 hektar atau sekitar 24% dan terjadi kerusakan rendah dengan luas 5.491,32 atau sekitar 36% . Bengen (2000) dalam Manu (2003) mengatakan salah satu bentuk degradasi sumberdaya pesisir yang cukup menonjol adalah

(10)

10 degradasi hutan mangrove sebagai akibat aktivitas manusia. Adanya interaksi antara manusia dengan hutan mangrove yang sangat intensif telah menyebabkan

kerusakan hutan mangrove dengan laju kerusakan yang semakin tinggi, sementara regenerasi hutan mangrove secara alami memerlukan waktu yang sangat lama.

Berangkat dari latar belakang di atas maka penulis memilih judul penelitian Kajian Kerusakan Lingkungan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Manusia Kasus di Wilayah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja jenis kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas masyarakat di kawasan ekosistem hutan mangrove di wilayah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang?

2. Bagaimana tingkat kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas masyarakat di kawasan ekosistem hutan mangrove di wilayah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang?

3. Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove di Wilayah Kupang Tengah Kabupaten Kupang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(11)

11 1. Mengkaji jenis kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas masyarakat di kawasan ekosistem hutan mangrove di wilayah Kecamatan Kupang Tengah di Kabupaten Kupang.

2. Mengkaji tingkat kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas masyarakat di kawasan ekosistem hutan mangrove di wilayah Kecamatan Kupang Tengah di Kabupaten Kupang.

3. Strategi pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove di Wilayah Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1.4.1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian mengenai kajian dampak pertambakan dan penebangan terhadap kerusakan lingkungan ekosistem mangrove di kabupaten Kupang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Kupang. Diantaranya manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

1) Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan ekosistem hutan mangrove

2) Sebagai masukan di bidang lingkungan hidup tentang pentingnya lingkungan ekosistem hutan mangrove

3) Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan ekosistem hutan mangrove

(12)

12

1.4.2 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan penelitian yang sejenis khususnya yang berkaitan dengan masalah dampak pertambakan dan penebangan terhadap kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove di daerah penelitian

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul Kajian Kerusakan Lingkungan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Pengaruh Aktivitas Manusia Kasus di wilayah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang merupakan suatu pemikiran yang dilatarbelakangi oleh eksistensi lingkungan ekosistem hutan mangrove di areal sekitar wilayah kecamatan Kupang Tengah yang masih minim akan pemeliharaan. Maka dari itu, perlu dilakukan kajian atau analisis dalam rangka melakukan upaya pengelolaan lingkungan. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.3

(13)

13

Tabel 1.3.

Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Yang Penulis Lakukan

Nama Judul Tujuan Metode Data yang digunakan Hasil yang diperoleh

Charisal M.A Manu (2003) Pengaruh Faktor sosial ekonomi terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan hutan mangrove dibagian timur laut Teluk Kupang

- Untuk memperoleh gambaran tentang perilaku masyarkat dalam pemanfaatan hutan mangrove - Untuk mengetahui faktor-faktor

sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan formal pengetahuan tentang hutan mangrove umur/usia pendapatan masyarakat dan jumlah anggota rumah tangga terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan hutan mangrove serta untuk melihat peluang pilihan berperilaku karena pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi

- Untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi hutan mangrove di wilayah penelitian

Metode yang digunakan adalah survei dengan model regresi linier

- Data kondisi hutan mangrove - Data kondisi sosial ekonomi

masyarakat yang meliputi; umur/usia,jumlah anggota rumah tangga,pendidikan formal,pendapatan, pengetahuan tentang hutan mangrove

- Terdapat ketidaksesuaian perilaku yang semestinya dilakukan dengan

pengetahuan praktis tentang hutan mangrove dari responden yang diteliti kabanyakan responden mempunyai pengetahuan yang besar tentang keberadaan hutan mangrove tetapi perilaku dari sebagian besar mereka justru bersifat negatif

- Pada lokasi penelitian di Desa Bipolo ditemukan 8 jenis Vegetasi mangrovedan didominasi oleh

Avicennia marina, Excoecaria agailocha,Cynometra ramiflor dan Aegillatis annulata. Sedangakan pada

hutan mangrove di lokasi Desa Oeteta ditemukan 6 dan didominasi Oleh

Ceriops tagal Frimery A.P.B Keremata (2003) Kajian Ekosistem mangrove di Desa Letokondo kecamatan Laura Kabupaten Sumba Barat Provinsi NTT

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik biotic hutan mangrove serta karakteristik social masyarakat Desa Letokondo

Metode yang digunakan dalam pnelitian ini adalah survey dengan analisis laboratorium

- Data karakteristis fisik biotic hutan mangrove yang meliputi: kondisi tanah,salinitas,pH, vegetasi penyusun hutan mangrove

- Data karakteristik sosial masyarakat yang meliputi: tingkat pendidikan formal, pengetahuan, tingkat pendapatan,dan kesempatan kerja

- Kondisi tanah (tekstur tanah geleuh bergelembung dan geluh berpasir dengan kandungan bahan organik yang banyak) dan kondisi air (salinitas berkisar antara 12-20ppt, pH berkisar antara 7-8) merupakan kondisi fisik yang mendukung pertumbuhan mangrove

- Karakteristik biotik hutan mangrove dilokasi penelitian terdapat 3 jenis vegetasi penyusun hutan mangrove

(14)

14

terdiri atas: Avicennia narina, Ceriops

tagal, dan Lumnitzera sp

- Semakin rendah tingkat pendidikan, pengetahuan, tingkat pendapatan dan kesempatan kerja semakin tinggi pula sikap perilaku negatif terhadap ekosistem hutan mangrove Joseph Leonard Kale (2004) Pengaruh Aktivitas Manusia Pada Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Kupang (Studi Kasus : Kecamatan Kupang Timur)

- Mengkaji faktor-faktor atau pengaruh aktivitas masyarakat pada kerusakan hutan mangrove; dan - Mengkaji peran serta masyarakat

dalam mengelola hutan mangrove di kecamatan Kupang Timur,

Kabupaten Kupang.

Metode penelitian yang digunakan adalah Metode survei dengan model analisis deskriptif

.

Adapun data yang dikumpulkan meliputi : - data kondisi hutan mangove meliputi jenis

vegetasi dan kerapatannya.

- dan data kondisi sosial ekonomi diambil berdasarkan variabel yang ada meliputi pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan..

- Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan hutan mangrove adalah faktor kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan pendapatan, sedangkan tingkat pengetahuan tidak berpengaruh

- Peran serta masyarakat dalam mengelola hutan mangrove berupa ikut serta dalam penyuluhan dan pencegahan kerusakan hutan mangrove adalah sedang

WA Alimuna (2009) Pengaruh kativitas masyarakat terhadap kerusakan hutan mangrove di kecamatan Rarowatu utara kabupaten Bombana provinsi Sulawesi Tenggara

- Mengkaji tingkat kerusakan - hutan mangrove di kecamatan

Rarowatu kabupaten Bomabana - Mengkaji aktivitas masyarakat yang

mempengaruhi kerusakan hutan mangrove dan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas masyarakat terhadap kerusakan hutan mangrove didesa watu mentade dan desa tunas baru kecamatan Rarowatu kabupaten Bombana

- Mengkaji peran serta masyarakat dalam mengelola hutan mangrove di desa Watumentade dan desa Tunas Baru

- Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan pada ekosistem

mangrove yang berbasis masyarakat

Metode yang digunakan adalah survei dengan analisis deskriptif

Data yang dikumpulkan adalah:

Data Primer (Data pengukuran langsung) - Parameter kondisi hutan mangrove yaitu

jenis vegetasi dan kerapatan vegetasi, frekuensi vegetasi, dan dominansi vegetasi - Parameter sosial adalah pendidikan

formal, pengetahuan dan pendapatan masyarakat menggunakan kuisioner Data Sekunder diperoleh melalui BPS (badan pusat statistik) serta intansi-instansi lain yang berkaitan dengan penelitian ini

- Kerusakan hutan mangrove didesa Watu mentade dan desa tunas baru terdapat pada kelas kerusakan rendah dengan intensitas perubahan 23,87 persen kerusakan yang terjadi akibat dari adanya kegiatan perubahan penggunaan lahan yang dilakukan masyarakat

- Aktivitas masyarakat yang mempengaruhi terjadinya kerusakan hutan mangrove didesa watumentade dan desa tunas baru adalah kegiatan pertamabakan dan penebangan vegetasi mangrove yang digunakan sebagai kayu bakar bahan bangunan dan dikirim keluar daerah: faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya aktivitas masyarakat yang

(15)

15

menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove dan tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah dengan pembukaan areal tambak yang lebih besar

- Peran serta masyarakatdi Desa Watumentade dan Desa Tunas Baru dalam pengelolaan hutan mangrove termasuk dalam kategori sedang hal ini berarti bahwa masyarakat pada daerah penelitian mempunyai keinginan dan kemauan untuk turut serta dalam melestarikan keberadaan hutan mangrove yang dibuktikan dari adanya upaya masyarakat dalam mencegah terjadinya arus ombak yang besar dengan membangun bronjong batu dengan menggunakan dana swadaya dan pemungutan dari dana masyarakat; penyuluhan tidak pernah dilakukan di daerah penelitian sehingga peran serta dalam kegiatan penyuluhan tidak ada - Strategi yang dapat dilakukan

adalah melakukan kegiatan pemetaan parsipatif, melakukan rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove, melakukan kegiatan penyuluhan secara kontinue mengenai fungsi dan manfaat hutan mangrove dan cara pencegahan kerusakan hutan mangrove, melibatkan masyarakat dalam kegiatan

pengelolaan kawasan hutan magrove Weli Zuandi

(2011)

Kajian Kerusakan Ekosistem

- Mengkaji tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove dari aspek perubahan penutupan lahan

Metode survei dan Wawancara dan deskriptif

- Pengumpulan data terhadap hutan mangrove ; data luas, sebaran dan kondisi mangrove

- Dari Hasil Penelitian di Peroleh Penyusutan Hutan Mangrove Akibat pertambakan pada Tahun 2005-2010.

(16)

16 Mangrove akibat Kegiatan Pertambakan di Desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat

tahun 2005-2010 akibat kegiatan pertambakan di Desa Kuala Karang. - Mengkaji partisipasi masyarakat

Desa Kuala Karang dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang meliputi partisipasi dalam penyuluhan dan partisipasi dalam pencegahan kerusakan ekosistem mangrove.

- Mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, pengetahuan dan pendapatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di desa Kuala Karang.

- Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan pada ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat.

- Data aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang diambil diturunkan berdasarkan variabel yang akan dianalisa yaitu meliputi pengetahuan, pendidikan formal, dan pendapatan untuk mengetahui pengaruh faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap kegiatan pertambakan yang berkibat pada kerusakan ekosistem mangrove

- Tingkat Pemahaman Masyarakat tentang hutan mangrove serta, kurangnya pemahaman tentang konservasi dan pendapatan yang rendah mendorong masyarakat untuk

membuka lahan pertambakan. - Tingkat Partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Strategi yang dapat dilakuakan adalah dengan melakukan rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove, melakukan penyuluhan dan pencegahan kerusakan hutan mangrove dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaannya.

(17)

17

1.6. Batasan Operasional

Batasan operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Aktivitas manusia adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove yang meliputi kegiatan pembukaan arel tambak, dan penebangan liar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hutan mangrove adalah komunitas pantai tropis dan sub tropis, didominasi oleh bebrapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur yang dijadikan oleh masyarakat sebagai sumber penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Kerusakan lingkungan ekosistem hutan mangrove adalah keadaan tidak utuh pada hutan mangrove yang berada di kecamatan Kupang Tengah Desa Oebelo yang dapat dilihat dari perubahan fungsi lingkungan ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat sekitar hutan yang digunakan untuk pertambakan

Pendapatan masyarakat adalah rupiah atau nilai yang dapat dikonversikan dengan rupiah yang didapatkan dari hasil bekerja baik pekerjaan pokok maupun pekerjaan sampingan.

Pendidikan formal adalah latar belakang masyarakat yang dilihat dari pendidikan formal yaitu jenjang pendidikan persekolahn yang telah ditempuh oleh responden meliputi SD, SMP,SMA, hingga PT

Pengelolaan adalah kegiatan responden meliputi aspek pemanfaatan , pemulihan , kerusakan dan pengawasan .

(18)

18 Pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove adalah proses berulang yang terdiri atas perencanaan pelaksanaan pemeliharaan dan pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya pembinaan dan pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan dengan berlandaskan pada keterpaduan keberlanjutan desentralisasi dan perencanaan yang berbasis masyarakat

Pengetahuan pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove adalah pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan hutan yang baik dan pentingnya pengelolaan lingkungan ekosistem hutan mangrove bagi kelestarian hutan mangrove.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kondisi tersebut, maka rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke, 2)

Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak seimbang ini berdampak pada turunnya mutu lingkungan disertai dengan rusaknya pola ekosistem pesisir ditandai dengan menurunnya jumlah

Semakin menipisnya sumberdaya hutan mangrove akibat pengaruh faktor alam dan faktor buatan manusia, seperti dieksploitasi untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan,

Pada komunitas gastropoda di ekosistem mangrove Pesisir Pantai Kambapi pada Musim Peralihan I terdiri dari 3928 individu yang terbagi dalam 10 jenis.. Rendahnya nilai

1.3 Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut : Mengimplementasikan hasil dari kombinasi jenis produk-produk kedalam sebuah metode data mining

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang ini, maka rumusan masalah pada penilitian ini adalah sebagai berikut: a beton akan mengalami penurunan kekuatan dan ketahanan pada lingkungan

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a kadar semen untuk lingkungan air laut dibatasi dalam campuran beton agar beton mempunyai nilai

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana hubungan faktor risiko lingkungan fisik rumah dengan