• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah haruslah dapat dengan mudah dipertanggung jawabkan dan harus disertai data-data yang kuat serta ada hubunganya dengan yang diteliti.

Chaer (1987 : 3 ) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati memiliki makna. Makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi masyarakat pemilik budaya tersebut.

Tampubolon ( 1986 : 9 ) ulos merupakan pakaian sehari-hari. Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut hande-hande, bagian bawah disebut sengkot, sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang atau detar. Bila dipakai oleh perempuan (wanita) bagian bawah disebut haen, dipakai hingga batas dada. Untuk menutup punggung disebut heba-heba dan dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe, untuk kepala disebut saong. Apabila seorang wanita menggendong anak ulos yang digunakan disebut parompa dan penutup punggung disebut hop-hop. Pendapat Tampubolon ini berdasarkan pengamatanya sebelum

(2)

dikenal di masyarakat Batak Toba tekstil buatan luar seperti sekarang ini.

Ulos sebagai pakaian sehari-hari biasanya dipakai oleh para penatua dan dukun-dukun Batak Toba. Ulos tersebut merupakan sebuah pelengkap dalam pelaksanaan ritual, tetapi menurut masyarakat Batak Toba seorang dukun atau penatua memakai pakaian ulos adalah penanda bahwa dia seorang yang dituakan dan dianggap pintar. Hande-hande adalah ulos yang dipakai seorang laki-laki di atas bahu menjulur kebawah, atau diikat sejajar dengan pinggang. Biasanya hande-hande ini dipakai seorang dukun atau yang dituakan dilingkungan masyarakat Batak Toba. Tetapi bisa juga dipakai pada saat acara adat baik perkawinan, meninggal dan upacara ritual. Sengkot ( lopes ) adalah ulos yang dililitkan di pinggang sebagai pengganti celana oleh sorang dukun atau yang dituakan. Tetapi pada acara adat Batak sengkot dipakai bukan hanya sekedar pengganti celana laki-laki, tetapi sebagai pelengkap pakaian adat Batak Toba dalam acara adat. Bulang-Bulang ( tali-tali ) yaitu sebagai pengikat kepala atau sebagai penutup kepala. Biasanya dapat dilihat pada acara ritual, perkawinan, dan acara meninggal. Seorang dukun biasanya memakai bulang-bulang yang disebut sebagai Bonang Manalu ( benang tiga warna ). Haen adalah sebuah ulos yang dilingkarkan pada pinggang perempuan sebagai pengganti baju . Biasanya ini dipakai oleh isteri dari yang dituakan ataupun isteri seorang dukun. Tetapi sekarang ini sudah dapat dipakai oleh seorang wanita pada acara-acara adat, maupun sebagai kostum pada saat menari. Heba-heba adalah ulos yang dipakai seorang wanita untuk menutup bagian punggung sebagai pengganti baju. Ampe-ampe disebut sebagai ulos yang diletakkan pada

(3)

bahu menjulur kebawah. Dalam menggendong anak atau bayi, orang Batak Toba menyebutkan dengan parompa ( gendongan ) sebagai tanda kasih sayang dengan bentuk menggendong. Biasanya ulos parompa yang diberikan adalah ulos mangiring. Hop-hop yaitu ulos yang dipakai untuk menutup punggung sebagai pengganti pakaian.

Dari pendapat di atas dapat menggambarkan sebuah kepribadian orang Batak Toba bahwa ulos adalah sumber dari segala kesuksesan dan kedamain dalam kehidupanya. Tetapi akibat dari pergeseran budaya segala bentuk dan pemakain ulos sudah banyak tidak dipergunakan lagi akibat dari pakaian jadi yang sudah ada.

Ulos bagi masyarakat Batak Toba juga merupakan sebuah benda yang mengandung banyak arti. Dari jenisnya yang beraneka ragam demikian juga dengan arti yang dikandungnya. Berbeda jenis ulos berbeda pula arti dan maknanya. Ada beberapa jenis ulos bagi masyarakat Batak Toba seperti Ragidup, Sibolang, Suri-suri, Mangiring, Ragihotang, Pinunsaan, Bintang Marotur, Sadum dan lain sebagainya. Ulos ini tidaklah sama bentuk dan maknanya. Pada acara adat Batak baik acara suka maupun duka, ulos selalu dibawa dan dipakai oleh orang-orang yang hadir pada acara tersebut. Dari jenis ulos yang dipakai, masyarakat luas diluar dari tuan rumah dan undangan pesta dapat mengetahui acara tersebut adalah acara duka dan acara adat. Misalnya, pada acara orang meninggal, masyarakat Batak Toba memakai ulos yang bercorak dan berwarna kehitam-hitaman, dan pihak tuan rumah memakai ulos Sibolang yang menandakan keluarga yang berduka. Pada acara adat

(4)

perkawinan misalnya, orang Batak Toba sering menggunakan ulos yang beraneka corak dan berwarna cerah baik dari tuan rumah maupun undangan seperti Ragihotang, sadum.

Dari penjelasan ini dapat diartikan bahwa ulos bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah gambaran kehidupan yang mampu memberikan perlindungan serta adat mencurahkan rasa kepedulian, kasih sayang baik dari sipenerima maupun sipemberi.

Jenny (1995) dalam Wijana (1996), “ Pragmatik sebagai arti dalam interaksi, ini menggambarkan bahwa makna itu bukan sesuatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh pembicara itu sendiri, atau pendengar itu sendiri. Selain itu Leech (1983:5-6) “Menyatakan pragmatik mempelajari maksud ujaran (Yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana bila mana, bagaimana”.

Richrads (Dalam Suyono, 1990) Menyatakan tindak tutur adalah “the thing we actually do when we speak” atau “the minimal unit of speaking which can be said to have a function”. Tindak tutur adalah sesuatu yang benar-benar kita lakukan pada saat kita berbicara. Sesuatu itu berupa unit tuturan minimal dan dapat berfungsi. Dalam hal ini adalah untuk berkomunikasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tuturan berupa sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai tindak tutur jika kalimat itu berfungsi. Fungsi yang dimaksud adalah bisa merangsang orang lain untuk memberi tanggapan yang berupa ucapan atau tindakan.

(5)

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku yang secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun bagi kerja penulis.

Teori merupakan landasan fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Atmadilaga dalam Gurning, 2004:9). Oleh karena itu ada beberapa pengertian pragmatik yang mendukung dari tulisan ini di antaranya adalah Nababan (11987:2), “pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.”

Searle(1969:13-14) dalam Wijana (1996), mengemukakan secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat di wujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi”. Selain itu Leech (1983) dalam Wijana (1996:19), “Pragmatik sebagai ilmu cabang bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tata bahasa yang terdiri dari Fonologi, Sintaksis, dan semantik”. Kemudian Jenny (1996)dalam Wijana (1996:19), Pragmatik sebagai arti dalam interaksi, ini menggambarkan bahwa makna itu bukan sesuatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh pembicara itu sendiri, atau pendengar itu sendiri.”

Istilah tindak tutur (speech acts) sebenarnya lebih sering dipakai dalam filsafat bahasa dan pragmatik. Tindak tutur awalnya di kemukakan oleh J.L. Austin (1962) dalam karyanya yang terkenal “ How to Do Things with Words” untuk menjelaskan satu tesis bahwa melakukann sesuatu bisa.

Tindak tutur merupakan suatu analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech

(6)

(1983:5-6) Menyatakan pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan): menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur: dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bila mana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti peranggapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Tindak tutur adalah tindak komunikasi dengan tujuan khusus, cara khusus, aturan khusus sesuai kebutuhan, sehingga memenuhi derajat kesopanan, baik dilakukan dengan tulus maupun basa basi. Richards (Dalam Suyono, 1990) menyatakan tindak tutur adalah “the things which can be said to have a function”. Tindak tuturan adalah sesuatu yang benar-benar kita lakukan saat kita bebicara. Sesuatu itu berupa unit tuturan minimal dan dapat berfungsi. Dalam hal ini adalah untuk berkomunikasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tuturan yang berupa sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai tindak tutur jika kalimat itu berfungsi. Fungsi yang dimaksud adalah bisa merangsang orang lain untuk memberi tanggapan yang berupa ucapan atau tindakan.

Tindak tutur dalam komunikasi mencakup tindak (1) konstatif, (2) direktif, (3) komisif, dan (4) persembahan ( Acknowledgment) ( Austin dalam ibrahim, 1993). Sedangkan Searle (dalam Wijana, 1996) mengemukakan bahwa tindak tutur secara pragmatik ada tiga jenis, yaitu (1) tindak lokusi, (2) tinda ilokusi, da (3) tindak perlokusi. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.

(7)

Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.(2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujaranya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membina dan membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.

Lavinson (1983) mendefenisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Batasan levinson itu, selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.

Pragmatics is the study of those relations between language and context the are grammaticalizedd, or encoded in the structure of a language ( Lavinson, 1983:9) :

Pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech ( 1983: 13-14), Wijana (1996) Me-Nyatakan konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur ( speech situatinal

(8)

contexts). Konteks situasi tutur, menurutnya, mencakup aspek-aspek sebagai berikut:

a. Penutur dan Lawan Tutur b. Konteks Tuturan

c.Tujuan Tuturan :

a.Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

b.Tuturan sebagai produk tindak verbal (Wijana, 1996: 10-11) 1. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa litetatur, khususnya

dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S ( Speaker) yang berarti “pembicara dan penutur” dan H (Hearer) yang dapat diartikan “pendengar atau mitra tutur”. Untuk membatasi cakupan pragmatik semata-mata pada bahasa ragam lisan saja, juga mencakup ragam bahasa tulis.

2. Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

3. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena dasarnya tuturan itu berwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yangn berbeda-beda. Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tatabahasa yang berorientasi formal atau struktural.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, dan seperti apa konteks tuturnya secara keseluruhan.

5. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat di katakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada didalam

(9)

sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

Adapun teori yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah teori tindak tutur Searle. Hal ini didasari atas beberapa pertimbangan antara lain: teori tersebut terdapat unsur-unsur penginterpretasian makna lokusi yaitu tindak tutur dengan kata, dan kalimat itu sendiri sesuai dengan makna yang terkandung oleh kata dan kalimat itu sendiri. Tindak ilokusi merupakan suatu tindakan melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan tindak perlokusi adalah suatu tindakan yang menimbulkan efek atau pengaruh kepada mitra tutur. Pembagian fungsi menurut para ahli yaitu:

G. Revesz, 1956. The Origins of Prehistoric of Langguage

Fungsi bahasa ada 3, yaitu: a. Fungsi indikatif (menunjuk) b. Fungsi imperative (menyuruh) c. Fungsi interogatif (menanyakan)

Searle dalam Lavinson (1983) membagi fungsi bahasa menjadi 5, yaitu:

1. Fungsi ekspresif 2. Fungsi direktif 3. Fungsi komisif 4. Fungsi representatif 5. Fungsi deklaratif

(10)

Dell Hymes (1962)

Fungsi bahasa dibagi 6, yaitu:

1. Fungsi ekspresif atau emotif

2. Fungsi direktif, konatif, atau persuasive 3. Fungsi puitik

4. Fungsi kontak (Fisik atau psikologi) 5. Fungsi metalinguistik

6. Fungsi kontekstual atau situasional

M.A.K. Halliday (1973)

Fungsi bahasa dibagi 7, yaitu:

1. Fungsi instrumental (direktif,orientasi pada mitra tutur) Mis. Masuklah kedalam mobil itu lalu hidupkan

2. Fungsi tepresentasional (deklaratif,orientasi pada topik).

Mis. Badanmu bisa keseleo, kalau kamu tidak terbiasa dengan gerakan itu.

3. Fungsi interaksional (ekspresif,orientasi pada hubungan penutur dan mitra tutur).

Mis. Apa kabar? Dari mana?

4. Fungsi personal (komisif, orientasi penutur).

(11)

5. Fungsi heuristik (interpretasi). Mis. Ini apa?

6. Fungsi regulatoris (pengendalian perilaku orang lain). Mis. Kamu sebaiknya tidak bersikap gegabah seperti itu.

7. Fungsi imajinatif (pengungkapan sistem khayalan dan gagasan). Mis. Ketika aku terbang keangkasa, kulihat bintag-bintang mendekat dan bersinar terang.

Prinsip Kerja Sama (PK) merupakan suatu prinsif pragmatik yang menjelaskan hubungan antara makna dan daya untuk mencari kebenaran, dalam arti cara pengungkapan atau penyampaian sesuatu yang tidak langsung. Sedangkan Prinsip Sopan Santun (PS) adalah suatu prinsif pragmatik yang berfungsi sebagai penyelamat dari Prinsip Kerja Sama (PK). Menurut Finegan (12004: 3004), Kesopanan terbagi dalam dua aspek yaitu menghargai orang yang diajak bicara dan melibatkan orang lain dalam suatu situasi.

Dari pendapat tersebut dapat dilihat juga yang ada dalam data tersebut ataupun bisa dibuktikan apakah itu benar itu atau salah. Bila dicermati lagi maka benar yang dikatakan oleh Finegen tersebut, karna di dalam teks tersebut adanya komunikasi yang baik antara penutur dan petutur. Karena dibarengi dengan jawaban yang benar-benar sangat sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Jawaban tersebut berupa maaf.

Dalam tindak tutur tersebut, aspek menghargai orang lain sangat ditekankan yaitu pada saat penutur melakukan suatu kesalahan sengaja maupun tidak. Maka secara langsung penutur akan mengatakan maaf atau sorry kepada

(12)

orang diajak bicara. Hal ini akan memberikan rasa penghargaan kepada oranng lai dalam suatu percakapan. Dalam data ataupun teks tidak ada dikatakan maaf ataupun sorry, tetapi bila dilihat dari jawaban yang dikemukakan itu sama halnya dengan ungkapan maaf yang diutarakan kepada lawan bicaranya saat peristiwa tutur terjadi.

Hal ini juga didukung oleh pendapat dari beberapa ahli diantaranya yaitu Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi didalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu sebuah prinsip kerja sama (Cooperative Principle), (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61) berpendapat kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas ( quantity maxsim), memberi imformasi yang sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxsim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenaranya; (3), bidal relasi (relation maxsim), memberi sumbangan imformasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxsim), menghindari ketidak jelasan ungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.

Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis prinsip kesantunan yaitu Grice. Karena pada prinsip kesantunan Grice dianggap paling mendukung dalam penyelesaian penelitian ini. Grice merumuskan prinsip kesantunan menjadi empat maksim antara lain (1) maksim kuantitas, di mana seorang penutur dapat memberikan imformasi yang cukup, relatif memadai, dan seimformatif mungkin.(2) maksim kualitas, dimana seorang penutur diharapkan dapat menyelesaikan sesuatu yang bersifat nyata sesuai fakta yang

(13)

sebenarnya dalam bertutur. (3) maksim relevansi, yang dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan petutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang sifatnya relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan tersebut. (4) maksim pelaksanaan, yang mengharuskan peserta tutur secara langsung, jelas serta tidak kabur.

Adapun teori penulis gunakan adalah teori John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak-tutur itu berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:

(1)Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat itu. Contoh: Tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu si mitra tutur bahwa pada saat di munculkanya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.(2)Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the acat of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu simitra tutur bahwa pada saat dituturkanya tuturan itu rasa gatal sedang berserang pada tangan penutur, namun lebih dari pada itu bahwa penutur mengiginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa sakit gatal pada tanganya itu.(3) Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal, misalnya, dapat digunakan

(14)

untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut ini muncul misalnya, karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai tukang pukul yang nada seharianya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Teori fungsi yang dipergunakan ialah teori dari searle dalam Levinson, (1983) mengklasifikasikan tindak tutur itu menjadi lima fungsi yaitu:

(1) Fungsi ekspresif yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan tingkah laku penutur dalam menyikapi suatu persoalan seperti berterima kasih, ucapan selamat, simpati dan permintaan maaf.

(2) Fungsi direktif yaitu untuk mengekspresikan sesuatu yang sifatnya berorientasi pada penutur selain itu memberi tahukan kepada penutur melakukan sesuatu yang berorientasi pada petutur (lawan bicara).

(3) Fungsi komisif yang mengacu pada beberapa tindakan akan datang yang sifatnya menjanjikan,ancaman, atau tawaran.

(4) Fungsi representatif yang lebih berorientasi pada pesan.

(5) Fungsi deklaratif yaitu suatu hal yang menghasilkan suatu hubungan antara muatan propesioanal keputusan dan kenyataan.

Referensi

Dokumen terkait

keuntungan usaha budidaya udang vanname secara finansial ditinjau dari sistem tambak yang digunakan, serta untuk mengetahui sensitivitas usaha budidaya udang

Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak

o Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D&K dilanjutkan dengan pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan... o Bila pasien

Batubara daerah Ransiki, Papua Barat menarik untuk diteliti karena berada pada Formasi Tipuma yang berumur Pra-Tersier.. Batubara Pra-Tersier ini diharapkan memiliki

Aspek teknis yaitu tinggi bangunan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan 6Koefisien Lantai Bangunan (KLB) pada proyek Perumahan Puri Indah Marsawa lebih kecil dari

Senyawa karbon turunan alkana adalah senyawa karbon yang dianggap berasal dari senyawa alkana yang satu atau lebih atom H-nya diganti dengan atom atau gugus atom lain (gugus

Jika anda tidak menggunakan alat untuk jangka waktu yang panjang atau pada malam hari, anda dapat mengubahnya OFF untuk menghemat

MAKMUM PENGAWAS KANKEMENAG KAB BANGKALAN Bangkalan 32 13052812720002 MOHAMAD YUSUF PENGAWAS PAI KEMENAG KAB... Ali