• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. J. Kleiner, Korea, a Century of Change, Economic Ideas Leading to the 21 st Century, Vol.6, 2001, p.284 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. J. Kleiner, Korea, a Century of Change, Economic Ideas Leading to the 21 st Century, Vol.6, 2001, p.284 3"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Miracle of the Han River” merupakan sebuah istilah yang menggambarkan pesatnya kemajuan ekonomi di Korea Selatan dari tahun 1962 hingga tahun 1990an.1 Selama tiga dekade, Korea Selatan bertransformasi dari salah satu negara termiskin di dunia dengan GDP per kapitanya hanya mencapai 87 dollar AS pada tahun 19622, menjadi negara maju yang

menjadi mitra dagang negara-negara industri maju lainnya dengan GDP per kapita Korea Selatan mencapai 11.000 dollar AS pada tahun 1997.3 Kesuksesan peforma ekonomi Korea Selatan ini dicapai melalui model developmental state dengan kebijakan-kebijakan yang dipimpin oleh negara sejak periode Park Chung Hee tahun 1961.4 Didalam sistem tersebut, pemerintah membuat serangkaian kebijakan ekonomi bagi pembangunan nasional dan sektor bisnis atau chaebol bekerja dibawah kebijakan tersebut.

Namun demikian, dibalik kesuksesan pertumbuhan ekonomi, Korea Selatan menjadi salah satu negara terparah yang harus mengalami krisis finansial tahun 1997. Kondisi tersebut kemudian memaksa Korea Selatan menerima bantuan International Monetary Fund (IMF) sebesar 60 milyar dollar AS.5 Istilah “semakin mereka besar, semakin sulit mereka jatuh” yang digunakan untuk mendiskripsikan kekuatan chaebol, seakan tidak berlaku karena 11 dari 30 chaebol terbesar di Korea Selatan mengalami kebangkrutan.6 Pada periode tersebut, Korea Selatan sedang berada di tengah proses transisi dari ekonomi yang dipimpin negara menjadi ekonomi yang lebih berorientasi pasar serta dari pemerintahan orotiter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Selama proses transisi tersebut, baik pemerintah maupun sektor bisnis sedang berada pada tahap adaptasi terhadap berbagai perubahan struktural di dalam negeri

1 S.N. Parnini, ‘The Role of Government in Economic Development: A Comparative Study between Bangladesh

and South Korea’, Journal of Public Administration and Governance, Vol.1, No.1, 2011, p.204

2 J. Kleiner, “Korea, a Century of Change”, Economic Ideas Leading to the 21st Century, Vol.6, 2001, p.284

3 M. Noland, “Six Markets to Watch: South Korea”, Foreign Affairs (daring), January/February 2014,

<http://www.foreignaffairs.com/articles/140335/marcus-noland/six-markets-to-watch-south-korea>, diakses

pada 12 Oktober 2014

4U. Heo & S. Kim, ‘Financial Crisis in South Korea: Failure of the Government-led Development Paradigm’,

Asian Survey, Vol.40, No.3, May-June 2000, p.492

5 M. Fackler, ‘Lesson Learned, South korea Makes Quick Economy Recovery’, The New York Times (daring),

<http://www.nytimes.com/2011/01/07/world/asia/07seoul.html?_r=0>, diakses pada 23 April 2015

6Anonim, ‘Chaebols in South Korea’, Thomas Wide International (daring), <

(2)

sehingga ketika krisis terjadi mereka belum siap untuk langsung menghadapi penurunan ekonomi yang tiba-tiba.

Developmental state telah menjadi ciri utama sistem ekonomi di Korea Selatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi selama transisi ekonomi sejak kepemimpinan yang berbasis militer dari Park Chung Hee hingga Roh Tae Woo. Developmental state ditandai dengan adanya campur tangan negara yang kuat dalam pasar untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi, misalnya dengan memberikan proteksi impor, subsidi, industrial policy, serta keistimewaan-keistimewaan lain kepada industri-industri yang sedang dikembangkan negara pada saat itu.7

Akan tetapi, industrialisasi dan kemajuan ekonomi membuat masyarakat sipil berkembang menjadi kuat dan sektor sosial menjadi aktif dalam menyuarakan pendapatnya sehingga demokrasi berhasil dicapai pada tahun 1987.8

“Korea Baru” menjadi agenda utama pemerintahan Kim Young Sam yang memfokuskan untuk mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian negara sebagai bentuk kepatuhan pada prinsip liberal dan demokrasi. Isu mengenai penerapan developmental state pada masa pemerintahan Kim Young Sam menarik untuk diteliti karena pada masa ini terjadi transformasi kebijakan yang berbeda dari tiga presiden sebelumnya. Selain itu, periode tersebut merupakan periode yang krusial bagi Korea Selatan, pertama karena masih besarnya semangat demokrasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat, kemudian masuknya Korea Selatan dalam Organization of of Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 19969, serta diakhiri dengan terpaan krisis finansial yang sangat parah tahun 1997. Melihat pada fakta lemahnya peran negara terhadap perekonomian Korea Selatan selama pemerintahan Kim Young Sam serta berbagai dinamika yang terjadi pada periode tersebut, maka menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai peran negara dalam penerapan developmental state pada saat itu.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Untuk menjelaskan masih tidaknya developmental state digunakan di Korea Selatan setelah demokratisasi, diajukan satu pertanyaan penelitian: Bagaimana transformasi peran dan kebijakan negara dalam penerapan developmental state di Korea Selatan pada masa pemerintahan Kim Young Sam (1993-1998)?

7 H. Lim, Democratization and the Transformation Process in East Asian Developmental State: Focus in Financial Reform in Korea and Taiwan, The Brookings Institution, Washington D.C, 2009, p.11

8 T. Warsito, Nosajeong: Rahasia Kebangkitan dan Percepatan Demokrasi Korea, Pilar Media, Yogyakarta,

2007, p.316

(3)

1.3 Kerangka Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, penulis akan menggunakan dua konsep, yaitu:

1. Capitalist Developmental State.

Capitalist Developmental State memandang negara sebagai aktor utama yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuasaan. Dengan memahami bahwa sifat politik internasional adalah konfliktual dan hanya menguntungkan pihak yang kuat, maka peran negara dianggap primer, yaitu dengan memperjuangkan kepentingan nasional. Negara harus melakukan intervensi pasar untuk melindungi ekonomi domestiknya dari dominasi asing. Konsep Capitalist Developmental State ini pertama kali diperkenalkan oleh Chalmers Johnson (1982) melalui bukunya MITI and The Japanese Miracle: TheGrowth Industrial Policy 1925-1975. Johnson menjelaskan peran pemerintah yang sangat besar dengan memberi insentif kebada sektor bisnis melalui peraturan administratif, subsidi, proteksi, hingga peninjauan pasar. Negara secara langsung terlibat dalam pembangunan ekonomi dan memiliki pengaruh yang besar dalam kebijakan publik.10

Pembangunan ekonomi yang didefinisikan dalam bentuk pertumbuhan, produktivitas, dan daya saing negara merupakan tujuan utama yang harus dicapai negara. Berbagai hal yang dapat menghambat tercapainya tujuan tersebut berusaha untuk dihindari dengan menghilangkan konsep terhadap kesetaraan dan kesejahteraan social di dalam masyarakat. Pasar diatur melalui instrumen kebijakan yang dirumuskan oleh birokrasi elit ekonomi berskala kecil yang didalamnya terdapat sebuah pilot agency yang bertugas untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan. Hubungan dekat yang terlembaga dibentuk antara birokrasi dan sektor bisnis untuk tujuan konsultasi dan kerjasama. Menurut Johnson, hubungan semacam ini sangat esensial bagi developmental state dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan agar tercapai tujuan bersama. Sementara itu, legitimasi negara untuk memimpin pembangunan nasionalnya didapat melalui hasil pembangunan.11

Pentingnya peran dan intervensi negara dalam ekonomi salah satunya didasarkan pada keterlambatan industrialisasi yang dialami suatu negara. Tantangan yang dihadapi negara yang mengalami keterlambatan industrialisasi yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang

10 U. Sagena, ‘Developmental State, Japan Transformation’, Jurnal Sosio-Politika, Vol.6, No.12, December

2005, p.59

(4)

telah lebih dulu melakukan industrialisasi misalnya dalam aspek penguasaan teknologi, kekuatan modal, dan penguasaan pasar. Hal tersebut dialami oleh Korea Selatan dimana Korea Selatan baru merdeka setelah Perang Dunia II dan harus mengalami Perang Korea yang memisahkan kedua Korea, membuat Korea Selatan tertinggal dibandingkan negara lain seperti Jepang maupun Amerika Serikat.

Johnson menyebutkan tiga ciri utama dari konsep developmental state ini. Ciri pertama yaitu peran pemerintah yang sangat besar dalam sektor pembangunan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk intervensi kebijakan terhadap pasar. Dalam model developmental state diperlukan pemerintahan yang kuat agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dalam prosesnya terjalin hubungan yang kuat antara politisi, birokrasi, dan pengusaha atau dalam kasus Korea Selatan disebut Korea Inc., yaitu hubungan antara negara, bank, dan chaebol. Dari hubungan inilah terjalin proses pengambilan kebijakan yang saling berhubungan antara pemerintah, bank, dan chaebol.

Ciri kedua yaitu kebijakan industri yang diambil sebagai prioritas utama negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi. Untuk maksud tersebut, maka pemerintah secara sistematis melakukan intervensi melalui kebijakan-kebijakan makroekonomi, yaitu pada sektor industri, perdagangan, dan finansial. Hal ini dapat dilihat dari diterapkannya rencana pembangunan lima tahun dimana proses perumusannya berada di tangan pemerintah sedangkan pengimplementasiannya dilakukan oleh chaebol yang diawasi oleh pemerintah. Rencana pembangunan ini pada umumnya menekankan pada pemberian bantuan dan keistimewaan kepada industri-industri tertentu yang menjadi target pemerintah dalam industrialisasi.

Ciri ketigaadalah terdapatnya suatu agen utama pembangunan dalam birokrasi negara. Agen utama tersebut memainkan peran kunci untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan strategis. Agen ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan manajerial terbaik dalam birokrasi sehingga mampu mengambil inisiatif dan bekerja secara efektif dalam proses pembangunan negara. 12 Dalam kasus Korea Selatan, Economic Planning Board (EPB) merupakan agen utama tersebut yang juga bertugas untuk mengontrol lembaga-lembaga lain seperti kementrian dalam negeri, Bank of Korea, dan bank-bank swasta lainnya. EPB merupakan badan bentukan Presiden Park Chung Hee yang diberi kekuasaan utama untuk

12 U. Sagena, ‘Developmental State, Japan Transformation’, Jurnal Sosio-Politika, Vol.6, No.12, December

(5)

mengatur rencana pembangunan lima tahun dan menjadi lembaga yang sangat berkuasa yang hanya bertanggung jawab kepada presiden. 13

Apabila ciri pertama tidak ada, maka negara kehilangan sebuah kerangka koordinasi baik terhadap perumusan maupun penerapan kebijakan-kebijakan negara. Sementara itu, apabila ciri kedua dan ketiga tidak ada, negara akan kehilangan orang-orang berbakat yang mampu membuat kebijakan secara efektif sehingga negara juga tidak mampu menyusun prioritas utama kebijakan industri bagi pembangunan ekonomi.14 Oleh karena itu, dibutuhkan peran negara yang besar dalam mempertahankan ketiga aspek penting tersebut guna mencapai pembangunan nasional. Dalam sistem politik Korea Selatan, negara merupakan aktor yang kuat, yang didominasi oleh eksekutif tingkat tinggi yang menghasilkan mekanisme pengambilan keputusan yang menghindar dari tekanan-tekanan sosial.15 Konsep ini akan digunakan untuk menganalisis penerapan developmental state pada masa pemerintahan Kim Young Sam (1993-1998) dengan melihat tiga ciri developmental state yang telah dijelaskan Johnson, yaitu hubungan antara Korea Inc., kebijakan industri yang diambil selama masa pemerintahan Kim Young Sam, serta bagaimana EPB bekerja pada masa Kim Young Sam.

2. Segyehwa

Segyehwa konsep yang dicetuskan oleh Kim Young Sam pada 1994 dalam rangka mencapai “Korea Baru”. Konsep ini merupakan konsep baru yang belum pernah dicetuskan pada era presiden-presiden sebelumnya. Segyehwa atau globalisasi dikeluarkan pada November 1994 sebagai kebijakan pembangunan nasional bagi Korea Selatan untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Dibawah nama Segyehwa, pemerintahan Kim berusaha melakukan reformasi ekonomi untuk menghadapi perubahan kondisi dari ekonomi dunia. Dalam Deklarasi Sidney pada 17 November 1994, Kim secara resmi mengumumkan kebijakan barunya untuk globalisasi dan menyusun Globalization Promotion Committee (Segyehwa Chujin Wiwonheo) atau GPC. GPC dipimpin oleh perdana menteri dan terdiri dari sejumlah komite untuk perencanaan kebijakan, reformasi administratif, serta reformasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.16 Hal ini dapat ditemukan dalam pidato Kim Young Sam:

13 P. S. Winanti, ‘Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7, No.2, November 2003, p.184

14 L. Weiss, ‘Developmental State in Transition: Adaptingm Dismantling, Innovatingm not ‘Normalizing’’, The Pasific Review, Vol.13, No.1, 2000, p.23

15T. Warsito,, Nosajeong: Rahasia Kebangkitan dan Percepatan Demokrasi Korea, Pilar Media, Yogyakarta, 2007, p.134

(6)

Globalisasi adalah jalan pintas yang akan membawa kita untuk membangun negara kelas satu di abad ke-21. Inilah mengapa saya mengungkapkan rencana saya untuk globalisasi [...] Hal ini bertujuan untuk mewujudkan globalisasi di semua sektor - politik, hubungan luar negeri, ekonomi, masyarakat, pendidikan, budaya, dan olahraga. Untuk tujuan ini, kita perlu untuk meningkatkan sudut pandang, cara berpikir, sistem, dan praktek kita setingkat dengan kelas dunia [...] Kita tidak punya pilihan lain selain ini.17

Menurut Kim, sejak tahun 1960, Korea Selatan telah sangat berhasil dalam usahanya untuk modernisasi dan industrialisasi, tetapi tidak dibekali kesiapan dalam menghadapi tantangan baru globalisasi. Segyehwa ini diperlukan jika Korea Selatan ingin bertahan dan berkembang dalam era persaingan global yang semakin ketat tanpa batas (Kim 1996, hal. 15). Pada era pasca Perang Dingin, globalisasi dipandang sebagai sebuah tekanan eksternal yang sangat kuat dan Segyehwa mencerminkan pengakuan pembuat kebijakan Korea Selatan pada kebutuhan untuk meningkatkan daya saing global Korea Selatan.18 Dalam Segyehwa ini, Kim

melakukan serangkaian reformasi di hampir seluruh bidang seperti militer, politik, ekonomi, keuangan, tenaga kerja, pendidikan, hukum, dan kesejahteraan.

Dengan visi utama Kim Young Sam agar Korea Selatan dapat menjadi anggota OECD, maka pemerintahan Kim tidak ragu untuk mendorong liberalisasi finansial dan pembukaan pasar bersamaan dengan serangkaian deregulasi bagi arus modal internasional. Walaupun beberapa pengamat menyadari tentang bahaya yang ditimbulkan dari serangkaian kebijakan ini dimana hal ini justru akan melemahkan kapasitas negara dalam mengelola perekonomiannya.19 Konsep yang diciptakan oleh Kim Young Sam ini akan digunakan sebagai dasar kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kim Young Sam. Melalui Segyehwa akan dilihat bagaimana kebijakan Korea Selatan selama periode pemerintahan Kim Young Sam.

1.4 Argumentasi Utama

Selama periode Kim Young Sam, transformasi peran negara pada penerapan developmental state di Korea Selatan dapat dilihat dari berkurangnya legitimasi negara dalam mengatur perekonomiannya. Transformasi tersebut dapat dilihat pertama pada melemahnya hubungan Korea Inc. pada periode Kim Young Sam. Globalisasi dan keterbukaan ekonomi semakin membatasi kekuasaan pemerintah dalam mengontrol aktivitas ekonomi para chaebol. Chaebol diberi kebebasan dalam menentukan aktivitas bisnisnya tanpa adanya peraturan dan pengawasan yang kuat terhadap mereka. Sementara itu, izin yang diberikan pemerintah kepada

17 H.C. Lim, J.H. Jang, ‘Between Neoliberalism and Democracy: The Transformation of the Developmental State in South Korea Selatan’, Development and Society, Vol.35, No.1, June 2006, p.10

18 G.W., Shin, ‘The Paradox of Korean Globalization’, Shorenstein APARC Working Paper, January 2003, p.10 19 H.C. Lim, J.H. Jang, ‘Between Neoliberalism and Democracy: The Transformation of the Developmental State in South Korea Selatan’, Development and Society, Vol.35, No.1, June 2006, p.10-11

(7)

chaebol untuk memiliki bank-bank niaga dan non bank financial institution (NBFI) membuat bank-bank yang ada di Korea Selatan tidak lagi dapat dikontrol oleh negara dalam mengalokasikan kredit dan modal bagi chaebol.

Kedua, Segyehwa menjadi dasar bagi kebijakan industri pada masa kepemimpinan Kim Young Sam yang agenda utamanya adalah reformasi kebijakan ekonomi dengan membatasi peran negara dan lebih mendorong pada liberalisasi pasar. Kebijakan pemerintah mengalami transformasi dimana Kim Young Sam meninggalkan ciri khusus kebijakan industri dalam developmental state, yaitu pemilihan industri secara selektif sebagai fokus negara untuk dikembangkan guna mencapai pertumbuhan ekonomi, dan menggantinya dengan kebijakan Segyehwa. Segyehwa telah membentuk pemikiran para elite politik untuk mengejar liberalisasi di segala bidang demi mencapai cita-cita sebagai negara kelas satu di dunia. Ketiga yaitu merger antara Economic Planning Board (EPB) dan Ministry of Finance atau Kementrian Keuangan (MOF) menjadi Ministry of Finance and Economy (MOFE) tahun 1994 menjadi titik dimana Korea Selatan mulai meninggalkan simbol perencanaannya yang selama ini hanya dilakukan oleh EPB. Dalam MOFE, peran EPB tidak lagi dominan dalam perencanaan kebijakan ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang dicetuskan cenderung lebih banyak menyangkut upaya liberalisasi finansial sesuai dengan segyehwa daripada kebijakan pembangunan jangka panjang yang selama ini menjadi karakteristik developmental state di Korea Selatan. Transformasi peran pemerintah sebagai pelaksana pembangunan ekonomi yang kemudian berimbas pada pergeseran kebijakan ekonomi negara, menunjukkan penurunan tingkat kemampuan intervensi pemerintah dalam proses pembangunan ekonomi.

1.5 Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam topik ini adalah metode kualitatif dengan sumber utama berupa pustaka literatur. Data yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab rumusan masalah adalah literatur buku, jurnal, laporan resmi pemerintah dan organisasi, serta artikel-artikel dari internet. Data yang dikumpulkan akan dibatasi dari periode pemerintahan Park Chung Hee hingga periode pemerintahan Kim Young Sam. Adapun data-data yang akan diperoleh antara lain penerapan developmental state di Korea Selatan yang didalamnya akan diperoleh penjelasan mengenai hubungan Korea Inc., kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, utamanya kebijakan industri dan segyehwa, serta peran Economic Planning Board (EPB).

Selanjutnya, analisis akan dilakukan setelah proses pengumpulan data-data yang diperlukan selesai. Data mengenai penerapan developmental state pada masa pemerintahan

(8)

Kim Young Sam akan dianalisis dengan menggunakan teori capitalist developmental state milik Chalmers Johnson. Sementara itu, data mengenai kebijakan industri pada masa Kim Young Sam akan dianalisis dengan menambahkan konsep Segyehwa. Setelah semua data dianalisis maka akan diperoleh kesimpulan tentang bagaimana peran negara dalam penerapan developmental state pada masa pemerintahan Kim Young Sam.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini direncanakan akan terdiri dari empat bab. Setelah Bab Pertama yang memuat setting dari pengkajian isu yang diteliti, Bab Kedua akan membahas mengenai dinamika penerapan Capitalist Developmental State di Korea Selatan. Bab ini akan diawali dengan uraian tentang karakteristik developmental state di Korea Selatan sejak pertama kali diterapkan hingga proses demokratisasi di Korea Selatan yang menjadi titik balik perubahan kondisi di Korea Selatan, khususnya dalam penerapan developmental state, serta modifikasi Korea Inc. yang terjadi pada pemerintahan Kim Young Sam.

Bab ketiga akan membahas lebih lanjut mengenai analisis penerapan developmental state pada masa pemerintahan Kim Young Sam, yakni setelah Korea Selatan menjadi negara demokrasi (1993-1998). Dengan menggunakan teori Capitalist Developmental State, di dalam bab ini, akan diuraikan mengenai perubahan-perubahan apa saja yang dilakukan oleh Kim Young Sam khususnya dengan melihat pada kebijakan Segyehwa dan peran Economic Planning Board (EPB) pada masa ini. Bab keempat, yang berisikan kesimpulan dan inferens dari temuan penelitian akan menutup skripsi ini dengan kesimpulan sementara bahwa perubahan kondisi domestik dan internasional telah menyebabkan pergeseran peran negara dalam developmental state di Korea Selatan dimana hubungan Korea Inc. sudah mulai merenggang, kebijakan segyehwa telah mendorong pada liberalisasi pasar dan finansial, serta dominasi Economic Planning Board (EPB) dalam perumusan kebijakan pembangunan sudah mulai berkurang.

Referensi

Dokumen terkait

Kerjasama antara perpustakaan secara elektronik telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang telah memungkinkan untuk itu dan didasari adanya kebutuhan untuk

English Teacher : Saya pernah mendengar dan melihat tentang 21 st Century Skills dari internet tapi saya tidak tahu skil-skil apa saja yang terdapat dalam 21 st

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja kader posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas

Dalam perjanjian kerjasama menggunakan mekanisme Public Private Partnership khususnya dengan kontrak BOT ini terdapat beberapa unsure antara lain; 1) Adanya pihak

Pertama-tama, puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Persepsi Karyawan

Sedangkan menurut Mudjiman ( 1989 ) dan Mai Soni ( 2004 ), dalam Atdjas., C., (2011), jika kondisi media perairan normal dengan salinitas yang rendah &lt; 60 ppt dan

Selanjutnya responden diberikan pertanyaan apakah mereka tertarik untuk bermain game Drugs Fighter lagi, maka diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Gambar 4.48. Pada

Dari pengalaman ini, saya sungguh belajar banyak, belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dengan melihat sisi kepemimpinan dalam diri masing- masing dan sesama, dengan menjalin