A. Latar Belakang
Tanah merupakan bagian harta kekayaan yang sangat penting bagi seseorang,
dimana tanah tersebut antara lain dipergunakan untuk bercocok tanam guna
memenuhi kebutuhan hidupnya, ataupun guna mendirikan bangunan tempat tinggal,
bahkan tanah merupakan tempat peristerahatan terakhir manakala seseorang itu
meninggal dunia. Mengingat begitu bermanfaatnya tanah bagi seseorang maka
transaksi-transaksi yang menyangkut tanah seperti jual beli boleh dikatakan sangat
sering dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dalam transaksi atau perjanjian yang bermaksud untuk memperoleh sesuatu
barang atau benda tersebut akan diikuti dengan perbuatan berupa menyerahkan dan
menerima atas sesuatu barang atau benda di antara kedua belah pihak perbuatan mana
dalam hukum disebut penyerahan ataulevering.
Dalam bahasa sehari-hari atau dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat
khususnya yang berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum maka istilah levering
(penyerahan) ini diartikan secara umum yaitu berupa pemindahan penguasaan pisik
atas suatu benda tertentu dari seseorang kepada orang lain dalam arti tidak selalu
dimaksudkan pemindahan hak kepemilikan atas benda dimaksud. Pengertian yang
demikian itu tidak sama persis dengan pengertian menurut hukum perdata, karena
momentum peralihan hak atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain yang
menerimanya. Jadi dalam artian hukum bahwa penyerahan (levering) itu tidak semata-mata peralihan penguasaan secara pisik atas suatu benda tetapi yang lebih
hakiki adalah dimana penyerahan itu merupakan perpindahan hak kepemilikan atas
suatu benda dari seseorang kepada orang lain. Bahkan secara hukum dapat terjadi
bahwa dengan penyerahan ini hak kepemilikan atas bendanya telah berpindah dari
seorang kepada orang lain tetapi secara pisik benda tersebut masih tetap dipegang
(dikuasai) atau belum berpindah karena ada kesepakatan lain diantara kedua belah
pihak. Hal ini dalam istilah hukum disebut “Constitutum possessorium”.1
Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda dari
seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistim hukum perdata Indonesia
dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata.
Pasal 584 KUHPerdata menyatakan:
Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
Dari cara-cara perolehan hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata
tersebut maka yang terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara
perolehan hak milik itu adalah dengan cara penyerahan (levering). Bahwa cara-cara
1 H.F.A.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I (Jakarta: CV.Rajawali,1983),hal.
untuk mendapatkan eigendom dalam Pasal 584, yang terpenting adalah penyerahan dan diatur dalam Pasal 612-618 KUHPerdata.2
Penyerahan yang sering juga disebut dengan istilah “levering” atau “overdracht” mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering”)3.
Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda bukanlah suatu perbuatan yang
berdiri sendiri melainkan merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan yang
mendahuluinya yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan hak
milik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas
yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
Menurut sistim BW, suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian. Pertama
suatu “obligatoire overeenkomst” dan kedua suatu “zakelijke overeenkomst”. Yang dimaksud dengan yang pertama, ialah tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan
hak itu, misalnya perjanjian jual beli atau pertukaran, sedangkan yang kedua, ialah
pemindahan hak itu sendiri.4
Hak milik atas barang itu belum berpindah kepada sipembeli sepanjang belum
dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
1459 KUHPerdata yang menyebutkan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah
2H.F.A.Vollmar,Hukum Benda(Bandung: Tarsito,1987), hal. 98.
3R.Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata(Jakarta: PT.Intermasa, 1980), hal.71.
berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal
612,613 dan 616”. Tahap perbuatan pemindahan hak milik yang disebut penyerahan
(levering) yang pada tahap ini pihak-pihak seolah-olah bersepakat lagi yaitu untuk memindahkan hak milik, tahap ini disebut perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Mengingat penyerahan (levering) tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak milik atas sesuatu barang, maka persoalan penyerahan
(levering) menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dibahas terutama menyangkut momentum saat beralihnya dan keabsahan peralihannya.
Berkaitan dengan tanah sudah ada ketentuan yang mengaturnya yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disingkat UUPA) dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum
dibidang pertanahan, karena sebelum keluarnya UUPA ini di Indoneia berlaku dua
sistim hukum di bidang pertanahan yaitu berdasar sistim Hukum Adat dan berdasar
sistim Hukum Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Namun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diberlakukan tanggal 24
September 1960 maka terciptalah unifikasi hukum dibidang agraria yang juga disebut
hukum pertanahan, dimana dalam Pasal 5 UUPA ditegaskan hukum agraria berdasar
hukum adat.
Pasal 5 UUPA menyebutkan:
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan -perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa hukum adatlah yang berlaku bukanlah
hukum adat murni, melainkan hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan :
a. kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa;
b. sosialisme Indonesia;
c. ketentuan-ketentuan dalam UUPA;
d. peraturan-peraturan lainnya di bidang agraria;
e. dengan unsur-unsur agama.
Dalam ketentuan UUPA tidak banyak diatur mengenai aturan-aturan yang
menyangkut jual beli tanah serta aturan-aturan mengenai penyerahan (levering) hak atas tanah tersebut. Dalam Pasal 26 ayat (1) disebutkan: Jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UUPA Pasal 23 ayat (1) disebutkan: Hak milik, demikian pula setiap
peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan mayarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftran dimaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kewajiban pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian
hukum dikenal dengan sebutan Rechts Cadaster/Legal Cadaster.5 Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2)
sub b UUPA, merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah dibidang
pendaftaran tanah. Dibidang ini, pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak dapat
dibedakan atas :
1. Pendaftaran hak atas tanah yaitu pendaftaran untuk pertama kalinya atau
pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah,
2. Pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Dengan demikian peralihan hak atas tanah (levering) berdasar jual beli haruslah didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu.
5 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada
Ketentuan tentang pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dimaksudkan dengan pendaftaran tanah
disebut dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
menyebutkan:
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 5 disebutkan bahwa
Instansi Pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah Badan
Pertanahan Nasional (disebut BPN), dan pada pasal 6 ayat (2) disebutkan dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak
dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain yaitu
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu pelaksanaan
kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat dari kantor lelang,
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan Panitia Ajudikasi.6
Ketentuan yang mengatur tentang PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(disingkat PJPPAT). PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah.
Agar dapat didaftar peralihan hak atas tanah dalam hal ini berdasar jual beli maka
peralihan itu harus dibuat dalam akta PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 37
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini masih banyak tanah-tanah yang
belum dilakukan pendaftarannya sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah dalam
konteks UUPA dapat dibedakan atas “tanah terdaftar” dan “tanah tidak/belum terdaftar”.
Sebagaimana dikemukakan bahwa peralihan hak atas tanah (perbuatan
leveringnya) haruslah dibuat dengan akta PPAT, dengan demikian peranan PPAT dalam peralihan hak atas tanah melalui jual beli memegang peranan yang sangat
penting, oleh karenanya menjadi persoalan yang menarik untuk diteliti tentang peran
Bahwa setelah dilakukannya peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan akta
PPAT, apakah dengan demikian telah terjadi peralihan hak kepemilikan atas tanah
tersebut kepada pembeli, sekalipun pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut
belum terlaksana di kantor pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dan
bagaimana sekiranya Badan Pertanahan menolak pendaftaran dengan alasan misalnya
ada syarat yang belum terpenuhi untuk dilakukannya pendaftaran. Oleh karenanya
menjadi persoalan yang menarik untuk diteliti bagaimana keabsahan peralihan hak
atas tanah yang telah dibuat dalam akta jual beli tetapi akta peralihan itu sendiri
belum didaftar dengan kata lain belum dilakukan balik nama atas nama pembeli.
Berdasar uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tesis ini yang berjudul
“PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG
DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH”
B. Perumusan Masalah.
Berdasar uraian yang dikemukakan dalam latar belakang pemilihan judul
tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan penyerahan (levering) dari objek hak yang dibuat dalam akta jual beli tanah adalah sesuatu yang urgen mengingat fungsi
penyerahan adalah momentum peralihan hak milik. Oleh karenanya pokok
permasalahan yang akan menjadi fokus bahasan dalam tesis ini adalah sebagai
berikut:
2. Bagaimana keabsahan peralihan hak atas tanah dalam akta jual beli yang tidak diikuti proses balik nama (Pendaftaran) di Badan Pertanahan Nasional
(BPN)?
3. Bagaimana peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pembuat Akta Jual Beli (AJB) dalam pelaksanaan peralihan hak atas
tanah tersebut?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun pembahasan tentang pokok permasalahan tersebut diatas adalah
bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui secara jelas saat (momentum) beralihnya hak atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli berdasar alas hak jual beli,
sehingga kepastian hukumnya menjadi jelas.
2. Untuk mengetahui secara jelas keabsahan peralihan hak atas tanah yang tidak diikuti proses balik nama (pendaftaran) di Badan Pertanahan Nasional
(BPN).
3. Untuk mengetahui secara jelas peranan PPAT dalam pelaksanaan pengalihan hak atas tanah berdasar jual beli.
D. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
penulis sendiri maupun rekan-rekan mahasiswa sehingga pemahaman akan aspek
hukum atas penyerahan (levering) tanah berdasar jual beli menjadi lebih luas. Selain itu pembahasan ini diharapkan dapat memberi manfaat secara praktis bagi masyarakat
pada umumnya akan aspek hukum dari penyerahan/pengalihan hak atas tanah
berdasar jual beli, mengingat penyerahan di dalam sistim hukum kita merupakan
suatu perbuatan hukum yang menentukan beralihnya hak kepemilikan atas suatu
benda yang didasarkan pada perjanjian-perjanjian tertentu yang bermaksud untuk
memindahkan hak milik atas tanah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasar atas pemeriksaan pada perpustakaan, bahwa penulisan tentang pokok
masalah yang dikemukakan di atas belum ada yang ditulis oleh rekan-rekan
mahasiswa yang telah menyelesaikan tesisnya, dan sekiranyapun ada yang menulis
tentang pengalihan/ penyerahan (levering) atas tanah yang dibuat dalam akta jual beli namun pokok masalah yang dibahas kemungkinan berbeda.
F. Landasan Teori dan Konseptual 1. Landasan Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimakud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.7 Kerangka teori adalah
suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu faktor-faktor penting
yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Arti teori adalah suatu proposisi
umum yang saling berkaitan dan digunakan untuk menjelaskan hubungan beberapa
variable yang di observasi.
Karena penelitian ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif, maka
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum, yang artinya penelitiaan ini
berusaha untuk menggambarkan tentang problematika hukum levering atas tanah yang dibuat dalam akta jual beli.
Oleh karenanya adapun teori yang dipergunakan untuk membahas
permasalahan dalam tesis ini yaitu :
1.1. Teori Tujuan Hukum.
Teori tujuan hukum menurut Radbruch adalah hubungan antara keadilan dan
kepastian hukum perlu diperhatikan, oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi
keamanan dalam Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau
isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat
kekecualian, yakni bila pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi
begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu
boleh dilepaskan8. Dengan adanya kepastian hukum, maka tujuan hukum dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah
adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai
8 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
kegunaan bagi masyarakat, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.9Dalam kaitan denganlevering atau pengalihan hak atas tanah berdasar Akta Jual beli, maka akta jual beli harus dapat memberi tujuan hukum yaitu keadilan bagi para pihak serta
adanya kepastian hukum terutama bagi pihak pembeli bahwa hak atas tanah itu telah
beralih dan menjadi hak milik pembeli. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini
dimaksudkan menganalisis perlindungan hukum bagi pihak pembeli atas objek hak
yang dibuat dalam akta jual beli tanah. Teori tujuan hukum ini dipergunakan sebagai
pisau analisis untuk menjawab permasalahan dalam tesis ini.
1.2. Teori Perjanjian.
Perjanjian dalam bahasa belanda diistilahkan dengan “overeenkomst” dan dalam bahasa inggris diistilahkan dengan “contract” diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata10. Van Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum11. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang
mendahuluinya.
Ada tiga tahap dalam pembuatan perjanjian menurut teori hukum baru ini,
yaitu:
9Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2006), hal.19.
10Tan Tong Kie,Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2000), hal.402.
11Handri Raharjo,Hukum Perjanjian Di Indonesia(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.
a. Tahappracontractualyaitu adanya penawaran dan penerimaan.
b. Tahap contractual yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
c. Tahappost contractualyaitu pelaksanaan perjanjian12 Unsur unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan hukum,
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang, 3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. Perbutan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih, 5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan
8. Persesuaian kehendak harus dengan mengigat peraturan perundang-undangan.13
Rumusan Persetujuan diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan:
”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. R.Subekti, mengemukakan
bahwa Perjanjian itu adalah suatu peristiwa, dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.14
Sedangkan R.Wirjono Prodjodikoro, berpendapat perjanjian kini saya artikan sebagai
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15 Selanjutnya M.Yahya Harahap, berpendapat bahwa perjanjian atau Verbintenis
12Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, cet VIII (Jakarta: Sinar
Grafika, Jakarta, 2011), hal.26. 13Ibid, hal 25.
14R.Subekti,Hukum Perjanjian(Jakarta: PT.Intermasa, 1985), hal. 1.
mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua
orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16
Bertitik tolak dari pengertian perjanjian atau persetujuan yang dirumuskan
oleh para sarjana tersebut di atas dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa perjanjian itu
adalah persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
sehingga menimbulkan hubungan hukum diantara mereka, hubungan hukum mana
melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak dan yang terletak dalam lapangan
hukum harta kekayaan. Teori Perjanjian dalam tesis ini dimaksudkan sebagai pisau
analisis untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan diatas.
2. Landasan Konseptual.
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.17
Problematika berasal dari kata “Problem” yang berarti soal, masalah, teka-teki18. Dengan demikian problematika hukum adalah persoalan hukum atau masalah hukum.
16M.Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian(Bandung: Alumni,1985),hal. 6.
17Samadi Suryabrata,Metodologi Penelitian(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan menurut hukum Perdata yang
dimaksud dengan penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau
atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas
benda itu19.
Perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa
penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”).Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”).20
Terdapat 2 (dua) hal yang menjadi syarat utama dari penyerahan tersebut yaitu :
1. bahwa penyerahan itu haruslah berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik dan;
2. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.
Peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik tersebut dimaksudkan adalah
perbuatan-perbuatan hukum berupa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan
hak milik seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian hibah.
Perbuatan-perbuatan hukum yang demikian inilah yang menjadi dasar atau alas hak
pemindahan hak milik. Penyerahan itu harus dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas dimaksudkan bahwa orang yang akan menyerahkan atau mengalihkan
hak milik atas sesuatu benda tersebut harus orang yang berhak untuk mengusai benda
itu, ini adalah sama sekali sesuai dengan azas bahwa tidak seorangpun dapat
19Soedewi Maschoen Sofwan,Op.cithal. 67.
menyerahkan sesuatu lebih daripada apa yang jadi haknya (ini disebut “nemo plus regal”)21.
Oleh karenanya Levering (penyerahan) dalam sistim KUHPerdata adalah merupakan perbuatan hukum pemindahan atau penyerahan hak milik atas benda
tersebut. Perbuatan pemindahan hak milik atas benda inilah yang dinamakan tahap
zakelijke overeenkomstataupun disebut perjanjian yang bersifat kebendaa
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, yang dimaksud dengan perjanjian
kebendaan (zakelijke overeenkomst) adalah perjanjian penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu (pendaftaran)22. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini tidaklah dimaksudkan menimbulkan perikatan dengan kata lain tidak melahirkan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dengan perjanjianobligator
(obligatoire overeenkomst) yang melahirkan hak dan kewajiban, melainkan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini adalah perbuatan hukum memindahkan hak milik itu sendiri.
H.F.A.Vollmar mengemukakan menurut Hukum Nederland persetujuan saja tidaklah mengakibatkan beralihnya eigendom dan untuk itu (untuk beralihnya
eigendom) masih perlu juga penyerahan barangnya, penyerahan mana pada benda-benda bergerak seperti ternyata seringkali berupa pemberian secara nyata-nyata (Jawa:diulungake), tetapi pada benda-benda tak bergerak disyaratkan adanya sebuah akte dan balik nama penyerahan tersebut dalam daftar-daftar umum. Pada kata yang terakhir ini para pihak jadinya seakan-akan sampailah sekali lagi pada suatu persetujuan, yaitu untuk memperalihkan hak eigendom, dan hal ini lantas disebut perjanjian kebendaan (perjanjian zakelijk) berlawanan dengan perjanjian yang mewajibkan (perjanjian yang obligatoir), yaitu suatu perjanjian, dimana penjual
21H.F.A.Vollmar II,Op.cit, hal.95.
22Mariam Darus Badrulzaman ,Mencari Sistim Hukum Benda Nasional(Bandung: Alumni,
hanya mengikat diri untuk penyerahannya saja, pada jual-beli barang tak bergerak senantiasa disebut sebagai kontrak jual-beli-sementara23.
Penyerahan di dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi yang
mempunyai pengertian yang sama dengan penyerahan, misalnya :
1. Opdracht, 2. Overdracht,
3. Transportini penyerahan atas benda tak bergerak, 4. Cessie-penyerahaan untuk piutang atas nama, 5. Inbreng-penyerahan dalam hal warisan.24
Inbreng diartikan sebagai pemasukan (penyerahan) kedalam boedel harta peninggalan yang diberikan kepada ahli waris berupa hibah semasa hidupnya. Yang
oleh M.Yamin Lubis25, inbreng diartikan juga sebagai pemasukan dalam perusahaan.26
Adapun yang diartikan dengan jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457
KUHPerdata yang menyatakan; “Jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dari bunyi pasal
tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur perjanjian jual beli adalah mengenai
barang dan harga, hal ini relevan dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu
telah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” para pihak mengenai barang dan
23H.F.A.Vollmar I,Op.cit, hal. 231.
24Soedewi Maschoen Sofwan,Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 68.
25Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah(Bandung : Mandar
harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalahbarangdanharga.27
Dalam teori Hukum Adat, jual beli khususnya tanah berbeda dengan teori
KUHPerdata yang bersifat obligatoir, dimana menurut hukum adat jual beli tanah itu
adalah suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan hak atas tanah. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dalam sistim hukum adat tahap obligator dan zakelijknya
jatuh pada saat bersamaan. Jual beli tanah menurut hukum adat adalah merupakan
suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya
kepada sipembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga
(walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual sejak itu hak tanah telah
beralih dari penjual kepada pembeli.28
Jual beli tanah menurut Adat harus dilakukan secara :
1) Contantatau tunai.
Contantatau tunai artinya harga tanah yang dibayar itu lunas seluruhnya tetapi bisa juga sebagian. Tetapi biarpun dibayar sebagaian, menurut hukumdianggap
telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai hutang piutang kepada bekas pemilik tanah (penjual).
2) Terang.
Terang artinya jual beli tanah tersebut dilakukan dihadapan kepala desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.29
27R.Subekti,Aneka perjanjian(Bandung: Alumni,1984), hal. 2.
28K.Wantjik Saleh,Hak atas tanah (Jakarta: Ghalia Indoneia, 1985), hal .30.
29 Effendi Perangin angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Dalam hukum adat hak milik atas tanah yang dijual telah beralih kepada
pembeli sejak saat terjadi jual beli dengan demikian jual beli menurut hukum adat
adalah perbuatan pemindahan hak milik atas tanah antara penjual dan pembeli.
G. Metode Penelitian
Metode adalah merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan30.
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologi dan konsisten31.
Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan
memecahkan suatu permasalahan guna mencapai tujuan penelitian berdasarkan
metoda tertentu.
Dalam menyelesaikan suatu permasalahan haruslah dilakukan dengan suatu
metoda yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Dengan metoda yang
ditentukan diharapkan dapat memberikan hasil yang baik atas pemecahan suatu
masalah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Agar penelitian tersebut
memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metoda
penelitian.
30 Soerjono Soekanto,Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris(Jakarta:
Indoneia-Hill,1990), hal. 106.
31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitiaan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
1. Sifat dan Jenis Penelitian.
Berdasar pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan diatas , maka sifat penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah bersifat deskriptif analitis, yang berarti adalah suatu analisis data yang
berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan
tentang seperangkat data yang lain.32
Dengan demikian penelitian dalam tesis ini sifatnya hanya menggambarkan
keseluruhan keadaan objek yang diteliti yaitu leveringatau peralihan hak milik dari objek hak yang dibuat dalam akta jual beli tanah. Penggambaran dimaksud berupa
kajian hukum atas aturan-aturan mengenai peralihan hak atas tanah yang dibuat
dalam akta jual beli.
Selanjutnya jenis penelitian yang diterapkan adalah mempergunakan metoda
pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengadakan penelusuran asas-asas hukum umum, untuk kemudian
membuat suatu interpretasi terhadap peraturan hukum umum. Selanjutnya akan
dilakukan pengujian hasil interpretasi terhadap teori dan atau prinsip-prinsip hukum
umum.33 Dengan demikian penelitian ini mengacu pada aturan-aturan hukum yang
terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang
32Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum(Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997),
hal.38.
dipergunakan dalam pengalihan (levering) dari hak atas tanah yang dibuat dalam suatu akta jual beli.
2. Sumber data.
Berdasar jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Dimana data sekunder tersebut diperoleh melalui sumber kedua, yaitu
melalui studi kepustakaan (library research), yaitu dari data-data yang sudah tersedia. Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tanah dan jual beli serta peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan jabatan notaris selaku pejabat pembuat akta.
Dalam penulisan tesis ini bahan hukum primer yang akan dipergunakan
adalah:
(1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria.
(3). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah;
(4). Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
(5). Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
(6). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
(7). Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku kepustakaan,
hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah lainya yang relevan dengan
pembahasan atas permasalahan dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus.
3. Teknik Pengumpulan Data.
Sebagimana telah dikemukakan bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka, oleh karenanya teknik pengumpulan data yang
dibuat catatan ssesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak
langsung. Bahan hukum yang relevan dikumpulkan menggunakan teknik sistim kartu
(card system)34, yaitu dengan menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan serta karya ilmiah atau tesis dan hasilnya dicatat dengan
sistim kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik bukan berdasarkan nama
pengarang, hal ini dimaksudkan agar lebih memudahkan dalam penguraian, analisis
dan membuat kesimpulan. Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang dibahas.
4. Analisa Data.
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipoatesis kerja seperti yang disarankan oleh data.35
Analisis atau pengolahan data dilakukan secara analisis kwalitatif yang berarti
analisis yang dipakai tidak menggunakan angka maupun rumusan statistika dan
matematika namun disajikan dalam bentuk uraian, yaitu dengan melakukan analisis
dengan cara menginpretasikan, menelaah dan menilai semua peraturan-peraturan dan
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas, sehingga
pada akhirnya dapat dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika
34 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 58.
35Lexy Moleong,Metode Penelitian Kwalitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal.
berfikir secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang berifat umum ke yang
bersifat khusus dan dipaparkan secara deskriptif dengan harapan akan tergambar
secara jelas mengenai problematika hukum atas levering dari objek hak yang dibuat