BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Ovarium
Tubuh kita disusun oleh triliunan sel hidup. Sel tubuh yang normal dapat
beregenerasi dan mati dengan teratur. Pada awal kehidupan, pertumbuhan sel
terjadi dengan pesat, dan setelah dewasa pertumbuhan sel terjadi untuk mengganti
sel yang rusak dan mati. Kanker terjadi ketika sel tumbuh di luar kendali. Sel ini
terus tumbuh dan membentuk sel-sel kanker baru, bahkan dapat terjadi metastasis
ke organ melalui pembuluh darah dan pembuluh limfa. Kanker ovarium adalah
kanker yang berasal dari sel-sel ovarium (American cancer society, 2015). Lesi
pada kanker ini dapat timbul dari ovarium dan disebut sebagai lesi primer,
sedangkan lesi sekunder merupakan proses metastasis dari berbagai organ dalam
tubuh. Lesi primer berasal dari ephithelial cell (sekitar 70 % dari angka kejadian
kanker ovarium), germ cell, dan sex-cord stromal. Metastasis ke ovarium berasal
dari endometrium, payudara, usus besar, lambung, dan serviks (Green, 2014).
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi dari kanker alat
genital perempuan. Di Amerika sekitar 22.220 kasus baru didiagnosis setiap
tahun, dan sekitar 16.210 kematian terjadi setiap tahun akibat penyakit ini. Kanker
Ovarium merupakan 6% dari seluruh kanker pada perempuan, dan penyakit ini
timbul satu orang pada setiap 68 perempuan (Anwar, 2011). Kanker ovarium
jarang ditemukan pada umur dibawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat
seiring peningkatan umur, dari 15-16 per 100.000 pada umur 40-44 tahun,
menjadi paling tinggi dengan angka 57 per 100.000 pada umur 70-74 tahun. Umur
rata-rata saat didiagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berumur diatas 65
tahun (ovarian cancer, 2014).
Tumor ganas ovarium sangat berbahaya dengan angka kematian yang
tinggi, hal ini terjadi karena pertumbuhan sel tumor yang tidak menimbulkan
gejala pada stadium dini dan belum ada metode skrining yang efektif untuk
kanker ovarium, sehingga 70% penderita datang dengan stadium lanjut yakni
Penelitian menunjukkan bahwa angka kematian penderita muda semakin
menurun, sedangkan pada perempuan tua (>65 tahun) semakin meningkat.
Diperkirakan penyebabnya adalah pada perempuan muda tersebut penyakitnya
lebih cepat terdiagnosis dalam stadium dini jika dibandingkan pada perempuan
yang sudah tua (Aziz, 2006). Five-year survival penderita tergantung dari umur
dan stadium tumor. Untuk penderita yang berumur < 65 tahun five-year survival
adalah 65.8% sedangkan 32.9% bagi penderita yang berumur ≥ 65 tahun (Hoskins, 2005).
2.2. Kanker Epitel Ovarium 2.2.1. Defenisi dan Epidemiologi
Kanker ovarium jenis epitel adalah kanker yang berasal dari sel epitel dan
merupakan penyebab utama akibat kanker ginekologi di Amerika Serikat.
Mayoritas kanker ovarium adalah jenis epitel. Lebih dari 80% kanker ovarium
epitel ditemukan pada perempuan pascamenopause. Umur 62 tahun adalah umur
dimana kanker ovarium epitel paling sering ditemui. Sumber lain juga
mengatakan kanker ovarium epitel sering ditemui pada umur> 50 tahun (DiSaia et
al, 2007) dan jarang ditemukan pada umur kurang dari 45 tahun (Azis, 2006).
Kanker epitel ovarium paling sering terjadi pada perempuan berkulit putih di
negara-negara industri Eropa utara dan Amerika Utara (Green, 2014). Insiden
kanker ovarium ini juga meningkat pada perempuan yang berumur tua (65 tahun).
Penggunaan kontrasepsi oral juga meningkatkan insiden dan laju mortalitas pada
perempuan umur muda (Hoskins et al, 2005). Kanker ovarium merupakan
penyebab paling umum keempat kematian akibat keganasan pada perempuan
karena lebih dari dua-pertiga pasien yang didiagnosis sudah memiliki kanker
stadium lanjut. Di Amerika Serikat, terdapat 21.550 kasus kanker ini dan lebih
dari 14.600 penderita tidak dapat bertahan. Kanker ini menempati urutan kelima
2.2.2. Etiologi dan patogenesis
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan terjadinya kanker ovarium.
Diantaranya diuraikan beberapa teori berikut.
a. Hipotesis incessant ovulation
Teori ini menyatakan bahwa pada saat ovulasi terjadi kerusakan jaringan pada
sel ovarium yang berulang. Untuk penyembuhan luka yang sempurna diperlukan
waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai terjadi lagi ovulasi atau trauma baru,
proses penyembuhan akan terganggu sehingga dapat menimbulkan transformasi
menjadi sel-sel tumor (Aziz, 2006).
b. Hipotesis Gonadotropin
Teori ini menyatakan bahwa terjadi stimulasi berlebihan yang secara
langsung atau tidak langsung dari epitel permukaan ovarium. Peningkatan kadar
hormon gonadotropin ini berhubungan dengan makin bertambah besarnya tumor
ovarium (Aziz, 2006).
c. Hipotesis Androgen
Teori ini didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung reseptor
androgen. Epitel ovarium selalu terpapar pada adrogenik steroid yang berasal dari
ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal. Dalam percobaaan invitro androgen
dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan juga sel-sel kanker
ovarium epitel dalam kultur sel (aziz, 2006).
2.2.3. Faktor Resiko
Banyak faktor bisa mempengaruhi resiko timbulnya kanker ovarium
diantaranya paritas, pil kontrasepsi, talk (hydrous magnesium silicate), ligasi tuba,
terapi pengganti hormon (Menopausal Hormone Therapy = MTH), dan faktor
herediter. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan paritas rendah lebih
beresiko terjadi kanker ovarium dibanding dengan multiparitas. Pada perempuan
yang mengalami empat atau lebih kehamilan aterm, risiko terjadinya kanker
ovarium berkurang sebesar 40% dibanding dengan nulipara. Pemakaian pil
kontrasepsi berdasarkan penelitian terjadi penurunan risiko terjadi kanker
dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadi kanker ovarium dengan risiko relatif
1,9%. Tapi, penelitian lain juga mengatakan bahwa pemakaian talk tidak ada
hubungannya (Anwar, 2011). Ligasi tuba juga diduga dapat menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif 0,3. Mekanisme ini terjadi karena
terputusnya akses talk atau karsinogen lainnya dengan ovarium. Terapi hormon
pengganti pada masa menopause juga meningkatkan risiko relatif menjadi 1,5.
Stasus pascamenopause merupakan faktor risiko tinggi terjadinya kanker ovarium
(Irshad et al, 2013).
Tabel 2.1. Faktor Resiko Kanker Ovarium
Meningkatkan Risiko RR Menurunkan Risiko RR
Talk 1,1-1,9 Pil kontrasepsi 0,6
MHT
1. Estrogen saja 10 tahun
2. Estrogen saja 20 tahun
3. Estrogen + progestin
2,2
3,2
1,5
Ligasi tuba 0,3
Klomifen sitrat 12 siklus 11 Paritas tinggi 0,7
Riwayat keluarga kanker
Ovarium
1. Ibu dari penderita
2. Saudara dari penderita
3. Anak dari penderita
1,1
3,8
6
Dikutip dari (Aziz, 2006)
Sumber lain juga mengatakan bahwa faktor risiko yang meningkatkan
kejadian kanker ovarium ini dapat berupa peningkatan umur, obesitas, status
pascamenopause, riwayat keluarga dengan kanker payudara dan kanker colorectal
yang disebabkan mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2, dan bahkan perempuan
yang menderita kanker payudara memiliki faktor risiko tinggi untuk menderita
kanker ovarium. Faktor risiko lainnya yang menurunkan kejadian kanker ovarium
diantaranya kehamilan, pemberian ASI, dan diet rendah lemak (American cancer
2.2.4. Gambaran Klinis
Pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, oleh karena itu
lebih dari 70% penderita kanker ovarium sudah dalam stadium lanjut. Mayoritas
penderita kanker ovarium jenis epitel tidak menunjukkan gejala sampai periode
waktu tertentu. Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan
gejala-gejala yang tidak khas. Bila penderita dalam umur premenopause, keluhan mereka
adalah haid yang tidak teratur. Bila massa tumor telah menekan kandung kemih
atau rektum, keluhan sering berkemih dan konstipasi akan sering muncul.
Kadang-kadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan
nyeri dapat ditemukan. Pada kanker epitel ovarium stadium lanjut ditemukan
adanya asites, metastasis ke omentum, atau metastasis ke usus (Aziz, 2006).
Gejala lain dapat ditemukan adanya efusi pleura, dan massa umbilikus yang
disebut sebagai Sister Mary Joseph’s nodule. Tetapi massa ini biasanya jarang dan
tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh kanker pada lambung, pankreas,
kantung empede, kolon, dan appendiks (Cannistra, 2008).
2.2.5. Diagnosis
Pada stadium dini gejala kanker tidak khas, sehingga 75-85% penderita
kanker ovarium ditemukan dalam stadium lanjut (William, 2005). Diagnosis
kanker ovarium memerlukan tindakan laparatomi eksplorasi (Aziz,2006). Selain
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ginekologi yang dilakukan, pemeriksaan
penunjang berikut ini juga dapat dilakukan, yaitu :
2.2.5.1. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah cara pemeriksaan non invasif yang relatif murah.
Dengan ultrasonografi dapat secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor
yang padat. Pada tumor dengan bagian padat (echogenik) persentase keganasan
makin meningkat. Sebaliknya pada tumor kistik tanpa ekointernal (anechogenic)
kemungkinan keganasan menurun.
Data yang diperoleh dari ultrasonografi dapat berupa ukuran ovarium, lesi
abdomen, dan aliran darah pada massa ovarium. Data tersebut dievaluasi untuk
mendeteksi kemungkinan adanya kanker ovarium. Jika dilakukan ultrasonografi
ulangan dalam 4-6 minggu, dan terdapat kelainan yang menetap, maka hal ini
akan membantu menurunkan false-positive. Pemakaian ultrasonografi
transvaginal/ transvaginal color flow doppler dapat meningkatkan ketajaman
diagnosis (Aziz,2006).
2.2.5.2. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pemakaian CT-scan untuk mendiagnosis tumor ovarium juga sangat
bermanfaat. Dengan CT-Scan dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya
metastatis ke hepar, dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding
perut. Akan tetapi, CT scan kurang disenangi disebabkan adanya risiko radiasi,
risiko alergi terhadap zat kontras, kurang tegas dalam membedakan tumor kistik
dan tumor padat, dan biayanya juga mahal (Aziz,2006). Tetapi, CT Scan tidak
dapat menunjukkan ukuran tumor ovarium yang ukurannya kecil. CT Scan juga
dapat digunakan untuk membantu mengambil jaringan untuk biopsi (American
Cancer Society, 2013).
2.2.5.3. Photo Thorax
Pemeriksaan ini rutin dilakukan untuk melihat adanya metastasis ke paru
(American Cancer Society, 2013).
2.2.5.4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Seperti CT-Scan, MRI juga menunjukkan gambar tubuh secara
cross-sectional. Jika dibandingkan dengan CT Scan, MRI tidak jauh lebih baik dalam
hal diagnostik, menggambarkan perjalanan penyakit, dan menentukan lokasi
2.2.5.5. Tumor Marker
Tumor marker atau penanda tumor adalah antigen atau suatu substansi
yang ditemukan dalam tubuh karena adanya kanker. Biasanya ditemukan melalui
pemeriksaan darah atau urin, yang diproduksi oleh sel-sel kanker atau tubuh
sendiri sebagai respons terhadap kanker. Tumor marker Ca 125 adalah suatu
glikoprotein yang biasanya dideteksi oleh antibodi monoclonal. Setiap tumor
marker mempunyai profil yang berguna untuk deteksi dini, menentukan diagnosis
dan prognosis, melihat respon pada terapi, dan memonitor kekambuhan dari
kanker. Biasanya dapat dideteksi dari peningkatan jumlahnya di darah, urine, atau
jaringan tubuh (foundation for women cancer, 2011). Level tumor marker tidak
meningkat pada semua jenis tumor, khususnya pada early stage cancer. Untuk
mendeteksi tumor ovarium dalam rongga abdomen dan membuat diagnosis
sebelum operasi laparatomy sangat sulit dilakukan, karena itu tumor marker dapat
membantu diagnosis tumor ovarium. Untuk jenis kanker ovarium jenis epitel
penanda tumornya adalah Ca 125, tumor jenis germinal LDH, hCG, AFP, dan
tumor stromal sex-cord adalah inhibin (Aziz,2006). Tumor marker lain yang
sensitif terhadap tumor ganas epitel pada penelitian sebelumnya adalah HE4 dan
CA72-4. Tetapi CA72-4 kurang sensitif dibandingkan dengan Ca 125 dan HE4
karena terjadi peningkatan CA72-4 pada kanker kolon, lambung dan payudara
(Anastasi,2013). Cut-off levels: Ca 125 = 35 U/mL; HE4 = 150 pmol/L; CA72-4
=3.8 U/mL
Table 2.2. Perbedaan antara CA-125, HE4, dan CA72-4
Ca 125 HE4 CA72-4
Sensitivitas (%) 90 87 67
Specifisitas (%) 70 100 96
PPV(%) 51 100 84
NPV(%) 95 96 89
Bagan 2.1. Cara mendiagnosis massa pada adneksa
Dikutip dari Berek and Hacker’s 2010
2.2.6. Klasifikasi Berdasarkan Histopatologi
Jenis histopatologi tumor sering dianggap mempengaruhi prognosis suatu
kanker ovarium. Di Amerika, 85-90% tumor ganas ovarium adalah jenis epitel.
Dari penelitian yang dilakukan didapat bahwa jenis serous carcinoma ada 42%,
mucinous carcinoma 12%, endometroid carcinoma 15%, undifferentiated
carcinoma 17%, dan clear cell carcinoma 6%. Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa karsinoma jenis clear cell mempunyai prognosis yang sangat buruk jika
Massa pada Adneksa
Bukan kelainan ginekologi
• USG
• Ca-125
• IRK
IRK <200 IRK > 200
Diagnosis pasti melalui laparatomi
Individualize treatment,
operasi jika diperlukan
dibandingkan dengan jenis kanker yang lain (DiSaia, 2007). Berikut dijabarkan
jenis kanker epitel ovarium menurut WHO 2013 :
Tabel 2.3. Jenis Tumor ganas epitel
Malignant epithelial Ovarian Tumor
• Serous Tumours
o Low-grade serous carcinoma
o High-grace serous carcinoma
• Mucinous carcinoma
• Endometrioid carcinoma
• Clear cell carcinoma
• Malignant Brenner tumour
• Seromucinous carcinoma
• Undiferentiated carcinoma Dikutip dari WHO 2014
2.2.6.1. Serous Carcinoma
Tumor serous merupakan tumor hasil invaginasi sel permukaan ovarium
disertai pengeluaran cairan serous. Pada jenis tumor ini, terdapat psammoma
bodies yang merupakan hasil invaginasi epitel, reaksi iritasi yang menimbulkan
perlengketan, dan timbunan sel epitel yang terperangkap (Manuaba et al, 2010).
Malignant serous carcinoma dibagi menjadi dua berdasarkan derajat selnya yaitu
low grade serous carcinoma dan high grade serous carcinoma (HGSC).
Low grade serous carcinoma atau invasive micropapillry serous
carcinoma (MPSC) diduga berasal dari kistadenoma atau adenofibroma yang
berkembang menjadi atypical proliferative serous tumor (APST) atau sama
dengan tumor borderline serous dan menjadi non invasive MPSC dan kemudian
berubah jadi MPSC. Pada low grade serous carcinoma terjadi mutasi gen pada
KRAS, BRAF, atau ERBB2. Bisa pada satu gen ataupun ketiga gen, tetapi mutasi
pada KRAS dan BRAF lebih sering terjadi dibandingkan pada ERBB2. Pada High
grade serous carcinoma tejadi mutasi TP53 pada 80% kasus. Penelitian terakhir
mengatakan bahwa lesi pertama terjadinya HGSC adalah pada tuba fallopi yang
intrepithelial carcinoma(TIC) karena selalu dideteksi di ujung tuba fallopi pada
fimbria yang melekat pada ovarium (Vang, 2010).
Tabel 2.4. Perbedaan Low grade serous dan High grade serous carcinoma
Low grade serous carcinoma High grade serous carcinoma Lesi pertama Adenofibroma/cystadenoma
APST non invasif MPSC
Invasif MPSC
Tubal intraepithelial carcinoma
Pengaruh
kromosom Rendah Tinggi
Mutasi Gen KRAS, BRAF, ERBB2 TP53
Dikutip dari Vang 2010
High gade carcinoma dapat berasal dari low grade carcinoma, hal ini
dibuktikan adanya kasus kanker serous yang mempunyai komponen kedua jenis
kanker epitel serous. Selain itu, adanya mutasi gen pada beberapa kasus high
grade carcinoma yang mengalami mutasi pada gen KRAS. Berikut perjalanan
low-grade serous carcinoma menjadi high-grade serous carcinoma.
Bagan 2. 2. Low grade serous carcinoma menjadi High grade carcinoma
2.2.6.1.1. Low-grade serous carcinoma
Low grade carcinoma (LGSC) merupakan 5% dari keseluruhan kanker
serous. Massa ovarium dapat memberi gejala atau terdeteksi secara tidak sengaja.
Pasien yang datang untuk terapi biasanya sudah memasuki stadium lanjut. Massa
pada LGSC lebih besar dari pada HGSC (WHO, 2014). Massa biasanya
memberikan gambaran kistik tapi, memiliki septa yang tebal, nodular, dan
peningkatan vaskularisasi. LGSC ini biasanya dihubungkan dengan komponen
yang non-invasive, adenofibroma, APST, dan MPSC. Secara mikroskopis,
komponen jenis invasif ditandai dengan adanya mikropapiler yang kecil dan
adanya kumpulan sel yang menginfiltrasi stroma (Vang, 2010). Pada gambaran
histopatologinya menunjukkan adanya variasi pola dari sel dan mikropapila.
LGSC ini berkaitan dengan komponen dari borderline tumour. Sel pada LGSC
ini mempunyai atypia nukleus yang ringan sampai sedang. Biasanya dijumpai
psammoma bodies dan aktivitas mitosisnya rendah (WHO, 2014).
Gambar2.3. Low grade serous carcinoma
Gambar2.4. psammocarcinoma
Sumber Nucci dan Olivia 2008
2.2.6.1. High-grade serous carcinoma
High-grade serous carcinoma dapat berupa campuran dari papilla dan
kelenjar. Papilla biasanya besar dan kompleks, epitel yang melapisi papilla ini
adalah sel bertingkat. High-grade serous carcinoma terdiri dari sel epitel yang
menunjukkan gambaran papilla, glandular dan padat dengan nukleus yang atypia.
Saat ini, ada sekitar 225.000 yang terdiagnosis oleh kanker ini diseluruh dunia dan
140.000 yang meninggal. Umur rata-rata menderita HGSC adalah 63 tahun.
Gejala yang muncul tidak spesifik dan biasanya melibatkan gastrointestinal
(WHO, 2014).
Gambar2.5. High grade serous carcinoma
2.2.6.3. Mucinous carcinoma
Mucinous carcinoma adalah kanker epitel yang terdiri dari sel tipe
gastrointestinal berisi mucin intra-cytoplasmic (Manuaba et al, 2010). Mucinous
carcinoma merupakan 3-4% dari keseluruhan kanker ovarium. Umur rata-rata
penderita kanker ini adalah 45 tahun dengan gejala pembengkakan perut dan nyeri
(WHO, 2014). Secara makroskopis, mucinous carcinoma mempunya ciri-ciri
seperti massa besar, unilateral, bilateral terjadi antara 8-10% kompleks, solid atau
kistik pada intra ovarial sekitar 95-98% (Manuaba, 2011).
Gambar2.6. mucinous carcinoma, Sumber Nucci dan Olivia 2008
2.2.7. Stadium Tumor Ovarium
Stadium digunakan untuk menentukan seberapa jauh kanker menyebar
(metastasis). Stadium kanker ovarium ditentukan setelah pembedahan laparatomy
surgical staging untuk mengambil contoh jaringan dan dilihat dibawah
mikroskop. Stadium kanker ovarium diklasifikasikan menurut International
Federation of Gynecologist and Obstetricians (FIGO). Sistem ini menggunakan
istilah ukuran tumor (T), apakah telah menyebar ke dekat lymph nodes (N), atau
ke organ yang lebih jauh atau mengalami metastasis (M) (WHO,2014).
Stadium diekspresikan dengan menggunakan angka Romawi dari I-IV,
semakin rendah angkanya, semakin kecil kemungkinan kankernya menyebar.
Tetapi, ketika mencapai angka tertinggi (stadium IV), semakin besar penyebaran
Tabel 2.5. Stadium kanker ovarium menurut FIGO
Stadium kanker ovarium Primer (FIGO)
Stadium I
Perumbuhan terbatas pada ovarium
1. Stadium IA: pertumbuhan terbatas pada satu ovarium; tidak ada asites yang berisi sel
ganas, tidak ada pertumbuhan di permukaaan luar, kapsul utuh.
2. Stadium IB : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium; tidak ada asites berisi sel ganas,
tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul intak.
3. Stadium IC : tumor dengan stadium 1a atau 1b tetapi ada tumor di permukaan luar satu
atau kedua ovarium; atau dengan kapsul pecah; atau dengan asites berisi sel ganas atau
dengan bilasan peritonium positif.
Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul
1. Stadium IIA: perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba.
2. Stadium IIB : perluasan ke jaringan pelvis lainnya.
Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di peritoneum di luar pelvis dan/atau
metastasis kelenjar getah bening retroperitoneal .
1. Stadium IIIA1 : tumor terbatas bermetastasis pada kelenjar getah bening retroperitonial
2. Stadium IIIA1i : Kelenjar getah bening bermetastasis ≤ 10 mm
3. Stadium IIIA1ii: Kelenjar getah bening bermetastasis ≥ 10 mm
4. Stadium IIIA2 : Tumor mengenai peritoneal diluar panggul terbukti secara mikroskopis
dan/atau kgb retroperitoneal.
5. Stadium IIIB: Implan di permukaaan peritoneal dan terbukti secara makroskopis dengan diameter ≤ 2 cm dan/atau kgb retroperitoneal
6. Stadium IIIC: Implan di permukaaan peritoneal dan terbukti secara makroskopis dengan diameter ≥ 2 cm dan/atau kgb retroperitoneal
Stadium IV
Pertumbuhan tumor pada peritoneum dengan metastasis jauh.
1. Stadium IV A : Efusi pleura dengan sitologi positif
2. Stadium IV B : Metastasis ke parenkim dan metastasis ke ekstra abdominal .
Dikutip dari : WHO 2014
Selain sistem staging menurut FIGO, ada lagi sistem staging yang dikembangkan
oleh Pierre Denoix dari Prancis pada tahun 1940 yang didasarkan pada ukuran
Kelenjar Getah Bening Regional- N
NX : Kelenjar getah bening tidak bisa dinilai
No : Tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional
N1 : Kelenjar getah bening regional positif metastasis
N1a : Metastasis kelenjar getah bening ≤ 10 mm
N1b : Metastasis kelenjar getah bening ≥ 10 mm
Metastasis Jauh-M
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis
M1a : Efusi pleura dan hasil sitologinya positif
M1b : Metastasis pada parenkim dan metastasis pada ekstra abdomen.
Dikutip dari : WHO 2014
Tabel 2.6. Staging Grouping
Staging Grouping
Dikutip dari WHO 2014
2.3. Indeks Resiko Keganasan
Untuk mendiagnosis kanker ovarium memerlukan tindakan laparatomi
eksplorasi (Aziz, 2011). Tetapi tidak semua kasus tumor ovarium yang
memerlukan operasi. Dari penelitian, hanya 35% kanker ovarium yang
memerlukan tindakan operasi. Oleh karena itu, diperlukan alat diagnostik untuk
menilai keganasan tumor pada praoperasi. Banyak alat yang dibuat untuk
meningkatkan tingkat keakuratan prediksi keganasan tumor. Pada penelitian yang
dapat dilakukan langsung untuk menilai massa abdomen sebelum dilakukan
tindakan operasi. Jacob et al mengembangkan sebuah Indeks resiko keganasan
untuk memprediksi kemungkinan tumor ganas ataupun tumor jinak. Parameter
yang digunakan adalah status menopause, gambaran ultrasonografi, dan tumor
marker Ca 125 (Khongthip and Chaisuriyapun, 2013). Hal ini disebabkan adanya
hasil yang diperoleh dari penelitian, IRK dinyatakan mempunyai sensitivitas
91,3%, spesifitasnya 76.9%, PPV 87,5%, dan NPV 83,3%. Pada tahun 1996,
Tingulstad et al juga membuat Indeks Resiko Keganasan yang dinamakan IRK 2.
Sedangkan yang dibuat oleh Jacob et al dinamakan IRK 1. Pada tahun 1999,
Tingulstad et al memodifikasinya menjadi IRK 3.
Pada penelitian yang dilakukan Bouzari et al mendapati tidak adanya
perbedaan pada ketiga IRK ( IRK 1, IRK 2, IRK 3) yang bermakna dalam menilai
keganasan tumor ovarium. Adapun perbedaan di antara ketiga indeks adalah
terletak pada perbedaan skor dari hasil ultrasonografi dan skor status menopause.
Penelitian yang dilakukan oleh Park et al (2012) menyatakan bahwa IRK lebih
akurat dibandingkan dengan status menopause, kadar serum Ca 125 dan
ultrasonografi dalam menapiskan keganasan. Tidak ada ditemukan perbedaan
bermakna diantara ketiga IRK dalam mengidentifikasikan keganasan. Meskipun
banyak cara untuk menilai sifat tumor sebelum operasi pada tumor ovarium, IRK
masih direkomendasi di Inggris dan Amerika. Pada penelitian systematic review
dinyatakan bahwa IRK merupakan alat prediksi terbaik yang mempunyai
Tabel 2.7. Perbedaan Skor pada ketiga IRK
M (Status menopause) U (Ultrasonografi)
IRK 1
(menurut jacob
et al, 1990)
M= 1 jika belum menopause
M= 2 jika sudah menopause
U= 0 jika tidak ditemukan karakteristik
USG
U= 1 jika ditemukan ada satu
karakteristik
U= 3 jika ditemukan karakteristik ≥ 2 IRK 2 (menurut
Tingulstad et al,
1996)
M= 1 jika belum menopause
M= 4 jika sudah menopause
U= 1 jika ditemukan ≤ 1 karakteristik USG
U= 4 jika ditemukan karakteristik ≥ 2 IRK 3 (menurut
Tingulstad et al,
1999)
M=1 jika belum menopause
M= 3 jika sudah menopause
U=1 jika ditemukan ≤ 1 karakteristik USG
U= 3 jika ditemukan karakteristik ≥ 2
Adapun perbedaan antara sensitivitas, spesifisitas, dan positive predictive value
(PPV) diantara ketiga IRK pada tabel berikut.
Tabel 2.8. Sensitivitas, spesifisitas, dan positive predictive value pada IRK 1, IRK
2, IRK 3
Sensitivitas Spesifisitas PPV
IRK 1 85,4 % 96,9 % 92,3 %
IRK 2 80 % 92 % 83 %
IRK 3 71 % 92 % 69 %
Untuk menghitung Indeks Risiko Keganasan digunakan rumus :
Indeks Resiko Keganasan (IRK) = U x M x Serum Ca 125
IRK-3 = Indeks Resiko Keganasan menurut Tingulstad et al
U= Hasil Ultrasonografi
Dimana Karakteristik ultrasonografi yang dijumpai:
• Multilokulasi kista ovarium
• Komponen solid pada tumor ovarium
• Asites
• Adanya bukti metastasis intra abdomen
Nilai U = 1 , jika dijumpai nol atau salah satu karakteristik ultrasonografi diatas
Nilai U = 4 , jika dijumpai dua hingga lima karakteristik ultrasonografi di atas.
M = 1 Status menopause (-)
M = 4 Status menopause (+)
Nilai Ca 125 dalam serum langsung digunakan dalam perhitungan (Bouzari et al,
2011).
Pada penelitian Irshad et al., 2013 menyatakan juga bahwa penilaian Ca
125 dan ultrasonografi sudah sering digunakan untuk mendiagnosis kanker
ovarium, tapi sensitivitas dan spesifitasnya lebih rendah dari penilaian IRK.
Menurut sistem ini, low risk jika nilai IRK< 25, intermediate risk jika 25-250, dan
high risk jika > 250.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Simsek dan kawan-kawan
menyimpulkan bahwa untuk mendiagnosis massa IRK merupakan alat prediksi
yang jauh lebih baik dibandingkan dengan status menopause, ultrasografi, dan
level Ca 125.
2.3.1. Ca 125
Ca 125 pertama kali diperkenalkan oleh Bast et al (1981) yang merupakan
salah satu tumor marker yang biasa digunakan dalam diagnosis kanker epitel
ovarium. Suatu glikoprotein yang dikenal oleh antibodi mononuklonal murine OC
125 sebagai penanda untuk keganasan epitel. Ca 125 adalah antigen yang
dihasilkan oleh epitel coelom dan epitel amnion. Pada orang dewasa Ca 125
dihasilkan oleh epitel coelom (sel mesotelial pleura, perikardium, dan peritonium)
dan epitel saluran muller (tuba, endometrium, dan endoserviks). Epitel ovarium
dalam keadaan normal tidak menghasilkan Ca 125, kecuali jika mengalami
metaplasia (Aziz,2006). Kadar normal paling tinggi yang disepakati untuk Ca 125
adalah 35 U/ml dan sensitivitas dan spesifisitas yang diperoleh adalah 78,6 % dan
63,5 %. Penelitian pada rumah sakit di Dhaki City didapati adanya peningkatan
kadar Ca 125 pada 78,6 % penderita kanker ovarium epitel (Deeba et al., 2013).
menilai prognosis, memprediksi hasil pengobatan, mendeteksi kejadian kanker
ovarium yang berulang, memonitoring atau memantau efektivitas pengobatan, dan
digunakan untuk deteksi dini dari kanker ovarium dan jika hasil dari Ca 125
abnormal, maka dapat juga digunakan ultrasonografi (Simsek et al, 2014).
Peningkatan serum Ca 125 juga dijumpai berhubungan dengan kelainan
yang bukan berasal dari ginekologi yaitu tuberkulosis, sirosis hepar, dan juga
kondisi fisiologi yaitu kehamilan, dan menstruasi (Anastasi et al, 2013) dan
bahkan peningkatan Ca 125 kanker dari juga dapat terjadi pada keganasan dari
pankreas, paru, lambung, kanker kolon .
2.3.2. Ultrasonografi
Jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai adanya tumor
ovarium, maka penggunaan ultrasonografi merupakan tindakan yang tepat.
Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya massa dan kista dalam ovarium.
Tingulstad dan kawan – kawan memakai skor ultrasonografi dimana skor
ditentukan dengan memberikan nilai satu dari setiap karakteristik yang dijumpai
pada ultrasonografi seperti multilokulasi kista ovarium, komponen solid pada
tumor ovarium, lesi bilateral, asites dan adanya bukti metastasis intra abdomen.
Penggunaan ultrasonografi transvaginal lebih sensitif dibandingkan dengan
CT-Scan untuk mendeteksi massa (Cannistra, 2004).
2.3.3. Status menopause
Tingulstad et al membuat skor pada IRK-2 untuk status menopause yaitu
jika pasien premenopause diberi skor satu, sedangkan penderita yang
pascamenopause diberi skor empat. Pascamenopause dapat dinyatakan sebagai
perempuan yang sudah tidak mengalami periode menstruasi setidaknya satu tahun
atau perempuan 50 tahun yang mendapat operasi hysterectomy (Torres et al,
2002). Menopause dapat terjadi pada umur 40-an, 50-an, tetapi umur rata-rata
menopause adalah 51 tahun. Menopause adalah proses biologis alami yang terjadi
premenopause terdapat 24% penderita tumor ovarium ganas dan postmenstruasi
terdapat > 60% penderita tumor ganas epitel (Akturk, 2011)
2.4. Hubungan antara IRK dengan jenis histopatologi kanker ovarium
Indeks resiko keganasan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi pada
kanker ovarium epitel dibandingkan dengan kanker ovarium non epitel dan tumor
ovarium borderline (Meray, 2010). Hal ini disebabkan oleh nilai Ca 125 dalam
serum, dimana Ca 125 (Carbohydrate Antigen-125) adalah antigen penanda
deferensiasi dari sel epitel muller (Mulawardhana, 2011) dan merupakan
glikoprotein antigenik yang dilepaskan ke darah penderita dengan kadar sangat
rendah pada awalnya dan meningkat sesuai dengan keganasan kanker. Ca 125
adalah protein yang dikode oleh gen MUC 16 pada manusia. Ca 125 dideteksi
dengan antibodi OC 125 dan jarang ditemukan pada jaringan normal dewasa.
Dalam kepustakaan, Ca 125 mempunyai sensitivitas yang tinggi pada kanker
epitel non-mucinous (Malati, 2007), konsentrasi Ca 125 di tumor epitel serous
lebih tinggi dari jenis epitel mucinous (Thakur,2003). Hanya, pada penelitian
Fader et al (2014) menyimpulkan nilai Ca 125 secara bermakna lebih rendah pada
low grade serous dibandingkan dengan high grade serous pada stadium kanker I.
Dalam penelitian kadar Ca 125 pada tumor epitel ganas tipe mucinous didapati
kadar Ca 125 normal, sehingga penilaian kadar Ca 125 mempunyai spesifisitas
dan positive predictive value rendah pada tumor ganas epitel tipe mucinous
(Tryanda et al, 2014). Menurut Jacobs, 1989 dalam (Marpaung, 2007)
peningkatan Ca 125 dijumpai lebih dari 80 % pada karsinoma epitel ovarium non
mucinous dan serous, endometrioid dan karsinoma sel clear dari ovarium.
Dikutip dari Kenemans et al dalam (Marpaung, 2007)
Peningkatan nilai Ca 125 ini tentu mempengaruhi nilai Indeks resiko
keganasan. Dikarenakan oleh Indeks Risiko Keganasan yang merupakan hasil dari
perkalian nilai Ca 125, skor ultrasonografi, dan skor status menopause. Ca 125
mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi tumor mucinous sehingga memberi