BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Definisi kecelakaan lalu lintas menurut Undang-undang lalu lintas dan
angkutan jalan no. 22 Tahun 2009 menyatakan ; “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.”
Definisi kecelakaan lalu lintas menurut PT Jasa Marga adalah suatu
peristiwa atau kejadian yang terjadi dengan tiba-tiba atau tidak disangka-sangka di
jalan umum yang melibatkan satu atau lebih kendaraan yang bergerak dan
mengakibatkan kerugian material, luka-luka atau korban jiwa.
Korban pada kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Korban mati, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan
lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
kecelakaan tersebut.
2. Korban luka berat, adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacat
tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak
terjadi kecelakaan.
3. Korban luka ringan, adalah korban yang tidak termasuk dalam pengertian
korban mati dan korban luka berat.
Hal lain yang perlu diketahui sehubungan dengan kecelakaan adalah
kecelakaan yang hanya memperhatikan angka kejadian kecelakaan semata.
Sedangkan yang dimaksud kualitas kecelakaan adalah tinjauan kejadian
kecelakaan yang tidak semata melihat angka kejadian kecelakaan saja, namun
meninjau produk kejadian kecelakaan tersebut yaitu tingkat keparahan korban
maupun kendaraan kecelakaan karena setiap jenis jalan akan mempunyai tingkat
keparahan yang berbeda.
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas pada Pasal
229 :
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang.
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka
berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta
dan/atau lingkungan.
II.2 Karateristik Kecelakaan
Kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Secara
garis besar kecelakaan diklasifikasikan berdasarkan tipe kecelakaan, korban
kecelakaan, kondisi kendaraan saat kecelakaan, kendaraan terlibat kecelakaan,
waktu kecelakaan (hari dan jam), cuaca saat kecelakaan terjadi, lokasi kecelakaan,
tipe tabrakan, jenis kendaraan dan penyebab kecelakaan. Menurut Pedoman
Penanganan lokasi rawan kecelekaan lalu lintas (Pd T-09-2004-B ) analisis data
menitik-beratkan kepada kajian antara tipe kecelakaan yang dikelompokkan atas
tipe kecelakaan dominan.
Analisis data dilakukan dengan pendekatan “5W + 1H” , yaitu Why
(penyebab kecelakaan), What (tipe kecelakaan), Where (lokasi kecelakaan), Who
(pengguna jalan yang terlibat), When (waktu kejadian) dan How (tipe pergerakan kendaraan).
1. Why : Faktor penyebab kecelakaan (modus operandi)
Analisis ini dimaksudkan untuk menemukenali faktor-faktor dominan
penyebab suatu kecelakaan, antara lain :
a. terbatasnya jarak pandang pengemudi,
b. pelanggaran terhadap rambu lalu lintas,
c. kecepatan tinggi seperti melebihi batas kecepatan yang diperkenankan,
d. kurang antisipasi terhadap kondisi lalu lintas seperti mendahului tidak
aman,
f. parkir ditempat yang salah,
g. kurangnya penerangan,
h. tidak memberi tanda kepada kendaraan lain,dsb.
2. What : Tipe tabrakan
Analisis tipe tabrakan bertujuan untuk menemukenali tipe tabrakan yang
dominan disuatu lokasi kecelakaan, antara lain :
a. menabrak orang (pejalan kaki),
b. tabrak depan-depan,
c. tabrak depan-belakang,
d. tabrak depan-samping,
e. tabrak samping-samping,
f. tabrak belakang-belakang,
g. tabrak benda tetap di badan jalan,
h. kecelakaan sendiri / lepas kendali.
3. Who : Keterlibatan pengguna jalan
Keterlibatan pengguna jalan di dalam kecelakaan di kelompokkan sesuai
dengan tipe pengguna jalan atau tipe kendaraan, antara lain :
a. pejalan kaki,
b. mobil penumpang umum,
c. mobil angkutan barang,
d. bus,
e. sepeda motor,
f. kendaraan tak bermotor (sepeda, becak, kereta dorong, dsb)
Lokasi kejadian kecelakaan atau yang dikenal dengan tempat kejadian
perkara (TKP) mengacu kepada lingkungan lokasi kecelakaan seperti :
a. lingkungan pemukiman,
b. lingkungan perkantoran atau sekolah,
c. lingkungan tempat pembelanjaan,
d. lingkungan pedesaan,
e. lingkungan pengembangan, dsb.
5. When : Waktu kejadian kecelakaan
Waktu kejadian kecelakaan dapat ditinjau dari kondisi penerangan di TKP
atau jam kejadian kecelakaan.
a. ditinjau dari kondisi penerangan, waktu kejadian dibagi atas:
1). malam gelap / tidak ada penerangan,
2). malam ada penerangan,
3). siang terang
4). siang gelap (hujan, berkabut, asap),
5). subuh atau senja.
b. ditinjau dari jam kejadian mengacu kepada periode waktu yang terdapat
pada formulir kecelakaan
6. How : Kejadian kecelakaan
Suatu kecelakaan lalu lintas terjadi pada dasarnya didahului oleh suatu
manuver pergerakaan tertentu. Tipikal manuver pergerakan kendaraan antara lain
:
a. gerak lurus,
c. berbelok (kiri atau kanan),
d. berputar arah,
e. berhenti (mendadak, menaik-turunkan penumpang),
f. keluar masuk tempat parkir,
g. bergerak terlalu lambat, dsb.
Klasifikasi kecelakaan yang dipakai PT. Jasa Marga (Persero) dalam
(Dwiyogo dan Prabowo,2006) , (Robertus dan Sadar,2007) dan (Maya,2011)
adalah :
1. Berdasarkan tingkat kecelakaan, berdasarkan tingkat kecelakaannya maka
kecelakaan dibagi dalam empat golongan yaitu :
1) kecelakaan sangat ringan (damage only) : kecelakaan yang hanya mengakibatkan kerusakan/korban benda saja.
2) kecelakaan ringan : kecelakaan yang mengakibatkan korban luka ringan.
3) kecelakaan berat : kecelakaan yang mengakibatkan korban luka berat.
4) kecelakaan fatal : kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
2. Berdasarkan kelas korban kecelakaan, maka korban kecelakaan
diklasifikasikan menjadi :
a) korban luka ringan
Adalah kecelakaan yang mengakibatkan korban mengalami luka–luka yang
tidak membahayakan jiwa dan tidak memerlukan pertolongan lebih lanjut
dari rumah sakit.
Adalah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban mengalami luka-
luka yang dapat membahayakan jiwa dan memerlukan
pertolongan/perawatan lebih lanjut di rumah sakit.
c) korban meninggal dunia
Adalah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa/meninggal
dunia.
3. Berdasarkan faktor penyebab kecelakaan, kecelakaan disebabkan beberapa
faktor yaitu faktor pengemudi, faktor kendaraan, faktor jalan dan faktor
lingkungan.
4. Berdasarkan waktu kecelakaan, jenis kecelakaan ini ditetapkan menurut satu
periode waktu tertentu.
5. Berdasarkan lokasi terjadinya kecelakaan
a) Lokasi jalan lurus 1 lajur, 2 lajur maupun 1 lajur searah atau berlawanan
arah
b) Tikungan jalan
c) Persimpangan jalan
6. Berdasarkan jenis kendaraan, sesuai dengan penggolongan kendaraan yang
diterapkan oleh pengelola jalan yaitu golongan I, golongan IIa, dan golongan
IIb dengan jenis-jenis kendaraan seperti : sedan, jeep, pick up, mini bus, bus
sedang, bus besar 2 as, bus besar > 3 as, truk kecil, truk besar 2 as, truk besar >
3 as, truk trailer dan truk gandeng.
7. Berdasarkan cuaca saat kejadian kecelakaan, menurut cuaca diklasifikasikan
8. Berdasarkan jenis kecelakaan yang terjadi, diklasifikasikan atas beberapa
tabrakan, yaitu depan-depan, depan-belakang, tabrakan sudut, tabrakan sisi,
lepas kontrol, tabrak lari, tabrak massal, tabrak pejalan kaki, tabrak parkir, dan
tabrakan tunggal. Dimana PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan
yang melatarbelakangi terjadinya kecelakaan lalu lintas menjadi :
a) Tabrakan depan – depan
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana
keduanya saling beradu muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian
depan kendaraan yang satu dengan bagian depan kendaraan lainnya.
b) Tabrakan depan – samping
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana
bagian depan kendaran yang satu menabrak bagian samping kendaraan
lainnya.
c) Tabrakan depan – belakang
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana
bagian depan kendaraan yang satu menabrak bagian belakang kendaraan di
depannya
dan kendaraan tersebut berada pada arah yang sama.
d) Tabrakan samping – samping
Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana
bagian samping kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.
e) Menabrak penyeberang jalan
Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki
f) Tabrakan sendiri
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami
kecelakaan sendiri atau tunggal.
g) Tabrakan beruntun
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak
mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua
kendaraan secara beruntun.
h) Menabrak obyek tetap
Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak
Tabel 2.1 Klasifikasi Kecelakaan Berdasarkan Posisi Terjadinya
Gambar / Lambang Klasifikasi Keterangan / Keterangan
Tabrak Depan
•Terjadi pada jalan lurus yang berlawanan arah.
•Terjadi pada satu ruas jalan searah
•Pengereman mendadak
•Jarak kendaraan yang tidak terkontrol
•Terjadi pada jalan lurus dan searah
•Pelaku menyiap kendaraan
•Terjadi pada jalan lurus lebih dari 1 lajur dan pada persimpangan jalan
•Kendaraan yang mau menyiap
•Tidak tersedia pengaturan lampu lalu lintas atau rambu-rambu pada persimpangan jalan
•Mengemudikan kendaraan
dengan kecepatan tinggi
•Terjadi pada saat pengemudi kehilangan konsentrasi
•Kendaraan mengalami hilang kendali
Sumber : Djoko Setijowarno,2003, Pengantar Rekayasa Dasar Transportasi dalam (Hermariza,2003)
dan (Maya,2011)
Berdasarkan urain diatas maka klasifikasi kecelakaan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah :
1. Berdasarkan waktu kecelakaan, untuk waktu kecelakaan diklasifikasikan
2. Berdasarkan tingkat kecelakaan, berdasarkan tingkat kecelakaannya maka
kecelakaan dibagi dalam empat golongan yaitu kecelakaan sangat ringan
(kendaraan), kecelakaan ringan, kecelakaan berat, dan kecelakaan fatal.
3. Berdasarkan tipe tabrakan yang terjadi, diklasifikasikan atas beberapa
tabrakan, yaitu depan-belakang, depan-depan, tabrakan sudut, tabrakan
sisi, tabrak lari, tabrak massal, tabrak pejalan kaki,tabrak parkir, dan
tabrakan tunggal, lepas kontrol.
4. Berdasarkan jenis kendaraan, sesuai dengan penggolongan kendaraan yang
diterapkan oleh pengelola jalan yaitu golongan I, golongan IIa, dan
golongan IIb dengan jenis-jenis kendaraan seperti : sepeda motor, mobil
penumpang, pick up, bus, truck, truck 2 as, truck trailer.
5. Berdasarkan kelas korban kecelakaan, maka korban kecelakaan
diklasifikasikan menjadi korban luka ringan, korban luka berat, dan korban
meninggal dunia.
6. Berdasarkan jenis kelamin, diklasifikasikan menjadi laki-laki dan
perempuan.
7. Berdasarkan usia, dikalasifikasikan menjadi usia dibawah 15 tahun sampai
diatas usia 45 tahun.
8. Berdasarkan jenis pekerjaan, diklasifikasikan menjadi pelajar/mahasiswa,
ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, wiraswasta, pegawai
II.3 Faktor – Faktor Penyebab Kecelakaan
Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan
karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Karena itu,
dampak yang tidak mungkin ditolak karena adanya pergerakan tersebut adalah
terjadinya kecelakaan. Faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan identik
dengan unsur-unsur pembentuk lalu lintas yaitu pemakai jalan, kendaraan, jalan,
dan lingkungan. Kecelakaan dapat timbul jika salah satu dari unsur tersebut tidak
berperan sebagaimana mestinya
Kecelakaan lalu lintas umumnya terjadi karena berbagai faktor secara
bersama-sama, seperti pelanggaran atau tindakan tidak hati-hati para pengguna
jalan (pengemudi kendaraan bermotor dan pejalan kaki), kondisi jalan, kondisi
kendaraan, cuaca dan jarak pandang (Hermawati dan Oka, 2011).
Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan (pengemudi dan
pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan (Pignataro, 1973).
Pignataro juga menyatakan bahwa kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari
beberapa faktor perilaku buruk dari pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan,
kendaraan, pengemudi ataupun pejalan kaki, cuaca buruk ataupun pandangan
yang buruk.
Hobbs (1979) mengelompokkan faktor – faktor penyebab kecelakaan menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Faktor pemakai jalan (manusia)
b. Faktor kendaraan
c. Faktor jalan dan lingkungan
dapat dikomposisikan dalam tabel 2.2. berikut ini.
Tabel 2.2Faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu-lintas jalan
FAKTOR PENYEBAB
URAIAN %
Manusia lengah, mengantuk, tidak terampil, lelah, mabuk, kecepatan tinggi,
tidak menjaga jarak, kesalahan pejalan, gangguan binatang
93.52
Kendaraan ban pecah, kerusakan sistem rem, kerusakan sistem kemudi, as/kopel
lepas, sistem lampu tidak berfungsi
2.76
Jalan persimpangan, jalan sempit, akses yang tidak dikontrol/ dikendalikan,
marka jalan kurang/tidak jelas, tidak ada rambu batas kecepatan,
permukaan jalan licin
3.23
Lingkungan lalu-lintas campuran antara kendaraan cepat dengan kendaraan
lambat, interaksi/campur antara kendaraan dengan pejalan,
pengawasan dan penegakan hukum belum efektif, pelayanan gawatdarurat
yang kurang cepat.
Cuaca: gelap, hujan, kabut, asap
0.49
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat – Dept.Perhubungan dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)
Dari Tabel 2.2. di atas, faktor pengemudi (human error) menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 93,52% dalam penyebab kecelakaan.
II.3.1 Faktor Manusia
a. Pengemudi
Manusia sebagai pengemudi memiliki faktor-faktor fisiologis dan
psikologis. Faktor-faktor tersebut perlu mendapat perhatian karena cenderung
sebagai penyebab potensial kecelakaan. Perilaku pengemudi berasal dari interaksi
kendaraan dan lingkungan jalan (Dwiyogo dan Prabowo,2006). Faktor-faktor
fisiologis dan psikologis tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.3Faktor-faktor fisiologis dan psikologis
Faktor Fisiologis Faktor Psikologis
Sistem syaraf Motivasi
Penglihatan Intelegensia
Pendengaran Pelajaran / Pengalaman Stabilitas Perasaan Emosi
Indera Lain (sentuh,bau) Kedewasaan Modifikasi (lelah, obat) Kebiasaan
Sumber : (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)
Kombinasi dari faktor fisiologis dan psikologi menghasilkan waktu
reaksi.Waktu reaksi merupakan suatu rangkaian kejadian yang dialami oleh
pengemudi dalam melakukan bentuk tindakan akhir sebagai reaksi adanya
gangguan dalam masa mengemudi yang diukur dalam satuan waktu (detik).
Tujuan akhir ini adalah untuk menghindari terjadinya kecelakaan (Robertus dan
Sadar,2007). Waktu reaksi terdiri dari 4 bagian waktu dimana waktu reaksi ini
berkisar antara 0,5 sampai 4 detik tergantung pada kompleksitas masalah yang
dihadapi, juga dipengaruhi oleh karakteristik individual dari pengemudi. Keempat
waktu tersebut biasanya disebut waktu PIEV, yaitu :
1. Deteksi (Perception)
a. Proses masuknya rangsangan lewat panca indra.
b. Pengalaman, kebiasaan dan faktor lain dapat menyebabkan
rangsangan yang masuk menjadi tanggapan refleks sebelum
rangsangan diterima.
c. Semakin kompleks situasi yang dihadapi, persepsi kondisi lalu
2. Pengenalan (Intellection)
a. Proses penelaahan (membedakan, mengelompokkan, dan mencatat)
terhadap rangsangan.
b. Merupakan tindak lanjut dari persepsi berupa pengenalan
sederhana sebagai identifikasi dan mengetahui/mengerti bentuk
rangsangan atau mungkin membentuk pikiran/ide baru.
3. Emosi (Emotion)
a. Proses penanggapan terhadap rangsangan, setelah proses persepsi
dan deteksi.
b. Sangat mempengaruhi pesan akhir yang dikirim ke otak karena
sebagai proses pengambilan keputusan, penentuan dibuat untuk
melakukan tindakan yang tepat. (contoh : berhenti, menyalip,
menikung, membunyikan klakson, dan lain-lain).
c. Perilaku yang berkembang karena marah, takut, gugup dapat
menimbulkan kecelakaan.
4. Kemauan bertindak (Volition)
a. Proses pengambilan tindakan sesuai dengan pertimbangan yang
diambil, hal ini berhubungan dangan ingatan, prasangka,
kepercayaan, kebiasaan, kelemahan, keinginan dan tingkah laku.
b. Keputusan terakhir membutuhkan pencernaan dari semua
rangsangan/impulse yang diterima menjadi pesan keluar yang
Oleh AASHTO 1984 dalam(Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007), untuk perencanaan waktu PIEV, waktu yang digunakan sebesar 2,5 detik. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya waktu reaksi antara lain :
a. Kelelahan yang disebabkan oleh kurang tidur
b. Kondisi jalan yang lurus dan rata
c. Kebocoran gas CO dari knalpot
d. Penerangan kendaraan
e. Menurunnya kondisi kesehatan / mental
f. Obat – obatan, minuman keras, dan lain lain
Agar pengemudi dapat mengemudikan kendaraannya secara aman,
pengemudi harus mempunyai daerah pandangan. Hal ini berhubungan dengan
faktor penglihatan (visual acuity) dari pengemudi. Selama ini, pengujian yang dilakukan terhadap pengemudi hanya didasarkan pada pandangan statis (static visual acuity test), yaitu kemampuan untuk mengukur benda – benda diam dan dan simbol – simbol petunjuk. Hasil test ini tidak menunjukkan kemampuan
pengemudi pada saat kritis dan bergerak. Ukuran lain seperti kemampuan
pandangan dinamis, keadaan persepsi, tingkat kepulihan dari silau (glare)
mungkin lebih penting. Tapi ukuran ini tidak diuji dan ketajaman penglihatan
berubah sejalan dengan meningkatnya usia.
Analisis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
menunjukkan bahwa usia 16 – 30 tahun merupakan penyebab terbesar kecelakaan
(55,99%), kelompok usia 21 – 25 tahun adalah kelompok terbesar penyebab
kecelakaan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sedangkan pada
Kelompok usia 40 tahun menjadi penyebab kecelakaan relatif lebih kecil seiring
dengan kematangan dan tingkat disiplin yang lebih baik.
Tabel 2.4Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu-lintas jalan
KELOMPOK USIA %
16-20 tahun 19.41
21-25 tahun 21.98
26-30 tahun 14.60
31-35 tahun 09.25
36-40 tahun 07.65
41-75 tahun 18.91
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Dept. Perhubungan
dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006) dan (Robertus dan Sadar,2007)
PP No.44 Th.1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, memuat
pasal-pasal yang dapat dipandang sebagai perangkat lunak pengelolaan pengemudi.
Pasal-pasal ini khusus memuat ketentuan-ketentuan bagi pengemudi menyangkut:
penggolongan, persyaratan dan tata cara memperoleh Surat Izin Mengemudi
(SIM), ujian bagi pemohon SIM, dan lain-lain termasuk ketentuan batas usia
minimum hak mengemudi kendaraan bermotor, yaitu:
1) Usia 16 tahun, dapat memiliki SIM-C
2) Usia 17 tahun, dapat memiliki SIM-A
3) Usia 20 tahun, dapat memiliki SIM-B.I untuk mengemudikan mobil bus dan mobil barang, dan SIM-B.II untuk mengemudikan traktor atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan.
Pemakai jalan adalah semua orang yang menggunakan fasilitas jalan yang
a). Pengemudi, termasuk di dalamnya pengemudi kendaraan bermotor dan
kendaraan tak bermotor. Kendaraan bermotor meliputi sepeda motor, kendaraan
bermotor biasa (mobil), kendaraan berat bermotor (bus dan truk), sedangkan yang
termasuk kendaraan tak bermotor adalah sepeda dan kendaraan tak bermotor
lainnya.
b). Pejalan kaki / pemakai jalan lain, termasuk di dalamnya adalah pedagang kaki
lima, petugas keamanan, petugas perbaikan fasilitas (listrik, telepon, gas), dan lain
lain.
b. Pejalan kaki
Selain pengemudi, pemakai jalan lainnya yaitu pejalan kaki (pedestrian)
juga dapat menjadi penyebab kecelakaan. Hal ini dapat ditimpakan pada pejalan
kaki dalam berbagai kemungkinan seperti menyeberang jalan pada tempat ataupun
waktu yang tidak tepat (tidak aman), berjalan terlalu ketengah dan tidak
berhati-hati.
Pejalan kaki adalah orang berjalan yang menggunakan fasilitas untuk
pejalan kaki (trotoar). Pejalan kaki merupakan bagian yang cukup besar (sekitar
40%) dari pelaku perjalanan (trip maker) namun prasarana jalan bagi mereka masih jauh dari lengkap dan memadai. Fasilitas pejalan kaki yang seringkali
peruntukkannya disalahgunakan oleh pihak lain, misalnya pedagang kaki lima,
mengakibatkan pejalan kaki itu sendiri tidak mendapatkan fasilitas serta
pelayanan yang baik sehingga dapat membahayakan mereka. Kondisi dimana
pejalan kaki harus naik turun sepanjang melalui trotoar sebagai akibat dikalahkan
oleh jalan masuk rumah tinggal dan keberadaan pedagang kaki lima menciptakan
dapat mengganggu kelancaran lalu lintas kendaraan lainnya dan dapat
menimbulkan terjadi kecelakaan.
Menurut (Hermariza,2008) seperti halnya pengemudi, perilaku pejalan kaki
juga dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar, antara lain:
• Kecepatan pejalan kaki.
Kecepetan berjalan setiap orang berbeda – beda. Kecepatan berjalan rata-rata
orang dewasa berkisar 1,4 m perdetik sedangkan untuk anak kecil terkadang bisa
lebih cepat yaitu mencapai kisaran 1,6 m perdetik
• Kondisi trotoar yang kurang nyaman.
Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pejalan kaki lebih menyukai
menggunakan badan jalan sebagai bagian perjalanannya.
Selain keberadaan pejalan kaki di badan jalan akibat keberadaan trotoar
yang kurang memadai, pejalan kaki pun melakukan kegiatan menyebrang yang
akan mempengaruhi kegiatan lalu lintas kendaraan di jalan. Kegiatan menyebrang
jalan harus dilakukan secara aman agar tidak menimbulkan kecelakaan. Dalam hal
ini, kecepatan berjalan pejalan kaki sangat berpengaruh pada signal timing. Idealnya, sinyal hijau tidak hanya dirancang untuk memberi kesempatan
kendaraan untuk jalan pada persimpangan, tetapi juga memberikan kesempatan
bagi pejalan kaki untuk menyebrang.
II.3.2 Faktor Kendaraan
Kendaraan merupakan sarana angkutan yang digunakan sebagai perantara
untuk mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat, serta menunjang nilai
digunakan di jalan raya seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi layak jalan
yang dikeluarkan oleh Dinas / Kantor Perhubungan setempat sebelum
dioperasikan. Tingkat resiko terjadinya bahaya kecelakaan akibat ketidaklayakan
kendaraan cukup tinggi, sehingga diperlukan ketegasan dari aparat penegak
hukum untuk menindak
pelanggaran akan hal tersebut.
Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat
dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknisnya yang
tidak layak jalan ataupun penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Yang
dimaksud dengan kondisi teknis yang tidak layak jalan misalnya seperti rem
blong, mesin yang tiba-tiba mati, ban pecah, kemudi tidak berfungsi dengan baik,
lampu mati, dll. Sedangkan penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan
ketentuan misalnya kendaraan yang dimuati secara berlebihan (Hermariza,2008).
Terdapat beberapa karakteristik kendaraan yang berpengaruh terhadap
terjadinya kecelakaan antara lain dimensi kendaraan, perlambatan (deselarasi),
pandangan pengemudi, daya kendali, dan penerangan.
a. Dimensi Kendaraan
Dimensi kendaraan terdiri dari berat, ukuran, dan daya kendaraan.
Semakin besar dimensi kendaraan maka akan semakin lambat akselerasi yang
dapat dilakukan sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan semakin tinggi.
b. Perlambatan (Deceleration)
refleks masing – masing orang berbeda sehingga hal ini sangat menentukan
terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Dalam hal ini terdapat dua jenis perlambatan, yaitu:
1. Perlambatan tanpa rem
Perlambatan tanpa rem (without brakes) dilakukan dengan mengandalkan tenaga kompresi mesin. Setelah pengemudi melepaskan kakinya dari pedal gas, terjadi
perlambatan kendaraan sebesar 3,5 km/jam /detik.
2. Perlambatan dengan rem
Perlambatan dengan rem (with brakes) terdiri dari dua bagian, yaitu: 1) Perlambatan maksimum
Perlambatan maksimum yang terjadi pada saat kendaraan menggunakan
rem, merupakan penurunan kecepatan akibat bekerjanya rem selama
kemungkinan selip tidak terjadi antara perkerasan jalan dengan permukaan
roda kendaraan. Apabila tenaga rem telah bekerja dengan normal tetapi
tidak dapat menahan lajunya kendaraan meskipun ban tidak berputar lagi,
maka perlambatan dipengaruhi oleh:
- Efektifitas koefisien gesekan antara bidang kontak ban dengan
permukaan jalan.
- Kondisi ban, dimana alur ban sangat menentukan besarnya
gesekan / friksi yang terjadi.
- Keadaan permukaan jalan (basah/kering).
Perlambatan normal untuk kendaraan penumpang yang tidak akan
mengganggu kenyamanan penumpang yaitu sebesar 8,8 km/jam/detik.
c. Pandangan Pengemudi
Pengemudi di dalam kendaraan harus memiliki pandangan yang leluasa
terhadap halangan yang terdapat di luar kendaraannya. Yang dimaksud
dengan pandangan yaitu kemampuan atau besarnya sudut maksimum yang
dapat dicapai oleh pengemudi dari tempat duduknya
di dalam kendaraan. Hal ini tergantung dan dipengaruhi oleh dimensi
kendaraan. Kemampuan pandangan pengendara akan semakin baik apabila
lebar pandangan vertikal maupun horizontal yang diukur dari pengemudi
semakin besar.
d. Daya Kendali Kendaraan
Yang dimaksud dengan daya kendali adalah kontrol terhadap kendaraan.
Kendaraan akan semakin mudah dikontrol apabila semakin baik daya kendali
kendaraannya, terutama pada jalan yang kondisinya kurang baik. Kecepatan
merupakan faktor dasar dari daya kendali kendaraan. Pada kecepatan rendah,
hampir semua kendaraan dapat
dikendalikan dengan baik walaupun kondisi jalannya kurang baik. Peralatan yang
dapat membantu daya kendali mobil antara lain:
- ban kendaraan
- stabilisator, yang berfungsi sebagai penunjang apabila mobil melewati
suatu jalan yang bergelombang.
e. Penerangan
1. Agar kendaraan dapat dikenali/didefinisikan oleh pengemudi.
2. Menyediakan penerangan di luar bagi pengemudi agar dapat melihat
pemandangan di depan dan di sekitar kendaraan pada saat kendaraan
melaju. Penerangan juga tergantung pada kendaraan dan tipe lampunya,
posisi kendaraan dimana masuk / tidaknya cahaya, kondisi cuaca, dan
keberadaan kendaraan yang berlawanan arah yang terkadang
menggunakan lampu yang menyulitkan kita.
Perlengkapan yang dimiliki oleh suatu kendaraan akan berpengaruh
terhadap terjadinya kecelakaan dan juga tingkat fatalitas yang ditimbulkan.
Idealnya, suatu kendaraan harus memiliki perlengkapan Active Safety dan Passive Safety dalam rangka tindakan preventif terhadap terjadinya kecelakaan.
a. Active Safety
Yang dimaksud dengan perlengkapan Active Safety adalah perlengkapan pada kendaraan yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan, antara lain: antiblock system (ABS) pada sistem rem, pelindungan iluminasi pandangan pada kaca depan (wind screen), kenyamanan mengendara (air conditioning, transmisi otomatik) dan sistem informasi kendaraan.
b. Passive Safety
Yang dimaksud dengan perlengkapan Passive Safety adalah perlengkapan pada kendaraan yang dapat mengurangi kerusakan/resiko dari kecelakaan yang
terjadi, sehingga kemungkinan menimbulkan korban jiwa dapat diperkecil.
Perlengkapan Passive Safety terdiri dari kabin penumpang dengan sistem rigid cell, zona deformasi di bagian depan dan belakang (bumper), proteksi pada pedestrian dan pengemudi kendaraan beroda dua, kunci keselamatan pintu, kolom
stir yang terpisah dan runtuh sewaktu terjadi tumbukan, air bag dan sabuk
keselamatan.
Gambar 2.2. Perlengkapan keselamatan kendaraan: Passive Safety
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. 81 tahun 1993 tentang
Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor dalam (Dwiyogo dan Prabowo,2006),
menyebutkan antara lain tujuannya:
a) Untuk memberikan jaminan keselamatan secara teknis terhadap penggunaan
b) Melestarikan lingkungan dari kemungkinan yang diakibatkan oleh penggunaan
kendaraan bermotor di jalan Sehingga untuk keperluan tersebut , maka diperlukan
beberapa alat pengujian yang antara lain meliputi :
a) Alat uji suspensi roda dan pemeriksaan kondisi teknis bagian bawah
kendaraan;
b) Alat uji rem utama dan rem parkir;
c) Alat uji lampu utama;
d) Alat uji spedometer;
e) Alat uji emisi gas buang, termasuk ketebalan gas buang;
f) Alat pengujian berat;
g) Alat uji posisi roda depan;
h) Alat uji tingkat suara;
i) Alat uji dimensi;
j) Alat uji tekanan udara;
k) Alat uji kaca;
l) Alat uji ban;
m) Alat uji sabuk keselamatan;
n) Peralatan pembantu.
II.3.3 Faktor Jalan
Sebagai landasan bergeraknya suatu kendaraan, jalan perlu direncanakan /
didesain secara cermat dan teliti dengan mengacu pada gambaran perkembangan
volume kendaraan di masa mendatang. Desain jalan yang sesuai dengan
pemeliharaan yang cukup selama umur rencananya bertujuan untuk memberikan
keselamatan bagi pemakainya.
Menurut Dwiyogo dan Prabowo (2006) kondisi jalan dapat pula menjadi
salah satu sebab terjadinya kecelakaan lalu-lintas. Meskipun demikian, semuanya
kembali kepada manusia pengguna jalan itu sendiri. Dengan rekayasa, para ahli
merancang sistem jaringan dan rancang bangun jalan sedemikian rupa untuk
“mempengaruhi” tingkah laku para pengguna jalan, dan untuk mengurangi atau
mencegah tindakan-tindakan yang membahayakan keselamatan lalu-lintas.
(a) Horisontal – tikungan
Gambar: 2.3Alinyemen jalan
Tikungan yang terlalu tajam, apalagi bila terhalang oleh pagar atau
bangunan dan tanpa marka jalan, adalah tempat rawan kecelakan.
(b) Vertikal – tanjakan
Sudut pandang pada tanjakan yang tajam dapat ‘menipu’ pengemudi,
sehingga tanjakan adalah salah satu tempat rawan kecelakaan.
Jalan lebar, di satu sisi memberi kenyamanan bagi lalu-lintas kendaraan,
namun di sisi lain dapat menjadi ancaman keselamatan karena kecepatan
kendaraan. Jalan lebar saja tidak cukup, tetapi juga harus dalam kondisi daya
dukung yang sesuai dengan beban lalu-lintas yang yang harus ditanggungnya.
Jalan perlu dilengkapi dengan berbagai kelengkapan jalan guna membantu
mengatur arus lalu-lintas, yakni: marka jalan, pulau lalu-lintas, jalur pemisah, lampu lalu-lintas, pagar pengaman, dan rekayasa lalu-lintas lainnya.
Tidak kalah pentingnya adalah penentuan alinyemen jalan. Alinyemen jalan pun,
baik horisontal (tikungan dan persimpangan) maupun vertikal (tanjakanturunan),
sangat berpengaruh terhadap kebebasan pandang para pengemudi, yang pada
gilirannya mempengaruhi kelancaran arus lalu-lintas atau bahkan membahayakan
lalu-lintas [Gb.2.3]. Perancang pembangunan jalan bertanggungjawab untuk
memasukkan faktor-faktor keselamatan selengkaplengkapnya dalam
rancangannya guna meminimumkan terjadinya kecelakaan.
Menurut Hermariza (2008) hubungan antara keselamatan dan perencanaan
jalan sangat sulit untuk dianalisa karena keterkaitan keduanya dengan faktor –
faktor lain seperti faktor kendaraan dan manusianya selaku pengguna jalan.
Kondisi jalan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan terdiri dari dua
hal yaitu faktor fisik dan perangkat pengatur lalu lintas.
1. Faktor fisik
Tata letak jalan sangat bermanfaat untuk menyesuaikan kondisi jalan yang dibuat
dengan perencanaan jalan dan geometrik jalan
b. Permukaan jalan
Permukaan jalan yang basah dan licin, cenderung membuat keamanan dan
kenyamanan berkurang. Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika turun hujan
yang dapat membatasi pandangan pengemudi. Namun tidak berarti jalan yang
tidak licin / rusak itu baik. Tidak sedikit kecelakaan yang terjadi merupakan akibat
dari kondisi permukaan jalan yang buruk, seperti berlubang, tidak rata,dll. Pada
intinya diperlukan pengawasan dan pemantauan yang benar terhadap kondisi
permukaan jalan sehingga dapat segera dilakukan tindakan antisipasi apabila
diperlukan.
c. Desain jalan
Desain jalan yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan
kenyamanan bagi pemakai jalan ( pengemudi ) serta ekonomis. Selain itu juga
harus sesuai dengan aspek hukum yang berlaku berupa peraturan-peraturan di
jalan raya, undang-undang jalan dan faktor lingkungan. Desain geometrik jalan
meliputi desain geometrik fisik jalan itu sendiri dan tuntutan sifat-sifat lalu lintas.
Desain fisik jalan sangat dipengaruhi oleh dimensi kendaraan dan kecepatan
rencana kendaraan. Melalui perencanaan geometrik, perencana berusaha
menciptakan hubungan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan dengan
kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi keamanan
dan kenyamanan yang optimal serta dalam batas pertimbangan ekonomi yang
layak. Dalam desain ini, lebar jalan, alinemen, median jalan, drainase jalan,
akan menggunakan jalan tersebut sehingga memberikan nilai keamanan yang
tinggi.
Beberapa hal dalam desain geometrik jalan yang perlu diperhatikan antara lain:
- Lebar lajur jalan
Lebar lajur jalan ditentukan oleh dimensi dan kecepatan kendaraan. Umumnya
lebar lajur terdiri atas :
• Jalur lalu lintas
Lebar jalur lalu lintas ditentukan oleh dimensi kendaraan dan kecepatan
kendaraan. Dengan meningkatnya kecepatan dan dimensi kendaraan, maka
timbul kebutuhan lebar jalur yang lebih besar.
• Median jalan
Fungsi median jalan atau jalur pemisah terutama untuk memisahkan arus
lalu lintas yang berlawanan arah, membatasi/mengurangi kesikuan
terhadap lampu kendaraan yang berlawanan arah, menanbah rasa lega,
memberikan daerah untuk kendaraan yang kehilangan kendali.
• Drainase jalan
Fungsi drainase pada jalan adalah untuk mengurangi/menghilangkan/
mengalirkan air pada permukaan jalan yang dapat menurunkan daya
cengkram ban pada permukaan jalan akibat licin.
• Bahu jalan dan pagar pengaman
Tersedianya pagar pengaman pada median dapat menghindari terjadi
tambahan berfungsi sebagai jalur darurat bagi yang mengalami kerusakan
atau kecelakaan sehingga tidak mengganggu jalur utama.
- Standar perencanaan geometric dan alinemen
Untuk mewujudkan suatu jalan yang aman dan nyaman, dalam
perencanaan desain jalan merujuk pada peraturan standar perencanaan geometric
dan alinemen jalan disesuaikan dengan fungsi jalan., kecepatan rencana dan
klasifikasi medan.
- Desain perkerasan jalan
Tipe perkerasan yang paling menentukan adalah lapisan teratas dari
perkerasan (surface), karena faktor pengereman mengandalkan gesekan antara kendaraan dan perkerasan. Ketentuan terhadap dimensi dan desain geometrik
jalan berbeda – beda sesuai dengan kelas jalannya.
2. Piranti pengatur lalu lintas
Yang dimaksud dengan piranti pengatur lalu lintas adalah perangkat yang
berfungsi untuk membatasi gerak kendaraan sehingga tercipta lalu lintas yang
aman dan nyaman untuk seluruh pengguna jalan. Perangkat ini dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu marka jalan dan rambu lalu lintas. Keduanya berfungsi untuk
mengatur lalu lintas dalam kaitannya dengan memperlancar arus lalu lintas.
Piranti dapat berupa petunjuk jalan, marka jalan, rambu lalu lintas, dan lampu
jalan ( penerangan) yang terutama berpengaruh pada malam hari untuk membantu
kemampuan pandang.
a. Marka jalan
Bentuk fisik dari marka jalan yaitu berupa garis putus-putus maupun garis
jalan. Pada jalan bebas hambatan dibantu dengan delineator dan mata kucing yang berada di luar perkerasan pada jarak tertentu. Marka jalan ini termasuk dalam
piranti lalu lintas yang dianggap dapat mempunyai kemampuan untuk
menyampaikan pesan berupa penuntun, petunjuk, pedoman, larangan atau
peringatan terhadap kemungkinan adanya bahaya yang timbul.
b. Penerangan jalan
Fungsi utama dari penerangan jalan adalah untuk memberikan
cahaya/penerangan yang dapat membantu penglihatan yang cepat, tepat dan
nyaman terutama pada malam hari. Pengemudi harus dapat melihat pada jarak
jauh dan menentukan dengan pasti posisinya., khususnya arah jalan maupun
sekitarnya dan segala hambatan – hambatan yang mungkin terjadi selama berlalu
lintas. Selain itu, penempatan penerangan jalan harus ditentukan sesuai kebutuhan
dan ditempatkan pada titik yang tepat. Penggunaan penerangan jalan raya secara
tepat sebagai suatu alat operasi akan memberikan keuntungan ekonomis dan
social kepada masyarakat. Sebagian besar aspek keamanan lalu lintas melibatkan
faktor penglihatan. Faktor utama yang berpengaruh langsung pada penglihatan
adalah:
- kecerahan objek pada atau di dekat jalan raya
- kecerahan latar belakang jalan
- kontras antara objek dan daerah sekitarnya
- perbandingan antara penerangan jalan dengan lingkungan sebagaimana
dilihat oleh pengamat.
- waktu yang tersedia untuk melihat objek.
Piranti lalu lintas ini membantu memberikan petunjuk kepada pengemudi
dalam mengemudikan kendaraannya. Petunjuk dapat berupa arah, atau
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh pengemudi. Perhatian diutamakan pada
penempatan rambu-rambu agar sedemikian rupa dapat dengan mudah dilihat oleh
pengemudi,selain itu besar huruf dan warna serta bentuk dari rambu juga harus
diperhatikan.
Terkadang terdapat kasus dimana rambu lalu lintas diletakkan tidak sesuai
dengan kebutuhan dan di tempat yang kurang tepat. Misalnya rambu peringatan
adanya tikungan diletakkan tepat di tikungan yang dimaksud sehingga terkesan
tidak berguna karena pengemudi sudah mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu
penempatan rambu yang tepat sangat diperlukan dalam rangka program prevensi
kecelakan.
Jalan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan antara lain dapat dilihat:
a. Kerusakan pada permukaan jalan (adanya lubang yang sulit dikenali oleh
pengemudi).
b. Konstruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya letak bahu jalan
terlalu rendah terhadap permukaan jalan).
c. Geometrik jalan yang kurang sempurna (misalnya derajat
kemiringan/superelevasi yang terlalu kecil atau terlalu besar pada belokan).
Disamping bentuk fisik jalan yang dipengaruhi oleh “geometric design”
dan
“konstruksi jalan” faktor lingkungan jalan bisa juga mempunyai andil dalam
II.3.4 Lingkungan
Menurut Aditomo (2002) faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Diantaranya adalah kendaraan berhenti,
penyeberang jalan, asap kendaraan, asap lingkungan, hewan, dan benda asing di
jalan misalnya paku, batu besar, dan pecahan kaca. Benda asing tersebut sangat
membahayakan terutama bila benda tersebut bentuknya tajam dan mudah
membocorkan ban. Apabila paku mengenai kendaraan yang berjalan dengan
kecepatan tinggi, maka ban kendaraan tersebut akan langsung pecah dan
menyebabkan kendaraan akan kehilangan kendali.
Sejalan dengan hal diatas Widyasih (2003) mengatakan bahwa faktor
lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Diantaranya adalah kendaraan berhenti, penyebrang jalan, asap kendaraan, asap
lingkungan, hewan, dan benda asing di jalan.
Kendaraan yang tidak berhenti pada tempat yang sudah disediakan dapat
menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Benda-benda asing juga dapat menyebabkan
kecelakaan lalu lintas, misalnya: paku, batu, dan lain-lain. Benda-benda ini sangat
membahayakan terutama bila benda tersebut berbentuk tajam atau mudah
membocorkan ban. Bila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tinggi dan
mengenai paku yang ada di jalan, maka ban kendaraan tersebut akan meletus
dengan tiba-tiba. Keadaan seperti biasanya tidak dapat dikendalikan oleh
pengemudi.
Asap tebal yang terdapat di jalan, baik asap kendaraan maupun asap
lingkungan (pembakaran sampah/rumput di pinggir jalan), juga sangat
menghalangi pandangan pengemudi, sehingga tidak dapat melihat jalan maupun
kendaraan lain yang berada di depannya.
Kondisi tata guna lahan, kondisi cuaca dan angin serta pengaturan lalu –
lintas adalah beberapa komponen dari lingkungan yang berpengaruh terhadap
terjadinya kecelakaan. Lingkungan jalan yang kurang memadai mengakibatkan
kenyamanan dari pengemudi menurun, sehingga kemampuan dalam
mengendalikan kendaraan akan menurun pula. Lingkungan di sekitar jalan,
misalnya daerah permukiman, peternakan, pembakaran ladang dan jerami dapat
menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas, khususnya untuk jalan dengan
kecelakaan kendaraan tinggi.
Menurut Robertus dan Sadar (2007) ada empat faktor dari kondisi
lingkungan yang mempengaruhi kelakuan manusia sehingga berpotensi
menimbulkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, yaitu :
a. Penggunaan tanah dan aktifitasnya, daerah ramai, lengang, dimana secara reflek
pengemudi akan mengurangi kecepatan atau sebaliknya.
b. Cuaca, udara dan kemungkinan – kemungkinan yang terlihat misalnya pada
saat kabut, asap tebal, hujan lebat sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi
jarak pandang pengemudi).
c. Fasilitas yang ada pada jaringan jalan, adanya rambu – rambu lalu lintas, lampu
lalu lintas dan marka lalu lintas.
d. Arus dan sifat lalu lintas, jumlah, macam dan komposisi kendaraan akan sangat
II.4 Indikator Keselamatan Lalu Lintas
Menurut Hermariza (2008) untuk membuat gambaran mengenai tingkat
keselamatan lalu lintas pada suatu ruas jalan, daerah, atau negara tertentu,
dibutuhkan indikator keselamatan lalu lintas jalan. Indikator ini biasanya
diperbandingkan dalam suatu kurun waktu tertentu ( misalnya 5 atau 10 tahun ).
Terdapat beberapa indikator yang biasa digunakan untuk membuat gambaran
tingkat keselamatan baik secara nasional maupun internasional, antara lain:
1. Jumlah kecelakaan lalu lintas jalan, dapat dibagi berdasarkan tingkat
keparahannya ( degree of severity ) yaitu sebagai berikut: • kecelakaan berat (fatal accident)
• kecelakaan sedang (serious injury accident) • kecelakaan ringan (slight injury accident) • kecelakaan lain-lain (property damage accident)
2. Jumlah nominal korban mati, luka berat, luka ringan dan kerugian materiil.
3. Jumlah nominal korban yang diklasifikasikan menurut golongan umurnya.
4. Tingkat kecelakaan atau rasio kecelakaan (Accident Rates) yang dapat ditetapkan dalam empat cara, sebagai berikut:
• jumlah kecelakaan per jumlah penduduk
• jumlah kecelakaan per jumlah kendaraan
• jumlah kecelakaan per jumlah kendaraan-kilometer
• jumlah kecelakaan per jumlah orang-kilometer
Parameter yang biasa digunakan dalam menentukan rasio kecelakaan
antara lain:
• Kecelakaan atau Fatalitas per 100,000 penduduk
• Kecelakaan atau Fatalitas per 100 juta kendaraan kilometer perjalanan (vehicles kilometres traveled)
5. Tingkat kematian atau resiko kematian (Risk of Fatality) yang juga biasa ditetapkan dalam empat cara seperti yang telah disebutkan di atas.
6. Biaya kecelakaan (Accident Cost), yaitu besarnya seluruh kerugian sebagai akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas bila dinilai dalam bentuk uang (Monetary Value).
Demikian juga menurut Maya (2011) bahwa kecelakaan lalu lintas
merupakan indikator utama tingkat keselamatan jalan raya. Di negara maju
masalah keselamatan jalan merupakan masalah yang sangat diperhatikan guna
mereduksi kuantitas kecelakaan yang terjadi. Hal ini menjadi indikator terhadap
pentingnya memahami karakteristik kecelakaan.
II.5 Daerah Rawan Kecelakaan
Menurut Widyasih (2003) bahwa daerah rawan kecelakaan adalah daerah
yang mempunyai angka kecelakaan tertinggi, resiko kecelakaan tertinggi dan
potensi kecelakaan tinggi pada suatu ruas jalan. Daerah rawan kecelakaan ini
dapat diidentifikasi pada lokasi jalan tertentu (blackspot) maupun pada ruas jalan tertentu (blacksite).
Kriteria umum yang dapat digunakan untuk menentukan blackspot dan
a. Blackspot. Jumlah kecelakaan selama periode tertentu melebihi suatu nilai tertentu, tingkat kecelakaan atau accident rate (per-kendaraan) untuk suatu periode
tertentu melebihi suatu nilai tertentu, jumlah kecelakaan dan tingkat kecelakaan,
keduanya melebihi nilai tertentu, dan tingkat kecelakaan melebihi nilai kritis.
b. Blacksite. Jumlah kecelakaan melebihi suatu nilai tertentu, jumlah kecelakaan per-km melebihi suatu nilai tertentu, dan tingkat kecelakaan atau jumlah
kecelakaan per-kendaraan melebihi nilai tertentu.
Menurut Dwiyogo dan Prabowo (2006) Lokasi rawan kecelakaan lalu
lintas adalah lokasi tempat sering terjadi kecelakaan lalu lintas dengan tolak ukur
tertentu, yaitu ada titik awal dan titik akhir yang meliputi ruas (penggal jalur
rawan kecelakaan lalu lintas) atau simpul (persimpangan) yang masing-masing
mempunyai jarak panjang atau rasidu tertentu. Ruas jalan di dalam kota
ditentukan maksimum 1 (satu) km dan di luar kota ditentukan maksimum 3 (tiga)
km. Simpul (persimpangan) dengan radius 100 meter. Tolak ukur kerawanan
kecelakaan lalu lintas pada ruas dan simpul ditentukan pada tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5 Ketentuan Lokasi Rawan Kecelakaan
Lokasi Rawan Kecelakaan
Dalam Kota Luar Kota
Pada ruas dan simpul jalan
Minimal 2 kecelakaan lalu lintas dengan akibat meninggal dunia atau 5 kecelakaan lalu lintas meninggal dunia atau 5 kecelakaan lalu lintas dengan
akibat luka/rugi material (pertahun).
Sumber : Pedoman Penyusunan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas (1990) dalam Dwiyogo
Lokasi rawan kecelakaan adalah suatu lokasi dimana angka kecelakaan
tinggi dengan kejadian kecelakaan berulang dalam suatu ruang dan rentang waktu
yang relatif sama yang diakibatkan oleh suatu penyebab tertentu
(Pd-T-09-2004-B).
II.5.1 Metode Tingkat Kecelakaan
Tingkat kecelakaan merupakan angka kecelakaan lalu lintas yang
dibandingkan dengan volume lalu lintas dan panjang ruas jalan. Tingkat
kecelakaan yang paling umum dinyatakan dengan jumlah kecelakaan lalu lintas di
suatu lokasi atau ruas jalan per jumlah total panjang perjalanan yang dilakukan
oleh semua kendaraan yang menggunakan ruas jalan tersebut dalam 1 tahun,
dikenal istilah jumlah kecelakaan per 100 juta kendaraan-km panjang perjalanan
(100JPKP) dalam 1 tahun.
Pada metode ini, dalam proses identifikasi black spot diperlukan data yang meliputi jumlah kecelakaan lalu lintas yang digunakan dikonversikan menjadi
angka kecelakaan rata-rata dan volume kendaraan per ruas jalan.
Perhitungan tingkat kecelakaan lalu lintas untuk lokasi ruas jalan,
menggunakan rumus :
�� = ��� 108
��������� 365 . (100����)
dengan :
TK : tingkat kecelakaan, 100 JPKP
FK : Frekuensi Kecelakaan di ruas jalan untuk n tahun data
n : jumlah tahun data
L : panjang ruas jalan, Km
100JPKP : satuan tingkat kecelakaan (kecelakaan / Seratus Juta Perjalanan
Kendaraan Per-Kilometer)
II.5.2 Metode Angka Ekivalen Kecelakaan (AEK)
Metode angka ekivalen kecelakaan merupakan pemeringkatan dengan
pembobotan tingkat kecelakaan yang mengacu pada biaya kecelakaan. Dimana
lokasi rawan kecelakaan ditentukan berdasarkan pembobotan terhadap korban
akibat kecelakaan tersebut. Dari pembobotan ini akan diperoleh daftar peringkat
kecelakaan yang baru.
Metode ini dideterminasikan dengan rumus :
AEK = 12MD + 3LB + 3LR + 1K
dengan :
M : meninggal dunia
B : luka berat
R : luka ringan
K : kecelakaan dengan kerugian materi
II.5.3 Analisa Hubungan Antara Jumlah Kecelakaan Dengan Faktor Penyebab Kecelakaan
Dalam hal ini, untuk mengetahui hubungan antara jumlah kecelakaan
dengan faktor penyebab kecelakaan adalah dengan menggunakan metode analisis
atau terbalik (-). Sementara nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 sampai +1.
Koefisien korelasi bernilai + (searah), dalam model regresi bermakna semakin
tinggi nilai X maka semakin tinggi nilai Y. Koefisien korelasi bernilai - (terbalik),
dalam model regresi bermakna semakin tinggi nilai X maka semakin rendah nilai
Y.
Bila nilai koefisien korelasi signifikan, usaha selanjutnya yaitu melihat
bentuk hubungan antara kedua variabel tersebut (dependen – independent).
Koefisien regresi bertujuan untuk mendapatan persamaan garis yang dibentuk dari
kedua variabel.
Analisis Uji Korelasi dan Regresi dilakukan terhadap beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya adalah:
1. Jumlah kecelakaan dengan waktu kejadian (Jam).
2. Jumlah kecelakaan dengan pelaku (Jenis Kelamin).
II.6 Upaya Peningkatan Keselamatan Lalu Lintas
Secara umum Hermariza (2008) menyatakan terdapat dua metode yang
dapat dilakukan dalam upaya peningkatan keselamatan jalan, yaitu metode
prevensi dan metode reduksi kecelakaan.
1. Metode prevensi
Prevensi / pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan menekankan
pada aspek perencanaan jaringan dan desain jalan. Diharapkan dengan
perencanaan jaringan dan desain jalan yang baik akan dapat meningkatkan
Beberapa hal yang berkaitan dengan aspek desain jalan yang berhubungan
dengan keselamatan antara lain:
- perencanaan geometric ( alinemen horizontal-vertikal)
- kecepatan rencana
- jarak pandang
- drainase
- pencahayaan
- desain persimpangan
- fasilitas penyebrang jalan dan pejalan kaki
- fasilitas kendaraan umum
- penggunaan rambu dan marka jalan, dan sebagainya
Dalam upaya prevensi kecelakaan terdapat suatu program yang dikenal
dengan 4 E yaitu Encouragement, Enforcement, Education danEngineering. Pada program ini, dilakukan usaha dari berbagai aspek, baik dari aspek pengguna jalan
(education, encouragement), aspek perencanaan jalannya (engineering) maupun dari pihak penegakan hukum yang berlaku (enforcement). Agar hasil yang diperoleh optimal, dalam melakukan upaya peningkatan keselamatan, keempat hal
tersebut
Gambar 2.5 Diagram 4E
2. Metode reduksi
Reduksi / pengurangan kecelakan dilakukan terhadap jalan / jaringan jalan
yang telah ada (eksisting) dengan menerapkan manajemen lalu lintas tanpa melakukan perubahan – perubahan mendasar terhadap konstruksi jalan yang telah
ada. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam metode reduksi adalah:
- perbaikan rambu lalu lintas
- perbaikan marka
- perbaikan geometrik
- perbaikan penerangan, dan sebagainya.
Menurut Dwiyogo dan Prabowo (2006) reduksi dapat dilakukan pada jalan
yang telah ada dengan menerapkan manajemen lalu lintas, misalnya; Perbaikan
Rambu, Penambahan Marka Jalan, Perbaikan Geometrik, dsb. Tentunya
perbaikan-perbaikan ini dilakukan setelah melalui suatu bentuk evaluasi tertentu.
Dari keterangan diatas, ada beberapa penyebab kecelakaan. Untuk mengurangi
tingginya tingkat kecelakaan, maka ada beberapa uasaha yang dapat dilakukan
dengan hasil yang cukup signifikan, yaitu dengan usaha antara lain :
• Perbaikan alinyemen.
• Perbaikan skidness dari permukaan jalan.
• Pelebaran jalan.
• Pemasangan rambu dan alat peringatan .
• Pemasangan lampu flashing.
• Pemasangan median, dll.
2. Perbaikan karakteristik pengguna jalan.
Usaha perbaikan yang bisa dilakukan misal :
• Penegakan hukum (Law Enforcement) yang konsisten.
• Pendidikan.
3. Perbaikan karakteristik kendaraan.
Usaha perbaikan yang bisa dilakukan misal :
• Uji kendaraan rutin.
• Test hasil karoseri.
• Day Time Running Light, yaitu kendaraan dengan lampu dihidupkan
meskipun pada siang hari.
• Intelligent Vehicle Highway System (IVHS), yaitu kendaraan yang
dilengkapi sensor dan peralatan elektronik lain, dll.
Secara ringkas usaha yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi
Tabel 2.6Kondisi kecelakaan secara umum dan penanganannya
No. Kondisi Umum Kecelakaan Upaya Penanganan 1 Skidness (kekasatan permukaan) dan
kerusakan permukaan
Perbaikan perkerasan (surface dressing).
Perbaikan jalan. Perbaikan drainase. 2 Bersenggolan antar kendaraan Pemasangan marka.
Meningkatkan kapasitas jalan. Penurunan kecepatan.
Perbaikan alinyemen jalan. 3 Konflik pejalan kaki dengan
Kendaraan
4 Lepas kontrol Pemasangan rambu yang jelas.
Marka jalan.
Perbaikan alinyemen.
Guardrail
5 Kecelakaan malam hari Pemasangan marka yang memantulkan cahaya. Lampu jalan.
Rambu reflektif.
6 Jarak pandang kurang Penyingkiran penghalang. Perbaikan alinyemen. Memasang marka menerus. 7 Kecelakaan pada tikungan dan
tanjakan/turunan tajam 8 Penggunaan lajur kurang disiplin Pemasangan marka.
Pemasangan median.
9 Kecelakaan pada jalur yang lurus panjang dan nyaman
Pemasangan pita penggaduh tiap jarak tertentu.
II.7 Jalan
Menurut PP No.34 Tahun 2006, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaaan tanah, di bawah permukaan tanah dan / atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
II.7.1 Bagian – Bagian Jalan
Bagian – bagian jalan meliputi :
a. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi
jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi serta ambang pengamannya.
Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dengan
bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di
bagian yang paling luar dari ruang manfaat jalan dan dimaksudkan untuk
mengamankan bangunan jalan.
b. Ruang milik jalan adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang
masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas
ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan
keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang
manfaat jalan pada masa yang akan datang.
c. Ruang pengawasan jalan adalah ruang tertentu yang terletak di luar ruang milik
mengganggu pandangan pengemudi, konstruksi bangunan jalan apabila ruang
milik jalan tidak cukup luas, dan tidak mengganggu fungsi jalan.
II.7.2 Klasifikasi Jalan
Menurut sistem jaringan jalan, jalan terdiri atas :
a. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud
pusat-pusat kegiatan.
b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
Menurut fungsinya, jalan dikelompokkan menjadi empat yaitu :
a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara berdaya guna.
b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan lokal merupakan jalan umum yamg berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
a. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis
nasional serta jalan tol.
b. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan
lokal, serta jalan umum dan sistem jaringan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan stategis kabupaten.
d. Jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat pemukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antar pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan
dikelompokkan atas :
a. Jalan bebas hambatan (freeway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus yang memberikan pelayanan menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan
masuk secara penuh, dan tanpa adanya persimpangan sebidang, serta
dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan, paling sedikit 2 lajur setiap arah
b. Jalan raya (highway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median,
paling
sedikit 2 lajur setiap arah.
c. Jalan sedang (road) adalah jalan umum dengan lalu-lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah
dengan lebar paling sedikit 7 meter.
d. Jalan kecil (street) adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah dengan lebar paling sedikit 5,5 meter.
II.8 Keaslian Penelitian
Penelitian seperti ini sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang.
Penelitian sejenis yang pernah dilakukan antara lain:
1. Judul : Analisis Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang Dan Faktor
Penyebabnya.
Penulis: Sadar dan Robertus BC
Penelitian ini menyimpulkan bahwa manusia merupakan faktor utama
penyebab terjadinya kecelakaan di Kota Semarang (persentase 74,50%).
Lengah, kurang hati-hati dan kurang waspada adalah perilaku
pengemudi yang paling sering menyebabkan terjadinya kecelakaan
(persentase 44,44%). Jenis kecelakaan dan tabrakan yang paling sering
terjadi adalah tabrakan depan – samping (19,87%), dengan sepeda motor
(48,26%) sebagai jenis kendaraan yang paling sering terlibat kecelakaan.
(persentase 28,14%) sedangkan 21 – 25 tahun (persentase 16,6%) adalah
kelompok usia pengemudi yang paling sering terlibat kecelakaan.
2. Judul: Studi Identifikasi Daerah Rawan Kecelakaan di Ruas Jalan Tol
Jakarta-Cikampek
Penulis: Uri Hermariza
Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor penyebab yang mendominasi
di lokasi titik rawan tersebut antara lain pengemudi kurang antisipasi,
pengemudi mengantuk dan ban pecah. Metode yang dapat digunakan
dalam melakukan identifikasi lokasi rawan antara lain metode frekuensi,
penentuan Upper Control Limit dan penentuan berdasarkan sebaran data kecelakaan. Hasil akhir diperoleh bahwa pada ruas tol Jakarta-Cikampek
memang terdapat beberapa segmen yang menjadi titik rawan. Hal ini
terbukti dari uji hipotesis yang dilakukan untuk data kecelakaan selama
11 tahun. Segmen yang menjadi titik rawan antara lain adalah km 12 -
km 14 untuk jalur Jakarta menuju Cikampek dan km 10 – km 14, km 25
– km 27, dan km 29 – km 30 untuk arah sebaliknya.
3. Judul: Analisis Hubungan Kecelakaan dan V/C Ratio ( Jalan Tol
Jakarta-Cikampel )
Penulis: Handjar Dwi Antoro
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari pola hubungan antara
tingkat keselamatan lalu-lintas jalan raya yang diwakili oleh angka
kecelakaan dan kondisi lalu-lintas yang diwakili oleh v/c rasio, sehingga
dapat diprediksi lebih awal tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan
merupakan jumlah kecelakaan yang terjadi pada suatu ruas atau seksi
jalan selama periode tertentu yang ditinjau berdasarkan panjang jalan
dan volume lalu-lintas yang melewati ruas tersebut tiap 100 juta
kendaraan km. Sedangkan v/c rasio yang merupakan derajat kejenuhan
lalu-lintas adalah perbandingan antara volume lalu-lintas (smp) dibagi
dengan kapasitas jalan. Studi kasus dilakukan di jalan tol Jakarta -
Cikampek (2003-2005) untuk jalan sepanjang 72,3 Km yang dibagi
menjadi 13 ruas arus menuju Cikampek dan 13 ruas arus menuju
Jakarta. Analisis regresi digunakan untuk mendapatkan fungsi hubungan
tersebut
dengan nilai R2 (koefisien determinasi) yang menujukan besarnya
pengaruh perubahan variansi v/c rasio terhadap perubahan variansi
angka kecelakaan. Analisis dilakukan pada agregat tahun dan pada
agregat jam. Pada agregat tahun angka kecelakaan dan v/c rasio dihitung
berdasarkan periode tahunan pada tiap ruas, sedangkan analisis pada
agregat jam angka kecelakaan dan v/c rasio disimulasikan pada saat jam
kejadian kecelakaan.
Hasil analisis dengan agregat tahun menunjukan bahwa hubungan antara
angka kecelakaan dan v/c adalah fungsi polynomial positif dengan titik
balik maksimum pada v/c antara 0,6 sampai 0,7. Persamaannya Y =
-86,75X2 + 127,4x + 0,13 (R2=0,5003). Untuk tipe kecelakaan tunggal
dan jenis kecelakaan ringan hubungan juga berpola polynomial positif
fatal/berat hubungan bersifat eksponsial negatif (-), artinya peningkatan
v/c rasio justru berpengaruh terhadap menurunnya angka kecelakaan.
Hasil analisis pada agregat jam menunjukan bahwa jumlah kecelakaan
lebih banyak terjadi pada v/c yang relatif rendah antara 0,1 sampai
dengan 0,4 dimana pada v/c tersebut kemungkinan kecepatan relatif
tinggi yang berpengaruh pada kurangnya antisipasi pengemudi dalam
mengontrol kendaraan. Bobot keparahan kecelakaan hampir merata pada
berbagai kondisi v/c rasio. Namun pada jalan 2 lajur bobot keparahan
kecelakaan relatif lebih tinggi akibat manuver kendaraan pada lajur jalan
yang relatif terbatas dibandingkan pada jalan 4 lajur.
Kesimpulanya adalah terdapat pola hubungan antara v/c rasio dengan
angka kecelakaan di jalan tol Jakarta – Cikampek.
4. Judul: Studi Potensi Lokasi Rawan Kecelakaan Busway Transjakarta di
Koridor Sembilan
Penulis: Firman
Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk keselamatan lalulintas jalan
di Koridor Busway Sembilan harus lebih ditekankan kepada desain jalan
dan manajemen lalulintas di sepanjang koridor tersebut. Ditinjau dari
segi aspek perancangan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
mengenai implementasi desain jalan yang substandar sudah seringkali
merenggut korban jiwa. Hasil inspeksi keselamatan jalan ditemukan ada
beberapa kendala yang dapat menyebabkan kecelakaan lalulintas di
• Separator atau pemisah antara lajur Busway dan kendaraan
lainnya.
• Simpang bersinyal, besarnya waktu antrian pada lokasi simpang
bersinyal dapat mengakibatkan tabrak belakang pada antrian.
5. Judul: Analisa Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Prof. Ida
Bagus Mantra ( Ruas Tohpati – Kusamba )
Penulis: Ir. Putu Hermawati dan Ir. I Gede Made Oka Aryawan, MT
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada jalan Prof. Ida Bagus Mantra
terdapat 3 titik lokasi rawan kecelakaan,yaitu sta 3 + 750 – 5 + 200
(Sp.4 Ketewel), sta 9 + 500 – 10 + 900 ( Br. Patolan ) dan sta 10 + 900 –
12 + 500 (Sp. Keramas), dimana penentuan lokasi blackspot adalah
dengan mengindentifikasi berdasarkan analisis menurut jumlah
kecelakaan (JK), indeks kecelakaan (IK) dan interpolasi pembobotan
fatalitas kecelakaan (IPFK). Dan faktor penyebab kecelakaan yang
paling dominan adalah karena kelalaian pengendara dan pejalan kaki.
6. Judul: Analisis Karakteristik Kecelakaan dan Faktor Penyebab
Kecelakaan Pada Jalan Bebas Hambatan ( Jalan Tol Surabaya –
Gempol)
Penulis: Nur Setiaji Pamungkas
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kecelakaan di Jalan Tol
Surabaya-Gempol sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia
(63,09%),selebihnya adalah faktor kendaraan (28,33%), dan faktor jalan
dan lingkungan (8,58%), didominasi dengan jenis kecelakaan yang
=PDO) sebesar 49,79% dan dengan tipe kecelakaan tunggal ( single accident ) sebesar 58,37%. Sedangkan lokasi rawan kecelakaannya yaitu terjadi pada ruas Waru – Gunungsari ( km 12 – km 17 ) dengan
menggunakan metode frekuensi kecelakaan ( Accident Frequency Method ) yaitu dengan nilai AF ( Accident Frequency ) 1,65 kecelakaan per-km pertahun untuk arah meninggalkan Surabaya dan 1,53
kecelakaan per-km pertahun untuk arah menuju Surabaya.
7. Judul: Analisa Kecelakaan Lalulintas di jalan Tol Belmera
Penulis: Maya Ansarida Simamora
Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor penyebab kecelakaan yang
mendominasi pada jalan tol Belmera adalah faktor kerusakan kendaraan
(54,9%), yaitu berupa ban kendaraan pecah yang merupakan karakter
yang sering muncul pada kasus kendaraan. Selanjutnya adalah faktor
pengemudi itu sendiri (45,1%) yaitu yang disebabkan oleh pengemudi
yang sering mengantuk disaat mengemudi.
Di jalan Tol Belmera tidak terdapat lokasi rawan kecelakaan (blackspot), karena jumlah kecelakaan per km adalah 3, sedangkan nilai minimal
adalah 10 kecelakaan per km (berdasarkan metode frekuensi), dan
berdasarkan metode tingkat kecelakaan juga tidak terdapat blackspot, namun terdapat blacksite.