• Tidak ada hasil yang ditemukan

Redefinisi Perbatasan dan Keamanan di As

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Redefinisi Perbatasan dan Keamanan di As"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Dilema Tata Kelola Pemerintahan

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

JSP Vol. 15 Nomor 2 Halaman93-206 November 2011Yogyakarta 1410-4946ISSN

Fisipol UGM maupun penerbit UGM.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) adalah jurnal ilmiah di bidang

sosial dan politik yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM). Penerbitan JSP terutama bertujuan

untuk memfasilitasi interaksi, diskusi, advokasi, dan pemutakkhiran gagasan

dari para ilmuwan sosial dan politik di indonesia. JSP juga bertujuan

menyuguhkan kekayaan wawasan dan interpretasi atas berbagai fenomena

sosial politik baik yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri namun

dapat memberikan inspirasi dan pembelajaran bagi studi di Indonesia

JSP terbit sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni setiap bulan Maret,

Juli, dan November. Para penulis yang tampil dalam setiap volume adalah

para akademisi yang menaruh perhatian terutama pada isu sosial dan politik

di Indonesia. Tentu saja JSP tidak membatasi diri dengan hanya menyajikan

naskah dari para akademisi di lingkungan Fisipol UGM. Justru sebaliknya,

JSP membuka lebar peluang publikasi bagi naskah-naskah hasil karya

akademisi dari seluruh Indonesia maupun manca negara dengan berbagai

latar belakang dan perspektif. Namun demikian, gagasan dan interpretasi

dari para penulis yang dimuat tidak mencerminkan pendapat dan kebijakan

Alamat Penyunting:

Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Jl.Sosio-Justisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281.

Telp./Fax: 0274 563362,

email

: jspugm@gmail.com, jsp@ugm.ac.id

VOLUME 15, NO 2, NOVEMBER 2011

VOLUME 15, NO 2, NOVEMBER 2011

Praktik Jurnalisme Lingkungan oleh HarianJawa Pos

Putri Aisyiyah Rachma Dewi 189

Reaktualisasi Politik Demokrasi: Politik Agensi dan Revitalisasi Kelembagaan Demokrasi

Lambang Trijono 93

Governance and New Mode of Governing: Indonesia as a Metaphor

Luqman nul Hakim 111

Pembentukan Struktur Negosiasi Kota Surakarta: Kritik Nalar ‘Best Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Hendra Try Ardianto 124

Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua

I Ngurah Suryaman 140

Tolerance of Minorities and Cultural Legitimacy: The Case of Pesantren Khusus Waria Al-Fattah Senin-Kamis Yogyakarta

Dian Maya Safitri 154

Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah Paradigma untuk Ketahanan Nasional)

(2)

Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio-Justisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281. Telp./Fax: 0274 563362, email:

jspugm@gmail.com

Terbit tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli, dan November. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan analisis kritis. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) adalah jurnal ilmiah di bidang sosial dan politik yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM). Penerbitan JSP terutama bertujuan untuk memfasilitasi

interaksi, diskusi, advokasi, dan pemutakhiran gagasan dari para ilmuwan sosial dan politik di Indonesia. JSP juga bertujuan menyuguhkan kekayaan wawasan dan interpretasi atas berbagai fenomena sosial politik baik yang

terjadi di Indonesia maupun di luar negeri namun dapat memberikan inspirasi dan pembelajaran bagi studi Indonesia. JSP terbit sebanyak tiga kali

dalam setahun, yakni setiap bulan Maret, Juli dan November

Pengarah: Dekan FISIPOL UGM

Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Kerjasama

Ketua Penyunting: I Gusti Ngurah Putra

Sekretaris Penyunting: Floweria

Bendahara: Hery Setyo Nugroho Penyunting Pelaksana:

Arie Ruhyanto Bahrudin Erwin Endaryanta

Nyarwi Nurul Aini

Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

hari setelah naskah diterima

(3)

DAFTAR ISI

Dilema Tata Kelola Pemerintahan

1. Reaktualisasi Politik Demokrasi:

Politik Agensi dan Revitalisasi Kelembagaan Demokrasi

Lambang Trijono 93-110

2. Governance and New Mode of Governing: Indonesia as a Metaphor

Luqman nul Hakim 111-123

3. Pembentukan Struktur Negosiasi Kota Surakarta:

Kritik Nalar ‘Best Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Hendra Try Ardianto 124-139

4. Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua

I Ngurah Suryawan 140-153

5. Tolerance of Minorities and Cultural Legitimacy:

The Case of Pesantren Khusus Waria Al-Fattah Senin-Kamis Yogyakarta

Dian Maya Safitri 154-167

6. Redefinisi “Perbatasan dan Keamanan” di Asia Tenggara (Sebuah Paradigma untuk Ketahanan Nasional)

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad 168-188

7. Praktik Jurnalisme Lingkungan oleh Harian Jawa Pos

Putri Aisyiyah Rachma Dewi 189-206

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946

(4)

Reaktualisasi Politik Demokrasi:

Politik Agensi dan Revitalisasi Kelembagaan Demokrasi

Lambang Trijono

Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia Yogyakarta e-mail: trilambang@yahoo.com

Abstract

Democratic crisis which has experienced by Indonesia recently has happened partly due to the weakening of the effectiveness of political parties and representative institutions in representing public interests. Both institutions are more involved in internal issues rather than focusing on public interests. As a result, the public trust toward the institutions which are also the pillar of democracy is declining drastically in recent years. This article underlines the establishment of a new political discourse through the development of agonistic political model which the author believed to be more effective in representing public interests and activating political institutions to perform its functions.

Key Words:

political subject; political agencies; identity reconstruction and formation; agonistic democracy; reactivate politics and revitalizing democratic institution

Abstrak

Krisis demokrasi yang tengah dialami oleh Indonesia belakangan ini antara lain disebabkan karena melemahnya efektivitas partai politik dan lembaga perwakilan dalam merepresentasikan kepentingan publik. Kedua lembaga tersebut lebih banyak terlibat dalam persoalan internal ketimbang menyuarakan kepentingan publik. Akibatnya tingkat kepercayaan publik terhadap kedua lembaga pilar demokrasi ini merosot secara drastis dalam beberapa tahun belakangan. Artikel ini menggarisbawahi wacana pembentukan subyek politik baru melalui pengembangan model politik agonistik yang diasumsikan dapat lebih merepresentasikan kepentingan publik dan mampu mengaktivasi lembaga-lembaga politik untuk kembali menjalankan fungsinya.

Kata Kunci:

subjek politik; agen-agen politik; rekonstruksi identitas dan formasi; demokrasi agonistik; politik reaktif dan revitalisasi institusi demokrasi

Volume 15, Nomor 2, November 2011 (93-110) ISSN 1410-4946

Pengantar

Krisis kepercayaan terhadap jalannya praktek penyelenggaraan demokrasi kini berkembang luas di kalangan publik di In-donesia. Keluh-kesah dan kekecewaan politik muncul berkembang di masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga politik

(5)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

memperbaiki demokratisasi sedang berkembang selama ini. Respon pertama menandai sikap politik romantis merindukan kembali hadirnya masa lalu, respon kedua menandakan sikap politik idealis berpengharapan bagi perkem-bangan demokrasi lebih prospektif ke depan. Berkembangnya sikap politik ini menandai sebuah episode khusus perkemba-ngan demokrasi di Indonesia. Di balik itu kita menemukan adanya semacam dislokasi

politik (political dislocations), atau

terlepasnya muatan-muatan substansi politik demokratis dari bekerjanya

kelembagaan politik, atau political

displace-ment terlemparnya aktor-aktor politik dari kelembagaan politik demokrasi. Baik di

dalam gejala dislokasi maupun displacement

ini, dibalik itu, sesungguhnya tercermin berlangsung semacam

kesenjangan-kesenjangan politik (political gaps) di

masyarakat, yaitu antara cita-cita ideal demokrasi diharapkan dengan realitas politik yang dihadapi. Kesenjangan politik ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Bisa jadi karena terlalu melambungnya idealisme atau cita-cita politik demokrasi yang hendak digapai. Bisa juga karena begitu besarnya masalah politik yang dihadapi sehingga demokratisasi sedang berkembang tidak atau belum mampu mengatasinya. Atau, karena lemahnya kapasitas kelembagaan demokrasi merealisasikan idealisme politik demokrasi atau dalam memecahkan masalah-masalah politik yang dihadapi.

Berbagai kemungkinan itu penting mendapatkan pemecahan dari demokrati-sasi yang sedang berkembang. Reaktualidemokrati-sasi politik demokrasi diperlukan dalam konteks ini untuk menjawab berbagai permasalahan ini, baik dalam tingkat subjek-subjek politik maupun dalam tingkat bekerjanya kelembagaan politik. Reaktivasi subjek-subjek politik menjalankan kelembagaan demokrasi dalam hal ini sangat diperlukan. Bukan hanya untuk meningkatkan demokrasi, seperti korupsi melanda

kalangan elit, politik uang dalam pe-nyelenggaraan pemilu dan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi, merupakan beberapa kasus menandai krisis kepercayaan publik terhadap demokrasi sedang berlangsung.

Krisis politik ini bila tidak diatasi bisa menimbulkan delegitimasi demokrasi berkembang di Indonesia selama ini. Berbagai keluh-kesah dan kekecewaan publik itu berkembang luas di kalangan masyarakat, bukan hanya di kalangan elit kelas menengah atau kalangan terdidik dan terpelajar yang relatif dekat dan memiliki akses informasi terhadap berbagai praktek politik di kalangan elit, tetapi juga berkembang di kalangan kelas menengah ke bawah yang langsung merasakan dampak dari krisis politik yang sedang berlangsung. Meskipun respon diberikan berbeda-beda diantara satu kelompok dengan kelompok lainnya, hal itu menandakan krisis politik dan delegitimasi demokrasi kini sedang berlangsung.

(6)

kesadaran, komitmen atau kehendak politik (political will) subjek-subjek politik untuk mendorong berkembangnya demokrasi, tetapi juga memperbaharui bekerjanya kelembagaan politik demokrasi.

Paper ini secara khusus membahas masalah ini. Bagaimana reaktualisasi politik demokrasi dilakukan dalam konteks krisis kelembagaan politik demokrasi yang berlangsung sekarang mendapat tekanan khusus pembahasan. Fokus terutama ditujukan pada pentingnya pembentukan agensi-agensi politik yang merepresen-tasikan kepentingan konstituen atau publik dan pengorganisasian politik diperlukan untuk mendorong emansipasi politik dan atau transformasi aktor-aktor politik menjadi agensi-agensi politik yang merepresentasikan kepentingan publik atau konsituen. Bagaimana tindakan-tindakan politik di kalangan agensi politik itu secara konstitutif membentuk kelembagaan politik lebih demokratis menjadi fokus bahasan berikutnya dalam pembahasan paper ini.

Masalah ini menjadi tekanan utama pembahasan bukan berarti bahwa pembentukan aktor-aktor politik terpilih untuk merepresentasikan kepentingan konstituen atau publik tidak dilakukan selama ini. Sebagaimana kita ketahui, pemilihan terhadap aktor-aktor terpilih menduduki kelembagaan politik demokrasi telah dilakukan melalui penyelenggaraan pemilu, yang sejak reformasi politik bergulir tahun 1998 telah tiga kali dilakukan, yaitu pada pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009. Namun, sebagaimana akan dibahas di bawah nanti, kemerosotan kualitas pemilu yang mewarnai penyelenggaraan pemilu selama ini sehingga aktor-aktor politik terpilih tidak banyak berperan sebagai agensi politik. Dari kilas balik atas trajektori perkembangan demokratisasi selama ini ditemukan bahwa seleksi dan pemilihan aktor-aktor politik terpilih melalui proses pemilu selama ini diselenggarakan dengan

tidak mendapat pengawalan dan kontrol ketat dari publik sehingga tidak mendapatkan kualitas agensi-agensi politik memadai dalam merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen.

Demikian pula, sebagaimana akan kita bahas disini, pentingnya pembaharuan kelembagaan politik kita tekankan bukan berarti bahwa pelembagaan politik tidak dilakukan selama ini. Hal itu telah banyak dilakukan, namun dilakukan terlalu ambisius dengan meminjam model kelembagaan ekonomi politik liberal atau neo-liberal, dengan disana-sini masih diwarnai teknokratisme atau pembangu-nanisme ala Orde Baru, rasionalisme birokrasi dan proseduralisme politik dan hukum mengikuti model kontrak sosial atau kontrak politik berbasiskan subjek-subjek politik individual mengejar kepentingan ekonomi, dengan mengabaikan berkem-bangnya demokrasi, menekankan bekerja-nya logika perbedaan dan kesetaraan dalam praktek demokrasi, atau kebebasan dan kesetaraan bagi semua, disertai pem-bentukan agensi-agensi politik dan emansipasi serta pengorganisasian politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen. Dengan kata lain, demokratisasi dalam arti pembentukan agensi-agensi politik dan kelembagaan politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen masih sangat minim berkembang selama ini.

Bahkan terkait persoalan terakhir, kita tekankan disini pembentukannya pun harus dilakukan secara khusus dengan melakukan rekonstruksi identitas politik untuk lahirnya atau hadirnya subjek-subjek politik baru tercerahkan dan kelompok-kelompok maju dalam berdemokrasi mengingat, sebagai-mana akan ditekankan dalam pembahasan ini, demokratisasi berlangsung di Indonesia sejak awal tidak semua berjalan mulus tetapi

diwarnai oleh berbagai dislokasi,

(7)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

konflik sosial akibat krisis ekonomi dan politik yang berlangsung pada akhir peme-rintahan Orde Baru sebelum memasuki era demokrasi. Demokratisasi dalam arti ini harus disertai dengan pemulihan krisis ekonomi dan reintegrasi sosial-politik dalam kehidupan baru memasuki era demokrasi.

Dengan kata lain, pemilihan ekonomi (

eco-nomic recovery) dan rekonstruksi

kelem-bagaan politik (political reconstruction)

merupakan bagian penting dari pengem-bangan politik demokrasi.

Demokratisasi di Indonesia sesungguh-nya tidak jauh-jauh dari persoalan riil yang dihadapi ini. Karena itu, tidak mungkin dalam konteks krisis ekonomi dan politik seperti itu kelembagaan demokrasi tiba-tiba dihadirkan, atau kelembagaan ekonomi politik teknokrasi dicangkokkan begitu saja, dijadikan semacam dewa penyelamat, atau

deux-exmachina sebagai satu kunci bisa membuka semua pintu mengatasi masalah, tanpa disertai pembentukan agensi-agensi politik dan pelembagaan politik mengikuti bekerjanya logika perbedaan dan kesetaraan dalam sistem demokrasi. Paper ini menekankan pentingnya pembentukan agensi-agensi politik untuk menjalankan praktek demokrasi ini. Rekonstruksi identitas politik menjadikan subjek-subjek politik dan aktor-aktor politik terpilih sebagai agensi-agensi politik tercerahkan dan kelompok-kelompok maju dalam berdemokrasi melalui pendidikan politik, kaderisasi dan pengorganisasian politik penting dilakukan oleh lembaga-lembaga demokrasi, terutama partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan dalam pengembangan demokrasi.

Kilas balik: kemerosotan kualitas demokrasi

Krisis demokrasi berlangsung sekarang ini menimbulkan pertanyaan penting: betulkah demokrasi ini telah gagal mencapai harapan atau cita-cita demokrasi yang

berkembang selama ini? Haruskah kita kembali ke masa lalu yang dengan itu tentu saja akan mengorbankan segala idealisme politik untuk mencapai masa depan kehidupan politik yang baru? Betulkah masa depan politik sedemikian gelapnya sehingga sampai-sampai harus kembali ke masa lalu atau tidak mampu menembus masa depan mengimajinasikan hadirnya kehidupan politik lebih demokratis di masa yang akan datang? Kilas balik dengan menengok kembali perjalanan atau trajektori demokratisasi berkembang selama ini dengan segala hikmah politik bisa dipetik merupakan cara terbaik menjawab masalah ini.

(8)

diwarnai gejolak politik dan konflik sosial (Nordholt and van Kliken, 2007).

Akan tetapi, secara umum harus diakui, setidaknya sebagaimana tercermin dalam praktek penyelenggaraan Pemilu pada tahun 1999-2004, demokratisasi menun-jukkan kemajuan perkembangan politik yang sangat berarti. Masih segar dalam ingatan, betapa antusias rakyat datang ke kotak suara dalam pemilu 1999 dan 2004. Mereka dengan penuh suka cita menyongsong hadirnya demokrasi yang

akan datang (democracy to come) penuh

harap akan hadirnya kehidupan politik lebih baik dan kepemimpinan baru yang mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Masih pada saat yang sama, politik uang tidak berkembang. Tidak terbesit di benak aktor-aktor politik, baik di kalangan kader partai politik maupun konstituen pemilih, menjalankan praktek politik uang pada saat itu. Politik uang diawasi begitu ketat oleh lembaga-lembaga pengawas pemilu dan pengawas swadaya masyarakat. Kader-kader partai politik dengan itu tidak banyak yang berani melakukan politik uang dan warga pun tidak banyak berharap dari politik uang. Peluang politik terbuka yang diciptakan oleh demokrasi pada saat itu diisi dengan penuh harap untuk keluar dari krisis ekonomi dan gejolak politik menuju kehidupan politik demokrasi, sehingga kedua pemilu akhirnya berjalan aman, lancar dan penuh berpengharapan.

Namun, cerita menjadi lain ketika memasuki pemilu 2009, dengan sebelum dan sesudah itu Pemilukada digelar di seluruh daerah-daerah di Indonesia. Kualitas demo-krasi merosot tajam dalam Pemilu 2009 dibanding pemilu sebelumnya tahun 1999 dan 2004. Sejak awal dalam prosesnya ketika Pemilu memasuki tahapan awal, pencalonan kader-kader partai yang akan duduk di lembaga legislatif dilakukan dengan tidak banyak melibatkan partisipasi dan kontrol publik. Penjaringan calon aktor-aktor terpilih

melalui konvensi, misalnya, atau diskusi publik atau rapat terbuka dihadapan konstituen sehingga diperoleh agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen tidak dilakukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi khususnya kualitas penyelenggaraan Pemilu. Demikian pula, sistem representasi atau perwakilan dijalankan menggunakan sistem proporsional berdasar jumlah suara diperoleh di suatu daerah pemilihan (dapil) mengandung banyak kelemahan bagi berlangsungnya politik representasi. Sistem ini membuka peluang bagi siapa saja aktor-aktor politik dari luar daerah atau wilayah yang ditunjuk partai bisa mewakili daerah atau wilayah pemilihan sehingga tidak muncul calon-calon aktor politik terpilih betul-betul mengakar dan dekat dengan komunitas dan konstituen sebagai agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik, komunitas dan konstituen.

Sistem perwakilan atau representasi

bersifat mengambang (floating

representa-tion) yang tidak mengakar di bawah ini

mendorong sirkulasi politik hanya berlangsung di kalangan elit dan dengan itu menciptakan banyak lubang masalah terjadinya distorsi keterwakilan politik. Karena tidak disertai pengorganisasian politik sehingga permintaan politik atau pengelompokan kepentingan-kepentingan

politik (groupness of political demands) tidak

(9)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

uang untuk mendapatkan dukungan kekuasaan dari konstituen, yang kemudian karena desakan kebutuhan hidup dihadapi pemilih mereka pun banyak terserat masuk dalam arus praktek politik uang.

Berkembangnya politik uang ini selain mendistorsi keterwakilan politik dan menghambat terbentuknya agensi-agensi politik juga menimbulkan problem kemerosotan moralitas politik berlangsung di masyarakat. Bahkan, hal itu telah mendorong berkembangnya banyak sengketa politik terjadi dalam praktek penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada. Hasil Pemilu dan Pemilukada dihasilkan dari praktek politik uang menjadikan calon aktor-aktor terpilih dan partai politik peserta pemilu tidak mudah menerima kekalahan karena etika politik demokrasi dicampur-adukkan dengan politik dinilai dengan ukuran nilai uang. Materialisasi dan dehumanisasi politik dengan itu ber-langsung di masyarakat. Masing-masing aktor-aktor politik dengan itu mudah menjadi tidak respek satu sama lain karena subjek-subjek politik dan suara diperoleh dinilai dengan nilai uang yang membuat

martabat dan kehormatan politik (political

dignity) merosot dalam praktek demokrasi yang diwarnai politik uang ini.

Demikian itu menandai merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia. Sejak itu, masyarakat politik pun mulai diwarnai

semacam kejenuhan politik (political

fa-tigue), atau lebih jauh lagi kekecewaan

terhadap praktek demokrasi (democratic

dis-appointment) yang berlangsung, disebabkan kurang berarti atau kurang bermaknanya kerja lembaga-lembaga demokrasi. Lemahnya kaderisasi dalam partai, berkembangnya praktek politik uang, merosotnya kredibilitas elit politik yang tersandung korupsi dan skandal moralitas politik lainnya, membuat publik kurang antusias terhadap praktek dan penye-lenggaraan politik demokrasi.

Kecen-derungan itu memberikan tanda-tanda bahaya bagi demokrasi. Melemahnya antusiasme publik yang berpartisipasi dalam pemilu, dan lunturnya kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga demokrasi menyebabkan kualitas pemilu merosot. Banyak pihak sejak itu mengkhawatirkan merosotnya kualitas demokrasi ini menjadi sandungan politik bagi perkembangan demokrasi. Kurang bermakna bekerjanya institusi demokrasi yang demikian sebenarnya sudah terbaca sejak awal demokratisasi ketika pada awal kelem-bagaan politik demokrasi mulai mengalami pembentukan (Tornquist, 2004). Namun, dampaknya baru terasa menjelang dan sesudah tahun 2009. Merosotnya partisipasi publik pada tahun 2009 merupakan akibat dari kurang berarti atau tidak bekerjanya kelembagaan demokrasi ini.

Dalam sistem demokrasi sedang berkembang seperti di Indonesia sekarang, tingkat partisipasi merupakan pertanda politik penting untuk menilai kualitas demokrasi. Ketika rakyat merasakan kebutuhan dasar dan hak-hak politiknya tidak terpenuhi, atau tidak ada harapan untuk terpenuhi, mereka akan cenderung bersikap apatis terhadap proses politik berlangsung. Di masyarakat yang demokrasinya sedang berkembang seperti Indonesia, merosotnya kualitas partisipasi politik ini mengindikasikan bermacam-macam makna politik. Bisa jadi hal itu pertanda buruknya performa institusi-institusi demokrasi, bisa juga mencerminkan rendahnya kesadaran politik warga. Tetapi, melihat begitu tingginya partisipasi politik dalam pemilu 1999 dan 2004, tidak ada tempat di sini untuk menyalahkan rendahnya kesadaran politik warga negara. Persoalan disini lebih terletak pada kualitas bekerjanya institusi demokrasi.

(10)

lembaga-lembaga politik dengan kehidupan masyarakat sipil luas. Sistem demokrasi selalu menghadapi ketidakpastian. Dalam sistem demokrasi, rakyat yang sangat menentukan. Terlebih mendekati pemilu, mereka adalah penentu terakhir dari pertarungan politik, dengan segala misteri yang ada di balik partisipasi masyarakat. Apa kemauan rakyat dan kepada siapa mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya, selalu menjadi tanda tanya besar bagi demokrasi. Namun bagi Indonesia tingginya partisipasi politik dalam pemilu 1999 dan 2004 sebenarnya bisa digunakan sebagai modal dasar untuk mengatasi ketidakpastian ini. Bagaimana menjadikan institusi-institusi demokrasi ini menjadi lebih berarti sehingga publik semakin berpartisi-pasi dalam politik merupakan persoalan penting dihadapi dalam memperbaiki kualitas demokrasi.

Dari aktor hingga agensi

Salah satu hikmah dan pelajaran politik terpenting bisa diambil dari kilas balik trajektori demokratisasi di atas adalah lemahnya politik keagenan atau pembentu-kan agensi-agensi politik dari berlakunya sistem representasi dan berlangsungnya praktek demokrasi. Masalah ini bisa diatasi dengan melalukan reaktiviasi subjek-subjek politik menjadikan diri mereka dari aktor-aktor politik mengejar kepentingan ekonomi menuju pembentukan agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen dalam bekerjanya lembaga-lembaga demokrasi. Bagaimana hal itu dilakukan? Menjawab permasalahan ini, penting disini untuk kembali melihat siapakah sebenarnya yang kita sebut sebagai agensi politik sebagai subjek utama kita tempatkan dalam perbaikan kualitas institusi demokrasi ini.

Agensi merupakan sebuah kategori subjek politik khusus, menempati tempat khusus dalam kehidupan dan masyarakat

politik. Keberadaannya berada diantara apa

yang kita sebut dengan aktor, di satu sisi, dan

autor di ujung yang lain, khususnya ketika kita membicarakan subjek-subjek bertindak

dalam politik. Aktor merupakan sebutan

untuk subjek individu-individu atau perorangan bertindak dengan segala otonomi dan rasionalitas dimiliki. Gambaran Thomas Hobbes tentang orang-orang bertindak atas nama diri sendiri mengikuti naluri secara alamiah dan kodradnya sebagai individu penuh kepentingan merupakan salah contoh ilustrasi mengambarkan keberadaan aktor-aktor politik dalam masyarakat (Pitkin, 1972).

Hobbes menyebut aktor sebagai ‘orang yang melakukan tindakan atas nama diri sendiri’ bukan atas nama pihak lain atau diminta pihak lain atau karena ketentuan-ketentuan atau hak khusus diberikan masyarakat kepadanya. Berbeda dengan

aktor, Hobbes menyebut ‘orang-orang yang bertindak atas nama pihak lain atau diminta pihak lain atau karena ketentuan khusus atau hak diberikan kepadanya, atau karena

autoritas diberikan dan dimiliki disebut

sebagai ‘author’. Hobbes membahas

keduanya secara khusus untuk menentukan

kapan subjek bisa dipandang sebagai aktor,

yang bertindak ‘secara alamiah’ atau ‘natu-ral’ atau melakukan tindakan secara ‘sungguh-sungguh’ berdasar otonomi dan rasionalitasnya, dan kapan subjek bisa

disebut ‘autor’, yang tindakannya

sesungguhnya dilakukan secara ‘artifisial’ karena hal itu dilakukan menurut kepentingan pihak lain atau karena hak-hak, kewajiban dan ketentuan-ketentuan diberikan kepadanya atau mewakili kepentingan lembaga atau masyarakat yang lebih besar.

Mengikuti kategori ini, pemahaman

tentang aktor dengan demikian harus dicari

(11)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

menempatkan individu sebagai aktor utama dalam bertindak, sebagaimana umumnya dipahami kalangan politik liberal, dengan segala sifat-sifat universal melekat dalam individu sebagai aktor otonomi dan penuh rasional dalam bertindak, merupakan salah satu contoh pemahaman tentang aktor ini.

Sebaliknya, pemahaman tentang autor

harus dicari dalam dunia diluar subjek atau dunia objektif dengan segala kepentingan pihak lain, hak dan ketentuan diberikan

kepadanya. Autor adalah aktor ‘artifisial’

yang bertindak mengikuti kepentingan pihak lain, berdasar hak atau ketentuan khusus diberikan, atau mewakili kepen-tingan pihak lain. Bahwa pemegang otoritas (authority) bertindak berdasar otoritas diberikan atau mewakili kepentingan pihak lain diberikan merupakan salah satu contoh

jenis subjek disebut autor dalam pengertian

ini. Jenis-jenis subjek dalam arti autor ini bisa

juga kita temukan dalam orang-orang memegang otoritas formal dalam politik, seperti dalam pemerintahan, atau dalam hukum ketika pengacara mewakili klien, di dalam organisasi ketika pemimpin menjalankan organisasi, atau di dalam

kesenian ketika aktor bermain berdasarkan

ketentuan diberikan sutradara pertunjukan.

Aktor-aktor dalam arti autor ini bertindak

secara ‘artifisial’ mengikuti hak dan ketentuan diberikan kepadanya untuk memainkan peran dan melakukan tindakan dalam situasi khusus.

Diantara keduanya, kita menemukan kategori subjek lain apa yang disebut

dengan agensi yang kita tempatkan sebagai

subjek utama pembahasan kita disini dalam reaktivasi subjek-subjek politik demokrasi. Mengikuti Hobbes, peran agensi politik ditemukan ketika ia membedakan antara

aktor ‘natural’ dan aktor ‘artifisial’ atau

autor. Terutama, ketika secara khusus menekankan pentingnya agensi politik ketika membicarakan kaitan antara politik dan kekuasaan. Hobbes menyebut agensi

sebagai ‘orang-orang melakukan tindakan karena terikat pada prinsip atau nilai’ tertentu. Pentingnya keterikatan subjek politik pada prinsip nilai ini ditekankan

dalam pembahasan tentang agensi. Agensi

dalam pengertian ini menyerupai autor

tetapi bukan sebagai ‘aktor artifisial’

melainkan sebagai aktor bertindak mengikuti prinsip dan nilai politik atau pandangan idiologi politik tertentu. Namun, juga di sisi lain, agensi juga menyerupai aktor karena bertindak berdasar otonomi dan subjektivitas tersendiri terkait prinsip dan nilai dianut atau dipercayai.

Agensi dengan kata lain adalah aktor

dan autor dalam kolektivitas moral politik bertindak berdasarkan prinsip dan nilai tertentu, atau bertindak atas dasar moralitas politik dianut secara kolektif. Mendekati

pengertian aktor, agensi dalam hal ini

merupakan orang-orang atau individu atau sekelompok individu bertindak berdasar otonomi dan rasionalitasnya terkait dengan prinsip nilai dianut. Sebaliknya, mendekati

pengertian autor, agensi adalah orang-orang

atau sekelompok orang bertindak mengikuti prinsip dan nilai ditentukan pihak lain, organisasi, partai atau kelompok sosial

lainnya. Agensi dalam pengertian ini bisa

berupa orang-orang atau kelompok-kelompok orang atau lembaga sosial atau sebuah organ atau lembaga dalam tubuh negara atau organisasi politik dan hukum lain yang bertindak atas dasar prinsip dan nilai diakui berlaku di dalam masyarakat.

Jenis-jenis agensi ini begerak dari aktor

merepresentasikan kepentingan publik, aktor mewakili kepentingan lembaga atau organisasi, hingga aktor-aktor mewakili kepentingan lembaga-lembaga dalam tubuh negara dan masyarakat.

(12)

publik/rakyat atau konstituen, dan aktor-aktor politik lainnya sebagai agensi politik duduk dalam tubuh lembaga-lembaga negara merepresentasikan kepentingan publik/konstituen dalam menjalankan politik demokrasi. Pembentukan subjek politik menjadikan diri mereka semula sebagai aktor-aktor politik mengejar kepentingan pribadi menjadi agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen sangat krusial untuk pembaharuan kelembagaan demokrasi.

Namun, dalam pembentukan agensi-agensi politik ini harus ditempatkan dalam konteks krisis kelembagaan politik dan kemerosotan kualitas demokrasi berlang-sung dengan menjadikan subjek-subjek politik atau aktor-aktor politik sebagai agensi-agensi politik mendorong pemba-haruan kelembagaan demokrasi. Di tengah krisis politik berlangsung, sangat diperlukan rekonstruksi politik identitas subjek-subjek politik menjadikannya sebagai agensi-agensi politik mendorong berlangsungnya pembaharuan kelembagaan politik demokrasi. Persoalan ini secara khusus penting kita bahas disini sebelum agenda pembaharuan atau revitalisasi kelembagaan politik demokrasi kita ajukan dalam pembahasan ini.

Pembentukan subjek politik agensi

Sebagaimana dikemukakan dimuka, transisi politik menuju demokrasi berlangsung di Indonesia selama ini tidak semuanya berjalan mulus. Perkembangan demokrasi disertai dislokasi-dislokasi politik, ambivalensi-ambivalensi politik dan gejolak politik serta konflik sosial di masyarakat. Perkembangan dan peristiwa-peristiwa ini tentu sangat mempengaruhi subjek-subjek politik didalamnya dalam pembentukan sebagai subjek politik demokratis. Rekons-truksi identitas politik dan pemberdayaan serta emansipasi politik di kalangan subjek-subjek politik dalam hal ini sangat

diperlukan untuk masuk dan menjalankan politik demokrasi. Bagaimana pembentukan subjek politik agensi dilakukan dalam dalam konteks ini ditengah-tengah dislokasi politik dan krisis kelembagaan serta kemerosotan kualitas demokrasi sedang berlangsung selanjutnya penting kita bahas disini?

Persoalan ini membawa kita pada pentingnya pembentukan subjek politik sebagai subjek kekuasaan atau agensi politik merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen untuk mendapatkan dukungan kekuasaan politik dari publik atau konstituen. Hubungan subjek politik dengan struktur kekuasaan dalam komunitas disini menjadi penting untuk dielaborasi. Pem-bentukan agensi-agensi politik sebagai subjek kekuasaan pada dasarnya merupakan bagian penting dari persoalan pembentukan identitas politik, khususnya dalam pembentu-kan atau konstruksi politik tentang ‘saya (I)’ dan ‘orang lain (the Other)’ sebagai subjek politik, atau konstruksi tentang ‘saya (I)’ mewakili ‘kita (We)’ dihadapan ‘mereka (They)’. Konstruksi tentang I-O, atau I=We– They, ini saling mendeterminasi dan secara konstitutif membentuk identitas politik sebagai subjek kekuasaan atau agensi politik. Pembacaan penulis terhadap perde-batan tentang pembentukan identitas politik sejauh ini sampai pada kesimpulan bahwa identitas selalu dalam proses pembentukan (identity formation) dan karena itu bisa dilakukan upaya untuk mengisi atau membentuknya. Penulis tidak sependapat dengan pandangan banyak kalangan esensialis atau foundasionalis tentang pembentukan identitas yang

meng-konstruksi identitas secara tetap (fixed).

Tetapi, mengikuti pendapat Jacque Lacan,

tiap subjek adalah subjek yang senjang (

(13)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

berjuang menggapai realitas untuk mengisi identitasnya, atau subjek yang sedang menjadi dalam identitasnya melalui bekerjanya imajinasi dan fantasi dan simbolicum terdapat realitas (Lacan, 1989). Perdebatan tentang subjek politik dalam ‘the German ideology’ dan bagaimana pandangan tentang subjek politik menurut perspektif Lacan itu relevan dalam pembentukan subjek politik demokrasi disini bisa dijadikan ilustrasi. Hegel melihat identitas manusia ada dalam bayangan tentang dirinya, dalam pikirannya, atau dalam ide-ide dan gagasannya. Pandangan Hegel ini bagian dari pemikiran abad pencerahan, sebagaimana dikembangkan Kantian, untuk keluar dari mitos pemikiran tradisional atau dalam tradisi agama-agama yang melihat identitas terdapat dalam bayangan manusia tentang Tuhan. Pandangan serupa juga kita temukan dalam pandangan Marx yang ingin keluar dari mitos tradisional, meski kemudian sampai pada kesimpulan bahwa identitas bukan terdapat dalam pikirannya, atau ide-alismenya, tetapi pikiran itu sendiri merupakan cermin material, atau materialis-me karena identitas adalah terdapat pada materialnya. Konstruksi manusia moderen abad pencerahan keluar dari tradisionalisme ini kemudian menemukan bentuknya dalam dua idiologi besar abad pencerahan; idealisme Hegelian dan materialisme Marxis. Namun, sebagaimana dikemukakan Stirner, dan juga pemikiran kritis lainnya dalam Mahzab pemikira Frankfrut school, pandangan pemikir pencerahan tentang subjek ini menemui jalan buntu atau dalam paradoks. Bukan keluar dari bayangan Tuhan yang diperoleh, tetapi menjadikan bayangan Tuhan dalam diri subjek, atau dalam pikiran idealnya. Kaum liberal idealis menjadikan kepentingan individual sebagai segalanya, pusat dari segalanya atau uni-verse. Sementara, kaum Marxis melihat materialisme sebagai fetitisme. Jauh dari

terbebas dari bayangan tentang Tuhan, Stirner menemukan dalam kedua pandangan idiologi itu Tuhan reinkarnasi dalam diri manusia, dalam pikiran idealnya dan juga dalam sikap materialis sebagai-mana dipuja kapitalisme (Newman, 2005).

Melanjutkan perdebatan itu, Jacques Lacan melakukan pembaharuan konsepsi tentang pembentukan subjek identitas manusia moderen pencerahan yang paradoksal ini. Lacan tidak menafikan pentingnya bayangan Tuhan dalam diri manusia. Tetapi, bukan Tuhan dalam esensialismenya. Tetapi, kehadiran bayangan, fantasi, imajinasi tentang kenyataan atau ‘the Real’ dalam mengisi subjek yang senjang itu. Dalam konsepsi Lacan, perdebatan tentang pembentukan identitas bergeser dari bayangan tentang Tuhan menuju bayangan, imajinasi dan fantasi tentang yang nyata atau ‘the real’ dalam dunia objektif di luar subjek. Tetapi, bagi Lacan, realitas atau ‘the Real’ itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak mungkin (imposible) digapai meski hal itu perlu ( nec-essary) dicapai untuk mengisi dan membentuk identitas. Karena itu, penemuan identitas subjek itu bisa berhasil tetapi bisa juga mungkin gagal. Subjek senjang selalu berusaha menangkap gambaran, bayangan dan imajinasi tentang realitas untuk mengisi dan menemukan identitasnya dalam struktur imajinasi dan simbolik di sekitarnya.

Namun, sebagaimana disinggung dimuka, subjek tidak selalu berhasil memenuhi struktur imajinasi komunitas itu sehingga seringkali mengalami peristiwa-peristiwa traumatik dalam dirinya. Karena itu, subjek berusaha melakukan penegasan atau fiksasi atas identitas melalui struktur imajinasi dan simbolik yang ada. Bayangan atau imajinasi dan fantasi tentang realitas itu membentuk identitas ditandai kehadiran

penanda (signifier) dalam subjek mengacu

(14)

Identifikasi dan signifikasi dilakukan dengan

menghadirkan simbol sebagai penanda (

sig-nifier) menandai identitas subjek (signified).

Penandaan dalam bekerja struktur imajinasi dan simbolik ini berlangsung melalui dua cara, yaitu metonimik dan metaporik. Penandaan bersifat metonomik ketika penandaan bekerja melalui cara berangkai, penanda yang satu menandai penanda yang lain membentuk rangkaian atau mata rantai penandaan identitas, hasilnya adalah komposisi idenitas dari

berbagai penanda (chains of signifiers).

Pembentukan subjek politik atau subjek kekuasaan atau agensi politik disini berlangsung melalui multiplikasi identitas, identitas yang satu memperkuat lainnya membentuk sebuah identitas kekuasaan politik. Penandaan metaporik merupakan penandaan dengan menghadirkan satu penanda besar atau universal mengantikan (substituted) berbagai penanda-penanda kecil atau partikular yang ada dalam hubungan gehemonik. Kalau dalam bekerjanya metonimik identitas adalah rangkaian penanda membentuk multiplikasi identitas, dalam metaporik

sebuah penanda tunggal, atau master of

sig-nifier, atau nodal point, dihadirkan untuk merepresentasi subjek-subjek politik yang ada.

Pembahasan tentang pembentukan identitas ini membuka kemungkinan berbagai strategi pembentukan agensi politik sebagai subjek kekuasaan mereprsentasi kepentingan publik atau konstituen, apakah melalui cara kerja pembentukan identitas merepresentasikan subjek-subjek politik atau konstituen melalui model metonomik ataukah metaphorik. Satu hal penting dicatat disini, dalam konteks transisi demokrasi yang pada awalnya diwarnai krisis ekonomi, gejolak politik dan konflik sosial, dan kemudian kembali menghadapi krisis kelembagaan politik berlangsung sekarang, rekonstruksi

identitas merupakan pilihan strategi sangat penting. Rekonstruksi identitas dilakukan karena kegagalan subjek menggapai realitas politik demokrasi atau kita sebut dislokasi politik.

Kegagalan itu menimbulkan peristiwa

traumatik (traumatic events) tersendiri dalam

pembentukan subjek politik. Peristiwa traumatik ini menandai subjek senjang yang hendak diisi dalam pembentukan identitas. Karena itu, dalam setiap rekonstruksi subjek politik peristiwa traumatik itu penting diperhatikan, karena setiap waktu akan

muncul kembali ke permukaan (the return of

the repressed) dalam pembentukan identitas. Dari sudut pandang Lacanian, peristiwa-peristiwa dislokasi politik atau displacemen politik subjek dari bekerjanya kelembagaan politik merupakan bentuk periwtiwa traumatik menandai proses terlepasnya identitas subjek dari struktur imajinasi dan simbolik menandai bekerjanya kelembagaan politik. Peristiwa perubahan politik drastis, gejolak politik, eksklusi sosial, konflik kekerasan dan sejenisnya, merupakan bentuk-bentuk kejadian traumatik mencerminkan kegagalan subjek mengapai realitas yang selanjutnya akan mendistosi pembentukan subjek politik. Bagaimana mengatasi disintegrasi identitas subjek dan menemukan kembali integritasnya sebagai subjek politik atau subjek kekuasaan merupakan bagian penting dari projek pembentukan identitas politik agensi.

(15)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Suharto tahun 1966-1969 disertai gejolak politik). Reformasi dan transisi politik ini menandai hilangnya penanda politik otoritarianisme Orde Baru. Ketika perubahan terjadi, transisi politik berlangsung, dan delegitimasi stuktur dan kultur terjadi, kekerasan muncul dengan

segala akibat displacement dan dislokasi

subjek dari struktur dan kultur terjadi karena terjadi krisis politik berlangsung. Dalam situasi krisis ini, kita sulit melakukan pembentukan identitas karena keretakan atau fragmentasi dan disintegrasi subjek sedang berlangsung. Berbagai upaya merajut atau reintegrasi identitas politik melalui rekonsiliasi konflik dalam hal ini penting dilakukan.

Namun, ketika demokratisasi berkem-bang dan kemudian Indonesia memasuki paska-krisis atau paska-konflik, maka diperlukan pembentukan subjek politik baru untuk mengisi demokratisasi. Bayangan, fantasi, gambaran, imajinasi, visi tentang masyarakat demokratis hendak dicapai krisis disini mengarahkan subjek pada kehidupan politik baru. Demikian itu merupakan proses terapi politik tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang mengalami berbagai peristiwa traumatik dislokasi dan

displacement politik dalam trajektori politik sedang berlangsung. Rekonstruksi subjek politik dalam hal ini penting dilakukan setidaknya dalam tiga ranah politik; yaitu psiko-politik, struktur politik dan dan kelembagaan politik perantara dalam konteks politik transisi menuju demokrasi. Ranah psiko-politik diperlukan untuk memulihkan integritas subjek politik akibat dari peristiwa-peristiwa traumatik dialami. Area struktur politik diperlukan untuk reintegrasi subjek politik masuk ke dalam kehidupan politik dan ranah kelembagaan

perantara atau lembaga-lembaga ad-hock

diperlukan untuk menghantar subjek politik disintegrasi masuk ke dalam struktur politik sebagai subjek politik penuh integritas.

Dalam konteks transisi politik menuju demokrasi, hal itu berarti bahwa pembentukan subjek demokratis sangat memerlukan kelembagaan perantara atau

lembaga-lembaga ad-hock untuk

menghan-tar subjek-subjek politik memasuki struktur

politik demokrasi. Banyaknya lembaga

ad-hock dibentuk di Indonesia selama masa

transisi dalam hal ini dapat dimaknai sebagai bagian dari proses reintegrasi subjek politik ke dalam struktur-struktur politik dan bekerjanya kelembagaan demokrasi.

Disinilah letak masalah mengapa kita sampai sekarang masih sulit melepaskan diri dari keterikatan dengan lembaga-lembaga

ad-hock atau memutus mata rantai transisi demokrasi menuju masyarakat demokratis atau demokrasi terkonsolidasi. Transisi politik menuju demokrasi menuju tercapainya demokrasi terkonsolidasi mensyaratkan pentingnya memutus mata rantai ketergantungan subjek politik pada

kelembagaan politik ad-hock ini untuk

masuk atau reintegrasi ke dalam struktur-struktur politik dan bekerjanya kelem-bagaan demokrasi.

Revitalisasi kelembagaan demokrasi

(16)

absolutisme kekuasaan, seperti terdapat dalam otoritarianisme, menjadi semacam bejana kosong harus diisi setiap subjek warga negara dalam pembentukan negara demokratis. Negara dibentuk tindakan warga negara, sebaliknya warga negara dibentuk oleh tindakan negara. Masalahnya apakah kita selama ini telah mengisi kekosongan penanda politik kekuasaan itu dengan kelembagaan politik demokratis? Ataukah mengisinya dengan menghadirkan kembali politik lama penuh traumatik di jaman era sekarang kita sebut demokrasi ini?

Pendapat Amartya Sen tentang pentingnya kehadiran subjek-subjek politik baru penuh kebebasan dalam menjalankan demokrasi disini penting diperhatikan dalam mengisi bekerjanya stuktur dan kelembagaan demokrasi. Fundamental dalam demokrasi, menurut Amartya Sen, adalah hidup dalam kebebasan, yang dengan itu tiap subjek politik bebas menyampaikan pikiran, pendapat, berbicara, menentukan pilihan-pilihan dan tujuan-tujuan dalam hidup. Dalam hal ini, berkembangnya demokrasi akan memperluas

kebebasan nyata (the real freedom) dan

memperkaya makna hidup (enrhicing human

life) tiap subjek-subjek warga negara, sehingga

menjadikan kehidupan publik menjadi lebih bemakna. Dalam sistem demokrasi yang bebas dan terbuka, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat di kalangan subjek politik akan menumbuhkan berkembangnya diskusi publik. Diskusi publik ini selanjutnya akan menumbuhkan berkembangnya nalar

publik (public reasons), berupa

berkembang-nya kepedulian publik terhadap masalah-masalah dihadapi bersama. Disinilah kemudian menjadi jelas bedanya antara sistem otoriter, atau otokrasi dengan demokrasi. Kalau dalam pemerintahan otokratis masalah-masalah pembangunan seperti bencana kelaparan, kemiskinan, kemorosotan kualitas hidup, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik sosial akibat pembangunan cenderung ditutup-tutupi oleh rezim

penguasa, dalam demokrasi berkat berkembangnya diskusi publik masalah-masalah itu bisa segera diatasi.

Merosotnya kualitas demokrasi, sebagai-mana dikemukakan di muka, dengan itu bisa diselamatkan dengan pembentukan subjek politik agensi dan menumbuhkan

berkem-bangnya demokrasi nalar publik, atau public

reasons democracy, dalam bekerjanya institusi demokrasi sehingga politik demokrasi kita memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah dihadapi publik. Dalam praktek penyelenggaraan Pemilu misalnya, pemilu

dengan diskusi, atau election by discussion,

harus dikembangkan. Masalah-masalah mendesak dihadapi warga masyarakat dengan itu bisa diangkat melalui politik agensi dan mendapat pemecahannya dari praktek demokrasi sedang berlangsung. Peran subjek-subjek politik menjadikan diri sebagai agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik dan mengartikulasikannya dalam diskusi bernalar publik disini menjadi sangat penting. Lemahnya kualitas aktor-aktor politik terpilih menjadikan diri mereka sebagai agensi politik merepresentasikan kepentingan publik akan menghambatnya tumbuhnya demokrasi nalar publik ini. Emansipasi dan transformasi aktor-aktor politik menjadi agensi-agensi politik merepresentasikan kepentingan publik ini dengan itu sangat penting dilakukan khususnya dalam memperbaiki merosotnya kualitas demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu dan pengorganisasian politik demokrasi.

(17)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

demokrasi sangat diperlukan untuk mengisi kesenjangan politik ini. Sejauh ini, perkembangan demokrasi di Indonesia

masih senjang (lacking) dalam

pembentu-kan subjek-subjek baru tercerahpembentu-kan dan kelompok-kelompok maju berdemokrasi ini. Karena itu, pembentukan subjek politik demokratis dan pelembagaaanya dalam kehidupan sosial dan politikal dalam hal ini penting dilakukan untuk menjawab krisis

politik dan displacement atau dislokasi politik

sedang berlangsung.

Terbentuknya masyarakat demokratis merupakan idealisme politik muncul sejak reformasi politik bergulir pada tahun 1998. Sebuah model kelembagaan politik ideal diperlukan bagi agensi-agensi politik menjalankan fungsi politik merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen dalam bekerjanya kelembagaan politik demokratis. Kelembagaan politik seperti apa paling sesuai untuk bekerjanya agensi-agensi politik menjalankan fungsi merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen penting ditemukan. Tinjauan ulang atas pengem-bangan kelembagaan politik demokrasi dilakukan berlangsung selama ini dari berbagai sudut pandang dan perspektif serta varian demokrasi dalam hal ini penting dilakukan.

Menjawab persoalan ini, mari kita sejenak menengok kembali pelembagaan politik demokrasi berlangsung selama ini. Sentral di dalam pengembangan politik demokrasi adalah pembentukan subjek-subjek politik demokratis, baik aktor maupun agensi politik, dalam

menjalan-kan tindamenjalan-kan atau praktek politik (the

poli-tics) dan membangun kelembagaan

politik mengatasi konflik dan antagonis-me-antagonisme politik berlangsung di

masyarakat (the political) untuk mencapai

tertib atau order sosial (social) dalam

pengembangan masyarakat sipil dan beradab sebagai tujuan utama politik demokrasi (Mouffe, 1993). Bagaimana

menjalankan politik pemerintahan mampu mengatasi kehidupan masyarakat dalam dimensinya yang antagonistik dan

menciptakan tertib sosial atau social order

merupakan pertanyaan sentral dalam pembentukan dan pengembangan kelembagaan politik demokratis. Dengan kata lain, bagaimana governmentalitas (governmentality) dikembangkan dalam kehidupan masyarakat, dalam bekerjanya struktur-struktur dan relasi-relasi kekuasaan dan kelembagaan-kelem-bagaan politik dalam menjalankan otorisasi kebijakan politik mampu mengatasi konflik kepentingan menjadi pertanyaan kunci dalam pelembagaan politik demokrasi.

Kaitan dimensi politik dan sosial ini penting ditekankan, terutama untuk melihat bagaimana kelembagaan politik demokratis dibangun atau terbentuk

diatas jalinan saling diterminasi (

over-de-termination) ketiganya, dilihat dari berbagai sudut pandang perspektif demokrasi berkembang selama ini, mulai dari demokrasi liberal atau konstitusional atau agregatif dan demokrasi deliberatif atau konsensus dan demokrasi plural atau demokrasi radikal, untuk ditempatkan dalam perkembangan kelembagaan politik demokrasi Indonesia. Dari berbagi perspektif dan sudut pandang ini diharapkan kita akan menemukan model kelembagaan politik demokratis paling sesuai bisa dijadikan acuan bagi pengembangan kelembagaan politik demokratis di Indonesia.

Berbagai perspektif demokrasi sejauh ini memberikan cara pandang dan perspektif

tersendiri baik dalam dimensietiko-politiko

demokrasi, atau dalam hal bagaimana mewujudkan prinsip dan nilai demokrasi

kebebasan dan kesetaraan untuk semua (

(18)

etiko-politiko demokrasi tersebut. Paradok-paradok politik kita temukan dalam sistem demokrasi, terutama di dalam sistem demokrasi liberal dalam mewujudkan kedua prinsip nilai demokrasi tersebut; di satu sisi, dalam mewujudkan kebebasan mengikuti

bekerjanya logika perbedaan (difference logic)

menghasilkan perbedaan semakin tajam,

atau differensia specifica, sebagai konsekuensi

dari pengakuan dan penghargaan atas hak dan kebebasan setiap orang atau kelompok, yang cenderung menimbulkan eksklusi sosial, sehingga menimbulkan antagonisme semakin berkembang dalam masyarakat, dan, di sisi lain, dalam mewujudkan kesetaraan, mengikuti logika equalitas (equivalential logic) mendorong kebutuhan politik inklusif untuk mencapai unitas, kebersamaan dan solidaritas sosial dalam praktek dan kelembagaan politik untuk mencapai kepentingan bersama.

Bagaimana sistem demokrasi mengatasi paradoks dan ketegangan-ketegangan politik ini, antara politik eksklusi dan politik inklusi, sejauh ini telah melahirkan berbagai model kelembagaan dalam politik demokrasi. Pada tataran cara atau strategi, berbagai model kelembagaan demokrasi memberikan strategi atau cara tersendiri, dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing, bagaimana mengatasi eksklusi sosial dari bekerjanya logika perbedaan dalam mewujudkan kebebasan, dan mendorong inklusi melalui bekerjanya logika kesetaraan, terutama seperti dijalankan melalui strategi parataktikal (paratactical) dalam pembentukan kelembagaan politik demokrasi populist atau popular (Laclau, 2005).

Tentang berbagai model kelembagaan demokratis itu sendiri dalam konteks ini bisa diidentifikasi setidaknya terdapat tiga model dominan. Pertama, model kelembagaan agregatif liberal mengandalkan pada terbentuknya kelembagaan politik demokratis sebagai kontrak politik ditopang

hukum, konstitusionalisme dan prosedur politik, untuk mencapai kesepakatan diantara individu-individu politik rasional dalam mencapai kepentingan publik. Kedua, model demokrasi deliberatif mengandalkan pada tercapainya konsensus moral dari individu-individu politik rasional untuk tercapainya kepentingan publik. Ketiga, model demokrasi plural atau agonistik mengandalkan tercapainya kesepakatan politik melalui strategi parataktikal membangun jalinan strategis kepentingan dan artikulasi kelompok-kelompok kepentingan beragam dalam masyarakat dengan menghadirkan atau mengembangkan terbentuknya nodal point

atau signifikasi politik sebagai kekuatan

pengikat dalam pembentukan kelembagaan politik demokratis.

Berbagai model kelembagaan ini bisa dijadikan rujukan dalam pembaharuan dan revitalisasi kelembagaan politik demokrasi di Indonesia. Sejauhmana kelembagaan politik mampu mengatasi konflik dan antagonisme-antagonisme politik ber-kembang di masyarakat merupakan salah satu tekanan penting dilakukan. Sejalan dengan kebutuhan pembentukan agensi politik dan rekonstruksi politik mejadikan demokrasi di Indonesia lebih populis atau popular atau lebih mendekati representasi kepentingan publik atau konstituen atau rakyat, kelembagaan politik demokratis bersifat agonistik merupakan alternatif sangat menjanjikan bagi pembentukan politik agensi dalam menjalankan bekerjanya kelembagaan demokratis, terutama dalam menjalankan otorisasi kebijakan politik mampu merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen dan mengatasi konflik dan antagonisme politik berkembang di masyarakat.

(19)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

sesuatu hal yang sah atau legitimate dalam politik demokrasi, dan sekaligus menjalin kesetaraan untuk membangun solidaritas bersama mencapai kepentingan publik, merupakan ciri utama kelembagan politik agonistik. Kebebasan dengan segala konsekuensi mengakui dan menghargai perbedaan, di satu sisi, dan pentingnya membangun kesetaraan untuk menum-buhkan solidaritas bersama mencapai kepentingan publik, di sisi lain, merupakan inti demokrasi dan kelembagaan politik bersifat agonistik. Demokrasi dalam hal ini dijalankan oleh kelembagaan politik dengan menjadikan bekerjanya kebebasan dan kesetaraan sebagai prinsip sekaligus strategi

menemukan nodal poin, atau point de

capiton untuk mencapai kepentingan publik, atau bagaimana menjadikan penggunaan hak-hak individual dalam politik sebagai sesuatu yang baik untuk kepentinga publik, dan sebaliknya menjadikan sesuatu yang baik secara publik

sebagai hak politik setiap individual (right

to be good, good to be right), sehingga kelembagaan politik demokrasi mampu mengatasi konflik kepentingan dan antagonisme politik berkembang di masyarakat, merupakan tujuan sekaligus strategi pembentukan dan pengembangan kelembagaan politik penting dikem-bangkan dalam sistem demokrasi. Hal itu penting bukan hanya untuk mencegah kekerasan yang selalu menihilkan bekerjanya kelembagan politik demokrasi, tetapi juga untuk mendorong berlang-sungnya pelembagaan politik demokrasi.

Penutup

Paparan diatas menekankan penting-nya pembentukan subjek-subjek politik agensi merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen untuk mengisi kelembagaan politik dan revitalisasi kelembagaan demokrasi mengatasi krisis kelembagaan politik demokrasi berlangsung

sekarang. Praktek politik dan bekerjanya kelembagaan demokrasi selama ini menunjukkan krisis kelembagaan politik diwarnai dislokasi-dislokasi politik berlangsung dalam bekerjanya kelem-bagaan politik demokrasi. Berbagai kasus dislokasi keterwakilan kepentingan publik atau konstituen berlangsung di lembaga-lembaga demokrasi baik tubuh partai politik, lembaga Dewan maupun lembaga pemerintahan. Demikian itu sangat ironis terjadi di tengah-tengah optimisme banyak pihak kalangan terhadap pelembagaan demokrasi yang kini diharapkan telah memasuki masa konsolidasi demokrasi. Jauh dari telah mencapai konsolidasi, berbagai kasus dislokasi itu menunjukkan bahwa di balik itu krisis kelembagaan demokratis justru sedang berlangsung.

Dislokasi politik semacam itu semestinya tidak terjadi dalam sistem demokrasi. Karena, sebagaimana di tekankan di muka, sistem demokrasi bekerja secara inklusif tanpa eksklusi mengakui perbedaan pandangan politik

sebagai sesuatu hal yang sah (legitimate)

dalam demokrasi sebagai perwujudan etika-politik demokrasi, kebebasan dan

kesetaraan bagi semua (liberty and

equa-lity for all) dalam politik. Masih lemahnya pembentukan politik agensi dan kuatnya negasi-negasi terhadap kepentingan publik atau konstituen mencerminkan bahwa demokrasi di Indonesia masih belum menunjukkan arah perkembangan menuju demokrasi agonistik yang ideal. Sebaliknya, justru terjebak dalam proseduralisme dan teknokratisme kelembagaan politik sebagai akibat dari begitu dominan demokrasi prosedural berlangsung dalam praktek politik selama ini.

(20)

dengan sendirinya akan berlangsung ketika kontrak sosial dicapai sebagaimana diwujudkan dalam pembentukan hukum dan peraturan dipandang sebagai kehendak bersama kepentingan publik. Pengandaian ini problematik karena dengan mengejawantahkan kehendak bersama ke dalam hukum dan perun-dangan maka politik telah berubah bentuk menjadi sekumpulan prosedur hukum dan peraturan. Reinkarnasi politik ke dalam hukum dan peraturan itu menjadikan praktek politik dan kekuasaan telah kehilangan dimensinya yang penuh komunikatif dan kapasitasnya secara agonistik mengatasi dislokasi dan antagonisme politik berlangsung menjadi sekedar politik otoritatif menjalankan prosedur hukum dan peraturan.

Menguatnya proseduralisme dan teknokratisme dalam praktek demokrasi di Indonesia selama ini telah banyak mendistorsi berlangsungnya demokratisasi. Begitu kuatnya proseduralisme men-dominasi penyelenggaraan Pemilu, misalnya, menimbulkan pendangkalan-pendangkalan komunikasi politik dan kualitas demokrasi sehingga Pemilu banyak diwarnai proseduralisme dan politik uang. Proses Pemilu demikian selain mendegradasi kualitas demokrasi juga menghasilkan keterwakilan politik yang timpang. Akibat dari itu, aktor-aktor politik terpilih mewakili kepentingan publik atau konstituen menjadi tidak jelas sesungguhnya mereka mewakili subjek-subjek politik siapa dan kepentingan apa dari suara-suara diperoleh. Demikian pula sebaliknya, konstituen pun juga menjadi tidak jelas siapa-siapa saja sesungguhnya yang mewakili kepentingan mereka.

Teknokratisme dan proseduralisme politik ini menimbulkan krisis keterwakilan kepentingan publik atau konstituen tersendiri di tubuh lembaga-lembaga demokrasi, baik di tubuh partai politik,

lembaga Dewan maupun lembaga pemerintahan. Aktor-aktor terpilih dan agensi-agensi dalam hal ini sangat rentan kedudukannya merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen dan bersamaan dengan menguatnya pro-seduralisme politik itu lembaga-lembaga politik demokrasi berubah bentuk menjadi organisasi politik melayani kepentingan sendiri atau kelompoknya jauh dari politik agensi mewakili kepentingan publik atau konstituen. Pembentukan agensi politik dan pelembagaan demokrasi dengan demikian penting dilakukan dalam konteks ini untuk mengatasi krisis kelembagaan demokrasi bukan dengan cara penguatan kelem-bagaan dalam arti pengembangan kelembagaan organisasi teknokratis, tetapi lebih pada, mengikuti psikoanalis politik Jaques Lacan, bagaimana mengisi

kesenjangan-kesenjangan politik (political

lacks) ditimbulkan oleh dislokasi-dislokasi politik sedang berlangsung dengan menghadirkan subjek-subjek politik agensi mengisi kelembagan politik demokrasi dan memperbaiki kualitas kelembagaan politik representasi.

(21)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

politik kepartaian dan praktek politik penentuan kebijakan. Demikian itu penting dilakukan untuk pembaharuan politik demokrasi, mengatasi krisis politik dan sekaligus menumbuhkan demokrasi berpengharapan dan lebih menjajikan bagi perbaikan politik demokrasi.

Daftar Pustaka

Henk, Nordholt and Gerry van Klinken.

(2007). Politik Lokal di Indonesia.

Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor.

Lacan, Jacques. (1989). Ecrits: a Selection.

London: Routledge.

Laclau, Ernesto. (2005). On Populist Reason.

London: Verso.

Leffort, Claude. (1988). Democracy and

Po-litical Theory. London: Polity Press.

Pitkin, Hanna Fenichel. (1972). The Concept

of Representation. Berkeley: University of California Press.

Moffe, Chantal. (1993). The Return of the

Political. London: Verso.

Newman, Sul. (2005). Power and Politics in

Post-Structuralist Thought, New Theo-ries of the Political. London: Roulledge.

Sen, Amartya. (1999). Development as

Freedeom, New York: Anchor Book. Tornquist, Olle., Priyono, AE., Subono, Nur

Iman. (2004). Menjadikan Demokrasi

(22)

Governance and New Mode of Governing:

Indonesia as a Metaphor

Luqman nul Hakim

Universitas Gadjah Mada, Jl Sosio Yustisia Yogyakarta e-mail: aim.hakim@gmail.com

Abstract

Changes in global development policy orientation that put the community (society) rather than the state as its main target has been raised various debates about how to create a better society for development processes. This paper critically discuss the discourse of governance as an instrument of regulation in the new development model through some conceptual apparatus such as social capital, participation and deliberative democracy. Through a post-foundationalist approaches and studies of post-Suharto Indonesia, this paper examined the operation of governance discourse. The main thesis is that the ab-sence of the dimension of power in governance has ignored the political configuration and even failed to notice the various interests in society.

Key Words:

governance, new development; social capital; participation; deliberative democracy; power

Abstrak

Perubahan orientasi kebijakan pembangunan global yang menempatkan masyarakat (society), bukan lagi negara, sebagai target utamanya telah memunculkan berbagai perdebatan tentang bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih baik bagi proses-proses pembangunan. Paper ini secara kritis mendiskusikan wacana governance sebagai sebuah instrumen pengaturan dan pendisiplinan masyarakat dalam model pembangunan baru melalui beberapa aparatus konseptual seperti social capital, partisipasi, dan demokrasi deliberatif. Melalui pendekatan post-fondasionalis dan studi-studi Indonesia pasca-Suharto, paper ini memeriksa beroperasinya wacana governance. Tesis utamanya adalah bahwa absennya dimensi kekuasaan dalam governance telah mengabaikan konfigurasi politik dan bahkan gagal memperhatikan pelbagai kepentingan dalam masyarakat.

Kata Kunci:

pemerintahan, pembangunan baru; modal sosial; partisipasi; demokrasi deliberatif; kekuasaan

To say that ‘everything is political’ is to recognize the omnipresence of relations of force and their immanence to a political field.

Michel Foucault, The Archeology of Knowledge

(23)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

Introduction

Since the programs of deregulation, privatization and market reform—fre-quently labeled as neo-liberalism— faced any significant resistances and failures in most of developing countries, the interna-tional development agencies immediately changed their orientations in the 1990s. The World Bank, as a leading developmental in-stitution, initiated a new wave of policy that acknowledged the state as no longer a levia-than, but an enabler of networks and rela-tionships that foster economic competitive-ness (World Bank, 1991: 3). The society was consequently perceived as active partici-pants, instead of beneficaries, in the current development programs. Such orientation, known as governance, leads to be a newly political strategy to run sustainable develop-ment and to build democracy worldwide.

Governance has become the latest stage in development discourses (Abrahamsen, 2004; Hyden, 2006). The perspectives on de-velopment which previously focus on the programs of structural adjustment—or neo-liberal—need to be reconsidered. According to the World Bank, the efforts to reduce the state’s roles in economic fields are not solely an urgent agenda, but “that the political le-gitimacy and consensus is the prerequisite for the sustainable development” (World Bank, 1989: 60). Within this new discourse, democratization is not exclusively called for by the perspectives on human rights, but it also supposed to be an essential foundation for economic growth and sustainable welfare. In developing countries, the rise of gover-nance signals the apparent rupture with the previous development strategy that highly put economic growth as its target and even-tually subordinate democracy.

Unlike the classical perspectives on de-velopment that situate individual and social groups as objects or beneficiaries of develop-ment, the new orientation conceives them as the active forces to support development pro-cesses (Hadiz, 2010; Hadiz, 2003: 3). Gover-nance, therefore, leads to be an essential framework to manage society and social groups in order to ensure the operation of development and liberal markets. In result, not only has governance changed the archi-tecture of political institutions, but it has ef-fectively become a political discourse to dis-cipline society.

This paper seeks to provide a critical un-derstanding on governance as a new perspec-tive in ordering contemporary politics and society. It is not an empirical study on Indo-nesian politics, but an effort to reframe the various paradigms by which the post-Suharto Indonesian politics were explained. The fall of the New Order has been widely celebrated as the so-called “democratic tran-sition”, and governance then became a main-stream perspective to insist any reforms through democratization labels. Such opti-mism in establishing the more stable demo-cracy, however, has been eroded when the newly democracy arrangements were unable to create accountable and effective institu-tions and even failed to be the foundation of stable democracy and social welfare (Har-ris, et.al. 2004; Robison and Hadiz, 2004; Norholt and Klinken, 2007; McLeod and MacIntyre, 2007).

This paper will be divided into three parts. The first section discusses the convergence of governance and neo-institutionalism perspec-tive as dominant paradigms in the post-Suharto Indonesian politics. There was a gen-eral optimism, supported by the donor insti-It is an “anti-politics machine, depoliticizing everything it touches, everywhere whisking political realities out of sight, all the while performing, almost unnoticed…

(24)

tutions foremost, that democratic transition is merely a matter of creating an institutional format that enable to enforce democratization. Not surprisingly, the agenda to design the architecture of political institutions subse-quently grows to be the ultimate focus of such reforms. However, as revealed by various studies, the establishment of democratic in-stitutions did not simultaneously go hand in hand with the democratization processes.

Second, to elucidate how the discourse and politics of governance operate effectively for both ordering politics and disciplining society. In order to improve political partici-pation and to open up political arenas, go-vernance has adopted the idea of delibera-tive democracy—the ideology of an utopian dream on the establishment of public sphere by which common preferences and interests are possibly managed through consensus building. Furthermore, by exploiting civil society empowerment and social capital dis-courses, the projects of governance tend to build a certain type of society that are able to be technocratically controlled and to make it functional for supporting liberal markets. The last section investigates the fundamen-tal problems of the mainstream perspective in governance and its implications that have extremely neglected the political dimension and power relations in its epistemological foundations.

Governance and Neo-institutionalism

In the seminal publication, Sub-Saharan

Africa: From Crisis to Sustainable Development,

the World Bank had identified “poor gover-nance”— to refer the centrality of power, lack of respect on human rights, endemic corrup-tion, ineffective and unaccountable govern-ment institutions—as the ultimate sources of development failure in the Sub-Saharan Africa and developing countries in general (World Bank, 1989: 60). By imposing governance prin-ciple as “the manner in which political power is exercised in the management of a country’s

affairs”, the World Bank then adopted “good governance” doctrine as a new strategy for de-velopment management, particularly to build transparent and accountable institutions, rule of law, freedom of press, participation, as well as to establish the more pluralistic and legiti-mate political structures (World Bank, 1989: 61, 192).

Although there was no specific term of democracy, the various reports had obviously shown that liberal democracy was claimed to be the precondition for better economic development. Meanwhile, the governance discourse also emerged at the time when the Communist regimes collapsed that soon ex-claimed by Francis Fukuyama (1989) as “the end of history”. That is the thesis of “the end point of mankind’s ideological evolution and the universalization of western liberal democ-racy as the final form of human govern-ment” (Fukuyama, 1989: 4). Liberal democ-racy, therefore, is inevitably an assertion of Western values superiority, and governance then becomes the discursive instruments as new mode of interventions and reforms. In

the most cited work, Democracy in

Develop-ing Countries, Diamond, Linz and Lipset (1988: 1) also celebrate the triumph of lib-eral democracy as the zeitgeist of new glo-bal order within which “democracy is the ultimate model of government with the most accepted and appropriate ideological legiti-macy for the current world”.

The economic development reforms, ac-cording to the World Bank, are impossibly achieved without any concern on political reforms (World Bank, 1989: 14). The World Bank henceforth strongly supports the do-nor institutions to be more selective in deliv-ering their funds to the countries that highly commit to undertake political reforms. Such principles are then widely welcomed and fi-nancially supported by the international de-velopment agencies. In 1990, for instance, the US Agency for International Development

(25)

De-Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 15, Nomor 2, November 2011

mocracy Initiative “to support and consoli-date democracy as the principle to manage political system legitimately in the world” (cited via Abrahamsen, 2004: 56). The co-mmitment of United Kingdom has been ob-viously stated by the Prime Minister Dou-glas Hurd on June 1990, that the countries that concern to “pluralism, public account-ability, respect to rule of law and human rights, and market principles must be sup-ported”.

Besides these bilateral institutions, the support to governance campaign also de-rived from multilateral organizations. Some prominent organizations, such as the OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), decided their financial aids to exclusively support the countries that are will-ing to undertake various market reforms. The European Union (EU) has also asserted the urgency to assist the countries that are trying to establish the appropriate basis for develop-ment, including to set up effective and account-able political institutions and to improve demo-cratic legitimacy (Abrahamsen, 2004: 56-57).

By exploiting governance discourses, the donor institutions introduce any political con-ditions for aids that link their financial supports with the commitment to undertake reforms at the expense of the more pluralistic system in the recipient countries (Abrahamsen, 2004: 57). This new discourse is mostly typical in deve-lopment debates, since it narrates the poverty and development failures as a chain of what are absent in the developing countries, namely the lack of democracy and effective institutions. Through such strategies, therefore, they have political legitimacy to effectively intervene and discipline the developing countries (Escobar, 1995). Unlike the previous development ap-proaches at the time of Structural Adjustment Programs (SAPs) which utilized “policies” as an ultimate mechanism for transformation, the governance perspective focused prominently on the architectural change of political

institu-tions (Hyden, 2006; MacIntyre, 2003; Kjaer, 2004; March and Olson, 1995).

The fundamental consideration upon the institutional designs is a typical approach in governance debates (Hyden, 2006). Such thoughts, widely clustered as neo-institution-alism, which are predominantly adopted by donor institutions, particularly the World Bank, grew to be a mainstream orientations in the contemporary development policies (Stiglitz, 1998). The main argument is that institutions shall regulate behavior by structuring interac-tion. Unlike the old-institutionalist which fo-cused solely on the formal institutions, the neo-institutionalists expand the definition of insti-tutions to include their regulative and cogni-tive dimension.

Although the proponents of neo-institu-tionalist have different orientations, they generaly focus on the way interests, prefer-ences, capacities and identities of those who participate in governance processes are con-ditioned by the institutions they are embed-ded. The rational choice neo-institutionalists, Fritz Scharpf (1994) for instance, defines gov-ernance institutions as merely game struc-tures that govern behavior through the fram-ing of utilitarian rational choices. Meanwhile, the constructivist or sociological neo-isntitutionalists, as James G. March and Johan P. Olson (1995: 7), conceptualize gov-ernance institutions as relatively fixed uni-verse of meaning that condition the way ac-tors perceive themselves, other people and the rule-governed situations in which they are placed.

Gambar

Tabel 4.1. Elemen Berita tentang Kesigapan BPLSMenghadapi Musim Hujan
Gambar 4.a. Aktivitas Penguatan Tanggul
Tabel 4.4. Elemen Berita tentang Munculnyabubbles
Tabel 4.6. Elemen Berita Foto tentangRehabilitasi Jalur Kereta Api
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Ilmu Pendidikan3. Universitas

Uji Pengolahan Validitas Item Penguasaan Keterampilan Attending Instrumen yang disusun untuk mengungkap penguasaan mahasiswa terhadap keterampilan attending dibuat tiga

Untuk memperolehi keputusan akhir bagi mendapatkan perhubungan diantara ujian Proba JKR dan Ujian Penusukan Piawai, data-data yang telah dianalisis daripada ketiga-tiga tapak

Tujuan penelitian ini adalah i) mendeskripsikan struktur berpikir Rahvayana pada dwilogi novel Rahvayana; ii) mendeskripsikan relasi cara berpikir Rahvayana terhadap

Hal ini boleh dilihat apabila watak utama (watak Maxcimus, Sam dan Jack Dawson) di dalam kedua-dua filem ini yang semasa hidupnya telah ditindas, digambarkan memperolihi bantuan tuhan

pada Bank Pembangunan Daerah periode triwulan satu tahun 2009 sampai.. dengan triwulan empat tahun

Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap model pembelajaran inkuiri menunjukkan hasil yang positif bagi siswa, diantaranya yaitu penelitian Wahyudi (2013)

 Masjid Jami' Al-Muwahhidin yang berada di Komplek Madrasah ini adalah Masjid pertama yang didirikan di Desa Sidaharja (saat itu masih Dusun Sidaharja