• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Koping Lansia dalam Menghadapi Stres di Graha Residen Senior Karya Kasih Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mekanisme Koping Lansia dalam Menghadapi Stres di Graha Residen Senior Karya Kasih Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Lansia

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Lansia

Usia lanjut atau biasa dikenal dengan lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:1. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun; 2. Lanjut usia (elderly) =

antara 60 dan 74 tahun; 3. Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun; 4. Usia sangat tua (very old) = di atas 90 tahun.

Sedangkan, klasifikasi lansia menurut Depkes RI (2003 dalam Maryam dkk, 2008), yaitu sebagai berikut: 1. Pralansia, merupakan seseorang yang berusia 45-59 tahun; 2. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih; 3. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki masalah kesehatan; 4. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa; 5. Lansia yang tidak potensial, merupakan lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.

2.1.2. Teori Proses Menua

(2)

A. Teori Biologi

Teori biologi yaitu meliputi: a. Teori Genetik

Teori ini merupakan teori yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menetukan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri terkait dengan frekuensi mitosis. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel akan mengalami mutasi (Maryam dkk, 2008).

b. Teori rantai silang (cross link theory)

Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh sel-sel lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) yang sudah tua dan bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi sel pada proses menua (Maryam dkk, 2008).

c. Teori radikal bebas (free radical theory)

(3)

molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein.Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat melakukan regenerasi. Radikal bebas yang terdapat dilingkungan, yaitu:1. Asap kendaraan bermotor; 2. Asap rokok; 3. Zat pengawet makanan; 4. Radiasi; 5. Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.

d. Teori imunologi

Pada proses metabolisme tubuh, diproduksi suatu zat khusus. Zat tersebut tidak dapat ditahan oleh jaringan tubuh tertentu sehingga menjadi lemah.Sistem imun menjadi kurang efektif dalam mempertahankan diri, regulasi dan responsibilitas (Maryam dkk, 2008).

e. Teori fisiologis

Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stres, dan teori pemakaian dan perusakan(wear and tear theory). Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel

(4)

B. Teori Psikososial dan Sosiokultural

Proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat berhubungan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adapun yang termasuk dalam teori ini yaitu:

a. Teori intregitas ego

Teori ini mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dicapai dalam tiap tahap perkembangan.Tugas perkembangan terakhir merefleksikan kehidupan seseorang dan pencapaiannya.Hasil akhir dari penyelesaian konflik antara intregitas ego dan keputusasaan adalah kebebasan.

b. Teori stabilitas personal

Kepribadian seseorang terbentuk pada masa kanak-kanak dan tetap bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada usia tua bisa jadi mengindikasikan penyakit otak (Padila,2014).

c. Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement theory)

(5)

peran (loss of role); 2. hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship); 3.berkurangnya komitmen (reduced commitment to

social mores and values.

Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya (Cummings & Henry 1961 dalam Potter & Perry, 2010).

d. Teori aktivitas atau kegiatan

Teori ini menyatakan bahwa kesinambungan aktivitas yang dilakukan selama usia paruh baya akan mempengaruhi keberhasilan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial.Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin. Kualitas aktifitas menjadi hal yang lebih penting dibandingkan kuantitas aktifitas yang dilakukan (Padila, 2014).

e. Teori kontinuitas atau perkembangan (continuity theory)

(6)

usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Pengalaman hidup seseorang suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.

C. Teori Konsekuensi Fungsional

Teori ini mengatakan tentang konsekuensi fungsional usia lanjut yang berhubungan dengan perubahan-perubahan karena usia dan faktor risiko tambahan. Intervensi menjadi hal yang dibutuhkan, dimana dengan adanya intervensi membuat konsekuensi fungsional menjadi positif (Padila, 2014).

2.1.3. Perubahan yang Dialami Lansia

Menurut Potter & Perry(2010), perubahan yang dialami lansia dapat meliputi:

A. Perubahan Fisiologis

Perubahan fisiologis adalah perubahan secara fisik. Perubahan tersebut terdiri dari:

a. Sistem Integumen

(7)

bentuk yang tidak teratur (ireguler), halus dan berwarna cokelat (lentigo senilis) dan lesi seborrheicatau keratosis dalam bentuk ireguler, bulat,

cokelat dan berair. b. Sistem Respirasi

Setelah usia 55 tahun, kekuatan otot respirasi mulai berkurang (Beers, 2000 dalam Natsir & Muhith, 2011). Perubahan tulang belakang menyebabkan ekspansi paru berkurang. Perubahan yang umum ditemukan pada lansia yaitu penurunan refleks batuk, penurunan kapasitas vital paru karena pelebaran diameter dada antero-posterior, peningkatan kekakuan dinding dada, peningkatan infeksi saluran napas.

c. Sistem Kardiovaskular

Penurunan kekuatan kontraksi miokardium menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output).Penurunan menjadi lebih berat jika lansia mengalami kegelisahan, iritabilitas, penyakit, atau kesulitan beraktivitas.Hipertensi adalah masalah yang sering ditemukan pada lansia yang nantinya dapat menjadi risiko gagal jantung, gagal ginjal, penyakit jantung coroner, dan penyakit vaskular perifer. Denyut nadi perifer lansia akan lebih lemah pada ekstremitas bawah, sehingga lansia terkadang mengeluh kakinya terasa dingin, terutama pada malam hari.

d. Sistem Gastrointestinal dan Abdomen

(8)

meliputi perlambatan peristaltik dan perubahan sekresi, yang mengakibatkan lansia mengalami intoleransi pada makanan tertentu dan gangguan akibat pengosongan lambung yang lambat.Perubahan pada saluran gastrointestinal bawah menyebabkan konstipasi, distensi lambung dan intestinal karena gas (flatulens), atau diare.

d. Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi disebabkan oleh perubahan hormonal.Wanita umumnya mengalami penurunan produksi estrogen, degenerasi ovarium, atrofi vagina, uterus dan payudara. Menopause berhubungan dengan menurunnya respon ovarium terhadap hormon hipofise dan kadar estrogen dan progesteron. Pria tidak mengalami terhentinya fertilitas akibat penuaan yang mutlak, tetapi mengalami penurunan jumlah sperma, tentis mengecil, ereksi berkurang atau melambat.Penurunan aktivitas seksual biasanya disebabkan oleh penyakit, kematian pasangan seksual, berkurangnya sosialisasi, atau hilangnya minat seksual.

e. Sistem Muskuloskeletal

(9)

sebaliknya.Pria lansia dengan gizi yang buruk dan penurunan mobilitas juga berisiko mengalami demineralisasi tulang.

g. Sistem Perkemihan

Hipertrofi kelenjar prostat terkadang timbul pada pria lansia. Pembesaran prostat tersebut akan menekan leher kandung kemih, sehingga terjadi retensi urin, frekuensi, inkontinensia, dan infeksi saluran kemih. Wanita lansia terutama yang telah memliki anak, biasanya mengalami inkontinensia stres, yaitu pengeluaran urin involunter ysng terjadi ketika batuk, bersin atau mengangkat benda.Hal ini terjadi karena melemahnya otot perineum dan kandung kemih. Faktor resiko inkontinesia urin adalah usia, menopause, diabetes, histerektomi, stroke, dan obesitas.

h. Sistem Neurologis

Pada pertengahan dekade kedua, terjadi penurunan jumlah dan ukuran neuron pada sistem saraf, sehingga fungsi neurotransmiter berkurang.Refleks volunter menjadi lebih lambat dan individu kurang mampu merespons stimulus multipel.Lansia juga sering melaporkan perubahan kualitas dan kuantitas tidur.Keluhan meliputi kesulitan tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk kembali tidur setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang berlebihan.Fungsi sensori baik itu penglihatan, pendengaran, pengecapan, penghidung, maupun sentuhan sudah mengalami penurunan.

(10)

Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan sosial. Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan tingkat keparahannya. Faktor tersebut akan mempengaruhi kemampuan fungsional dan kesejahteraan seorang lansia. Lansia merasa sulit untuk menerima perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupannya, ada yang menyangkal dan terus mengharapkan penampilan yang sama tanpa mempedulikan usianya. Sebaliknya, beberapa lansia melebih-lebihkan kondisi dan membatasi kegiatannya.Lansia merasa takut dengan adanya penurunan fungsi.

Status fungsional lansia biasanya merujuk pada kemampuan dan perilaku yang aman dalam aktivitas harian (ADL).Perubahan yang mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau perburukan masalah kronis dengan perubahan fungsi (Kresevic dan Mezey, 2003).Contoh penyakit akut dengan gejala perubahan fungsi yaitu pneumonia, infeksi saluran kemih, dehidrasi, gangguan elektrolit dan delirium.Diabetes, penyakit kardiovaskular, atau penyakit paru-paru kronis merupakan contoh penyakit kronis dengan perubahan fungsi.

C. Perubahan Kognitif

(11)

a. Delirium

Delirium atau keadaan bingung akut adalah gangguan kognitif yang reversibel dan biasanya disebabkan oleh faktor fisiologis.Penyebabnya yaitu gangguan elektrolit, anoksia serebral, hipoglikemia, pengobatan, efek obat, tumor, hematoma subdural, infeksi serebrovaskular, infark, ataupun perdarahan serebrovaskular.Delirium juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti defisit sensorik, lingkungan yang asing, atau faktor psikososial seperti stres emosional dan nyeri.

b. Demensia

Demensia merupakan gangguan intelektual yang menghambat fungsi kerja dan sosial. Perubahan kognitif akan menurunkan kemampuan lansia untuk melakukan kegiatan harian. Demensia merupakan disfungsi serebral yang tidak reversibel dan bersifat progresif perlahan. Bolla dan Fille (2000) mendeskripsikan empat jenis demensia, yaitu penyakit Alzheimer (50%), penyakit Lewi Body (DLBD) (15 %), demensia frontal-temporal (15%), dan demensia vaskular (10 %). Penyebab lain seperti infeksi atau trauma masuk 10 % kasus lainnya.

c. Depresi

(12)

mengalami depresi. Stres pada lansia dan keluarganya akan bertambah saat demensia dan depresi terjadi bersamaan.

D. Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial selama prosses penuaan akan melibatkan proses transisi kehidupan dan kehilangan. Transisi hidup, yang mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan dan kemampuan fungsional, perubahan jaringan sosial, dan relokasi. Kehilangan yang umum bagi lansia biasanya berkisar pada kehilangan suatu hubungan akibat proses kematian.

2.2. Konsep Stres

2.2.1. Definisi Stres

(13)

2.2.2. Jenis Stres

Nasir & Muhith (2011) membagi stres menjadi dua, yaitu eustres dan distres.

a. Eustres

Eustres merupakan stres yang baik dan positif. Stres yang baik akan memberikan kesempatan untuk berkembang dan memaksa seseorang mencapai peforma yang lebih tinggi. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran dan bukan sebuah tekanan.Menurut Hans Selye (dalam Hidayat, 2009), eustres adalah respon stres ringan yang menimbulkan rasa bahagia, senang dan menantang, misalnya lulus dari ujian atau kondisi menghadapi pernikahan. b. Distres

Distres adalah stres yang bersifat negatif atau buruk. Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, respon yang negatif dan terdapat indikasi mengganggu integritas diri sehingga dapat diartikan sebagai ancaman. Distres dapat dipicu oleh sebuah tuntutan atau harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi.Distres dimaknai sebagai sebuah reaksi tubuh yang menyebabkan fungsi organ tubuh terganggu (Hawari 2001 dalam Nasir & Muhith, 2011). 2.2.3. Sumber Stres

(14)

a. Individu

Sumber stres dari dalam individu itu sendiri berkaitan dengan dengan adanya konflik. Konflik yang terjadi yaitu terdapat perbedaan antara keinginan dengan kenyataan, dan biasanya individu harus menentukan pilihan yang sama pentingnya, sehingga permasalahan yang dialami tidak mampu diatasi, misalnya melalui penyakit yang diderita dan penilaian suatu motivasi.

b. Keluarga

Stres yang bersumber dari keluarga dapat berupa adanya masalah atau perselisihan dengan anggota keluarga lainnya, masalah keuangan, inconsiderate behavior, atau tujuan yang bertolak belakang.Ada tiga hal

yang paling sering terjadi sebagai stresor dalam keluarga, yaitu bertambahnya anggota keluarga, perceraian dan adanya anggota keluarga yang sakit, cacat atau meninggal.

c. Komunitas dan lingkungan

(15)

2.2.4. Faktor Presipitasi Stres

Beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya stres (stresor) antara lain sebagai berikut ( Nasir& Muhith, 2011).

A. Faktor Fisik dan Biologis

Adapun yang termasuk dalam faktor fisik dan biologis, yaitu: a. Genetika

Kehamilan mempunyai kemungkinan kerentanan stres pada anak yang dilahirkan, seperti ibu hamil yang perokok, alkoholik dan penggunaan obat-obatan yang yang dilarang pada masa kehamilan, seperti: aspirin dan jenis obat-obatan analgetik.

b. Case History

Riwayat penyakit di masa lalu yang mempunyai efek psikologis di masa depan. Penyakit tersebut dapat berupa penyakit di masa kecil, seperti demam tinggi yang memengaruhi kerusakan gendang telinga, kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan organ atau bagian tubuh, patah tulang dan sebagainya.

c. Pengalaman Hidup

Hal ini mencakup pengalaman hidup serta case history yang terjadi pada individu dan memengaruhi perasaan individu.Remaja yang mengalami pengalaman hidup seperti keterlambatan pertumbuhan pada masa pubertas memengaruhi rasa percaya diri.

(16)

Istirahat yang cukup akan memberikan energi. Kebutuhan tidur akan memengaruhi konsentrasi, semangat dan gairah dalam melakukan aktivitas, seperti pekerjaan. Penderita insomnia mempunyai kerentanan terhadap stres yang lebih berat.

e. Diet

Diet yang berlebihan dapat mengakibatkan stres berat dan memungkinkan terjadi sindrom anoreksia.Penderita obesitas yang melakukan diet ketat berlebihan mempunyai risiko kematian yang tinggi. f. Postur Tubuh

Individu yang memiliki kelainan bentuk tubuh, cacat bawaan, dan penggunaan steroid dapat memicu terjadinya stres.Postur tubuh yang tidak sesuai dengan keinginan dapat menjadi stresor bagi beberapa individu. g. Penyakit

Penyakit anemia dapat membuat individu cepat merasa lelah sehingga dapat menimbulkan stres karena individu kurang dapat bekerja secara maksimal, begitu juga dengan penyakit lainnya.

B. Faktor Psikologis

Adapun yang termasuk dalam faktor psikologis, yaitu: a. Persepsi

(17)

b. Emosi

Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan membedakan setiap perasaan emosi sangat berpengaruh terhadap stres.Stres dan emosi mempunyai ikatan yang saling memengaruhi, seperti kecemasan, rasa bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut, sedih dan cemburu.

c. Situasi psikologis

Situasi yang memengaruhi berupa konflik, frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang memengaruhi penilaian yang memberikan ancaman bagi individu, misalnya tingkat kejahatan yang semakin meningkat akan memberikan rasa kecemasan atau stres.

d. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup merupakan keseluruhan kejadian yang memberikan pengaruh psikologis yang memungkinkan muncul stres bagi individu, berupa perubahan hidup, masa transisi (life passages) dan krisis kehidupan.

C. Faktor Lingkungan

Lingkungan dapat memengaruhi stres pada individu, seperti: a. Lingkungan Fisik

Kondisi atau kejadian yang dapat memicu stres yaitu bencana alam (disaster syndrome), seperti gempa bumi, topan, badai, kondisi cuaca (terlalu panas/dingin), kondisi lingkungan yang padat (over crowded), kemacetan, lingkungan yang kotor dan sebagainya.

(18)

Gangguan berasal dari virus atau bakteri, misalnya penderita alergi dapat menjadi stres bila lingkungan memicu alergi bila berada di dalamnya.

c. Lingkungan Sosial

Hubungan yang buruk dengan orang lain akan menjadi stresor bagi individu jika tidak dapat memperbaiki hubungannya.

2.2.5. Respon Stres

Taylor (1991, dalam Nasir & Muhith, 2011), menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai respon, yang dapat dilihat dalam berbagai aspek sebagai berikut:

a. Respon Fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi dan sistem pernapasan.

b. Respon Kognitif, dapat dilihat melalui terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran yang kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang dan pikiran yang tidak wajar.

c. Respon Emosi, dapat muncul menjadi sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah dan sebagainya.

d. Respon Tingkah Laku, dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan flight yaitu menghindari situasi yang menekan.

(19)

a. Adaptasi Fisiologis

Indikator fiologis dari stres bersifat objektif, tetapi hal ini tidak selalu teramati sepanjang waktu pada individu yang mengalami stres.Berikut ini adalah indikator dari stres fisiologis, yaitu kenaikan tekanan darah, peningkatan ketegangan di leher, bahu dan punggung, peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernapasan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara yang bernada tinggi, mual, muntah dan diare, perubahan nafsu makan, perubahan berat badan, perubahan frekuensi berkemih, dilatasi pupil dan gelisah, kesulitan untuk tidur, atau sering terbangun saat tidur.

b. Adaptasi Psikologis

(20)

c. Adaptasi Perkembangan

Stres yang berkepanjangan dapat memengaruhi kemampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan dan dapat mengarah pada krisis pendewasaan.Seseorang biasanya menghadapi tugas perkembangan dengan menunjukkan karakteristik dari tahap perkembangan, misalnya bayi yang diasuh dalam lingkungan yang responsif dan empati mampu mengembangkan harga diri yang sehat dan belajar respon koping adaptif yang sehat.

2.2.6. Stres pada Lansia

Lansia mengalami berbagai perubahan, seperti perubahan fisik, kognitif dan psikososial.Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres.Lansia dapat mengalami stres ketika berada di panti wreda.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indriana dkk. (2010), menunjukkan bahwa keseluruhan subyek, yakni 32 orang lansia yang diteliti di panti wreda Pucang Gading,Semarang, tergolong stres dengan alasan terdapat perubahan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan dalam perkumpulan keluarga, kematian pasangan atau anggota keluarga, perubahan dalam pilihan maupun kuantitas olahraga maupun rekreasi serta perubahan dalam status pekerjaan.Lansia merasa tidak siap terhadap perubahan-perubahan yang dialami.

(21)

untuk stres.Septiningsih dan Na’imah (2012) dalam penelitiannya tentang kesepian lansia, menyebutkan bahwa lansia yang tinggal di panti wreda mengalami kesepian, baik itu secara emosional, situasional maupun sosial.Lansia tersebut mampu beradaptasi terhadap respon stres karena kesepian, dimana hasil koping yang ditunjukkan bersifat positif.

Kondisi stres juga dapat memperburuk kondisi kesehatan.Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sulastri (2015) dalam penelitiannya tentang hubungan antara stres dan riwayat kontrol dengan kekambuhan hipertensi pada lansia, dimana semakin tinggi tingkat stres responden makasemakin sering tingkat kekambuhannya. Satu dari 23 orang lansia dengan tingkat stres ringan, mengalami kekambuhan penyakit hipertensi , sedangkan pada tingkat stres sedang terdapat 36 dari 41 orang lansia yang mengalami kekambuhan.

(22)

2.3. Konsep Koping

2.3.1. Definisi Koping

Menurut Lazarus (1985, dalam Nasir & Muhith, 2011), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Mekanisme koping adalah cara dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Nasir & Muhith, 2011).

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan koping yang efektif adalah koping yang untuk membantu seseorang menoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasai.

2.3.2. Jenis-Jenis Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme koping adaptif dan maladaptif (Nasir & Muhith, 2011).

A. Mekanisme Koping Adaptif

(23)

Menurut Bell (1977 dalam Rasmun, 2009), metode koping ini sama halnya dengan metode koping jangka panjang, dimana merupakan cara yang konstruktif dan efektif dalam menangani masalah psikologis dalam jangka waktu yang lama. Contohnya yaitu:

a. Berbicara dengan orang lain atau “curhat” (curah pendapat dari hati ke hati) dengan teman, keluarga atau profesi tentang masalah yang dihadapi. b. Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi.

c. Menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supra natural.

d. Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan/masalah. e. Membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi. f. Mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.

Nasir & Muhith (2011) menyebutkan bahwa mekanisme koping ini merupakan gaya koping yang positif dan mampu mendukung intregitas ego, yang terdiri dari:

a. Problem Solving

Problem solving merupakan sebuah usaha untuk memecahkan

masalah. Pemecahan masalah ini digunakan sebagai cara untuk menghindari tekanan atau beban psikologis akibat adanya stresor yang masuk dalam diri individu.

(24)

Utilizing Sosial Support merupakan upaya tindak lanjut dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi ketika masalah belum terselesaikan. Individu yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, seharusnya mencari dukungan dari orang lain yang dapat dipercaya dan mampu memberikan bantuan dalam bentuk masukan dan saran. Semakin banyak dukungan, maka semakin efektif upaya penyelesaian masalah.

c. Looking For Silver Lining

Kepelikan masalah yang dihadapi terkadang akan membawa kebuntuan dalam upaya menyelesaikan masalah. Sesulit dan sepelik apa pun masalah yang dihadapi, setidaknya manusia harus tetap berpikir positif dan mengambil hikmah dari masalah tersebut. Individu diharapkan mau menerima kenyataan ini sebagai sebuah ujian dan cobaan yang harus dihadapi tanpa menurunkan semangat dan motivasi untuk selalu berusaha menyelesaikan masalh.Tidak ada seorang pun yang terbebas dari masalah, karena dengan masalah manusia berpikir, bertindak dan berperilaku. B. Mekanisme Koping Maladaptif

Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.

(25)

contohnya adalah: 1. menggunakan alkohol atau obat-obatan; 2. melamun dan fantasi; 3. mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan; 4. tidak ragu, dan merasa yakin bahwa semua akan stabil; 5. banyak tidur; 6. banyak merokok; 7. menangis; 8. beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.

Nasir & Muhith (2011) menyebutkan bahwa mekanisme koping ini merupakan gaya koping negatif, yang akan menurunkan integritas ego, merusak dan merugikan diri sendiri. Terdiri dari :

a. Avoidance

Avoidancemerupakan bentuk dari proses internalisasi terhadap suatu

pemecahan masalah ke dalam alam bawah sadar dengan menghilangkan atau membebaskan diri dari suatu tekanan mental akibat masalah yang dihadapi. Individu akan berusaha menghindari atau lari dari masalah. Bentuk pelarian diri dapat berupa makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan dengan tujuan menghilangkan masalah untuk sesaat dan tidak menyelesaikan masalah.

b. Self-blame

Self-blamemerupakan bentuk ketidakberdayaan atas masalah yang

dihadapi dengan menyalahkan diri tanpa evaluasi diri yang optimal, sehingga menekan kreativitas dan ide yang berdampak pada penarikan diri dari struktur sosial.

(26)

Penentuan standar yang terlalu tinggi membuat seseorang terbuai dalam khayalan dan impian tanpa kehadiran fakta yang nyata.Kegagalan dalam mencapai tujuan yang diinginkan mengakibatkan kesedihan yang mendalam.Hal tersebut merupakan bentuk dari berduka difungsional dan dapat membuat seseorang mengalami gangguan jiwa.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Nasir & Muhith, 2011), dalam melakukan koping, ada dua strategi yang dapat dilakukan, yaitu:

A. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

Problem focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demands (keinginan) dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Strategi yang dipakai adalah sebagai berikut:

a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan secara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko.

b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

(27)

B. Emotion Focused Coping

Emotion Focused Coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul dari suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion Focused Coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan antara lain sebagai berikut:

a. Self-control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

b. Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi sesuatu atau menciptakan pandangan yang positif.

c. Positive reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

d. Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab dari permasalahan yang dihadapi dan mencoba menerima untuk membuat menjadi lebih baik.

(28)

2.3.3. Pengukuran Koping

Skala pengukuran koping dapat memggunakan The Revised Ways of Coping Checklist dan BriefCOPEscale.The Revised Ways of Coping

Checklist adalah sebuah skala yang telah direvisi dariWays of Coping

Checklist yang dikembangkan oleh Folkman dan Lazarus pada tahun1980.

Skala ini terdiri dari 66 item pernyataan, dengan pilihan jawaban 0= not used, 1= used somewhat, 2= used quite a bit, 3= used a great deal. Skala

tersebut menilai strategi koping yang digunakan untuk mengatasi situasi stres, seperti koping berfokus masalah dan koping berfokus emosi. Koping berfokus pada masalah meliputi confrontative coping,seeking social supportdanplanful problem solving. Koping berfokus pada emosi meliputi

self-control, distancing, positive reappraisalaccepting responsibilitydan

escape/avoidance.Skala ini digunakan Wardani untuk mengukur koping

lansia, dimana sebagian besar responden menggunakan koping yang berfokus pada emosi.

BriefCOPEscaledariCarver(dalamDavison&Neale, 2001) ini, menyatakanaspek-aspek kemampuan koping terhadap stres,yaitu koping yang berfokus masalah dan emosi. Koping yang berfokus masalah terdiri dari activecoping, planning,using instrumentalsupport, selfdistraction,behavioraldisengagement.Koping yang berfokus emosi

(29)

28 pertanyaan, dengan pilihan jawaban 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= sering, 4= selalu.

Brief COPE scaleini digunakan oleh Apriska (2016) dalam

penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat Kesepian Dengan Mekanisme Koping Lansia di Unit Pelayanan Lanjut Usia Wening Wardoyo Ungaran”. Pengukuran dilakukan dengan keterangan sebagai berikut:

a. Terdiri dari 14 item, masing-masing item ada 2 pertanyaan, jadi ada 28 pertanyaan untuk kuesioner ini.

b. Untuk menilai mekanisme koping yang digunakan, maka 14 item digolongkan menjadi 2 yaitu : mekanisme koping positif (active coping, acceptance, planning, positive reframing, use instrumental support, use

emotional support, humor, dan religion) dan mekanisme koping negatif

(behavioral disengagement, denial, venting, self distraction, self blame, dan substance use).

Referensi

Dokumen terkait

Sistem receiver dapat digunakan dalam sistem telekomunikasi dengan masukan sebesar 1Vrms, karena nilai Total Harmonic Distortion memenuhi nilai yang diijinkan

Zaky Siraj Hasibuan, 2012, Tinjauan Yuridis Penggunaan Klausula Eksonerasi Bagi Pengguna Jasa Perparkiran di Kota Medan , Skripsi, Medan, Fakultas Hukum, Universitas

Adapun pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 74/PUU- XII/2014 disebutkan bahwa terhadap frasa “Pejabat Lain” dalam Pasal 7 ayat (2)

Metode penulisan yang dipakai dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, bahan analisa di dalam penelitian ini adalah bahan skunder, Metode

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi

Untuk menguji coba Receiver RF Circuit Training System GRF-3300, digunakan beberapa alat yaitu Spectrum Analyzer, Oscilloscope, Distortion Meter dan Function

Metode penulisan yang dipakai dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, bahan analisa di dalam penelitian ini adalah bahan skunder, Metode

Cairan dan elektrolit merupakan kebutuhan dasar yang penting dalam..