• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Perawatan Luka Home Care di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelayanan Perawatan Luka Home Care di Kota Medan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka

2.1.1 Pengertian

Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau

organ tubuh lain (Kozier et all, 2004). Luka merupakan suatu keadaan terputusnya

kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh trauma, intentional/operasi,

ischemia/vaskuler, tekanan dan keganasan (Ekaputra, 2013).

2.1.2 Jenis Luka

Jenis luka berdasarkan anatomi kulit atau kedalamannya menurut National

Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) diklasifikasikan menjadi:

a. Stadium 1 : Luka dikatakan stadium 1 jika warna dasar luka merah dan hanya

melibatkan lapisan epidermis, epidermis masih utuh atau tanpa merusak

epidermis. Epidermis hanya mengalami perubahan warna kemerahan, hangat atau

dingin (tergantung pada penyebab), kulit melunak dan ada rasa nyeri atau gatal.

Contohnya adalah kulit yang terpapar matahari atau sunburn atau ketika kita

duduk pada satu posisi selama lebih dari dua jam, kemudian ada kemerahan di

gluteus (bokong).

b. Stadium 2 : Luka dikatakan stadium 2 jika warna dasar luka merah dan

melibatkan lapisan epidermis-dermis. Luka menyebabkan epidermis terpisah dari

dermis dan/atau mengenai sebagian dermis (partial-tickness). Umumnya

(2)

pada stadium ini adalah bula atau blister karena epidermis sudah terpisah dengan

dermis.

c. Stadium 3 : Luka dikatakan stadium 3 jika warna dasar luka merah dan lapisan

kulit mengalami kerusakan dan kehilangan lapisan epidermis, dermis, hingga

sebagian hipodermis (full-thickness). Umumnya kedalaman luka hingga 1 cm

(sesuai dengan lokasi luka pada tubuh bagian mana). Pada proses penyembuhan

luka, kulit akan membutuhkan lapisan-lapisan yang hilang (granulasi) sebelum

menutup (epitalisasi).

d. Stadium 4 : Luka dikatakan stadium 3 jika warna dasar luka merah dan lapisan

kulit mengalami kerusakan dan kehilangan lapisan epidermis, dermis, hingga

seluruh hipodermis, dan mencapai otot dan tulang (deep full-thickness).

Undermining (gua) dan sinus masuk ke dalam stadium 4.

e. Unstageable : Luka dikatakan tidak dapat ditentukan stadiumnya (unstagable)

jika dasar luka kuning atau hitam dan merupakan jaringan mati (nekrosis),

terutama jika jaringan nekrosis ฀ 50% berada di dasar luka. Dasar luka yang

nekrosis dapat dinilai stadiumnya setelah ditemukan dasar luka merah (granulasi)

dengan pembuluh darah yang baik.

Berdasarkan waktu dan lamanya, luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a. Akut : Luka akut adalah luka baru, terjadi mendadak dan penyembuhannya

sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Luka akut merupakan luka trauma yang

biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Contohnya

adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk. Luka operasi dapat dianggap sebagai

(3)

b. Kronik : Luka kronik adalah luka yang berlansung lama atau sering timbul

kembali (rekuren), terjadi karena gangguan pada proses penyembuhan yang

biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Luka kronik terjadi

pada luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak direspon baik

terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus

dekubitus, ulkus diabetik, ulkus vena dan luka bakar.

Berdasarkan luka operasi, luka dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Luka Operasi Bersih : Luka operasi bersih terjadi pada : (1) pembuatan luka /

operasi di daerah kulit yang pada kondisi pra bedah tanpa peradangan dan tidak

membuka traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, traktus orofaring, traktus

urinarius atau traktus bilier dan ; (2) pembuatan luka/operasi berencana dengan

penutupan kulit primer dengan atau tanpa pemakaian drain tertutup, misalnya:

luka pada daerah wajah, kepala, ektremitas atas atau bawah.

b. Luka Bersih terkontaminasi : Luka bersih terkontaminasi terjadi pada (1)

pembuatan luka/operasi dengan membuka traktus digestif, traktus bilier, traktus

urinarius, traktus respiratorius sampai dengan orofaring, traktus reproduksi

kecuali ovarium dan (2) pembuatan luka/operasi tanpa pencemaran nyata (gross

spilage). Contohya adalah operasi pada traktur bilier, apendiks, vagina atau

orovaring, laparotomi, trakeostomi, neprostmi.

c. Luka kotor/Kronik : Luka kotor/kronik terjadi pada (1) perforasi traktus

digestivus, dehiscein; (2) melewati daerah purulen; (3) luka bersih/akut terubuka

lebih dari 6 jam ; (4) hasil klinis atau swab menunjukkan adanya infeksi.

Berdasarkan warna dasar luka atau penampilan klinis luka, luka dapat

(4)

a. Hitam : Warna dasar luka hitam artinya jaringan nekrosis (mati) dengan

kecenderungan keras dan kering. Jaringan tidak mendapatkan vaskularisasi yang

baik dari tubuh sehingga mati. Luka dengan warna dasar hitam berisiko

mengalami deep tissue injury dengan lapisan epidermis masih terlihat utuh. Luka

terlihat kering namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat dan harus diangkat.

b. Kuning : Warna dasar luka kuning artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak

berbentuk seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut dengan

slough. Jaringan ini juga mengalami kegagalan vaskularisasi dalam tubuh dan

memiliki eksudat yang banyak hingga sangat banyak. Perlu dipahami bahwa

jaringan nekrosis manapun (hitam atau kuning) belum tentu mengalami infeksi

sehingga penting sekali bagi klinisi luka untuk melakukan pengkajian dengan

tepat. Pada beberapa kasus, kita akan menemukan beberapa slough yang keras

yang disebabkan oleh balutan yang tidak lembap.

c. Merah : Warna dasar luka merah artinya granulasi dengan vaskularisasi yang

baik dan memiliki kecenderungan mudah berdarah. Warna dasar merah menjadi

tujuan klinisi dalam perawatan luka hingga luka dapat menutup. Hati-hati dengan

luka dasar merah yang tidak cerah atau berwarna pucat karena kemungkinan ada

lapisan biofilim yang menutupi jaringan granulasi.

d. Pink : Warna dasar luka pink menunjukkan terjadinya proses epitalisasi dengan

baik menuju maturasi. Artinya luka sudah menutup, namun biasanya sangat rapuh

sehingga perlu untuk tetap dilindungi selama proses maturasi terjadi. Memberikan

(5)

Luka juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya, seperti:

a. Luka diabetes karena hiperglikemia

b. Luka tekan/dekubitus karena penekenan/gesekan/lipatan pada satu area dalam

kurun waktu tertentu

c. Luka kanker karena adanya keganasan pada kulit, baik sebagai keganasan

utama maupun metastasis dari keganasan lain.

d. Luka kaki bawah/lower leg ulcer (venous/arterial) karena gangguan pada

pembuluh darah arteri/vena

e. Luka kecelakaan, luka pasca-operasi, luka bakar.

2.1.3 Fase Penyembuhan Luka

Secara fisiologis, tubuh dapat memperbaiki kerusakan jaringan kulit (luka)

sendiri yang dikenal dengan penyembuhan luka. Proses perbaikan sel

(penyembuhan luka) bergantung pada kedalaman luka di kulit. Proses ini terjadi

secara sederhana yang diawali dengan pembersihan (debris) area luka,

pertumbuhan jaringan baru hingga permukaan datar, dan pada akhirnya luka

menutup. Penyembuhan luka terdiri dari tiga fase, yaitu:

a. Fase inflamasi : Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi

(hari ke- 0 sampai hari ke-3 atau ke-5). Pada fase ini terjadi dua kegiatan utama,

yaitu kegiatan vaskular dan respon inflamasi. Respon vaskular diawali dengan

respon homeostatik tubuh selama 5 detik pasca-luka (kapiler berkontraksi dan

trombosit keluar). Sekitar jaringan yang luka mengalami iskemia yang meransang

pelepasan histamin dan zat vasoaktif yang menyebabkan vasodilatasi, pelepasan

(6)

(meshwork). Lapisan fibrin ini membentuk scab (keropeng) di atas permukaan

luka untuk melindungi luka dari kontaminasi kuman.

Respon inflamasi merupakan reaksi non-spesifik tubuh dalam

mempertahankan atau memberi perlindungan terhadap benda asing yang masuk

ke dalam tubuh. Respon ini diawali dari semakin banyaknya aliran darah ke

sekitar luka yang menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat/demam,

ketidaknyamanan/nyeri, dan penurunan fungsi tubuh (tanda inflamasi). Tubuh

mengalami aktivitas bioselular dan biokimia, yaitu reaksi tubuh memperbaiki

kerusakan kulit, sel darah putih memberikan benda asing yang menempel

(makrofag), dikenal dengan proses debris (pembersihan).

b. Fase proliferasi : Terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-24 yang terdiri atas

proses detruktif (fase pembersihan), proses ploriferasi atau granulasi (pelepasan

sel-sel baru/pertumbuhan), dan epitalisasi (migrasi sel/penutupan). Pada fase

destruktif, sel polimorf dan makrofag membunuh bakteri jahat dan terjadi proses

deris (pembersihan) luka. Pada fase ini, makrofag juga berfungsi menstimulasi

fibroblas untuk menghasilkan kolagen (kekuatan sel berikatan) dan elastisin

(fleksibilitas sel) dan terjadi proses angiogenesis (pembentukan pembuluh darah).

Kolagen dan elastin yang dihasilkan menutupi luka dengan membentuk

matriks/ikatan jaringan baru. Proses ini dikenal juga dengan proses granulasi,

yaitu tumbuhnya sel-sel yang baru.

Luka yang tadinya memiliki kedalaman, permukaannya menjadi rata

dengan tepi luka. Epitalisasi terjadi setelah tumbuh jaringan granulasi dan dimulai

dari tepi luka yang mengalami proses migrasi membentuk lapisan tipis (warna

(7)

Sel mengalami kontraksi (pergeseran), tepi luka menyatu hingga ukuran luka

mengecil. Tidak menutup kemungkinan epitel tumbuh tanpa adanya jaringan

granulasi sehingga menutup tidak sempurna. Pada beberapa kasus, epiltel tumbuh

atau menutup dari tengah luka, bukan dari tepi luka. Hal ini terjadi karena setiap

individu memiliki aktivitas sel yang unik dan sedikit berbeda satu sama lain.

c. Fase remodeling atau maturasi : Fase ini merupakan fase yang terakhir dan

terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi mulai hari ke-21 hingga satu

atau dua tahun, yaitu fase penguatan kulit baru. Pada fase ini, terjadi sintesis

matriks ekstraseluler, degradasi sel, proses remodeling kolagen dan elastin pada

kulit. Kondisi yang umum terjadi pada fase ini adalah terasa gatal dan penonjolan

epitel (keloid) pada permukaan kulit. Dengan penanganan yang tepat, keloid dapat

ditekan pertumbuhannya, yaitu dengan memberikan penekanan pada area

kemungkinan terjadi keloid. Pada fase ini, kolagen bekerja lebih teratur dan lebih

memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap

gesekan atau tekanan sehingga membutuhkan perlindungan. Dengan memberikan

kondisi lembap yang seimbang pada bekas luka dapat melindungi dari risiko luka

baru. Kualitas kulit baru hanya kembali 80%, tidak sempurna seperti kulit

sebelumnya atau sebelum kejadian luka.

2.1.4 Tipe Penyembuhan Luka

Terdapat tiga macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini

dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang, yaitu:

a. Primary intention healing (penyembuhan luka primer) : Tipe penyembuhan ini

(8)

tidak ada. Tipe penyembuhan yang pertama ini dikarakteristikkan oleh

pembentukan minimal jaringan granulasi dan skar. Pada luka ini proses inflamasi

minimal karena kerusakan jaringan tidak luas. Epitelisasi biasanya timbul dalam

72 jam sehingga resiko infeksi lebih rendah. Jaringan granulasi yang terbentuk

hanya sedikit atau tidak terbentuk. Hal ini terjadi karena adanya migrasi tipe

jaringan yang sama dari kedua sisi luka yang akan memfasilitasi regenerasi

jaringan. Contoh dari penyembuhan luka primer adalah luka operasi atau luka

tusuk dengan alat tajam.

b. Secondary intention healing (penyembuhan luka sekunder) : Tipe ini

dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam

jumlah yang besar. Penyembuhan jaringan yang hilang ini akan melibatkan

granulasi jaringan. Pada penyembuhan luka sekunder, proses inflamasi dalam

keadaan signifikan. Seringkali terdapat lebih banyak debris dan jaringan nekrotik

dan periode fagositosit yang lebih lama. Hal ini menyebabkan resiko infeksi lebih

besar. Seringkali jaringan granulasi dibutuhkan untuk mengisi ruang luka dan sel

epitel tidak dapat menutup defek jaringan sehingga scar akan menutup permukaan

luka. Karena kontraksi jaringan scar yang terjadi menyebabkan deformitas. Waktu

yang dibutuhkan untuk pemulihan juga lebih lama dan jaringan scar yang

terbentuk lebih luas dan kemungkinan untuk infeksi lebih besar. Contoh dari

penyembuhan tipe ini adalah luka akibat tekanan (pressure ulcer).

c. Tertiary intention healing (penyembuhan luka tertiar) : Penyembuhan luka

tertiar merupakan penyembuhan luka yang terakhir. Sebuah luka diindikasikan

termasuk dalam tipe ini jika terdapat keterlambatan penyembuhan luka, contohnya

(9)

penyembuhan tertier akan memerlukan lebih banyak jaringan penyambung

(jaringan scar). Contohnya adalah luka abdomen yang dibiarkan terbuka karena

adanya drainage.

2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka

Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka ada 2 faktor utama,

yaitu:

a. Faktor umum : faktor umum yang mempegaruhi proses penyembuhan luka

dipengaruhi oleh perfusi dan oksigenasi jaringan, status nutrisi, penyakit, terapi

obat, kemoterapi dan radiasi, usia, stress fisik dan psokologis, immunosupresi,

obesitas, dan gangguan sensasi atau gerakan.

b. Faktor lokal : faktor lokal terdiri atas faktor praktek manajemen luka, hidrasi

luka, temperatur luka, tekanan dan gesekan, adanya benda asing dan luka infeksi.

2.2 Perawatan Luka

2.2.1 Defenisi Perawatan Luka

Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran

mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan

kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan,

mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan

pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase,

(10)

2.2.2 Tindakan Perawatan Luka

Ekaputra, 2013, membuat sebuah rumusan atau metode kerja yang praktis

dan komprehensif dalam perawatan luka dengan menggunakan rumusan urutan

huruf abjad A sampai E yang masing-masing sub pokok bahasan berjumlah 56754

yang digunakan untuk mempermudah dalam melakukan asuhan keperawataan

luka. Metode tersebut dinamakan Formula A to E (56754) dengan uraiannya

adalah :

a. Assessment (pengkajian) : Pengkajian adalah tahap awal dari proses perawatan

dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari

berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan

klien ( Iyer et al., 1996 dalam Ekaputra, 2013). Pengkajian yang dilakukan adalah:

(1) pengkajian kulit (skin assessment) berupa evaluasi integritas, temperatur,

tekstur dan adanya lesi pada kulit; (2) pengkajian holistik (holistic assessment)

dilakukan pada saat pasien masuk dan dengan mengalami perubahan kondisi.

Komponen pengkajian holistik diantaranya adalah pengkajian penyebab/tipe

kerusakan kulit, durasi/lama luka, fokus pengkajian luka, lokasi anatomi, luasnya

jaringan dan presentasi, tipe jaringan dasar luka.

b. Bandage/pemilihan dressing : Menurut Seaman, 2002, dressing yang ideal

adalah dressing yang mempertahankan lingkungan lembab pada luka, menyerap

eksudat dan mengangkat jaringan mati. Keseimbangan kelembapan merupakan

komponen kunci dalam penyembuhan luka (Jones, 2003 dalam Ekaputra, 2013).

Maka, konsep Modern Dressing yaitu Moist Dressing adalah perawatan luka yang

sesuai hingga saat ini. Moist dressing dimulai pada tahun 1962 oleh Dr. George

(11)

c. Care of wound/perawatan luka : perawatan luka terdiri dari: (1) Pencucian luka

dengan menggunakan cairan non toksis terhadap jaringan untuk membuang

jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebihan, sisa balutan yang digunakan dan

sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Pencucian luka merupakan aspek yang

paling mendasar dalam penanganan luka. Merupakan basis untuk proses

penyembuhan luka yang baik, karena luka akan sembuh dengan baik jika luka

dalam kondisi bersih. Teknik pencucian luka diantaranya adalah swabbing,

scrubbing, showering (irigasi), hydroterapi, whrirlpool dan bathing. Teknik yang

sering digunakan dan banyak riset yang mendukung adalah showering (irigasi),

whrirlpool dan bathing karena dengan teknik tekanan yang cukup dapat

menganggu bakteri yang berkolonisasi, mengurangi terjadinya trauma dan

menengah terjadinya infeksi silang ;

Perawatan luka berikutnya (2) Pemilihan dressing/topical therapy yang

bertujuan untuk melindungi luka dari trauma dan infeksi. Dalam kondisi lembab,

penyembuhan luka lebih cepat 50% dibandingkan dengan luka kering dan

mengalami peningkatan re-epitalisasi. Topikal terapi bisa diartikan sebagai

intervensi lokal pada luka untuk mengoptimalkan proses penyembuhan.

Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi fisiologis luka, yaitu

mempertahankan kelembapan, temperatur luka yang seesuai, keseimbangan Ph

dan mengurangi beban bakteri pada luka. Dalam pemilihan topikal terapi yang

digunakan pada luka, ada hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah dapat

mencegah dan mengatasi infeksi, dapat membersihkan luka, dapat mengangkat

(12)

kosong, dapat mengontrol bau, meminimalkan/menghilangkan nyeri dan mampu

melindungi kulit sekitar luka

Persiapan dasar luka (wound bed preparation) adalah perawatan luka yang

ketiga (3), merupakan tindakan mempersiapkan secara koordinasi melalui

pendekatan sistematik, yang dikhususkan untuk luka kronis yang tidak sembuh

(luka yang bermasalah). Perawatan luka terakhir (4) adalah penanganan luka,

sebelum kita melakukan penanganan luka terlebih dahulu kita harus memahami

alogaritma dari luka. Diawali dengan pengkajian luka, kemudian setelah

didiagnosa maka akan dikategorikan apakah masuk dalam luka jenis akut atau

kronik. Kemudian dilakukan peosedur penggatian luka.

d. Documentation : Kegiatan konsep pendokumentasian meliputi keterampilann

berkomunikasi, keterampilan mendokumentasikan proses perawatan dan

keterampilan dasar. Dengan tujuan untuk mengidentifikasi status kesehatan dan

luka pasien dalam rangka mencatat kebutuhan pasien, merencanakan,

melaksanakan tindakan perawatan dan mengevaluasi serta bertujuan untuk

penelitian, keuangan, hukum dan etika.

e. Evaluation : Dengan mengukur perkembangan pasien dalam mencapai suatu

tujuan, maka perawat dapat menentukan efektivitas tindakan. Di dalam proses

mengevaluasi perawatan luka, maka ada dua hal yang dievaluasi, yaitu evaluasi

penyembuhan luka dan evaluasi dressing.

Evaluasi proses penyembuhan luka termasuk pengkajian luka yang

digunakan setiap saat untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan

penyembuhan luka. Evaluasi dressing memperhatikan beberapa aspek yang perlu

(13)

pemakaian/aplikasi, efektivitas dan harga/cost. Tindakan evaluasi bertujuan

melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan terhadap tindakan yang

diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan.

Apakah perawat akan mengakhiri rencana tindakan keperawatan (pasien

telah mencapai tujuan yang ditetapkan), apakah perawat akan memodifikasi

rencana tindakan keperawatan (pasien mengalami kesulitan untuk mencapai

tujuan) atau apakah perawat meneruskan rencana tindakan perawatan (pasien

memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan) (Iyer et. al., 1996,

dalam Ekaputra, 2013).

2.3 Pelayanan Perawatan Luka

2.3.1 Defenisi Pelayanan Keperawatan

Pelayanan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau suatu kelompok

menawarkan pada kelompok/orang lain sesuatu yang pada dasarnya tidak

berwujud dan produksinya berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk

(Kottler, 2000 dalam Supranto, 2006). Pelayanan merupakan aktivitas, manfaat

atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, sehingga dapat dikatakan bahwa

pelayanan itu merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan dan menghasilkan

sesuatu yang tidak terwujud namun dapat dinikmati atau dirasakan (Tjiptono,

2004).

Pelayanan keperawatan (nursing service) adalah upaya untuk membantu

individu baik sakit maupun sehat, dari lahir sampai meninggal dalam bentuk

peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki (pasien) sehingga

(14)

(Handerson, 1996 dalam Ali, 2002). Pelayanan keperawatan yang diberikan

kepada pasien menimbulkan adanya interaksi antara perawat dan pasien, sehingga

perlu diperhatikan kualitas hubungan antara perawat dan pasien (Rahkmawati,

2009).

2.3.2 Syarat – Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan

Syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan menurut Azwar (1996) adalah:

a. Tersedia dan berkesinambungan. Pelayanan tersebut harus tersedia di

masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continous). Artinya

semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mudah

dicapai oleh masyarakat.

b. Dapat diterima dan wajar. Syarat pelayanan kesehatan yang baik adalah apa

yang dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta bersifat wajar

(appropriate). Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan

adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, kepercayaan masyarakat dan bersifat wajar.

c. Mudah dicapai. Pelayanan kesehatan yang baik harus mudah dicapai

(accessible) oleh masyarakat terutama dari sudut lokasi. Pengaturan sarana dalam

pencapaian lokasi menjadi sangat penting.

d. Mudah dijangkau. Pelayanan tersebut harus mudah dijangkau (affordable) oleh

masyarakat. Terjangkau dalam hal ini dilihat dari sudut jarak dan biaya. Maka

pelayanan kesehatan yang baik harus mengupayakan pendekatan sarana dan biaya

yang diharapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

e. Berkualitas. Pengertian kualitas (quality) yang dimaksud adalah menunjuk

(15)

disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan pihak lain tata

cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah

ditetapkan.

2.3.3 Mutu Pelayanan Kesehatan

2.3.3.1 Defenisi Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan

produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi

harapan (Goetsch dan Davis, 2002 dalam Azis, 2013). Mutu adalah tingkat

kesempurnaaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati dan juga

merupakan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Azwar, 1996

dalam Rakhmawati, 2009).

Mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat

kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan

kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata

penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan

kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar,

1996). Mutu pelayanan keperawatan merupakan suatu pelayanan

keperawatan yang komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang

diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga

maupun masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang

diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan

(16)

2.3.3.2 Dimensi Mutu Pelayanan (Keperawatan)

Pada penelitian yang dilakukan Parasuraman, Zeithaml, Beryy dan

Leonard (1998) dari 10 dimensi service quality yang dihasilkan dari

penelitian sebelumnya, ditemukan intisari dari kualitas pelayanan yang

dilebur menjadi lima dimensi dari service quality yang dikenal sebagai

SERVQUAL yaitu:

a. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam

menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan

kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan

sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi

jasa. Ini meliputi fasilitas fisik (gedung, ruangan, dan lainnya), teknologi

(peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan).

b. Reability, atau keandalan, yaitu kemampuan perusahaan untuk

memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan

terpercaya. Harus sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang

tepat waktu, pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi

tinggi.

c. Reponsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan perusahaan untuk

membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat

kepada pelanggan, dan dengan penyampaian informasi yang jelas.

d. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan,

kesopansantunan dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk

menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari

(17)

keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun

(courtesy).

e. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual

atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami

keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu

pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan

pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang

nyaman bagi pelanggan.

2.3.3.3 Indikator Penilaian Mutu Pelayanan Keperawatan

Depkes RI (2008) menetapkan indikator mutu pelayanan

keperawatan meliputi:

a. Keselamatan pasien. Pasien aman dari kejatuhan, dekubitus, kesalahan

pemberian obat dan cidera akibat restrain.

b. Perawatan diri. Kebersihan dan perawatan diri merupakan kebutuhan

dasar manusia yang harus terpenuhi agar tidak menimbulkan masalah lain,

misalnya penyakit kulit, rasa tidak nyaman, infeksi saluran kemih, dan

lain-lain.

c. Kepuasan pasien. Tingginya tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan

keperawatan tercapai, jika terpenuhinya kebutuhan pasien atau keluarga

terhadap pelayanan keperawatan yang diharapkan.

d. Kecemasan. Cemas adalah perasaan was-was, kuatir atau tidak nyaman

(18)

e. Kenyamanan. Rasa nyaman (comfort) adalah bebas dari rasa nyeri atau

nyeri terkontrol.

f. Pengetahuan. Kemampuan pasien mengetahui informasi tentang

penyakitnya, kondisi dan perawatan yang diterimanya. Indikator

pengetahuan terdiri dari pengetahuan tentang penyakitnya dan discharge

planning.

2.4 Home Care

2.4.1 Defenisi Home Care

Home care adalah komponen dari pelayan kesehatan yang disediakan

untuk individu dan keluarga ditempat tinggal mereka dengan tujuan

mempromosikan, mempertahankan, atau memaksimalkan level kemandirian serta

meminimalkan efek ketidakmampuan dan kesakitan termasuk di dalamnya

penyakitnya terminal. Defenisi ini menggabungkan komponen dari home care

yang meliputi pasien, keluarga, pemberian pelayanan yang professional

(multidisiplin) dan tujuannya, yaitu untuk membantu pasien kembali pada level

kesehatan optimum dan kemandirian (Bukit, 2008).

Departemen Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa home care adalah

pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan

kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk

meningkatkan, mempertahankan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan

(19)

2.4.2 Pemberi Pelayanan Home Care

Kolaborasi interdisiplin dibutuhkan dalam setting home health care. Tim

kesehatan yang sering bekerja sama dalam memberikan pelayanan home care

terdiri dari kelompok profesional kesehatan dan kelompok profesional non

kesehatan. Kelompok profesional kesehatan diantaranya adalah ners/perawat

profesional, dokter, fisioterapis, ahli terapi kerja, ahli terapi wicara, ahli gizi,

radiology, laboratorium, psikologis dan lain-lain. Kelompok profesional non

kesehatan diantaranya adalah pegawai sosial, pemuka agama, dan lain-lain.

Sedangkan kelompok non profesional diantaranya adalah nurse assistant,

pembantu yang menunggu untuk melayani kebutuhan/aktivitas sehari-hari/daily

living activities. Kelompok ini harus dibawah pengawasan dan petunjuk dari

perawat.

2.4.2.1 Perawat

Pelayanan kesehatan rumah dilakukan terhadap klien sesuai dengan

kebutuhannya oleh perawat profesional yang sudah dan masih terdaftar

memiliki izin praktek dengan kemampuan keterampilan asuhan keperawatan

klien di rumah. Berdasarkan Kepmenkes RI No. 1239/Meskes/SK/XI/2001

tentang registrasi dan praktik perawat bahwa “Praktik keperawatan

merupakan tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat

secara mandiri dan profesional melalui kerjasama bersifat kolaboratif

dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya sesuai ruang lingkup wewenang

dan tanggung jawab. Lingkup kewenangan perawat dalam praktik

keperawatan profesional terhadap klien individu, keluarga, kelompok

(20)

Asuhan keperawatan diberikan dengan menggunakan proses

keperawatan yang terdiri pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,

perencanan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan

yang dapat diterapkan pada asuhan keperawatan gerontik pada klien usia 60

tahun keatas yang mengalami proses penuaan dan masalahnya baik

ditatanan pelayanan kesehatan maupun di wilayah binaan di massyarakat

(asuhan keperawatan komunitas pada kelompok khusus). Dalam perawatan

kesehatan dirumah, perawat akan melakukan kunjungan rumah (home visite)

dan melakukan catatan perubahan dan evaluasi terhadap perkembangan

kesehatan klien.

Perawat dalam perawatan kesehatan rumah berupa koordinasi dan

pemberi asuhan keperawatan adalah sebagai (1) Koordinator; (2) Pemberi

pelayanan kesehatan dimana perawat memberikan perawatan lansung

kepada klien dan keluarganya; (3) Pendidik, perawat mengadakan

penyuluhan kesehatan dan mengajarkan cara perawatan secara mandiri; (4)

Pengelola, perawat mengelola pelayanan kesehatan/perawatan klien; (5)

Konselor, dengan memberikan konseling/ bimbingan kepada klien dan

keluarga berkaitan dengan masalah kesehatan klien; (6) Advocate (pembela

klien) yang melindunginya dalam pelayanan keperawatan; (7) Sebagai

peneliti untuk mengembangkan pelayanan keperawatan. Pada keadaan dan

kebutuhan tertentu perawat dapat berkoordinasi/berkolaborasi dengan

dokter untuk tindakan diluar kewenangan perawat, berupa pengobatan dan

tindak lanjut perawatan klien ataupun melakukan rujukan kepada profesi

(21)

2.4.2.2 Dokter

Program perawatan di rumah umumnya berada dibawah pengawasan

seorang dokter untuk memastikan masalah kesehatan klien. Dokter berperan

dalam memberikan informasi tentang diagnosa medis klien, test-diagnostik,

rencana pengobatan dan perawatan rumah, penentuan keterbatasan

kemampuan, upaya perawatan, pencegahan, lama perawatan, terapi fisik,

dan lain-lain. Bila diperlukan dilakukan kolaborasi dengan perawat, dimana

perawat yang melakukan kunjungan rumah harus mendapat izin dan

keterangan dari dokter yang bersangkutan sebagai penanggungjawab terapi

program. Program perawatan di rumah harus dilakukan follow up oleh

dokter tersebut minimal setelah 60 hari kerja, sehingga dapat disepakati

apakah program dilanjutkan atau tidak.

2.4.2.3 Speech Therapist

Speech therapist merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan

bagi klien dengan gangguan atau kesulitan dalam berbicara dan

berkomunikasi dengan tujuan untuk membantu klien agar dapat

mengoptimalkan fungsi-fungsi otot berbicara agar memiliki kemampuan

dalam berkomunikasi melalui latihan berbicara.

2.4.2.4 Fisioterapist

Program yang dilakukan adalah tindakan berfokus pada

pemeliharaan, pencegahan, dan pemulihan kondisi klien di rumah. Aktivitas

(22)

penguatan otot ekstremitas, pemulihan mobilitas fisik, latihan berjalan,

aktif-pasif, atau tindakan terapi postural drainase klien COPD. Latihan lain

berhubungan dengan penggunaan alat kesehatan tertentu, seperti; pemijatan,

stimulasi listrik saraf, terapi panas, air, dan penggunaan sinar ultraviolet.

Dalam hal ini ahli fisioterapi juga mempunyai kewajiban untuk

mengajarkan klien atau keluarganya tentang langkah-langkah dalam latihan

program yang diberikan.

2.4.2.5 Pekerja Sosial Medis

Pekerja sosial yang sudah mendapatkan training/pelatihan dapat

diperbantukan dalam perawatan klien dan keluarganya untuk jangka waktu

yang panjang, khususnya pada klien dengan penyakit kronis (long term

care). Pekerja sosial sangat berguna pada masa transisi dari peran perawatan

medis atau perawat kepada klien/keluarga.

Selain itu, pemberi pelayanan dalam home health care juga meliputi:

a. Perawat profesional dengan pendidikan minimal DIII, perawat spesialis,

perawat dengan sertifikat untuk melakukan tindakan tertentu, misalnya

kemoterapi atau resusitasi.

b. Perawat vokasional yang bekerja dibawah pengawasan perawat

profesional.

c. Home health aides, adalah pemberi perawatan yang terampil dan terlatih

yang bertugas sebagai asisten perawat, bekerja dibawah pengawasan

(23)

d. Pemberi terapi tambahan yang didalamnya mencakup terapi fisik, terapi

wicara, dan terapis okupasi.

e. Pemberi pelayanan sosial, yang bertugas mengidentifikasi kebutuhan

sosial pasien dan mengkaji hal-hal yang memungkinkan dapat dilakukan

pasien di masyarakat sosial.

Jenis pelayanan kesehatan di rumah dapat dilakukan oleh Pusat

Kesehatan masyarakat (Puskesmas), pelayanan kesehatan dibawah

koordinasi rumah sakit, pelayanan keperawatan hospice, pelayanan

kesehatan praktek mandiri atau berkelompok serta yayasan pelayanan sosial.

2.4.3 Kontrak dalam Home Health Care

Kontrak atau perjanjian antara yayasan/pemberi jasa layanan/agency

dengan klien dan keluarga merupakan aspek penting dalam melaksanakan

perawatan kesehatan di rumah. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan kontrak

adalah:

a. Persetujuan atau kesepakatan antara yayasan/agency dengan klien dan kelurga

tentang pelaksanaa dan perencanaan perawatan di rumah dan catatan medis.

Kontrak tersebut memperbolehkan klien dan keluarga untuk menyusun tujuan

sendiri ataupun membantu memecahkan masalah perawatan klien sesuai rencana

perawatan/pengobatan dokter dalam kesepakatan yang tercantum (yang dibuat).

b. Kontrak berhubungan lansung dengan proses keperawatan dan dapat

diselesaikan sesuai dengan tahapan proses keperawatan, yaitu; pengkajian,

(24)

evaluasi keperawatan. Dimana dalam setiap tindakan berkaitan dengan asuhan

keperawatan tersebut akan dilakukan atas persetujuan klien/keluarga.

c. Jika selama kunjungan atau perawatan di rumah ada kesesuaian kesepakatan

antara yayasan/pemberi jasa layanan/agency dengan klien dan keluarga, maka

kontrak tersebut dapat dilanjutkan pada kunjungan berikutnya, akan tetapi bila

tidak memungkinkan/tidak ada kesesuaian maka kontrak dapat ditinjau kembali.

d. Pembuatan kontrak dapat dilakukan secara nonformal (lisan) ataupun secara

formal (tulisan), tergantung dari persetujuan dan kesepakatan bersama kedua

belah pihak antara yayasan/pemberi jasa layanan/agency dengan klien dan

keluarga.

Kolaborasi interdisiplin ilmu atau profesi yang efektif dalam perawatan

kesehatan rumah akan memberikan kesinambungan pelayanan kesehatan yang

dapat memberikan kesadaran/kemandirian klien dan keluarga, sehingga program

perawatan dapat dilaksanakan secara komprehensif. Secara umum proses

kolaborasi untuk perawatan kesehatan rumah diawali dengan adanya rencana

pulang (discharge plan) dari rumah sakit. Perawat di rumah sakit mengidentifkasi

kebutuhan klien untuk perawatan di rumah, kemudian mengkoordinasikan tentang

perencanaan pulang atau discharge plan dengan dokter untuk diminta

persetujuannya. Kemudian dilanjutkan dengan koordinasi kepada yayasan/agency

terkait yang akan melakukan perwatan di rumah, khususnya pelayanan perawatan

yang diminta oleh dokter.

Dalam hal ini dapat berasal dari beragai disiplin ilmu (profesi kesehatan

(25)

akan menjelaskan tentang rencana program pengobatan, perawatan, prognosis

terapi dan biaya yang dibutuhkan kepada klien dan keluarganya.

Mekanisme dan legalisasi tanggung gugat serta pelaksanaan pemenuhan

kebutuhan klien/keluarga disesuaikan dengan kewenangan profesi masing-masing

dan ketentuan pemerintah yang berlaku. Untuk legalitas pelaksanaan perawatan

kesehatan rumah, maka persyaratan medicare harus dipenuhi, seperti; adanya

kontrak/perjanjian bersama, pendokumentasian pelayanan dan kolaborasi

interdisiplin tim, catatan perkembangan kesehatan klien, catatan koordinasi dan

kolaborasi dalam penyelenggaraan perawatan. Dalam hal ini, keberhasilan tim

kesehatan yang interdisiplin sangat tergantung dari banyak faktor diantaranya;

pengetahuan, sikap dan keterampilan serta kemampuan seorang praktisi yang

benar-benar berkompeten dan ahli dibidangnya.

2.4.4 Standar Praktek Perawatan Kesehatan di Rumah

Standar praktek perawatan kesehatan di rumah terdiri dari tujuh standar.

Standar tersebut diantaranya adalah:

a. Standar I, yaitu organisasi pelayanan kesehatan rumah. Semua pelayanan

kesehatan di rumah direncanakan, disusun, dan dipimpin oleh seorang

kepala/manajer perawat profesional yang telah dipersiapkan dengan kompetensi

dalam pemberian pelayanan/asuhan keperawatan dalam kesehatan masyarakat dan

termasuk proses administrasi dan pendokumentasian.

b. Standar II, yaitu teori. Perawat menetapkan konsep teoritis sebagai dasar

(26)

c. Standar III, yaitu pengumpulan data. Perawat secara terus-menerus

mengumpulkan dan mendokumentasikan data yang luas, akurat dan sistematis.

d. Standar IV, yaitu diagnosa. Perawat menggunakan data dari hasil observasi dan

penilaian kesehatan klien untuk menentukan diagosa keperawatan.

e. Standar V, yaitu perencanaan. Perawat mengembangkan rencana-rencana

tindakan guna menentukan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Rencana

didasarkan pada perumusan diagnosa keperawatan dan menggabungkan nilai-nilai

dalam upaya pencegahan penyakit, tindakan pengobatan/kuratif dan tindakan

rehabilitasi perawatan.

f. Standar VI, yaitu intervensi. Perawat dipedomani oleh intervensi keperawatan

untuk memberikan rasa kepuasan, memulihkan status kesehatan, memperbaiki dan

memajukan kesehatan serta mencegah komplikasi dan penyakit lanjutan yang

memerlukan tindakan rehabilitasi.

g. Standar VII, yaitu evaluasi. Perawat secara terus-menerus mengevaluasi respon

klien dan keluarga dalam penanganan guna menetapkan kemajuan terhadap hasil

yang telah dicapai dan meninjau kembali data dasar diagnosa perawatan dan

perencanaan yang telah disusun (ANA, 1986).

2.5 Aspek Legal Home Care

2.5.1 Hak dan Kewajiban Perawat

2.5.1.1 Hak Perawat

Hak adalah tuntutan terhadap sesuatu yang seseorang berhak, seperti

kekuasaan atau hak istimewa (Fagin, 1975 dalam Suhaemi, 2004).

(27)

dikategorikan sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan berhak mendapat

imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dengan

profesinya. Atas dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada

negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas diberikan

penghargaan kepada tenaga kesehatan. Bentuk perhargaaan dapat berupa

kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain. Tenaga kesehatan

mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan pelayanan

kesehatan dan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki

(Ekaputra, 2013).

Hak perawat berdasarkan peraturan menteri kesehatan nomor

148/2010 yang terdapat dalam pasal 11, dikatakan bahwa seorang perawat

mempunyai hak untuk; (1) Memperoleh perlindungan hukum dalam

melaksanakan praktik keperawatan sesuai standar; (2) Memperoleh

informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan/atau keluarganya; (3)

Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya; (4) Menerima imbalan

jasa profesi; (5) memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja

yang berkaitan dengan tugasnya (Ekaputra, 2013).

Menurut UU no 38 tahun 2014, dalam pasal 36 disebutkan bahwa

seorang perawat dalam melaksanakan praktik keperawatannya berhak; (1)

Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional dan

ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Memperoleh informasi yang

jelas dan jujur dari klien dan/atau keluarganya; (3) Menerima imbalan jasa

(28)

klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar

pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan

Peraturan Perundang-Undangan; (5) Memperoleh fasilitas kerja sesuai

dengan standar (Undang-Undang Republik Indonesia No 38/2014 tentang

Keperawatan).

2.5.1.2 Kewajiban Perawat

Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan atau

sesuatu hal yang harus dilaksanakan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2015). Dalam PP No. 32/1996 Pasal 22 ayat (1), dinyatakan bahwa bagi

tenaga kesehatan jenis tertentu, yaitu tenaga kesehatan yang berhubungan

lansung dengan pasien (misalnya dokter, dokter gigi, perawat) dalam

melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk; (1) Menghormati hak

pasien; (2) Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

(3) memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan; (4) Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan

dilakukan; (5) Membuat dan memelihara rekam medis. Artinya bahwa

kewajiban yang teradapat pada pasal 22 ayat 1 (1) PP No. 32/1996 berlaku

untuk tenaga perawat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 148/2010, kewajiban

perawat terdapat pada pasal 12 ayat (1), diantaranya adalah; (1)

Menghormati hak pasien; (2) Melakukan rujukan; (3) Menyimpan rahasia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (4) Memberikan informasi

(29)

Meminta persetujuan tindakan keperawatan yang dilakukan; (6) Melakukan

pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis; (7) mematuhi Standar.

Selain pasal 12 ayat (1), kewajiban perawat juga terdapat pada pasal 12 ayat

(3), yaitu perawat dalam menjalankan praktik wajib membantu program

pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Menurut UU no 38 tahun 2014, dalam pasal 40 disebutkan bahwa

seorang perawat dalam melaksanakan praktik keperawatannya

berkewajiban; (1) Melengkapi sarana dan prasarana pelayanan keperawatan

sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan

perundang-undangan; (2) Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kode etik,

standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar prosedur

operasional dan ketentuan perundang-undangan; (3) Merujuk klien yang

tidak dapat ditangani kepada perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih

tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya; (4)

Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar; (5)

Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas dan mudah

dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada klien dan/atau

keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya; (6) Melaksanakan

tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai

dengan kompetensi perawat; (7) Melaksanakan penugasan khusus yang

(30)

2.5.2 Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Perawat

2.5.2.1 Tanggung Jawab Perawat

Tanggung jawab merupakan keharusan seseorang sebagai mahluk

rasional dan bebas untuk tidak mengelak serta memberikan penjelasan

mengenai perbuatannya, secara retrosfektif dan prospektif. Tanggung jawab

sebagai kesiapan memberikan jawaban atas tindakan-tindakan yang sudah

dilakukan perawat pada masa lalu atau tindakan yang akan berakibat di

masa yang akan datang. Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang

dapat dipercaya dan terpercaya. Sebutan ini menunjukkan bahwa perawat

profesional menampilkan kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan perawat

dilaporkan secara jujur.

Tanggung jawab perawat menjadi 3 yaitu: (1) Tanggung jawab

utama terhadap Tuhannya; (2)Tanggung jawab terhadap pasien dan

masyarakat; (3) Tanggung jawab terhadap rekan kerja sejawat dan atasan.

Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya

khususnya selama melaksanakan tugas. Meskipun tidak dalam rangka tugas

atau tidak sedang melaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertanggung

jawab dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat. Perawat

memiliki peran dan fungsi yang sudah disepakati. Perawat sudah berjanji

dengan sumpah perawat bahwa ia senantiasa melaksanakan tugas-tugasnya.

Contoh bentuk tanggung jawab perawat; mengenal kondisi

pasiennya, memberikan perawatan, tanggung jawab dalam

mendokumentasikan, bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan

(31)

kadang-kadang ada pasien pulang paksa atau pulang tanpa pemberitahuan,

bertanggung jawab bila ada pasien tiba-tiba tensinya drop tanpa

sepengetahuan perawat. Dalam home care, perawat bertanggung jawab

terhadap kondisi pasien di rumah dan terhadap kemandirian pasien di

rumah.

Dalam pandangan etika keperawatan, perawat memiliki tanggung

jawab (responsibility) terhadap tugas-tugasnya terutama keharusan

memandang manusia sebagai makhluk yang utuh dan unik. Utuh artinya

memiliki kebutuhan dasar yang kompleks dan saling berkaitan antara

kebutuhan satu dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersifat khas

dan tidak bisa disamakan dengan individu lainnya sehingga memerlukan

pendekatan khusus kasus per kasus, karena pasien memiliki riwayat

kelahiran, riwayat masa anak, pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan,

pengalaman traumatik dan cita-cita yang berbeda. Kemampuan perawat

memahami riwayat hidup paien yang berbeda-beda dikenal dengan Abitily

to Know Life Span History dan kemampuan perawat dalam memandang

individu dalam rentang yang panjang dan berkelainan dikenal dengan

Holistic.

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawab perawat

terhadap rekan sejawat atau atasan, yaitu; (1) Membuat pencatatan yang

lengkap (pendokumentasian) tentang kapan melakukan tindakan

keperawatan, berapa kali, dimana dengan cara apa dan siapa yang

melakukan; (2) Mengajarkan pengetahuan perawat terhadap perawat lain

(32)

teguran bila rekan sejawat melakukan kesalahan atau menyalahi standar; (4)

Memberikan kesaksian di pengadilan tentang suatu kasus yang dialami

klien. Bila terjadi gugatan akibat kasus-kasus malpraktek seperti aborsi,

infeksi nosokomial, kesalahan diagnostik, kesalahan pemberian obat, over

dosis. Perawat berkewajiban untuk menjadi saksi dengan menyertakan

bukti-bukti yang memadai.

Tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi

tiga yaitu:

a. Tanggung jawab perdata. Dalam transaksi teraupetik, posisi tenaga

kesehatan dengan pasien adalah sederajat. Dengan posisi yang demikian ini

hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung gugat hukum. Gugatan

untuk meminta pertanggungjawaban kepada tenaga kesehatan bersumber

kepada dua dasar hukum yaitu berdasarkan wanprestasi (contractual

liability) sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUH Perdata dan

berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechamitigedaad) sesuai

dengan ketentuan pasal 1356 KUH Perdata.

b. Tanggung jawab Pidana. Hukum pidana menganut atas tiada pidana

tanpa kesalahan. Dalam pasal 2 KUHP disebutkan, “Ketentuan pidana

dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang

melakukan suatu delik di Indonesia”. Perumusan pasal ini menentukan

bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.

Sekalipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan pidana dalam

(33)

terdapat didalam yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan pembenar

dan pemaaf tersebut menghapus suatu tindakan pidana bagi tenaga

kesehatan.

c. Tanggung jawab adiministratif. Pada pasal 188 UU No.36 tahun 2009

tentang Kesehatan menyatakan bahwa menteri dapat mengambil tindakan

adminitratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan

yang melanggar ketentuan sesuai yang diatur dalam undang-undang ini.

Tindakan administratif dapat berupa peringatan secara tertulis dan

pencabutan izin sementara atau izin tetap.

2.5.2.1 Tanggung Gugat Perawat (Acountability)

Tanggung gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat

dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu terhadap

konsekuensi-konsekuensinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat

artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani

menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan

profesinya. Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan

yang dilakukannya (Kozier, 1995).

Tanggung gugat berarti dapat memberikan alasan atas tindakannya.

Seorang perawat bertanggung gugat atas dirinya sendiri, pasien, profesi,

atasan dan masyarakat. Jika dosis medikasi salah diberikan, perawat

bertanggung gugat pada pasien yang menerima medikasi tersebut, dokter

yang memprogramkan tindakan, perawat yang menetapkan standar perilaku

(34)

profesional. Untuk dapat melakukan tanggung gugat, perawat harus

bertindak menurut Kode Etik Profesional. Jika suatu kesalahan terjadi,

perawat melaporkannya dan memulai perawatan untuk mencegah trauma

lebih lanjut.

Tanggung gugat memicu evaluasi efektifitas perawat dalam praktik.

Tanggung gugat profesional memiliki tujuan untuk mengevaluasi praktisi

profesional baru dan mengkaji ulang yang telah ada, untuk mempertahankan

standar perawatan kesehatan, untuk memudahkan refkleksi pribadi,

pemikiran etis, dan pertumbuhan pribadi pada pihak profesional perawatan

kesehatan, dan untuk memberikan dasar pengambilan keputusan etis.

Untuk dapat bertanggung gugat, perawat melakukan praktik dalam

kode profesi. Tanggung gugat membutuhkan evaluasi kinerja perawat dalam

memberikan perawatan kesehatan. Joint Commission on Accreditation of

Healthcare Organization (JCAHO) telah merekomendasikan penetapan

standar pemberian asuhan keperawatan. Standar tersebut dikembangkan

oleh ahli klinis, memberikan struktur dasar dimana asuhan keperawatan

secara objektif diukur, tidak membatasi kebutuhan rencana perawatan

individu, bahkan perawat justru memasukkan standar tersebut ke dalam

rencana perawatan untuk setiap pasien. Tanggung gugat dapat dijamin dan

diukur lebih baik ketika kualitas perawatan telah ditetapkan. Sebagian besar

institusi menyadarkan panduan yang ditawarkan berdasarkan standar

(35)

2.6 Registrasi Praktik Mandiri Perawat

Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional kepada sistem

pasien yang diberikan secara manusiawi, komprehensif dan individualistik

berkesinambungan sejak pasien membutuhkan pelayanan sampai saat dimana

pasien mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif untuk diri sendiri

dan orang lain. Pelayanan keperawatan profesional hanya dapat diberikan oleh

tenaga keperawatan profesional yang telah memiliki izin dan kewenangan untuk

melakukan tindakan perawatan yang dibutuhkan oleh sistem pasien. Pengaturan

tindakan keperawatan diatur dalam suatu sistem regulasi keperawatan.

Sistem regulasi praktik keperawatan terjadi dalam suatu kontinum

restriktif sampai paling restriktif yaitu designasi atau rekognisi, registrasi,

sertifikasi dan lisensi. Designasi atau rekognisi merupakan proses pengakuan

terhadap seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan

mendapat ijazah. Proses regulasi praktik keperawatan ini harus selalu ditempuh

secara teratur oleh setiap orang yang memberikan pelayanan keperawatan kepada

sistem pasien. Demikian pula, apabila seseorang sudah lama tidak melakukan

praktik keperawatan maka seyogyanya sebelum perawat memberikan pelayanan

kepada pasien perawat harus menempuh proses pelatihan untuk meyakinkan

bahwa dalam konteks hukum perawat masih mampu melakukan pelayanan

keperawatan secara kompeten.

Keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang

kemudian diamandemenkan dengan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang

kesehatan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

(36)

Kesehatan, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239 Tahun 2001 tentang

Registrasi dan Praktik Perawat, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 148 tahun

2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 1796 tahun 2011 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan lebih

mengukuhkan perawat sebagai perawat di Indonesia. Kewenangan perawat dalam

menjalankan tugas profesi diatur dalam Permenkes No. 148/2010 sehingga

perawat mempunyai legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya.

Registrasi keperawatan merupakan proses administrasi yang harus

ditempuh oleh seseorang yang ingin melakukan pelayanan keperawatan kepada

orang lain sesuai dengan kemampuan atau kompetensi yang dimilikinya.

Kompetensi adalah kepemilikan kemampuan tertentu atau beberapa kemampuan

untuk memenuhi persyaratan ketika menjalankan suatu peran. Kompetensi ini

tidak dapat diterapkan apabila belum divalidasi dan diverifikasi oleh badan yang

berwewenang.

Perawat yang bermaksud untuk menjalankan praktik keperawatan baik

perorangan maupun kelompok, harus mengajukan permohonan kepada pejabat

yang berwenang, yang dalam hal ini adalah kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Permohonan

tersebut diterima atau ditolak harus disampaikan oleh pejabat yang berwenang

kepada pemohon selambatnya satu bulan sejak permohonan diterima.

Permohonan yang diterima harus segera diikuti pemberian Surat Izin Praktik

Keperawatan, sedangkan permohonan yang ditolak pejabat yang berwenang harus

memberikan alasan penolakan. Proses registrasi diawali ketika seorang telah

(37)

Registrasi perawat sebagaimana registrasi tenaga kesehatan yang lain

diatur melalui Permenkes No 1796 Tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga

Kesehatan. Permenkes No 1796 tersebut menjelaskan bahwa setiap tenaga

kesehatan yang akan menjalankan pekerjaanya wajib memiliki STR. Untuk

memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi) tenaga kesehatan wajib memiliki

ijazah dan sertifikat kompetensi yang didapat setelah lulus pendidikan dan uji

kompetensi. Sertifikat kompetensi tersebut didapatkan dari MTKI (Majelis

Tenaga Kesehatan Indonesia) yang berlaku selama 5 tahun. Sertifikat kompetensi

inilah yang menjadi dasar untuk mendapatkan STR.

Setelah perawat mendapatkan STR, maka perawat sudah dapat melakukan

praktik sebagai perawat. Namun begitu, perawat yang akan melakukan praktik

mandiri atau kelompok diluar institusi kesehatan wajib memiliki SIPP. Peraturan

tentang SIPP diatur secara terpisah melalui Permenkes No. 148 Tahun 2010

tentang izin dan penyelenggaraan Praktik Perawat.

2.6.1 Praktik Mandiri Perawat

Praktik mandiri perawat adalah praktik yang dilakukan oleh perawat itu

sendiri baik perorangan maupun kelompok. Permenkes No.148/2010 tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktik Perawat merupakan kekuatan Hukum bagi Perawat

yang membuka praktik mandiri perawat. Pada Permenkes tersebut juga disebutkan

bahwa perawat boleh membuka praktik mandiri perawat sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan didalamnya. Permenkes No.148/2010 lebih

(38)

Perawat yang akan melakukan praktik mandiri harus mempunyai lisensi

(izin praktik legal) yaitu suatu dokumen legal yang mengizinkan seseorang

individu untuk memberikan ketrampilan dan pengetahuan secara spesifik kepada

masyarakat dalam suatu juridiksi. Lisensi merupakan suatu kehormatan bukan

suatu hak. Lisensi ditujukan untuk praktik keperawatan profesional. Keperawatan

profesional merupakan bentuk praktik pelayanan keperawatan yang dilakukan

oleh perawat yang telah teregistrasi (tercatat). Prosedur mendapatkan lisensi

ditentukan oleh dewan/badan keperawatan sebagai bagian dari organisasi profesi

atau merupakan badan mandiri contohnya konsil keperawatan. Badan ini

menetapkan mekanisme yang harus ditempuh oleh seorang perawat untuk

mendapatkan lisensi.

Selain tanda kelulusan dari instansi pendidikan terakreditasi, badan

tersebut juga menetapkan individu yang mengajukan lisensi harus menyertakan

rekomendasi individual atau institusional yang menyatakan mengenal individu

tersebut dan mengetahui benar tentang kemampuan fisik (teknikal), psikologis dan

sosial (interpersonal) serta intelektual yang diperlukan individu untuk melakukan

praktik keperawatan secara kompeten.

Pada Permenkes No.148/2010 Pasal 2 disebutkan perawat dapat membuka

praktik mandiri. Lebih lanjut, perawat yang menjalankan praktik mandiri

berpendidikan minimal DIII Keperawatan. Pada pasal 3 dijelaskan bahwa perawat

yang menjelaskan praktik mandiri wajib memiliki SIPP. Pada pasal 6 disebutkan

bahwa dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama

praktik keperawatan. Pasal 10 ayat (1) juga menyebutkan bahwa dalam keadaan

(39)

tempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar

kewenangan.

Pasal tersebut lebih ditekankan bahwa ditempat kejadian tidak ada dokter,

maka perawat berhak melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya

untuk penyelamatan nyawa pasien dalam keadaan darurat. Dan pasa Pasal 10 ayat

(2) dijelaskan bahwa bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak

memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan

pelayanan kesehatan di luar kewenangan. Pasal 10 ayat (2) ini dapat dijadikan

landasan hukum bagi perawat yang melaksanakan praktik mandiri untuk

melakukan pengobatan medis di daerah tertentu selama daerah tersebut belum

memiliki dokter.

Meskipun demikian, pengobatan medis yang dilakukan perawat harus

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yaitu harus mempertimbangkan

kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk dirujuk. Selain itu,

daerah dimana perawat berhak melakukan pengobatan medis harus ditetapkan

oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Namun perlu diketahui bagi

perawat, bahwa apabila daerah tersebut telah memiliki doter maka gugur

wewenang untuk melakukan pengobatan medis. Hal ini sesuai dengan Permenkes

No.148/2010 Pasal 10 ayat (5), yang menyatakan bahwa dalam hal ini daerah

tersebut telah terdapat dokter, kewenangan perawat untuk melakukan pengobatan

medis tidak berlaku. Untuk itulah, perawat hendaknya lebih berhati-hati apabila

akan melakukan tindakan medis.

Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIP dan SIPP dapat

(40)

perawat sudah menyalahgunakan wewenangnya, maka izin praktik mandiri bisa

dicabut. Menurut Nurchman, 2000 dalam Triwibowo, 2012, alasan pencabutan

lisensi biasanya pada individu perawat yang telah menyalahgunakan wewenang,

gagal mempertahankan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan ketentuan

tahun/periode praktik keperawatan, menjadi tertuduh dalam tindak kriminal dan

melakukan tindakan tidak profesional.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan teori Kuantitas Uang dari Milton Friedman bahwa hubungan antara IHK dan permintaan uang adalah positif, selanjutnya didukung dengan nilai t-statistik

Thứ hai, nhấp chuột vào mỗi thiết bị với công cụ "Select" để hiển thị cửa sổ cấu hình thiết bị, trong đó có thể cấu hình trực tiếp cho thiết bị.. Thứ

Melihat kenyataan tersebut di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab rendahnya partisipasi siswa sehingga prestasi belajar siswa juga rendah,

adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menerapkan Pola

(Seratus empat puluh satu juta lima ratus tiga puluh delapan ribu rupiah) yang dibiayai Anggaran PNBP Tahun Anggaran 2013, dengan ini diumumkan bahwa sebagai Penyedia

13.30 wib., Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Presiden Bidang Pengelolaan Istana I (Jamuan dan Tata Graha), telah mengadakan Rapat Pemberian Penjelasan

(Seratus empat puluh dua juta seratus sembilan belas ribu rupiah) yang dibiayai Anggaran PNBP Tahun Anggaran 2013, dengan ini diumumkan bahwa sebagai Penyedia Jasa untuk

Muhammad Fathurrohman, Budaya Religius dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan , (Yogyakata: Kalimedia.. religius yang tertanam dalam dirinya, maka anak didik secara otomatis akan