• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan

secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu lain

(Candra & Ibung, 2008). Bentuk kekerasan ini dapat memberikan dampak buruk

terhadap berbagai aspek kepribadian individu yang mengalaminya. Lebih lanjut,

Engel (2002) mengemukakan kekerasan emosi sebagai bentuk dari setiap perilaku

tanpa ada sentuhan fisik yang dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol,

mengintimidasi, menundukkan, merendahkan martabat, menghukum, atau

mengisolasi orang lain dengan menggunakan penurunan status, penghinaan, atau

ketakutan orang lain. Kekerasan emosi tidak hanya ditunjukkan dengan perilaku

negatif melainkan juga dengan sikap negatif yang ditampilkan individu terhadap

individu lain. Kekerasan emosi juga digambarkan sebagai bentuk cuci otak

dengan menghilangkan kenyamanan individu yang mengalami kekerasan emosi,

perasaan keberhargaan, kepercayaan, dan konsep diri secara perlahan.

Daniels-Lake (2010) juga menyatakan bahwa kekerasan emosi merupakan

segala hal yang berkaitan untuk menundukkan atau mengekspos seseorang

dengan perilaku yang merugikan orang tersebut secara emosi maupun psikologis.

Jantz & McMurray (2013) mengemukakan kekerasan emosi sebagai pola

(2)

periode waktu tertentu dan biasanya cukup lama. Kekerasan emosi dapat

dilakukan secara sengaja untuk mengubah pandangan individu yang mengalami

kekerasan emosi dengan tujuan untuk mengontrol individu tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

kekerasan emosi merupakan setiap bentuk perlakuan tidak adil kepada individu

lain yang dilakukan oleh orang yang sama secara sengaja dengan tujuan untuk

mengontrol, mengintimidasi, dan mengisolasi individu tersebut secara terus

menerus dalam jangka waktu tertentu.

2. Bentuk Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi tidak hanya dilihat dalam bentuk verbal atau perkataan

melainkan juga dalam beberapa bentuk lainnya dengan berbagai tingkatan.

Daniels-Lake (2010) mengemukakan beberapa bentuk kekerasan emosi yang

dapat dilakukan dalam lingkungan sehari-hari, yaitu:

a. Pengharapan yang salah

Bentuk kekerasan emosi dilakukan dengan mengharapkan segala sesuatu

yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Sebaik apapun hasil kerja

individu yang mengalami kekerasan emosi, pada akhirnya pelaku kekerasan

emosi juga tidak menunjukkan kepuasan terhadap hasil tersebut.

b. Menciptakan konflik dan krisis secara terus menerus

Bentuk kekerasan emosi lain juga dilakukan oleh individu yang sengaja

memulai pertengkaran, menciptakan masalah, dan berkonflik dengan orang

(3)

menyadari bahwa mereka melakukan kekerasan emosi tetapi dampak dari

perilaku ini tetap dirasakan oleh individu yang mengalaminya.

c. Pemerasan emosi

Bentuk pemerasan emosi dilakukan secara sadar maupun tidak sadar dengan

memaksa orang lain untuk mengikuti kehendak individu yang melakukan

kekerasan emosi dengan cara memanipulasi perasaan takut, rasa bersalah, dan

lain sebagainya dari individu yang mengalami pemaksaan. Hal yang menjadi

fokus dalam tindakan ini adalah pemerasan emosi dilakukan sebagai bentuk

kontrol atau dominasi.

d. Perilaku agresi

Perilaku agresi yang ditunjukkan dalam kekerasan emosi biasanya dilakukan

secara langsung dan mudah dilihat. Perilaku ini termasuk memberi label

nama, menyalahkan tanpa sebab, dan mengancam.

e. Perilaku merendahkan

Kekerasan emosi juga dapat dilakukan dalam bentuk kritikan yang diberikan

secara terus menerus dan dapat terlihat seperti menyalahkan individu lain.

Beberapa individu yang menunjukkan perilaku ini terlihat seperti ingin

membantu individu lain. Namun, jika kritik diberikan secara terus menerus

dan tidak untuk membangun, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai

bentuk kekerasan emosi yang digunakan untuk mengontrol individu lain.

f. Penyangkalan

Penyangkalan dapat berupa penolakan dari lingkungan sekitar atau lebih

(4)

dapat terjadi ketika seorang menyangkal suatu kejadian yang diyakini

individu lain sudah terjadi. Penyangkalan secara langsung dapat berpengaruh

terhadap harga diri individu yang mengalaminya. Lebih jauh lagi, individu

tersebut dapat mempertanyakan realita dalam hidupnya karena penyangkalan

yang dialami akan membuat individu tersebut meragukan persepsi,

pengalaman, atau pemikirannya sendiri.

g. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk dari penolakan termasuk menolak

untuk mendengarkan, menolak untuk berkomunikasi, dan menarik diri secara

emosi. Bentuk yang paling sering terlihat dari kekerasan emosi ini adalah

mendiamkan orang lain. Tindakan ini sering digunakan untuk mengontrol

individu lain yang mengalami kekerasan emosi ini.

h. Penghapusan

Kekerasan emosi ini dapat dilihat dalam bentuk menolak, menghakimi,

mengolok, dan mengurangi perasaan atau pengalaman orang lain, serta

tindakan yang bertujuan untuk mengontrol perasaan atau durasi waktu

perasaan dapat muncul. Hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa bahwa

ia memiliki kegilaan atau kondisi mental yang buruk ketika sebenarnya ia

memiliki mental yang sehat.

i. Perilaku mendominasi

Perilaku mendominasi biasanya terlihat dalam suatu hubungan ketika

seseorang selalu mencoba untuk mengontrol perilaku dan pemikiran individu

(5)

Ketika seorang individu didominasi oleh individu lain, ia akan kehilangan

rasa hormat pada dirinya sendiri dan biasanya berlangsung dalam periode

yang panjang. Hal ini dapat membuat individu tersebut memiliki perasaan

tidak berharga karena kontrol yang selama ini terjadi membuatnya merasa

bahwa ia tidak dapat menghadapi hidupnya.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi dapat terjadi tanpa disadari baik olrh individu yang

melakukan kekerasan maupun individu yang mengalami kekerasan tersebut.

Beberapa hal yang menyebabkan seorang melakukan kekerasan emosi, antara

lain: (Einarsen, Hoel, Zapf, & Cooper, 2003; Susilowati, 2008)

a. Pernah mengalami kekerasan emosi

b. Memiliki persepsi bahwa efek dari kekerasan emosi tidak akan terlihat di

lingkungan

c. Ingin menjaga citra diri terutama pada lingkungan yanfg menanamkan budaya

hirarki

d. Ingin mengontrol lingkungan

e. Adanya media sosial yang menunjukkan kekerasan emosi dalam lingkungan

4. Dampak Kekerasan Emosi

Menurut Jantz & McMurray (2009) kekerasan emosi yang berlangsung dalam

periode yang cukup lama dapat menjadi pengalaman traumatis yang tidak

terselesaikan. Pengalaman kekerasan emosi yang dialami individu dapat

bervariasi dan menyerang aspek kepribadian. Oleh karena itu, dapak yang

(6)

hubungan, berbagai bentuk kecemasan, gangguan tidur, kesulitan dalam proses

belajar, gangguan makan. Tingkat keparahan yang dialami akibat pengalaman

kekerasan emosi tergantung dari bentuk kekerasan emosi dan durasi terjadinya

pengalaman tersebut (McCluskey & Hooper, 2000).

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Gimpel & Holland (2003) yang

menyatakan bahwa kekerasan emosi dapat berdampak pada kondisi psikolohis

individu yang mengalaminya seperti perilaku kasar dan agresi, depresi, kegagalan

dalam membentuk herga diri, mencari penerimaan orang lain secara berlebihan,

takut akan penolakanm tidak mampu dalam membuat keputusan, bahkan mampu

melakukan kekerasan verbal pada orang lain.

Individu yang baru saja mengalami kekerasan emosi biasanya menunjukkan

perasaan tidak berdaya, merasa bersalah, sendirian, ditolak, rendah diri, dan

menghindar dari hubungan sosial (Jantz & McMurray, 2009).

B. PENERIMAAN DIRI 1. Pengertian Penerimaan Diri

Ciri utama dari individu yang sehat secara mental yaitu mampu memiliki

penerimaan diri yang baik (Petranto, 2005; Widyarini, 2009). Menurut Hurlock

(1974), penerimaan diri dapat dilihat dari sejauh mana seorang ondividu mampu

menyadari karakteristik kepribadian yang dimilikinya dan bersedia untuk hidup

dengan karakteristik tersebut. Lebih lanjut, Widyarini (2009) mengemukakan

(7)

keberadaaan dirnya baik dari sisi kelebihan maupun kekurangannya dan tidak

menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut.

Individu yang menerima dirinya memmiliki penilaian yang ralistis dari

sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, di mana hal tersebut

dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanapa memikirkan

pendapat orang lain. Namun, bukan berarti bahwa ia tidak pernah merasa kecewa

terhadap dirinya atau gagal mengenali kesalahannya sendiri sebagai suatu

kesalahan melainkan tetap mengakui kegagalan dan kekecewaannya tanpa perlu

menyalahkan diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1995).

Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa individu yang

mampu menerima dirinya berarti mampu memahami dan menerima segala

pengalaman dalam hidupnya, kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri

mereka, serta mengembangkan potensi dalam diri mereka tanpa merasa malu atau

menyalahkan diri sendiri atas kekurangan yang dimiliki.

2. Karakteristik Individu yang Memiliki Penerimaan Diri

Menurut Sherer (dalam Sari & Nuryoto, 2002), karakteristik individu yang

memiliki penerimaan diri, yaitu:

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan

b. Menganggap diri berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan

individu lain

c. Menyadari kekurangan serta kelebihan dan tidak merasa malu terhadap

dirinya

(8)

e. Menerima pujian atau celaan yang diberikan pada dirinya secara objektif

f. Mempercayai prtinsip-psinsip atau standar hidupnya tanpa dipengaruhi oleh

opini orang lain

g. Tidak merasa malu atau merasa bersalah atas dorongan dan emosi-emosi

yang ada pada dirinya

3. Tahapan Mencapai Penerimaan Diri

Germer (2009) menyatakan penerimaan diri sebagai kemampuan individu

untuk dapat memiliki pandangan positif mengenai siapa dirinya sesuai dengan

kenyataan yang ia alami. Namun hal ini tidak mucul dengan sendirinya melainkan

harus dikembangkan oleh individu tersebut. Oleh karena itu, peneriman diri

dibentuk dalam tahapan-tahapan berikut: (Germer, 2009)

a. Penghindaran (aversion)

Reaksi awal individu jika dihadapkan dengan perasaan yang tidak

menyenangkan biasanya adalah sebuah penolakan dengan berusaha untuk

menghidari situasi tersebut. Sedangkan beberapa orang lain memilih untuk

melakukan pertahanan atau berusaha mencoba menghilangkan situasi tidak

menyenangkan tersebut. Beberapa orang lain bereaksi dengan melakukan

perenungan terhadap kondisi yang ia alami. Hal ini merupakan reaksi

naluriah setiap individu ketika berhadapan degan situasi yang tidak

menyenangkan.

b. Keingintahuan (curiosity)

Ketika penghindaran tidak berhasil dalam menghilangkan perasaan tidak

(9)

situasi dan kondisi yang terjadi hingga perasaan tidak menyenangkan muncul

pada individu yang mengalami hal tersebut. Hal ini membuat individu

tersebut mulai mempelajari lebih lanjut permasalahan yang ia alami

walaupun hal tersebut menimbulkan kecemasan pada dirinya.

c. Toleransi (tolerance)

Selanjutnya individu yang sudah memiliki informasi yang cukup mengenai

kondisi tidak menyenangkan yang dialami akan memberikan toleransi

terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut dengan menahannya dan

membangun harapan bahwa perasaan tidak menyenangkan tersebut akan

hilang dengan sendirinya.

d. Membiarkan mengalir (allowing)

Dalam pertahanan yang dibentuk selama individu tersebut membangun

harapan bahwa perasaan tidak menyenangkan akan hilang dengan sendirinya,

individu tersebut membiarkan perasaan tidak menyengkan datang dan pergi

begitu saja. Ia secara terbuka membiarkan perasaan tersebut mengalir dengan

sendirinya.

e. Persahabatan (friendship)

Pada akhirnya, individu yang mengalami perasaan tidak menyenangkan

tersebut akan mulai bangkit serta mencoba untuk menemukan dan memberi

penilaian lain terhadap kondisi permasalahan yang dialami. Hal ini membuat

individu tersebut mulai merasa bersyukur atas manfaat yang ia dapatkan dari

(10)

4. Kondisi yang Mendukung Proses Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan beberapa kondisi yang mendukung seseorang

untuk dapat menerima dirinya sendiri, antara lain:

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri adalah persepsi tentang diri sendiri yang dibuat secara jujur,

tidak berpura-pura, dan bersifat realistis. Persepsi atas diri ditandai dengan

keaslian (genuineness), apa adanya, realistis, jujur, dan tidak menyimpang.

Pemahaman diri bukan hanya terpaku pada mengenal atau mengakui fakta

tetapi juga merasakan pentingnya fakta-fakta tersebut.

b. Sikap sosial yang mendukung

Tiga kondisi utama yang menghasilkan evaluasi positif terhadap diri setiap

individu yaitu; tidak adanya prasangka terhadap orang lain, adanya

penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan

individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Individu yang memiliki hal

tersebut diharapkan mampu menerima dirinya.

c. Harapan yang realistis

Harapan yang realistis muncul jika seorang individu menentukan sendiri

harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan

dirinya berdasarkan kelebihan dan kekurangan dalam mencapai tujuannya,

bukan harapan yang ditentukan orang lain terhadap dirinya.

d. Tidak adanya hambatan lingkungan

Ketidakmampuan untuk meraih harapan realistis dapat juga disebabkan oleh

(11)

memberikan kesempatan atau bahkan menghambat seseorang untuk dapat

mengekspresikan diri maka penerimaan diri akan sulit untuk dicapai. Namun,

jika lingkungan dan significant others turut memberikan dukungan, maka

kondisi ini dapat mempermudah pemahaman diri hingga individu tersebut

memiliki penerimaan diri yang baik.

e. Tidak adanya stres emosional

Ketiadaan gangguan yang menyebabkan stres berat akan membuat individu

dapat bekerja secara optimal, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap

negatif terhadap dirinya. Kondisi ini diharapkan dapat membuat individu

tersebut mampu menghasilkan evaluasi diri yang positif sehingga penerimaan

diri yang memuaskan dapat tercapai.

f. Jumlah keberhasilan

Saat seseorang mengalami keberhasilan atau kegagalan, ia akan memperoleh

penilaian sosial dari lingkungannya. Ketika seseorang memiliki aspirasi

tinggi, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh penilaian sosial tentang

kesuksesan maupun kegagalan tersebut. Individu tersbeut kemudian akan

menjadi lebih mudah dalam menerima diri sendiri terkait dengan kondisi di

mana ia telah terpuaskan dengan keberhasilan yang telah dicapainya tanpa

memikirkan pendapat lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan dirinya.

g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Ketika seorang individu mampu mengidentifikasi diri dengan orang lain yang

memiliki penyesuaian diri yang baik, maka hal tersebut dapat membantunya

(12)

baik. Lingkungan rumah dengan model identifikasi yang baik akan

membentuk kepribadian sehat pada individu yang memiliki hal tersebut

sehingga ia mampu memiliki penerimaan diri yang baik.

h. Perspektif diri

Individu yang mampu melihat dirinya sebagaimana perspektif orang lain

memandang dirinya, akan membuat individu tersebut menerima dirinya

dengan baik. Hal ini diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Usia

dan tingkat pendidikan seseorang juga memiliki pengaruh terhadap

perkembangan perpektif diri sendiri. Sebuah perspektif diri yang baik

memudahkan akses terhadap penerimaan diri.

i. Pola asuh masa kecil yang baik

Meskipun penyesuaian diri pada setiap individy berubah secara

terus-menerus karena adanya peningkatan dan perubahan dalam hidupnya, hal

tersebut dianggap dapat menentukan baik atau buruknya penyesuaian diri

dengan mengarahkan pada masa kecilnya. Konsep diri mulai terbentuk sejak

masa kanak-kanak sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri seseorang

tetap ada walaupun usia individu tersebut terus bertambah. Dengan demikian,

pola asuh juga turut mempengaruhi bagaimana seseorang dapat mewujudkan

penghayatan penerimaan diri.

j. Konsep diri yang stabil

Individu dianggap memiliki konsep diri yang stabil jika dalam setiap waktu ia

mampu melihat kondisinya dalam keadaan yang sama. Jika seseorang ingin

(13)

dalam suatu cara yang menyenangkan untuk menguatkan konsep dirinya

sehingga penerimaan diri tersebut akan menjadi suatu kebiasaan.

5. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (1972) menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri

yang baik akan memiliki penyesuaian diri dan sosial yang baik. Hal ini

merupakan dampak dari adanya poenerimaan diri individu seperti dalam

pemaparan berikut:

a. Penyesuaian diri

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik berarti mampu memahami

segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Salah satu karakteristik individu

yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah memiliki keyakinan diri

sendiri. Keyakinan ini muncul ketika individu sudah mengenali kekurangan

dan kelebihan yang ia miliki, dengan kata lain, individu yang memiliki

peneriman diri yang baik akan memiliki penyesuaian diri yang baik juga.

Selain itu, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik juga dapat

menerima kritik terhadap dirinya tanpa ada penolakan sehingga dapat

mengevaluasi diri secara realistis. Hal ini akan membantu individu tersebut

dalam memanfaatkan potensi dalam dirinya secara efektif.

b. Penyesuaian sosial

Individu yang memiliki penerimaan diri biasanya akan merasa aman untuk

berempati pada orang lain. Hal ini terjadi karena penerimaan diri biasanya

diikuti dengan adanya penerimaan dari orang lain sehingga individu tersebut

(14)

orang yang merasa rendah diri atau tidak adekuat dengan lingkungannya akan

cenderung untuk bersikap dengan orientasi terhadap dirinya sendiri. Dengan

kata lain, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat memiliki

penyesuaian sosial yang baik dengan adanya sikap empati terhadap

lingkungan sosialnya.

C. DINAMIKA PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI KEKERASAN EMOSI

Penerimaan diri dapat berarti menerima kelebihan dan kekurangan dalam

dirinya serta pengalaman yang telah ia lalui tanpa adanya rasa bersalah atas

kehidupannya. Individu yang sudah menerima kelebihan maupun kekurangan

yang dimilikinya berarti sudah memiliki penerimaan diri yang tinggi sehingga ia

tidak lagi merasa bersalah atas dirinya sendiri sebagai akibat dari tekanan dan

penolakan yang dialami dari lingkungan dalam bentuk kekerasan emosi

(Widyarini, 2009).

Hurlock (1974) mengemukakan beberapa kondisi yang dapat mendukung

penerimaan diri individu yakni pemahaman diri, tidak ada stres emosional, tidak

ada hambatan lingkungan, dan lain sebagainya. Penerimaan diri dapat lebih

mudah dicapai jika lingkungan mendukung dalam memberikan pemahaman dan

mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing individu. Dukungan

ini berperan pada masing-masing individu karena pemahaman diri tidak

didapatkan begitu saja melainkan melalui berbagai penilaian terhadap diri sendiri

(15)

Akan tetapi, beberapa individu lebih berfokus pada penerimaan dalam

lingkungan sosial (Widyarini, 2009). Pola pikir, keyakinan, kebiasaan, dan

nilai-nilai yang dianut dalam suatu kelompok masyarakat akan diadopsi begitu saja

oleh anggota kelompok di dalamnya. Hal ini dilakukan agar ia dapat berpikir dan

bertindak secara efisien, tidak berkonflik dengan anggota lain dalam kelompok

tersebut. Namun terkadang, tidak semua nilai dan pola pikir suatu masyarakat

sesuai dengan anggotanya secara personal. Meskipun begitu, mereka selalu

dituntut untuk menerima nilai-nilai dalam lingkungannya, bahkan hal ini dapat

menjadi sebuah tekanan kepada individu tersebut terutama ketika nilai-nilai dan

pola pikir dalam lingkungannya tidak sesuai dengan dirinya sendiri.

Pada akhirnya, tuntutan-tuntutan dalam lingkungan terlihat sebagai sebuah

kekerasan yang berdampak pada kondisi psikologis korbannya (Gimpel &

Holland, 2003), yaitu kekerasan emosi di mana individu yang mengalami hal

tersebut akan merasakan ketidaknyamanan (Engel, 2002). Ketidaknyamanan ini

membuat individu tersebut merasa ada permasalahan dalam hidupnya selama ia

mengalami kekerasan emosi. Hal ini terjadi karena kekerasan emosi yang

berlangsung selama periode tertentu dapat menjadi seperti sebuah permasalahan

yang tidak terselesaikan bagi individu yang mengalaminya (Jantz & McMurray,

2009). Peterson, Maier, dan Seligman (1993) dalam bukunya menyatakan bahwa

ketika permasalahan muncul secara terus menerus hingga individu tersebut

merasa tidak sanggup untuk mengontrol kondisi yang sedang dihadapinya, maka

(16)

Kekerasan emosi dikatakan memiliki dampak sepanjang perkembangan

kehidupan individu yang mengalaminya. Hal ini terjadi karena perkembangan

merupakan tahap berkelanjutan yang terjadi selama proses kehidupan..

Pengalaman kekerasan emosi yang dialami dapat membuat individu merasa

dirinya selalu melakukan kesalahan, tidak berguna, tidak dicintai, bahkan

mengarahkan pada usaha untuk mengakhiri hidup (Daniels-Lake, 2010). Hal ini

terjadi karena individu yang mengalami kekerasan emosi menyatakan bahwa

mereka merasa hampa dan kebingungan dalam menjalani hidup, tidak memiliki

hubungan dengan kenyataan, bahkan beberapa individu lain mengalami

psikosomatis (Lachkar, 2004). Penelitian Rallis, Deming, Glenn, dan Nock (2012)

mengenai hubungan antara emptiness dengan nonsuicidal self-injury juga

menyatakan bahwa kekerasan emosi yang dialami pada masa kanak-kanak

memiliki hubungan paling signifikan terhadap kehampaan yang dialami pada

masa dewasa dan mengarahkan pada usaha menyakiti diri sendiri.

Selain itu, kekerasan emosi dapat berupa ketidakpuasan pelaku kekerasan

terhadap korbannya sehingga korban kekerasan emosi merasa bersalah atas

dirinya walaupun ia tidak sedang melakukan suatu kesalahan (Susilowati, 2008).

Dengan berbagai dampak yang dirasakan sebagai akibat dari pengalaman

kekerasan yang terjadi pada hidupnya, korban kekerasan emosi akan mengalami

hambatan dalam memahami dirinya yang sesungguhnya.Ketidakmampuan dalam

memahami potensi dan kekurangan dirinya membuat individu tersebut tidak

(17)

mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Semiun,

2006).

Pada kenyataannya, terdapat beberapa individu yang juga mengalami

kekerasan emosi mampu memahami dirinya dan menerima kelebihan,

kekurangan, dan pengalaman yang telah dilalui sebagai bagian dari dirinya.

Pemahaman mengenai kelebihan dan kekurangan diri sendiri membuat mereka

tetap bertahan menjalani kehidupan dan mengembangkan potensi dirinya

walaupun tetap mendapat penolakan dari lingkungannya. Mereka tidak lagi

menunjukkan tanda-tanda depresi, kecemasan, kesepian, bahkan mereka tidak lagi

meragukan diri mereka sendiri. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melihat

dinamika yang terjadi dalam diri individu yang mengalami kekerasan emosi

hingga mencapai penerimaan diri dan menerima pengalaman kekerasan emosi

sebagai bagian dari dirinya sehingga dampak negati dari kekerasan emosi yang

(18)

D. PARADIGMA BERPIKIR

Bagaimana penerimaan diri korban kekerasan emosi?

Menerima kelebihan,

kekurangan, dan pengalaman sebagai bagian dari dirinya tanpa rasa bersalah

Faktor pendukung:

Pemahaman diri

Tidak ada hambatan lingkungan Tidak ada stress emosional Pola asuh masa kecil yang baik

Harapan yang realistis

Sikap sosial yang mendukung

Jumlah keberhasilan

Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Konsep diri yang stabil

Pengalaman kekerasan emosi

Merasakan dampak:

Depresi

Gagal membentuk harga diri

Tidak mampu membuat keputusan

Tidak merasakan dampak

Referensi

Dokumen terkait

 Faktor-faktor seperti tingkat keparahan luka yang dialami, pengalaman yang dialami (dihayati) oleh isteri terkait forgiveness, kurun waktu sejak kejadian yang tidak

Mengapa orang yang memiliki harga diri rendah rentan mengalami kekerasan dalam pacaran, karena orang-orang dengan harga diri rendah cenderung ketika dirinya

a) Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain. b)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Erdmans dan Timothy (2008) disebutkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan seksual banyak yang tidak mengaku kalau mereka men- galami

Kekurangmampuan karyawan dalam manajemen dirinya dan emosi yang kurang matang akan mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan, keputusan yang diambil tidak sesuai

Wanita premenopuse yang memiliki regulasi emosi yang baik, dapat mengarahkan dirinya untuk menghalangi perilaku yang tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi

Ketiga subjek menyadari bahwa rasa kecewa, sakit hati, marah bahkan dendam yang dialami subjek akibat KDP yang dialami harus dihilangkan demi kebaikan subjek,

Kekerasan yang sering ia dapatkan membuat subjek merasa sangat jauh dari Ayahnya walaupun mereka tinggal satu rumah Ayah gagal sebagai pelaku sosialisasi utama yang dapat