• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797 Pid.B 2014 PN.Rap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797 Pid.B 2014 PN.Rap)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara hukum, dimana setiap warganya

memiliki hak-hak asasi manusia. Negara hukum mengindahkan hak-hak dari

setiap warga negaranya tanpa terkecuali, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh

anak. Ini dapat tercermin dari adanya peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang anak karena negara hukum pasti selalu dengan tegas akan

mengatur tentang hak-hak dari setiap warga negaranya agar tercapai keadilan dan

dapat mengatur kehidupan berbangsa bernegara sesuai dengan Falsafah Bangsa

Pancasila.

Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap

anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak

yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak harus meminta. Hal ini

sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah

Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang

mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu

nondiskriminisasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang, dan menghargai partisipasi anak.1

1 Rika Saraswati,

(2)

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki

orang dewasa. Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar

sebagaimana hak-hak orang dewasa atau isu gender. Perlindungan hak anak tidak

banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit.

Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang

dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu

menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan

belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan

negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru

mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan

terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi

anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata. Anak adalah suatu potensi

tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri

khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami

dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya anak patut diberi perlindungan

secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perlindungan anak adalah

segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,

keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan,

pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia

0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan

kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.2

2

(3)

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua,

yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No.1 tahun 1974 tentang pokok-pokok

Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik

anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak-anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat

berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertangungjawab atas

terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal

9 UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus perhatikan dan

malakasanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak berupa:

kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik

semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari

lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan

perkembangannya. Hak anak adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk

kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak

dalam kandungan (Pasal 52 ayat (2) UU NO.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia). Bila ditelusuri dengan teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan

psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak, yang

sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua.3

3 Maidin Gultom,

Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama, 2014, hal.2 Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

(4)

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam

melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat

perlindungan terhadap dirinya yang dimana dapat menimbulkan kerugian mental,

fisik, dan sosial apabila anak tersebut tidak mendapat perlindungan. Perlindungan

anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).4

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat

dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the

Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 119 negara, termasuk Indonesia

sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan

demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat

seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di

dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal.

Kemudian, tiga tahun sesudahnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini

dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara

generis mengatur hak-hak anak. Namun, dalam konsiderans hukumnya justru

tidak mencantumkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai referensi yuridis.

Sumber kesalahannya terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA yang

menggunakan instrumen hukum keputusan presiden yang secara hierarki lebih

rendah derajatnya daripada undang-undang. Meskipun demikian, substansi KHA

(5)

dapat diadopsi sebagai materi undang-undang, seperti penggunaan asas dan tujuan

perlindungan anak yang ada dalam UUPA.5

Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali

kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus

child abusememang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih

terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai

persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk dieskpos keluar

secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo bahwa rendahnya kasus

tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui oleh pubik salah satunya

disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara

kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang

dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal kalau

mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak

pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota

besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon

disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di

kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara

normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.6

Kasus child abuse yang dialami oleh anak semakin banyak terjadi yg dapat

berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan

atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Baik itu di kota

5

Rika Saraswati. Op.Cit, hal.15

6 Bagong Suyanto, ed.Rev,

(6)

besar maupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di

lingkungan sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal

yang biasa, sehingga tindak kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak.

Child Abuse didefinisikan sebagai tindakan mencederai oleh seseorang

terhadap orang lain. Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan

orangtua atau orangyang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi

terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan

anak secara umum.Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and

Wolfarememberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental,

kekerasan seksualdan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang

dilakukan oleh orang yangseharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan

anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.

Ada beberapa klasifikasi dari abuse yaitu :7

1. Emotional Abuse

Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak,

meneror,mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan

membuat anak merasadirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak

bernilai. Hal ini akanmenyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental

dan emosional anak.Indikator fisik kelainan bicara, gangguan

pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator perilakukelainan

kebiasaan (menghisap, mengigit, atau memukul-mukul).

2. Physical Abuse

Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau

tindakanyang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga

7

Aspek Anak dengan Child Abuse”,

(7)

diartikan sebagaitindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga

mencederai anak. Biasanya berupaluka memar, luka bakar atau cedera di

kepala atau lengan.Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah

tulang, rambut yangtercabut, cakaran. Indikator perilakuwaspada saat

bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif atau

menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu,

berbohong, mencuri.

3. Neglect

Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi

anak,seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian,

pengobatan, ataumeninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang

tidak dapat merawatnya.Indikator fisik kelaparan, kebersihan diri yang

rendah, selalu mengantuk,kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang

tidak ditangani. Indikator kebiasaan meminta atau mencuri makanan,

sering tidur, kurangnya perhatian pada masalahkesehatan, masalah

kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai(pada

musim dingin), ditinggalkan.

4. Sexual Abuse

Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil

gambar pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada

anak.Indikator fisik kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau

darahdi baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau

perdarahan di area genital/rektal, berpenyakit kelamin. Indikator kebiasaan

pengetahuan tentang seksual atausentuhan seksual yang tidak sesuai,

kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegia

tan fisik, berperilaku permisif/ berperilaku yang menggairahkan, penurun

keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif (misal:

(8)

5. Sindroma Munchausen

Sindroma ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit

yangdibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong

tuntutan.

6. Kelalaian

Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau

kesulitanekonomi.Bentuk kelainan ini antara lain yaitu:

a. Pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal

tumbuh(failure to thrive), anak merasa kehilangan kasih saying,

gangguan kejiwaan,keterlambatan perkembangan.

b. Pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami risiko

untuk terjadinyatrauma fisik dan jiwa.

Berdasarkan data yang yang diperoleh dari Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas

Gadjah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang terjadi dari tahun

1992-2002 di tujuh kota besar, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya,

Ujung Pandang, dan Kupang ditemukan bahwa ada 3.969 kasus dengan perincian

sexual abuse 65,8%; physical abuse 19,6%; emotional abuse 6,3%; dan

childneglect 8,3%. Secara lebih terperinci, kekerasan menurut usia adalah sebagai

berikut:8

a. Kasus sexual abuse

Persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%), terendah usia 0-5 tahun

(7,7%).

(9)

b. Kasus physical abuse

Persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32,3%), terendah usia 13-15 tahun

(16,2%).

c. Kasus emotional abuse

Persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28,8%), terendah usia 16-18

tahun (0,9%)

d. Kasus child neglect

Persentase tertinggi usia 0-5 tahun (74,7%), terendah usia 16-18 tahun

(6,0%)

Dari data tersebut tampak bahwa penelantaran anak menjadi kasus yang paling

sering terjadi. Demikian pula dengan kekerasan dan perlakuan salah lainnya

sering terjadi meski tidak setinggi penelantaran. Namun, semua itu menunjukkan

bahwa kondisi anak Indonesia sangat rentan mengalami kekerasan dan perlakuan

salah.

Selanjutnya kekerasan dan perlakuan salah berdasarkan tempat terjadinya

kekerasan, masih menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center

for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, adalah sebagai

berikut:9

a. Kasus sexual abuse

Rumah (48,7%); sekolah (4,6%); tempat umum (6,1%); tempat kerja

(3,0%); tempat lainnya, diantaranya, motel, hotel, dan lain-lain (37,67%)

b. Kasus physical abuse

Rumah (25,5%); sekolah (10%); tempat umum (22,0%); tempat kerja

(5,8%); tempat lainnya (36,5%).

(10)

c. Kasus emotional abuse

Rumah (30,1%); sekolah (13,0%); tempat umum (16,1%); tempat kerja

(2,1%); tempat lainnya (38,9%).

d. Kasus child neglect

Rumah (18,8%); sekolah (1,9%); tempat umum(33,8%); tempat kerja

(1,9%); tempat lainnya (43,5%).

Data ini menunjukkan bahwa kekerasan dan perlakuan salah tidak hanya terjadi di

tempat umum, tetapi juga di sekolah, bahkan di rumah. Lalu, pada tahun 2006

menurut data BPS, ada sebanyak 1.840 kasus penganiayaan yang dilakukan orang

dewasa terhadap anak di Indonesia. Hal ini menunjukkan masih banyak orang

yang belum memahami hak anak secara keseluruhan. Anak masih dianggap

sebagai objek dari kekerasan itu sendiri.

Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia telah mencantumkan hak anak, pelakasanaan kewajiban dan

tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk

memberikan perlindungan pada anak, masih diperlukan suatu undang-undang

mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelakasanaan

kewajiban dan tanggung jawab tersebut.. Hal ini ditegaskan kembali melalui

Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rightsof

the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan

Presiden Nomor 36 tahun1990. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan

bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan

negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus

demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus

(11)

baik fisik, mentak, spritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk

mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan nantinya sebagai

penerus bangsa. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,

yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun,

agar kehidupan anak tersebut dapat terjamin dan dapat menjalani kehidupan sehari

tanpa ada rasa takut.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ANALISIS

YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR.797/Pid.B/2014/PN.Rap)”, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di

atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penganiayaan

terhadap anak ?

2. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana

penganiayaan yang dilakukan terhadap anak dalam putusan

Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disusun di atas, maka tujuan

(12)

1. Tujuan Praktis

a. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak

pidana penganiayaan terhadap anak

b. Untuk mengetahui penerapan kebijakan hukum terhadap pelaku

tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap anak

berdasarkan studi putusan pengadilan tinggi medan

No.797/Pid.B/2014/PN.Rap

2. Tujuan Teoritis

a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang

diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum dalam teori

dan praktek lapangan hukum, khususnya bidang hukum pidana

yang sangat berarti bagi penulis.

c. Untuk memberikan gambaran dan membangun pemikiran bagi

ilmu hukum.

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai

dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga

skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Penulisan Skripsi yang berjudul

(13)

Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak (Studi Putusan Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang

mengangkatnya ataupun membuatnya.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan

usaha penulis sendiridengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen

pembimbing penulis tanpa adanya unsur penipuan, penjiplakan, atau

hal-hal lain yang dapat merugikan pihak tertentu. Dan untuk itu Penulis dapat

mempertanggungjawabkan atas semua isi yang terdapat di dalam skripsi

ini dan keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Anak

Defenisi anak secara umum belum dapat kita tentukan secara pasti karena

setiap peraturan ataupun undang-undang mengatur defenisi anak tersebut

secara berbeda-beda menurut batasan usianya. Secara nasional defenisi anak

menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang

yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.

Pengertian ataupun defenisi secara umum atau nasional di Indonesia

didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum yang ada di Indonesia

seperti: hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara

Internasional defenisi anak tertuang dala, Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of

(14)

Baangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation

StandardMinimum Rules for The Administrationof Juvenile Justice (“The

Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal

Declaration of Human Rights Tahun 1948.10

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun

1973

bawah. Sebaliknya , dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989

yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39

Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke

bawah. Sementara itu, UNICEF

berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka

yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang

Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. Maka, secara keseluruhan dapat

dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun.

Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi

dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang

melampaui usia 21 tahun.11

10

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama), hal 33

11

(15)

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa batasan usia

dewasa yaitu :12

• Menurut Pasal 45 KUHP dinyatakan 16 tahun

• Dalam KUHPerdata dibedakan dalam Pasal 421 dan Pasal 426 yang

membedakan antara syarat pendewasaan penuh, minimal berusia 20

tahun, dan syarat pendewasaan terbatas, minimal berusia 18 tahun.

Untuk usia dewasa sendiri ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata

yaitu 21 tahun.

• Menurut UU No 1 Tahun 1974 batas yang tidak perlu ijin adalah 21

tahun.

• Menurut UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun

• Menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka

batasan usia dewasa adalah 18 Tahun

• Beberapa UU lain juga mengatur dengan lebih rumit, misalnya UU

Kependudukan, UU Pemilu, UU Lalu Lintas, dan UU

Kewarganegaraan dengan model yang berbeda-beda

Jadi terdapat beberapa batasan usia dewasa dalam peraturan

perundang-undangan ini. Namun sayangnya MA tidak menjawab pertanyaan ini dengan

cukup baik selain hanya umur dibawah dewasa. Tak ada petunjuk bagaimana

Mahkamah Agung menafsirkan belum dewasa dalam perbuatan yang diatur

dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP.

12

(16)

Pada saat KUHP dibuat tentu rujukan untuk melihat anak, dibawah umur,

dan dewasa adalah merujuk pada KUHPerdata, namun dengan

diundangkannya peraturan-peraturan terakhir khususnya UU No 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak apakah rujukan kepada KUHPerdata masih

cukup tepat mengingat ada prinsip peraturan yang baru mengalahkan

peraturan yang lama.Premis yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum

bahwa 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak merujuk pada soal hukum

pidana anak dan hukum acara pidana anak justru relevan untuk dipertanyakan

ulang karena mengingat pertanggungjawaban pidana yang akan dikenakan

terhadap seseorang dan sejauh mana seseorang dapat dianggap memiliki

pengetahuan yang cukup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang

matang.Untuk masalah ini juga wajib dilihat apakah Indonesia masih

menganut pola pemisahan berdasarkan anak, belum dewasa (di bawah umur),

dan dewasa.13

Menurut Undang-Undang Nomor.23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak, defenisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan

masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor.3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah

mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah

menikah. Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda

dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum

Islam dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih ank-anak

(17)

atau sudah dewasa bukan dari usia anak, karena masing-masing anak berbeda

usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi

anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah

dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak

tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oeleh orang dewasa

sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh adat

mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar untuk menentukan apakah

seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi

seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah

orangtua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.14

2. Pengertian Tindak Pidana

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan tindak

pidana atau straffbaar feitdi dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena

itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu,

yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak

pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di

dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya

menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau

tidak.15

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan

tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.

Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah

14

Marlina, Op.Cit, hal.34

15 Mohammad Ekaputra,

(18)

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik

penghubung dan dasar untuki pemberian pidana. Perbuatan (gedraging),

meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak

menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus

dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu

tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.16

Pendapat para ahli hukum seperti yang dikemukakan oleh Simons, yang

merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan

pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan

dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Jonkers dan

Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap yang

meliputi :17

a. Diancam dengan pidana oleh hukum,

b. Bertentangan dengan Hukum,

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit)adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

16

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bag.1, (Jakarta: Raja Grafindo), 2002, hal.64

17

(19)

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :18

• Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana.

• Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan

ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu.

• Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,

oleh karena antarakejadian dan orang yang menimbulkan kejadian

itu ada hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika

yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidakdapat diancam

pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan

(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van

den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana

(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).

Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan

pandangan monoistis yang tidak membedakan keduanya.

Tindak Pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau

18

(20)

kriminologis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat

perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah

perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadbegrip), yang

terwujud secara in abstractodalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan

perbuatan jahat sebagai gejala mayarakat yang dipandang secara

concreetsebagaimana terwujud dalam masyarakat (sociaal verschijnsel,

erecheinung, phenomena),adalah perbuatan manusiayang

memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam arti konkrit.

Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminolgis (criminologisch

misdaadsbegrip).

Ada beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana

(strafbaar feit), dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama

adalah mereka yang bisa dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan

golongan kedua mereka yang disebut sebagai golongan “dualistis”.

Yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya pemisahan antara criminal

act dan criminal responsibility) adalah:19

a) Van Hamel mengemukakan definisi strafbaar feit adalah “een wettelijk

omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en

aan schuld te witjen”. Jadi unsur-unsurnya ialah:

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;

19

(21)

2) Melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan dan;

4) Patut dipidana.

b) E.Mezger mengemukakan Die straftat ist der inbegriff

dervoraussetzungender strafe (tindak pidana adalah keseluruhan syarat

untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan “die straftat ist

demnachtatbestandlich-rechtwidrige, pers onlich-zurechenbare

strafbedrohte handlung”.

Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana ialah:

1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia;

2) Sifat melawan hukum;

3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;

4) Diancam dengan pidana.

c) J.Baumann mengemukakan Verbrechen im weiteren, allgemeinen sinne

adalah “die tatbestandmaszige rechwidrige und schuld-hafte handlung

(perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum

dan dilakukan dengan kesalahan).

d) Karni mengemukakan delik itu mengandung perbuatan yang

mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh

orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut

(22)

e) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi pendek tentang tindak

pidana, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan pidana

Yang termasuk dalam golongan aliran dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan

adalah:20

a) H.B. Vos mengemukakan een strafbaat feit ist een menselijke

gedraging waarop door de wet (genomen in de ruime zin van

“wettelijke bepaling”) straf ist gesteld, een gedraging dus, die in het

elgemeen (tenzij er een uitsluitingsgrond bestaat) op straffe

verbodenist. Jadi menurut H.B. Vos tindak pidana adalah hanya

berunsurkan kelakuan manusia dan diancam pidana dalam

Undang-undang.

b) W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak

pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam

pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht

ist het strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen

wettelijkestrafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori,

tindak pidana (strafbaat feit) adalah perbuatan yang bersifat melawan

hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam

hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum

(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak

untuk adanya tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana

(23)

tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu

harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak

ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Pompe memisahkan tindak

pidana dari orangnya yang dapat dipidana, atau berpegang pada

pendirian yang positief rechtelijke.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan unsur

tindak pidana yaitu :

a.Unsur tingkah laku

b.Unsur melawan hukum

c.Unsur kesalahan

d.Unsur akibat konstitutif

e.Unsur keadaaan yang menyertai

f. Untuk syarat tamabahan untuk dapat dituntut pidana

g.Untuk syarat tambahan untuk mempeberat pidana

h.Untuk syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

Tindak Pidana terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar larangan

yang diancam dengan hukuman. Larangan dan ancaman tersebut terdapat

hubungan yangt erat, oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang

menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana

satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatukan hubungan yang

erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang

(24)

1.Adanya kejadian yang tertentu serta

2.Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau

dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan

tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan

atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang

dilakukan tersebut.21

Roeslan Saleh1 menyatakan bahwa:22

21

“Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah

dapatdilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan

pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan

tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas.

Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan

sebagai soal filsafat”.

Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”

22

(25)

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah

sipembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu

dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.23

Dalam Hukum Pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act

does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.

Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan

pidana (actus reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea)

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian

pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu

bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela

atas perbuatanya.

(26)

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, Dasar adanya perbuatan

pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah

asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana

jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan

seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,

yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.25

Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila

orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan

delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum

memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

25 Mahrus Ali,

(27)

perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang

tersebut.26

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dialakukan penulis dalam penulisan skripsi ini

adalah metode penelitian Hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan

hasil wawancara dengan Majelis Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang

menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan

dalam perkara tersebut. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan

terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul

skrpsi penulis ini yaitu “Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana

Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak (Studi Putusan

Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)”

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian

penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif

3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah

Pengadilan Negeri Rantau Prapat.

4. Alat Pengumpulan Data

26

(28)

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka

metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu

menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang

berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap anak

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan

penulis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library

research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur

yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah,

artikel dan berita yang diperoleh penukis dari internet serta hasil

wawancara dengan majelis hakim yang bertujuan untuk mencari atau

memperoleh teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak

pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap anak.

6. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini

dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam

pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari

pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan,

(29)

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,

keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang

penganiayaan yang dilakukian terhadap anak. Bagian-bagian yang

diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai pengertian dari

penganiayaan terhadap anak, dan membahas tetntang

pertanggungjawaban pelaku tindak pidan penganiayaan yang

dilakukan terhadap anak

Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas

perlindungan hukum terhadap anak dalam ketentuan hukum pidana

di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku penganiayaan

terhadap anak serta analisis kasus Putusan Pengadilan Negeri

Rantau Prapat No.797/Pid.B/2014/PN.Rap

Bab IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebgai bab penutup berisikan

kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi

Referensi

Dokumen terkait

The association serves as a linking among Government and the mining industry, organizing lectures, seminars and training activities for the members, organizing periodic conference

Sebuah program aplikasi mempunyai dua bagian penting yaitu bagian pengontrol aplikasi yang berfungsi menghasilkan informasi berdasarkan olahan data yang dimasukkan pemakai

[r]

Maka disini Penulis memandang perlunya sistem komputerisasi dengan dukungan bahasa pemrograman WAP ( Wireless Aplication Protocol ) dan juga database yang berbasiskan client

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

Bagi orang tua siswa, disarankan alat peraga kartu garis bilangan dapat dijadikan media pembelajaran matematika bagi anak di rumah untuk memahami materi pelajaran

Dalam memenuhi kebutuhan rencana pemberhentian (halte) yang terintegrasi antara jalur utama, jalur feeder dalam layanan sistem transportasi perkotaan, dari hasil