• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation-PSO) sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Secara umum permasalahan tersebut antara lain adalah belum adanya persepsi yang sama tentang pengertian/definisi PSO, dasar dan belum semua kegiatan PSO dilakukan melalui proses dilelang, adanya perhitungan dasar kebutuhan dana PSO belum seragam diantara BUMN pelaksana PSO dan belum adanya pemisahan laporan keuangan antara kegiatan usaha yang di PSO kan dan kegiatan usaha non PSO. Disamping itu realisasi atas kompensasi dari penugasan (PSO) dari pemerintah tidak mencukupi.

Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana diatur lebih lanjut melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Penugasan ini disebut dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan Umum atau Public Service Obligation (PSO). Namun sesuai dengan penjelasan dari pasal 66 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut, apabila penugasan pemerintah menurut kajian finansial tidak fisibel, maka pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.

Adanya Public Service Obligation (PSO) adalah dalam rangka menjaga agar kegiatan penyediaan barang publik, tersedia dalam jumlah yang cukup sekalipun tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedia jasa untuk tetap dapat menjalankan kegiatannya. PSO yang secara finansial tidak memberikan keuntungan harus tetap disediakan, karena hal tersebut diharapkan akan memberikan multiplier effect secara ekonomi bagi masyarakat.

Terkait dengan penugasan Pemerintah kepada BUMN untuk menyelenggarakan Kewajiban Pelayanan Umum (PSO) tentunya pemerintah harus menyediakan sejumlah dana pada pos pengeluarannya dalam APBN. Dana yang dianggarkan tersebut termasuk dalam pos pengeluaran subsidi untuk bantuan kepada BUMN dalam rangka menjalankan PSO, di luar jenis subsidi yang diberikan pemerintah berupa subsidi listrik, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi pupuk, subsidi pos dan subsidi lainnya.

Pemberian subsidi tersebut sebenarnya menimbulkan dilema bagi pemerintah. dimana pada satu sisi pemberian subsidi dan pelaksanaan kewajiban pelayanan publik merupakan konsekuensi dan tugas serta tanggung jawab pemerintah namun disisi lain hal tersebut terkendala oleh terbatasnya anggaran yang tersedia.

Beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan PSO dan subsidi antara lain adalah: Belum adanya kebijakan umum yang jelas dan tegas dari pemerintah mengenai kegiatan PSO dan pemberian subsidi, terdapat beberapa jenis, pola dan mekanisme pelaksanaan subsidi yang dilaksanakan oleh pemerintah; terdapat kesenjangan (gap) antara besarnya kebutuhan subsidi untuk kegiatan PSO dengan kemampuan keuangan pemerintah; kurang tegas dan jelasnya pembagian

(2)

tugas, kewenangan dan tanggung jawab atas pelaksanaan subsidi dan PSO; dan kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah dan BUMN dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi pelaksanaannya.

Konsep Public Service Obligation

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan pilihan subsidi, yang dikenal sebagai penugasan Pemeritah atau PSO. Dalam pasal 66 Undang-undang tersebut, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN (ayat 1). Namun demikian, setiap penugasan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/menteri (ayat 2). Keberadaan dan operasional BUMN diatur melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa tujuan pendirian BUMN adalah:

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

2. Mengejar keuntungan.

3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi hajat hidup orang banyak.

4. Menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Pada sisi lain, Undang-undang tersebut juga mempunyai misi sosial, sebagaimana diatur dalam pasal 66, yang kemudian dikenal sebagai konsep PSO. Untuk melakukan PSO tersebut, diperlukan syarat dan kondisi tertentu, yaitu sesuai dengan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-101/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002, misi sosial dapat dibebankan kepada BUMN apabila: Telah dikaji terlebih dahulu oleh Direksi BUMN, tidak mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, pembiayaan misi sosial harus ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah, dan secara tegas dilakukan pemisahan dalam RKAP mengenai penugasan pemerintah dengan pencapaian usaha perusahaan

Pada sisi lain, dimungkinkan juga komersialisasi PSO, namun khusus ditujukan untuk mendanai operasional PSO tersebut. Hal itu karena sebenarnya komersialisasi PSO yang termasuk didalamnya suatu framework pendanaan PSO, akan membuat BUMN dapat melakukan segala aktivitasnya berdasarkan prinsip komersial, sehingga meningkatkan akuntabilitas manajemen dan kinerja BUMN.

Framework PSO yang jelas akan memberikan pilihan kepada Pemerintah untuk tidak melakukan jasa pelayanan umum yang telah dilakukan oleh pihak swasta, sehingga Pemerintah dapat berkonsentrasi pada pencapaian tujuan PSO. Selain itu, Pemerintah juga dapat menugaskan BUMN untuk melaksanakan PSO, dalam suatu perjanjian. Selanjutnya, jumlah kompensasi dana yang diberikan Pemerintah kepada BUMN harus dapat menutup kerugian BUMN dan memberikan tingkat laba yang wajar. Dengan demikian, BUMN dapat menunjukkan kinerja yang akuntable. Sebagai alternatif lainnya, kegiatan PSO dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara tender terbuka.

(3)

Terdapat empat kelebihan pola kerja PSO, yaitu: Pertama, lingkup kegiatan PSO yang dilakukan oleh BUMN terbatas pada tingkat yang telah disepakati, dan Pemerintah tidak dapat menambah lingkup kerja dari kegiatan PSO tersebut tanpa persetujuan BUMN terhadap pendanaan atas biaya tambahan yang diperlukan, Kedua, terdapat pemisahan yang jelas antara kegiatan komersial dan kegiatan non-komersial yang dilakukan oleh BUMN. Kegiatan-kegiatan komersial dapat dilakukan tanpa campur tangan pemerintah. Ketiga, pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang dari aktivitas BUMN dijamin oleh serangkaian kontrak dengan Pemerintah, dan keempat, manajemen dilengkapi dengan tujuan kebijakan yang jelas.

Pola PSO tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari grand strategy restrukturisasi industri dan kebijakan tarif, mengingat aktivitas PSO harus berdasarkan pada prinsip-prinsip komersial dalam rangka penerapan transparansi dan efisiensi. Komersialisasi dari BUMN akan mempercepat pemisahan dari peranan Pemerintah yang beragam yaitu sebagai pembuat kebijakan, regulator, pemilik serta operator, dan memungkinkan Pemerintah untuk berkonsentrasi pada kebijakannya, fungsi pengatur, dan kegiatan pemberian fasilitas. BUMN akan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan tujuan sosial dan strategis namun bertanggung jawab kepada Pemerintah melalui sistem PSO.

Sistem PSO perlu dikorelasikan dengan program penyesuaian tarif untuk memenuhi cost recovery, dengan disediakan subsidi yang spesifik yang diperlukan untuk keperluan pengembangan atau kegiatan yang menguntungkan. Ukuran keberhasilan konsep PSO ini adalah apabila struktur perusahaan berhasil mencerminkan pemisahaan misi komersial dengan non komersial. Oleh sebab itu, BUMN harus melakukan restrukturisasi ulang untuk memisahkan peranan komersial dan non-komersial mereka, di mana hal tersebut dapat memberikan fokus yang lebih jelas kepada manajemen, dan mengurangi ketidakjelasan peranan dan tujuan, dan memberikan struktur keuangan yang transparan, dengan identifikasi yang lebih jelas terhadap pendapatan, biaya dan aset yang terkait dengan perbedaan peranan.

Pada beberapa kasus, komponen PSO hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan pengeluaran unit bisnis, dan dapat diestimasi secara akurat dengan menggunakan metode yang relatif sederhana. Sebagai contoh kasus PT Merpati, PT ASDP dan PT Pelni mungkin saja daerah-daerah yang rugi di spin off dengan status Perum, sebagai perusahaan yang menjalankan misi sosial, sedangkan PT Merpati tetap menjalankan misi korporatnya tanpa harus terganggu kewajiban sosial. Pemisahan tersebut juga dapat memungkinkan penggunaan struktur tarif dan metode pendanaan permodalan yang digunakan untuk segmen bisnis komersial dan nonkomersial yang berbeda.

Berdasarkan gambaran di atas, maka pola subsidi melalui PSO tetap harus memenuhi beberapa azas sebagai berikut: Komersialisasi PSO memerlukan peran Pemerintah untuk “membeli” kewajiban Penyediaan PSO dari BUMN, transaksi harus sejauh mungkin mencerminkan transaksi komersial yang normal, seluruh kegiatan BUMN harus diletakkan pada dasar komersial, agar PSO dapat berjalan secara efektif, kompensasi untuk PSO harus mencukupi untuk menutup biaya pengadaan jasa secara efisien, dan secara konseptual, berapapun jumlah yang dibayarkan kepada BUMN sebagai kompensasi atas PSO harus dikembalikan kepada Pemerintah melalui jalur penerimaan deviden.

(4)

Gambaran Umum Pelaksanaan PSO

Berdasarkan laporan keuangan BUMN, kinerja BUMN yang menjalankan misi PSO belum semuanya menunjukkan adanya kinerja yang baik. Gambaran kinerja yang kurang baik ini akhirnya membawa citra BUMN PSO yang kurang baik di mata publik. Terdapat kesan bahwa BUMN PSO identik dengan inefisiensi dan sarang korupsi baik oleh manajemen maupun politisi dan birokrat (Aviliani, Suara Karya, 16 Agustus 2006). Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini, timbul argumen bahwa penyebab memburuknya kinerja BUMN PSO adalah karena BUMN PSO pada umumnya menjalankan tugas PSO mulai awal tahun, namun subsidi PSO dari pemerintah tidak diterima pada awal tahun, bahkan seringkali dilakukan di akhir tahun. Tidak sinkronnya antara penugasan dengan pencairan dana PSO kemungkinan berdampak pada arus kas BUMN. Pencairan dana PSO pada akhir tahun ini lebih disebabkan pemerintah harus melakukan verifikasi terlebih dahulu sebagai dasar dilakukannya pembayaran subsidi PSO[1]. Namun dampak keterlambatan pencairan dana PSO pada kinerja BUMN PSO yang kurang baik, pada akhirnya bermuara pada citra BUMN PSO yang kurang baik di mata masyarakat. Citra buruk ini semakin diperparah dengan kurang adanya informasi yang transparan berkenaan dengan harga pokok riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh BUMN PSO.

Tidaklah mudah mengelola BUMN PSO, karena relatif rawan moral hazard, baik dari sisi pengguna barang dan jasa maupun. Terdapat kecenderungan pada pengelola BUMN PSO kurang memiliki perilaku yang kreatif dan inovatif. Para pengelola juga cenderung kurang berhati-hati, sehingga dapat berpotensi adanya inefisiensi biaya operasional. Terdapat pandangan di masyarakat bahwa terdapat kecenderungan BUMN yang memperoleh subsidi cenderung menjual barang dengan tidak tepat sasaran, sehingga konsumen yang menikmati subsidi adalah masyarakat kalangan menengah atas. Disamping itu pola subsidi juga dapat berdampak pada kurang kreatif dan inovatifnya manajemen BUMN penerima subsidi.

Berbagai Permasalahan Umum Dalam Pelaksanaan PSO

Secara umum dapat diidentifikasi berbagai masalah dihadapi oleh BUMN dalam pelaksanaan PSO. Permasalahan tersebut terjadi pada tiga tahapan, yaitu tahap perencanaan PSO, tahap pelaksanaan PSO dan tahap evaluasi pelaksanaan PSO. Secara umum permasalahan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Berbagai Kendala Umum Dalam Pelaksanaan PSO Tahap Perencanaan Tahap Pelaksanaan Tahap Evaluasi Belum adanya persepsi yang

sama tentang

pengertian/definisiPSO.

Perhitungan dasar kebutuhan dana PSO belum seragam diantara BUMN pelaksana PSO

Realisasi atas kompensasi dari penugasan (PSO) dari

pemerintah tidak mencukupi. Dan pembayaran dilakukan setelah dilakukan verifikasi oleh Departemen keuangan

(5)

Dasar penentuan rute-rute transportasi yang di PSO kan belum jelas

Belum ada pemisahan laporan keuangan antara kegiatan usaha yang di PSO kan dan kegiatan usaha non PSO

BUMN pelaksana PSO cenderung tidak efisien dan kurang inovatif.

Belum semua kegiatan PSO dilelang

Sumber: Hasil penelitian, diolah.

Pada tahap perencanaan PSO terdapat tiga masalah utama, yaitu: Pertama, belum adanya definisi yang jelas tentang konsep PSO. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pandangan antara masyarakat dengan arti sebenarnya tentang PSO. Tabel 2 menunjukkan tiga perbedaan pandangan tentang konsep PSO, yakni menyangkut masalah untung/rugi BUMN pelaksana PSO, masalah subsidi silang dan pemanfaatan assets potensial BUMN.

Perbedaan pandangan masyarakat tentang konsep PSO dengan arti yang sebenarnya berdampak pada pandangan mereka terhadap kinerja BUMN pelaksana PSO. Masyarakat memandang bahwa BUMN pelaksana PSO pada umumnya memiliki kinerja yang tidak efisien dan cenderung kurang inovatif. Akibatnya BUMN pelaksana PSO terus dilanda kerugian. Pandangan masyarakat ini tidak sepenuhnya keliru, karena BUMN pelaksana PSO selama ini belum membuat pembukuan laporan keuangan secara terpisah atas kegiatan yang didanai dengan PSO dan kegiatan yang komersial. Apabila terdapat laporan secara terpisah, maka akan dengan mudah dapat ditentukan penyebab rendahnya kinerja BUMN.

Tabel 2. Persepsi PSO Pandangan Masyarakat dan Sebenarnya

Masyarakat Sebenarnya

Apabila perusahaan merugi, minta dana ke negara

PSO bukan masalah untung/rugi, tetapi penugasan untuk mendukung kebijakan pemerintah. Perhitungan: selisih biaya dengan tarif yang ditetapkan pemerintah Operasi yang untung akan mensubsidi

operasi yang rugi

Keuntungan dari bisnis angkutan komersial digunakan untuk mengembangkan bisnis komersial, agar perusahaan berkembang Asset potensial tidak dimanfaatkan untuk

menutupi operasi yang merugi

Asset tidak merupakan pengganti PSO, tetapi didayagunakan untuk pengembangan segmen komersial dalam rangka sustainable growth Kedua dalam bidang transportasi pelaksanaan PSO juga dihadapkan pada masalah dasar penentuan rute-rute transportasi yang di PSO kan. Selama ini belum ada aturan atau kriteria yang jelas dalam menentukan rute-rute transportasi yang di PSO kan. Banyak rute-rute yang sudah layak dikomersialkan

(6)

(karena swasta juga sudah membuka pelayanan yang sama), namun oleh pemerintah masih dijadikan jalur perintis atau jalaur yang di PSO kan.

Ketiga, belum semua kegiatan PSO dilakukan melalui seleksi lelang. Belum dipenuhinya salah satu mekanisme dalam penunjukkan badan usaha pelaksana PSO ini akan berdampak pada kinerja badan usaha yang cenderung tidak efisien. Dalam tahap pelaksanaan PSO juga terdapat dua masalah utama, yaitu: Pertama sebagai akibat ketidakjelasan konsep PSO, maka sampai ini belum ada standardisasi penghitungan kebutuhan dana PSO. Sebagaimana dimaklumi bahwa penghitungan nilai PSO antar BUMN selama ini masih menunjukkan adanya keberagaman. Sebagai contoh dalam penghitungan nilai PSO dan subsidi pada PT Pelni dan PT ASDP, misalnya telah memasukkan margin laba dan perkiraan pajak yang ditanggung perusahaan, namun dalam metode perhitungan PSO pada PT. KAI belum memasukkan unsur margin dan pajak.

Kedua, belum adanya pemisahan laporan keuangan BUMN atas kegiatan PSO dan non PSO. Beberapa BUMN yang mendapatkan penugasan PSO mengakui adanya kesulitan dalam memisahkan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan olehBusiness Review (Edisi Oktober 2006) terungkap bahwa diantara BUMN bidang transportasi misalnya baru PT KAI dan PT. ASDP yang memisahkan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO, sedangkan PT. Merpati dan PT. Pelni belum mampu memisahkan laporan keuangan atas kedua jenis kegiatan ini.

Berbagai permasalahan yang timbul dalam tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan PSO, pada akhirnya membawa dampak pada hasil evaluasi terhadap pelaksanaan PSO. Sebagai akibat tidak adanya konsep PSO yang jelas, akhirnya bermuara pada penghitungan kebutuhan dana PSO. Kebutuhan PSO yang dapat direalisasikan dalam APBN cenderung lebih rendah, hal bisa jadi lebih disebabkan keterbatasan keuangan negara, namun dengan adanya perencanaan yang baik dalam jangka menengah dan panjang, hal ini dapat dihindarkan. Melalui proses perencanaan yang baik, Departemen Teknis dapat menyusun harga pokok penjualan (HPP) untuk disesuaikan dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana PSO.

Rekomendasi

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PSO, perlu dicarikan jalan keluar pemecahan berbagai kendala yang dihadapi. Untuk itu beberapa jalan keluar yang disarankan adalah sebagai berikut: Pertama, perlunya Standardisasi Formula Perhitungan Kebutuhan Dana PSO. Dalam konteks ini kiranya perlu duduk bersama antara Departemen Keuangan Departemen Teknis terkait, Meneg. BUMN, Bappenas, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sesuai dengan lingkup pekerjaan yang di PSO kan, sebaiknya dalam formula penghitungan kebutuhan dana PSO tidak hanya menyangkut biaya pelayanan (yang terdiri dari harga pokok penjualan + margin keuntungan + pajak pendapatan), namun diperhitungkan pula biaya – biaya lain terkait, misalnya biaya pemeliharaan alat transportasi untuk PSO bidang transportasi.

Kedua, perlunya pemisahan Laporan Keuangan atas Kegiatan Operasional PSO dan Non PSO. Terdapat lima indikator yang dapat digunakan untuk melihat apakah penugasan PSO berjalan dengan baik, yaitu tepat sasaran, tepat waktu,

(7)

tepat jumlah dana PSO yang dibutuhkan, kualitas pelayanan yang diberikan dan harga (tarif). Indikator-indikator inilah yang belakangan ini selalu mendapatkan sorotan publik. Memang harus diakui sampai saat ini belum ada transparansi BUMN pelaksana PSO, sehingga wajar kalau muncul pandangan yang “miring” dari publik terhadap BUMN pelaksana PSO.

Untuk menghindari pandangan yang negatif dari publik dan untuk memenuhi asas transparansi dalam pelaksanaan PSO, sudah waktunya BUMN pelaksana PSO membuat laporan keuangan yang terpisah antara kegiatan PSO dan non PSO. Landasan hukum pemisahan laporan keuangan atas kegiatan PSO dan non PSO sudah ditetapkan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005. Dengan adanya pemisahan laporan keuangan diharapkan akan memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan pengalokasian dana PSO dan subsidi. Disamping itu melalui pemisahan laporan keuangan ini, pemerintah juga akan mudah melakukan kontrol tentang harga pokok penjualan sebenarnya. Penulis adalah Peneliti Madya pada Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu. Sumber:

Gambar

Tabel 1. Berbagai Kendala Umum Dalam Pelaksanaan PSO  Tahap Perencanaan  Tahap Pelaksanaan  Tahap Evaluasi  Belum adanya persepsi yang
Tabel 2. Persepsi PSO Pandangan Masyarakat dan Sebenarnya

Referensi

Dokumen terkait

3. Sutama, M.Pd, selaku dosen Pembimbing yang selalu memberikan pengarahan, motivasi, dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis hingga terselesaikannya

1) dapatkan daftar setiap kegiatan teknis sebagaimana tertuang dalam Renstra Organisasi Perangkat Daerah, RKT, DPA termasuk indikator sasarannya. 2) dapatkan definisi dan

Dari beberapa penjelasan di atas dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa manajemen merupakan sebuah ilmu dan seni yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia

belum memadai seperti kerusakan pada komputer yang bisa menghambat proses penerbitan surat persetujuan berlayar, kerusakan dan kurangnya fasilitas yang memadai di

Adanya pendidikan atau pembakalan khusus kepada anggota Polres Sleman tentang teknologi informasi dan komunikasi yang dapat mendukung dalam menjalankan tugasnya untuk

Dapat juga ditemukan paru-paru yang “biasa” karena cairan tidak masuk kedalam alveoli atau cairan sudah masuk kedalam aliran darah (melalui proses imbibisi), ini

Rumusan masalah yang diajukan yaitu: bagaimana implementasi hak dan kewajiban bagi narapidana wanita hamil/menyusui dalam lembaga permasyarakatan sesuai dengan

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil