• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PROBLEM FOCUSED COPING DALAM MENGHADAPI MASALAH PADA PRIA DAN WANITA YANG MENJALANI PACARAN JARAK JAUH DI MASA DEWASA AWAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN PROBLEM FOCUSED COPING DALAM MENGHADAPI MASALAH PADA PRIA DAN WANITA YANG MENJALANI PACARAN JARAK JAUH DI MASA DEWASA AWAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PROBLEM FOCUSED COPING DALAM

MENGHADAPI MASALAH PADA PRIA DAN WANITA YANG

MENJALANI PACARAN JARAK JAUH DI MASA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Maria Fransiska Diah P

NIM: 059114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

(2)
(3)
(4)

HALAMAN

 

MOTTO

 

 

Masa

 

lalu

 

adalah

 

kenangan

 

yang

 

tak

 

terulang

 

Masa

 

depan

 

adalah

 

harapan

 

Masa

 

kini

 

adalah

 

dimana

 

kita

 

berada

 

sekarang

 

ini

 

Hadapilah

 

hari

 

ini

 

dengan

 

lebih

 

baik

 

dari

 

hari

 

kemarin

  

Agar

 

hari

 

esok

 

menjadi

 

senyuman

 

 

 

 

 

 

 

 

(Y.

 

L.

 

G

 

Abu

 

Jatmiko)

 

 

(5)

Dipersembahkan untuk:

Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu

menyertaiku...

Bapak (FB Marsudi) dan Ibu (Ch. Sartini) tercinta

Adekku (Wahyu Puji Antono)

Seseorang yang kucintai dan mencintaiku....

(Y L G Abu jatmiko)

(6)
(7)

ABSTRAK

Perbedaan Perilaku Problem FocusedCoping Dalam Menghadapi Masalah pada Pria dan Wanita yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh di Masa Dewasa Awal

Maria Fransiska Diah P

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan problem focused coping yang digunakan oleh pria dan wanita yang menjalani pacaran jarak jauh di masa dewasa awal dalam menghadapi stres. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan perbedaan problem focused coping yang digunakan antara pria dan wanita yang menjalani pacaran jarak jauh di masa dewasa awal dalam menghadapi masalah. Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam menggunakan problem focused coping daripada wanita. Subyek penelitian ini berjumlah 74 subyek yaitu 37 pria dan 37 wanita. Pemilihan subyek untuk penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan try out terpakai karena sedikitnya jumlah sampel subyek yang dapat digunakan dalam penelitian ini sehingga hasil try out digunakan sebagai hasil penelitian yang dianalisis. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparasional. Variabel bebas yang terdapat dalam penelitian ini adalah jenis kelamin sedangkan variabel tergantungnya adalah problem focusedcoping. Metode pengumpulan data adalah skala strategi problem focused coping saat menghadapi masalah dalam menjalani pacaran jarak jauh Skala terdiri dari 30 soal problem focused coping. Hasil pengujian hipotesis penelitian pada metode problem focused coping diperoleh nilai uji-t sebesar 0,186 dengan taraf signifikansi sebesar 0,853 (p<0,05). Hal ini berarti bahwa hipotesis ditolak yang artinya tidak ada perbedaan dalam menggunakan metode Problem Focused Coping pada subyek pria dan wanita dalam menghadapi pacaran jarak jauh di masa dewasa awal dalam menghadapi stres. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis yang mengatakan bahwa ada perbedaan problem focused coping antara pria dan wanita, pria memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam menggunakan problem focused coping daripada wanita tidak signifikan.

Kata kunci: berfokus pada masalah, pacaran jarak jauh, masa dewasa awal

(8)

ABSTARCT

The Differences Behavior Problem Focused Coping between Men and Women in the Long Distance Relationship

in Early Adulthood.

Maria Fransiska Diah P

The goal of this research to know the differences problem focused coping between men and women who related with Long Distance relationship in early adulthood. The hypothesis proposed that there was a differences problem focused coping in by men and women use with long distance relationship in early adulthood, whom related with Long Distance Relationship in early adulthood. Men higher than women in used the problem focused coping.This research use 74 subjects consist of 37 men and 37 women used purposive sampling. This research used because the amount of samples is limited applied test and the test result can also be used as analyzed research data. This research was a comparison research. This research use gender as independent variable and problem focused coping as dependent variable. This research used a scale problem solving the long distance relationship were problem focused coping and emotional focused coping to collection data. Scale which consists of 30 items problem focused coping. The result of hypothesis testing in problem focused coping is t-test 0.186 with significantly degree 0.853 (P > 0.05). This result shows that there were no differences in problem focused coping method in men and women who related with long distance relationship in early adulthood in stress handling. According into results of this research, a conclusion can be taken, the hypothesis that said there was differences in problem focused coping between men and women

Keywords: problem focused coping, long distance relationship, early adulthood

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas rahmat,

penyertaan dan berkatNya yang penulis rasakan dari memulai penulisan skripsi

sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dhrama Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak akan terwujud tanpa

bantuan, bimbingan, dorongan dan pengarahan dari berbagai pihak. Maka penulis

mengucapkan terimakasih dengan setulus hati kepada

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menyertai dan

melimpahkan berkatNya setiap saat dalam berbagai pengalaman hidup yang

penulis alami sehingga penulis dapat terus bangkit dan menyelesaikan skripsi

ini

2. Ibu Dr Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarata dan dosen pembimbing skripsi yang

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan masukan, kritik, saran dan

dukungan selama penulis mengerjakan skripsi.

4. Bapak Minta Istono, S.Psi, M.Si dan Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si selaku

penguji skripsi yang memberikan masukan, kritik dan saran untuk skripsi

penulis agar menjadi lebih baik.

(11)

5. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik

yang senantiasa membimbing penulis dalam masalah yang berkaitan dengan

akademik.

6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah membimbing penulis

selama studi di Fakultas Psikologi ini.

7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie yang

membantu penulis selama studi di Fakultas Psikologi ini

8. Bapak (FB Marsudi) dan ibu (Ch Sartini) tercinta yang selalu mendoakan dan

memberikan dorongan kepada penulis selama penulis menempuh studi dan

menyelesaikan karya tulis ini. Pak, Bu.... akhirnya Diah bisa menyelesaikan

skripsi ini...

9. All my big family.... adek, simbah, pakde-budhe, om-bulek, mbak, dan

sepupu..makasih buat doa dan dukungannya selama penulis menempuh studi

10.“Bintang hidupku (Y L G Abu Jatmiko)” yang menerangiku, kucintai dan mencintaiku : Makasih mas buat perhatian dan cinta yang selalu kurasakan

setiap saat dalam suka dan duka serta dorongan, bantuan dan semangat

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga besar “KOST MAWAR”: Pak Siyam, makasih pak buat segala

bimbingannya selama penulis tinggal di Yogyakarta. Ani, Sisil, Cici, Ferry,

Evrin, Anggie, Rani, Ritha, Krisna, Ermen, Densi, Nitha, Itin, Fanny, Irin,

Erlika, Yuni, Ella, Ochi makasih buat keceriaan, keakraban dan kekeluargaan

selama ini.

(12)

12.Semua teman-teman angkatan 2005 yang mengisi hari-hari penulis selama

penulis studi di Fakultas Psikologi...

13.Semua teman-teman yang sudah berkenan mengisi kuisioner penelitian.

Makasih buat bantuan dan kesediaan kalian.

14.Semua pihak yang belum disebutkan satu persatu...terimakasih atas

dukungan dari kalian semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat memberikan

masukan bagi penulis.

Penulis

Maria Fransiska Diah P

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...……...…i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...…...ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

HALAMAN MOTTO……….……...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...…...…...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…….…………...vi

ABSTRAK……….…….………...vii

ABTRACT…………...………...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...ix

KATA PENGANTAR………...…...x

DAFTAR ISI………...……...xiii

DAFTAR TABEL………..………...xvi

DAFTAR GAMBAR...xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xviii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...….……1

B. Perumusan Masalah………..……….7

C. Tujuan Penelitian………..……….7

D. Manfaat Penelitian………..………...7

BAB II: LANDASAN TEORI A. Problem Focused Coping 1. Pengertian Strategi coping ………....………..9

(14)

2. Fungsi Coping………..……....…...10

3. Bentuk-Bentuk Coping………...12

4. Fungsi Problem Focused Coping ...14

5. Aspek-Aspek Problem FocusedCoping………..………..…16

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping...17

B. Pacaran Jarak Jauh 1. Pengertian Pacaran………..………...19

2. Pengertian Pacaran Jarak Jauh.………...……....22

3. Tantangan Dalam Pacaran Jarak Jauh………..…..…24

C. Masa Dewasa Awal………..………..….25

D. Dinamika Perbedaan Problem Focused Coping Pada Pria dan Wanita Dalam Menghadapi Masalah Pada Pacaran Jarak Jauh di Masa Dewasa Awal…………...28

E. Skema Perbedaan Problem Focused Coping Dalam Mengatasi Masalah Pada Pria dan Wanita yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh di Masa Dewasa Awal ...….33

F. Hipotesis……….34

BAB III: METODELOGI PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian………...………..…...35

B. Definisi Operasional………...…………..35

C. Jenis Penelitian………...……..37

D. Subyek Penelitian………...……..37

E. Metode Pengumpulan Data………...……..………….…38

(15)

F. Validitas dan Realibilitas Alat Pengumpulan Data………...40

G. Metode Analisis Data………..……….…43

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian………..………...44

B. Pelaksanaan Penelitian………..…...44

C. Hasil Uji Coba Penelitian………..…..….46

D. Hasil Penelitian………..………..48

E. Pembahasan……….……..………..51

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………..……..…...55

B. Saran………..………...56

DAFTAR PUSTAKA………..……..……...57

LAMPIRAN...60

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Distribusi Butir-Butir Skala Problem FocusedCoping

Sebelum Uji Coba...39

Tabel 2: Distribusi Jumlah Subyek Penelitian ………...45

Tabel 3: Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia………..45

Tabel 4: Distribusi Butir-Butir Skala Problem Focused Coping

Setelah Uji Coba...47

Tabel 5 :Tabel Uji Normalitas Metode Problem Focused Coping

Pada Subyek Wanita………48

Tabel 6: Tabel Uji Normalitas Metode Problem Focused Coping

Pada Subyek Pria………...49

Table 7: Tabel Uji Homogenitas Pada Metode Problem Focused Coping.……49

Tabel 8: Tabel Deskriptif Problem Focused Coping……….…....50

(17)

DAFTAR GAMBAR

Skema Perbedaan Problem Focused Coping Dalam Mengatasi Masalah

Pada Pria dan Wanita yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh di Masa

Dewasa Awal……...33

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

1. SKALA...61

2. DATA SUBYEK PENELITIAN...67

LAMPIRAN B 1.RELIABILITAS...71

2. UJI NORMALITAS...75

3.UJI HOMOGENITAS...78

4.UJI HIPOTESIS...80

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa dewasa awal adalah periode transisi antara masa remaja dan

masa dewasa yang merupakan perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi

yang sementara (Santrock,2002;73). Masa dewasa awal juga merupakan awal

dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu

pada masa dewasa awal telah melewati masa remaja dan kini akan memasuki

tahap pencapaian kedewasaan dengan berbagai macam tantangan yang lebih

beragam bentuknya yang harus dihadapi.

Pada masa dewasa awal (young adulthood) tugas-tugas perkembangan

lebih berfokus pada beberapa tugas pokok sebagai makhluk sosial. Sebagai

makhluk sosial, berarti bahwa individu membutuhkan kehadiran individu lain

di dalam kehidupannya. Mereka menjalin relasi dengan orang lain baik dengan

sesama maupun lawan jenis. Di masa ini individu akan mempunyai tugas

perkembangan yang berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang

lain, terutama hubungan intim dengan lawan jenis yang ditandai dengan saling

mengenal pribadi seseorang baik kekurangan ataupun kelebihan

masing-masing individu yang dilanjutkan dengan berpacaran (Dian:2006)

Pacaran merupakan suatu proses masa saling mengenal pasangan

secara lebih mendalam dan menyesuaikan diri. Biasanya pacaran serius

dimulai sejak masa dewasa muda dan merupakan periode penyesuaian

terhadap pola-pola hidup yang baru dan harapan sosial yang baru pula.

(20)

2

Seseorang akan menjalin hubungan dekat dengan orang yang dikasihi melalui

hubungan pacaran karena merasakan kenyamanan dan kecocokan. (Nisa:2007)

Pada umumnya orang yang menjalin hubungan romantis pacaran selalu

ingin merasa dekat satu sama lain secara fisik maupun perasaan. Namun

dalam menjalani pacaran, individu tidak selalu dapat berdekatan dengan

pasangannya sehingga mereka melakukan pacaran jarak jauh. Pacaran jarak

jauh merupakan suatu hubungan antara dua pihak yang saling berkomitmen

namun, individu tidak dapat selalu berada secara berdekatan satu sama lain

dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling membutuhkan, karena

menempuh pendidikan atau tuntutan bekerja pada kota yang berbeda, pulau

yang berbeda, bahkan negara ataupun benua (Nisa:2007).

Di Amerika, pada tahun 2005 jumlah pasangan yang belum menikah

yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh menunjukkan bahwa 4,4 juta

mahasiswa (20-40% dari berbagai program studi) menjalani hubungan jarak

jauh. Sebuah studi juga menyebutkan bahwa 1 dari 7 (14%) pasangan di

Amerika Serikat adalah Long Distance Relationship. Sedangkan berdasarkan

perkiraan dari data sensus kurang lebih ada 3,5 juta pasangan yang long

distance relationship. Secara keseluruhan, ada sekitar tujuh juta-an pasangan

(14-15 juta orang) di Amerika Serikat yang sedang menjalani Long Distance

Relationship. (Rini,2008:19).

Situasi dalam hubungan pacaran jarak jauh (long distance relationship)

mempunyai banyak hambatan dan persoalan. Adanya persoalan dan hambatan

(21)

3

hambatan yang rumit dan menimbulkan tekanan secara psikologis tidak dapat

dihindari. Persoalan yang sering muncul dalam pacaran jarak jauh misalnya

masalah kejauhan fisik, pacaran jarak jauh bisa merusak rasa saling percaya

atau trust dalam hubungan yang merupakan sesuatu yang amat penting dalam

hubungan berpacaran, menyukai lawan jenis yang ada di dekatnya, merasa

tidak diperhatikan, kejenuhan dan rasa kesepian. Selain itu, hubungan pacaran

jarak jauh sangat mungkin akan mengalami suatu konflik dan jika tidak segera

diselesaikan dapat mengakibatkan frustrasi dan ketidakseimbangan kejiwaan

yang dapat memberikan pengaruh langsung dalam hubungan.

Mereka yang berada pada masa dewasa awal akan mulai mengatur

pemikiran secara operasional dan dituntut tanggung jawab dalam memutuskan

sesuatu sehingga mereka merencanakan dan membuat hipotesis yang lebih

sistematis ketika mendekati masalah dan tidak hanya menggunakan emosi.

Orang dewasa lebih mampu menyusun hipotesis dari pada remaja dan

menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu masalah.

(Santrock,2002:91-92).

Menghadapi persoalan dan hambatan merupakan suatu keadaan yang

tidak menyenangkan. Hambatan dan persoalan yang terjadi dalam menjalani

hubungan pacaran jarak jauh dapat menyebabkan terganggunya fungsi emosi,

fisik dan kognitif. Tidak semua orang dapat mengatasi masalah karena cara

penyelesaian yang kurang efektif dan menggunakan emosi. Dalam

(22)

4

pacaran jarak jauh dapat menyelesaikannya. Ada juga yang menyerah

sehingga mengambil keputusan untuk putus.

Hasil wawancara dengan beberapa orang yang menjalani pacaran jarak

jauh terlihat bahwa masalah dalam pacaran jarak jauh dapat dipicu oleh

beberapa hal. My (perempuan,23 tahun) mengatakan bahwa dia menyadari

bahwa ada lawan jenis di dekatnya yang mulai menyukai atau disukai, takut

pasangan menyukai/disukai orang lain, pasangan tidak pengertian sehingga

bila berkomunikasi lewat telpon hanya bertengkar dan terjadi

kesalahpahaman. AA (perempuan, 22 tahun) mengatakan bahwa pemicu

emosi yang membuat hubungannya mengalami masalah karena komunikasi

yang kurang dan tidak dapat bertemu secara fisik. Selain itu, E (laki-laki,22

tahun) mengatakan dia merasa gelisah pasangannya tidak setia dan takut

pasangannya diganggu oleh laki-laki lain, tidak dapat memberi perhatian yang

nyata seperti tidak di sampingnya ketika pasangannya membutuhkan dan tidak

dapat menemaninya setiap hari. R (laki-laki, 22 tahun) mengatakan bahwa

adanya godaan untuk selingkuh karena bosan dan sering mendengar

berita-berita negatif tentang pasangan yang mengganggu pikirannya. Fenomena

pacaran jarak jauh juga dialami oleh artis Acha Septriasa seorang penyanyi

dan aktris sinetron yang menjalani pacaran jarak jauh kurang dari satu tahun.

Acha berada di Malaysia untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih

tinggi dan Irwansyah berada di Jakarta. Jarak yang jauh dan kesibukan mereka

(23)

5

ketiga. Hal tersebut tidak dapat mereka atasi sehingga mereka mengambil

keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka (infoartis,2008).

Ketika seseorang berhadapan dengan permasalahan dalam hidupnya,

seseorang akan menggunakan mekanisme strategi coping untuk melindungi

tekanan-tekanan psikologi yang dialami. Strategi coping merupakan suatu

suatu proses yang dilakukan individu untuk mencoba mengelola jarak yang

ada antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu maupun lingkungan

dengan sumber daya yang digunakan. (Smet, 1994:143).

Strategi coping dibedakan menjadi dua yaitu Problem FocusedCoping

(PFC) dan Emotional Focused Coping (EFC). Strategi coping yang

berorientasi pada masalah atau Problem Focused Coping merupakan usaha

yang digunakan untuk mengatasi masalah dengan mempelajari cara-cara atau

keterampilan-keterampilan yang baru dan individu akan cenderung

menggunakan strategi ini bila yakin akan dapat mengubah situasi sedangkan

strategi yang berorientasi pada emosi atau Emotional Focused Coping lebih

digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap masalah.

(Smet,1994:145-147)

Setiap orang memiliki solusi yang berbeda-beda dalam mengatasi

masalah yang dialami. Seseorang yang cenderung menggunakan problem

focused coping dalam mengatasi masalah yang dialami akan cenderung untuk

lebih terfokus pada masalah yang dihadapinya dan berusaha untuk mencari

berbagai cara untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Seseorang yang

(24)

6

sumber masalah dapat diubah. (Arbidiati dan Kurniati.2007:24). Pada Problem

Focused Coping seseorang menghadapi masalah dengan pemecahan masalah,

pembuatan keputusan, maupun dengan menggunakan tindakan langsung.

(Setianingsih,2003:107). Mereka yang dipengaruhi oleh rasionalitas akan

cenderung menggunakan strategi problem focused coping karena dalam

kesehariannya mereka sudah dapat mengontrol emosi dengan baik sehingga

ketika berhadapan dengan masalah mereka akan menggunakan rasio.

(Susantiny,2001:6)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan pemilihan perilaku

coping adalah usia, pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan sosial, jenis

kelamin, karakteristik kepribadian dan pengalaman. Namun, peneliti hanya

meneliti tentang faktor jenis kelamin.

Menurut Penelitian yang dilakukan Tamres, Janicki dan Helegeson

(Baron & Byrne,2006:525) menunjukan bahwa pria dan wanita memiliki

perbedaan dalam mengatasi situasi yang menekan. Hasil penelitian ini

mengindikasikan bahwa wanita menggunakan strategi coping yang luas baik

problem focused coping (misalnya, perencanaan dan coping secara aktif)

maupun emotional focused coping (antara lain mencari dukungan sosial dan

perenungan kembali) dibandingkan dengan pria.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berfokus pada perbedaan problem focused coping pada pria

dan wanita di masa dewasa awal dalam mengatasi masalah yang terjadi pada

(25)

7

B. Perumusan Masalah

Masalah yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah apakah ada

perbedaan problem focused coping pada pria dan wanita di masa dewasa awal

dalam mengatasi masalah yang terjadi pada pacaran jarak jauh?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan problem focused

coping pada pria dan wanita di masa dewasa awal dalam mengatasi masalah

yang terjadi pada pacaran jarak jauh

D. Manfaat

1. Manfaat teoretis

Dapat menambah wawasan dan memberi sumbangan teoritis serta

memperluas konsep pengetahuan psikologis perkembangan di masa

dewasa awal tentang kecenderungan perilaku pria dan wanita yang

menjalani pacaran jarak jauh di masa dewasa awal dalam menggunakan

problem focused coping dalam mengatasi masalah dalam hubungan

pacaran jarak jauh.

2. Manfaat praktis

a. Bagi orang yang berpacaran jarak jauh

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa

yang sedang berada pada tahap perkembangan masa dewasa awal dan

(26)

8

dapat membantu mereka memberikan gambaran dan mengetahui tentang

perilaku problem focused coping yang dapat digunakan dalam

menghadapi masalah dalam hubungan pacaran jarak jauh sehingga dapat

menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi orang yang mengalami

masalah serupa

b. Bagi pembaca

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi,

bahan referensi dan dasar penelitian lain yang berkaitan dengan problem

focused coping dalam menghadapi masalah dalam hubungan pacaran

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Problem Focused Coping 1. Pengertian Strategi Coping

Pada dasarnya hampir setiap orang mengalami masalah hanya

memiliki kadar yang berbeda. Adanya keinginan dan tuntutan untuk

memecahkan masalah dan situasi yang menekan merupakan pemicu

munculnya sekumpulan individu untuk mengatasinya. Cara-cara untuk

mengatasi tuntutan-tuntutan yang menekan disebut dengan coping. Coping

dipandang sebagai faktor penyeimbang dalam usaha individu

mempertahankan penyesuaian dirinya selama menghadapi situasi yang

dapat menimbulkan stres. (Wardhani:2002,9)

Menurut Lazarus dan Folkman,1987 coping dimengerti sebagai

usaha kognitif, ekspresif dan tingkah laku untuk mengatur situasi penuh

stress dan emosi yang menyusahkan, yang berhubungan dengan kesehatan

fisik, kesehatan psikologi dan sosial (Weber.2001:133). Coping juga

memiliki arti cara yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi atau

masalah yang dianggap sebagai tantangan, ketidakadilan ataupun ancaman

yang merugikan (Paramitha. Abdurrohim & Dhamayanti,2007:41)

Menurut Lazarus & Folkman (1984) coping berbeda dengan perilaku

adaptif otomatis, karena coping membutuhkan suatu usaha, yang akan

menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai

(28)

10

suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat

dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk

menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi dapat

benar-benar dikuasai. (Wangsadjaja,2008)

Coping selanjutnya disebut dengan strategi coping. Strategi coping

merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk melindungi diri

dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh problematika

pengalaman sosial. (Mu’tadin,2002).

Berdasarkan sejumlah definisi di atas, maka peneliti mengambil

kesimpulan bahwa yang dimaksud strategi coping adalah suatu usaha

kognitif dan tingkah laku yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi

suatu keadaan yang menekan sehingga menjadi suatu situasi yang lebih

menyenangkan.

2. Fungsi Coping

Lazarus dan Folkman menyatakan coping yang efektif adalah coping

yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi

menekan, serta tidak merisaukan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai

dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus mengemukakan, agar

coping dilakukan dengan efektif, maka coping perlu mengacu pada lima

fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :

(Wangsadjaja.2008)

(29)

11

a. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan

prospek untuk memperbaikinya

b. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.

c. Mempertahankan gambaran diri yang positif.

d. Mempertahankan keseimbangan emosional.

e. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain

Menurut Taylor (Wangsadjaja, 2008), efektivitas coping tergantung

dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi

semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan

baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas

tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap

individu. Coping outcome adalah kriteria hasil coping untuk menentukan

keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :

a. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping

yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti

menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem

pernapasan.

b. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia

mengalami stres, dan seberapa cepat dapat kembali. Coping dinyatakan

berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali

pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.

(30)

12

c. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping

dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas

dan depresi pada individu.

Berdasarkan uraian tentang beberapa tujuan dari strategi coping

dapat dilihat bahwa usaha coping yang dilakukan tidak harus mengarah

pada penyelesaian masalah secara tuntas. Namun, lebih pada usaha coping

yang dilakukan individu dalam menghadapi stres, individu tersebut dapat

bertahan untuk tidak larut dalam masalah yang dihadapi.

3. Bentuk-Bentuk Coping

Lazarus dan Folkman membedakan dua tipe umum upaya-upaya

coping (penganggulangan masalah) berdasarkan skala Ways of Coping

(Lyons, et.al., 2006:152):

a. Problem FocusedCoping (PFC)

Individu mencoba mereduksi tuntutan stressor. Individu akan

berusaha mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau

keterampilan-keterampilan yang baru dan individu akan cenderung

menggunakan strategi bila dirinya yakin akan dapat mengubah

situasi (Smet, 1994:145). Seseorang yang cenderung menggunakan

problem focused coping dalam mengatasi masalah yang dialami akan

cenderung untuk lebih terfokus pada masalah yang dihadapinya dan

berusaha untuk mencari berbagai cara untuk memecahkan masalah

yang dihadapinya. (Arbidiati, et.al.2007:24).

(31)

13

b. Emotion-Focused Coping(EPC)

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres,

melalui perilaku individu alam rangka menyesuaikan diri dengan

dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang

penuh tekanan (Lyons, et.al., 2006:152). Bila individu tidak mampu

mengubah kondisi yang stressful individu akan cenderung untuk

mengatur emosinya. (Smet,1994: 145) Jadi EFC ditujukan untuk

mengurangi atau mengatasi tekanan emosional yang berkaitan

dengan situasi yang terjadi.

Folkman dan Lazarus (1986) menyebutkan bahwa perbedaan

problem focused coping dan emotional focused coping terletak pada cara

yang digunakan untuk menghadapi stres. Pemecahan masalah dalam PFC

adalah dengan membuat rencana dan melakukan tindakan langsung

terhadap sumber masalah sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan.

PFC digunakan untuk menyelesaikan masalah hingga masalah tersebut

terselesaikan. Sedangkan EFC dilakukan dengan mengarahkan

perilakunya pada pengontrolan emosi yang tidak menyenangkan melalui

usaha mencari sisi baik dari masalah yang dihadapi, mencari simpati dan

pengertian dari orang lain atau dengan cara mencoba menghindar untuk

melupakan. EFC bersifat sementara yang artinya masalah yang

sesungguhnya belum selesai karena hanya meredakan emosi yang timbul

dari sumber stres. (Wardhani, 2002:10). Individu dapat menggunakan

(32)

14

kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi

coping pasti digunakan oleh individu. (Wangsadjaja,2008).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2

bentuk-bentuk strategi coping yaitu Problem Focused Coping adalah

strategi coping yang dilakukan oleh individu untuk menghadapi situasi

yang penuh strss dengan cara cenderung untuk lebih terfokus pada

masalah yang dihadapinya dan berusaha untuk mencari berbagai cara

untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Sedangkan Emotional

Focused Coping adalah strategi coping yang dilakukan oleh individu

untuk menghadapi situasi penuh stres dengan mengontrol emosi terhadap

situasi yang penuh dengan stress.

4. Fungsi Problem Focused Coping

Folkman dan Lazarus mengemukakan bahwa PFC mempunyai

fungsi mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh stres atau mengatasi

masalah yang dihadapi hingga tuntas sehingga menghambat masalah lain.

(Wardhani,2002:12)

Folkman dan Moskowitz (2000) mengatakan Problem focused

coping bertujuan untuk memecahkan atau menangani masalah dan

meliputi pendekatan untuk perencanaan (planning) dan memecahkan

masalah (resolving problems), mendapatkan informasi (gathering

information) dan membuat keputusan (making decisions) (Lefton and

Brannon.2003:511)

(33)

15

PFC meliputi usaha aktif untuk mengubah atau mengilangkan situasi

penuh stres, membuat rencana untuk memecahkan masalah, meminta

bantuan orang lain untuk menolong, atau tidak ada hal lain yang bisa

mengubah situasi menjadi lebih baik. (Baron dan Byrne.2006:524)

Berdasarkan penelitian tentang pengaruh coping terhadap proses

penyesuaian diri, Holahan dan Moos (Wardhani,2002:12) menyatakan

beberapa kelebihan PFC dibandingkan dengan EFC antara lain:

a. PFC memiliki hubungan dengan menurunnya tingkat depresi sedangkan

EFC berhubungan dengan positif dengan munculnya stres psikologis.

b. Pada kalangan praktisi hukum, semakin sering mereka menggunakan

EFC untuk mengatasi masalah maka semakun meningkatkan ketegangan

fisik maupun psikis

c.Usaha-usaha untuk mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan

dengan jalan menarik diri secara aktual justru hanya meningkatkan stres

dan menguatkan masalah di masa mendatang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi dari

PFC adalah mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh stres atau

mengatasi masalah yang dihadapi hingga tuntas dan mengatasi situasi

yang menekan agar dampak buruk dapat dihindari serta dapat menghambat

masalah lain yang akan muncul di masa mendatang.

(34)

16

5. Aspek - Aspek Problem Focused Coping

Aspek perilaku coping yang berorientasi pada pemecahan pokok

permasalahan menurut Aldwin dan Revenson: (Setianingsih.2003:107 dan

dalam Limbong,2003:17-18).

a. cautiousness atau kehati-hatian

Merencanakan sesuatu dengan baik sebelum melaksanakan sesuatu.

Usaha yang dilakukan adalah berpikir dan mempertimbangkan

beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta

pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah dan

mengevaluasi strategi-strategi yang sudah dilakukan sebelumnya.

b. instrumental action atau tindakan instrumen

Usaha-usaha yang secara langsung dilaksanakan untuk memecahkan

masalah: Usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan

tindakan-tindakan yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung

serta menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan.

c. Negotiation atau negosiasi

Usaha yang memusatkan perhatian pada taktik untuk memecahkan

masalah secara langsung dengan orang lain yang terlibat atau

merupakan penyebab masalah.

(35)

17

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih

strategi coping yang akan digunakan (Setianingsih,2003:105 dan dalam

Andanasari,2008:20-22)

a. Usia

Perilaku coping yang digunakan akan berbeda pada tiap tingkat

usia. Pada orang yang memiliki usia yang matang cenderung

menggunakan problem focused coping.

b. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan akan mempunyai penilaian yang

lebih realistis. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan

mengatasi stres daripada menghindar dari stres.

c. Status sosial ekonomi

Mereka yang mempunyai status ekonomi yang rendah akan

mempunyai tingkat stres yang tinggi terutama dalam masalah ekonomi

dan individu dengan status sosial ekonomi tinggi menunjukkan

kecenderungan menggunakan bentuk coping yang adaptif yang

melibatkan unsur fleksibilitas, pemikiran logis dan realistis daripada

menggunakan bentuk coping defensif yang kaku dan irasional.

d. Dukungan sosial

Dukungan sosial yang positif berhubungan dengan berkurangnya

kecemasan dan depresi. Individu yang memiliki komunitas yang

memberi dukungan akan lebih mudah dalam mengatasi stres. Contohnya

(36)

18

individu yang memiliki dukungan sosial dari keluarga akan

menggunakan coping yang adaptif dan mengurangi coping menghindar.

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan bahan acuan atau perbandingan individu

dalam menghadapi suatu kejadian yang hampir sama. Individu yang

sering menghadapi stres seringkali lebih mampu menyelesaikan stres

dengan bertolak dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami.

f. Karakteristik kepribadian

Model karakteristik kepribadian yang berbeda akan mempunyai

perilaku coping yang berbeda. Kepribadian dideskripsikan sebagai

keseluruhan pola terhadap individu baik aktual maupun potensial, yang

memungkinkan individu memprediksi tindakan yang akan dilakukan

dalam menghadapi berbagai situasi. Cara individu mempersepsi,

menilai, mengevaluasi dan bereaksi terhadap stimulus lingkungannya

sangat dipengaruhi oleh kepribadiannya. Individu yang introvert

cenderung akan tidak akan mengatasi stres dan hanya menurunkan emosi

sedangkan ekstrovert akan mengatasi stres dan biasanya melibatkan

orang lain.

g. Jenis kelamin

Penelitian yang dilakukan Tamres, Janicki dan Helegeson (Baron

et.al,2006:525) menunjukan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan

dalam mengatasi stres. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa

wanita menggunakan strategi coping yang luas baik problem focused

(37)

19

coping (misalnya, perencanaan dan coping secara aktif) maupun

emotional focused coping (antara lain mencari dukungan sosial dan

perenungan kembali) dibandingkan dengan pria.

Menurut J.T. Ptacek, Ronald Smith dan John Zanas

mendiskusikan perbedaan dua pandangan untuk jenis kelamin dan

coping yaitu: (Brannon:1996:388)

a. Pandangan sosialisasi

Wanita memberi reaksi terhadap stres secara emosional dan

pria diduga bereaksi secara aktif, strategi problem. Jadi diduga

bahwa pria dan wanita akan menggunakan strategi yang berbeda

dalam situasi stres yang sama.

b. Pandangan struktural

Perbedaaan mendasar antara pria dan wanita datang dari

perbedaan situasi stress yang berbeda .

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kecenderungan pemilihan perilaku coping adalah usia,

pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan sosial, jenis kelamin,

karakteristik kepribadian dan pengalaman

B. Pacaran Jarak Jauh 1. Pengertian Pacaran

Gilarso (dalam Utami,2006:27) menjelaskan pacaran sebagai

hubungan yang semula adalah teman biasa menjadi hubungan istimewa

(38)

20

atau mengkhusus. Pacaran mengandung pengertian bahwa pria dan wanita

mulai memproses hubungan mereka, untuk secara serius menjajagi dan

memikirkan kemungkinan mereka melestarikan hubungan mereka sampai

pada jenjang perkawinan. Lips (dalam Ellywati,2003:15) menjelaskan

hubungan heteroseksual ini dengan istilah kencan atau dating yang

kemudian berlanjut dengan pacaran. Soesilowindardini mengatakan dating

adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan hubungan antara pria

dan wanita pada tahap pengenalan yaitu suatu tahap awal dari suatu

hubungan serius.

Dalam membangun keterikatan dengan orang lain, orang harus

mencari pasangan dan membangun ikatan emosi yang menopang mereka

tiap waktu. Pada dewasa awal dikhususkan mengenai cinta romantic, yang

membutuhkan keterikatan. Biasanya orang memilih pasangan yang mirip

dengan dirinya dalam hal sikap, kepribadian, rencana pendidikan,

intelegensi, daya pikat fisik dan bahkan tinggi badan. Selama perbedaan

mengizinkan setiap orang untuk memuaskan pilihan pribadi dan tujuan,

mereka dapat menyumbangkan kecocokan. Faktanya, penelitian

menemukan bahwa pasangan yang memiliki banyak kemiripan lebih

memuaskan mereka untuk merawat hubungan mereka (Berk,2006:468)

Untuk melalui hubungan pacaran, biasanya diawali dengan proses

perkenalan, pertemanan, bersahabat hingga memasuki hubungan pacaran.

Seseorang akan menjalin hubungan dekat dengan orang yang dikasihi

melalui hubungan pacaran karena merasakan kenyamanan dan kecocokan.

(39)

21

Dalam menjalin hubungan pacaran biasanya bertujuan untuk saling

mengenal satu sama lain. Hubungan berpacaran akan terjalin dengan baik

bila ada rasa nyaman, rasa pengertian, rasa percaya dan keterbukaan satu

sama lain. Kedewasaan dalam berpacaran bisa dilihat dari kesiapan untuk

bertanggung jawab. Ini dapat dilihat dari kemampuan untuk menyesuaikan

diri dengan berbagai tuntutan peran, membagi waktu, perhatian, dan

tanggung jawab terhadap masa depan. Serta kesiapan untuk berbagi

dengan orang lain, menghadapi permasalahan pacaran, dan tetap bisa

mengendalikan diri dan memenuhi nilai-nilai yang dianut dalam

berhubungan dengan lawan jenis. (Ma’shum, & Wahyurini: 2004).

Erikson melihat perkembangan pada hubungan keterikatan adalah

tugas yang penting sekali dalam masa dewasa awal. Membutuhkan bentuk

yang kuat, seimbang, tertutup dan hubungan yang penuh kepedulian.

Elemen penting dalam hubungan keterikatan adalah self-disclosure yaitu

menyatakan informasi penting dari dalam dirinya kepada orang lain.

Hubungan keterikatan memerlukan kemampuan seperti kesadaran diri,

empati, kemampuan komunikasi emosi, pemecahan konflik dan

kemampuan menopang komitmen (Papalia,2005;520).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah

suatu hubungan yang terjalin dengan lawan jenis karena adanya

keterikatan, kenyamanan, kepercayaan, perhatian dan kecocokan satu

sama lain untuk mengenal kebiasaan, karakter atau sifat masing-masing

pasangan.

(40)

22

2. Pengertian Pacaran Jarak jauh

Saat menjalin hubungan pacaran, seseorang selalu ingin merasa

dekat satu sama lain secara fisik maupun perasaan. Namun, dalam

menjalani pacaran, individu tidak selalu dapat berdekatan dengan

pasangannya, sehingga mereka melakukan pacaran jarak jauh. Pacaran

jarak jauh merupakan suatu hubungan antara dua pihak yang saling

berkomitmen namun individu tidak dapat selalu berada secara berdekatan

satu sama lain, dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling

membutuhkan, karena bersekolah atau bekerja pada kota yang berbeda,

pulau yang berbeda, bahkan negara ataupun benua yang berbeda.

(Nisa,2007).

Shalstein (Rini,2008:22) mendefinisikan hubungan jarak jauh

sebagai hubungan ketidakhadiran secara fisik pasangannya. Namun

kebanyakan perpisahan karena ketidakhadiran pasangan secara fisik

sifatnya sementara dan terjadi karena kemauan. Menurut Ruth Purple

pacaran jarak jauh adalah adanya jarak atau benua atau laut diantara dua

orang yang saling cinta. Dalam hubungan ini merupakan kerja keras

karena memerlukan rasa saling percaya dan komitmen.

Hubungan pacaran jarak jauh memerlukan ikatan yang kuat dan

kejujuran. Hal ini diperlukan dua orang yang saling mencintai (Drake,

2007). Jarak jauh dalam hubungan jarak jauh berkisar antara jarak yang

jauh ke suatu daerah atau bahkan negara.

(41)

23

Long distance relationship memiliki banyak definisi. Biasanya

menggunakan kriteria “terpisah jarak beberapa mil ” meskipun ukuran

tepat untuk milnya selalu berubah, contohnya Schwebel menggunakan 50

mil (80,4672 km) atau lebih untuk penelitiannya, dimana Lydon, Pierce,

O’Regan dan Knox menggunakan 200 mil (321,8688 km) atau lebih untuk

mendefinisikan long distance relatinship. Penelitian lain menggunakan

definisi lain yang kurang konkret. Contohnya, Guldner menggunakan

perkataan ”pasanganku tinggal cukup jauh dari saya yang akan sangat

susah atau tidak mungkin untuk melihatnya setiap hari”. Definisi yang

berbeda menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang berperan dalam

hubungan pacaran jarak jauh. (Skinner,.2005)

Menurut Sprecher dalam hubungan pacaran jarak jauh komunikasi

dilakukan dengan tidak tatap muka karena terhalang dengan jarak

sehingga mereka berkomunikasi dengan cara email atau telepon.

(Hampton, 2008). Namun, komunikasi dan cinta tidak satu-satunya faktor

yang dapat menopang hubungan diantara pasangan tetapi kepuasan dan

komitmen juga merupakan sesuatu hal yang sama penting dalam hubungan

pacaran jarak jauh. Beberapa penelitian menemukan bahwa komitmen

adalah prediktor yang baik dalam kestabilan hubungan. Komitmen yang

dimiliki laki-laki berbeda dengan wanita. Wanita memperlihatkan lebih

berkomitmen daripada pria (Skinner,2005)

Berdasarkan uraian di atas definisi pacaran jarak jauh adalah

hubungan antara laki-laki dan perempuan yang saling berkomitmen yang

(42)

24

terpisah dengan jarak 50 mil (50 mil = 80,4672 km) atau 200 mil

(321,8688 km) dan mereka terpisah secara fisik karena pasangan berada

di daerah, kota, pulau atau negara yang berbeda.

3. Tantangan Dalam Pacaran Jarak Jauh

Menurut Shehan menyatakan interaksi yang positif akan ditandai

dengan seringnya pasangan menghabiskan waktu berdua, adanya

keterbukaan dan kedekatan satu sama lain, adanya emosi positif dan

perilaku yang menunjukan rasa cinta dan kasih sayang dan perilaku yang

saling mendukung (Rini, 2008:20). Teori-teori tentang hubungan cinta

romantik juga mensyaratkan kedekatan fisik sebagai salah satu syarat

terbangunnya hubungan yang sehat Namun pada hubungan pacaran jarak

jauh hal tersebut tidak dapat terjadi karena mereka tidak selalu dapat selalu

berada secara berdekatan satu sama lain.

Pada pasangan yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh akan

menghadapi banyak tantangan. Tantangan yang terdapat dalam hubungan

pacaran jarak jauh yaitu: (Wikipedia, 2009)

a. pasangan jarak jauh terpisah karena jarak dan akan memungkinkan

adanya konflik

b. komunikasi dapat lebih menantang dan sangat diperlukan.

c. perilaku pasangan tidak dapat dimonitor sehingga diperlukan

kepercayaan

d. hubungan secara fisik dan perilaku seksual tidak dapat dilakukan

(43)

25

e. kemungkinan pasangan menjadi bosan dan lenggang

Menurut Dr. Greg Guldner, direktur Center for the Study of

Long-Distance Relationships, yang membedakan antara pasangan yang berhasil

dan tidak berhasil menjalani LDR adalah: peraturan dasar seperti berapa

kali sehari memberikan kabar dan jadwal bertemu. Dr. Guldner

menjelaskan, sekitar 70% pasangan LDR yang tidak mengatur perjanjian

sejak mula, rata-rata putus hubungan setelah 6 bulan (resep sukses pacaran

jarak jauh,2009). Anwar Sheriff (Majalah Lisa, 2006) mengatakan bahwa

hubungan pacaran jarak jauh adalah hubungan yang penuh risiko.

Kebanyakan hubungan pacaran jarak jauh gagal karena tak ada rasa saling

percaya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga hubungan

jarak jauh tetap awet. Hal tersebut tergantung tekad, sifat hubungan

asmara itu sendiri, dan seberapa kuat komitmen untuk menjalani hubungan

tersebut. Jika ada tekad, memiliki hubungan yang kokoh, dan mau

menjalani komitmen, maka hal tersebut dapat menjadi modal untuk

menjalankan hubungan jarak jauh. Namun, hal tersebut tergantung

pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh, karena pacaran jarak jauh itu

sangat rentan dengan hal-hal negatif seperti, selingkuh.

C. Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal adalah periode transisi antara masa remaja dan

masa dewasa yang merupakan perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi

yang sementara (Santrock,2002;73). Masa dewasa awal juga merupakan awal

(44)

26

dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu

pada masa dewasa awal telah melewati masa remaja dan kini akan memasuki

tahap pencapaian kedewasaan dengan berbagai macam tantangan yang lebih

beragam bentuknya yang harus dihadapi.

1. Perkembangan Fisik Dewasa Awal

Masa dewasa terjadi sesudah usia 20 tahun. Tingkatan masa dewasa

yaitu masa dewasa awal terjadi pada usia 20-40 tahun, masa setengah baya

atau middle age dimulai pada usia 40-65 tahun dan masa tua atau old age

dimulai dari tahun 65 sampai seseorang meninggal

dunia.(Paludi,2002;181).

Perkembangan fisik seseorang pada masa dewasa awal tidak hanya

mengalami peningkatan namun mulai mengalami penurunan. Selain itu di

masa ini seseorang juga mengalami peningkatan kesehatan. Perhatian pada

kesehatan meningkat di antara orang dewasa awal dengan memberi

perhatian khusus terhadap diet, berat badan, olahraga dan ketergantungan

pada obat-obatan. (Santrock,2002:75-76)

2. Perkembangan Kognitif Dewasa Awal

Pada masa dewasa awal individu mulai mengatur pemikiran

operasional mereka. Sehingga mereka merencanakan dan membuat

hipotesis yang lebih sistematis ketika mendekati masalah. Sementara

beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun hipotesis daripada remaja

dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu masalah.

Kemampuan kognitif pada masa dewasa awal sangat baik dan juga

(45)

27

menunjukkan adaptasi dengan aspek pragmatis dari kehidupan. Pada

waktu kaum muda mulai matang dan memasuki tahun-tahun masa dewasa,

mereka mulai menyadari perbedaan pendapat dari berbagai persepktif

yang dipegang orang lain yang mengguncang pemikiran dualistik mereka

dan digantikan dengan pemikiran beragam. Saat itulah individu mulai

memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua jawaban.

Mereka mulai memperluas wilayah pemikiran indivualitik dan mulai

percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi masing-masing

serta setiap pendapat yang ada sebaik dengan pendapat orang lain.

(Santrock,2002:91-92)

Kemampuan untuk membuat keputusan adalah ciri lain yang tidak

sepenuhnya terbangun dalam kaum muda. Pembuatan keputusan yang

dimaksud di sini adalah pembuatan keputusan secara luas tentang karir,

nilai keluarga dan hubungan serta tentang gaya hidup. Dalam hal ini,

individu memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dalam menjalani

pacaran jarak jauh. Pada waktu muda, seseorang mungkin mencoba

banyak peran yang berbeda, mencari karir alternatif, berpikir tentang

berbagai gaya hidup dan mempertimbangkan berbagai hubungan individu

yang ada (Santrock,2002:74)

3. Perkembangan Sosial Dewasa Awal

Perkembangan aspek sosioemosional individu di dalam masa dewasa

awal terlihat dari menjalin hubungan dengan lawan jenis dengan lebih

serius. Keakraban adalah kondisi yang diperlukan untuk terbangunnya

(46)

28

suatu hubungan dekat. Umumnya kita akan tertarik dengan individu yang

memiliki karakteristik yang sama daripada karakteristik yang berbeda.

(Santrock,2002:109).

Tugas perkembangan di masa dewasa awal adalah tugas-tugas

penyesuaian terhadap calon pasangan hidup atau pacar, tugas menghadapi

aneka macam pilihan dan tugas mengurus keluarga. Menurut Erikson

keberhasilan atau kegagalan individu di dalam tugas perkembangan ini,

akan berpengaruh pada tugas perkembangan berikutnya.

Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada mahasiswa yang

sedang berada di masa dewasa awal karena erat kaitannya dengan tugas

perkembangan mereka saat ini yaitu membangun suatu relasi yang intim.

D. Dinamika Perbedaan Problem Focused Coping Pada Pria dan Wanita Dalam Menghadapi Masalah Pada Pacaran Jarak Jauh Di Masa Dewasa Awal

Pada masa dewasa awal beberapa tugas perkembangan mengacu pada

beberapa pola pokok penyesuaian terhadap peran sebagai makhluk sosial.

Salah satu bentuk pola penyesuaian yang dilakukan pada masa dewasa awal

adalah menjalin hubungan cinta dengan lawan jenis atau biasa disebut dengan

pacaran.

Pacaran merupakan hubungan pendekatan antara dua orang individu

yang berlawanan jenis untuk saling mengenal antara pribadi yang satu dengan

yang lain yang melibatkan emosi, kejiwaan, adanya komitmen dan

(47)

29

kesepakatan antara satu dengan yang lain. Dalam hubungan pacaran

masing-masing individu dapat saling membantu dan mendukung satu sama lain

sehingga dapat meningkatkan kualitas diri. Hal yang terpenting dalam

hubungan pacaran yaitu adanya intensitas komunikasi yang berjalan dengan

baik tanpa adanya tuntutan untuk memberi kabar atau meminta izin bila akan

berpergian, adanya intimacy yang berjalan terus dan masing-masing selalu

mempunyai cara untuk terus meningkatkan hubungan.

Hubungan pacaran biasanya melibatkan kedekatan fisik antara dua

orang individu yang berlawanan jenis karena dalam pacaran menjalin

hubungan pacaran, seseorang selalu ingin merasa dekat satu sama lain secara

fisik maupun perasaan. Namun, dalam menjalani pacaran individu tidak selalu

dapat berdekatan dengan pasangannya, sehingga mereka melakukan pacaran

jarak jauh. Pacaran jarak jauh merupakan suatu hubungan antara dua pihak

yang saling berkomitmen namun tidak dapat selalu berada secara berdekatan

satu sama lain, dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling membutuhkan,

karena bersekolah atau bekerja pada kota yang berbeda, pulau yang berbeda,

bahkan negara ataupun benua yang berbeda. (Nisa:2007).

Situasi pada pacaran jarak jauh lebih rentan terhadap masalah daripada

pacaran yang tidak jarak jauh. Masalah dalam pacaran jarak jauh terjadi

karena kurangnya komunikasi sehingga sering terjadi kesalahpahaman dan

rasa kepercayaan. Pacaran jarak jauh juga merupakan hubungan yang penuh

dengan resiko dan dapat menimbulkan kejenuhan, bosan dan frustrasi. Selain

itu, juga rentan terhadap timbulnya pihak ketiga karena adanya rasa kesepian

(48)

30

dan merasa tidak ada yang memperhatikan. Hambatan-hambatan dalam

pacaran jarak jauh dapat memberikan pengaruh langsung dapat menjadi

penghalang dalam hubungan. Menurut M Attridge (Mulamawitri,2005)

pasangan long distance itu mempunyai penghalang untuk merasa puas dalam

hubungannya.

Adanya keinginan dan tuntutan untuk memecahkan masalah dan

situasi yang menekan membuat orang ingin mengatasi masalah. Dalam

menyelesaikan masalah, seseorang menggunakan problem focused coping.

Problem focused coping adalah strategi coping yang berfungsi mengurangi

tuntutan dari situasi yang penuh stres atau mengatasi masalah yang dihadapi

hingga tuntas (Wardhani,2002:12). Seseorang yang cenderung menggunakan

problem focused coping dalam mengatasi masalah akan cenderung untuk lebih

terfokus pada masalah yang dihadapinya dan berusaha untuk mencari berbagai

cara untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. (Arbidiati, et.al.2007:24).

Pasangan yang menjalin hubungan pacaran jarak jauh di masa dewasa

awal akan menyelesaikan masalah dengan berfokus pada sumber masalah atau

dengan metode problem focused coping. Hal tersebut karena seseorang yang

berada pada masa dewasa awal akan mulai mengatur pemikiran secara

operasional dan dituntut tanggung jawab dalam memutuskan sesuatu sehingga

mereka merencanakan tindakan dan membuat hipotesis yang lebih sistematis

ketika mendekati masalah dan tidak hanya menggunakan emosi.

(Santrock,2002:91-92). Mereka mengatasi masalah dengan cara selalu

berhati-hati dalam memutuskan sesuatu (cautiousness), selalu membuat perencanaan

(49)

31

sebelum bertindak (instrumental action) dan berkompromi dengan orang yang

menjadi sumber masalah (negotiation) .

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih

cara strategi coping yang akan digunakan. Salah satu faktornya yaitu jenis

kelamin antara pria dan wanita.

Jenis kelamin adalah pembedaan atas laki-laki dan perempuan.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan, selain tampak dari ciri-ciri

biologis, ternyata secara psikologis juga berbeda. (Rizki, Kuncoro dan

Supradewi,2008:74-75)

a. Menurut Kartono kaum laki-laki disebut lebih egosentris dan berperan

sebagai pengambil inisiatif untuk memberikan stimulasi dan pengarahan

sedangkan wanita lebih bersifat pasif dan tidak agresif.

b. Menurut Heymans perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada

sifat-sifat sekundaritas yaitu tanggapan-tanggapan yang tidak disadari

yang mempengaruhi fungsi pikiran, perasaan dan perbuatan kita. Pada

kaum wanita fungsi sekundaritasnya terletak pada perasaan sedangkan

laki-laki pada intelek.

c. Menurut Partosuwido pria dan wanita mempunyai sifat yang berbeda. Pria

mempunyai sifat yang lebih aktif, mandiri, agresif dan terbuka, dominan,

bertindak rasional sedangkan wanita mempunyai sifat tergantung, tertutup,

malu-malu, pasif dan bertindak emosional. Perbedaan sifat pada pria dan

wanita mempengaruhi kecenderungan penggunaan coping.

(50)

32

Namun, hasil penelitian yang dilakukan Hamilton dan Fagot; Havlovic

dan Keenan menyatakan bahwa problem focused coping antara pria dan

wanita berbeda. Selain itu, Patteck mengemukakan bahwa ketika mahasiswa

berhadapan dengan masalah sehari-hari maka pria dan wanita akan

menggunakan metode problem focused coping. (Rizki,.et.al,2008:7-75)

Penelitian yang dilakukan Tamres, Janicki dan Helegeson (Baron &

Byrne2006:525) menunjukan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan

dalam mengatasi situasi yang menekan. Hasil penelitian ini mengindikasikan

bahwa wanita menggunakan strategi coping yang luas baik problem focused

coping (misalnya, perencanaan dan coping secara aktif) maupun emotional

focused coping (antara lain mencari dukungan sosial dan perenungan kembali)

dibandingkan dengan pria

Kepribadian seorang wanita merupakan suatu kesatuan yang

terintegrasikan antara aspek emosionalitas, rasio dan suasana hati. Apabila

kesedihan meliputi dirinya, maka pikirannya terhambat oleh kegelapan

suasana hati dan sulit memperoleh penyelesaian masalah. Pikiran, perasaan

dan kemampuan erat berhubungan satu sama lain menyebabkan wanita cepat

mengambil tindakan atas dasar emosi. Kepribadian seorang pria menunjukkan

adanya pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio dan

emosionalitas. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan dan kurang

memperhatikan hal yang kecil (Gunarsa:1991:31-32).

Berdasarkan uraian teori tentang perbedaan sifat antara pria dan wanita

di atas jika dikaitkan dengan strategi coping dapat diasumsikan bahwa

(51)

33

terdapat perbedaan problem focused coping antara pria dan wanita. Pria

memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam menggunakan problem focused

coping daripada wanita.

E. Skema Perbedaan Problem Focused Coping Pada Pria dan Wanita yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh di Masa Dewasa Awal Dalam Mengatasi Masalah

Situasi pacaran jarak jauh mempunyai banyak

problematika

Problematika pada pacaran jarak jauh • Kurangnya rasa percaya • Kesepian, jenuh, bosan • Kurang komunikasi • Merasa tidak diperhatikan • Menyukai/disukai orang lain

Frekuensi lebih rendah dalam menggunakan PFC

Pria Wanita

Mengatasi masalah dengan problem

focused coping

Frekuensi lebih tinggi dalam menggunakan PFC

(52)

34

G. Hipotesis

Hipotesis yang terdapat dalam penelitian ini adalah ada perbedaan

problem focused coping yang digunakan antara pria dan wanita yang

menjalani pacaran jarak jauh di masa dewasa awal dalam menghadapi

masalah. Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam menggunakan

problem focused coping daripada wanita..

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini meneliti tentang perbedaan problem focused coping pada

pria dan wanita yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh di masa dewasa

awal dalam mengatasi masalah. Variabel-variabel yang ada dalam penelitian

ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Variabel tergantung : problem focused coping

2. Variabel bebas : jenis kelamin

B. Definisi Operasional

Definisi operasional melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel

dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu

untuk mengukur konstruk atau variabel itu (Kerlinger,2006:51)

Untuk memperjelas arti variabel-variabel dalam penelitian ini, maka

dirumuskan definisi masing-masing variabel.

1. problem focused coping

problem focused coping adalah strategi coping yang dilakukan oleh

individu untuk menghadapi situasi yang penuh strss dengan cara

cenderung untuk lebih terfokus pada masalah yang dihadapinya dan

berusaha untuk mencari berbagai cara untuk memecahkan masalah yang

dihadapinya.

(54)

36

Problem Focused Coping yaitu bentuk strategi coping yang berorientasi

pada masalah. Terdiri dari tiga aspek:

1) cautiousness atau kehati-hatian terjabar meliputi empat hal yaitu:

selalu berhati-hati dalam memutuskan sesuatu, mempertimbangkan

beberapa alternatif pemecahan masalah, meminta pendapat orang lain,

tidak emosional dan mengevaluasi strategi-strategi yang sudah

dilakukan.

2) instrumental action atau tindakan instrument meliputi empat hal yaitu:

mencari akar permasalahan, selalu membuat perencanaan sebelum

melakukan sesuatu dan melakukan tindakan-tindakan yang mengarah

pada penyelesaian masalah.

3) negotiation atau negosiasi meliputi empat hal yaitu: berkompromi

dengan orang yang menjadi sumber masalah.

Kriteria yang dipakai dalam skala ini adalah setiap subyek baik

pria maupun wanita mendapatkan skor total yang diperoleh dari skala

problem focused coping. Skor total yang dperoleh menunjukkan tinggi

rendahnya metode PFC yang dilakukan dalam mengatasi masalah. Bila

subyek mendapatkan skor total yang tinggi maka subyek memiliki

frekuensi yang tinggi dalam menggunakan metode problem focused

coping sedangkan bila subyek mendapatkan skor total yang rendah maka

subyek memiliki frekuensi yang lebih rendah dalam menggunakan metode

(55)

37

2. Jenis kelamin

Adalah ciri fisik yang dimiliki seseorang yang mengkategorikan

mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin subyek dapat

diketahui dari identitas subyek yang ada dalam skala yaitu nama dan jenis

kelamin.

C. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparasional. Penelitian

komparasional adalah penelitian yang berbentuk perbandingan dari dua

sampel atau lebih. Dalam penelitian ini termasuk penelitian komperatif karena

dimaksudkan untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan problem

focused coping dalam mengatasi masalah dalam menjalani hubungan pacaran

jarak jauh di masa dewasa awal antara dua kelompok subyek yang berjenis

kelamin berbeda yaitu pada laki-laki dan perempuan.

D. Subyek Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto,2002:108).

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berada di fase dewasa

awal yaitu pria dan wanita yang berusia 20-40 tahun dan sedang menjalani

hubungan pacaran jarak jauh dengan jarak lebih dari 80,4672 km.

Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel dengan cara

purposive sampel. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa

(56)

38

dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Teknik ini memilih subyek

berdasarkan ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan

pokok populasi (Arikunto,2002:109). Berdasarkan penjelasan di atas maka,

peneliti memilih mahasiswa yang berusia 20 tahun ke atas yaitu angkatan

2008, 2007, 2006, 2005 dan 2004 dan sedang menjalani pacaran jarak jauh

dengan jarak lebih dari 80,4672 km karena dipandang memiliki ciri-ciri,

sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan pokok populasi. Jumlah

subyek adalah 74 yang terbagi dalam 37 pria dan 37 wanita.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data di dalam penelitian

ini adalah penyebaran skala yang diisi oleh subyek. Stimulus di dalam skala

berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut

yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut

yang bersangkutan.(Azwar,2007:4)

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala “problem

focused coping yang bertujuan untuk mengungkap bentuk PFC yang

digunakan oleh subyek penelitian dalam mengatasi stress yang terjadi dalam

hubungan pacaran jarak jauh yang berorientasi pada masalah. Penyusunan

skala strategi problem focused coping menggunakan konsep dari Aldwin dan

Revenson yang berisi 3 aspek-aspek strategi coping yaitu cautiousness atau

kehati-hatian, instrumental action atau tindakan instrumen, negotiation atau

(57)

39

Tabel 1 :Distribusi butir-butir skala Problem Focused Coping sebelum uji coba

Nomer Aitem Aspek

Unfavorabel Favorabel

Total

cautiousness 1, 3, 12, 21, 27 4, 5, 16, 22,25 10

instrumental action 2, 6, 14, 20, 26 9, 11, 19, 24,28 10 PFC

negotiation 8, 10, 15, 18, 29 7, 13, 17, 23, 30 10

Total 15 15 30

Penelitian ini menggunakan metode try-out terpakai yaitu hanya

dilakukan satu kali menyebarkan skala kemudian dianalisis secara statistik

untuk mengukur validitas dan reliabilitas aitem.

Skala terdiri dari 30 butir aitem-aitem pernyataan yang disusun

dengan menggunakan method of summated rating yaitu menggunakan empat

alternatif jawaban: Sangat setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan

Sangat Tidak Setuju (STS). Kriteria pemberian skor pada aitem adalah sebagai

berikut: untuk aitem yang berfungsi sebagai aitem favorable, jawaban SS

mendapat nilai 4, jawaban S mendapat nilai 3, jawaban TS mendapat nilai 2

dan jawaban STS mendapat nilai 1. Sedangkan untuk aitem yang berfungsi

sebagai aitem unfavorable kriteria pemberian nilai adalah sebagai berikut:

jawaban SS mendapat nilai 1, jawaban S mendapat nilai 2, jawaban TS

(58)

40

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data

1.Validitas alat tes

Validitas adalah suatu ukuran yang mengetahui ketepatan dan

kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau

instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi

apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil

ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannnya pengukuran tersebut dan tes

menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan

sebagai tes yang memiliki validitas yang rendah. Suatu alat ukur yang valid,

tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan tepat akan tetapi juga

harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut (Azwar

1997:5-6).

Tipe validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes

dengan analisis rasional atau professional judgment. Pertanyaan yang dicari

jawabannya dalam validitas ini adalah sejauhmana aitem-aitem tes mewakili

komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak

diukur (aspek representasi) atau sejauhmana aitem-aitem tes mencerminkan

ciri perilaku yang hendak diukur. Estimasi validitas ini tidak melibatkan

perhitungan statistik apapun melainkan hanya menggunakan analisis

rasional maka tidaklah diharapkan bahwa setiap orang akan berpendapat

sama mengenai sejauhmana validitas isi suatu tes telah dipenuhi

(59)

41

2.Analisis aitem

Analisis aitem dilakukan untuk melihat dan memilih aitem-aitem yang

lolos seleksi untuk digunakan dalam data penelitian. Dalam seleksi aitem

supaya diperoleh aitem yang akurat, parameter yang pal

Gambar

Tabel 1 :Distribusi butir-butir skala
Tabel 2: Distribusi Jumlah Subyek Penelitian
Tabel 4 :Distribusi butir-butir skala
Tabel 7: tabel homogenitas pada metode PFC
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “ Ada hubungan yang negatif antara problem focused coping dengan stres mahasiswa tingkat akhir dalam menghadapi

Berdasarkan penjelasan di atas maka di rasa penting melakukan penelitian mengenai proses coping behavior pada wanita mac;a dewasa awal yang bercerai dalam