• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN TINGKAT ASERTIVITAS PADA REMAJA AKHIR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN TINGKAT ASERTIVITAS PADA REMAJA AKHIR SKRIPSI"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Marine Ayu Widowati

029114034

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Marine Ayu Widowati (2008). Hubungan Pola Asuh Demokratis Dengan Tingkat Asertivitas Pada Remaja Akhir. Jogjakarta; Fakultas Psikologi; Jususan Psikologi: Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pola asuh orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir. Pola asuh demokratis memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokratis ini berdampak pada pembentukan karakter positif pada anak sehingga mampu berperilaku asertif. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara pola asuh orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir.

Subyek penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa tingkat pertama pada berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran skala pola asuh orang tua demokratis dan tingkat asertivitas. Koefisien reliabilitas skala pola asuh orang tua demokratis sebesar 0,902 dan tingkat asertivitas sebesar 0,905. Analisis data penelitian menggunakan analisis korelasiProduct Moment.

(7)

vii

Marine Ayu Widowati (2008). The Correlation between Democratic Nurturing Pattern and Assertive Behavior on Late Adolescents. Jogjakarta; Faculty of Psychology; Department of Psychology: Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find the correlation between democratic nurturing pattern and assertive behavior on late adolescents. Although the democratic nurturing pattern gives a priority on children’s needs, it also has no hesitation in controlling them. This democratic nurturing pattern has an effect on the children’s character building. They will have a positive characteristic that enable them to have an assertive behavior. The hypothesis presented in this thesis is that there is a positive correlation between democratic nurturing pattern and assertive behavior on late adolescents.

The subjects of this research were 100 first-year-students from various study programs in Sanata Dharma University. The data collection was gained through giving democratic nurturing pattern and assertive behavior scale. The democratic nurturing pattern scale reliability is 0,920 and the assertive behavior scale reliability is 0,905. The Pearson Product Moment correlation analysis was used to analyze the research data.

(8)

viii

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, segala puji bagiNya

sebanyak bilangan yang Dia ketahui, atas segala rahmat dan karuniaNya, hingga

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Hubungan Pola

Asuh Demokratis Dengan Tingkat Asertivitas Pada Remaja Akhir”.

Mulai Perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah

banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak baik langsung ataupun

tidak langsung. Oleh karena itu ijinkanlah dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Edy Suhartanto,S.Psi.,M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma, atas ijin dan kesempatan yang diberikan

kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniarti Murtisari, M.Psi., selaku Kaprodi

Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan yang diberikan

selama penulis menempuh pendidikan pada program studi psikologi.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing

yang telah dengan sabar memberikan banyak petunjuk serta bimbingan,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

telah mengasuh, mendampingi serta memberikan bekal ilmu selama

penulis menempuh masa perkuliahan.

5. Para karyawan dan staff, mas Muji, mas Gandung, mas Doni, mbak Nani,

dan pak Gik, untuk keramahan dan semua bantuannya.

6. Orang tua penulis, Bapak Djoko Purwoko dan Ibu Maryana, yang telah

dengan penuh rasa cinta, kesabaran dan keikhlasan memberikan dorongan,

semangat dan doa restu, baik moral ataupun material, selama penulis

hidup. Kakakku mas Awang dan adikku Ajdie, terima kasih atas

dukungannya.

7. Sahabat, kakak, pasangan, pendamping dan suamiku terkasih, Hendra

(9)

ix

8. Sobat-sobatku, Dina (ndut), Cicil, Katrin, Winda, Friska, Ohaq (kapan kita

mau kumpul lagi???), smua anak2 Psi’02, makasih untuk kebersamaan,

persahabatan dan permusuhan sebagai rekan seangkatan… (semoga

somewhere ‘n somewhen,kalo ketemu lagi, kita masih saling kenal ya…). Buat Dedi (thanks udah bantuin ambil data ya….), Nining, Yudhis, mas

Didik ‘n mbak Susi (atas print2-an nya..), dan semua teman dan sahabat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala

pengalaman, dan suka duka yang kita lewati selama ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Psikologi USD angkatan ’98 hingga ’07

yang telah menjadi rekan dan keluarga penulis selama menyelesaikan

masa perkuliahan (terimakasih untuk tetap setia), juga rekan-rekan

mahasiswa angkatan ’07 segala jurusan di USD (makasih untuk data nya

ya…).

10. Semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan

KaruniaNya kepada semua pihak yang telah memberikan semua bantuan tersebut

di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan

senang hati menerima kritik demi perbaikan. Semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 31 Juli 2008

(10)

x

Halaman

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Pernyataan Keaslian Karya... iv

Halaman Persetujuan Publikasi... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi... x

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Asertivitas ... 8

1. Pengertian Asertivitas... 8

2. Ciri-ciri Perilaku Asertif... 11

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas ... 15

B. Pola Asuh Orang Tua... 17

1. Peran Orang Tua dalam Keluarga ... 17

2. Pola Asuh... 19

(11)

xi

1. Pengertian Remaja Akhir... 24

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 26

D. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dengan Tingkat Asertivitas .. 30

F. Hipotesis ... 33

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A. Jenis Penelitian ... 34

B. Variabel Penelitian... 34

C. Definisi Operasional ... 34

D. Subjek Penelitian ... 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 37

F. Pengujian Instrumen Alat Ukur... 39

G. Hasil Uji Coba Instruen Penelitian ... 40

H. Metode Analisis Data... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Pelaksanaan Penelitian... 46

B. Hasil Penelitian ... 46

1. Deskripsi Data Penelitian... 46

2. Kategorisasi Skor Skala ... 47

3. Uji Asumsi ... 50

4. Uji Hipotesis ... 51

C. Pembahasan... 52

D. Keterbatasan Penelitian... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 59

A. Kesimpulan ... 59

(12)
(13)

xiii

Halaman

Tabel 3.1 Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Demokratis ... 38

Tabel 3.2 Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas ... 39

Tabel 3.3 Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis pada Saat Uji Coba... 42

Tabel 3.4 Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Setelah Uji Coba ... 42

Tabel 3.5 Distribusi Aitem pada Skala Tingkat Asertivitas pada Saat Uji Coba.. 43

Tabel 3.6 Distribusi Aitem pada Skala Tingkat Asertivitas Setelah Uji Coba .... 44

Tabel 4.1 Tabel Deskripsi Data Penelitian... 46

Tabel 4.2 Tabel Mean dan Standar Deviasi ... 47

Tabel 4.3 Kategorisasi Skor pada Skala Pola Asuh Demokratis ... 48

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor pada Skala Tingkat Asertivitas ... 48

Tabel 4.5 Ringkasan Uji Normalitas... 50

Tabel 4.6 Hasil Uji Linieritas... 51

(14)

xiv

Halaman

(15)

xv

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 63

Lampiran 2. Tabulasi Data Validitas ... 69

Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala... 71

Lampiran 4. Tabulasi Data Skala Pola Asuh Demokratis... 79

Lampiran 5. Tabulasi Data Skala Tingkat Asertivitas ... 82

Lampiran 6. Kategorisasi Skala ... 87

Lampiran 7. Analisis Deskriptif... 88

Lampiran 8. Uji Normalitas dan Linieritas ... 89

(16)

1 A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk menjadi dirinya sendiri

dan mampu mengungkapkan segala hal yang dialami dan dirasakannya, baik

itu hal positif ataupun negatif. Sesuai dengan perkembangan zaman yang

semakin modern saat ini, orang dituntut untuk mampu bersikap lebih asertif,

begitu pula dengan remaja. Asertivitas merupakan perilaku yang menampilkan

keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan pikiran dan

perasaan apa adanya tanpa menyakiti orang lain. Menurut Corey (2007)

asertif adalah perilaku dimana individu mampu menerima kenyataan bahwa

menyatakan atau menegaskan diri dengan langsung dan terbuka adalah

tindakan yang layak dan benar. Asertif juga merupakan kemampuan untuk

mengungkapkan ekspresi emosi dan kecemasan terhadap orang lain.

Perilaku asertif ini sangat penting, terutama bagi remaja, karena selain

dapat menunjukkan kematangan emosinya, sikap asertif ini juga dapat menjadi

salah satu bentuk keberhasilan tugas perkembangan remaja khususnya dalam

memperoleh kebebasan emosional dan sosial untuk menapaki tugas

perkembangan berikutnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Alberti dan

Emmons (2002) yang menyatakan bahwa sikap asertif akan membuat

seseorang berani untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan,

(17)

atau kelompok orang mampu mengembangkan segala potensi yang

dimilikinya dan potensi kelompoknya demi kemajuan bersama. Seorang

remaja yang tidak mampu bersikap asertif biasanya cenderung memiliki sifat

pasif atau non-asertif, atau menjadi orang yang memiliki sifat hanya memberi

tanpa mencoba menerima dan memperhitungkan perasaan orang lain, atau

sering disebut agresif.

Fenomena yang banyak terjadi dan berkembang dewasa ini adalah

masyarakat khususnya remaja menjadi kurang mampu untuk bersikap asertif

dalam lingkungannya, baik untuk mengungkapkan perasaan atau pendapatnya,

sehingga masyarakat menjadi cenderung pasif dalam menghadapi segala

sesuatu dalam kehidupan sosialnya (Prestasi Sekolah, 2004). Hal ini bila terus

menerus terjadi akan cukup membahayakan khususnya bagi remaja sebagai

generasi muda yang diharapkan mampu menjadi penerus bangsa. Dengan

bersikap tidak asertif, remaja menjadi kurang dapat mengeluarkan kemampuan

dan potensi yang dimilikinya. Beberapa alasan mengapa seseorang tidak

mampu berperilaku asertif diantaranya, takut terluka, takut ditolak, takut

menyakiti perasaan orang lain, dan takut kehilangan jaminan keuangan

(Hauck, 1995).

Bagi para remaja terutama yang berumur di antara 13-18 tahun, sikap

dan perilaku asertif sangatlah penting karena beberapa alasan sebagai berikut

(Sikone, 2006): pertama, sikap dan perilaku asertif akan memudahkan remaja

tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan lingkungan seusianya

(18)

untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan diinginkannya secara langsung,

terus terang maka para siswa bisa menghindari munculnya ketegangan dan

perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan sesuatu yang ingin

diutarakannya. Ketiga, dengan memiliki sikap asertif, maka para remaja dapat

dengan mudah mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atau

permasalahan yang dihadapinya secara efektif, sehingga permasalahan itu

tidak akan menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keempat, asertivitas

akan membantu para remaja untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya,

memperluas wawasannya tentang lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada

sesuatu yang tidak diketahuinya (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi).

Kelima, asertif terhadap orang lain yang bersikap atau berperilaku kurang

tepat bisa membantu remaja yang bersangkutan untuk lebih memahami

kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut.

Beberapa manfaat yang telah dijelaskan tersebut mengindikasikan

perlunya sikap ini ditanamkan sejak dini bagi para remaja karena asertivitas

bukan merupakan sesuatu yang lahiriah tetapi lebih merupakan pola sikap dan

perilaku yang dipelajari sebagai reaksi terhadap berbagai situasi sosial yang

ada di lingkungan. Asertivitas ini dalam kenyataannya berkembang sejalan

dengan usia seseorang, sehingga penguasaan sikap dan perilaku pada

periode-periode awal perkembangan akan memberikan dampak yang positif bagi

periode-periode selanjutnya.

Mengingat pentingnya perilaku asertivitas pada remaja, beberapa

(19)

penelitian Wulandari (2002) yang menyimpulkan adanya hubungan antara

asertivitas dan harga diri pada remaja usia 19 – 21 tahun. Penelitian Aulia

(2004) yang meneliti tentang hubungan antara konsep diri dengan asertivitas

menyimpulkan bahwa ada hubungan antara konsep diri dengan tingkat

asertivitas siswa MAN I Yogyakarta. Wulandari (2003) yang meneliti

hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri dengan asertivitas pada

remaja akhir menyimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan

antara dukungan sosial dan konsep diri terhadap asertivitas pada remaja akhir.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat

diketahui beberapa faktor yang berhubungan dengan asertivitas. Asertivitas

berhubungan dengan harga diri, konsep diri, dan dukungan sosial.

Perilaku asertif tidak akan timbul begitu saja. Ada beberapa hal-hal

penting yang mempengaruhi timbulnya perilaku asertif pada diri seseorang.

Beberapa faktor yang mempengaruhi asertivitas ini antara lain, jenis kelamin,

usia, kebudayaan dan pola asuh orang tua (Santosa, 1999).

Keluarga adalah tempat pertama seseorang belajar tentang kehidupan.

Keluarga yang dimaksud disini adalah keluarga inti tempat seorang anak

berinteraksi secara langsung, baik itu ayah, ibu, ataupun saudara laki-laki dan

perempuan. Keluarga, dimana seseorang hidup didalamnya, memberikan

pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap keberhasilan

tugas-tugas perkembangan remaja dan segala perubahan yang dialami oleh

remaja. Seorang anak pertama-tama belajar tentang segala sesuatu dari

(20)

Setiap keluarga dan orang tua memiliki tata cara yang berbeda beda

dalam mengasuh anak-anaknya. Penerapan pola asuh dalam keluarga akan

membuat anak mengetahui bagaimana mengambil keputusan, bersikap

mandiri dan mengungkapkan pendapat serta perasaannya baik itu positif atau

negatif atau berperilaku asertif. Menurut Santosa (1999) pola asuh orang tua

dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pola asuh yang selalu menghargai

anak sebagai pribadi (demokratis), pola asuh yang selalu mengatur dan

memberikan berbagai tuntutan kepada anak (otoritas), dan pola asuh yang

selalu membiarkan anak.

Untuk memberikan kecerdasan emosi dan sosial kepada anak, perlu

diterapkan pola asuh yang sekiranya tepat dalam keluarga, salah satunya

dengan pola asuh demokratis. Dalam pola asuh demokratis, orang tua

memberikan kepercayaan kepada anak untuk dapat bersikap dan mengambil

keputusan, sepanjang hal tersebut tidak berakibat buruk baginya, hingga ia

mampu bertanggung jawab bagi dirinya (Santosa, 1999). Dalam hal ini, orang

tua tidak mengatur anak, melainkan memberikan bimbingan kepada anaknya,

sehingga anak mendapat kesempatan untuk lebih mengekspresikan dirinya.

Kunci dari pola asuh demokratis adalah komunikasi dua arah, karena dengan

pola komunikasi ini hubungan orang tua dengan anak menjadi lebih terbuka

(Hauck, 1995). Penerapan pola asuh yang sesuai dalam keluarga ini

diharapkan dapat membentuk kematangan emosi dan sosial pada anak

(21)

tersebut mampu untuk bersikap aktif dan mampu mengungkapkan pendapat

dan berperilaku asertif dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pola asuh dalam

keluarga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan sikap

remaja, begitu pula dengan perilaku asertif yang kemudian akan ditunjukkan

oleh remaja tersebut, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pola asuh

dalam keluarga dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku

asertif pada remaja. Sehingga dalam penelitian kali ini penulis tertarik untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis

dengan tingkat asertivitas pada remaja secara lebih jauh dan mendalam, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada akhir masa remaja yaitu

mereka yang berumur antara 18 sampai 21 tahun. Pemilihan subjek ini

sehubungan dengan kondisi remaja akhir yang diharapkan telah memiliki

kematangan emosi dan sosial seperti yang dinyatakan oleh Gunarsa (2003)

bahwa remaja telah berani dalam mengambil keputusan secara bertahap untuk

mengambil keputusan dengan bijaksana, sehingga tidak akan cukup sulit

untuk mengetahui bagaimana tingkat asertivitas yang mereka miliki.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan yang positif antara pola

(22)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan

yang positif antara remaja yang mendapatkan pola asuh demokratis dengan

tingkat asertivitas yang dimilikinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan psikologi di bidang psikologi perkembangan, khususnya

pengaruh pola asuh orang tua sebagai faktor pendorong timbulnya perilaku

asertif pada remaja. Serta merupakan contoh aplikasi dari skala pola asuh

demokratis dan tingkat asertivitas.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orang tua, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan yang lebih jelas mengenai pola asuh demokratis dan

berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, sehingga orang tua dapat

menerapkan pola asuh tersebut dalam lingkungan keluarga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi

orang tua dalam menerapkan pola asuh demokratis yaitu menerapkan

pola asuh anak yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan

(23)

8 A. Asertivitas

1. Pengertian Asertivitas

Menurut Corey (2007) perilaku asertif adalah ekspresi langsung,

jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak

seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya pernyataan

tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan

benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa

yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut

juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak melulu

mementingkan dirinya sendiri.

Asertif adalah kemampuan untuk mengekspresikan kenyataan

dirinya, yaitu kemampuan untuk mengatakan "tidak" atau "ya" sesuai

dengan keadaan sesungguhnya, untuk meminta dengan ekspresi positif

atau negatif (Onuoha dan Manukata, 2005). Menurut Galassi dan Galassi

(dalam Scrutchfield, 2003) asertivitas adalah suatu kemampuan untuk

mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan

kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak

serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk

jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan,

(24)

memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. Alberti

dan Emmons (2002) mendefinisikan asertif adalah kemampuan

mengekspresikan hak, pikiran, perasaan, dan kepercayaan secara langsung,

jujur, terhormat, dan tidak mengganggu hak orang lain. Jadi, berani untuk

secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran

dengan apa adanya.

Merujuk pada berbagai pengertian di atas, maka perilaku asertif

adalah bertindak sesuai keinginan, mempertahankan diri tanpa harus

merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman,

menggunakan hak-hak kita tanpa melanggar hak orang lain. Dari

pengertian tersebut, terlihat penekanan bahwa perilaku asertif ini

memberikan kepuasan baik pada diri sendiri maupun orang lain dan

mendukung terbentuknya hubungan interpersonal yang positif dengan

orang lain. Hal ini dikarenakan cara penyampaian pendapat/pikiran pada

perilaku asertif turut mempertimbangkan hak orang lain pula.

Seseorang dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu bersikap

tulus dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pikiran dan

pandangannya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau mengancam

integritas pihak lain. Berperilaku asertif membuat seseorang mampu

mengungkapkan dan menyatakan perasaannya baik itu positif atau negatif

tanpa harus menghiraukan hak-hak dan perasaan orang lain serta

kebutuhan orang lain untuk dapat mengekspresikan dirinya. Salah satu

(25)

mengemukakan pendapat dan perasaannya secara lebih jelas, sehingga

dapat menimbulkan kepuasan dan rasa senang (Rini, 2001).

Carrol (2004), membedakan perilaku asertif, agresif dan pasif

sebagai berikut:

a. Perilaku Agresif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang

menyalahkan atau melabel orang lain, dengan menggunakan kata-kata

yang berlebihan, mengkritik berlebihan/dengan tajam, meremehkan

orang lain, menunjuk-nunjuk (menggunakan jari), mengacungkan

pukulan (genggaman tangan), bersuara keras dan menekan, mata

melotot, pose tubuh yang mengintimidasi.

b. Perilaku Asertif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang

menyatakan kejujuran akan kebutuhannya, melalui pesan langsung dan

jelas, mendengarkan aktif, postur tubuh relaks dan terbuka, suara tegas

dan meyakinkan, menatap pandangan mata lawan bicara dengan

mantap, dan menghargai orang lain.

c. Perilaku Pasif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang

cenderung menerima, dengan menggunakan banyak kata-kata

permintaan maaf, maksud tersembunyi, berbohong, tidak menunjuk

pada poin utama pembicaraan, menganggukkan kepala berlebihan,

postur tubuh mengharap dukungan, lemah, seringkali meremas-remas

tangan, ekspresi wajah tidak berani menatap lawan bicara,

meremehkan diri sendiri dan terlalu menghargai orang lain, ragu-ragu

(26)

2. Ciri-ciri Perilaku Asertif

Ciri-ciri orang yang mampu berperilaku asertif antara lain (Corey,

2007):

a. Mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung.

b. Tidak menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan tidak selalu

mendorong orang lain untuk mendahuluinya.

c. Tidak mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”.

d. Tidak mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan

respon-respon lainnya.

e. Merasa punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan

pikiran-pikiran sendiri.

Menurut Lazarus (dalam Santosa, 1999), seorang remaja dikatakan

asertif bila mempunyai kemampuan untuk: (a) berkata “tidak”, (b)

meminta pertolongan, (c) mengekspresikan perasaan positif maupun

negatif secara wajar, (d) berkomunikasi tentang hal-hal yang bersifat

umum.

Kanfer dan Goldstain (dalam Santosa, 1999), seseorang dikatakan

asertif bila: (a) dapat menguasai diri sesuai dengan situasi yang ada, (b)

dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang sangat

disukainya, (c) dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya kepada

seseorang secara terus terang dan wajar.

Selanjutnya, Alberti dan Emmons (2002) menambahkan bahwa

(27)

berkomunikasi dengan bermacam-macam orang secara terbuka, langsung

dan tepat, memiliki orientasi yang aktif terhadap kehidupan, bertindak

dalam cara yang dihargainya dalam situasi menekan dan menghasilkan

tingkah laku interpersonal yang efektif.

Kemudian, Alberti dan Emmons (2002) juga menyebutkan adanya

10 pokok kunci dalam perilaku asertif. Kesepuluh pokok kunci ini

ditengarai merupakan aspek-aspek yang harus ada pada setiap perilaku

asertif yang dimunculkan oleh seseorang. Kesepuluh pokok kunci tersebut

adalah: 1) pengungkapan diri; 2) penghormatan terhadap orang lain; 3)

jujur; 4) langsung; 5) tidak membedakan, menguntungkan semua pihak;

6) verbal, termasuk isi pesan (perasaan, hak-hak, fakta.

Pendapat-pendapat, permintaan-permintaan dan batasan-batasan); 7) nonverbal,

termasuk gaya dan pesan (kontak mata, suara, postur, ekspresi muka,

gesture, jarak, waktu, kelancaran dan mendengarkan); 8) bukan suatu yang

universal; 9) bertanggung jawab secara sosial; 10) dipelajari, bukan

sesuatu yang dibawa sejak lahir;

Bower dan Bower (2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang

berperilaku asertif harus memiliki kemampuan-kemampuan seperti di

bawah ini:

a. Berbicara dengan perasaan(Use feeling talks)

Mengekspresikan minat atau rasa suka dengan spontan. Jika

memungkinkan dapat menggunakan frase seperti ”saya rasa...” atau

(28)

dengan suara tegas yang mudah didengar, ketika mengungkapkan

pendapatnya.

b. Membicarakan tentang dirinya(Talks about yourself)

Membicarakan hal-hal tentang dirinya seperlunya, dan tidak

memonopoli pembicaraan dengan orang lain.

c. Berbicara dengan ramah (Make greeting talks)

Tersenyum ramah, menatap langsung mata lawan bicara dan berbicara

dengan nada yang menyenangkan, ketika bercakap-cakap dengan

orang lain

d. Menerima pujian(Accept compliments)

Menerima pujian yang diberikan orang lain kepadanya dengan baik

(misal: mengucapkan terima kasih)

e. Berbicara dengan ekspresi(Use appropriate facial talks)

Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang

tidak menyenangkan dengan cara jujur dan tidak menyakiti orang lain

f. Menolak dengan lembut(Disagree mildly)

Menyatakan ketidaksetujuan dengan cara yang tidak menyinggung

orang lain.

g. Meminta penjelasan (Ask for clarification)

Meminta seseorang untuk mengulang kembali dengan lebih jelas, jika

orang tersebut memberi perintah, petunjuk atau penjelasan yang

(29)

h. Menanyakan Alasan(Ask why)

Menanyakan alasan terhadap sesuatu yang tampaknya tidak masuk

akal atau tidak menyenangkan.

i. Mengekspresikan ketidaksetujuan(Express active disagreement) Mampu menolak tanpa perasaan takut dan cemas atas hal-hal yang

menurutnya negatif atau tidak sesuai dengan dirinya.

j. Merespon haknya(Speak up for the rights)

Memberi respon pada hal-hal yang tidak menghormati hak-haknya

k. Tetap tenang(Be Persistent)

Menyampaikan keluhan tanpa harus bersikap meledak-ledak

l. Menghindari pembenaran(Avoid justifying every opinion)

Mampu membedakan hal-hal mana yang perlu direspon, dan hal-hal

mana yang seharusnya tidak perlu direspon. Untuk hal-hal yang

menurutnya tidak memerlukan respon, ia mampu untuk menolak atau

menyatakan ketidaksetujuannya

Aspek-aspek asertivitas yang diteliti dalam penelitian ini merupakan

gabungan dari beberapa teori di atas yang dirangkum sebagai berikut:

a. Kemampuan mengungkapkan perasaan positif dan negatif.

Mengekspresikan minat atau rasa suka dengan spontan. Menyatakan

ketidaksetujuan dengan cara yang tidak menyinggung orang lain. Mampu

membedakan hal-hal mana yang perlu direspon, dan hal-hal mana yang

(30)

b. Kemampuan untuk berkata “tidak”.

Mampu menolak tanpa perasaan takut dan cemas atas hal-hal yang

menurutnya negatif atau tidak sesuai dengan dirinya.

c. Kemampuan untuk meminta klarifikasi.

Kemampuan untuk meminta seseorang untuk mengulang kembali dengan

lebih jelas, jika orang tersebut memberi perintah, petunjuk atau penjelasan

yang membingungkan.

d. Kemampuan memulai pembicaraan dan mengakhirinya

Kemampuan untuk memulai pembicaraan dengan sikap ramah, menatap

langsung mata lawan bicara dan berbicara dengan nada yang

menyenangkan. Mampu mengakhiri pembicaraan dengan memperhatikan

perasaan orang lain dan mengucapkan terima kasih.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas

Asertivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola asuh

orang tua, kebudayaan, jenis kelamin dan usia. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan faktor pola asuh orang tua sebagai salah satu hal

yang mempengaruhi tingkat asertivitas seseorang, khususnya remaja.

Santosa (1999) berpendapat bahwa ada faktor-faktor tertentu yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif pada individu/remaja, yaitu:

a. Pola Asuh

(31)

yang tidak dapat diterima anak tetapi dipaksakan, penuh dengan

larangan yang membatasi ruang kehidupan anak. Anak yang diasuh

dengan pola otoriter akan tumbuh menjadi anak yang merasa dirinya

rendah (inferior).Kedua: pola asuh demokratis, pada pola ini orang tua mengasuh anak mereka dengan penuh kasih sayang tetapi tidak

memanjakan, sehingga anak tumbuh menjadi individu yang penuh

percaya diri, mempunyai pengertian yang benar tentang hak mereka,

dapat mengkomunikasikan segala keinginan dengan wajar, dan tidak

memaksakan kehendak dengan cara menindas hak orang lain. Ketiga: pola asuh permisif, orang tua mendidik anak tanpa adanya batasan/

aturan yang bersifat mengikat, bahkan terkesan bebas. Anak-anak

dengan pola asuh permisif akan tumbuh menjadi remaja yang mudah

kecewa dan mudah marah karena ia terbiasa mendapatkan segala

sesuatu dengan cepat dan mudah. Kurangnya pengawasan dari orang

tua akan membuat perilaku anak menjadi sulit untuk dikendalikan.

b. Kebudayaan

Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku asertif adalah faktor

kebudayaan. Rakos (dalam Santosa, 1999), memandang bahwa

kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam mendidik perilaku

asertif. Biasanya ini berhubungan dengan norma-norma.

c. Usia

Buhrnmester (dalam Santosa, 1999), berpendapat bahwa usia

(32)

perilaku asertif. Pada anak kecil perilaku asertif belum terbentuk, pada

masa remaja dan dewasa perilaku asertif berkembang, sedangkan pada

usia tua tidak begitu jelas perkembangan atau penurunannya.

d. Jenis Kelamin

Jenis kelamin pria dan wanita berpengaruh terhadap perilaku

asertif seseorang. Umumnya kaum pria cenderung lebih asertif

daripada wanita karena tuntutan masyarakat.

e. Strategi Coping

Strategi coping adalah bentuk penyesuaian diri yang

melibatkan unsur-unsur kognisi dan afeksi dari seseorang guna

mengatasi permasalahan yang datang pada dirinya. Strategi coping

yang digunakan oleh remaja juga mempengaruhi tingginya tingkat

keasertifan mereka (Massong et al dalam Santosa, 1999).

B. Pola Asuh Orang Tua

1. Peran Orang Tua dalam Keluarga

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan

ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang

dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab

untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk

mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam

(33)

Selain definisi tersebut Suparlan (1993) mendefinisikan keluarga

merupakan kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas

ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Hubungan antara anggota keluarga

dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab.

Dari beberapa paparan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

peran orang tua adalah fungsi yang dimainkan oleh orang tua yang berada

pada posisi atau situasi tertentu dengan karakteristik atau kekhasan tertentu

pula.

Menurut Gunarsa (2003) dalam keluarga yang ideal (lengkap)

maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah

dan peran ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah:

a. Peran ibu adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan

mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik,

mengatur dan mengendalikan anak, menjadi contoh dan teladan bagi

anak.

b. Peran ayah adalah ayah sebagai pencari nafkah, ayah sebagai suami

yang penuh pengertian dan memberi rasa aman, ayah berpartisipasi

dalam pendidikan anak, ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas,

(34)

2. Pola Asuh

Pola asuh adalah sikap orang tua dalam memimpin anaknya

sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan kepribadian anak-anaknya.

Pola asuh adalah cara-cara pengaturan tingkah laku yang dilakukan oleh

orang tua sebagai perwujudan tanggungjawab dalam pembentukan

kedewasaan anak.

Pola asuh adalah sikap dan cara-cara orang tua dalam berinteraksi

dengan anak-anaknya sebagai pengasuh atau pendidik dan sebagai

pembimbing dalam menumbuhkan kedewasaan dan kemandirian anak.

Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua

mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk

mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

masyarakat.

Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi

manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya.

Perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.

Pola asuhan itu menurut Santrock (2003) terdiri dari tiga

kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh

demokratis, dan pola asuh permisif. Adapun ciri-ciri yang dapat

(35)

a. Pola asuh otoriter

Santrock (2003) menyatakan pengasuhan otoriter (authoritarian

parenting) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk

menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat otoriter

membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya

melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian

berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap.

b. Pola asuh demokratis

Santrock (2003) menyatakan pengasuhan demokratis

(authoritative parenting) mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap

memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka.

Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan

orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja.

Pengasuhan demokratis berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang

kompeten.

c. Pola Asuh Permisif

Santrock (2003) menyatakan pengasuhan permisif-memanjakan

(permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau

mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan berkaitan

dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya

(36)

3. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola pengasuhan yang lebih

menerapkan kepercayaan dan penerimaan serta melatih tanggung jawab

bagi diri sendiri dalam mendidik anak. Dalam pola asuh ini, peraturan

yang diterapkan orang tua merupakan hasil kesepakatan bersama dan

dalam hal ini anak selalu diikut sertakan dalam membentuk kesepakatan

peraturan tersebut. Kontrol-kontrol yang diberikan orang tua dalam

mengasuh anak diterapkan secara fleksibel dan tidak kaku, hal ini

dilakukan untuk memancing sikap terbuka dan tanggung jawab anak,

sehingga diharapkan apapun yang dilakukan oleh anak dapat diketahui

oleh orang tua (Gunarsa, 2003).

Beberapa ciri orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis

dalam pengasuhan anaknya adalah sebagai berikut (Elias, 2000):

a. Orang tua mampu memberikan perilaku teladan kepada anak.

b. Orang tua mampu bertindak paraphrasing (secara halus mengungkapkan kembali pernyataan anak dengan bahasa yang lebih

tepat dan lebih baik).

c. Orang tua memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing sikap

kritis anak.

d. Orang tua memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan

mendidik anak.

(37)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa inti dari pola

asuh demokratis adalah sikap kooperatif atau persahabatan yang

ditunjukkan orang tua dalam mendidik anaknya, sehingga anak mampu

merasa dihargai sebagai seorang individu.

Pola asuh demokratis ini dapat dilihat dengan bagaimana seorang

anak dapat merasakan kebebasannya untuk berpendapat tanpa diatur atau

dipaksa. Keberhasilan pola asuh ini diukur dari pendapat dan perasaan

anak sebagai objek dari pendidikan dan pengasuhan dalam keluarga,

sehingga tidak hanya dilihat dari pendapat orang tua atau asumsi orang tua

terhadap pola asuh dan pendidikan yang mereka berikan kepada anaknya

dalam keluarga. Untuk itu, persepsi remaja terhadap pola asuh dan

pendidikan yang mereka terima merupakan salah satu faktor penting di

dalam melihat berhasil atau tidaknya pola pengasuhan tersebut.

Aspek pola asuh demokratis yang diteliti merupakan penjabaran

dari teori di atas, yaitu:

a. Aspek komunikasi

Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan

menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat

anak-anaknya (Elias, 2000).

b. Aspek pemberian motivasi

Orang tua demokratis menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri

dan mendorong tindakan-tindakan mandiri untuk membuat keputusan

(38)

c. Aspek sikap kooperatif

Orang tua bersikap kooperatif atau persahabatan dalam mendidik

anaknya, sehingga anak dihargai sebagai individu. Orang tua

memberikan perilaku teladan kepada anak (Elias, 2000).

d. Aspek fleksibel

Orang tua melakukan kontrol yang bersifat fleksibel dan tidak kaku

untuk memancing sikap terbuka dan tanggung jawab anak (Gunarsa,

2003).

4. Dampak Pola Asuh Demokratis

Anak yang memiliki orang tua yang demokratis cenderung bisa

menghargai dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Ada beberapa ciri

anak dengan pola asuh demokratis dalam keluarganya (Prasetya, 2003),

antara lain mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan

introspeksi dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang

lain, ramah terhadap orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya

dan orang lain yang lebih dewasa. Kemampuan tersebut lebih dikarenakan

anak merasa memiliki kesempatan untuk dapat mengungkapkan dirinya,

kesempatan untuk melakukan aktivitas atau mempraktekkan kemampuan

yang dimilikinya serta mengungkapkan pendapatnya secara baik dan tepat

kepada orang lain walaupun orang itu lebih tua darinya. Pola asuh

demokratis ini juga tidak membuat anak merasa diatur atau dipaksa, tetapi

(39)

Pola asuh demokratis yang diterapkan oleh orang tua akan semakin

baik jika didukung oleh dukungan sosial yang kondusif. Pola asuh

demokratis dan dukungan sosial yang diterima oleh anak akan membantu

mereka dalam menemukan konsep diri dan harga diri yang lebih jelas.

Anak dengan konsep diri dan harga diri yang baik akan terlihat pada sikap

dan perilaku mereka yang positif. Pola asuh demokratis akan menjadikan

anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan

introspeksi dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang

lain, ramah terhadap orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya

atau orang lain yang lebih dewasa (Prastya, 2003).

C. Remaja Akhir

1. Pengertian Remaja Akhir

Monks (2006) mengelompokkan masa remaja akhir pada rentang

usia 17-18 tahun yaitu sebagai masa peralihan dari masa pubertas ke masa

adolesen. Cirinya remaja akhir adalah pertumbuhan fisik sudah mulai

matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya.

Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja

pria.

Hurlock (1995) membagi remaja akhir sebagai late adolescence yang berkisar pada usia 18 sampai 21 tahun. Pada masa ini individu mulai

merasa stabil. Mulai mengenal dirinya, mulai memahami arah hidup dan

(40)

satu pola hidup yang jelas.

Secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana seseorang

berpaling ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak

merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua

melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar dengan yang lainnya.

Fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa

amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi maupun fisik.

Remaja ini adalah ajang untuk mencari jati dirinya. Setelah sekian lama

mereka selalu dikekang oleh otoriter orangtua, secara perlahan mereka

akan menuntut keinginan mereka sendiri agar mandiri (Hurlock, 1995).

Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang merupakan

tahap peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Dimasa ini

remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang salah satu

diantaranya adalah pencapaian kematangan emosional yang didalamnya

terkandung aspek asertivitas (Hurlock, 1995).

Pembentukan kematangan emosional yang diikuti dengan

perubahan sosial ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang

paling sulit yang dihadapi pada masa remaja. Kematangan emosional

remaja yang didalamnya juga meliputi aspek asertivitas juga harus disertai

dengan perubahan status sosial remaja yang beralih dari masa

kanak-kanak. Pada masa ini remaja mengalami masa kebimbangan, dimana di

satu sisi remaja masih dianggap anak-anak, sedangkan di sisi lain, remaja

(41)

mampu mengungkapkan pendapat serta perasaannya (Hurlock, 1995).

Masa-masa kebimbangan inilah yang terkadang juga menjadi hambatan

remaja untuk dapat bersikap asertif, terlebih ketika para orang dewasa

menganggap mereka masih anak-anak dan tidak memberikan kesempatan

bagi remaja untuk lebih bersikap asertif.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Harapan masyarakat terhadap remaja dapat dipenuhi melalui suatu

proses bersinambung dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan.

Sebagai hasil dari kerja timbalbalik yang majemuk antara pertumbuhan

dari dalam dan perangsangan dari lingkungan akan bermunculan

serangkaian perilaku baru menuju tercapainya masa dewasa.

Beberapa tugas perkembangan bagi remaja menurut Gunarsa

(2003) adalah sebagai berikut:

a. Menerima keadaan fisiknya

Pada masa ini remaja mengalami berbagai macam perubahan

fisik. Perubahan fisik berhubung dengan pertumbuhannya dan

kematangan seksual. Pertumbuhan fisik menghasilkan panjang lengan

dan tungkai maupun tinggi badan yang tidak selalu sesuai dengan

harapan remaja maupun lingkungan. Penampilan yang tidak sesuai

dengan penampilan yang diidamkannya dapat merintangi usaha

memperluas ruang gerak pergaulannya.

(42)

Remaja harus memperoleh latihan dalam mengambil keputusan

secara bertahap untuk mengambil keputusan dengan bijaksana. Remaja

perlu meregangkan ikatan emosional dengan orang tua supaya memilih

sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Remaja acapkali

meninggalkan rumah dan menggabungkan diri dengan teman sebaya

yang mungkin juga senasib dalam usaha pemaksaan pembebasan

emosional secara ekstrim.

Orangtua lain di luar lingkungan keluarga mungkin dapat

membantu dalam melakukan pilihan dan mengambil tindakan yang

bijaksana. Sebaliknya remaja yang meninggalkan rumah dan keluarga

dan tidak memperoleh penampungan yang menunjang

perkembangannya, mudah terkena pengaruh kurang baik yang

menjerumuskannya. Remaja yang mempunyai bekal ”kebebasan

emosional” berlandaskan kemampuan membedakan mana yang baik,

mana yang tidak baik, apa yang patut dipilih, apa yang hatus dihindari,

tujuan mana yang harus dikejar dan tindakan atau keputusan mana

sebaiknya diambil, remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas

perkembangannya selanjutnya.

c. Mampu bergaul

Remaja harus belajar dengan teman sebaya dan tidak sebaya,

sejenis maupun tidak sejenis untuk mempersiapkan diri di masa depan.

(43)

pengaruh lingkungan baik yang mengarahkan maupun yang

mengombang-ambingkan dalam usaha memperluas pergaulannnya.

d. Menemukan model untuk identifikasi

Remaja pada masa ini sedang merenggangkan diri dari ikatan

emosional dengan orangtuanya. Mereka sedang membongkar landasan

hidup, yang sudah diletakkan orangtuanya sepanjang masa anak.

Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 2003) pada masa ini remaja harus

menemukan identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri, yang

bisa dikenal dan ajek walaupun mengalami berbagai macam

perubahan. Dengan demikian gaya hidup yang khas baginya akan jelas

terlihat dari terbentuknya ”identitas diri” dalam menduduki tempatnya

di masyarakat.

e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri

Pada masa ini terlihat juga perubahan dalam cara berpikir remaja

yang menunjukkan bertambahnya minat terhadap peristiwa yang tidak

langsung dan hal-hal yang tidak konkrit. Pikirannya menjangkau jauh

ke masa depan, mengenai pilihan bidang pekerjaan, pilihan calon istri

ataupun calon suami dan bentuk kehidupan masyarakat lainnya.

Untuk mencegahnya timbulnya perilaku yang sangat

menghambat perkembangan remaja, maka remaja perlu melakukan

refleksi diri untuk mengetahui kemampuan, sejauh mana jangkauan

kesanggupannya mencapai kesempatan yang diperolehnya secara

(44)

f. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma

Remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan luar dan

dalam. Lingkungan luar dan pengaruhnya kadang-kadang perlu

dihambat dan dicegah, supaya tidak terlalu besar perangsangannya

terutama bila bersifat negatif. Demikian pula lingkungan dalam diri

yang mempengaruhi munculnya perilaku yang tidak bisa

ditoleransikan oleh umum, oleh masyarakat harus dikendalikan dan

dicegah pemunculannya.

Konopka (dalam Gunarsa, 2003) menyatakan bahwa masa

remaja merupakan fase yang paling penting dalam pembentukan nilai.

Pembentukan nilai merupakan suatu proses emosional dan intelektual

yang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial.

g. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan.

Seorang anak masih bersifat egosentris. Segala hal dipandang

dari sudut pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhan

sendiri. Reaksi dan tingkahlakunya sangat dipengaruhi oleh emosi dan

kebutuhannya, sehingga sulit menangguhkan terpenuhinya suatu

kebutuhan tertentu. Sebaiknya seorang remaja diharapkan bisa

meninggalkan kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri.

Sepanjang masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat dari sudut

pandang orang lain. Belajar mengingkari kesenangan diri sendiri,

menangguhkan hal-hal yang menyenangkan dan mendahulukan

(45)

Remaja harus belajar menyesuaikan diri dalam hubungan sosial

yang lebih luas dan tugas perkembangan yang lebih majemuk. Tugas

perkembangan dan kesulitan yang dialami remaja perlu dukungan

penuh dari orang tua. Bimbingan dan uluran tangan dari orang tua

yang sering ditolak oleh remaja, perlu tetap ditawarkan dengan

kesabaran.

Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja

diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal

yang harus dilalui pada masa remaja ini, sehingga bila remaja diarahkan dan

dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya

remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.

Penelitian ini memfokuskan untuk meneliti remaja akhir, karena tugas

perkembangan remaja yang harus diselesaikan pada usia remaja akhir

sebelum memasuki usia dewasa. Pemilihan subjek remaja akhir juga karena

pengaruh pola asuh orang tua terlihat pada usia remaja akhir, sedangkan pada

usia setelahnya (dewasa) mereka sudah dapat menentukan pilihan sendiri

tanpa perlu bimbingan dari orang tua.

D. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dengan Tingkat Asertivitas

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan

bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat

dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh orang tua

(46)

positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan

pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang

tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa

dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai.

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan

kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang

tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada

rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis

terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui

kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak

untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada

anak bersifat hangat.

Pola asuh secara demokratis dianggap mampu memberikan pengajaran

mengenai kebebasan yang bertanggung jawab bagi seorang anak. Pola

pendidikan ini juga menjadikan anak belajar untuk mengekspresikan apa yang

ia rasakan dengan kontrol-kontrol yang fleksibel dari orang tuanya, sehingga

ketika seorang anak melakukan sesuatu, anak tersebut mampu memberikan

alasan yang rasional dan objektif (Gunarsa, 2003). Perilaku asertif

dipengaruhi oleh banyak hal, baik dari dalam diri ataupun dari lingkungan

sekitarnya. Perilaku asertif juga merupakan perilaku yang dapat dipelajari.

Orang tua dan keluarga sebagai lingkungan awal pembentuk kehidupan

seseorang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tempat belajar

(47)

orang tua dalam memberi bimbingan dan mengasuh remaja tersebut dengan

pola asuh tertentu.

Remaja yang mampu berperilaku asertif berarti tidak hanya mampu

mengungkapkan dan menghargai dirinya sendiri, tetapi ia juga harus mampu

menghargai dan menganggap keberadaan orang lain. Dari ketiga pola asuh

yang diterapkan dalam keluarga, pola asuh demokratis memberikan banyak

kesempatan bagi anak atau remaja untuk belajar menghargai dirinya sendiri

dan menghargai keberadaan orang lain. Pola komunikasi dua arah yang

diterapkan pada pola asuh ini juga sangat mendukung remaja untuk dapat

mengkomunikasikan perasaan dan kondisinya pada orang lain dengan tepat.

Pola asuh demokratis ini berdampak pada pembentukan karakter positif

pada anak sehingga mampu berperilaku asertif. Lepas dari bagaimana tipe

kepribadian yang dimiliki seorang anak, hal-hal yang diterapkan dalam pola

asuh demokratis memberikan kesempatan anak untuk lebih bersikap mandiri,

dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu

menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif

terhadap orang-orang lain. Pola asuh demokratis akan menjadikan anak lebih

mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan

mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang lain, ramah terhadap

orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya dan orang lain yang

lebih dewasa. Dengan adanya penerapan pola asuh orang tua yang demokratis

(48)

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mencoba membuat skema

hubungan antara pola asuh demokratis dengan tingkat asertivitas remaja.

Pola Asuh Demokratis Tingkat Asertivitas

Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Asertivitas

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka peneliti

mengajukan hipotesis sebagai berikut: ”Ada hubungan positif antara pola asuh

orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir”. 1. Komunikasi dua arah

2. Memberikan motivasi 3. Bersikap kooperatif 4. Bersifat fleksibel

1. Mampu mengungkapkan perasaan positif dan negatif 2. Mampu berkata tidak 3. Mampu untuk meminta

klarifikasi

4. Mampu memulai dan mengakhiri percakapan Dampak Pola Asuh

Demokratis pada anak: - Percaya diri - Mandiri

- Pengendalian diri - Mudah bekerjasama - Ramah

(49)

34 A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang mencoba mencari

hubungan antar dua variabel, sehingga jenis penelitian kali ini adalah kolerasi

dua variabel.

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel

tergantung.

Variabel bebas : Pola asuh demokratis

Variabel tergantung : Tingkat asertivitas pada remaja akhir

C. Definisi Operasional

1. Asertivitas

Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan

remaja baik itu perasaan positif atau negatif serta keinginannya secara

tepat tanpa melupakan hak dan perasaan orang lain.

Tingkat asertivitas ini akan diukur dengan skala asertivitas yang

meliputi aspek sebagai berikut :

1. Kemampuan mengungkapkan perasaan positif dan negatif.

2. Kemampuan untuk berkata “tidak”.

(50)

4. Kemampuan untuk memulai pembicaraan dan mengakhirinya.

Skor yang akan didapat dari skala asertivitas dengan aspek-aspek

di atas dapat menunjukkan tingginya tingkat asertivitas dari remaja

tersebut. Semakin tinggi skor asertivitas yang didapat, berarti remaja

tersebut semakin asertif, dan sebaliknya semakin rendah skor asertivitas

yang didapat, berarti remaja tersebut semakin tidak asertif.

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh dimana orang tua

memberikan kepercayaan serta pelatihan tanggung jawab untuk diri anak

sendiri dan memberikan kesempatan anak untuk dapat mengungkapkan

pendapat dan melakukan hal-hal yang ia sukai tanpa merugikan orang lain,

dimana orang tua memberikan bimbingan bukan aturan.

Skala Pola Asuh Demokratis ini berdasarkan aspek-aspek berikut:

1. Komunikasi dua arah

2. Pemberian motivasi

3. Sikap kooperatif

4. Bersifat fleksibel

Pola asuh dalam penelitian ini berdasarkan persepsi remaja

terhadap pola yang diberikan orang tuanya. Persepsi tersebut dapat dilihat

dengan bagaimana remaja menilai, memahami, dan menafsirkan apa yang

ditunjukkan dan diberikan orang tua mereka, yang akhirnya dapat

mempengaruhi perasaan, persepsi, prasangka dan keinginan dalam diri

(51)

aktivitas penginderaan, dimana aktifitas ini anak dapat menangkap sikap

dan perilaku orang tua dalam mengasuh dan mendidik dirinya di dalam

keluarga. Sikap dan perilaku orang tua yang telah di tangkap dan

dirasakan oleh anak ini kemudian akan diinterpretasikan dengan

melibatkan unsur afektif dan kognitif.

Data persepsi remaja terhadap pola asuh demokratis orang tua

diungkap dengan menggunakan skala pola asuh demokratis. Skornya akan

mengungkapkan tinggi rendahnya persepsi anak terhadap pola asuh

demokratis yang diterapkan orang tuanya. Semakin tinggi skor yang

didapat dari skala pola asuh tersebut menunjukkan semakin demokratis

pola asuh yang diberikan orang tuanya, dan sebalikanya, semakin rendah

skor yang didapatkan maka semakin tidak demokratis pola asuh yang

diterapkan orang tuanya.

D. Subjek Penelitian

Peneliti memfokuskan subjek penelitian pada remaja akhir pada rentang

usia 18 sampai 21 tahun. Ketertarikan peneliti untuk menggunakan batasan

usia tersebut karena diasumsikan bahwa pada kisaran usia ini remaja telah

mampu membentuk kesan, pendapat dan perasaan tentang perilaku dan sikap

orang tua dalam mengasuh dan mendidik dirinya dalam keluarga.

Metode pengambilan sampel menggunakan teknikpurposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan atau kriteria

(52)

100 orang mahasiswa dari berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Peneliti menggunakan mahasiswa tingkat pertama, karena

diasumsikan usia mereka berkisar antara 18 sampai 21 tahun.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan skala

yang terdiri dari dua skala, yaitu skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis

(PAO), dan skala Tingkat Asertivitas (TA).

Skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis akan berusaha mengungkap

tingkat demokratis pola asuh dalam sebuah keluarga. Pernyataan-pernyataan

yang diberikan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu favorable dan unfavorable. Pernyataan-pernyataan favorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan bahwa seorang anak menerima pendidikan atau pola asuh

secara demokratis dari orang tuanya, sedangkan pernyataan unfavorabe akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan seorang anak menerima

pendidikan atau pola asuh yang tidak demokratis dari orang tuanya. Secara

jelas distribusi aitem skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis dapat dilihat

(53)

Tabel 3.1

Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Demokratis

No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total

1 Komunikasi

Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis

pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).

Skala Tingkat Asertivitas akan mengungkap seberapa asertif sikap

seorang remaja. Skala Tingkat Asertivitas juga terdiri dari dua kelompok

pernyataan, dan untuk kelompok pernyataan favorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan sikap asertif, sedangkan kelompok pernyataan

unfavorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan sikap tidak asertif. Secara jelas distribusi aitem skala Tingkat Asertivitas dapat dilihat

(54)

Tabel 3.2

Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas

No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total

1 Kemampuan

Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis

pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).

F. Pengujian Instrumen Alat Ukur

1. Validitas Alat Ukur

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat

ukur dapat melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini

validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas

isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes

dengan analisis rasional (Azwar, 2000). Validitas ini untuk mengetahui

sejauh mana aitem-aitem tes mewakili komponen-komponen dalam

keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representatif)

(55)

diukur (aspek relevansi). Uji validitas dilakukan dengan cara

menyesuaikan alat ukur dengan konsep variabel, yang dalam penelitian ini

adalah tingkat asertifitas dan pola asuh demokratis, proses penyesuaian itu

disebut dengan korelasional judgment. Uji validitas juga ditunjang dengan

bantuan orang yang memiliki kompetensi untuk menilai kesesuaian alat

ukur dengan konsep variabel, atau disebut profesional judgment.

2. Uji Reliabilitas

Suatu alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat

dipercaya, jika alat ukur itu mantap, stabil, dapat diandalkan

(dependentability) dan dapat diprediksi (predictability). Artinya, jika alat

ukur tersebut digunakan berkali-kali akan memberikan hasil yang serupa

(Azwar, 2000). Reliabilitas alat ukur diketahui dengan menggunakan

formula Alpha (Cronbach’s) dengan bantuan perangkat lunak komputer SPSS 13.0 for Windows.

G. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian

1. Subyek Uji Coba Penelitian

Peneliti melakukan uji coba alat penelitian yaitu skala pola asuh

orang tua yang demokratis dan skala tingkat asertivitas pada remaja akhir.

Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan angket dan meminta

responden untuk mengisi angket penelitian. Peneliti menyebarkan angket

(56)

Sanata Dharma. Penyebaran angket penelitian dilaksanakan pada tanggal 2

Juni 2008.

Uji coba alat ukur bertujuan untuk melihat kesahihan aitem alat

ukur dan reliabilitas alat ukur yang kemudian akan digunakan sebagai alat

ukur dalam penelitian. Peneliti menyebar skala yang terdiri skala yang

mengukur pola asuh orang tua yang demokratis dan skala yang mengukur

tingkat asertivitas pada remaja akhir.

2. Hasil Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur

Uji kesahihan aitem dilakukan dengan menggunakan koefisien

korelasi aitem-total (rxy) dengan harga r tabel sebesar 0,3, pada taraf

kesalahan 5% dengan taraf kepercayaan 95% pada sejumlah 30 responden.

Hasil uji kesahihan aitem skala penelitian adalah sebagai berikut:

a. Skala Pola Asuh Demokratis

Uji kesahihan aitem pada skala pola asuh demokratis

menggunakan program SPSS versi 13.00. Hasil uji kesahihan aitem skala pola asuh demokratis diperoleh koefisien korelasi yang bernilai

antara 0,184 sampai dengan 0,663. Terdapat 3 aitem butir yang gugur

dari 40 butir aitem yang diujicobakan yaitu aitem nomor 9, 13 dan 28.

Jumlah butir yang sahih dari skala pola asuh demokratis adalah

sebanyak 37 aitem, agar semua aspek mempunyai jumlah aitem yang

(57)

Nomor-nomor aitem yang gugur setelah dilakukan uji coba dan

urutan nomor baru setelah nomor lama dibuang untuk skala pola asuh

demokratis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.3

Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Pada Saat Uji Coba

No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total

1 Komunikasi

Tanda * = Nomor aitem yang gugur pada saat uji coba ** = Nomor aitem yang dikeluarkan

Tabel 3.4

Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Setelah Uji Coba

No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total

1 Komunikasi

Hasil uji reliabilitas skala pola asuh demokratis diperoleh nilai

koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,920 yang diujikan pada 30

(58)

lebih besar dari 0,60 maka dapat dinyatakan bahwa skala pola asuh

demokratis adalah reliabel.

b. Skala Tingkat Asertivitas

Hasil uji kesahihan untuk skala tingkat asertivitas diperoleh

koefisien korelasi dengan nilai antara 0,235 sampai dengan 0,687.

Terdapat 3 aitem butir yang gugur dari 40 butir aitem yang

diujicobakan yaitu nomor 5, 16, dan 22. Jumlah butir sahih untuk skala

tingkat asertivitas sebanyak 37 aitem, agar semua aspek mempunyai

jumlah aitem yang sama maka aitem nomor 37 dikeluarkan dari

analisis.

Nomor-nomor butir aitem yang gugur setelah dilakukan uji

coba dan urutan nomor baru setelah nomor lama dibuang untuk skala

tingkat asertivitas disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.5

Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas Pada Saat Uji Coba

No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total

1 Kemampuan

(59)

Tabel 3.6

Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas Setelah Uji Coba

No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total

1 Kemampuan

Hasil uji reliabilitas skala tingkat asertivitas diperoleh nilai

koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,905 yang diujikan pada 30

responden dengan 36 aitem valid. Oleh karena nilai Cronbach's Alpha

lebih besar dari 0,60 maka dapat dinyatakan bahwa skala tingkat

asertivitas adalah reliabel.

H. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

dengan metode kuantitatif yang dilakukan dengan penghitungan statistik. Hal

ini dilakukan karena dapat mewujudkan kesimpulan penelitian dengan

memperhitungkan faktor kesalahan generalisasi (Hadi, 1997).

Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji

asumsi. Uji asumsi yang dilakukan meliputi uji normalitas dan uji linieritas.

(60)

berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas menggunakan teknik

analisis Kolmogorov-Smirnov. Uji linieritas digunakan untuk menguji apakah

hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat mempunyai hubungan

yang linier atau tidak.

Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Pengujian

hipotesis dianalisis menggunakan korelasi Poduct Moment (Pearson

(61)

46 A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 5-11 Juni 2008 di Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini adalah

mahasiswa/mahasiswi berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta yang berjumlah sebanyak 100 orang. Kuesioner yang disebarkan

telah memenuhi syarat, yakni semua aitem pada setiap skala diisi sehingga

dapat digunakan dalam analisis data.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian yang menggambarkan tanggapan

responden terhadap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1

Tabel Deskripsi Data Penelitian

Variabel Mean SD Min Max

Pola Asuh Demokratis 114,53 10,00 93 140

Tingkat Asertivitas 107,83 7,82 93 136

Selanjutnya dilakukan perbandingan antara mean empiris dengan

mean teoritis pada skala pola asuh demokratis dan tingkat asertivitas untuk

mengetahui tanggapan subjek penelitian terhadap variabel penelitian.

Perbandingan mean teoritis dengan mean empiris dan standar deviasi

(62)

Tabel 4.2

Tabel Mean dan Standar Deviasi

Skala Mean

Teoritis

Mean Empiris

SD Teoritis

SD Empiris

Pola Asuh Demokratis 90 114,53 18 10,00

Tingkat Asertivitas 90 107,83 18 7,82

Mean teoritis adalah rata-rata skor ideal hasil penelitian, sedangkan

mean empiris merupakan hasil rata-rata skor data penelitian. Hasil analisis

dari skala pola asuh demokratis diperoleh nilai mean teoritis sebesar 90

dan nilai mean empiris sebesar 114,53. Hasil ini menunjukkan bahwa

rata-rata responden penelitian mempunyai orang tua dengan pola asuh

demokratis yang tinggi. Hasil analisis dari skala tingkat asertivitas

diperoleh nilai mean teoritis sebesar 90 dan nilai mean empiris sebesar

107,83. Hasil ini juga menunjukkan bahwa rata-rata responden penelitian

mempunyai tingkat asertivitas yang tinggi.

2. Kategorisasi Skor Skala

Data hasil penelitian dapat kategorisasi dalam lima kelompok

kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

Pengkategorian tersebut didasarkan pada nilai rerata dan simpangan baku

pada masing-masing variabel penelitian. Kategorisasi tersebut disajikan

berikut ini:

a. Kategorisasi Pola Asuh Demokratis

Skala pola asuh demokratis terdiri dari 36 aitem yang

Gambar

Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Asertivitas
Tabel 3.1Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Demokratis
Tabel 3.2Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas
Tabel 3.4Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uji hipotesis penelitian dilakukan untuk mengetahui dan menguji apakah hipotesis yang telah ditetapkan pada bab II yaitu ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif yang signifikan antara penerapan pola asuh otoriter orang tua dengan distres pada remaja di SMA N 1 Muntilan.. Subjek penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji adanya hubungan antara Pola Asuh Otoritatif dengan Perilaku Prososial pada Remaja. Hipotesis yang diajukan adalah adanya hubungan positif

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian yaitu terdapat hubungan positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian belajar pada siswa.. Alat ukur yang digunakan dalam

Berdasarkan hasil analisis diperoleh r xy = 0,531 dengan p = p<0,01 yang menunjukan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh

pola asuh demokratis dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA Negeri. 4

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua (F=2.951, p<0.05), subjek dengan pola

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan antara religiusitas dan pola asuh demokratis dengan perilaku seksual pada remaja di SMK “X”