SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Marine Ayu Widowati
029114034
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
vi
Marine Ayu Widowati (2008). Hubungan Pola Asuh Demokratis Dengan Tingkat Asertivitas Pada Remaja Akhir. Jogjakarta; Fakultas Psikologi; Jususan Psikologi: Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pola asuh orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir. Pola asuh demokratis memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokratis ini berdampak pada pembentukan karakter positif pada anak sehingga mampu berperilaku asertif. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara pola asuh orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir.
Subyek penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa tingkat pertama pada berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran skala pola asuh orang tua demokratis dan tingkat asertivitas. Koefisien reliabilitas skala pola asuh orang tua demokratis sebesar 0,902 dan tingkat asertivitas sebesar 0,905. Analisis data penelitian menggunakan analisis korelasiProduct Moment.
vii
Marine Ayu Widowati (2008). The Correlation between Democratic Nurturing Pattern and Assertive Behavior on Late Adolescents. Jogjakarta; Faculty of Psychology; Department of Psychology: Sanata Dharma University.
The aim of this research was to find the correlation between democratic nurturing pattern and assertive behavior on late adolescents. Although the democratic nurturing pattern gives a priority on children’s needs, it also has no hesitation in controlling them. This democratic nurturing pattern has an effect on the children’s character building. They will have a positive characteristic that enable them to have an assertive behavior. The hypothesis presented in this thesis is that there is a positive correlation between democratic nurturing pattern and assertive behavior on late adolescents.
The subjects of this research were 100 first-year-students from various study programs in Sanata Dharma University. The data collection was gained through giving democratic nurturing pattern and assertive behavior scale. The democratic nurturing pattern scale reliability is 0,920 and the assertive behavior scale reliability is 0,905. The Pearson Product Moment correlation analysis was used to analyze the research data.
viii
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, segala puji bagiNya
sebanyak bilangan yang Dia ketahui, atas segala rahmat dan karuniaNya, hingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Hubungan Pola
Asuh Demokratis Dengan Tingkat Asertivitas Pada Remaja Akhir”.
Mulai Perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah
banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak baik langsung ataupun
tidak langsung. Oleh karena itu ijinkanlah dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak P. Edy Suhartanto,S.Psi.,M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma, atas ijin dan kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk melakukan penelitian.
2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniarti Murtisari, M.Psi., selaku Kaprodi
Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan yang diberikan
selama penulis menempuh pendidikan pada program studi psikologi.
3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing
yang telah dengan sabar memberikan banyak petunjuk serta bimbingan,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang
telah mengasuh, mendampingi serta memberikan bekal ilmu selama
penulis menempuh masa perkuliahan.
5. Para karyawan dan staff, mas Muji, mas Gandung, mas Doni, mbak Nani,
dan pak Gik, untuk keramahan dan semua bantuannya.
6. Orang tua penulis, Bapak Djoko Purwoko dan Ibu Maryana, yang telah
dengan penuh rasa cinta, kesabaran dan keikhlasan memberikan dorongan,
semangat dan doa restu, baik moral ataupun material, selama penulis
hidup. Kakakku mas Awang dan adikku Ajdie, terima kasih atas
dukungannya.
7. Sahabat, kakak, pasangan, pendamping dan suamiku terkasih, Hendra
ix
8. Sobat-sobatku, Dina (ndut), Cicil, Katrin, Winda, Friska, Ohaq (kapan kita
mau kumpul lagi???), smua anak2 Psi’02, makasih untuk kebersamaan,
persahabatan dan permusuhan sebagai rekan seangkatan… (semoga
somewhere ‘n somewhen,kalo ketemu lagi, kita masih saling kenal ya…). Buat Dedi (thanks udah bantuin ambil data ya….), Nining, Yudhis, mas
Didik ‘n mbak Susi (atas print2-an nya..), dan semua teman dan sahabat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala
pengalaman, dan suka duka yang kita lewati selama ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Psikologi USD angkatan ’98 hingga ’07
yang telah menjadi rekan dan keluarga penulis selama menyelesaikan
masa perkuliahan (terimakasih untuk tetap setia), juga rekan-rekan
mahasiswa angkatan ’07 segala jurusan di USD (makasih untuk data nya
ya…).
10. Semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan
KaruniaNya kepada semua pihak yang telah memberikan semua bantuan tersebut
di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan
senang hati menerima kritik demi perbaikan. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, 31 Juli 2008
x
Halaman
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Pernyataan Keaslian Karya... iv
Halaman Persetujuan Publikasi... v
Abstrak ... vi
Abstract ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi... x
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Gambar... xiv
Daftar Lampiran ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8
A. Asertivitas ... 8
1. Pengertian Asertivitas... 8
2. Ciri-ciri Perilaku Asertif... 11
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas ... 15
B. Pola Asuh Orang Tua... 17
1. Peran Orang Tua dalam Keluarga ... 17
2. Pola Asuh... 19
xi
1. Pengertian Remaja Akhir... 24
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 26
D. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dengan Tingkat Asertivitas .. 30
F. Hipotesis ... 33
BAB III METODE PENELITIAN... 34
A. Jenis Penelitian ... 34
B. Variabel Penelitian... 34
C. Definisi Operasional ... 34
D. Subjek Penelitian ... 36
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 37
F. Pengujian Instrumen Alat Ukur... 39
G. Hasil Uji Coba Instruen Penelitian ... 40
H. Metode Analisis Data... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Pelaksanaan Penelitian... 46
B. Hasil Penelitian ... 46
1. Deskripsi Data Penelitian... 46
2. Kategorisasi Skor Skala ... 47
3. Uji Asumsi ... 50
4. Uji Hipotesis ... 51
C. Pembahasan... 52
D. Keterbatasan Penelitian... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 59
A. Kesimpulan ... 59
xiii
Halaman
Tabel 3.1 Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Demokratis ... 38
Tabel 3.2 Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas ... 39
Tabel 3.3 Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis pada Saat Uji Coba... 42
Tabel 3.4 Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Setelah Uji Coba ... 42
Tabel 3.5 Distribusi Aitem pada Skala Tingkat Asertivitas pada Saat Uji Coba.. 43
Tabel 3.6 Distribusi Aitem pada Skala Tingkat Asertivitas Setelah Uji Coba .... 44
Tabel 4.1 Tabel Deskripsi Data Penelitian... 46
Tabel 4.2 Tabel Mean dan Standar Deviasi ... 47
Tabel 4.3 Kategorisasi Skor pada Skala Pola Asuh Demokratis ... 48
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor pada Skala Tingkat Asertivitas ... 48
Tabel 4.5 Ringkasan Uji Normalitas... 50
Tabel 4.6 Hasil Uji Linieritas... 51
xiv
Halaman
xv
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 63
Lampiran 2. Tabulasi Data Validitas ... 69
Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala... 71
Lampiran 4. Tabulasi Data Skala Pola Asuh Demokratis... 79
Lampiran 5. Tabulasi Data Skala Tingkat Asertivitas ... 82
Lampiran 6. Kategorisasi Skala ... 87
Lampiran 7. Analisis Deskriptif... 88
Lampiran 8. Uji Normalitas dan Linieritas ... 89
1 A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk menjadi dirinya sendiri
dan mampu mengungkapkan segala hal yang dialami dan dirasakannya, baik
itu hal positif ataupun negatif. Sesuai dengan perkembangan zaman yang
semakin modern saat ini, orang dituntut untuk mampu bersikap lebih asertif,
begitu pula dengan remaja. Asertivitas merupakan perilaku yang menampilkan
keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan pikiran dan
perasaan apa adanya tanpa menyakiti orang lain. Menurut Corey (2007)
asertif adalah perilaku dimana individu mampu menerima kenyataan bahwa
menyatakan atau menegaskan diri dengan langsung dan terbuka adalah
tindakan yang layak dan benar. Asertif juga merupakan kemampuan untuk
mengungkapkan ekspresi emosi dan kecemasan terhadap orang lain.
Perilaku asertif ini sangat penting, terutama bagi remaja, karena selain
dapat menunjukkan kematangan emosinya, sikap asertif ini juga dapat menjadi
salah satu bentuk keberhasilan tugas perkembangan remaja khususnya dalam
memperoleh kebebasan emosional dan sosial untuk menapaki tugas
perkembangan berikutnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Alberti dan
Emmons (2002) yang menyatakan bahwa sikap asertif akan membuat
seseorang berani untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan,
atau kelompok orang mampu mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya dan potensi kelompoknya demi kemajuan bersama. Seorang
remaja yang tidak mampu bersikap asertif biasanya cenderung memiliki sifat
pasif atau non-asertif, atau menjadi orang yang memiliki sifat hanya memberi
tanpa mencoba menerima dan memperhitungkan perasaan orang lain, atau
sering disebut agresif.
Fenomena yang banyak terjadi dan berkembang dewasa ini adalah
masyarakat khususnya remaja menjadi kurang mampu untuk bersikap asertif
dalam lingkungannya, baik untuk mengungkapkan perasaan atau pendapatnya,
sehingga masyarakat menjadi cenderung pasif dalam menghadapi segala
sesuatu dalam kehidupan sosialnya (Prestasi Sekolah, 2004). Hal ini bila terus
menerus terjadi akan cukup membahayakan khususnya bagi remaja sebagai
generasi muda yang diharapkan mampu menjadi penerus bangsa. Dengan
bersikap tidak asertif, remaja menjadi kurang dapat mengeluarkan kemampuan
dan potensi yang dimilikinya. Beberapa alasan mengapa seseorang tidak
mampu berperilaku asertif diantaranya, takut terluka, takut ditolak, takut
menyakiti perasaan orang lain, dan takut kehilangan jaminan keuangan
(Hauck, 1995).
Bagi para remaja terutama yang berumur di antara 13-18 tahun, sikap
dan perilaku asertif sangatlah penting karena beberapa alasan sebagai berikut
(Sikone, 2006): pertama, sikap dan perilaku asertif akan memudahkan remaja
tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan lingkungan seusianya
untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan diinginkannya secara langsung,
terus terang maka para siswa bisa menghindari munculnya ketegangan dan
perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan sesuatu yang ingin
diutarakannya. Ketiga, dengan memiliki sikap asertif, maka para remaja dapat
dengan mudah mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atau
permasalahan yang dihadapinya secara efektif, sehingga permasalahan itu
tidak akan menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keempat, asertivitas
akan membantu para remaja untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya,
memperluas wawasannya tentang lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada
sesuatu yang tidak diketahuinya (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi).
Kelima, asertif terhadap orang lain yang bersikap atau berperilaku kurang
tepat bisa membantu remaja yang bersangkutan untuk lebih memahami
kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut.
Beberapa manfaat yang telah dijelaskan tersebut mengindikasikan
perlunya sikap ini ditanamkan sejak dini bagi para remaja karena asertivitas
bukan merupakan sesuatu yang lahiriah tetapi lebih merupakan pola sikap dan
perilaku yang dipelajari sebagai reaksi terhadap berbagai situasi sosial yang
ada di lingkungan. Asertivitas ini dalam kenyataannya berkembang sejalan
dengan usia seseorang, sehingga penguasaan sikap dan perilaku pada
periode-periode awal perkembangan akan memberikan dampak yang positif bagi
periode-periode selanjutnya.
Mengingat pentingnya perilaku asertivitas pada remaja, beberapa
penelitian Wulandari (2002) yang menyimpulkan adanya hubungan antara
asertivitas dan harga diri pada remaja usia 19 – 21 tahun. Penelitian Aulia
(2004) yang meneliti tentang hubungan antara konsep diri dengan asertivitas
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara konsep diri dengan tingkat
asertivitas siswa MAN I Yogyakarta. Wulandari (2003) yang meneliti
hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri dengan asertivitas pada
remaja akhir menyimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan
antara dukungan sosial dan konsep diri terhadap asertivitas pada remaja akhir.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat
diketahui beberapa faktor yang berhubungan dengan asertivitas. Asertivitas
berhubungan dengan harga diri, konsep diri, dan dukungan sosial.
Perilaku asertif tidak akan timbul begitu saja. Ada beberapa hal-hal
penting yang mempengaruhi timbulnya perilaku asertif pada diri seseorang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi asertivitas ini antara lain, jenis kelamin,
usia, kebudayaan dan pola asuh orang tua (Santosa, 1999).
Keluarga adalah tempat pertama seseorang belajar tentang kehidupan.
Keluarga yang dimaksud disini adalah keluarga inti tempat seorang anak
berinteraksi secara langsung, baik itu ayah, ibu, ataupun saudara laki-laki dan
perempuan. Keluarga, dimana seseorang hidup didalamnya, memberikan
pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap keberhasilan
tugas-tugas perkembangan remaja dan segala perubahan yang dialami oleh
remaja. Seorang anak pertama-tama belajar tentang segala sesuatu dari
Setiap keluarga dan orang tua memiliki tata cara yang berbeda beda
dalam mengasuh anak-anaknya. Penerapan pola asuh dalam keluarga akan
membuat anak mengetahui bagaimana mengambil keputusan, bersikap
mandiri dan mengungkapkan pendapat serta perasaannya baik itu positif atau
negatif atau berperilaku asertif. Menurut Santosa (1999) pola asuh orang tua
dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pola asuh yang selalu menghargai
anak sebagai pribadi (demokratis), pola asuh yang selalu mengatur dan
memberikan berbagai tuntutan kepada anak (otoritas), dan pola asuh yang
selalu membiarkan anak.
Untuk memberikan kecerdasan emosi dan sosial kepada anak, perlu
diterapkan pola asuh yang sekiranya tepat dalam keluarga, salah satunya
dengan pola asuh demokratis. Dalam pola asuh demokratis, orang tua
memberikan kepercayaan kepada anak untuk dapat bersikap dan mengambil
keputusan, sepanjang hal tersebut tidak berakibat buruk baginya, hingga ia
mampu bertanggung jawab bagi dirinya (Santosa, 1999). Dalam hal ini, orang
tua tidak mengatur anak, melainkan memberikan bimbingan kepada anaknya,
sehingga anak mendapat kesempatan untuk lebih mengekspresikan dirinya.
Kunci dari pola asuh demokratis adalah komunikasi dua arah, karena dengan
pola komunikasi ini hubungan orang tua dengan anak menjadi lebih terbuka
(Hauck, 1995). Penerapan pola asuh yang sesuai dalam keluarga ini
diharapkan dapat membentuk kematangan emosi dan sosial pada anak
tersebut mampu untuk bersikap aktif dan mampu mengungkapkan pendapat
dan berperilaku asertif dalam masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pola asuh dalam
keluarga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan sikap
remaja, begitu pula dengan perilaku asertif yang kemudian akan ditunjukkan
oleh remaja tersebut, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pola asuh
dalam keluarga dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku
asertif pada remaja. Sehingga dalam penelitian kali ini penulis tertarik untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis
dengan tingkat asertivitas pada remaja secara lebih jauh dan mendalam, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada akhir masa remaja yaitu
mereka yang berumur antara 18 sampai 21 tahun. Pemilihan subjek ini
sehubungan dengan kondisi remaja akhir yang diharapkan telah memiliki
kematangan emosi dan sosial seperti yang dinyatakan oleh Gunarsa (2003)
bahwa remaja telah berani dalam mengambil keputusan secara bertahap untuk
mengambil keputusan dengan bijaksana, sehingga tidak akan cukup sulit
untuk mengetahui bagaimana tingkat asertivitas yang mereka miliki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan yang positif antara pola
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan
yang positif antara remaja yang mendapatkan pola asuh demokratis dengan
tingkat asertivitas yang dimilikinya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan psikologi di bidang psikologi perkembangan, khususnya
pengaruh pola asuh orang tua sebagai faktor pendorong timbulnya perilaku
asertif pada remaja. Serta merupakan contoh aplikasi dari skala pola asuh
demokratis dan tingkat asertivitas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi orang tua, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan yang lebih jelas mengenai pola asuh demokratis dan
berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, sehingga orang tua dapat
menerapkan pola asuh tersebut dalam lingkungan keluarga.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi
orang tua dalam menerapkan pola asuh demokratis yaitu menerapkan
pola asuh anak yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan
8 A. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Menurut Corey (2007) perilaku asertif adalah ekspresi langsung,
jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak
seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya pernyataan
tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan
benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa
yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut
juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak melulu
mementingkan dirinya sendiri.
Asertif adalah kemampuan untuk mengekspresikan kenyataan
dirinya, yaitu kemampuan untuk mengatakan "tidak" atau "ya" sesuai
dengan keadaan sesungguhnya, untuk meminta dengan ekspresi positif
atau negatif (Onuoha dan Manukata, 2005). Menurut Galassi dan Galassi
(dalam Scrutchfield, 2003) asertivitas adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan
kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak
serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk
jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan,
memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. Alberti
dan Emmons (2002) mendefinisikan asertif adalah kemampuan
mengekspresikan hak, pikiran, perasaan, dan kepercayaan secara langsung,
jujur, terhormat, dan tidak mengganggu hak orang lain. Jadi, berani untuk
secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran
dengan apa adanya.
Merujuk pada berbagai pengertian di atas, maka perilaku asertif
adalah bertindak sesuai keinginan, mempertahankan diri tanpa harus
merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman,
menggunakan hak-hak kita tanpa melanggar hak orang lain. Dari
pengertian tersebut, terlihat penekanan bahwa perilaku asertif ini
memberikan kepuasan baik pada diri sendiri maupun orang lain dan
mendukung terbentuknya hubungan interpersonal yang positif dengan
orang lain. Hal ini dikarenakan cara penyampaian pendapat/pikiran pada
perilaku asertif turut mempertimbangkan hak orang lain pula.
Seseorang dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu bersikap
tulus dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pikiran dan
pandangannya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau mengancam
integritas pihak lain. Berperilaku asertif membuat seseorang mampu
mengungkapkan dan menyatakan perasaannya baik itu positif atau negatif
tanpa harus menghiraukan hak-hak dan perasaan orang lain serta
kebutuhan orang lain untuk dapat mengekspresikan dirinya. Salah satu
mengemukakan pendapat dan perasaannya secara lebih jelas, sehingga
dapat menimbulkan kepuasan dan rasa senang (Rini, 2001).
Carrol (2004), membedakan perilaku asertif, agresif dan pasif
sebagai berikut:
a. Perilaku Agresif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang
menyalahkan atau melabel orang lain, dengan menggunakan kata-kata
yang berlebihan, mengkritik berlebihan/dengan tajam, meremehkan
orang lain, menunjuk-nunjuk (menggunakan jari), mengacungkan
pukulan (genggaman tangan), bersuara keras dan menekan, mata
melotot, pose tubuh yang mengintimidasi.
b. Perilaku Asertif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang
menyatakan kejujuran akan kebutuhannya, melalui pesan langsung dan
jelas, mendengarkan aktif, postur tubuh relaks dan terbuka, suara tegas
dan meyakinkan, menatap pandangan mata lawan bicara dengan
mantap, dan menghargai orang lain.
c. Perilaku Pasif adalah perilaku verbal maupun non-verbal yang
cenderung menerima, dengan menggunakan banyak kata-kata
permintaan maaf, maksud tersembunyi, berbohong, tidak menunjuk
pada poin utama pembicaraan, menganggukkan kepala berlebihan,
postur tubuh mengharap dukungan, lemah, seringkali meremas-remas
tangan, ekspresi wajah tidak berani menatap lawan bicara,
meremehkan diri sendiri dan terlalu menghargai orang lain, ragu-ragu
2. Ciri-ciri Perilaku Asertif
Ciri-ciri orang yang mampu berperilaku asertif antara lain (Corey,
2007):
a. Mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung.
b. Tidak menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan tidak selalu
mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
c. Tidak mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
d. Tidak mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respon-respon lainnya.
e. Merasa punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri.
Menurut Lazarus (dalam Santosa, 1999), seorang remaja dikatakan
asertif bila mempunyai kemampuan untuk: (a) berkata “tidak”, (b)
meminta pertolongan, (c) mengekspresikan perasaan positif maupun
negatif secara wajar, (d) berkomunikasi tentang hal-hal yang bersifat
umum.
Kanfer dan Goldstain (dalam Santosa, 1999), seseorang dikatakan
asertif bila: (a) dapat menguasai diri sesuai dengan situasi yang ada, (b)
dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang sangat
disukainya, (c) dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya kepada
seseorang secara terus terang dan wajar.
Selanjutnya, Alberti dan Emmons (2002) menambahkan bahwa
berkomunikasi dengan bermacam-macam orang secara terbuka, langsung
dan tepat, memiliki orientasi yang aktif terhadap kehidupan, bertindak
dalam cara yang dihargainya dalam situasi menekan dan menghasilkan
tingkah laku interpersonal yang efektif.
Kemudian, Alberti dan Emmons (2002) juga menyebutkan adanya
10 pokok kunci dalam perilaku asertif. Kesepuluh pokok kunci ini
ditengarai merupakan aspek-aspek yang harus ada pada setiap perilaku
asertif yang dimunculkan oleh seseorang. Kesepuluh pokok kunci tersebut
adalah: 1) pengungkapan diri; 2) penghormatan terhadap orang lain; 3)
jujur; 4) langsung; 5) tidak membedakan, menguntungkan semua pihak;
6) verbal, termasuk isi pesan (perasaan, hak-hak, fakta.
Pendapat-pendapat, permintaan-permintaan dan batasan-batasan); 7) nonverbal,
termasuk gaya dan pesan (kontak mata, suara, postur, ekspresi muka,
gesture, jarak, waktu, kelancaran dan mendengarkan); 8) bukan suatu yang
universal; 9) bertanggung jawab secara sosial; 10) dipelajari, bukan
sesuatu yang dibawa sejak lahir;
Bower dan Bower (2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang
berperilaku asertif harus memiliki kemampuan-kemampuan seperti di
bawah ini:
a. Berbicara dengan perasaan(Use feeling talks)
Mengekspresikan minat atau rasa suka dengan spontan. Jika
memungkinkan dapat menggunakan frase seperti ”saya rasa...” atau
dengan suara tegas yang mudah didengar, ketika mengungkapkan
pendapatnya.
b. Membicarakan tentang dirinya(Talks about yourself)
Membicarakan hal-hal tentang dirinya seperlunya, dan tidak
memonopoli pembicaraan dengan orang lain.
c. Berbicara dengan ramah (Make greeting talks)
Tersenyum ramah, menatap langsung mata lawan bicara dan berbicara
dengan nada yang menyenangkan, ketika bercakap-cakap dengan
orang lain
d. Menerima pujian(Accept compliments)
Menerima pujian yang diberikan orang lain kepadanya dengan baik
(misal: mengucapkan terima kasih)
e. Berbicara dengan ekspresi(Use appropriate facial talks)
Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang
tidak menyenangkan dengan cara jujur dan tidak menyakiti orang lain
f. Menolak dengan lembut(Disagree mildly)
Menyatakan ketidaksetujuan dengan cara yang tidak menyinggung
orang lain.
g. Meminta penjelasan (Ask for clarification)
Meminta seseorang untuk mengulang kembali dengan lebih jelas, jika
orang tersebut memberi perintah, petunjuk atau penjelasan yang
h. Menanyakan Alasan(Ask why)
Menanyakan alasan terhadap sesuatu yang tampaknya tidak masuk
akal atau tidak menyenangkan.
i. Mengekspresikan ketidaksetujuan(Express active disagreement) Mampu menolak tanpa perasaan takut dan cemas atas hal-hal yang
menurutnya negatif atau tidak sesuai dengan dirinya.
j. Merespon haknya(Speak up for the rights)
Memberi respon pada hal-hal yang tidak menghormati hak-haknya
k. Tetap tenang(Be Persistent)
Menyampaikan keluhan tanpa harus bersikap meledak-ledak
l. Menghindari pembenaran(Avoid justifying every opinion)
Mampu membedakan hal-hal mana yang perlu direspon, dan hal-hal
mana yang seharusnya tidak perlu direspon. Untuk hal-hal yang
menurutnya tidak memerlukan respon, ia mampu untuk menolak atau
menyatakan ketidaksetujuannya
Aspek-aspek asertivitas yang diteliti dalam penelitian ini merupakan
gabungan dari beberapa teori di atas yang dirangkum sebagai berikut:
a. Kemampuan mengungkapkan perasaan positif dan negatif.
Mengekspresikan minat atau rasa suka dengan spontan. Menyatakan
ketidaksetujuan dengan cara yang tidak menyinggung orang lain. Mampu
membedakan hal-hal mana yang perlu direspon, dan hal-hal mana yang
b. Kemampuan untuk berkata “tidak”.
Mampu menolak tanpa perasaan takut dan cemas atas hal-hal yang
menurutnya negatif atau tidak sesuai dengan dirinya.
c. Kemampuan untuk meminta klarifikasi.
Kemampuan untuk meminta seseorang untuk mengulang kembali dengan
lebih jelas, jika orang tersebut memberi perintah, petunjuk atau penjelasan
yang membingungkan.
d. Kemampuan memulai pembicaraan dan mengakhirinya
Kemampuan untuk memulai pembicaraan dengan sikap ramah, menatap
langsung mata lawan bicara dan berbicara dengan nada yang
menyenangkan. Mampu mengakhiri pembicaraan dengan memperhatikan
perasaan orang lain dan mengucapkan terima kasih.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Asertivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola asuh
orang tua, kebudayaan, jenis kelamin dan usia. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan faktor pola asuh orang tua sebagai salah satu hal
yang mempengaruhi tingkat asertivitas seseorang, khususnya remaja.
Santosa (1999) berpendapat bahwa ada faktor-faktor tertentu yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif pada individu/remaja, yaitu:
a. Pola Asuh
yang tidak dapat diterima anak tetapi dipaksakan, penuh dengan
larangan yang membatasi ruang kehidupan anak. Anak yang diasuh
dengan pola otoriter akan tumbuh menjadi anak yang merasa dirinya
rendah (inferior).Kedua: pola asuh demokratis, pada pola ini orang tua mengasuh anak mereka dengan penuh kasih sayang tetapi tidak
memanjakan, sehingga anak tumbuh menjadi individu yang penuh
percaya diri, mempunyai pengertian yang benar tentang hak mereka,
dapat mengkomunikasikan segala keinginan dengan wajar, dan tidak
memaksakan kehendak dengan cara menindas hak orang lain. Ketiga: pola asuh permisif, orang tua mendidik anak tanpa adanya batasan/
aturan yang bersifat mengikat, bahkan terkesan bebas. Anak-anak
dengan pola asuh permisif akan tumbuh menjadi remaja yang mudah
kecewa dan mudah marah karena ia terbiasa mendapatkan segala
sesuatu dengan cepat dan mudah. Kurangnya pengawasan dari orang
tua akan membuat perilaku anak menjadi sulit untuk dikendalikan.
b. Kebudayaan
Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku asertif adalah faktor
kebudayaan. Rakos (dalam Santosa, 1999), memandang bahwa
kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam mendidik perilaku
asertif. Biasanya ini berhubungan dengan norma-norma.
c. Usia
Buhrnmester (dalam Santosa, 1999), berpendapat bahwa usia
perilaku asertif. Pada anak kecil perilaku asertif belum terbentuk, pada
masa remaja dan dewasa perilaku asertif berkembang, sedangkan pada
usia tua tidak begitu jelas perkembangan atau penurunannya.
d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin pria dan wanita berpengaruh terhadap perilaku
asertif seseorang. Umumnya kaum pria cenderung lebih asertif
daripada wanita karena tuntutan masyarakat.
e. Strategi Coping
Strategi coping adalah bentuk penyesuaian diri yang
melibatkan unsur-unsur kognisi dan afeksi dari seseorang guna
mengatasi permasalahan yang datang pada dirinya. Strategi coping
yang digunakan oleh remaja juga mempengaruhi tingginya tingkat
keasertifan mereka (Massong et al dalam Santosa, 1999).
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Peran Orang Tua dalam Keluarga
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan
ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang
dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab
untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk
mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam
Selain definisi tersebut Suparlan (1993) mendefinisikan keluarga
merupakan kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas
ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Hubungan antara anggota keluarga
dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab.
Dari beberapa paparan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
peran orang tua adalah fungsi yang dimainkan oleh orang tua yang berada
pada posisi atau situasi tertentu dengan karakteristik atau kekhasan tertentu
pula.
Menurut Gunarsa (2003) dalam keluarga yang ideal (lengkap)
maka ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah
dan peran ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah:
a. Peran ibu adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan
mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik,
mengatur dan mengendalikan anak, menjadi contoh dan teladan bagi
anak.
b. Peran ayah adalah ayah sebagai pencari nafkah, ayah sebagai suami
yang penuh pengertian dan memberi rasa aman, ayah berpartisipasi
dalam pendidikan anak, ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas,
2. Pola Asuh
Pola asuh adalah sikap orang tua dalam memimpin anaknya
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan kepribadian anak-anaknya.
Pola asuh adalah cara-cara pengaturan tingkah laku yang dilakukan oleh
orang tua sebagai perwujudan tanggungjawab dalam pembentukan
kedewasaan anak.
Pola asuh adalah sikap dan cara-cara orang tua dalam berinteraksi
dengan anak-anaknya sebagai pengasuh atau pendidik dan sebagai
pembimbing dalam menumbuhkan kedewasaan dan kemandirian anak.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi
manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya.
Perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.
Pola asuhan itu menurut Santrock (2003) terdiri dari tiga
kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh
demokratis, dan pola asuh permisif. Adapun ciri-ciri yang dapat
a. Pola asuh otoriter
Santrock (2003) menyatakan pengasuhan otoriter (authoritarian
parenting) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat otoriter
membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya
melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian
berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap.
b. Pola asuh demokratis
Santrock (2003) menyatakan pengasuhan demokratis
(authoritative parenting) mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka.
Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan
orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja.
Pengasuhan demokratis berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang
kompeten.
c. Pola Asuh Permisif
Santrock (2003) menyatakan pengasuhan permisif-memanjakan
(permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau
mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan berkaitan
dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya
3. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola pengasuhan yang lebih
menerapkan kepercayaan dan penerimaan serta melatih tanggung jawab
bagi diri sendiri dalam mendidik anak. Dalam pola asuh ini, peraturan
yang diterapkan orang tua merupakan hasil kesepakatan bersama dan
dalam hal ini anak selalu diikut sertakan dalam membentuk kesepakatan
peraturan tersebut. Kontrol-kontrol yang diberikan orang tua dalam
mengasuh anak diterapkan secara fleksibel dan tidak kaku, hal ini
dilakukan untuk memancing sikap terbuka dan tanggung jawab anak,
sehingga diharapkan apapun yang dilakukan oleh anak dapat diketahui
oleh orang tua (Gunarsa, 2003).
Beberapa ciri orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis
dalam pengasuhan anaknya adalah sebagai berikut (Elias, 2000):
a. Orang tua mampu memberikan perilaku teladan kepada anak.
b. Orang tua mampu bertindak paraphrasing (secara halus mengungkapkan kembali pernyataan anak dengan bahasa yang lebih
tepat dan lebih baik).
c. Orang tua memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing sikap
kritis anak.
d. Orang tua memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan
mendidik anak.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa inti dari pola
asuh demokratis adalah sikap kooperatif atau persahabatan yang
ditunjukkan orang tua dalam mendidik anaknya, sehingga anak mampu
merasa dihargai sebagai seorang individu.
Pola asuh demokratis ini dapat dilihat dengan bagaimana seorang
anak dapat merasakan kebebasannya untuk berpendapat tanpa diatur atau
dipaksa. Keberhasilan pola asuh ini diukur dari pendapat dan perasaan
anak sebagai objek dari pendidikan dan pengasuhan dalam keluarga,
sehingga tidak hanya dilihat dari pendapat orang tua atau asumsi orang tua
terhadap pola asuh dan pendidikan yang mereka berikan kepada anaknya
dalam keluarga. Untuk itu, persepsi remaja terhadap pola asuh dan
pendidikan yang mereka terima merupakan salah satu faktor penting di
dalam melihat berhasil atau tidaknya pola pengasuhan tersebut.
Aspek pola asuh demokratis yang diteliti merupakan penjabaran
dari teori di atas, yaitu:
a. Aspek komunikasi
Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan
menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat
anak-anaknya (Elias, 2000).
b. Aspek pemberian motivasi
Orang tua demokratis menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri
dan mendorong tindakan-tindakan mandiri untuk membuat keputusan
c. Aspek sikap kooperatif
Orang tua bersikap kooperatif atau persahabatan dalam mendidik
anaknya, sehingga anak dihargai sebagai individu. Orang tua
memberikan perilaku teladan kepada anak (Elias, 2000).
d. Aspek fleksibel
Orang tua melakukan kontrol yang bersifat fleksibel dan tidak kaku
untuk memancing sikap terbuka dan tanggung jawab anak (Gunarsa,
2003).
4. Dampak Pola Asuh Demokratis
Anak yang memiliki orang tua yang demokratis cenderung bisa
menghargai dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Ada beberapa ciri
anak dengan pola asuh demokratis dalam keluarganya (Prasetya, 2003),
antara lain mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan
introspeksi dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang
lain, ramah terhadap orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya
dan orang lain yang lebih dewasa. Kemampuan tersebut lebih dikarenakan
anak merasa memiliki kesempatan untuk dapat mengungkapkan dirinya,
kesempatan untuk melakukan aktivitas atau mempraktekkan kemampuan
yang dimilikinya serta mengungkapkan pendapatnya secara baik dan tepat
kepada orang lain walaupun orang itu lebih tua darinya. Pola asuh
demokratis ini juga tidak membuat anak merasa diatur atau dipaksa, tetapi
Pola asuh demokratis yang diterapkan oleh orang tua akan semakin
baik jika didukung oleh dukungan sosial yang kondusif. Pola asuh
demokratis dan dukungan sosial yang diterima oleh anak akan membantu
mereka dalam menemukan konsep diri dan harga diri yang lebih jelas.
Anak dengan konsep diri dan harga diri yang baik akan terlihat pada sikap
dan perilaku mereka yang positif. Pola asuh demokratis akan menjadikan
anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan
introspeksi dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang
lain, ramah terhadap orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya
atau orang lain yang lebih dewasa (Prastya, 2003).
C. Remaja Akhir
1. Pengertian Remaja Akhir
Monks (2006) mengelompokkan masa remaja akhir pada rentang
usia 17-18 tahun yaitu sebagai masa peralihan dari masa pubertas ke masa
adolesen. Cirinya remaja akhir adalah pertumbuhan fisik sudah mulai
matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya.
Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja
pria.
Hurlock (1995) membagi remaja akhir sebagai late adolescence yang berkisar pada usia 18 sampai 21 tahun. Pada masa ini individu mulai
merasa stabil. Mulai mengenal dirinya, mulai memahami arah hidup dan
satu pola hidup yang jelas.
Secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana seseorang
berpaling ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar dengan yang lainnya.
Fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa
amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi maupun fisik.
Remaja ini adalah ajang untuk mencari jati dirinya. Setelah sekian lama
mereka selalu dikekang oleh otoriter orangtua, secara perlahan mereka
akan menuntut keinginan mereka sendiri agar mandiri (Hurlock, 1995).
Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang merupakan
tahap peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Dimasa ini
remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang salah satu
diantaranya adalah pencapaian kematangan emosional yang didalamnya
terkandung aspek asertivitas (Hurlock, 1995).
Pembentukan kematangan emosional yang diikuti dengan
perubahan sosial ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang
paling sulit yang dihadapi pada masa remaja. Kematangan emosional
remaja yang didalamnya juga meliputi aspek asertivitas juga harus disertai
dengan perubahan status sosial remaja yang beralih dari masa
kanak-kanak. Pada masa ini remaja mengalami masa kebimbangan, dimana di
satu sisi remaja masih dianggap anak-anak, sedangkan di sisi lain, remaja
mampu mengungkapkan pendapat serta perasaannya (Hurlock, 1995).
Masa-masa kebimbangan inilah yang terkadang juga menjadi hambatan
remaja untuk dapat bersikap asertif, terlebih ketika para orang dewasa
menganggap mereka masih anak-anak dan tidak memberikan kesempatan
bagi remaja untuk lebih bersikap asertif.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Harapan masyarakat terhadap remaja dapat dipenuhi melalui suatu
proses bersinambung dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan.
Sebagai hasil dari kerja timbalbalik yang majemuk antara pertumbuhan
dari dalam dan perangsangan dari lingkungan akan bermunculan
serangkaian perilaku baru menuju tercapainya masa dewasa.
Beberapa tugas perkembangan bagi remaja menurut Gunarsa
(2003) adalah sebagai berikut:
a. Menerima keadaan fisiknya
Pada masa ini remaja mengalami berbagai macam perubahan
fisik. Perubahan fisik berhubung dengan pertumbuhannya dan
kematangan seksual. Pertumbuhan fisik menghasilkan panjang lengan
dan tungkai maupun tinggi badan yang tidak selalu sesuai dengan
harapan remaja maupun lingkungan. Penampilan yang tidak sesuai
dengan penampilan yang diidamkannya dapat merintangi usaha
memperluas ruang gerak pergaulannya.
Remaja harus memperoleh latihan dalam mengambil keputusan
secara bertahap untuk mengambil keputusan dengan bijaksana. Remaja
perlu meregangkan ikatan emosional dengan orang tua supaya memilih
sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Remaja acapkali
meninggalkan rumah dan menggabungkan diri dengan teman sebaya
yang mungkin juga senasib dalam usaha pemaksaan pembebasan
emosional secara ekstrim.
Orangtua lain di luar lingkungan keluarga mungkin dapat
membantu dalam melakukan pilihan dan mengambil tindakan yang
bijaksana. Sebaliknya remaja yang meninggalkan rumah dan keluarga
dan tidak memperoleh penampungan yang menunjang
perkembangannya, mudah terkena pengaruh kurang baik yang
menjerumuskannya. Remaja yang mempunyai bekal ”kebebasan
emosional” berlandaskan kemampuan membedakan mana yang baik,
mana yang tidak baik, apa yang patut dipilih, apa yang hatus dihindari,
tujuan mana yang harus dikejar dan tindakan atau keputusan mana
sebaiknya diambil, remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas
perkembangannya selanjutnya.
c. Mampu bergaul
Remaja harus belajar dengan teman sebaya dan tidak sebaya,
sejenis maupun tidak sejenis untuk mempersiapkan diri di masa depan.
pengaruh lingkungan baik yang mengarahkan maupun yang
mengombang-ambingkan dalam usaha memperluas pergaulannnya.
d. Menemukan model untuk identifikasi
Remaja pada masa ini sedang merenggangkan diri dari ikatan
emosional dengan orangtuanya. Mereka sedang membongkar landasan
hidup, yang sudah diletakkan orangtuanya sepanjang masa anak.
Menurut Erikson (dalam Gunarsa, 2003) pada masa ini remaja harus
menemukan identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri, yang
bisa dikenal dan ajek walaupun mengalami berbagai macam
perubahan. Dengan demikian gaya hidup yang khas baginya akan jelas
terlihat dari terbentuknya ”identitas diri” dalam menduduki tempatnya
di masyarakat.
e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Pada masa ini terlihat juga perubahan dalam cara berpikir remaja
yang menunjukkan bertambahnya minat terhadap peristiwa yang tidak
langsung dan hal-hal yang tidak konkrit. Pikirannya menjangkau jauh
ke masa depan, mengenai pilihan bidang pekerjaan, pilihan calon istri
ataupun calon suami dan bentuk kehidupan masyarakat lainnya.
Untuk mencegahnya timbulnya perilaku yang sangat
menghambat perkembangan remaja, maka remaja perlu melakukan
refleksi diri untuk mengetahui kemampuan, sejauh mana jangkauan
kesanggupannya mencapai kesempatan yang diperolehnya secara
f. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan luar dan
dalam. Lingkungan luar dan pengaruhnya kadang-kadang perlu
dihambat dan dicegah, supaya tidak terlalu besar perangsangannya
terutama bila bersifat negatif. Demikian pula lingkungan dalam diri
yang mempengaruhi munculnya perilaku yang tidak bisa
ditoleransikan oleh umum, oleh masyarakat harus dikendalikan dan
dicegah pemunculannya.
Konopka (dalam Gunarsa, 2003) menyatakan bahwa masa
remaja merupakan fase yang paling penting dalam pembentukan nilai.
Pembentukan nilai merupakan suatu proses emosional dan intelektual
yang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial.
g. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan.
Seorang anak masih bersifat egosentris. Segala hal dipandang
dari sudut pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhan
sendiri. Reaksi dan tingkahlakunya sangat dipengaruhi oleh emosi dan
kebutuhannya, sehingga sulit menangguhkan terpenuhinya suatu
kebutuhan tertentu. Sebaiknya seorang remaja diharapkan bisa
meninggalkan kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri.
Sepanjang masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat dari sudut
pandang orang lain. Belajar mengingkari kesenangan diri sendiri,
menangguhkan hal-hal yang menyenangkan dan mendahulukan
Remaja harus belajar menyesuaikan diri dalam hubungan sosial
yang lebih luas dan tugas perkembangan yang lebih majemuk. Tugas
perkembangan dan kesulitan yang dialami remaja perlu dukungan
penuh dari orang tua. Bimbingan dan uluran tangan dari orang tua
yang sering ditolak oleh remaja, perlu tetap ditawarkan dengan
kesabaran.
Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja
diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal
yang harus dilalui pada masa remaja ini, sehingga bila remaja diarahkan dan
dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya
remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.
Penelitian ini memfokuskan untuk meneliti remaja akhir, karena tugas
perkembangan remaja yang harus diselesaikan pada usia remaja akhir
sebelum memasuki usia dewasa. Pemilihan subjek remaja akhir juga karena
pengaruh pola asuh orang tua terlihat pada usia remaja akhir, sedangkan pada
usia setelahnya (dewasa) mereka sudah dapat menentukan pilihan sendiri
tanpa perlu bimbingan dari orang tua.
D. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dengan Tingkat Asertivitas
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat
dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh orang tua
positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan
pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang
tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa
dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang
tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada
rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui
kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak
untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada
anak bersifat hangat.
Pola asuh secara demokratis dianggap mampu memberikan pengajaran
mengenai kebebasan yang bertanggung jawab bagi seorang anak. Pola
pendidikan ini juga menjadikan anak belajar untuk mengekspresikan apa yang
ia rasakan dengan kontrol-kontrol yang fleksibel dari orang tuanya, sehingga
ketika seorang anak melakukan sesuatu, anak tersebut mampu memberikan
alasan yang rasional dan objektif (Gunarsa, 2003). Perilaku asertif
dipengaruhi oleh banyak hal, baik dari dalam diri ataupun dari lingkungan
sekitarnya. Perilaku asertif juga merupakan perilaku yang dapat dipelajari.
Orang tua dan keluarga sebagai lingkungan awal pembentuk kehidupan
seseorang secara langsung maupun tidak langsung memberikan tempat belajar
orang tua dalam memberi bimbingan dan mengasuh remaja tersebut dengan
pola asuh tertentu.
Remaja yang mampu berperilaku asertif berarti tidak hanya mampu
mengungkapkan dan menghargai dirinya sendiri, tetapi ia juga harus mampu
menghargai dan menganggap keberadaan orang lain. Dari ketiga pola asuh
yang diterapkan dalam keluarga, pola asuh demokratis memberikan banyak
kesempatan bagi anak atau remaja untuk belajar menghargai dirinya sendiri
dan menghargai keberadaan orang lain. Pola komunikasi dua arah yang
diterapkan pada pola asuh ini juga sangat mendukung remaja untuk dapat
mengkomunikasikan perasaan dan kondisinya pada orang lain dengan tepat.
Pola asuh demokratis ini berdampak pada pembentukan karakter positif
pada anak sehingga mampu berperilaku asertif. Lepas dari bagaimana tipe
kepribadian yang dimiliki seorang anak, hal-hal yang diterapkan dalam pola
asuh demokratis memberikan kesempatan anak untuk lebih bersikap mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif
terhadap orang-orang lain. Pola asuh demokratis akan menjadikan anak lebih
mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan
mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang lain, ramah terhadap
orang lain, serta mudah bergaul dengan teman sebaya dan orang lain yang
lebih dewasa. Dengan adanya penerapan pola asuh orang tua yang demokratis
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mencoba membuat skema
hubungan antara pola asuh demokratis dengan tingkat asertivitas remaja.
Pola Asuh Demokratis Tingkat Asertivitas
Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Asertivitas
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, maka peneliti
mengajukan hipotesis sebagai berikut: ”Ada hubungan positif antara pola asuh
orang tua yang demokratis dengan tingkat asertivitas pada remaja akhir”. 1. Komunikasi dua arah
2. Memberikan motivasi 3. Bersikap kooperatif 4. Bersifat fleksibel
1. Mampu mengungkapkan perasaan positif dan negatif 2. Mampu berkata tidak 3. Mampu untuk meminta
klarifikasi
4. Mampu memulai dan mengakhiri percakapan Dampak Pola Asuh
Demokratis pada anak: - Percaya diri - Mandiri
- Pengendalian diri - Mudah bekerjasama - Ramah
34 A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang mencoba mencari
hubungan antar dua variabel, sehingga jenis penelitian kali ini adalah kolerasi
dua variabel.
B. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel
tergantung.
Variabel bebas : Pola asuh demokratis
Variabel tergantung : Tingkat asertivitas pada remaja akhir
C. Definisi Operasional
1. Asertivitas
Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan
remaja baik itu perasaan positif atau negatif serta keinginannya secara
tepat tanpa melupakan hak dan perasaan orang lain.
Tingkat asertivitas ini akan diukur dengan skala asertivitas yang
meliputi aspek sebagai berikut :
1. Kemampuan mengungkapkan perasaan positif dan negatif.
2. Kemampuan untuk berkata “tidak”.
4. Kemampuan untuk memulai pembicaraan dan mengakhirinya.
Skor yang akan didapat dari skala asertivitas dengan aspek-aspek
di atas dapat menunjukkan tingginya tingkat asertivitas dari remaja
tersebut. Semakin tinggi skor asertivitas yang didapat, berarti remaja
tersebut semakin asertif, dan sebaliknya semakin rendah skor asertivitas
yang didapat, berarti remaja tersebut semakin tidak asertif.
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh dimana orang tua
memberikan kepercayaan serta pelatihan tanggung jawab untuk diri anak
sendiri dan memberikan kesempatan anak untuk dapat mengungkapkan
pendapat dan melakukan hal-hal yang ia sukai tanpa merugikan orang lain,
dimana orang tua memberikan bimbingan bukan aturan.
Skala Pola Asuh Demokratis ini berdasarkan aspek-aspek berikut:
1. Komunikasi dua arah
2. Pemberian motivasi
3. Sikap kooperatif
4. Bersifat fleksibel
Pola asuh dalam penelitian ini berdasarkan persepsi remaja
terhadap pola yang diberikan orang tuanya. Persepsi tersebut dapat dilihat
dengan bagaimana remaja menilai, memahami, dan menafsirkan apa yang
ditunjukkan dan diberikan orang tua mereka, yang akhirnya dapat
mempengaruhi perasaan, persepsi, prasangka dan keinginan dalam diri
aktivitas penginderaan, dimana aktifitas ini anak dapat menangkap sikap
dan perilaku orang tua dalam mengasuh dan mendidik dirinya di dalam
keluarga. Sikap dan perilaku orang tua yang telah di tangkap dan
dirasakan oleh anak ini kemudian akan diinterpretasikan dengan
melibatkan unsur afektif dan kognitif.
Data persepsi remaja terhadap pola asuh demokratis orang tua
diungkap dengan menggunakan skala pola asuh demokratis. Skornya akan
mengungkapkan tinggi rendahnya persepsi anak terhadap pola asuh
demokratis yang diterapkan orang tuanya. Semakin tinggi skor yang
didapat dari skala pola asuh tersebut menunjukkan semakin demokratis
pola asuh yang diberikan orang tuanya, dan sebalikanya, semakin rendah
skor yang didapatkan maka semakin tidak demokratis pola asuh yang
diterapkan orang tuanya.
D. Subjek Penelitian
Peneliti memfokuskan subjek penelitian pada remaja akhir pada rentang
usia 18 sampai 21 tahun. Ketertarikan peneliti untuk menggunakan batasan
usia tersebut karena diasumsikan bahwa pada kisaran usia ini remaja telah
mampu membentuk kesan, pendapat dan perasaan tentang perilaku dan sikap
orang tua dalam mengasuh dan mendidik dirinya dalam keluarga.
Metode pengambilan sampel menggunakan teknikpurposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan atau kriteria
100 orang mahasiswa dari berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Peneliti menggunakan mahasiswa tingkat pertama, karena
diasumsikan usia mereka berkisar antara 18 sampai 21 tahun.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan skala
yang terdiri dari dua skala, yaitu skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis
(PAO), dan skala Tingkat Asertivitas (TA).
Skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis akan berusaha mengungkap
tingkat demokratis pola asuh dalam sebuah keluarga. Pernyataan-pernyataan
yang diberikan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu favorable dan unfavorable. Pernyataan-pernyataan favorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan bahwa seorang anak menerima pendidikan atau pola asuh
secara demokratis dari orang tuanya, sedangkan pernyataan unfavorabe akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan seorang anak menerima
pendidikan atau pola asuh yang tidak demokratis dari orang tuanya. Secara
jelas distribusi aitem skala Pola Asuh Orang Tua Demokratis dapat dilihat
Tabel 3.1
Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Demokratis
No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total
1 Komunikasi
Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis
pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).
Skala Tingkat Asertivitas akan mengungkap seberapa asertif sikap
seorang remaja. Skala Tingkat Asertivitas juga terdiri dari dua kelompok
pernyataan, dan untuk kelompok pernyataan favorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan sikap asertif, sedangkan kelompok pernyataan
unfavorable akan menyangkut aspek-aspek yang menunjukkan sikap tidak asertif. Secara jelas distribusi aitem skala Tingkat Asertivitas dapat dilihat
Tabel 3.2
Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas
No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total
1 Kemampuan
Skala yang digunakan adalah model skala likert dengan dua jenis
pernyataan, favorabel dan unfavorabel dan pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS).
F. Pengujian Instrumen Alat Ukur
1. Validitas Alat Ukur
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dapat melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini
validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas
isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes
dengan analisis rasional (Azwar, 2000). Validitas ini untuk mengetahui
sejauh mana aitem-aitem tes mewakili komponen-komponen dalam
keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representatif)
diukur (aspek relevansi). Uji validitas dilakukan dengan cara
menyesuaikan alat ukur dengan konsep variabel, yang dalam penelitian ini
adalah tingkat asertifitas dan pola asuh demokratis, proses penyesuaian itu
disebut dengan korelasional judgment. Uji validitas juga ditunjang dengan
bantuan orang yang memiliki kompetensi untuk menilai kesesuaian alat
ukur dengan konsep variabel, atau disebut profesional judgment.
2. Uji Reliabilitas
Suatu alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat
dipercaya, jika alat ukur itu mantap, stabil, dapat diandalkan
(dependentability) dan dapat diprediksi (predictability). Artinya, jika alat
ukur tersebut digunakan berkali-kali akan memberikan hasil yang serupa
(Azwar, 2000). Reliabilitas alat ukur diketahui dengan menggunakan
formula Alpha (Cronbach’s) dengan bantuan perangkat lunak komputer SPSS 13.0 for Windows.
G. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian
1. Subyek Uji Coba Penelitian
Peneliti melakukan uji coba alat penelitian yaitu skala pola asuh
orang tua yang demokratis dan skala tingkat asertivitas pada remaja akhir.
Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan angket dan meminta
responden untuk mengisi angket penelitian. Peneliti menyebarkan angket
Sanata Dharma. Penyebaran angket penelitian dilaksanakan pada tanggal 2
Juni 2008.
Uji coba alat ukur bertujuan untuk melihat kesahihan aitem alat
ukur dan reliabilitas alat ukur yang kemudian akan digunakan sebagai alat
ukur dalam penelitian. Peneliti menyebar skala yang terdiri skala yang
mengukur pola asuh orang tua yang demokratis dan skala yang mengukur
tingkat asertivitas pada remaja akhir.
2. Hasil Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur
Uji kesahihan aitem dilakukan dengan menggunakan koefisien
korelasi aitem-total (rxy) dengan harga r tabel sebesar 0,3, pada taraf
kesalahan 5% dengan taraf kepercayaan 95% pada sejumlah 30 responden.
Hasil uji kesahihan aitem skala penelitian adalah sebagai berikut:
a. Skala Pola Asuh Demokratis
Uji kesahihan aitem pada skala pola asuh demokratis
menggunakan program SPSS versi 13.00. Hasil uji kesahihan aitem skala pola asuh demokratis diperoleh koefisien korelasi yang bernilai
antara 0,184 sampai dengan 0,663. Terdapat 3 aitem butir yang gugur
dari 40 butir aitem yang diujicobakan yaitu aitem nomor 9, 13 dan 28.
Jumlah butir yang sahih dari skala pola asuh demokratis adalah
sebanyak 37 aitem, agar semua aspek mempunyai jumlah aitem yang
Nomor-nomor aitem yang gugur setelah dilakukan uji coba dan
urutan nomor baru setelah nomor lama dibuang untuk skala pola asuh
demokratis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.3
Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Pada Saat Uji Coba
No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total
1 Komunikasi
Tanda * = Nomor aitem yang gugur pada saat uji coba ** = Nomor aitem yang dikeluarkan
Tabel 3.4
Distribusi Aitem Skala Pola Asuh Demokratis Setelah Uji Coba
No. Aspek Favourable Jml Unfavourable Jml Total
1 Komunikasi
Hasil uji reliabilitas skala pola asuh demokratis diperoleh nilai
koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,920 yang diujikan pada 30
lebih besar dari 0,60 maka dapat dinyatakan bahwa skala pola asuh
demokratis adalah reliabel.
b. Skala Tingkat Asertivitas
Hasil uji kesahihan untuk skala tingkat asertivitas diperoleh
koefisien korelasi dengan nilai antara 0,235 sampai dengan 0,687.
Terdapat 3 aitem butir yang gugur dari 40 butir aitem yang
diujicobakan yaitu nomor 5, 16, dan 22. Jumlah butir sahih untuk skala
tingkat asertivitas sebanyak 37 aitem, agar semua aspek mempunyai
jumlah aitem yang sama maka aitem nomor 37 dikeluarkan dari
analisis.
Nomor-nomor butir aitem yang gugur setelah dilakukan uji
coba dan urutan nomor baru setelah nomor lama dibuang untuk skala
tingkat asertivitas disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.5
Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas Pada Saat Uji Coba
No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total
1 Kemampuan
Tabel 3.6
Distribusi Aitem Skala Tingkat Asertivitas Setelah Uji Coba
No Aspek Favourable Jml Unfavourabel Jml Total
1 Kemampuan
Hasil uji reliabilitas skala tingkat asertivitas diperoleh nilai
koefisien Cronbach's Alpha sebesar 0,905 yang diujikan pada 30
responden dengan 36 aitem valid. Oleh karena nilai Cronbach's Alpha
lebih besar dari 0,60 maka dapat dinyatakan bahwa skala tingkat
asertivitas adalah reliabel.
H. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
dengan metode kuantitatif yang dilakukan dengan penghitungan statistik. Hal
ini dilakukan karena dapat mewujudkan kesimpulan penelitian dengan
memperhitungkan faktor kesalahan generalisasi (Hadi, 1997).
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi. Uji asumsi yang dilakukan meliputi uji normalitas dan uji linieritas.
berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas menggunakan teknik
analisis Kolmogorov-Smirnov. Uji linieritas digunakan untuk menguji apakah
hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat mempunyai hubungan
yang linier atau tidak.
Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Pengujian
hipotesis dianalisis menggunakan korelasi Poduct Moment (Pearson
46 A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 5-11 Juni 2008 di Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa/mahasiswi berbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang berjumlah sebanyak 100 orang. Kuesioner yang disebarkan
telah memenuhi syarat, yakni semua aitem pada setiap skala diisi sehingga
dapat digunakan dalam analisis data.
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian yang menggambarkan tanggapan
responden terhadap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Tabel Deskripsi Data Penelitian
Variabel Mean SD Min Max
Pola Asuh Demokratis 114,53 10,00 93 140
Tingkat Asertivitas 107,83 7,82 93 136
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara mean empiris dengan
mean teoritis pada skala pola asuh demokratis dan tingkat asertivitas untuk
mengetahui tanggapan subjek penelitian terhadap variabel penelitian.
Perbandingan mean teoritis dengan mean empiris dan standar deviasi
Tabel 4.2
Tabel Mean dan Standar Deviasi
Skala Mean
Teoritis
Mean Empiris
SD Teoritis
SD Empiris
Pola Asuh Demokratis 90 114,53 18 10,00
Tingkat Asertivitas 90 107,83 18 7,82
Mean teoritis adalah rata-rata skor ideal hasil penelitian, sedangkan
mean empiris merupakan hasil rata-rata skor data penelitian. Hasil analisis
dari skala pola asuh demokratis diperoleh nilai mean teoritis sebesar 90
dan nilai mean empiris sebesar 114,53. Hasil ini menunjukkan bahwa
rata-rata responden penelitian mempunyai orang tua dengan pola asuh
demokratis yang tinggi. Hasil analisis dari skala tingkat asertivitas
diperoleh nilai mean teoritis sebesar 90 dan nilai mean empiris sebesar
107,83. Hasil ini juga menunjukkan bahwa rata-rata responden penelitian
mempunyai tingkat asertivitas yang tinggi.
2. Kategorisasi Skor Skala
Data hasil penelitian dapat kategorisasi dalam lima kelompok
kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.
Pengkategorian tersebut didasarkan pada nilai rerata dan simpangan baku
pada masing-masing variabel penelitian. Kategorisasi tersebut disajikan
berikut ini:
a. Kategorisasi Pola Asuh Demokratis
Skala pola asuh demokratis terdiri dari 36 aitem yang