• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Hal-hal kecil yang ada di sekitar kita sering sekali terabaikan. Kita lebih terfokus pada hal-hal yang kita anggap lebih besar. Kita beranggapan demikian karena meyakini bahwa sesuatu yang besar pasti akan menghasilkan sesuatu yang besar juga. Terkadang kita tidak menyadari bahwa hal besar justru hadir dari hal-hal yang kecil. Pohon yang tinggi besar tidak hadir demikian dengan sendirinya, namun ia diawali dengan bibit yang kecil.

Keadaan yang demikian juga dapat ditemukan dalam Alkitab. Markus 4: 30-34; Perumpamaan Biji Sesawi: bahwa biji sesawi merupakan biji tumbuhan yang paling kecil dari antara segala jenis benih yang ada di bumi. Namun, apabila ditaburkan, ia dapat bertumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala jenis sayur-sayuran dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar sehingga burung-burung di udara dapat bersarang di dahannya. Perikop ini memperlihatkan bahwa sesuatu yang paling kecil dapat bertumbuh dan menjadi besar, atau dengan kata lain, sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil.

Sebanding dengan pemikiran di atas, teks Markus 10:13-16 “Yesus Memberkati Anak-anak,” tampaknya dapat dijadikan acuan, bagaimana melihat keberadaan sesuatu yang dianggap kecil menjadi pengandai bagi sesuatu yang besar.

Markus 10: 13-16 merupakan bagian dari perjalanan Yesus ke Yerusalem. Perikop ini memperlihatkan bahwa orang-orang yang mengikuti Yesus membawa anak-anak kecil kepada-Nya untuk diberkati, tetapi para murid melarang mereka. Bertitik tolak dari masalah ini dapat dimunculkan pertanyaan, mengapa para murid melarang anak-anak tersebut datang kepada Yesus untuk diberkati? Bukankah ada suatu kebiasaan dimana orang tua akan membawa anak-anak mereka kepada Rabbi sebelum mereka memasuki sekolah?

(2)

Melihat hal tersebut, Yesus memarahi para murid dan meminta para murid untuk tidak menghalang-halangi anak-anak tersebut datang kepada Yesus karena orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Kemudian, Yesus menegaskan kembali bahwa barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, maka ia tidak akan masuk ke dalamnya. Lalu Yesus merangkul anak-anak kecil tersebut dan memberkati mereka.

Berdasarkan peristiwa yang diceritakan oleh Markus di atas, beberapa hal dapat dipertanyakan. Mengapa Yesus begitu menaruh perhatian kepada anak-anak kecil ini? Bukankah anak-anak kecil mewakili sesuatu yang kecil dan Kerajaan Allah mewakili sesuatu yang besar? Jika demikian, mengapa cara menerima sesuatu yang besar (dalam hal ini Kerajaan Allah) harus dipelajari dari sesuatu yang kecil (dalam hal ini anak-anak kecil)? Apa dasar pemikiran pengarang Markus memperlihatkan Yesus mengambil anak-anak kecil sebagai model penerimaan Kerajaan Allah yang begitu besar? Apakah karena sifat mereka yang mudah percaya, sederhana, rendah hati, polos, jujur dan apa adanya? Bukankah secara fisik mereka dianggap tidak mempunyai kekuatan sehingga secara sosial kemasyarakatan dan politik mereka digolongkan sebagai anggota masyarakat yang sepatutnya diabaikan? Apa tujuan pengarang Markus mencatat peristiwa ini dengan memberikan perbandingan yang demikian? Apakah tulisan ini sebaiknya dibaca sebagai suatu ajakan bagi pendengarNya untuk kembali bersikap seperti anak-anak kecil? Dan mengapa harus seorang anak kecil? Bukankah orang dewasa yang pada umumnya dianggap berpengalaman, lebih baik ditempatkan sebagai model Kerajaan Allah? Atau, apakah dapat diasumsikan bahwa pengarang Markus bermaksud menjadikan peristiwa ini sebagai metafora untuk maksud yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya dapat dijadikan acuan untuk mendekati pemahaman dan penghayatan terhadap teks Markus 10: 13-16 secara lebih mendalam. Tentunya dengan maksud, bagaimana teks ini juga dapat menjawab kebutuhan kehidupan menggereja yang memahami hakekat dirinya sebagai murid-murid Tuhan Yesus.

(3)

Persoalannya kemudian, jika kita menganggap gereja sebagai murid Tuhan Yesus, apakah peristiwa ini masih berulang pada masa kini dimana murid-murid itu (gereja) masih terus menghalang-halangi orang kepada siapa Yesus justru berkenan untuk memeluk dan memberkatinya?

Secara administrasi, anak-anak kecil merupakan bagian dari gereja yang mempresentasikan mereka sebagai bagian dari Kerajaan Allah juga. Anak-anak kecil menerima Sakramen Baptisan Kudus, menjadi bagian dalam pelayanan Sekolah Minggu, hingga pembinaan remaja, pemuda menuju dewasa. Secara administrasi pelayanan gereja, dapat dinyatakan bahwa gereja tidak menghalang-halangi anak-anak untuk turut bersekutu dalam satu tubuh Kristus. Namun jika dikritisi lebih mendalam, apakah pola pelayanan gereja sebanding dengan perilaku Yesus yang memeluk dan memberkati mereka? Ukurannya menjadi jelas ketika perhatian gereja mulai diamati dari sisi prioritas dan agenda pelayanan gereja yang melayani anak-anak. Apakah gereja telah memprioritaskan daya dan dana yang dimilikinya bagi anak-anak? Apakah bahan dan kurikulum sekolah minggu memperlihatkan kesadaran bahwa anak-anak perlu dibina dalam pengertian bahwa sekolah minggu berbasis pembelajaran (didakhe) yang bertujuan pemuridan? Lebih tajam lagi, apakah dalam proses pembelajaran sekolah minggu, anak-anak telah menjadi subjek pembelajaran yang mengekspresikan kelemahlembutan Yesus yang telah memeluk dan memberkati mereka? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, nampaknya harus diakui bahwa umumnya gereja telah menyambut anak-anak tersebut dengan setengah hati, kalaupun tidak dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya gereja telah menghalang-halangi.

Selanjutnya, jika teks ini (yang merujuk anak-anak kecil sebagai pemilik Kerajaan Allah) merupakan suatu metafora dari pengarang Markus, tidakkah dengan demikian gereja akan diandaikan bersikap demikian juga (seperti pengabaian terhadap anak-anak kecil) terhadap hal-hal lain yang dianggap mewakili anak-anak kecil? Suatu tindakan yang menghalang-halangi serta mengabaikan siapa yang seharusnya Yesus terima sebagai yang empunya Kerajaan Allah?

(4)

Menurut penyusun, pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas patut dikaji berdasarkan teks Markus 10:13-16. Terlebih lagi, dapat diamati bahwa teks Markus 10 13-16 berbeda dengan penyampaian Matius 19:13-15 dan Lukas 18:15-17 yang menceritakan kisah yang sama. Markus 10: 13-16 lebih ekspresif menggambarkan bagaimana Yesus telah memeluk anak-anak kecil itu serta memberkatinya.

B. Permasalahan

Berdasarkan pengamatan latar belakang masalah di atas, perikop Markus 10:13-16 ini memunculkan dua pertanyaan mendasar bagi penyusun :

1. Apa hubungan di antara anak kecil dengan Kerajaan Allah dalam perspektif Markus 10: 13-16? Apakah dengan adanya pernyataan anak-anak sebagai pemilik Kerajaan Allah, maka itu berarti bahwa Kerajaan Allah hanya disediakan bagi anak-anak kecil?

2. Dengan menggunakan kata “seperti,” mengapa Yesus menjadikan anak-anak kecil sebagai figurasi (pewakil) bagi subjek yang empunya Kerajaan Allah?

C. Judul

Mengacu latar belakang pemasalahan dan permasalahan di atas, maka skripsi ini berjudul:

“Anak-anak Kecil sebagai Figurasi Pemilik Kerajaan Allah”

Studi Eksegetis terhadap Injil Markus 10:13-16

(5)

D. Batasan Permasalahan

Perikop yang berjudul “Yesus memberkati anak-anak” ini memiliki kesejajaran dengan Matius 19:13-15 dan Lukas 18:15-17, yang sudah pasti memilki tekanan dan tujuannya masing-masing. Menghindari meluasnya pembahasan, maka penelitian akan berfokus pada perikop Markus 10:13-16, karena kitab Markus tentunya diasumsikan memiliki kekhususan yang melekat pada dirinya sendiri. Kekhususan yang dimaksud yaitu, kitab Markus dianggap lebih tua dari kitab injil lainnya karena Matius dan Lukas telah menjadikan Markus sebagai salah satu sumber tulisan mereka. Maka dalam penghargaan akan kekhususan karakteristiknya, penelitian ini hanya akan ditujukan pada teks Markus 10: 13-16. Karena injil (juga menjadi sumber) yang lebih tua dianggap lebih asli atau setidaknya dianggap lebih mendekati jaman Yesus.1

Hal Kerajaan Allah juga dijelaskan melalui berbagai perumpamaan, misalnya: perumpamaan tentang benih yang tumbuh (Markus 4:26-29), perumpamaan tentang biji sesawi (Markus 4:30-33), dsb. Menghindari luasnya pembahasan, maka penyusun tidak akan meluaskan penelitian terhadap teks-teks lain sebagai bagian yang setara, tetapi akan berfokus pada teks 10:13-16 sebagai teks yang utama untuk dianalisis.

E. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menyelidiki mengapa Yesus dalam perspektif injil Markus (10:13-16) menjadikan anak-anak kecil sebagai figurasi Kerajaan Allah. Setelah itu penyusun akan mencari implikasi dan relevansinya bagi kehidupan menggereja di Indonesia masa kini.

1

Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan kritis terhadap masalah-masalahnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p.135-140; bd. J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2000. p. 30

(6)

F. Metode Penulisan

Pembahasan skripsi ini bergerak dalam alur studi eksegetis, dengan menggunakan tafsir kritik sosial yang dibiasi metode analisis sosial Karl Marx dan Max Weber. Metode analisis sosial Marx2 yang digunakan dibatasi hanya pada kerangka pikir Marx yang melihat realitas masyarakat berdasarkan cara berproduksi manusia dalam melakukan pekerjaannya. Penggalian situasi sosial masyarakat dalam pembahasan Bab II memberikan perhatian dan tekanan terhadap cara masyarakat berproduksi dalam merangkai kembali realitas sosial masyarakat di masa penulisan Injil Markus.

Sedangkan penggunaaan metode analisis sosial berdasarkan Weber3 diwujudkan dalam penelitian yang melihat bagaimana pengaruh agama dalam bagian struktur sosial masyarakat yang membentuk realitas.

Penyusun menyadari ketakmungkinan orisinalitas sudut pandang analisis, mengingat berbagai disiplin ilmu yang telah penyusun terima selama mengikuti perkuliahan di UKDW. Artinya, sudut pandang Marx dan Weber yang ditempatkan dalam penelitian ini mencoba membatasi diri untuk tidak terseret dalam masalah meluasnya penelitian untuk di-multitafsir-kan.

Pendekatan tafsir kritik sosial dalam skripsi ini juga bertitik tolak dari kesadaran bahwa sebuah penelitian tidak pernah dapat melepaskan pengaruh kondisi sosial-budaya, politik, ekonomi dan keagamaan yang melatarbelakangi pola pikir sebuah penelitian. Demikian juga halnya terhadap teks yang akan ditafsirkan, ditulis dan diungkapkan dalam bahasa dan konsep yang sedikit banyak diandaikan telah

2

Robert J. Holton, Classical Social Theory. Dalam: Bernard Adeney-Risakotta (ed). Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: PPST UKDW, 2006. p. 25-52

3

Max Weber, The Protestant Ethics and the Spirit Capitalism. Dalam: Bernard Adeney-Risakotta (ed), Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: PPST UKDW, 2006. p. 13-87; telah diterjemahkan oleh T.W. Utomo dan Yusup Priya Sudiarja, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

(7)

dibentuk oleh budaya di mana teks tersebut dituliskan.4 Dalam proses tafsir kritik sosial ini, teks akan ditempatkan pada: konteks yang diceritakan teks (Yesus), dan konteks yang menceritakan oleh teks (pengarang). Dengan demikian, pesan dari teks yang akan kita tafsirkan lebih dapat dimengerti dan dapat direlevansikan dengan kehidupan pembaca saat ini.

Penggunaan metode analisis yang dibiasi Marx dan Weber tentunya bertitik tolak dari konteks penyusun sebagai warga negara Indonesia, yang belakangan sangat dipengaruhi oleh dua sudut pandang yang sebanding dengan pemikiran Marx dan Weber dalam upaya memahami realitas keterpurukan bangsa dan negara. Kedua sudut pandang tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kecenderungan bangkitnya fanatisme agama yang mencoba memberikan nilai pada masyarakat sebagai jalan keluar mengatasi keterpurukan moral. Kelompok-kelompok masyarakat ini akan mengusung isu-isu agama dan berupaya melakukan aksi reformasi moral atas nama agama. Sehingga, realitas bangsa dan negara serta perbaikannya hanya ditinjau dari sudut pandang agama. Penyusun menilai bahwa langkah penanganan masalah dari sudut pandang agama ini sebanding dengan pemikiran Weber yang menilai realitas suatu masyarakat dari sudut pandang agama.

Kedua, kecenderungan pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat terpelajar yang melihat penyelesaian ekonomi sebagai jalan keluar mengatasi keterpurukan. Pemikiran seperti ini akan memperhitungkan kondisi finansial negara, fluktuasi mata uang rupiah terhadap dollar dan hubungan yang terjadi diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Poros pemikiran yang seperti ini membatasi diri hanya pada kondisi ekonomi, pasar, dan berbagai bidang yang terkait langsung dengan kondisi finansial negara. Pandangan yang seperti inilah yang penyusun anggap sebanding dengan pemikiran Marx yang melihat realitas masyarakat berdasarkan cara-cara produksi masyarakat memenuhi kebutuhannya yang dengan sendirinya telah membentuk struktur sosial masyarakat.

4

Yusak Tridarmanto, “Berteologi Secara Kontekstual dan Penafsiran Alkitab”, Teologi Operatif, Asnath N. Natar (ed.), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, p. 29

(8)

Kedua sudut pandang di atas dalam kerangka pembangunan di Indonesia sering sekali dipertentangkan. Masing-masing kelompok cenderung menganggap pandangannya sendiri sebagai pandangan yang paling benar. Itu sebabnya mengapa berbagai peristiwa yang bernuansa konflik sering sekali muncul di ranah wacana dan praktek yang pada hakekatnya muncul sebagai akibat upaya pembenaran kelompok terhadap pendapatnya masing-masing. Barangkali dalam masalah seperti inilah Paulo Freire menyebut kelompok-kelompok masyarakat yang berpikiran demikian sebagai kelompok masyarakat yang sektarian anti dialogis.5

Belajar dari masalah tersebut, sebagaimana diperlihatkan oleh perbedaan dua sudut pandang di atas; penyusun mencoba menyiasatinya di dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mencoba mengakomodasi kedua pandangan tersebut dengan harmoni, membahasakan realitas masyarakat yang digambarkan oleh Injil Markus untuk mencapai gambaran yang utuh dalam mendekati teks 10: 13-16. Sehingga penelitian yang dihasilkan berdasarkan studi exegetis ini dapat menghasilkan kerelasian pemaparan dunia sosial dan tafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

G. Sistematika Penulisan

Mempermudah pembahasan skripsi ini, penyusun memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Bagian ini menguraikan Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Batasan masalah, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Sehingga proses penelitian dapat terarah dengan baik.

5

(9)

BAB II. Dunia Sosial Injil Markus

Bab ini menguraikan dunia sosial Injil Markus, yang meliputi beberapa pokok pikiran mengenai kepengarangan dan proses peredaksian. Pada proses penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa kemungkinan yang dapat diperhitungkan dalam menguraikan dunia sosial kitab Markus berdasarkan pendekatan penelusuran mengenai pengarang dan proses peredaksian.

Dunia sosial Injil Markus dirangkai berdasarkan asumsi-asumsi kepengarangan dan proses peredaksian dengan melihat realitas masyarakat dari sudut pandang produksi dan agama. Kemudian mencari berbagai masalah yang dapat dijadikan dasar penyampaian pesan teks 10: 13-16.

BAB III. Anak-anak Kecil sebagai Figurasi Pemilik Kerajaan Allah

Pada bab ini tulisan diawali dengan penelusuran terhadap pemaknaan umum Kerajaan Allah menurut injil Markus. Berdasarkan pemaknaan Kerajaan Allah tersebut, penelitian diarahkan pada upaya menafsir isi teks 10: 13-16 dengan mempertimbangkan pembahasan dunia sosial injil Markus pada bab II, sehingga makna figurasi anak-anak kecil sebagai pemilik Kerajaan dapat dipahami dengan terukur.

BAB IV. Kesimpulan dan Relevansi

Pada bagian ini penyusun menyimpulkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan kemudian merelevansikannya dengan kehidupan Kekristenan pada saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

Menurut Kotler (2001:298) kepuasan pelanggan adalah sejauh mana kinerja yang diberikan oleh sebuah produk sepadan dengan harapan pembeli. Jika kinerja produk kurang dari

Akan tetapi jika konversi gambar dilakukan dua kali dengan kunci yang berbeda, gambar hasil enkripsi yang dihasilkan akan baik karena bentuk gambar asli tidak

Dalam menyusun kerangka acuan harus jelas tujuan dan kegiatan- kegiatan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan. Tujuan dibedakan atas tujuanumum yang merupakan

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran mata pelajaran Fiqih yang dibuat oleh bapak SD dengan KD menjelaskan ketentuan-ketentuan shadaqah, hibah dan hadiah bisa dikategorikan

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut