IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF MELALUI PEMANFAATAN
MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN COMPETENCE, CONSCIENCE, DAN COMPASSION SISWA KELAS XI IPA 1 SMA
PANGUDI LUHUR ST. LOUIS IX SEDAYU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun Oleh :
Andreas Gilang Tito Abiyasa 091314002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF MELALUI PEMANFAATAN
MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN COMPETENCE, CONSCIENCE, DAN COMPASSION SISWA KELAS XI IPA 1 SMA
PANGUDI LUHUR ST. LOUIS IX SEDAYU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun Oleh :
Andreas Gilang Tito Abiyasa ( 091314002)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan perlindungan dan kekuatan
dalam hidupku
2. Kedua orangtua ku tercinta dan adikku tersayang yang selalu mendukung
v
MOTTO
Sejarah ibarat “tempe” dihamparan “hamburger”. Sekarang tergantung bagaimana
cara kita menjadikan “tempe” tersebut berasa “hamburger”. - (Hb. Hery Santosa)
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. - (Aristoteles)
viii
ABSTRAK
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF MELALUI PEMANFAATAN
MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN COMPETENCE, CONSCIENCE, DAN COMPASSION SISWA KELAS XI IPA 1 SMA
PANGUDI LUHUR ST. LOUIS IX SEDAYU Oleh
Andreas Gilang Tito Abiyasa Universitas Sanata Dharma
2014
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan competence, conscience, dan
compassion siswa setelah Implementasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) Melalui Pemanfaatan Multimedia.
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas dengan model penelitian Kemmis dan McTaggart berbais PPR dengan tahapan perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Data dikumpulkan dengan menggunakan observasi, tes, dan kuesioner. Analisis data dengan menggunakan deskriptif persentase.
ix
ABSTRACT
HISTORY LEARNING IMPLEMENTATION BASED ON REFLECTIVE PEDAGOGICAL PARADIGM THROUGH THE USE OF MULTIMEDIA IN IMPROVING COMPETENCE, CONSIENCE, AND COMPASSION OF ELEVENTH GRADE STUDENTS OF SCIENCE 1 PANGUDI LUHUR ST.
LOUIS IX SEDAYU SENIOR HIGH SCHOOL By
Andreas Gilang Tito Abiyasa Sanata Dharma University
2014
This research aims to describe the competence, conscience, and
compassion improvement of the students towards the Implementation of the History Learning Based on Reflective Pedagogical Paradigm (RPP) through the use of multimedia.
This research uses Class Action Research model according to Kemmis and Mc Taggart based on RPP with the steps of planning, action, observation, and reflection. The data is gathered through observation, test, and questionnaire. The data analysis uses descriptive percentage.
The result points out that there is competence, conscience, and compassion
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan bimbingan-Nya skripsi yang berjul ”Implementasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Paradigma Pedagogi Reflektif melalui Pemanfaatan Multimedia Untuk Meningkatkan Competence, Conscience, dan Compassion Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu” ini dapat terselesaikan dengan baik. Bagi penulis penyusunan skripsi ini telah memberikan
banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berguna dalam penyusunan sebuah
karya ilmiah.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Indra Darmawan, S.E., M.Si. selaku ketua jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Dra. Theresia Sumini, M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak memberikan informasi dan bimbingan kepada penulis.
4. Bapak Drs. A.K. Wiharyanto, M.M. selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis
5. Br. Agustinus Mujiya, S.Pd., FIC selaku kepala SMA Pangudi Luhur St.
Louis IX Sedayu yang telah memberikan kesempatan dalam melaksanakan
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Batasan Masalah ... 9
D. Rumusan Masalah ... 9
E. Pemecahan Masalah ... 10
F. Tujuan Penelitian ... 10
G. Manfaat Penelitian ... 11
H. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KAJIAN TEORI ... 13
A. Deskripsi Teori ... 13
xiii
2. Pembelajaran Sejarah ... 16
3. Paradigma Pedagogi Reflektif... 21
4. Konsep Competence, Conscience, Compassion (3C) ... 25
5. Multimedia ... 29
B. Materi Pembelajaran ... 31
C. Kaitan antara penerapan PPR melalui pemanfaatan multimedia dengan PTK dalam pembelajaran sejarah ... 37
D. Penelitian yang Relevan ... 38
E. Kerangka Berpikir ... 39
BAB III METODE DAN METODOLOGI PENELITIAN ... 41
A. Jenis penelitian ... 41
B. Setting Penelitian ... 41
C. Subyek dan Obyek ... 42
D. Desain penelitian ... 43
E. Definisi Operasionel Variabel ... 43
F. Sumber Data ... 45
G. Metode Pengumpulan data ... 46
H. Instrumen Pengumpulan data ... 47
I. Jenis dan Analisis Data ... 49
J. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 55
K. Prosedur Penelitian ... 57
L. Indikator Keberhasilan ... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Hasil penelitian... 65
B. Komparasi ... 110
C. Pembahasan ... 120
BAB V PENUTUP ... 127
A. Kesimplan ... 127
B. Saran ... 129
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Jadwal Penelitian Di Sekolah ... 42
Tabel 2:Kriteria Penuntasan Hasil Belajar ... 50
Tabel 3: Kriteria Penilaian Portofolio Siklus 1 ... 51
Tabel 4: Kriteria Penilaian Portofolio Siklus 2 ... 51
Tabel 5: Skor Kuesioner Pernyataan Positif ... 53
Tabel 6: Skor Kuesioner Pernyataan Negatif ... 53
Tabel 7: Analisis Kuesioner Aspek Conscience (Suara Hati) ... 53
Tabel 8 : Analisis Kuesioner Aspek Compassion (Bela Rasa) ... 54
Tabel 9: Pengamatan Aspek Conscience (Suara Hati) siklus 1 dan 2... 54
Tabel 10 : Pengamatan Aspek Compassion (Bela Rasa) siklus 1 dan 2 ... 55
Tabel 11 : Indikator Keberhasilan ... 64
Tabel 12 : Keadaan Awal Nilai Kognitif ... 68
Tabel 13 : Data Keadaan Awal Aspek Competence ... 69
Tabel 14 : Data Keadaan Awal Aspek Conscience (Suara Hati) ... 70
Tabel 15: Data Keadaan Awal Aspek Compassion (Bela Rasa) ... 70
Tabel 16 : Hasil Ulangan Siklus 1 ... 82
Tabel 17 : Nilai Akhir Siklus 1 ... 83
Tabel 18 : Frekuensi Data Aspek Competence Siklus 1 ... 85
Tabel 19 : Hasil Pengamatan Aspek Conscience dan Compassion Siklus 1 87 Tabel 20 : Hasil Ulangan Siklus 2... 98
Tabel 21 : Nilai Akhir Siklus 2 ... 99
xv
Tabel 23 : Data Keadaan Akhir Aspek Conscience (Suara Hati) ... 102
Tabel 24 : Data Keadaan Akhir Aspek Compassion (Bela Rasa) ... 104
Tabel 25 : Hasil Pengamatan Aspek Conscience dan Compassion Siklus 2 106
Tabel 26 : Komparasi Aspek Competence Berdasarkan Peningkatan Nilai 110
Tabel 27 : Komparasi Aspek Competence Berdasarkan Ketuntasan KKM 112
Tabel 28 : Hasil Komparasi Aspek Conscience Keadaan Awal dan Akhir 114
Tabel 29 : Hasil Komparasi Aspek Conscience Siklus 1 dan 2 ... 116
Tabel 30 : Hasil Komparasi Aspek Compassion Keadaan Awal dan Akhir 118
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar I : Siklus Penelitian Tindakan Kelas ... 18
Gambar II : Kerangka Berpikir ... 41
Gambar III : Desain model Kemmis dan McTaggart berbasis PPR ... 45
Gambar IV : Grafik Data Keadaan Awal Competence Siswa ... 70
Gambar V : Grafik Perbandingan Data Keadaan Awal Conscience ... 72
Gambar VI : Grafik Perbandingan Data Keadaan Awal Compassion ... 74
Gambar VII : Grafik Perbandingan Data Competence Siklus 1 ... 86
Gambar VIII: Grafik Perbandingan Data Competence Siklus 2 ... 101
Gambar IX : Grafik Perbandingan Data Keadaan Akhir Conscience ... 103
Gambar X : Grafik Perbandingan Data Keadaan Akhir Compassion ... 105
Gambar XI : Diagram Hasil Komparasi Aspek Competence... 113
Gambar XII: Diagram Hasil Komparasi Aspek Conscience Keadaan Awal dan Akhir ... 116
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Jadwal Penelitian ... 134
Lampiran 2: Surat Ijin Penelitian ... 135
Lampiran 3: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 136
Lampiran 4: Silabus ... 137
Lampiran 5: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 143
Lampiran 6: Hasil Wawancara Dengan Guru ... 154
Lampiran 7: Hasil Observasi Aktivitas Guru Di Kelas ... 155
Lampiran 8: Hasil Observasi Aktivitas Siswa Di Kelas ... 156
Lampiran 9: Rangkuman Hasil Refleksi dan Aksi Siswa ... 157
Lampiran 10: Kisi-kisi Kuesioner Aspek Conscience Siswa ... 159
Lampiran 11: Kuesioner Pra Penelitian Aspek Conscience ... 160
Lampiran 12: Hasil Analisis Validitas Kuesioner Aspek Conscience ... 165
Lampiran 13: Kuesioner Keadaan Awal dan Akhir Aspek Conscience ... 168
Lampiran 14: Kisi-kisi Kuesioner Aspek Compassion Siswa ... 173
Lampiran 15: Kuesioner Pra Penelitian Aspek Compassion ... 174
Lampiran 16: Hasil Analisis Validitas Kuesioner Aspek Compassion ... 179
Lampiran 17: Kuesioner Keadaan Awal dan Akhir Aspek Compassion .... 182
Lampiran 18: Kisi-kisi Soal Ulangan Siklus 1 ... 187
Lampiran 19: Soal Tes/Ulangan Siklus 1 ... 189
Lampiran 20: Kisi-kisi Soal Ulangan Siklus 2 ... 193
Lampiran 21: Soal Test/Ulangan Siklus 2 ... 195
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum pengertian pendidikan adalah proses perubahan atau
pendewasaan manusia, berawal dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak biasa
menjadi biasa, dari tidak paham menjadi paham dan sebagainya. Pendidikan itu
bisa didapatkan dan dilakukan dimana saja, bisa di lingkungan sekolah,
masyarakat dan keluarga, dan yang penting untuk diperhatikan adalah
bagaimana memberikan atau mendapat pendidikan dengan baik dan benar,
agar manusia tidak terjerumus dalam kehidupan yang negatif. Pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan
hidup negara, karena pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Dengan pendidikan
kehidupan manusia menjadi terarah. Pendidikan umum merupakan pendidikan
dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan
oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pada hakikatnya tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan
konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan
generasi masa depan untuk mampu bertahan hidup dan berhasil menghadapi
tantangan-tantangan zamannya.1 Pendidikan itu sendiri memiliki peranan yang
penting dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, kritis dan demokratis. Di era
1
dewasa ini, pendidikan merupakan hal yang wajib dimiliki oleh setiap individu.
Oleh sebab itu, pembaharuan pendidikan harus senantiasa dilakukan agar tercipta
pendidikan yang berkualitas.
Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah dilakukan, tetapi
menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh
lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila
dikatakan bahwa masalah moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis
yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun. Pendidikan bukan
sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata,
melainkan juga berfungsi untuk membentuk karakter dan peradaban bangsa yang
bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan karakter tidak bisa
ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang
melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk karakter dan
peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut.
Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat
dalam usaha pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari pendidikan
karakter seperti yang telah diuraikan di atas, menghendaki suatu proses yang
berkelanjutan, dilakukan melalui implementasi pada berbagai mata pelajaran yang
ada. Dalam realitanya, proses pembelajaran yang terjadi pada umumnya hanyalah
penyampaian materi dari guru ke siswa tanpa menanamkan nilai nilai karakter
dalam diri siswanya. Penanaman nilai yang kurang inilah menyebabkan
3
sekarang telah terjadi banyak praktek negatif yang dilakukan oleh pelajar sebagai
contoh merosotnya moral mereka saat ini.
Salah satu mata pelajaran yang berpotensi membentuk sikap kemanusiaan
kritis adalah sejarah. Sejarah tidak akan berfungsi dalam proses pendidikan yang
menjurus pertumbuhan dan pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai
sejarah tersebut belum terwujud dalam pola pikir dan perilaku yang nyata. Untuk
sampai pada wujud perilaku ini, perlu ditumbuhkan apa yang disebut kesadaran
sejarah.2 Sejarah adalah salah satu ilmu pengetahuan yang sangat menarik.
Sejarah juga mengajarkan hal-hal yang sangat penting, dalam mengembangkan
pendidikan karakter, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian
yang teramat penting.
Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang
memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa
lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. sebagai contohnya
mengenai keberhasilan dan kegagalan dari para pemimpin negara, sistem
perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk pemerintahan, dan hal-hal penting
lainnya dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Dari sejarah, kita dapat
mempelajari apa saja yang memengaruhi kemajuan dan kejatuhan sebuah negara
atau sebuah peradaban. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejarah
merupakan mata pelajaran yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan terutama
nilai-nilai karakter dan kemanusiaan.
2
Namun dalam prakteknya, masih banyak siswa yang kurang berminat pada
pelajaran sejarah. Banyak orang berpikir bahwa pelajaran sejarah hanyalah
menyangkut urusan sekelompok kecil anggota masyarakat yang disebut dengan
sejarawan atau peminat sejarah yang tertarik pada apa yang terjadi di waktu yang
lampau. Dalam konteks pendidikan, sejarah sering dianggap urusan guru sejarah
saja, yang berminat pada sejarah karena tuntutan profesinya sebagai guru.3
Banyaknya siswa yang tidak menyukai mata pelajaran sejarah dikarenakan guru
mata pelajaran yang cenderung monoton, ditambah lagi mereka lebih tertarik pada
materi pembelajaran yang realistik dan memiliki prospek ke depan.
Hal yang serupa juga terjadi dalam proses pembelajaran di salah satu SMA
di Yogyakarta. SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu adalah merupakan
sekolah berasrama (boarding school) yang dikelola oleh para biarawan dan
biarawati gereja. Sekolah ini berciri khas Katholik sebagai komunitas umat
beriman yang mewujudkan keimanan, kebijaksanaan dalam tata pergaulan
sehari-hari.4 Pembinaan dalam hidup berasrama yang religius memberikan nuansa bagi
kehidupan sekolah berbeda dengan sekolah sekolah lain berdasarkan visi dari
SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu yaitu menjadi sekolah pilihan,
berkarakter katholik, unggul dalam akademik, peduli lingkungan, dan memiliki
ketrampilan hidup dilandasi semangat pelayanan.
Dengan latar belakang sekolah yang seperti itu, peneliti sangat tertarik untuk
melakukan penelitian di SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu. Berdasarkan
observasi awal di kelas XI IPA 1, dimana guru sejarah masih menggunakan
3
Ibid., hlm. 7. 4
5
metode konvensional. Yakni melakukan ceramah dan berpedoman pada buku
paket, walaupun sering kali ditambahi dengan guyonan kecil untuk mencairkan
suasana. Keadaan semacam itulah yang menjadi salah satu penyebab kurangnya
minat siswa pada pelajaran sejarah, sehingga kegunaan sejarah untuk
menanamkan nilai kehidupan sulit untuk dilakukan.
Realita masalah ini tidak dimaksudkan tuduhan peneliti terhadap metode
guru yang cenderung kuno, akan tetapi ajakan kepada semua pihak di SMA
Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu untuk bekerjasama dalam pemecahan masalah
tersebut. Sehingga proses pembelajaran yang berlangsung akan sesuai dengan
tujuan dari SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu, yaitu terselenggaranya
pembelajaran yang aktif dan menyenangkan serta tercapainya peningkatan sarana/
prasarana dan media kegiatan belajar mengajar.5
Pendidikan perlu mengembangkan siswa-siswanya tidak hanya pandai
secara akademik, tetapi menjadi cerdas (bukan hanya pandai dalam bidang studi).
Cerdas yang dimaksud adalah cerdas dalam bersikap, memutuskan, memilih,
menilai, dan bertindak. Dengan kata lain cerdas adalah sikap kemanusiaan yang
kritis. Dengan bimbingan guru, siswa diajak untuk membahas masalah-masalah
atau kejadian-kejadian yang dipaparkan dalam media massa untuk membentuk
pendapat dan sikap kritis berdasarkan kaidah dan etika yang telah dipelajari.
Berlandaskan sikap, keyakinan, nilai kemanusiaan/budaya tersebut, siswa dilatih
untuk menjadi cerdas. Dengan menyikapi dan menghayati nilai/budaya sebagai
landasannya, siswa dilatih untuk membahas masalah aktual kemasyarakatan
5
secara kritis. Dalam hal ini sangat diperlukan kemampuan penalaran, eksplorasi,
kreativitas, dan kemandirian dalam belajar, baik bagi mereka yang akan sampai ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun mereka yang karena hambatan
finansialtidak mampu sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan pembelajaran yang mendukung,
salah satunya dengan melaksanakan pembelajaran Paradigma Pedagogi Reflektif
(PPR). Pola pikir pembelajaran PPR ini dalam hal membentuk pribadi, siswa
diberi pengalaman akan suatu nilai kemanusiaan, kemudian siswa difasilitasi
dengan pertanyaan agar merefleksikan pengalaman tersebut, dan berikutnya
difasilitasi dengan pertanyaan aksi agar siswa membuat niat dan berbuat sesuai
nilai tersebut.6
Melalui PPR diharapkan siswa-siswi akan menjadi pejuang, maka perlu
dikembangkan pada mereka kepemimpinan. Kepemimpinan ditumbuhkan dengan
melengkapi mereka dengan kemampuan penalaran, eksplorasi, kreativitas dan
kemandirian dalam pelajaran dan bertindak. SMA Pangudi Luhur St. Louis IX
Sedayu merupakan lembaga pendidikan yang termasuk dalam idealisme
pendidikan katholik, yang mana persaudaraan sejati merupakan roh sekolah,
sesuai dengan ciri khas dari para Bruder FIC selaku pengayom dari sekolah ini.
Oleh sebab itu, sangatlah cocok bila PPR ini diterapkan dalam pendidikan
di sekolah tersebut sehingga dapat meningkatkan karakter mereka terutama dalam
hal kemampuan/prestasi belajar, ketrampilan, sikap atau competence,
mengembangkan hati nurani atau conscience, dan mengembangkan bela rasa
6
7
terhadap sesama atau compassion sesuai dengan visi dan misi dari SMA Pangudi
Luhur St. Louis IX Sedayu.
Dalam hal ini pembelajaran PPR ini juga perlu dikemas semenarik mungkin
agar siswa tertarik, maka diperlukan suatu media pendukung. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan alat pendukung berupa multimedia pembelajaran berbasis
teknologi sehingga dalam menyampaikan pelajaran sejarah, metode yang
digunakan guru tidak konvensional. Pada dasarnya salah satu tujuan dari
pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan multimedia adalah sedapat
mungkin menggantikan dan melengkapi tujuan, materi, metode dan alat penilaian
yang ada dalam proses belajar mengajar dalam sistem pembelajaran konvensional.
Dengan penerapan multimedia ini diharapkan akan mampu memberikan
perubahan dalam suasana belajar, sehingga dapat menimbulkan motivasi
khususnya dalam mengikuti pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar siswa di SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu sesuai dengan visi,
misi, dan tujuan sekolah tersebut. Selain itu dengan digunakannya multimedia
dalam pembelajaran, akan membantu menunjang dalam proses penanaman
nilai-nilai karakter dan kemanusiaan yang sangat banyak terkandung dalam pelajaran
sejarah karena aspek multimedia yang dimiliki komputer dapat memberikan rangsangan atau stimulus dalam belajar.
Perubahan suasana dalam proses pembelajaran seperti pengadaan animasi
gambar yang menarik dan mengarah pada materi pembelajaran, serta iringan
musik yang menyertai gambar-gambar dan interaksi yang dibuat, diharapkan
berkonsentrasi dalam belajar. Selain itu juga, siswa diharapkan mampu untuk
beradaptasi dengan era digital dewasa ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka peneliti tertarik
untuk melakukan sebuah penelitian tindakan kelas dengan judul “Implementasi
Pembelajaran Sejarah Berbasis Paradigma Pedagogi Reflektif Melalui
Pemanfaatan Multimedia Untuk Meningkatkan Competence, Conscience, dan
Compassion Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu”
Dengan penelitian ini diharapkan akan meningkatkan prestasi competence
(pengetahuan, ketrampilan, sikap), conscience (hati nurani), dan compassion (bela
rasa) siswa kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, dapat diketahui bahwa kondisi
pembelajaran di SMA Pangudi Luhur St. Louis IX adalah:
1. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pembelajaran sejarah.
2. Proses pembelajaran yang monoton dikarenakan pembelajaran yang
dipergunakan guru masih konvensional.
3. Proses pembelajaran yang terjadi hanyalah penyampaian materi dari guru
ke siswa, sehingga kurang berkembang dari aspek nilai-nilai karakter dan
9
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang peningkatan
competence (pengetahuan, ketrampilan, sikap), conscience (hati nurani), dan
compassion (bela rasa) siswa kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX
Sedayu dangan implementasi pembelajaran sejarah berbasis pedagogi reflektif
menggunakan pemamfaatan multimedia.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah implementasi pembelajaran sejarah berbasis paradigma pedagogi
reflektif melalui pemanfaatan multimedia dapat meningkatkan aspek
competence (pengetahuan, ketrampilan, sikap) siswa kelas XI IPA 1 SMA
Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu?
2. Apakah implementasi pembelajaran sejarah berbasis paradigma pedagogi
reflektif melalui pemanfaatan multimedia dapat meningkatkan aspek
conscience (hati nurani) siswa kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St.
Louis IX Sedayu?
3. Apakah implementasi pembelajaran sejarah berbasis paradigma pedagogi
reflektif melalui pemanfaatan multimedia dapat meningkatkan aspek
compassion (bela rasa) siswa kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis
IX Sedayu?
E. Pemecahan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahan akan dipecahkan dengan
mengimplementasikan pembelajaran berbasis Pedagodi Reflektif. Dengan
secara akademik namun juga memiliki pemahaman manusiawi yang kritis.
Pembelajaran Reflektif ini nanti akan didukung dengan pemanfaatan multimedia
karena diharapkan siswa mampu untuk beradaptasi dengan era digital dewasa ini.
Hal tersebut dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan aspek competence
(pengetahuan, ketrampilan, sikap), conscience (hati nurani), dan compassion (bela
rasa) pada siswa sesuai dengan prosedur penelitian tindakan kelas.
F. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, dapat dideskripsikan beberapa tujuan
penelitian yang akan dicapai:
1. Meningkatkan aspek competence (pengetahuan, ketrampilan, sikap) siswa
kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu dalam
implementasi pembelajaran sejarah berbasis paradigma pedagogi reflektif
melalui pemanfaatan multimedia.
2. Meningkatkan aspek conscience (hati nurani) siswa kelas XI IPA 1 SMA
Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu dalam implementasi pembelajaran
sejarah berbasis paradigma pedagogi reflektif melalui pemanfaatan
multimedia.
3. Meningkatkan aspek compassion (bela rasa) siswa kelas XI IPA 1 SMA
Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu dalam implementasi pembelajaran
sejarah berbasis paradigma pedagogi reflektif melalui pemanfaatan
11
G. Manfaat Penelitian
1. Bagi Lembaga Sekolah
Sebagai umpan balik dalam meningkatkan aspek competence (pengetahuan,
ketrampilan, sikap), conscience (hati nurani), dan compassion (bela rasa) siswa
pada mata pelajaran sejarah, dan meningkatkan penggunaan media pembelajaran
di sekolah.
2. Bagi Universitas
Sebagai sarana pengenalan visi dan misi Universitas Sanata Dharma melalui
pembelajaran berbasis Paradigma Pedagogi Reflektif.
3. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif dalam penyampaian
materi pembelajaran oleh guru agar tidak terkesan monoton. Sehingga siswa
mampu menjadi aktif dan memahami, bahwa pelajaran sejarah bisa memberikan
banyak makna dan nilai-nilai kehidupan yang dapat berguna bagi perkembangan
bangsa, khususnya bagi generasi muda.
4. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menarik minat belajar siswa
dan untuk meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran.
5. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bagian dari proses belajar dan
berlatih dibidang penelitian sehingga dapat mengembangkan pengetahuan peneliti
baik secara teoritis maupun aplikasi dalam praktik. Selain itu juga menjadi ajang
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi dengan judul Implementasi
Pembelajaran Sejarah Berbasis Paradigma Pedagogi Reflektif Melalui
Pemanfaatan Multimedia Untuk Meningkatkan Competence, Conscience, dan
Compassion Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu
adalah:
BAB I : Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, pemecahan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai deskripsi teori yang mendukung
penelitian, materi dalam pembelajaran, kaitan antara
PTK-PPR-Multimedia dalam pembelajaran sejarah, penelitian yang relevan,
kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
BAB III : Dalam bab ini diuraikan metode yang dipakai dalam penelitian, yang
terdiri dari jenis penelitian, setting penelitian, subyek dan obyek
penelitian, desain penelitian, definisi operasional variabel, sumber
data, metode pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, analisis
data, prosedur penelitian, dan indikator keberhasilan.
BAB IV : Bab ini menampilkan ulasan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan. Dalam bab ini juga dipaparkan data aspek 3C dari
keadaan awal sampai dengan siklus 2 serta komparasinya.
13 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori
1. Penelitian Tindakan Kelas
a. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Banyak ahli memberikan definisi tentang Penelitian Tindakan Kelas
(PTK), namun dalam hal ini, menurut Kemmis dan Mc Taggart, PTK adalah
studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja tetapi
dilakukan secara sistematis, terencana dengan sikap mawas diri.1
Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi
dalam sebuah kelas secara bersama.2 Tindakan tersebut diberikan oleh guru
dan dilakukan oleh siswa, jadi dalam hal ini siswa juga turut berperan aktif
dalam pelaksanaan PTK.
Menurut Kemmis & Mc Taggart merupakan pengembangan lebih lanjut
dari Kurt Lewin. Secara mendasar tidak ada perbedaan antara keduanya,
model ini banyak dipakai karena sederhana dan mudah dipahami. Rancangan
Kemmis & Mc Taggart dapat mencakup sejumlah siklus, masing-masing terdiri
dari tahap-tahap:3 perencanaan (plan), pelaksanaan dan pengamatan (act &
observe), dan refleksi (reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara
1
Sarwiji Suwandi, 2011, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah, Surakarta: Yuma Pustaka, hlm. 10-11.
2
Suharsimi Arikunto.,dkk, 2007, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm. 3-4. 3
Gambar I: Siklus dalam penelitian Kemmis & Mc Taggart
berulang-ulang, sampai tujuan penelitian tercapai. Dituangkan dalam bentuk
gambar, rancangan Kemmis & Mc Taggart tampak sebagai berikut:
b. PrinsipPenelitian Tindakan Kelas
Dalam melakukan suatu penelitian terutama dalam Penelitian Tindakan
Kelas (PTK), seorang peneliti memerlukan sebuah informasi yang benar
kejelasannya, tidak boleh bersifat dugaan atau bahkan menduga-duga tapi
seorang peneliti harus terjun langsung kelapangan untuk meneliti suatu
masalah yang dialami oleh sekolah atau lembaga tertentu untuk mengetahui
masalah atau kendala apa yang sedang mereka hadapi kemudian kita
mencarikan solusi yang tepat dari masalah yang dialaminya. Selain itu, peneliti
juga harus memahami dan menerapkan apa yang dilakukan dapat berhasil
dengan baik dengan memperhatikan sejumlah prinsip-prinsip atau pedoman
15
Menurut Hopkins dalam Tahir4 terdapat 6 prinsip penelitian tindakan
kelas. Prinsip-prinsip terebut adalah sebagai berikut:
1) Sebagai seorang guru yang pekerjaan utamanya adalah mengajar, seyogyanya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan tidak mengganggu komitmennya sebagai pengajar.
2) Teknik pengumpulan data tidak menuntut waktu dan cara yang berlebihan. Sedapat mungkin hendaknya dapat diupayakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangai sendiri, sementara Guru tetap aktif sebagai mana biasanya.
3) Metodologi yang digunakan hendaknya dapat dipertanggung jawabkan reliabilitasnya. Jadi, walaupun terdapat kelonggaran secara metodologis, namun Penelitian Tindakan Kelas (PTK) mestinya tetap dilaksanakan atas dasar taat kaidah keilmuan.
4) Masalah yang terungkap adalah masalah yang benar-benar masalah yang nyata dihadapi oleh guru. Sehingga atas dasar tanggung jawab dan profesional, guru didorong oleh hatinya untuk memiliki komitmen dalam rangka menemukan jalan keluarnya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
5) Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) seharusnya mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi. Artinya, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) hendaknya diketahui oleh kepala sekolah, disosialisasikan pada rekanrekan Guru, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan, dilaporkan hasilnya sesuai dengan tata krama penyusunan karya tulis ilmiah, dan tetap mengedepankan kepentingan siswa layaknya sebagai manusia.
6) Permasalahan yang hendaknya dicarikan solusinya lewat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) hendaknya tidak terbatas hanya pada konteks kelas atau mata pelajaran tertentu, tetapi tetap mempertimbangkan perspektif sekolah secara keseluruhan. Dalam hal ini, pelibatan lebih dari seorang pelaku akan sangat mengakomodasi kepentingan tersebut.
c. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas
Tujuan utama dari PTK adalah untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. Dalam penelitian ini, kualitas pembelajaran yang dimaksud
adalah untuk meningkatkan aspek competence (pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap), conscience (suara hati), dan compassion (bela rasa).
4
Tujuan dari PTK itu sendiri yaitu: 5
1) Untuk menanggulangi masalah dalam bidang pendidikan dan pengajaran
yang dihadapi oleh guru terutama dalam permasalahan pengajaran dan pengembangan materi ajar.
2) Untuk memberikan pedoman bagi guru dan civitas akademika guna
memperbaiki dan meningkatkan mutu kinerja supaya lebih baik dan produktif.
3) Untuk memasukkan unsur-unsur pembaruan dalam sistem pembelajaran
yang sedang berjalan dan sulit untuk ditembus oleh pembaruan pada umumnya.
4) Untuk perbaikan suasana keseluruhan sistem sekolah.
Dari tujuan-tujuan di atas, dapat dilihat manfaat PTK yaitu : 6
1) Guru dapat melakukan inovasi pembelajaran, sehingga pembelajaran
menjadi lebih variatif dan menarik serta bermanfaat.
2) Guru dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik
pembelajaran, situasi, dan kondisi kelas.
3) Untuk mengembangkan profesionalisme guru, karena dengan PTK guru
bisa lebih berlatih dalam mengembangkan metode pengajaran serta pemahaman atas materi pembelajaran.
2. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar adalah berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku atau
tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman7.
Definisi belajar yang lain juga dikemukakan oleh para ahli yang ditulis
ulang oleh Fudyartanto dalam buku Psikologi Pendidikan:8
1) Menurut Arthur J. Gates belajar adalah perubahan tingkah laku melalui
pengalaman dan latihan.
5
Sarwiji Suwandi, 2011, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah, Surakarta: Yuma Pustaka, hlm. 16-17
6 Mulyasa, 2010, Praktik Penelitian Tindakan Kelas, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hlm 90 7
Hasan Alwi, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 756. 8
17
2) L. D. Crow dan A. Crow mengemukakan bahwa belajar adalah suatu
proses aktif yang perlu dirangsang dan dibimbing ke arah hasil-hasil yang diinginkan (dipertimbangkan). Belajar adalah penguasaan kebiasaan-kebiasaan (habitual), pengetahuan, dan sikap-sikap.
3) Melvin H. Marx berpendapat bahwa belajar adalah perubahan yang
dialami secara relatif abadi dalam tingkah laku yang mana adalah suatu fungsi dari tingkah laku sebelumnya.
4) R.S. Chauhan definisi belajar adalah membawa perubahan-perubahan
dalam tingkah laku dari organisme.
5) Gregory A. Kimble mengatakan belajar adalah perubahan yang relatif
permanen dalam potensialitas tingkah laku yang terjadi sebagai suatu
hasil alat praktek yang diperkuat (diberi hadiah).
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.9
b. Pengertian Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab “Syajaratun“ yang berarti “pohon“ atau
“keturunan” yang kemudian berkembang menjadi bahasa Melayu “syajarah”
dan dalam bahasa Indonesia menjadi “sejarah”.10 Menurut I.G. Widja, sejarah
adalah suatu studi keilmuan tentang segala sesuatu yang telah dialami oleh
manusia di waktu yang lampau dan telah meninggalkan jejak-jejaknya di waktu
sekarang.11
Menurut Sutrasno sejarah adalah segala kegiatan manusia dan segala
kejadian yang ada hubungannya dengan kegiatan manusia sehingga
mempunyai akibat adanya perubahan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan,
dan kesemuanya itu ditinjau dari sudut-sudut perkembangannya (berjalan
dalam tempat dan waktu atau adanya saling hubungan dalam tempat dan
9 Mohamad Surya, 2004, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani Quaraisy, hlm. 39.
10
I.G.Widja, Ilmu Sejarah: Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan, Semarang: Satya Wacana, hlm,6. 11
waktu).12 Dalam hal ini yang menjadi faktor utama sejarah adalah segala
kegiatannya yang membawa perubahan di segala bidang kehidupan manusia.
Menurut Sartono Kartodirdjo, sejarah dapat didefinisikan sebagai
berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Setiap
pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau pementasan
pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara membuat
hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan
verbal.
Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah sebagai
suatu peristiwa dimana yang menjadi obyek dan subyek dari peristiwa tersebut
adalah kegiatan manusia yang mempengaruhi segala bidang kehidupan.
c. Pengertian Belajar Sejarah
Berkaitan dengan sejarah, pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara
aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya mempelajari tentang peristiwa
masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini, sebab dengan
kemasakiniannyalah masa lampau itu baru merupakan masa lampau yang
penuh arti. Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam kaitannya
dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui pembalajaran sejarah
dapat juga dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa
lampau.
12
19
d. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Konstruktivisme merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa
pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari orang yang sedang belajar.13
Dalam hal ini, manusia mengalami proses lewat pengalaman yang didapatnya
untuk membentuk suatu pengetahuan.
Dalam proses konstruksi tersebut diperlukanlah beberapa kemampuan.
menurut Glasersfeld dalam buku Paul Suparno14 kemampuan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan pengalaman.
2) Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai
perbedaan dan persamaan.
3) Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang
lain.
Dalam konteks pembelajaran di sekolah, guru menyajikan persoalan dan
mendorong siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis dengan
cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga
jenis komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa tidak lagi bersifat
satu arah, yaitu hanya penyampaian informasi dari guru tanpa ada umpan balik
dari siswa. Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif sehingga dalam
belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang
diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswalah yang membangun
sendiri konsep atau struktur materi yang ia dipelajari dan tidak melalui
13
Sutarjo Adisusilo, 2012, Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter: Konstruktivisme dan VTC Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 161. 14
pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau
aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri yang
mengemasnya.
Dalam hal ini, bisa dikatakan pemahaman siswa tidaklah sama.
Keakuratan antara siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau
mungkin terjadi kesalahan, maka dari itu disinilah tugas guru memberikan
bantuan dan arahan sebagai fasilitator dan pembimbing. Kesalahan siswa
tersebut merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu
merupakan cirinya seorang siswa sedang belajar.
Dalam proses pembelajaran sejarah, teori konstruktivisme juga sangat
diperlukan. Mengapa? Sejarah merupakan suatu peristiwa, dimana yang
menjadi obyek dan subyek dari peristiwa tersebut adalah kegiatan manusia
pada masa lampau yang mempengaruhi segala bidang kehidupan. Oleh karena
itu dalam mempelajari peristiwa sejarah tersebut, tentunya kita harus bias
mengkonstruksi segala macam peristiwa yang sudah berlalu agar pengetahuan
tentang peristiwa tersebut dapat kita ketahui dengan benar. Konstruktivisme
juga sejalan dengan PPR, dimana dibutuhkan pengalaman secara langsung dari
siswa untuk membangun pengetahuan siswa itu sendiri.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan
memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena
pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnya proaktif dan reaktif dalam
21
3. Paradigma Pedagogi Reflektif
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap
diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif),
bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).15
Pedagogi pada dasarnya adalah sebuah pendekatan. Pendekatan dalam
pedagogi menunjuk pada pandangan hidup dan visi mengenai sosok ideal
pribadi yang terpelajar.
Dinamika pokok Pedagogi Ignatian ini adalah interaksi terus-menerus
tiga unsur, yaitu pengalaman-refleksi-aksi didalam proses belajar mengajar.
Tiga unsur tersebut dilengkapi dengan konteks yang menjadi tempat
pengalaman itu berlangsung, dan evaluasi setelah sebuah aksi terlaksana.16
Dalam pendidikan berbasis Ignasian, refleksi mengambil peran yang
penting. Dengan melakukan refleksi, peserta didik menimbang dan memilih
pengalamannya untuk menemukan dirinya yang otentik.17
Dengan maksud untuk berbagi pengalaman mengenai sebuah “metode
mendidik”, diperkenalkanlah Paradigma Pedagogi Ignatian itu dengan nama
yang lebih menunjuk pada intinya, yaitu Paradigma Pedagogi Reflektif. Jadi
yang tersaji sesungguhnya adalah dokumen Paradigma Pedagogi Ignatian,
namun karena yang menjadi inti pokoknya adalah refleksi, maka secara khas
diperkenalkan dengan nama Paradigma Pedagogi Reflektif.18
15
http://id.wikipedia.org/wiki/Paradigma (diunduh pada tanggal 20 Maret 2013) 16
J. Subagya, 2012, Paradigma Pedagogi Reflektif: Mendampingi Peserta Didik Menjadi Cerdas dan Berkarakter, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 6.
17
P3MP-LPM USD, 2012, Pedoman: Pembelajaran Barbasis Pedagogi Ignasian, Yogyakarta: LPM USD, hlm. 7.
18
Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) merupakan polapikir
(paradigma≈polapikir) dalam menumbuh kembangkan pribadi siswa
menjadi pribadi kemanusiaan (pedagogi reflektif = pendidikan
kemanusiaan). Pola pikirnya: dalam membentuk pribadi, siswa diberi pengalaman akan suatu nilai kemanusiaan, kemudian siswa difasilitasi dengan pertanyaan agar merefleksikan pengalaman tersebut, dan berikutnya difasilitasi dengan pertanyaan aksi agar siswa membuat niat
dan berbuat sesuai dengan nilai tersebut.19
Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR) merupakan pola pembelajaran yang
mengintegrasikan pemahaman masalah dunia, kehidupan dan pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan dalam proses yang terpadu, sehingga nilai – nilai itu
muncul dari kesadaran dan kehendak peserta didik melalui refleksinya”20 Oleh
karena itu dalam hal ini paradigma tidak hanya sebuah pola pikir, namun akan
sampai pada perbuatan konkrit.
Pembentukan kepribadian diharapkan dilakukan sedemikian rupa
sehingga siswa nantinya memiliki komitmen untuk memperjuangkan
kehidupan bersama yang lebih adil, bersaudara, bermartabat, melestarikan
lingkungan hidup, dan lebih menjamin kesejahteraan umum. Sampai sekarang
pengalaman yang diberikan adalah pengalaman persaudaraan yang
disampaikan berdasarkan kerjasama kelompok. Tujuannya,
menumbuh-kembangkan persaudaraan, solidaritas antarteman, dan saling menghargai yang
merupakan aspek-aspek kemanusiaan.
a. Tata cara pelaksanaan Paradigma Pedagogi Reflektif
Tata cara pelaksanaan PPR dalam hal ini meliputi; konteks, pengalaman,
refleksi, aksi, dan evaluasi.21
19
Tim Redaksi Kanisius, op.cit., hlm. 39. 20
http://www.bimaskatolikjatim.com/news2.php (diunduh 12 Juni 2014) 21
23
1) Konteks
Pertama, wacana tentang nilai-nilai yang dikembangkan agar semua
anggota komunitas, guru, dan siswa menyadari bahwa yang menjadi landasan
pengembangan bukan aturan, perintah, atau sanksi-sanksi melainkan nilai-nilai
kemanusiaan. Guru (fasilitator) perlu menyemangati mereka agar memiliki
nilai seperti: persaudaraan, solidaritas, penghargaan terhadap sesama, tanggung
jawab, kerja keras, kepentingan bersama, cinta lingkungan hidup, dan
nilai-nilai yang semacam itu. Diharapkan semua anggota komunitas berbicara
mengenai nilai-nilai.
Kedua, contoh-contoh penghayatan seperti nilai-nilai yang
diperjuangkan, lebih-lebih contoh dari pihak guru. Kalau itu ada maka siswa
akan cenderung untuk melihat, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nilai
yang dihayatinya.
Ketiga, hubungan akrab, saling percaya, agar bisa terjalin dialog yang
saling terbuka antara guru dan siswa. Setiap orang dihargai, ditunjukan
kebaikannya, ditantang untuk melakukan yang benar dan baik. Idealnya,
sekolah merupakan tempat bagi anak untuk belajar saling membantu,
bekerjasama dengan semangat untuk menyatakan secara konkrit melalui
perkataan dan perbuatan yang didasarkan pada idealisme bersama.
2) Pengalaman
Pengalaman untuk menumbuhkan persaudaraan, solidaritas, dan saling
“direkayasa” sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif, ramah
dan sopan, tenggang rasa, dan akrab.
Sering kali tidak mungkin guru (fasilitator) menyediakan pengalaman
langsung mengenai nilai-nilai yang lain. Untuk itu siswa difasilitasi dengan
pengalaman yang tidak langsung. Pengalaman yang tidak langsung diciptakan
misalnya dengan membaca dan/atau mempelajari suatu kejadiaan. Selanjutnya
guru (fasilitator) memberi sugesti agar siswa mempergunakan imajinasi
mereka, mendengar cerita dari guru, melihat gambar sambil berimajinasi,
bermain peran, atau melihat tayangan film/video.
3) Refleksi
Guru memfasilitasi dengan pertanyaan agar siswa terbantu untuk
merefleksikan. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang menyebar, agar
siswa secara otentik dapat memahami, mendalami, dan menyakini temuannya.
Siswa dapat diajak untuk diam dan hening untuk meresapi apa yang baru saja
dibicarakan. Melalui refleksi, siswa menyakini makna nilai yang terkandung
dalam pengalamannya. Diharapkan siswa membentuk pribadi mereka sesuai
dengan nilai yang terkandung dalam pengalamannya itu.
4) Aksi
Guru memfasilitasi siswa dengan pertanyaan aksi agar siswa terbantu
untuk membangun niat dan bertindak sesuai dengan hasil refleksinya. Dengan
membangun niat dan berperilaku dari kemauannya sendiri, siswa membentuk
pribadinya agar nantinya (lama-kelamaan) menjadi pejuang bagi nilai-nilai
25
5) Evaluasi
Setelah pembelajaran, guru memberikan evaluasi atas kompetensinya
dari sisi akademik. Ini adalah hal wajar dan merupakan keharusan. Sekolah
memang dibangun untuk mengembangkan ranah akademik dan menyiapkan
siswa menjadi kompeten di bidang studi yang dipelajarinya. Namun
guru/sekolah juga perlu mengevaluasi apakah ada perkembangan pada pribadi
siswa.
Pelaksanaan PPR terletak pada dasar dan tujuannya. Dasarnya yaitu
pelaksanaan, dan tujuannya adalah menjadikan manusia yang cerdas dan
humanis. Cerdas dan humanis dalam hal ini mengacu pada aspek 3C, yaitu
aspek competence (pengetahuan, ketrampilan, sikap), conscience (suara hati),
dan compassion (bela rasa).
4. Konsep 3C (Competence, Conscience, Compassion)
Konsep competence (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap), conscience
(suara hati), dan compassion (bela rasa) merupakan unsur-unsur dari Pedagogi
Ignatian, dimana ketiganya dianggap sebagai sebuah keterpaduan hasil belajar
yang serupa dengan keterpaduan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.22
Akan tetapi bila masing-masing aspek dicermati secara mendalam, akan
tampak perbedaan pada penekanan pada penekanan-penekanan meskipun tetap
beririsan satu dengan yang lain. Untuk itu, akan dibahas lebih lanjut tentang
konsep competence (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap), conscience (suara
hati), dan compassion (bela rasa).
22
a. Competence
Competence adalah kompetensi/kualitas yang unggul bagi peserta didik,
berkaitan dengan kemampuan penguasaan kompetensi secara utuh yang disebut
juga kemampuan kognitif. Competence pada Pedagogi Ignatian sangat kental
bermuatan ranah kognitif dan psikomotorik, namun demikian di sana termuat
juga sebagian afektif meskipun terbatas dalam kaitannya dengan keilmuan.23
Aspek competence mengacu pada kecerdasan individu, cerdas di sini
bukan hanya pengetahuan, namun juga cerdas dalam mengambil sikap. Jadi
dalam hal ini, competence dimaknai sebagai kemampuan akademik yang
memadukan unsur pengetahuan, ketrampilan dan sikap.24
b. Conscience
Conscience merupakan kemampuan afektif yang secara khusus mengasah kepekaan dan ketajaman hati nurani. Maka dari itu, terdapat nilai-nilai yang
ada dalam conscience, seperti:25
• Moral
• Tanggung jawab
• Kejujuran
• Kemandirian
• Keterbukaan
• Kebebasan
• Kedisiplinan
• Ketekunan
• Kegigihan
• Ketahanan uji
• Keberanian mengambil resiko
• Kemampuan member makna hidup
23 P3MP-LPM USD, op.cit., hlm. 39. 24
http://himcyoo.files.wordpress.com/2012/03/3-buku-pendidikan-karakter.pdf., hlm. 17-18. (diunduh tanggal 24 Maret 2013).
25
27
Nilai-nilai tersebut merupakan satu kesatuan dari aspek coscience. Hal
ini menjadi pedoman untuk memahami alternatif dan menentukan pilihan oleh
individu, hal yang baik maupun buruk, hal yang benar maupun salah.
c. Compassion
Sama halnya aspek conscience, aspek compassion merupakan
kemampuan afektif, yang berupa tindakan konkret maupun batin disertai bela
rasa bagi sesama, dalam hal ini menjunjung tinggi sikap peduli terhadap
sesama/bela rasa. Pada aspek compassion juga terdapat nilai-nilai yang
merupakan kesatuan dari aspek compassion, dan harus ditanamkan pada siswa,
seperti;26
• Kerja sama
• Penghargaan pada sesama
• Kepedulian
• Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain
• Keterlibatan dalam kelompok
• Kemauan untuk berbagi
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, diharapkan pada
pembelajaran berbasis PPR dapat meningkatkan ketiga aspek tersebut melalui
multimedia pembelajaran. Tingkat competence (pengetahuan, ketrampilan,
sikap), conscience (suara hati), dan compassion (bela rasa) merupakan hal yang
ukur untuk menentukan keberhasilan penelitian ini.
Perlu diperhatikan pula beberapa faktor yang mempengaruhi
tercapainnya tingkat competence (pengetahuan, ketrampilan, sikap), conscience
(suara hati), dan compassion (bela rasa), antara lain kondisi fisiologis dan
psikologis. Pada kondisi fisiologis pada umumnya juga perlu diperhatikan
dalam proses pembelajaran jika seseorang belajar dalam keadaan jasmani yang
segar akan berbeda dengan seseorang yang belajar dalam keadaan sakit.
Sedangkan pada kondisi psikologis terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, antara lain :
1) Kecerdasan
Kecerdasan seseorang besar pengaruhnya dalam keberhasilan siswa
dalam mempelajari sesuatu.
2) Bakat
Selain kecerdasan, bakat juga besar pengaruhnya terhadap proses dan
hasil belajar siswa.
3) Minat
Jika seseorang mempelajari sesuatu dengan minat yang besar, maka
dapat diharapkan hasilnya akan lebih baik. Tetapi jika seseorang belajar
dengan tidak berminat maka hasil yang diperoleh kurang baik.
4) Motivasi
Motiasi adalah dorongan anak atau seseorang untuk melakukan sesuatu,
jadi motivasi adalah kondisi psikologi yang mendorong seseorang untuk
belajar. Pada dasarnya hubungan motivasi dengan belajar adalah bagaimana
cara mengatur motivasi yang dapat ditingkatkan supaya hasil belajar dapat
optimal sesuai dengan kemampuan individu.
5) Kemampuan Kognitif
Kemampuan kognitif atau kemampuan penalaran yang tinggi akan
29
kemampuan kognitif sedang. Konteks dan pengalaman dalam PPR diharapkan
akan mengembangkan aspek competence pada siswa, sedangkan aspek
conscience, dan compassion ditingkatkan melalui proses refleksi dan aksi saat
pembelajaran.
5. Multimedia Pembelajaran
Menurut sudut pandang para ahli media, sebelum berkembangnya dunia
Teknologi Informasi, bahwa multimedia dipandang sebagai suatu pemanfaatan
“banyak” media yang digunakan dalam suatu proses interaksi penyampaian
pesan dari sumber kepada penerima, dalam konteks pembelajaran yaitu antara
guru dengan murid.27 Namun, seiring dengan perkembangan dunia TI,
pemaknaan multimedia semakin bergeser pada aspek integrasi sistemdan
jaringan serta prosedur komunikasi dalam sebuah perangkat khusus, seperti;
televisi, radio, komputer, notebook, dll.
Multimedia terbagi menjadi dua kategori, yaitu multimedia linier dan
multimedia interaktif. Multimedia linier adalah sustu multimedia yang tidak
dilengkapi dengan alat pengontrol apapun yang dapat dioprasikan oleh pengguna. Sedangkan multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioprasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses
selanjutnya. 28
Adanya multimedia pembelajaran interaktif dapat membantu guru untuk
mendesain pembelajaran secara kreatif. Dengan desain pembelajarn yang
kreatif maka diharpkan proses pembelajaran menjadi inovatif, menarik, lebih
interatif, lebih efektif, kualitas belajar belajar siswa dapat ditingkatkan, proses
belajar mengajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dan sikap dan
27
Deni Darmawan, 2011, Teknologi Pembelajaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 31-32. 28
minat belajar belajar siswa dapat ditingkatkan. Multimedia dengan jenis ini
dinamakan juga dengan presentasi pembelajaran. Materi yang ditayangkan
tidak terlalu kompleks dan hanya menampilkan beberapa item yang dianggap
penting, baik berupa teks, gambar, video maupun animasi.
Sedangkan konsep dari pembelajaran pada hakikatnya adalah proses
komunikasi, penyampaian dari guru ke siswa. Pesan berupa isi atau ajaran yang
dituangkan ke dalam symbol-simbol komunikasi baik verbal, maupun
non-verbal.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa multimedia
pembelajaran dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan
dalam proses pembelajaran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan serta
dapat merangsang pilihan, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga
secara sengaja proses belajar terjadi.29
Dalam penelitian ini, mengapa perlu media dalam pembelajaran?
Pembelajaran yang digunakan adalah pedagogi reflektif, dalam hal ini siswa
diberikan konteks dan pengalaman. Dengan bentuk pembelajaran yang
dikemas secara menarik menggunakan multimedia diharapkan dapat membantu
menunjang dalam proses penanaman nilai-nilai karakter dan kemanusiaan yang
sangat banyak terkandung dalam pelajaran sejarah lewat pengalaman indrawi
mereka. Sehingga pada proses pengalaman siswa tersebut, siswa yang
mengalami sendiri memiliki daya tarik untuk melakukan proses pembelajaran
tersebut. Media yang digunakan adalah power poin yang didesain sedemikian
29
31
rupa menjadi media menyampaikan materi dan kuis, selain itu juga didukung
dengan film dokumenter.
B. Materi
Berdasarkan kesepakatan guru dengan peneliti, pada penelitian ini
menggunakan materi semester 2, “Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa
Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin” dalam Kompetensi Dasar
“Merekonstruksi Perkembangan Masyarakat Indonesia Sejak Proklamasi
Hingga Demokrasi Terpimpin” yang akan dilaksanakan di kelas XI IPA 1
SMA Pangudi Luhur St. Louis IX Sedayu. Adapun topik yang dipelajari:
1. Masa Demokrasi Parlementer
Masa demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang
mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang - Undang Dasar Sementara
tahun 1950. Pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan mentri ( kabinet )
yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada
parlemen ( DPR ).
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari
parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila
ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi
tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun
(1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu
setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
2. Pemilihan Umum 1955
Pemilu 1955 adalah pemilihan umumpertama di Indonesia dan diadakan
pada tahun 1955. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260,
sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR)
ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat
pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
a. Tahapan
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai
politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota
Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
b. Hasil
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia
mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi
33
kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia
39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat
Islam Indonesia (2,89 persen).
3. Kebijakan Ekonomi Nasional pada Masa Demokrasi Parlementer
Ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun
tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk
daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971)
menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi
ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi
0,35 (2006).
4. Mengatasi Pergolakan Dalam Negri
a. Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948
Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya dalam
Perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia dan menguntungkan
Belanda. Wilayah Republik Indonesia semakin berkurang,sehingga wilayah
indonesia menjadi sempit. Ditambah lagi dengan adanya Blokade Ekonomi
yang dilakukan oleh Belanda.
Untuk memperkuat basis massa FDR membentuk organisasi petani &
buruh selain itu memancing bentrokan dengan menghasut buruh. Puncaknya
ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delangu (Jawa Tengah) pada
tanggal 5 Juli 1948. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba dari
Internasional ke Indonesia dengan tujuan untuk merebut pimpinan atas negara
Republik Indonesia dari tangan kaum Nasionalis. Amir dan FDR segera
bergabung dengan Musso.
Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI.
Doktrin itu bernama “Jalan Baru”. Sesuai dengan doktrin itu,ia melakukan fusi
antara Partai Sosialis,Partai Buruh,dan lain-lain menjadi PKI. Ia bersama Amir
Syarifuddin mengambil alih pimpinan PKI baru tersebut.
b. Gerakan DI/TII
Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948
sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda,
ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut tidak
saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di
bidang militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi
nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang
merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif ideologi agama
sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan ini ternyata hanya
menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat.
Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber
35
5. Masa Demokrasi Terpimpin
Sejarah Indonesia (1959-1966) adalah masa di mana sistem "Demokrasi
Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah
sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada
pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep sistem Demokrasi
Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan
sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden
Soekarno:
a. Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa
demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
b. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet
tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
c. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno
diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan
pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante. Hasil
pemungutan suara menunjukan bahwa :
b. 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit
yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
a. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
b. Berlakunya kembali UUD 1945
c. Dibubarkannya konstituante
d. Pembentukan MPRS dan DPAS
6. Perjuangan Merebut Irian Barat
Dalam menghadapi masalah Irian Barat tersebut Indonesia mula-mula
melakukan upaya damai, yakni melalui diplomasi bilateral dalam lingkungan
ikatan Uni Indonesia-Belanda. Akan tetapi usaha-usaha melalui meja perundingan
secara bilateral ini selalu mengalami kegagalan. Setelah upaya-upaya tersebut
tidak mambawa hasil maka sejak tahun 1953 perjuangan pembebasan Irian Barat
mulai dilakukan di forum- forum internasional, terutama PBB dan forum-forum
solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia-Afrika.
Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno dalam suatu rapat
raksasa di Yogyakarta mengeluarkan komando yang terkenal sebagai Tri
Komando Rakyat (Trikora) yang isinya sebagai berikut.
a. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
37
Dengan dikeluarkannya Trikora maka mulailah konfrontasi total terhadap
Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Adapun tugas pokok dari
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat ini adalah pengembangan
operasi-operasi militer dengan tujuan pengembangan wilayah Irian Barat ke dalam
kekuasaan negara Republik Indonesia. Sebagai Panglima Komando Mandala
adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Dari materi tersebut, pada aspek conscience (suara hati) dan compassion
(bela rasa) akan ditekankan pada rasa berdemokrasi siswa dalam lingkungannya.
Karena dari materi berdemokrasi ini, para siswa diharapkan memiliki kemampuan
untuk menemukan posisi mereka di masa sekarang lewat nilai kebebasan,
keterlibatan dalam kelompok, serta menghargai perbedaan.
C. Kaitan antara PTK-PPR-Multimedia dalam pembelajaran sejarah
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan
belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam
sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru dan dilakukan
oleh siswa, jadi dalam hal ini siswa juga turut berperan aktif dalam pelaksanaan
PTK. Tugas guru dalam hal ini adalah memberikan bantuan dan arahan sebagai
fasilitator dan pembimbing. Dalam PPR, untuk menumbuhkembangkan pribadi
siswa menjadi pribadi kemanusiaan, siswa diberi pengalaman akan suatu nilai
kemanusiaan, kemudian siswa difasilitasi dengan pertanyaan agar merefleksikan
pengalaman tersebut, dan berikutnya difasilitasi dengan pertanyaan aksi agar