BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kubler Ross’s Stage Of Dying
Kubler Ross (2009) membagi respon seseorang terhadap kematian menjadi lima tahapan, yaitu:
1. Denial atau isolation
Seseorang yang akan menghadap kematian atau seseorang dengan penyakit terminal illness menolak bahwa kematian akan terjadi dalam hidupnya. Ia akan berkata “kematian tidak akan terjadi dalam hidupku, hal itu tidak mungkin terjadi”. Hal tersebut merupakan reaksi yang terjadi pada individu dengan penyakit yang dekat dengan kematian. Denial merupakan suatu respon kebenaran yang dinyatakan secara terus terang oleh pasien diawal terkena penyakit dan merupakan respon implisit yang menjadi kesimpulan tersendiri bagi pasien.
Diakui atau tidak diakui oleh pasien, reaksi pasien menunjukkan makna yang sama, pasien akan meminta untuk melakukan pemeriksaan dan pemeriksaaan ulang, percaya dengan diagnosa awal namun mencari informasi lain berharap diagnosa tersebut salah dan di waktu yang sama tetap menjalani pengobatan. Denial dialami oleh semua pasien bukan hanya ketika diawal diagnosa namun terus dari waktu ke waktu. Denial berfungsi sebagai penyangga bagi pasien setelah mendengar berita yang mengejutkan.
Kebanyakan pasien tidak secara intensif merespon penyakit ataupun kematian dengan denial. Pasien dengan ringkas berbicara kenyataan mengenai kondisi mereka, dan dengan cepat mengatakan ketidakmampuan mereka menghadapi kenyataan. Penekanannya adalah denial akan tetap dialami oleh pasien baik diawal mengetahui bahwa dia terkena penyakit serius ataupun ketika mengarah ke kematian.
2. Anger
Ketika pasien sulit mengontrol denial yang dialaminya maka hal tersebut akan mengarah ke kemarahan. Dengan kata lain denial biasanya mengarah kepada munculnya reaksi marah, dendam, maupun kecemburuan. Biasanya seseorang dengan terminal illness akan bertanya “mengapa harus saya yang mengalaminya”. Individu akan sulit untuk menahan amarahnya dan melampiaskan kepada perawat, anggota keluarga, dokter atau ahli kesehatan, bahkan Tuhan.
Dimanapun pasien berada akan terdengar keluhan dari pasien tersebut. Dia akan menaikkan nada suaranya, membuat permintaan, mencari dan meminta perhatian. Pasien berharap hal tersebut akan membuat suatu pengakuan bahwa dia masih hidup dan jangan ada yang melupakan dia. Semua orang bisa mendengar suaranya dan dia belum mati. Pasien yang diberikan perhatian dan pengertian akan segera menurunkan intonasi suaranya dan meredam kemarahannya.
3. Bargaining
Individu dengan terminal illness akan memikirkan bahwa kematian bisa ditunda. Ia akan mencoba bernegoisasi dengan Tuhan mencoba untuk menunda kematiannya. Seseorang akan berkata “ya saya akan mati, tapi…”.
Jika pasien tidak dapat menerima kenyataan dan kesedihan yang dialaminya dan marah kepada Tuhan juga kepada orang disekitarnya, maka dia akan mencoba mengatakan “ jika Tuhan memang akan mengambil saya dari dunia ini dan Tuhan mengabaikan kemarahan saya, mungkin Tuhan mau mengabulkan permintaan saya jika saya memintanya dengan baik.
Kejadian tersebut sering kita alami, misalnya ketika orang tua tidak memberikan ijin kepada anaknya untuk menginap di rumah temannya. Bisa saja anak tersebut marah, mengurung diri di kamar, tidak mau makan. Namun, kemudian anak tersebut akan berpikir jika saya membantu orang tua saya maka saya akan diberikan ijin menginap di rumah teman saya. Pasien terminal illness juga melakukan siasat yang sama seperti anak tadi. Dari pengalaman masa lalu pasien belajar bahwa akan ada penghargaan dari berperilaku baik.
Bargaining mengarah kepada suatu usaha untuk menunda sesuatu terjadi, hal tersebut berkaitan dengan harga dari berperilaku baik, dan merupakan sebuah janji pasien yang implisit bahwa pasien akan berbuat kebaikan jika hal buruk ditunda terjadi dalam hidupnya. Namun, banyak pasien tidak menjaga janjinya. Mereka seperti anak kecil yang berjanji tidak akan berkelahi dengan adiknya jika orang tuanya membiarkan dia bermain, namun anak kecil tersebut tetap berkelahi dengan adiknya.
Seiring berjalannya waktu pasien akan berjanji bahwa ketika ia sembuh ia akan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya, mendekatkan diri kepada Tuhan dan melakukan pelayanan sosial kepada orang lain.
4. Depression
Ketika pasien dengan terminal illness tidak dapat mengontrol penolakan terhadap penyakitnya, ketika kondisi fisiknya semakin memburuk dan semakin lemah, dia tidak dapat lagi tersenyum menghadapi kenyataan yang dialaminya. Pasien menjadi pasrah ataupun mati rasa, kemarahan yang dialaminya akan digantikan dengan rasa kehilangan yang besar. Seseorang akan menerima bahwa kematian itu adalah pasti. Periode ini seseorang dengan terminal illness akan terlihat bahwa dia depresi dan mempersiapkan duka cita yang akan datang. Dia akan lebih banyak berdiam diri, menolak orang-orang yang ingin mengunjunginya, menghabiskan waktu menangis dan berduka.
Ada dua jenis depresi yang dialami oleh pasien, reactive depression dan preparatory depression. Depresi yang pertama, pengetahuan seseorang tidak membuat dia kesulitan dalam mengetahui penyebab mengapa dia depresi dan mengurangi rasa bersalah atau rasa malu yang tidak realis yang berhubungan dengan depresi. Kedua, depresi bukan terjadi dari hasil kejadian masa lalu namun adalah pertimbangan masa yang akan datang. Ketika seseorang sedih kita berusaha menghiburnya, mengatakan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, melihat ke masa depan, ke jalan keluar dari permasalahan, atau suatu hal yang positif lainnya.
Ketika depresi digunakan sebagai cara untuk mempersiapkan diri ke masa yang akan datang dalam arti siap kehilangan segala yang dicintai, maka dia mempersiapkan diri menerima segala konsekuensi yang akan terjadi dalam hidupnya.
Pasien yang akan kehilangan segalanya dan orang-orang yang dicintainya, jika dia mencoba mengekspresikan rasa duka yang dialaminya maka pasien tersebut akan dengan mudah menerima kematian dan dia akan bahagia dengan orang-orang yang ada bersamanya saat dia mengalami depresi tanpa harus menyuruh pasien untuk tidak sedih.
5. Acceptance
Pasien yang masih memiliki banyak waktu (belum menghadap kematian) dan mendapat pertolongan perhatian dalam masa-masa sulit yang dialaminya, dia akan masuk ke masa diamana dia tidak marah ataupun depresi dengan takdir yang akan dihadapinya. Pasien akan mampu mengekspresikan perasaanya, rasa isi terhadap kehidupan dan kesehatan, kemarahannya ketika tidak sanggup menghadapi kenyataan, dan lainnya. Dia akan memiliki waktu tidur yang berkualitas dibandingkan saat dia dalam masa depresi. Acceptance bukanlah akhir dari kebahagiaan, ketika rasa sakit telah hilang maka akan datang masa menuju tempat peristirahatan terakhir sebelum melakukan perjalanan panjang. Dalam masa ini seseorang akan mengalami kedamaian hati dan menerima takdir kematian. Beberapa kasus mengatakan bahwa, banyak individu dengan terminal illness akan memutuskan untuk sendiri. Perasaan ataupun fisik yang sakit pada masa ini tidak akan menjadi suatu masalah bagi individu tersebut. Penerimaan akan kematian merupakan akhir dari pergumulan individu sebelum akhirnya mati. Pasien akan mengurangi aktivitasnya, mengurangi jadwal nonton, lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal dan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan orang disekitarnya.
Hanya sedikit pasien yang berjuang sampai akhir, yang terus berharap bahwa harapan akan tetap ada yang membuat pasien mampu masuk ke tahap aceeptance. Banyak pasien yang mengatakan bahwa mereka tidak mampu lagi bertahan. Ketika mereka berhenti berjuang disaat itu hari juga akan berhenti bagi mereka. Semakin pasien menolak kematian maka akan semakin sulit bagi pasien untuk menerima kematian dengan damai dan hormat.
B.Pasien
1. Pengertian Pasien
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring 2015), pasien merupakan seseorang yang sakit (yang dirawat dokter) ataupun penderita (sakit), yang memperoleh pelayanan kesehatan tertentu. Undang-undang RI No. 29 tahun 2004 menyatakan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
C.Guillain Barre Syndrome (GBS)
1. Pengertian Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sakit saraf peripheral akut yang terus berevolusi setiap hari hingga berminggu-minggu. Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan sebuah kondisi yang mengakibatkan terjadinya degenerasi saraf yang meluas dari ke bagian kepala hingga keseluruh tubuh (Parry & Steinberg, 2007).
Beberapa negara yang ada di Eropa, Amerika Utara, dan di negara berkembang lainnya, GBS dikenal sebagai sakit saraf demyelinating, atau yang dikenal sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). GBS bentuk ini menyerang myelin secara langsung yang mengarah pada short circuit yang mengakibatkan pesan elektrik tidak mampu dibawa dari otak ke seluruh tubuh. Pada beberapa kasus GBS, serangan yang terjadi terbatas pada motor axon yang mengontrol aktifitas otot dan disebut dengan Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN). Ketika axon GBS mempengaruhi baik fungsi motor maupun sensori disebut dengan Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN), dan tipe ini merupakan tipe yang lebih parah dari AMAN (Parry & Steinberg, 2007).
GBS juga merupakan ganguan autoimmune. Sistem imun yang diciptakan untuk berperang melawan virus maupun bakteri yang berasal dari luar tubuh. Meskipun demikian, sistem imun bisa berputar arah dan balik menyerang tubuh, yang mengakibatkan autoimmune disease. Sistem imun bertanggung jawab terhadap serangan sel darah putih yang disebut dengan limposit. Sel tersebut terlibat dalam inflammation, yang disebut dengan inflammantory cells. Pada GBS sistem imun menyerang myelin yang mengakibatkan demyelination dan inflammation. Gangguan yang mirip dengan GBS namun berbeda dalam hal cepatnya perkembangan kronis disebut dengan Chronic Inflammantory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP) (Parry & Steinberg, 2007).
2. Efek Guillain Barre Syndrome (GBS)
GBS merupakan penyakit yang langka. Pada pemeriksaaan awal, banyak dokter yang salah diagnosa karena belum pernah menangani penyakit ini. Karakteristik yang paling terlihat pertama kali dari penyakit ini adalah terjadinya pelemahan yang diawali pada bagian tungkai, kemudian masuk ke area tungkai atas dan area otak. Simtom pertama yang terjadi ketika seseorang terserang GBS adalah sensasi abnormal, biasanya seperti ditusuk jarum atau perasaan geli pada bagian kaki dan tangan (Parry & Steinberg, 2007).
a) Muscle Weakness
Pelemahan otot merupakan primary simtom pada GBS. Pelemahan ini terjadi dengan cepat, dari hari ke minggu, dan pada awalnya mempengaruhi tungkai. Pelemahan otot terjadi karena disebabkan oleh rusaknya saraf motor yang memiliki perjalanan dari otak ke otot dan hal ini merupakan dampak klinis yang paling terlihat pada penderita GBS. Terjadinya pelemahan otot dimulai dari tungkai secara simetris—yang mempengaruhi kedua sisi tubuh—meskipun perbedaan dari kedua sisi tubuh dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan penyakit stroke, yang hanya berdampak pada salah satu sisi tubuh saja. Melemahnya otot ini mempengaruhi pernapasan, cara bicara, dan juga ketika menelan.
Selain itu, otot kepala dan otot leher juga melemah yang juga berdampak pada otot wajah. Dampak melemahnya otot wajah ini membuat setengah dari pasien GBS sulit untuk tersenyum dan lebih sering menutup matanya. Pada kasus yang parah, seorang pasein GBS dapat kehilangan seluruh otot pergerakannya sehingga mengakibatkan pasien tidak bisa berkomunikasi.
b) Abnormal sensation
Meskipun melemahnya otot merupakan dampak yang paling menonjol pada GBS, abnormal sensation merupakan gejala awal yang timbul yang terjadi dalam hitungan jam atau hari sebelum melemahnya otot terjadi. Abnormal sensation ini juga sering disebut dengan paresthesias. Contohnya adalah perasaan seperti ditusuk jarum ataupun perasaan geli yang biasanya terjadi pada tumit kaki, kaki dan juga jari. Hilangnya sensasi juga terjadi pada GBS, meskipun hanya sedikit yang mengalaminya. Beberapa orang dengan GBS merasa khawatir ketika mereka tidak bisa merasa ketika mereka sedang tidur di tempat tidur atau tidak bisa merasakan suhu lantai ketika mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Hal tersebut akan terjadi pada pasien GBS.
3. Penyebab Guillain Barre Syndrome (GBS)
GBS merupakan penyakit yang langka yang dapat menyerang siapa saja di seluruh dunia. Di Amerika Utara terdapat 1.5 sampai 2.0 kasus GBS yang terjadi untuk setiap 100.000 orang pertahunnya. GBS menyerang baik pria maupun wanita dari segala usia, umumnya usia dua tahun setelah kelahiran, kemudian cenderung meningkat sepanjang kehidupan (Parry & Steinberg, 2007).
GBS merupakan penyakit autoimmune yang menyerang saraf peripheral. Fungsi sistem imun adalah menjadi penjaga terhadap serangan dari luar tubuh, seperti virus dan bakteri. Pada penyakit autoimmune, sulit untuk dijelaskan, terjadi kesalahan terhadap respon, sehingga sistem imun menyerang tubuh, menyebabkan munculnya penyakit (Parry & Steinberg, 2007).
Banyak jenis infeksi yang mampu memicu terjadinya serangan GBS, umumnya adalah infeksi sistem pernapasan yang disebabkan oleh dingin atau influenza, gejalanya seperti demam, batuk, maupun nyeri tubuh. Virus juga dapat memicu terjadinya GBS, seperti Epstein Barr Virus. GBS juga berasosiasi dengan HIV, hal tersebut terjadi pada tahap awal HIV, sebelum sistem imun membahayakan dan tak lama setelah gejala awal muncul. Vaksinasi juga memicu serangan GBS, pemberian vaksin yang dilakukan di Amerika pada tahun 1976, menyebabkan meningkatnya jumlah kasus GBS dan tak ada vaksin yang secara konsisten berasosiasi dengan GBS (Parry & Steinberg, 2007).
4. Diagnosa Guillain Barre Syndrome (GBS)
Diagnosa Guillain Barre Syndrome (GBS) dilakukan berdasarkan karakteristik fitur klinis yang secara akut menyebabkan melemahnya otot tubuh dan kehilangan refleks yang diikuti dengan terjadinya penyakit seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas dan diare. Diagnosa yang umum digunakan adalah penelitian dan pemeriksaan electrophysiologic pada cairan cerebrospinal yang didapatkan melalui spinal tap atau cairan otak. Tes tersebut menghasilkan konfrimasi positif dengan asumsi klinis. Jika hasil tes tersebut masih diragukan maka perlu dilakukan tes dengan alat yang berbeda agar tidak terjadi kesalahan diagnosa dimana penyakit lain dianggap sebagai GBS (Parry & Steinberg, 2007).
a) Electromyography (EMG)
EMG bukanlah tes utama dalam mendiagnosa GBS, namun EMG merupakan alat pelengkap yang penting untuk melihat sejauh mana tingkat kerusakan aksonal. EMG ini memberikan informasi penting mengenai prognosis.
Jarum pada EMG akan dimasukkan ke tubuh bagian kaki kemudian jarum ini akan mendeteksi aktivitas otot secara elektrikal. Mesin EMG akan mengubah sinyal menjadi visual dan dapat didengar. Jarum akan disuntikkan secara perlahan ke otot tubuh yang kemudian bergerak dengan cepat sehingga dapat ditemukan beberapa area sebagai titik-titik sampel. Aktivitas listrik tidak akan terjadi bila dalam keadaan normal, pasien harus dalam keadaan santai. Ketika pasien dalam keadaan santai maka kontraksi otot akan melemah sehingga serat-serta otot menjadi aktif dan aktivitas elektrik dalam serat otot dapat direkam dan dianalisa (Parry & Steinberg, 2007).
Ketika otot dalam keadaan rileks maka aktifitas elektrik yang abnormal akan menunjukkan adanya kerusakan pada otot. Aktivitas eletrik abnormal ini disebut fibrilasi. Aktivitas eletrikal abnormal ini tidak secara langsung tampak pada orang yang baru terkena GBS, itulah sebabnya mengapa orang yang didiagnosa GBS diminta untuk melakukan tes EMG untuk kedua kalinya (Parry & Steinberg, 2007) .
Pentingnya mempelajari GBS dengan baik akan memberi kemudahan dalam mendiagnosa dan untuk mencegah kesalahan diagnosa. Pada awal gejala mungkin terdapat saraf yang rusak parah yang dapat dideteksi melalui alat ini. Ketika seseorang didiagnosa GBS adalah baik untuk terlebih dahulu mempelajari beberapa saraf, terutama saraf normal, hal ini untuk membantu mengenali saraf yang rusak dan menemukan kelainan yang terjadi pada saraf. Menemukan satu saraf yang dianggap sebagai kerusakan akibat GBS adalah baik namun hal masih skeptic, masih banyak saraf lain yang menjadi kekhasan dalam GBS. Fitur paling
penting dalam EMG adalah adanya perubahan karakteristik saraf terus berkebang, namun hal ini tidak akan terlihat jika tes dilakukan hanya sekali pada awal GBS (Parry & Steinberg, 2007).
b) Cerebrospinal Fluid (CSF) Testing
Fungsi lumbal adalah teknik dimana jarum halus dimasukkan ke punggung bawah dengan anestesi lokal, dan beberapa sendok teh cairan yang menggenangi otak dan sumsum tulang belakang ditarik. Ada kekhawatiran besar mengenai prosedur ini, tetapi biasanya sederhana dan aman. Teknik ini dilakukan dengan menyisipkan jarum, singga prosedur ini tidak nyaman bagi pasien. Sekitar 25 persen orang yang menjalani prosedur ini mengalami beberapa sakit kepala setelah cairan diambil, namun untuk kasus berat hanya 5 persen (Parry & Steinberg, 2007).
Kelainan karakteristik yang tampak pada CSF dalam kasus GBS adalah peningkatan konsentrasi protein diluar jumlah produksi normal, yang disebut dengan albuminocytologic, hal dijelaskan hampir 100 tahun yang lalu oleh Guillain, Barré, dan Strohl . Biasanya, CSF mengandung 15 sampai 60 miligram protein untuk setiap 100 mililiter cairan (dinyatakan sebagai mg/dl). Jumlah ini akan tinggi pada beberapa penderita GBS. Konsentrasi protein biasanya di atas 100 mg/dl dan mungkin memang sangat tinggi, kadang-kadang lebih dari 1.000 mg/dl. Setelah tingkat protein di atas 150 mg/dl, CSF yang biasanya jernih, menjadi kuning samar-samar. Pada tahap awal penyakit ini kadar protein dalam tubuh masih normal tetapi hampir selalu meningkat pada akhir minggu pertama. Jika protein normal pada saat uji cairan otak pertama, mungkin perlu untuk
mengulang tes pada minggu kemudian jika diagnosis tetap diragukan (Parry & Steinberg, 2007).
CSF yang normal mengandung sebuah sel darah putih, biasanya tidak lebih dari lima sel per mililiter cairan. Laporan awal dari GBS menekankan adanya kehilangan sejumlah sel, dan itu sering terjadi. Dengan kata lain, jumlah sel tidak meningkat di atas normal. Namun, peningkatan kecil jumlah limfosit dapat dilihat, terutama di awal munculnya penyakit. Kriteria diagnostik yang dikembangkan melalui National Institutes of Health memungkinkan sebanyak 50 sel/ml CSF. Kedua spinal tap mungkin akan dianjurkan jika jumlah sel limfosit dalam CSF adalah di atas 20 sel / ml (Parry & Steinberg, 2007).
GBS sering dikaitkan dengan infeksi virus, yang dapat menyebabkan peradangan pada meninges yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang, yang menyebabkan sel-sel inflamasi tumpah ke CSF. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa beberapa limfosit dapat dilihat pada awal tahap GBS (Parry & Steinberg, 2007).
D.Stage of Dying pada Pasien GBS (Guillain Barre Syndrome)
Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan penyakit kronis yang jarang diderita oleh pasien. Penyakit ini berbeda dengan penyakit kronis lainnya. Pada beberapa penyakit kronis lain telah ditemukan pengobatan yang dapat mendukung penyembuhan si pasien, sedangkan pada penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS), belum ditemukan alternatif pengobatan yang mendukung pemulihan
pasien. Misalnya, untuk alternatif pengobatan kanker telah ditemukan, hal ini akan mengurangi ketakutan akan kematian pada pasien dengan penyakit kanker.
Setiap pasien memiliki respon yang berbeda saat diperhadapkan dengan penyakit yang dekat dengan kematian. seperti yang dijelaskan oleh Kubler Ross bahwa pasien dapat merepon penyakit maupun kematian dengan lima cara atau tahapan. Pertama, denial, pasien akan terkejut jika mendengar bahwa dia terkena penyakit serius dan mematikan. Hal ini dapat membuat pasien sulit menerima kenyataan dan menolak bahwa hal tersebut akan terjadi padanya. Penolakan yang dilakukan oleh pasien dapat berdampak pada kemarahan (anger). Pasien akan bertanya-tanya mengapa dia mengalami kejadian yang tidak baik tersebut. Kemarahan yang dialami pasien bisa saja ke diri sendiri, ke orang lain maupaun ke Tuhan.
Pasien juga akan mencoba bernegoisasi dengan Tuhan, jika Tuhan memberikan dia kesempatan untuk sembuh atau waktu lebih untuk hidup maka dia akan memberikan diri untuk ikut dalam pelayanan rohani maupun pelayan sosial, dan berubah menjadi lebih baik lagi. Namun dalam masa penantian bisa saja harapan pasien tidak terjadi, hal ini dapat menimbulkan depresi (depression), pasien akan bertanya mengapa sangat lama dia dalam kondisi tidak baik. Tidak banyak pasien yang berjuang untuk menerima (acceptace) takdir bahwa dalam waktu dekat dia akan meninggal, namun bagi pasien yang menerima takdir kematian dia akan lebih damai dan akan lebih siap menghadapi kematian (Ross, 2009).
PARADIGMA PENELITIAN
Pasien GBS
Denial Anger Bargaining Depression Acceptance
•Menolak keadaannya •Menolak kematian akan terjadi •Muncul reaksi marah,dendam,cemburu •Bertanya-tanya mengapa
harus saya yang mengalami •Kemarahan pasien
dilampiaskan kepada caregiver, keluarga, bahkanTuhan
Pasien berpikir kematian tidak dapat dihindari Bernegosiasi dengan
Tuhan
Berjanji akan berubah menjadi lebih baik ketika diberikan kesembuhan Banyak berdiam diri Menolak orang yang berkunjung Pasrah Menerima bahwa kematian itu pasti
Pasien tidak marah dengan keadaannya dan sudah menerima
kondisinya
Menerima kematian akan datang
Mampu mengekspresikan perasaannya
Mengalami kedamaian hati
Memiliki waktu tidur yang berkualitas