• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN Penelitian Lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PEMBAHASAN Penelitian Lapangan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

V. PEMBAHASAN

5.1. Penelitian Lapangan

5.1.1. Penelitian di Rumah Pototlg Hewan

Dari pengamatan pada babi-babi yang disembelih di RPH Denpasar terhadap kemungkinan adanya infeksi alami atau kehadiran sistiserkus Taenia saginata taiwan- ensis di Bali, telah ditemukan adanya bintik-bintik putih pada hati, yang diduga keras sebagai kista yang dimaksud. Sedangkan pada sapi, yang juga diamati selama penelitian berlangsung, jejas-jejas seperti itu tidak ditemukan.

Lokasi kista yang ditemukan pada 158 babi yang diamati, adalah pada bagian permukaan dan parensim hati. Kista yang berbentuk .bintik-bintik kecil berwarna kekuningan atau putih susu itu, diameternya antara 1.5

-

6 mm. Ukuran kapsul kista yang matur adalah sekitar 3 mm, sedangkan yang degenerasi dan kalsifikasi, rata- rata berukuran 3,5 mm dan 3,7 mm.

Hasil pengamatan tersebut di atas sangat mirip dengan temuan Eom dan Rim (1 992a). Ketika Eom dan Rim ( 1992a) meneliti infeksi alami metacestoda Taenia sagi~ata ruiwanensis pada babi-babi yang disembelih di RPH Cheongju City, Pro- pinsi Chungbuk, Korea, juga menemukan adanya bintik-bintik putih kekuningan pada permukaan hati babi. Adanya lesi seperti ini, merupakan ha1 yang menciri pada infeksi sistiserkus Taeniu saginata taiwanensis. Metacestoda yang hidup, pada peneli tian yang mereka lakukan, dilaporkan berukuran rata-rata 3,20

mm,

sedangkan yang mengalami degenerasi rata-rata 4,98 mm dan yang telah mengalami kalsifikasi rata-rata berukuran 3,67 mm. Menurut Fan (1988) sistiserkus Taenia saginata taiwunensis mempunyai ukuran panjang 1290 pm dan lebar 1 160 pm.

(2)

Pada penelitian lapangan ini, tidak satupun dari 241 ekor sapi yang diperiksa di RPH Denpasar, memperlihatkan kelainan pada organ hatinya, khususnya yang menjurus pada adanya sistiserkus. Fenomena ini disamping sebagai pertanda bahwa sapi-sapi tersebut sehat, dalam hubungannya dengan infeksi metacestoda Taenia saginata taiwanensis, juga merupakan ha1 yang wajar, sebab menurut Fan (1988); Fan et al. (1990a; 1990b; 19929; Geerts et al. (1992), inang antara alami m n i a saginatu tuiwanensis adalah babi, sehingga metacestoda cacing tersebut hanya ditemukan pada hati babi. Namun secara eksperimental Fan et al. (1990b) melapor- kan bahwa hati sapi juga dapat terinfeksi oleh kista ini. Pada penelitiannya, dengan menginfeksikan telur Tmnia saginata dari Thailand (Strain Chiengmai), yang diduga sama dengan Tmnia saginata tuiwanensis, diperoleh hasil bahwa disamping 6 ekor babi berhasil terinfeksi oleh 16 kista pada organ hatinya, ternyata 13 kista yang sudah mengalami degenerasi dan kalsifikasi, juga ditemukan pada hati dua ekor sapi yang digunakan sebagai hewan percobaannya. Selanjutnya menurut Fan et al. (1992f), telah dilaporkan bahwa hewan-hewan yang dapat terinfeksi

secara

eksperi- mental oleh kista ini adalah babi, sapi, kambing dan kera.

Mengingat temuan ini dalam beberapa hal, sangat mirip dengan temuan- temuan Fan (1988) dan Eom dan Rim (1992a) mengenai sistiserkus m n i a saginata taiwanensis, dan dari fenomena yang berkaitan dengan transmisi sistiserkosis / tae- niasis serta kebiasaan penduduk yang gemar makan daging babi yang dimasak seten- gah matang, serta masih buruknya sanitasi pembuangan kotoran manusia di Bali

(Widjana dan Kapti, 1983; Warudju, 1988; Bakta et al., 1993; Widjana et al.,

1993),

yang hampir mirip dengan keadaan di 'hiwan

dan

negara-negara

Asia

lainnya (Fan et ul., 1992d), maka penulis menduga sementara bahwa bintik-bintik kecil berwarna putih kekuningan yang ditemukan pada hati babi seperti dilaporkan di atas,

(3)

adalah kista dari cacing Zlwnia saginta taiwanensis, dan bukan kista Taenia solium, sebab hati bukanlah merupakan tempat predileksi utama bagi kista Taenia solim. Dengan demikian penulis juga menduga bahwa sistiserkus / cacing Taenia saginta

taiwanensis ditemukan di Bali. Temuan ini dapat d i w untuk menjelaskan adanya hubungan antara kasus Taeniu saginata yang cukup dominan di Bali, sementara penduduknya lebih banyak mengkonsumsi daging babi dibandingkan daging sapi.

5.2.1. Deskripsi Bentuk dan Ukuran Kista yang Ditemukan pada Hati Babi yang Dimbelih di RPH Denpasar

Dari hasil pemeriksaan laboratonum terhadap kista yang berhasil dikumpul- kan pada pemeriksaan lapangan di RPH Denpasar, ternyata hanya satu dari 158 kista (0,63 %) yang ditemukan hidup. Sebagian besar kista yang ditemukan itu telah mati (99,37%), yang dapat diklasifikasikan sebagai degenerasi (66,46%) dan kalsifikasi (32,91%). Malahan pada penelitian Eom dan Rim (1992a). hasilnya lebih rendah lagi, hanya 0,012 % (3 dari 25.358) hati babi yang diperiksa di

RPH

Cheongju City, Chungbuk, Korea yang mengandung kista matur. Kebanyakan metacestoda yang ditemukan pada penelitian mereka, juga telah mengalami degenerasi (12,9%) dan kalsifikasi (87,196).

Dari satu kista yang ditemukan hidup tersebut, ternyata scolexnya memiliki rostellum yang dipersenjatai dua baris hit-kait yang tampak seperti Gambar 4 di depan. Adanya kait-kait yang berukuran kecil pada rostellum, menurut Bowles dan

McManus (1994) merupakan ciri morfologi yang sangat khas, yang membedakan sistiserkus Taenia saginata taiwanensis / Taenia asiatica dari sistiserkus Taenia

(4)

saginata taiwanensis memiliki kait yang rudimenter. Fan et al. (1992a) misalnya, tidak menyebutkan secara tegas bahwa kista Twnia suginuta (Strain Filipina) memi- liki kait-kait yang rudimenter. Pada hasil penelitian tersebut, hanya dijelaskan bahwa pola kait pada scolex yang diperolehnya, sama dengan pola kait metacestoda

Taenia suginata taiwanensis, yang ukurannya sangat kecil. Demikian juga dengan laporan yang Iainnya (Fan et al., 1989b; 1990b), hanya menyebutkan bentuk kait yang sangat kecil. Tetapi peneliti yang sama (Fan et al., 1990a) telah melaporkan bahwa kista yang diperoleh dari hati babi yang diinfeksi telur lhenia saginata (Strain %wan), memiliki rostellum dengan kait yang rudimenter. Kemudian Eom dan Rim (1992a), melaporkan bahwa hanya 8 dari 47 metacestoda yang diamati memiliki kait rudimenter. Fan (1988) bahkan melaporkan, kait-kait kista lbenia saginata taiwan- ensis yang berada pada lingkaran dalam (inner row) rata-rata berjumlah 13 buah. Hal ini sesuai dengan temuan kami yakni jumlah kait metacestoda tersebut masih bisa dihitung, yaitu sebanyak 14.

5.2.2. Penelitian Serologis dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Dari hasil pemeriksaan serologis dengan ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang bersirkulasi dalam serum babi, baik yang diperoleh dari babi-babi yang disembelih di RPH Denpasar maupun yang berasal dari daerah-daerah endemis taeniasis di Bali, menunjukkan beberapa dari serum tersebut positif. Jumlah sero- positif dari pemeriksaan serum babi yang berasal dari RPH, yaitu serum dari babi dengan lesi pada hati adalah 12,1% dan serum dari babi tanpa lesi adalah 12,7 %

(Tabel 5). Disamping itu, sebanyak 8 % seropositif berasal dari babi-babi yang dipelihara di daerah-daerah endemis taeniasis di Bali. Temuan ini, merupakan bukti-

(5)

bukti secara tidak langsung adanya infeksi metacestoda Taenia saginata taiwaneneis di Bali. Tidak seluruh serum yang berasal dari babi dengan lesi pada hatinya, memperli hatkan seropositi f lewat pemeriksaan ELIS A. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua lesi yang diduga kista tersebut, adalah metacestoda Taenia saginata taiwanensis. Hasil ini sejalan dengan hasil pemeriksaan histopatologis yang mem- perlihatkan bahwa lesi yang meragukan jumlahnya 13.58%; dan sebanyak 7,162 adalah negatif. Kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi, sebab menurut Georgi dan Theodorides (1980), kadang-kadang larva cacing lainnya, seperti Stephanurus dentatus, bisa juga menembus hati dan dapat berkembang menjadi kista di sana. Pada pemeriksaan sepintas, kista seperti ini, bisa kelihatan sama dan dapat dikeliru- kan dengan kista Taenia saginatu taiwanensis. Migrasi larva Ascaris s u m ke hati babi, dapat pula menyebabkan timbulnya lesi berupa bintik-bintik kecil berwarna putih susu (Georgi dan Theodorides, 1980; Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1 990), yang secara sepintas, mi rip dengan kista Taenia saginata taiwanensis. Dilain pihak, dengan pemeriksaan ELISA diperoleh seropositif sebanyak (12,7 %), dari babi-babi tanpa lesi pada hati. Hal ini menggambarkan bahwa babi-babi tersebut tidak seiuruhnya terbebas dari infeksi kista Taenia. Keadaan seperti ini dapat terja- di, karena seperti telah dikemukakan pada Bab Materi dan Metode di depan, pemerik- saan hati babi di RPH hanya dilakukan pada bagian permukaan hati saja. Bila keadaan meragukan, b a n dilakukan pemeriksaan dengan sedikit mengiris hati terse- but setebal f 2

mm.

Padahal menurut Fan et ul. (1992f); Geerts et al. (1992) metacestoda Taenia saginata taiwaneneis, justeru lebih banyak ditemukan pada bagian dalam parensim hati.

(6)

Serum babi yang berasal dari daerah-daerah endemis taeniasis di Bali, juga menunjukkan seropositif sebanyak 8 % (911 13). Serum-serum yang positif ini, ternyata berasal dari babi-babi yang dipelihara oleh masyarakat di kotamadya Denpasar. yaitu desa Bekul (dua ekor) dan desa Padangsambian (4 ekor); serta dari kabupaten Tabanan, yaitu dari desa Kerambitan (3 ekor). Menurut Widjana (se- orang dokter manusia

-

komunikasi pribadi), di desa-dew tersebut, pada paruh waktu dekade terakhir ini

-

saat penelitian berlangsung

-

memang dilaporkan masih ditemu- kan adan ya kasus taeniasis. Kasus taenisasis di desa Padangsambian, pernah dila- porkan oleh Rasidi et al. (1981 ) dengan prevalensi mencapai 3,3 56. Sementara itu, laporan terakhir yang disampaikan oleh Sutisna (1994), mengungkapkan bahwa dua dari enam kasus sistiserkosis yang ditemukan pada masyarakat di Bali, ternyata penderitanya bertempat tingal di Denpasar.

Namun pemeriksaan serologis dengan ELISA tersebut tidak dapat membeda- kan sistiserkosis yang disebabkan oleh Taenia solium dan Wnia saginata taiwanen- sis, karena menurut Brandt et (11. (1992) dan Geerts et al. (1992), monoklonal anti- bodi yang digunakan pada uji ini. memberikan reaksi silang dengan metacestoda

Taenia solium. Dengan demikian tidaklah mungkin untuk bisa mengetahui apakah antigen yang terdeteksi tersebut, berasal dari metacestoda W n i a solium atau Taenia saginata tuiwanensis. Namun demi kian, dari laporan Dharrnawan et al. (1 992) yang melakukan survei di RPH Denpasar, diketahui bahwa infeksi sistiserkus Taenia solium pada babi di Bali sangat rendah (yaitu 0,1256). Dengan demikian hasil pemeriksaan antigen dengan ELISA ini jelas merupakan bukti-bukti tambahan secara tidak langsung atas kehadiran sistiserkus Taenia saginata tabvanensis di Bali.

(7)

Pemeriksaan ELISA terhadap serum sapi, baik yang berasal dari sapi-sapi yang disembelih di RPH Denpasar, maupun yang berasal dari daerahdaerah endemis taeniasis di Bali, juga memperlihatkan hasil yang positif terhadap adanya antigen Taenia. Kenyataan ini juga merupakan bukti-bukti lebih lanjut secara tidak langsung bahwa sapi-sapi yang serumnya diperiksa tersebut, terinfeksi kista Taenia, walaupun tidak dapat dibedakan sistiserkus penyebabnya, karena dalam uji ini digunakan antibodi monoklonal terhadap produk-produk ekskretori dan sekretori (ES products) sistiserkus Taenia saginata (Brandt et al., 1992). Jadi jelas sapi-sapi yang serumnya diperiksa tersebut, terinfeksi kista Taenia saginata, entah kista Taenia saginata taiwanensis atau kista Taenia suginata yang klasik. Infeksi sistiserkus W n i a sagi- nata telah diketahui sangat jarang terjadi pada sapi di Bali (Warudju, 1988). Bahkan laporan tahunan Dinas Peternakan Propinsi Bali tahun 1991, sudah tidak mencan- tum kan lagi kasus infeksi sistiserkus Taenia saginata.

5.2.3. Deskripsi Bentuk dan Ukuran Cacing yang Diperoleh dari Sukarelawan Penderita 'IBeniasis di Bali

Taeniu saginata taiwunensis merupakan parasit yang siklo-zoonosis, yang membutuhkan hewan sebagai inang antaranya. Morfologi cacing dewasanya, sangat sulit dibedakan dengan morfologi cacing Taeniu suginata (Fan et al., 1992a; 1992b; Geerts et ul., 1992; Ito, 1992). Status taxonomi cacing ini telah dideskripsikan oleh Eom dan Rim (1993) dengan nama Taenia asiatica sp. Deskripsi morfologi tentang Tbenia asiatica didasarkan atas pemeriksaan dua strobila dari cacing d e w Taenia saginatu Asia, yang satu dengan scolex dan yang lain tidak. Cacing ini diperoleh dari seorang sukarelawan laki-laki berumur 37 tahun dari Korea. Dalam deskripsi- nya, disebutkan bahwa panjang tubuh yang terdiri dari 712 segmen, berukuran 341

(8)

cm. Warna cacing putih kekuningan. Scolex dilengkapi dengan rostellum dan empat sucker (Eom dan Rim, 1993). Hal yang menciri lainnya, yang digambarkan pada taxonomi tersebut adalah bahwa cacing tersebut memiliki jumlah ranting uterus yang banyak (lebih dari 67 pada setiap sisi) dan adanya tonjolan posterior pada proglottid yang gravid. Deskripsi di atas mendukung hasil pemeriksaan morfologi cacing-cacing yang penulis temukan di Bali, yang selanjutnya digunakan sebagai materi pada penelitian eksperimental, pada bagian lain dari penelitian ini.

Dari hasil pengarnatan terhadap morfologi cacing pita yang penulis perokh, ukuran panjang cacing bervariasi dari 387 cm

-

688 cm. Tubuh cacing dibangun rata-rata oleh 673 segmen (595

-

719 segmen). Scolex dilengkapi dengan rostellum dan empat sucker. Dari gambaran ini jelas cacing pita yang penulis peroleh di Bali bukan Twniu saginata klasik, karena menurut Noble dan Noble (1982) dan Soulsby (1982) Tuenia suginata yang klasik tidak dilengkapi dengan rostellum. Selanjutnya diperkuat pula oleh Bowles dan McManus (1994) yang menyatakan, kendatipun secara mikroskopik Taenia saginata mirip dengan Taenia Asia 1 Taenia saginata taiwanensis. Taenia Asia dapat dengan jelas dibedakan dari kehadiran rostellum pada scolexnya. Pada proglottid yang lepas (proglottid gravid), seperti halnya dilaporkan oleh Eom dan Rim (1993). penulis juga menemukan tonjolan pada bagian posterior- nya. Jumlah cabang uterus proglottid tersebut, lebih dari 15 buah dengan jumlah ranting yang banyak. Dengan mikroskop yang sederhana, tidak mungkin atau sangat sulit bagi penulis untuk menghitung jumlah ranting uterus tersebut. Gambaran ini, j uga menunjukkan bahwa cacing pita yang penulis peroleh bukan Taenia solium,

karena proglottid gravid Taenia solium mempunyai jumlah percabangan uterus di bawah 10 (Botero. 1989).

(9)

5.2.4. Pemeriksaan Histopatologi

Mengingat langkanya bahkan saat ini boleh dikatakan tidak ada informasi yang terdokumentasikan tentang perubahan histologis dari jaringan hati babi yang terinfeksi kista Tueniu saginuru mi\wnensis. maka pada penelitian awal ini, beberapa materi standar digunakan sebagai bahan acuan (Kumar et ul., 1993). Material yang digunakan sebagai acuan ini meliputi: I ) preparat histologis hati babi, yang mengan- dung lesi akibat infeksi kista hidup Tueniu suginurn tuiwunensis, dari hasil infeksi buatan; 2 ) preparat serupa, tetapi mengandung metacestoda yang telah mati, dari hasil infeksi buatan; dan 3) preparat histologis hati babi yang berasal dari Indonesia (Denpasar). yang memperlihatkan lesi akibat infeksi kista Taenia saginata taiwanen- sis (?) - hasil survai penjajagan yang dilakukan oleh Geerts tahun 1992.

Berdasarkan acuan di atas dan dari hasil pemeriksaan preparat histologis lesi hati yang berasal dari 81 babi. satu lesi per ekor babi yang penulis lakukan, diper- oleh hasil seperti telah diutarakan pada Bab Hasil di depan. Ternyata dari hasil tersebut. tidak ada satu lesipun yang memperlihatkan adanya sisa-sisa atau reruntu- han (remnants) kista. Hal ini sebagai pertanda bahwa lesi-lesi tersebut sudah tua. Salah satu gambaran yang tampak pada lesi itu adalah adanya sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi granulomatous. Berdasarkan gambaran ini. 48 lesi akhirnya dinyata- kan positif terinfeksi metacestoda, 1 1 lesi dinyatakan meragukan dan 22 lesi dinyata- kan negatif.

Pada ke-48 lesi yang dinyatakan positif terserang metacestoda tersebut, disamping terlihat adanya sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi granulomatous, secara jelas terlihat bahwa mayoritas sel-sel yang menginfiltrasinya adalah eosinofil. Gambaran seperti ini ternyata sesuai dengan laporan oleh Kumar er ul. (1991) yang

(10)

mengamati respon jaringan inang terhadap infeksi Cysticercus l&nia solium pada babi. Menurut mereka reaksi seluler yang merupakan indikasi adanya infeksi kista ini, adanya infiltrasi eosinofil, limfosit dan sedikit sel-sel plasma, disekitar kista. Aluja dan Vargas (1988) menyatakan bahwa eosinofil merupakan sel-sel penentu terhadap inisiasi perusakan oleh parasit pada babi, akibat infeksi Qsticercus =nia solium secara alami. Peningkatan eosinofil pada kasus yang sama, juga dilaporkan

oleh Molinari et al. (1983) clan Kumar et al. (1990). Adanya reaksi granulomatous

yang tampak pada hati yang diperiksa, ternyata juga sama dengan reaksi granuloma-

tous yang dilaporkan oleh Butterworth (1984), Sterba dan Dykova (1978) dan Willms dan Merchant (1980) yang masing-masing mengamati reaksi jaringan otot- otot sapi terhadap infeksi Cysticercus bovis; dan reaksi peradangan disekitar larva

m n i a soliwn pada otot babi. .

5.3. Penelitian Eksperimental

Hasil eksperimen pada penelitian yang telah dikerjakan, memperlihatkan bahwa babi Bali dapat bertindak sebagai inang antara Taenia saginta strain Bali. Penelitian Eksperimental yang I, menunjukkan bahwa babi-babi yang diinfeksi telur cacing pita asal Bali tersebut, ternyata menghasilkan sistiserkus yang hanya tumbuh pada organ hati. Dari 18 ekor babi yang diinfeksi hanya seekor yang negatif, dengan demikian tingkat kerentanan babi-babi yang diinfeksi pada percobaan ini adalah 94.1 1 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh peneliti-peneliti lain.

Fan et al.

(1989a) mencatat bahwa hewan-hewan percobaan yang diinfeksi dengan telur lhenia asal Korea, menghasilkan sistiserkus yang hanya tumbuh pada organ hati. Hewan-hewan percoban yang digunakannya adalah 4 ekor babi

L-SEM,

(11)

3 ekor babi SEM, 1 ekor DYL dan 1 ekor pedet Holstein, semuanya menunjukkan hasil positif. Sementara hanya satu ekor dari 2 ekor kambing Sannean (50%) yang

positif terinfeksi (Fan et al., 198%). Liebih lanjut dilaporkan bahwa tingkat recoverynya, tertinggi ditemukan pada babi-babi L-SEM (5,6%), kemudian diikuti oleh babi-babi SEM, babi DYL, pedet Holstein dan karnbing Sannean, berturut-turut

1,7%; 0,06%; 0,03% dan 0,02%.

Demikian pula pada percobaan infeksi dengan telur cacing Ezenia saginata yang berasal dari Samosir, ternyata bahwa enam ekor babi L-SEM dan tiga ekor babi SEM yang diinfeksi, seluruhnya (100%) memperlihatkan pertumbuhan sistiser- kus, hanya pada organ hati, dengan tingkat recovery lebih tinggi pada babi-babi SEM (22,0%), dibandingkan babi-babi L-SEM (1,6%) (Fan et al., 1989b). Selanjut- nya, Fan et al. (1990a) melaporkan bahwa dari delapan jenis hewan yang diinfeksi secara eksperimental dengan telur Taenia asal l'hiwan, ternyata empat jenis dianta- ranya dapat bertindak sebagai inang antara parasit ini. Tingkat kerentanan dari hewan-hewan tersebut, sebagai berikut: babi DY L (100 %), SEM

(88

%), L-SEM (83 %), pedet Holstein (100 % ), kambing Sannean (33 %) dan kera ,(Macaca cyclopis) (50 % ). Sistiserkus tersebut hanya tumbuh pada organ hati. Tingkat recoverynya, tertinggi ditemukan pada babi-babi SEM (19.1 %) dan terendah pada kambing dan

kera (0.01 %).

Dari penelitian lainnya (Fan et al., 1990b) dilaporkan bahwa enam dari delapan babi SEM yang diinfeksi telur lbenia saginata asal Thailand, juga mengha- silkan pertumbuhan kista hanya pada organ hatinya. Disamping itu, sebanyak 13 kista, juga ditemukan

pada

hati

dua

ekor pedet. Tingkat recovery sistiserkus

terse-

but, adalah 0.06% pada babi dan 0,2196 pada sapi. Publikasi yang hampir mirip, melaporkan bahwa infeksi telur Taenia saginata asal Filipina dan Myanmar, juga

(12)

menghasilkan pertumbuhan kista pada hati babi (Fan et al., 1992a; 1992b). Dengan kata lain, inang antara Taenia saginata-like, yang berasal dari kedua negara tadi, adabh babi. Pola yang sama, untuk Taenia saginata dari Korea, dilaporkan oleh Eom et al. (1992) dan Geerts et al. (1992).

Rata-rata persentase pertambahan berat badan babi yang diinfeksi pada percobaan I, tidak berbeda secara berrnakna

(P

>

0,05), dibanding dengan

rata-rata

persentase pertambahan berat badan babi kontrol. Hal ini menunjukkan, meskipun ada kerusakan atau gangguan pada organ hati babi-babi yang diinfeksi, akibat per- tumbuhan kista, ternyata belum mampu mengakibatkan gangguan metabolisme yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan babi-babi tersebut. Coles (1986) dan Girindra ( 1 988) menyatakan bahwa organ hati sangat khan terhadap infeksi virus, bakteri dan bahan-bahan asing lain yang masuk melalui penyerapan usus, tennasuk parasit. Lebih lanjut dinyatakan, kendatipun 80% sel-sel hati itu rusak, ternyata hati masih sanggup untuk berregenerasi dan bahkan dapat sembuh sama sekali, jika penyebab kerusakannya telah musnah atau hilang (Girindra, 1988).

Tabel 9 menunjukkan data persentase pertambahan berat badan babi-babi yang dipakai pada percobaan I, selama penelitian (5 minggu). Secara absolut rata-

rata pertambahan berat badan babi tersebut adalah berkisar antara 1,7

-

4,O kg. Rata-rata tarnbahan berat badan babi Bali yang digunakan pada penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan pengamatan Oka et al. (1986) yang mendapatkan tambahan bobot badan babi Bali dari lahir sampai disapih adalah 3,81 kg dan hasil penelitian Darmadja dan Sandi (1986) adalah 3,90 kg. Demikian pula dengan publikasi terak-

hir dari Sandi (1995) yang melaporkan rata-rata tambahan berat badan babi Bali selama delapan minggu adalah 3,78 kg.

(13)

Pada penelitian Eksperimen 11, yaitu dengan menginfeksikan proglottid

Taeniu suginata (Strain Bali) lainnya, pada dua ekor babi Bali, juga diperoleh hasil

yang sama seperti pada Eksperimen I. Sistiserkus ditemukan pada organ hati babi yang diinfeksi, sementara babi kontrol negatif. Fenomena penting pada pembaan

yang belakangan ini, dengan dosis telur yang ditingkatkan (trickle infections) dan segmen yang akan digunakan terlebih dahulu dituakan selama satu minggu, pada suhu kamar, diperoleh rata-rata jumlah sistiserkus pada hati babi yang dinfeksi, jauh lebih tinggi (+ 86%) dibanding dengan hasil percobaan sebelumnya (+ 14%). Silverman (1954) yang mengamati pertumbuhan dan perkembangan 50 segmen gravid cacing Taenia, melaporkan bahwa sebagian segmen-segmen tersebut akan menunjukkan peningkatan kemampuan aktivasi embrionya, hingga mencapai 10

-

SO%, setelah disimpan dalam normal saline selama 10 - 14 hari, pada suhu kamar.

Semua kista yang diperoleh pada penelitian Eksperimen I dan 11, telah mengalami degenerasi atau kalsifikasi, atau a& yang masih imatur. Tidak satupun dari kist. tersebut ditemukan hidup. Fan et al. (1990a) yang melakukan pengamatan pada babi-babi percobaan yang diinfeksi dengan telur infektif mnia saginata (Strain Thiwan), melaporkan bahwa sistiserkus yang matur ditemukan pada hari ke 27 pasca infeksi pada babi SEM dan pada hari ke 28 pada babi L-SEM. Tetapi pada laporan tersebut, Fan et al. (1990a) juga menyatakan bahwa sistiserkus yang telah mengala- mi degenerasi dan kalsifikasi, ditemukan pada babi-babi

L-SEM,

SEM dan DYL berturut-turut pada hari ke 24, 27 dan 43 pasca infeksi. Pada Ekspefirnen I dan I1 penelitian ini, babi-babi percobaan diotopsi pada 5 dan 6 - 7 minggu pasca infeksi.

Pada Eksperimen I11 dari penelitian yang kami lakukan, sebanyak delapan ekor babi diinfeksi dengan telur Taenia saginata (Strain Bali). Hewan-hewan itu dibunuh berturut-turut, mulai minggu ke-3 sampai minggu ke-10 pasca infeksi.

(14)

Seperti telah disajikan pada Tabel 12, mulai 4 minggu pasca infeksi, sisfiserkus terarnati pada hati babi. Satu kista hidup, yang berlokasi pada parensim hati, ditemu- kan pada babi yang diotopsi 4 minggu pasca infeksi. Sistiserkus yang hidup ini, setelah diamati ternyata tidak memiIiki kait. Keadaan kista tanpa kait sewini &pat disebabkan oleh sifat kait taenia ini yang mudah copot. Perkembangan kista yang lainnya menunjukkan tahapan imatur dan &generasi/kalsifikasi. Pa& babi- babi yang disembelih 7 minggu keatas

pasca

infeksi, semua kista tehh mati. Mati- nya kista akibat adanya respon inang, tampaknyst sejalan dengan bertambahnya waktu serta meningkatnya infeksi. Persentase kista mati yang diperoleh pada peneli-

tian ini, cukup tinggi. Keadaan ini hampir sama dengan pembaan-percubaan seje-

nis yang telah dilakukan sebelumnya. Geerts et al. (1992), misalnya, melaporkan bahwa babi-babi Landrace Belgia yang diinfeksi dengan telur Z&nia saginata (Strain Korea), menghasilkan kista yang hanya tumbuh pada organ hati. m r s i kista yang mengalami degenerasi, dilaporkan meningkat dari 12 % -39 % pada 5 minggu pasca infeksi, menjadi 94%-100% pada 10 minggu pasca infeksi. Sementara itu Eom et al. (1992) melapor@ dari 1540 kista yang diperoleh pada 8 ekor babi yang diinfek- si telur lbenia yang sama, ternyata 92,196 telah mengalami kalsifikasi. Kista yang

hidup pada hati babi tersebut, hanya ditemukan 0,13

96.

Hasil penelitian yang penu- lis peroleh ini juga sesuai dengan Zbenia Indonesia (Strain Samosir) yang telah diteli- ti sebelumnya. Kebanyakan sistiserkus yang diperoleh dari hati babi yang diinfeksi

Zknia Indonesia (Strain Samosir) telah mengalami degenerasi

clan

kalsifikasi (Fan et al., 1989b). mnia Indonesia (Strain Samosir) ini, oleh Fan et al. (1989b) dinyata- kan sama dengan Taenia saginata taiwanensis yang disebut sebagai spesies baru

"henia.

Selanjutnya disebutkan bahwa persentase kista degenerasi

dan

kalsifikasi yang ditemukan pada penelitiannya, berhubungan langsung dengan umur babi dan jumlah telur yang diberikan (Fan et al., 1990a; 1992f).

(15)

Kedua ekor sapi yang diinfeksi Taenia saginata (Strain Bali) pada Eksperi-

men IV, memperlihatkan pertumbuhan sistiserkus pada seluruh karkas, terutama pada otot-otot muka, paha, diafragma, intercostae dan jantung. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Taenia saginata yang dipakai pada Eksperimen ini, memiliki sifat yang mirip dengan 'Ibenia saginata yang klasik. Tetapi berbeda dengan 'Ibenia saginata klasik, taenia yang digunakan dalam penelitian ini juga menghasilkan pertumbuhan kista pada babi perlakuan, khususnya pada organ hati. Memang Bowles dan McManus (1994) telah melaporkan bahwa 'Ibenia Asia 1 'Ibenia saginata taiwanensis dapat menginfeksi sapi, kambing, kera dan babi hutan, tetapi babi merupakan inang antara yang dominan dan sistiserkus hanya ditemukan pada hati.

Dari pernyataan-pernyataan yang telah disitir di depan (Fan et al. 1989a; 1989b; 1990a; 1990b; 1992a; 1992b; Geerts et al., 1992; Eom et al., 1992), babi diketahui sebagai inang antara dari W n i a saginata taiwanensis.

Kejadian infeksi 'Ibenia saginata taiwanensis pada sapi telah dilaporkan oleh Fan et

al.

(1 98%; 1

m,

1990b). Sapi yang diinfeksi

secara

eksperimental dengan telur Taenia asal Korea, Taiwan dan Thailand, memperlihatkan pertumbuhan sisti- serkus hanya pada hati, sedangkan pada eksperimen yang penulis kerjakan, kista yang tumbuh pada kedua ekor sapi yang diinfeksi dengan telur Taenia saginata (Strain BaIi), tersebar ke seluruh otot tetapi tidak ditemukan pada organ hati. Lain

lagi temuan Fan et

al.

(1989b) yang menyatakan bahwa sapi tidak rentan terhadap infeksi telur lbenia saginufa asal Samosir. Tidak tumbuhnya kista pada sapi yang diinfeksi dengan telur &nia saginata (Strain Samosir) pada penelitian Fan et al. (1 989b), kemungkinan besar akibat pengaruh antibodi maternal yang masih sangat tinggi sebab pada saat diinfeksi dengan telur T m i a saginata (Strain Samosir), sapi tersebut masih sangat muda, baru berumur 5 hari (Fan et al., 1989b; 19920.

(16)

Falconer (1981) menyatakan bahwa pengaruh maternal dalam masa prenatal dan postnatal, antara lain melibatkan pengaruh nutrisional dan status kekebalan induk pada anaknya, sebab pada ternak mammalia, kolostrumnya kaya dengan protein clan

antibodi guna melindungi anaknya.

Infeksi eksperimental Taenia saginata (Strain Polandia) pada babi dan sapi yang dikerjakan oleh Fan et al. (1992e). hasilnya sama dengan hasil Eksperimen

N

penelitian ini. Fan et al. (1992e) berkesimpulan bahwa Taenia saginata (Strain Polandia) i t - adalah &nia saginata yang klasik. Tetapi, menurut Eorn et al. (1992) babi-babi yang diinfeksi dengan Taenia saginata klasik (berasal dari Belgia) ternyata tidak mempelihatkan pertumbuhan kista. Dengan kata lain, Zzenia saginata klasik tidak tumbuh pada babi.

Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian eksperimen ini (Eksperimen I sampai dengan IV), dapat disimpulkan bahwa Xhenia saginuta (Strain Bali) yang penulis gunakan, sama dengan cacing pita Taenia Asia yang lainnya. Cacing pita Taenia Asia yang dimaksud adalah Taenia saginata Strain Cheju, Korea (Fan et al., 1989a; Eorn dan Rim, 1992a; Eorn et al., 1992); Strain Samosir, Indo- nesia (Fan et al., 1989b); Strain Taiwan yang populer disebut Taenia saginata taiwanensis (Fan et al., 1990a); Strain Chiengmai, Thailand (Fan et al., 1990b); Strain Philippina (Fan et al., 1992a) dan Strain Burma, Myanmar (Fan et al.,

1992b). Kesimpulan ini, didukung dengan bukti-bukti langsung dan tidak langsung .

dari penelitian lapangan dan laboratorium, seperti diutarakan pada bagian lain dari tulisan ini. Dari pengarnatan lapangan, diketahui bahwa kista yang diperoleh dari

hati

babi-babi yang disembelih di

RPH

Denpasar,

ternyata

sama

dengan

temuan

Eom

clan Rim (1992a) yang melakukan penelitian di RPH Cheongju, Propinsi Chungbuk, Korea. Demikian pula dengan hasil analisis di laboratorium, serum babi-babi Bali

(17)

yang terinfeksi kista, ternyata memperlihatkan hasil positif terhadap adanya antigen

Rzenia saginata. Hal yang disebut terakhir ini cocok dengan laporan B y d t et al.

(1992) dan Geerts et al. (1992) yang menemukan antigen Taenia saginata dalam serum babi-babi yang diinfeksi dengan telur Taenia asal Korea. Morfologi cacing pita Taenia saginata (Strain Bali) yang diperoleh pada penelitian ini, terutama gambaran scolex cacing dewasa yang memiliki rostellum dan proglottid gravid

-

dengan tonjolan posteriornya - juga sama dengan deskripsi cacing Taenia asiatica,

yang dilaporkan oleh Eom dan Rim (1993), serta Bowles dan McManus (1994). Bbel 13 berikut ini, memberikan ilustrasi mengenai bebempa perbandingan antara Taenia saginata taiwanensis (Rzenia asiatica), yang telah dideskripsikan oleh Fan (1988) serta Eom dan Rim (1993) dengan Taenia saginata (Strain Bali) yang penulis temukan.

Tmbel 13. Beberapa perbandingan Taenia sagianata taiwanensis

dengan Taenia saginata (Strain Bali) yang diperoleh dari penderita

asal

Bali

T.s. taiwanensis T. saginuta (Strain Bali) Panjang (m)

Jumlah proglottid Scolex

Rostellum Kait-kait batil isap h g l o t t i d matur

Ovarium Sphincter vagina h g l o t t i d gravid

-

(P

x

1) (mm) Jumlah percabangm uterus Telur Bentuk Uhran (pm) Cukup menonjol Tidak ada 2 lobus Ada

Bulat hingga oval

35,7 x 34,4

Cukup menonjol Ti& ada

2 lobus

Ada

Bulat hingga oval

(18)

Pada Tabel 13, tampak bahwa ukuran panjang proglottid gravid Taenia saginata ruiwanensis adalah 12,4 mm, sementara Taenia saginata (Strain Bali) adalah 26.1 mm. Ukuran panjang proglottid gravid Taenia sangat bervariasi, tergan- tung dari letak proglottid yang diukur. Semakin ke anterior letak proglottid tersebut ukurannya semakin pendek, sebaliknya semakin ke posterior proglottid gravid tersebut akan memiliki ukuran yang lebih panjang.

Dari uraian-uraian di atas bisa dicatat indikator-indikator yang menunjukkan kesarnaan antara mnia saginata (Strain Bali) dengan Wnia saginata tabmensis,

adalah: (a) kista-kista yang ditemukan pada hati babi di RPH Denpasar, secara morfologi sama dengan kista Taenia saginata taiwanensis yang ditemukan di RPH Cheongju. Korea; (b) uji serum babi Bali terhadap adanya antigen mnia saginata,

yang bersirkulasi, dengan monoclonal antibody sandwich ELISA ternyata memberi- kan reaksi positif; (c) adanya kesamaan morfologi cacing dewasa Z&nia saginata

(Strain Bali) yang diperoleh, dengan kunci-kunci morfologi Taenia saginata taiwanensi.r / Taenia asiatica dari Korea; (d) pada studi biologi yang dikerjakan lewat peneli tian eksperimentai

,

seluruh kista cacing Taenia saginata (Strain Bali), yang tumbuh pada babi, hanya ditemukan pada hati.

Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ditemukan bu kti-bukti mengenai kehadiran cacing yang disebut nenia saginata taiwanensis

atau Taenia asiatica atau Taenia Asia di Bali. Morfologi cacing W n i a saginata (Strain Bali) yang penulis teliti, memang sangat mirip dengan b n i a saginata

yang klasik. Kemiripan seperti ini telah disinggung daiam publikasi Bowles dan McManus (1994). Bowles dan McManus (1994) telah berhasil menggunakan pendekatan dengan polymerase chain reaciion

- restriction

fragment length

polpaor-

phism

(PCR-RFLP)

untu

k

rnembedakan

secara cepat Taenia Asia dengan taenia-

taenia lainnya yang menginfeksi manusia. Dengan membandingkan gen mitochon- drial cytochrome c oxidase I (COX) dan sekuwen nuclear rDNA 28S, temyata l&nia

(19)

Asia lebih dekat hubungannya dengan Taenia saginata, dibanding spesies Xaenia yang lainnya. Dari bukti-bukti ini, Bowles dan McManus (1994) menyimpulkan bahwa klasi fi kasi Taenia Asia sebagai sub-spesies atau strain dari Taenia saginata, lebih cocok / lebih tepat, dibanding dengan sebutan sebagai species "baru".

Berkembangnya taenia ini di Bali dengan baik, dimungkinkan oleh tersedia- nya kondisi yang mendukung, sehingga eksistensi cacing ini bersinambung. Sama dengan TUenia Asia lainnya, m n i a saginata (Strain Bali) juga memiliki suatu pola epidemiologi yang khas. Seluruh cacing 7henia saginata-like yang berhasil dikolek- si pada penelitian ini, berasal dari penduduk Bali yang beragama Hindu. Semua pasien tersebut, menyatakan lebih sering mengkonsumsi daging babi tetapi sangat jarang makan daging sapi. Bahkan ada yang sama sekali pantang 1 tidak pernah makan daging sapi. Bila kita cermati kondisi yang ada, ternyata beberapa faktor sosio-kultural setempat sangat mendukung berkembangnya Taenia di kalangan penduduk di Bali. Prilaku sosio-kultural tersebut antara lain adalah sanitasi pem- buangan kotoran manusia yang masih buruk. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa 80% pasien yang berhasil dikoleksi cacingnya, tidak merniliki jamban. Hal ini diperkuat lagi oleh hail penelitian Widjana et al. (1993), yang mengungkapkan bahwa 65 % rumah tangga di daerah pedesaan tidak mempunyai jamban. Banyak penduduk akhirnya membuang kotoran (feses) ditempat-tempat terbuka seperti

" teba" , sungai, atau tegalan. Sanitasi perorangan di Bali, juga dinilai masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Brequet dan Ney (1985) yang menemukan 8

-

41 % dari jari-jari tangan penduduk yang diperiksa di suatu daerah pedesaan terkon- tarninasi oleh feses. Selain itu, Sutisna (1989) menemukan 5 dari 12 penderita tae- niasis, ternyata kuku jari tangannya terkontarninasi telur Taenia. Kehidupan pendu- duk yang dekat dengan babi, yaitu kebanyakan rumah tangga memelihara babi yang dilepas berkeliaran (Sutisna, 1990; Dharmawan et al.. 1992), juga merupakan faktor

(20)

yang sangat mendukung berkembangnya Taenia di Bali, karena pada kondisi seperti itu, babi-babi mempunyai akses terhadap feses manusia. Faktor sosio-kultural lain- nya yang juga amat berperan disini adalah kebiasaan penduduk di Bali memakan makanan yang dibuat dari daging babi yang tidak dimasak atau hanya dim& sete- ngah matang. Di Bali, sampai saat ini

,

masih banyak ditemukan masyarakat yang gemar mengkonsumsi "lawar" (Suweta, 1991; Chomel et al., 1993). Menwut von Holzen dan Arsana (1993) tidak ada suatu upacara ritual adat keagamaan yang besar, bahkan ditingkat perayaan keluarga sekalipun, yang diselenggarkan di Bali, berlalu

tanpa disajikannya "lawar", untuk dimakan bersama. "Lawar" adalah suatu adonan yang terdiri dari daging, kulit, darah (biasanya daging babi, sapi, ayam, dll.), kemudian dicampur dengan irisan nangka atau parutan kelapa, serta dicampur dengan bumbu (Widjana dan Kapti, 1983). Pada proses pembuatannya tidak jarang daging danlatau darah yang digunakan, belum dimasak atau hanya dimasak setengah matang. Terutama bila dibuat "lawar barak". "Lawar" di Bali, memiliki kesamaan dengan fahb dan

nahm

di Thailand, dan som-mu, lahb-mu, dan lahb leuat di Laos

(Chomel et al., 1993).

Kekelintan yang terjadi pada prosedur pemeriksaan kesehatan daging di

RPH

Denpasar. khususnya untuk mendeteksi adanya sistiserkus, juga ikut bertanggung jawab terhadap berkembangnya taeniasis di Bali. Kekeliruan tersebut tampak bila dikaitkan dengan hasil temuan penulis, yaitu tumbuhnya sistiserkus m n i a saginata (Strain Bali) pa& hati babi. Selama ini, untuk mendeteksi adanya infeksi sistiserkus pada babi. orientasi pemeriksaan hanya tertuju pada otot-otot yang dipandang seba-

gai tempat predileksi utama sistiserkus Taenia solium. Otot-otot yang mendapat

perhatian tersebut adalah : otot masseter, otot triceps, otot lidah dan otot-otot dianta-

ra tulang wsuk. Kekeliruan yang fatal di sini adalah mengabaikan hati yang ternyata merupakan tempat predileksi utama sistiserkus Taenia saginata (Strain Bali).

(21)

Dengan prosedur konvensional seperti di atas, bila terdapat infeksi sistiserkus Zlznia saginatu (Strain Bali) pada hati babi, jelas sekali akan 1010s dari pemeriksaan, se- hingga ada peluang dikonsumsi oleh masyafakat. Kekeliruan karena ketidak tahuan . ini, tampaknya telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang hampir tiga perempat abad.

Le

Coultre pada tahun 1920 menemukan Cysticercus cellulosae, kemudian pada tahun 1927 dari hasil pemeriksaan 29 ekor babi yang terinfeksi di Buleleng. dilaporkan bahwa kista tersebut ditemukan pada otot-otot pengunyah, bahu, otot vertebral, otot lidah, otot di daerah perut, otot antar tulang rusuk, juga diafragma. jantung dan otak (Le Coultre, 1928; Viljoen, 1937). Sejak saat itu, pemeri ksaan kesehatan daging terutama yang di tujukan untuk mendeteksi adanya sistiserkus. terkonsentrasi hanya pada otot-otot yang telah disebutkan di atas. Hal ini kemudian diperkuat lagi di zaman kemerdekaan, lebih-lebih dengan keluarnya Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular (Dirjen Petemakan, 1980b), yang menyebutkan bahwa tempat paling banyak ditemukan sistiserkus adalah otot masset- er, jantung. lidah, triceps dan diafragma. Kadang-kadang saja di laporkan pada hati, paru-paru dan kelenjar limfe. Dengan demikian, praktis pemeriksaan kesehatan daging yang selama ini dikerjakan di lapangan (RPH), mengacu kepada pedoman tersebut. Hati babi yang kini diketahui sebagai tempat berparasitnya sistiserkus Taenia suginata taiwanensis (Taenia saginata Strain Bali) telah terabaikan. Kon- sekwensi dari hasil temuan ini dan untuk mencegah terus berkembangnya taeniasis- sistiserkosis di Bali pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, diperlukan adanya langkah penyempurnaan Peraturan Pemerintah yang ada. Pada Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular yang sudah ada, agar ditambahkan dan diingatkan kembali bahwa prosedur

pemeriksaan kesehatan

daging babi yang

bertu-

juan untuk mendeteksi adanya sistiserkus, pengamatan tidak hanya tertuju pada karkas saja. tetapi juga terha&p organ-organ dalam, terutama pa& organ hati.

Gambar

Tabel  9 menunjukkan data persentase pertambahan berat badan babi-babi  yang  dipakai  pada  percobaan  I,  selama penelitian  (5  minggu)

Referensi

Dokumen terkait

Similarity from a chosen source Possible character

Penilaian kinerja merupakan proses di mana organisasi berupaya memperoleh informasi yang akurat tentang kinerja para anggotanya.Penilaian kinerja karyawan yang

Berdasarkan uraian di atas, maka Peneliti menyimpulkan bahwa kinerja organisasi publik adalah totalias hasil kerja yang dicapai suatu organisasi birokrasi pemerintahan

Yusfaningrum dan Ghozali (2005) juga menemukan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh positif dan signifi kan terhadap kinerja manajerial, sedangkan pada penelitian Milani

Koefisien korelasi antara kemampuan menggambar free body diagrams dan kemampuan kognitif bernilai 0,656 yang jika diinterpretasikan berada pada kategori tinggi

Dalam penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara pendidikan dengan depresi (p<0,05) yang sesuai dengan hasil penelitian Widiatmoko 5 , Suryo 6

Hasil dari penelitian ini diperoleh cara mendesain dan tampilan hasil akhir desain media pembelajaran fisika interaktif pada materi momen inersia benda tegar

Kesalahpahaman sering terjadi karena faktor komunikasi Apabila pelayanan yang diberikan buruk, pasien akan memberikan respon negatif berupa ketidakpuasan sehingga pasien tersebut