• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POTENSI KAWASAN PESISIR PULAU REMPANG DAN GALANG KECAMATAN GALANG KOTA BATAM UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA THERESIA RACHMALIA GINTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POTENSI KAWASAN PESISIR PULAU REMPANG DAN GALANG KECAMATAN GALANG KOTA BATAM UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA THERESIA RACHMALIA GINTING"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI KAWASAN PESISIR PULAU REMPANG

DAN GALANG KECAMATAN GALANG KOTA BATAM

UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA

THERESIA RACHMALIA GINTING

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

]

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul “Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2006

Theresia Rachmalia Ginting P.052040351

(3)

ABSTRAK

THERESIA RACHMALIA GINTING. Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI.

John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan 3 (tiga) industri jasa yang akan memegang kendali di planet ini, yaitu telecommunication,

transportation dan tourism. Tourism atau Kepariwisataan merupakan sektor

ekonomi yang banyak diperhatikan pada beberapa dasawarsa terakhir. Sebagai mesin penggerak peningkatan ekonomi regional, pariwisata memiliki manfaat-manfaat penting yaitu sebagai pencipta lapangan kerja, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah serta dapat meningkatkan upaya dalam menjaga dan memperbaiki lingkungan. Bagi Indonesia, pariwisata diharapkan dapat berperan dalam menyumbang devisa negara, meningkatkan hubungan internasional, pemberdayaan masyarakat serta pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan.

Salah satu wilayah pesisir dan laut yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata khususnya pariwisata bahari adalah Pulau Rempang dan Galang (Relang).

Penelitian ini bertujuan untuk : mengkaji potensi dan menentukan kelas kesesuaian Pulau Rempang dan Galang untuk pengembangan ekowisata; menentukan daya dukung wilayah pesisir Pulau Rempang dan Galang dalam menunjang kegiatan ekowisata; menentukan arahan perencanaan kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk pengembangan ekowisata.

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian dengan standar kriteria daerah operasi obyek dan daya tarik wisata alam (ADO-ODTWA) yang dilakukan dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan maka Pulau Rempang dan Galang khususnya obyek wisata Pantai Melayu, Pantai Mawar, Wilayah Pesisir Desa Sembulang, Kamp Pengungsian Vietnam dan Pantai Melur sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, dengan prioritas utama Kamp Pengungsian Vietnam untuk dioptimalkan pengelolaannya.

Berdasarkan analisis daya dukung dengan faktor pembatas panjang pantai berpasir, luas lahan untuk akomodasi dan kebutuhan air bersih, daya tampung wisatawan sampai saat ini masih dalam tahap normal dan belum melebihi standar daya dukung untuk masing-masing obyek wisata yang ada. Namun dalam pengembangannya selanjutnya pihak pemerintah maupun pengelola tetap harus memperhatikan dan memegang standar ini sesuai dengan konsep ekowisata.

Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh lima arahan strategi pengembangan ekowisata Pulau Rempang dan Galang yaitu memanfaatkan daya tarik Pulau Rempang dan Galang untuk meningkatkan pendapatan daerah, mengundang investor swasta, melengkapi sarana dan prasarana, mengembangkan fasilitas transportasi dan menyusun kode etik ekowisata kawasan Pulau Rempang dan Galang untuk mencegah kerusakan sumberdaya alam yang ada saat ini.

(4)

ABSTRACT

THERESIA RACHMALIA GINTING. Analysis Potential Coastal Area of

Rempang Island and Galang Island Galang Sub District, Batam City in the Development of Ecotourism. Under the direction of DEDI SOEDHARMA and

SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI.

John Naisbitt one of the well-known futurist have predicted 3 (three) industrial services which will take the control of this planet, which are telecommunication, transportation dan tourism. One of the oceanic and coastal region that possible potential to be developed as one of the oceanic ecotourism are Rempang and Galang Island. The main objective of this research is: (1) to evaluate and to determine the suitability of the potential of its natural resources in Rempang and Galang Island; (2) to determine the support of the coastal region in Rempang and Galang Island for ecotourism; (3) to determine the planning of the coastal region of Rempang and Galang Island, Sub District of Galang, Batam City in the development of ecotourism.

Based on the suitability analysis using standard criteria of the operation area and the beauty of its natural resources (ADO-ODTWA) which will be implement using the instrument criteria of judgement and development therefore Rempang and Galang Island especially the tourism resort such as Melayu Beach, Mawar Beach, Coastal region of Sembulang village, Vietnamese Camp Village, and Melur Beach are suitable to be developed as an ecotourism area, and Vietnamese Camp Village as the priority.

Based on the support analysis, the length of the sea shore as the limitation factor, the broad area for accomodation and the need of clean water, the capacity of the tourists it self until today is still in a normal condition and a standard which has not overload the present capacity for each of the tourism resort.

Tourists who visited Rempang and Galang Island were dominated by local tourists from Batam (80.6%) and they look very satisfied (83.9%) .

The population of Rempang and Galang Island dominated (50%) by age between 21-30 years old and they are mostly a Moslem people (66.7%) with a education background from elementary school. Mostly of them are a business man with a beside job as a farmer and fisherman.

Based on the SWOT Analisyst, five (5) strategic plan of the ecotourism development of Rempang and Galang Island such as (1) using the beauty of its natural resources Rempang and Galang island to increase the local income; (2) inviting non-government investors; (3) complete the ecotourism instrument (4) impovement of transportation facilities and (5) to plan-out ethical codes of ecotourism in Rempang and Galang Island to prevent destruction of the natural resources.

(5)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun

2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis

dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan

(6)

ANALISIS POTENSI KAWASAN PESISIR PULAU REMPANG

DAN GALANG KECAMATAN GALANG KOTA BATAM

UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA

THERESIA RACHMALIA GINTING

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulisan tesis yang berjudul “Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata” dapat penulis selesaikan.

Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis telah mencurahkan segala kemampuan, waktu dan tenaga yang dimiliki untuk mendapatkan hasil yang baik. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian penulisan tesis ini, tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1) Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan berbagai aspek pada proses penulisan tesis.

2) Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik dan saran yang konstruktif dalam setiap konsultasi, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

3) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Penguji luar Komisi.

4) Keluarga (Bapak Basita Ginting, Ibu Maridalena Tarigan, Lenyta Ginting, Abraham Ginting dan Gito Ginting) yang telah memberikan doa dan dukungan pada penulis selama penulis mengikuti studi lanjut di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

5) Keluarga besar MSP IPB yang telah memberikan dukungan dan semangat pada penulis selama penulis mengikuti studi lanjut di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

6) Teman-teman PSL angkatan 2004 yang telah bekerjasama selama mengikuti proses belajar di IPB.

Dengan segala kerendahan hati penulis menerima berbagai masukan dalam upaya penyempurnaan tesis ini. Sekian dan terima kasih.

Bogor, Desember 2006 Theresia Rachmalia Ginting

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 23 Juli 1980 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Basita Ginting dan Maridalena Tarigan. Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN dan memilih jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pendidikan Sarjana Perikanan diselesaikan pada tahun 2003.

Pada tahun 2004 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 4 1.3. Kerangka Pemikiran... 4 1.4. Perumusan Masalah ... 6 1.5. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pengembangan Pariwisata ... 8

2.2. Ekowisata ... 9

2.3. Rekreasi dan Pariwisata ... 12

2.4. Pengembangan Pariwisata Bahari ... 13

2.5. Pengertian Wilayah Pesisir ... 15

2.6. Potensi Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan ... 16

2.7. Daya Dukung Perairan Pesisir dan Lautan ... 17

2.8. Pencemaran Perairan Pesisir ... 18

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

3.2. Pengumpulan Data ... 20

3.2.1. Data Primer ... 21

3.2.2. Data Sekunder ... 21

3.3. Analisis Data... 22

3.3.1. Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (AD)-ODTWA)... 22

3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan ... 22

3.3.3. Analisis Arahan Perencanaan Pengembangan Ekowisata ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 26

4.1.1. Sejarah Kota Batam ... 26

4.1.2. Kondisi Umum... 27

4.1.3. Kondisi Fisik Wilayah ... 32

A. Geologi, Iklim dan Fisika... 32

B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya... 32

(10)

Halaman

4.3. Potensi Wisata Pulau Rempang dan Galang ... 43

4.3.1. Pulau Rempang ... 46

A. Pantai Melayu dan Mawar ... 46

B. Wilayah Pesisir Desa Sembulang ... 47

4.3.2. Pulau Galang ... 49

A. Kamp Pengungsian Vietnam ... 49

B. Pantai Melur ... 55

4.4. Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata ... 56

4.4.1. Daya Tarik ... 59

4.4.2. Potensi Pasar ... 67

4.4.3. Kadar Hubungan/Aksesbilitas ... 69

4.4.4. Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi ... 71

4.4.5. Pelayanan Masyarakat ... 73

4.4.6. Kondisi Iklim ... 75

4.4.7. Akomodasi ... 75

4.4.8. Prasarana dan Sarana Penunjang ... 76

4.4.9. Tersedianya Air Bersih ... 77

4.4.10.Hubungan Obyek dengan Obyek Wisata lain ... 79

4.4.11.Keamanan ... 80

4.5. Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Kegiatan Ekowisata ... 81

4.5.1. Panjang Pantai Berpasir ... 83

4.5.2. Luas Lahan Untuk Akomodasi (Penginapan) ... 85

4.5.3. Kebutuhan Air Bersih/Tawar ... 86

4.6. Arahan Perencanaan dan Strategi Ekowisata ... 93

4.6.1. Perencanaan Pulau Rempang ... 93

4.6.2. Perencanaan Pulau Galang ... 94

4.6.3. Analisis SWOT ... 95

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 104

5.2. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA 106

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pantai ... 23 2. Skema analisis SWOT ... 25 3. Jumlah penduduk dan penyebarannya pada masing-masing Kelurahan

Kecamatan Galang tahun 2004 ... 35 4. Luas wilayah (km2), penduduk dan kepadatan penduduk per Kelurahan di Kecamatan Galang tahun 2004 ... 36 5. Jumlah penduduk menurut agama dan kepercayaan per Kelurahan di

Kecamatan Galang tahun 2004 ... 36 6. Jumlah penduduk menurut suku bangsa di kecamatan Galang

tahun 2004 ... 37 7. Jumlah TK, SD, SLTP dan SLTA di rinci menurut klasifikasinya per

Kelurahan tahun 2004 ... 38 8. Jumlah rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan di Kecamatan

Galang tahun 2004 ... 39 9. Penggunaan luas lahan di rinci menurut penggunaan di Kecamatan

Galang tahun 2004 ... 40 10. Penggunaan luas lahan di rinci menurut penggunaan di Kecamatan

Galang tahun 2004 ... 40 11. Jumlah hasil tangkapan ikan laut di rinci per Kelurahan di Kecamatan

Galang tahun 2004 ... 41 12 . Luas hutan bakau di rinci menurut kelurahan di Kecamatan Galang

tahun 2004 ... 42 13 . Perbedaan antara ecotourism dengan mass tourism ... 57 14 . Hasil perhitungan kelas kesesuaian untuk pengembangan ekowisata .... 57 15 . Penilaian unsur daya tarik Desa Sembulang ... 59 16 . Penilaian unsur daya tarik Pantai Melayu, Mawar, dan Melur ... 62 17 . Penilaian unsur daya tarik Kamp Pengungsian vietnam ... 65

(12)

Halaman

18 . Penilaian potensi pasar Pulau Rempang dan Galang ... 67

19 . Penilaian kadar hubungan /aksesbilitas Pulau rempang dan Galang ... 69

20. Jumlah jembatan dan panjangnya menghubungkan antar pulau di kecamatan Galang tahun 2004 ... 70

21. Penilaian kondisi lingkungan sosial ekonomi Pulau Rempang dan Galang ... 71

22. Penilaian pelayanan masyarakat Pulau Rempang dan Galang ... 73

23. Penilaian kondisi iklim Pulau Rempang dan Galang ... 75

24. Penilaian akomodasi Pulau Rempang dan Galang ... 76

25. Penilaian prasarana dan sarana penunjang Pulau Rempang dan Galang ... 76

26. Penilaian air bersih Pulau Rempang dan Galang ... 77

27. Penilaian hubungan obyek dengan obyek wisata lain ... 79

28. Penilaian keamanan ... 80

29. Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan kapasitas panjang pantai berpasir ... 83

30. Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan luas lahan untuk akomodasi (penginapan) ... 86

31. Estimasi kebutuhan air bersih berdasarkan daya tampung wisatawan .. 87

32. Karakteristik wisatawan Pulau Rempang dan Galang selama penelitian ... 89

33. Motivasi Wisatawan Pulau Rempang dan Galang ... 91

34. Matriks faktor strategi internal perencanaan dan pengembangan ekowisata di Pulau Rempang dan Galang ... 96

35. Matriks faktor strategi eksternal perencanaan dan pengembangan ekowisata di Pulau Rempang dan Galang ... 97

(13)

Halaman

37. Alternatif pemilihan strategi untuk perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau Rempang dan Galang ... 99

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir penelitian ... 5

2. Skema konsep ekoturisme dengan output yang dihasilkan ... 11

3. Peta administrasi Kota Batam ... 29

4. Peta lokasi penelitian-Pulau Rempang ... 30

5. Peta lokasi penelitian-Pulau Galang ... 31

6. Jumlah penduduk (%) berdasarkan kelompok umur ... 35

7. Potensi sumberdaya alam Pulau Rempang ... 43

8. Potensi sumberdaya alam Pulau Galang ... 43

9. Peta sumberdaya alam Pulau Rempang dan Galang ... 44

10. Pantai Melayu ... 46

11. Pantai Mawar ... 46

12. Desa Sembulang ... 47

13. Pagoda yang terdapat di Kamp Sinam ... 51

14. Gereja yang terdapat di Kamp Sinam ... 51

15. Perahu yang membawa pengungsi menuju Pulau Galang ... 52

16. Kuburan massal pengungsi ... 52

17. Potret pengungsi Vietnam ... 53

18. Denah lokasi Kamp Sinam ... 54

19. Pantai Melur ... 56

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Potensi Wisata Sumberdaya Alam di Pulau Rempang dan Galang ... 106 2 Perhitungan kelas kesesuaian berdasarkan analisis daerah

operasi obyek dan daya tarik wisata alam (ADO-ODTWA) ... 107 3 Standar luas yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata hiking, walking,

Running dan jogging... 110

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan 3 (tiga) industri jasa yang akan memegang kendali di planet ini, yaitu telecommunication, transportation dan tourism.

Perkembangan dunia pariwisata tidaklah terlepas dari latar belakang kebutuhan masyarakat akan jasa wisata (Sekartjakrarini, 2004). Apalagi dengan timbulnya nilai preferensi berwisata yang mengutamakan an authentic destination

experience that gives opportunity to learn, yaitu pariwisata sebagai tempat yang

memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman mental dan fisik dari sumberdaya alam (Sekartjakrarini dan Legoh, 2003)

Tourism atau Kepariwisataan merupakan sektor ekonomi yang banyak

diperhatikan pada beberapa dasawarsa terakhir. Sebagai mesin penggerak peningkatan ekonomi regional, pariwisata memiliki manfaat-manfaat penting yaitu sebagai pencipta lapangan kerja, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah serta dapat meningkatkan upaya dalam menjaga dan memperbaiki lingkungan. Bagi Indonesia, pariwisata diharapkan dapat berperan dalam menyumbang devisa negara, meningkatkan hubungan internasional, pemberdayaan masyarakat serta pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulau 17.508 buah dan memiliki panjang garis pantai 81.000 kilometer. Luas wilayah Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, adalah 5,8 juta kilometer persegi. Species flora dan fauna di lautan Indonesia, sebagian besar menghuni wilayah pesisir. Ekosistem pesisir merupakan sumber kehidupan bagi rakyat, bahkan selama bertahun-tahun telah menjadi pendukung bagi pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu ekosistem pesisir di Indonesia saat ini diarahkan untuk berbagai kegiatan pariwisata khususnya kegiatan pariwisata bahari. Peranan pariwisata bahari cenderung akan semakin meningkat dalam pembangunan nasional, mengingat jumlah kunjungan wisatawan ke berbagai obyek pariwisata terus meningkat.

Salah satu wilayah pesisir dan laut yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata khususnya pariwisata bahari adalah Pulau Rempang dan Galang (Relang). Pulau Rempang dan Galang terletak di perairan

(17)

Laut China Selatan dan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Propinsi Kepuluan Riau (Kepri). Secara administratif pula, kedua pulau tersebut dibawah pengelolaan pemerintah Kota Batam Kecamatan Galang. Sebagai sebuah kepulauan, Relang dianugerahi dengan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang cukup besar. Dengan wilayah pesisir dan laut yang demikian luas, pembangunan ekonomi di Relang dapat didukung oleh sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, walaupun hingga saat ini pembangunan ekonomi di wilayah ini masih berbasiskan kepada pembangunan berbasis daratan. Secara umum, sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut Relang dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu : sumberdaya terpulihkan, sumberdaya tidak terpulihkan dan jasa-jasa kelautan. Sumberdaya terpulihkan antara lain adalah ikan, udang, terumbu karang, rumput laut, padang lamun dan mangrove. Sementara itu, sumberdaya tidak terpulihkan antara lain adalah pasir dan mineral. Contoh dari jasa-jasa kelautan antara lain adalah wisata bahari, pantai dan perhubungan. Selain itu di kawasan ini banyak terdapat pulau-pulau kecil yang memiliki pantai yang berpasir putih dan pemandangan yang indah. Dilihat dari perputaran arus yang ada maka perairan di kota Batam yang berada di selat Malaka ini merupakan daerah subur bagi kehidupan perikanan dan biota lainnya. Panjang pantai Relang adalah sekitar 1.261 km dengan luas wilayah lautnya sebesar 289.300 ha yang mencakup sekitar 74% dari total wilayah administrasi Barelang. Ada sebanyak sekitar 325 pulau-pulau di wilayah Barelang, yang membuat daerah ini sebagai daerah gugusan pulau-pulau kecil yang sangat luas. Dengan pertumbuhan ekonomi lokal yang cukup atraktif dibanding dengan pulau-pulau lainnya, pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut menjadi salah satu kegiatan utama bagi perekonomian wilayah ini.

Namun untuk menjaga keberlanjutan pembangunan pariwisata, kelestarian baik sebagai sumberdaya maupun lingkungan hidup perlu diperhatikan agar mampu memberikan sumbangan yang besar untuk keberlanjutan pembangunan nasional.

Khusus menyangkut lingkungan, yang pada hakekatnya merupakan modal dasar bagi pengembangan pariwisata, sumber-sumber pariwisata baik alam maupun budaya relatif fragile terhadap perubahan atau pemanfaatan yang berlebihan. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa arah yang jelas akan berakibat pada kerusakan sumber-sumber tersebut, yang pada gilirannya akan mematikan pariwisata itu sendiri.

(18)

Dampak negatif yang ditimbulkan sebagai salah satu lokasi wisata membuat para ahli konservasi prihatin terhadap dampak yang ditimbulkan. Meskipun pariwisata merupakan usaha yang menguntungkan tetapi pariwisata massal dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang jauh lebih merugikan karena lingkungan dapat menjadi rusak akibat kunjungan yang berlebihan. Sudiana (1999), menyatakan bahwa kegiatan pariwisata yang dikembangkan saat ini hanya didasarkan pada aspek ekonomi, sehingga terjadi eksploitasi sumberdaya alam dan kurang memperhatikan unsur lingkungan hidup, sehingga banyak terjadi kerusakan sumberdaya alam akibat dampak yang ditimbulkan kegiatan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan ini para ahli lingkungan telah membuat suatu pendekatan pariwisata yang lebih memperhatikan keseimbangan antara aspek konservasi dan ekonomi, konsep ini dinamakan ekowisata. Ekowisata disambut sebagai suatu pendekatan baru yang potensial untuk melindungi wilayah-wilayah yang labil dan terancam. Ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan.

Menurut Eplerwood dalam Fandeli (2000), ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata.

Ekowisata yang benar harus didasarkan atas sistem pandang yang mencakup didalamnya prinsip kesinambungan dan pengikutsertaan partisipasi masyarakat setempat didalam areal-areal potensial untuk pengembangan ekowisata.

Terdapat 5 (lima) syarat kecukupan dalam konsep ekowisata, yaitu : (1) pemanfaatan untuk perlindungan; (2) pengikut sertakan masyarakat; (3) produk interpretasi; (4) dampak negatif minimal; (5) kontribusi ekonomi (Sekartjakrarini, 2004)

Ekowisata harus dilihat sebagai usaha bersama antar masyarakat setempat dan pengunjung dalam usaha melindungi lahan-lahan dan aset budaya dan biologi melalui dukungan terhadap pembangunanan masyarakat setempat. Ekowisata sebagai bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan dikawasan yang dilindungi pemerintah seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam atau lingkungan alam yang tidak dilindungi seperti daerah pertanian dan desa wisata (Hadinoto, 1996).

Untuk dapat memanfaatkan wilayah pesisir, laut dan sumberdaya yang berada di dalamnya secara optimal dan lestari, maka perlu diadakan dan

(19)

dikembangkan penelitian potensi dasar secara menyeluruh. Salah satu contoh perwujudannya ialah dengan melakukan penelitian tentang Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji potensi dan menentukan kelas kesesuaian kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang untuk pengembangan ekowisata;

2. Menentukan daya dukung kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang dalam menunjang kegiatan ekowisata;

3. Menentukan arahan perencanaan kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang untuk pengembangan ekowisata.

1.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini diawali dari gagasan seorang futurist terkenal John Naisbitt yang memprediksikan 3 (tiga) industri jasa yang akan memegang kendali di planet ini, yaitu telekomunikasi, transportasi dan kepariwisataan.

Industri kepariwisataan merupakan suatu industri gaya baru, yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam berbagai hal seperti kesempatan kerja, pendapatan dan taraf hidup.

Wilayah pesisir dan laut merupakan wilayah perairan yang memiliki berbagai jenis sumberdaya yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu tujuan pariwisata bahari. Namun untuk menjaga keberlanjutan pembangunan pariwisata itu, kelestarian baik sebagai sumberdaya maupun lingkungan hidup perlu diperhatikan agar mampu memberikan sumbangan yang besar untuk keberlanjutan pembangunan nasional.

Untuk dapat memanfaatkan wilayah pesisir, laut dan sumberdaya yang berada didalamnya secara optimal dan lestari, maka perlu dikaji sumber data yaitu berupa kondisi alam atau lingkungan dan kondisi sosial, ekonomi dan budaya secara menyeluruh yang kemudian akan dievaluasi dengan standar kriteria penilaian obyek dan daya tarik wisata alam, analisis daya dukung pariwisata dan analisis SWOT.

Hasil dari evaluasi akan menghasilkan sebuah perencanaan sehingga terdapat prioritas bagi daerah yang akan dikembangkan, dan hal ini akan

(20)

membantu perencanaan potensi kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk pengembangan ekowisata. Bagan alir penelitian Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir penelitian

Pariwisata

Wilayah Pesisir dan Laut Pulau Rempang

dan Galang

Kondisi Alam/Lingkungan Fisik

Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya

Standar Kriteria Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam Analisis Daya

Dukung Pariwisata

Analisis SWOT

Perencana Pengembangan Ekowisata Kajian Sumber Data

Evaluasi

Perencanaan

Prioritas Daerah yang Dikembangkan

(21)

1.4. Perumusan Masalah

John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan 3 (tiga) industri jasa yang akan memegang kendali di planet ini, yaitu telecommunication,

transportation dan tourism. Tourism atau kepariwisataan merupakan salah satu

sektor yang berkembang di Kota Batam, yang selain didominasi oleh obyek wisata hiburan, Kota Batam juga didominasi dengan kegiatan wisata alam, bahari, laut, budaya serta wisata spiritual.

Modal dasar bagi pengembangan wisata alam, bahari, laut dan budaya adalah lingkungan. Khusus menyangkut lingkungan, relatif fragile terhadap perubahan atau pemanfaatan yang berlebihan. Pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata yang dilakukan tanpa arah yang jelas akan berakibat pada kerusakan sumber-sumber daya alam sebagai obyek wisata, yang pada gilirannya akan mematikan pariwisata itu sendiri.

Para ahli konservasi prihatin terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata saat ini. Meskipun pariwisata merupakan usaha yang menguntungkan tetapi pariwisata tanpa perencanaan yang baik dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang jauh lebih merugikan karena lingkungan dapat menjadi rusak akibat kunjungan yang berlebihan. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan ini para ahli lingkungan telah membuat suatu pendekatan pariwisata yang lebih memperhatikan keseimbangan antara aspek konservasi dan ekonomi, konsep ini dinamakan ekowisata.

Menurut Sekartjakrarini (2004) terdapat 5 (lima) syarat kecukupan dalam konsep ekowisata, yaitu : (1) pemanfaatan untuk perlindungan; (2) pengikut sertaan masyarakat; (3) produk interpretasi; (4) dampak negatif minimal; dan (5) kontribusi ekonomi. Atas dasar syarat tersebut maka ekowisata dapat dipandang sebagai suatu konsep baru yang mengandung ciri-ciri potensial melindungi wilayah yang labil dan terancam, tidak melakukan eksploitasi alam, menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan tentang fisik dan psikologis wisatawan. Oleh karena itu ekowisata yang benar harus didasarkan atas usaha bersama antar masyarakat setempat dan pengunjung dalam usaha melindungi sumberdaya alam dan aset budaya.

Untuk dapat menerapkan konsep ekowisata dalam memanfaatkan wilayah pesisir, laut dan sumberdaya yang berada di dalamnya secara optimal dan lestari, maka perlu dilakukan identifikasi potensi sumber daya alam untuk kegiatan wisata secara menyeluruh. Salah satu contoh perwujudannya ialah dengan melakukan

(22)

penelitian tentang Analisis Potensi Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk Pengembangan Ekowisata.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimana menggali dan mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sosial budaya wisata yang ada di kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam

2. Bagaimana kondisi kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam dalam menunjang pengembangan ekowisata ?

3. Bagaimana strategi pengelolaan yang harus ditempuh dalam mencapai ekowisata ?

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Merupakan bahan acuan dan pertimbangan bagi berbagai pihak terkait terutama bagi pemerintah kota Batam sebagai bahan masukan dalam menentukan strategi yang optimal dalam penentuan kebijakan pengelolaan pariwisata secara berkelanjutan;

2. Memberikan gambaran yang jelas bagi berbagai pihak terkait terutama pemerintah kota Batam mengenai kegiatan yang dilaksanakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam sebagai kawasan ekowisata.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Pengembangan Pariwisata

Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor utama dalam pengembangan sustainable ecotourism, yaitu : (1) Lingkungan; ecotourism bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu; (2) Masyarakat; ecotourism harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara langsung kepada masyarakat; (3) Pendidikan dan pengalaman; ecotourism harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki; (4) Berkelanjutan;

ecotourism dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi

lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang; (5) Manajemen;

ecotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan

alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekarang maupun generasi mendatang.

Dalam GBHN 1999-2004, arah kebijakan pembangunan pariwisata di Indonesia adalah mengembangkan pariwisata melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu bersifat interdispliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteri ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan. Dalam Propenas 2000-2004, pengembangan pariwisata didasarkan pada potensi sumberdaya, keragaman budaya, seni dan alam. Pengembangan sumberdaya ini dikelola dengan pendekatan peningkatan nilai tambah sumberdaya secara terpadu antara pengembangan produk pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal (community based tourism development).

Pariwisata juga harus dipersepsikan sebagai suatu instrumen untuk meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, kualitas hidup penduduk setempat, dan kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu pengembangan pariwisata perlu dijadikan sebagai bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, dilakukan dalam kesatuan terpadu dengan sektor-sektor pembangunan lain. Untuk memberikan arahan pengembangan pariwisata perlu ditetapkan beberapa kriteria yang dinyatakan oleh Revron O’Grady dalam Fandeli

(24)

(2000) yaitu (1) Keputusan akan bentuk wisata di setiap tempat harus dibuat berdasarkan konsultasi dengan masyarakat lokal dan dapat diterima oleh mereka; (2) Masyarakat harus mendapat pembagian keuntungan yang sesuai dari pengembangan kawasan wisata di daerahnya; (3) Pengembangan kawasan wisata harus didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan dan ekologis, peka terhadap budaya lokal dan tradisi-tradisi religi, serta tidak mendudukkan setiap anggota masyarakat pada posisi inferior; (4) Jumlah wisatawan yang mengunjungi suatu area sedemikian rupa sehingga tidak melebihi jumlah dari penduduk lokal sehingga dimiliki peluang bertemu dan mengamati kehidupan penduduk yang sebenarnya.

2.2. Ekowisata

Menurut buku Ecotourism : A Guide For Planners and Managers,

ecotourism diartikan sebagai suatu responsible travel ke lingkungan alami yang

mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Akar ekowisata terletak pada wisata alam ruang terbuka. Saat itu pengembangan sektor wisata masih difokuskan pada produk yang bersifat massal (mass-tourism) yang hanya mementingkan kegiatan ekonomi. Sementara itu, semakin banyaknya kunjungan wisata, timbul rasa keprihatinan dan kekhawatiran terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkannya. Untuk itu dicari model gagasan pariwisata yang lebih sehat dan bermanfaat, berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu model tersebut adalah ekowisata

Istilah ekowisata berasal dari kata :

1. Eco-logical = ekologi, artinya sebagai sumberdaya dan daya tarik ekowisata alam memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian alam dan

lingkungan

2. Eco-nomical = ekonomi, artinya ekowisata merupakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan

3. Evaluating Community Opinion = Evaluasi Kepentingan dan Opini Masyarakat, artinya ekowisata mempunyai kepedulian terhadap peningkatan peran serta masyarakat, dan upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat.

(25)

Dalam konteks perumusan Rencana Strategis Pengembangan Ekowisata Nasional, dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku universal, rekomendasi-rekomendasi yang terangkat dalam berbagai forum diskusi dan hasil-hasil kajian dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan Ekowisata Nasional dirumuskan sebagai berikut : Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya.

Penerapan konsep ekowisata nasional yang diberlakukan bagi kawasan-kawasan sebagaimana disebutkan dalam batasan tersebut, mengartikan bahwa konsep ini berlaku bagi pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata yang mengambil tempat di antara lain kawasan konservasi hutan dan laut, kawasan budaya, kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir, kawasan rural binaan dan pedesaan serta kawasan-kawasan lain yang memeiliki kerentanan ekologis yang tinggi seperti misalnya kawasan karst dan kawasan esensial (Sekartjakrarini, 2003).

Wheat (1994) dalam Goodwin (1997), berpendapat bahwa ekoturisme adalah “pasar khusus (niche market) untuk wisatawan yang sadar lingkungan dan tertarik untuk mengamati alam”. Steele (1993) dalam Goodwin (1997), menggambarkan kegiatan ekoturisme sebagai “proses ekonomi yang memasarkan ekosistem yang indah dan langka secara internasional untuk menarik pengunjung”. Wight (1994) dalam Goodwin (1997), memberi batasan yang lebih tegas, yaitu perjalanan wisata yang dipromosikan sebagai wisata yang berwawasan lingkungan, sama seperti produk yang dikemas dan berabel hijau di pasar swalayan.

Pada Gambar 2 dibawah ini dijelaskan, bahwa manusia (wisatawan) dan alam (termasuk di dalamnya kehidupan penduduk setempat) menjadi input dari kegiatan ekoturisme. Output dari proses ini ada dua macam (Hani, 1994) : (1) Output langsung yang langsung dirasakan oleh manusia adalah unsur hiburan dan

(26)

penambahan pengetahuan. Sedang output langsung bagi alam adalah perolehan dana yang kelak sebagian darinya difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya; (2) Output tak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidupnya di hari-hari esok agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini diharapkan tumbuh akibat adanya kesan mendalam yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi aktif secara langsung dengan lingkungan alam, disertai pemahaman-pemahaman ekologis yang dituturkan oleh guide pendampingnya.

Output tak langsung Output langsung input input

Output langsung (hiburan, pengetahuan)

Gambar 2. Skema konsep ekoturisme dengan output yang dihasilkan

Menurut Ecotourism Research Group (1996, a dan b) ekoturisme adalah

kegiatan yang bertumpu pada lingkungan alam dan budaya, dapat memberikan beberapa manfaat penting sebagai berikut : ● Mendidik wisatawan tentang fungsi dan manfaat lingkungan alam dan budaya; ● Meningkatkan kesadaran dan penghargaan akan lingkungan dan budaya, serta meminimumkan dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan tersebut; ● Bermanfaat secara ekologi, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat setempat; ● Menyumbang langsung pada pelestarian dan keberlanjutan manajemen lingkungan alam dan budaya yang terkait, tempat berlangsungnya kegiatan ekoturisme.

Secara umum ekoturisme mempunyai 3 (tiga) ciri, yaitu : (1) Menunjukkan pada wisatawan mengenai lingkungan alam yang unik tetapi dapat

ALAM

(27)

dijangkau; (2) Wisata sebagai sarana pengenalan dan peningkatan upaya konservasi alam melalui pendidikan, perubahan perilaku masyarakat, dan pengembangan kegiatan masyarakat dengan berbagai alternatif dan prioritas; (3) Membuka kesempatan kerja dan kegiatan usaha bagi masyarakat lokal.

2.3. Rekreasi dan Pariwisata

Secara harfiah rekreasi berarti kembali kreatif. Dalam pengertian umum rekreasi didefinisikan sebagai penggunaan waktu senggang secara konstruktif dan menyenangkan. Douglas (1982) menyatakan bahwa rekreasi adalah seluruh aktifitas yang menyegarkan atau menyenangkan atau nyaman untuk bersenang-senang atau bermain. Sedangkan rekreasi alam terbuka adalah setiap rekreasi yang dilakukan ditempat-tempat yang tanpa dibatasi suatu bangunan atau rekreasi yang dilakukan diluar bangunan.

Rekreasi merupakan kebutuhan manusia yang azasi dan universal, dan mempunyai fungsi yang semakin penting dalam kehidupan perorangan, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Menurut Clawson (1968), pada umumya setiap orang menyukai tiga hal dalam kegiatan rekreasi, yaitu keindahan, alamiah, dan permainan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 (Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, 1990) menyatakan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.

Menurut Soemarwoto (1983), pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan. Pariwisata sangat peka terhadap kerusakan lingkungan, seperti pencemaran oleh limbah domestik yang berbau dan nampak kotor, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan alam oleh penebangan hutan, gulma air di danau, sampah dilaut dan lain sebagainya.

(28)

2.4. Pengembangan Pariwisata Bahari

Pariwisata bahari adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti : berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkling, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir. Pariwisata ini sering diasosiasikan dengan tiga “S” (sun, sea and sand), artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut, dan pantai berpasir putih (Dahuri, 1993).

Beberapa atraksi wisata bahari yang sekaligus merupakan potensi laut sebagai medium wisata adalah taman laut (terumbu karang yang subur dan biota laut), formasi karang buatan (artificial reefs), kerangka kapal tenggelam, obyek purbakala, ikan-ikan buruan dan pantai yang indah. Pendayagunaan laut sebagai medium wisata memerlukan persyaratan tertentu, antara lain : (1) Keadaan musim/cuaca yang cukup baik sepanjang tahun; (2) Lingkungan laut yang bersih, bebas pencemaran; (3) Keadaan pantai yang bersih dan alami, yang disertai pengaturan-pengaturan tertentu akan bangunan dan macam kegiatan; (4) Keadaan dasar laut yang masih alami, misalnya taman laut (terumbu karang) yang merupakan habitat dari berbagai fauna dan flora; (5) Gelombang dan arus yang relatif tidak terlalu besar serta aksesibilitas yang tinggi

Kawasan pantai merupakan titik fokus pengembangan rekreasi dan pariwisata dan menjadi sumber pendapatan utama bagi negara. Selanjutnya dikemukakan bahwa, dalam fungsinya sebagai medium wisata, ekosistem pantai mempunyai suatu kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsi secara berkelanjutan yang disebut sebagai carrying capacity, baik berdasarkan aspek sosial maupun lingkungannya. Besarnya nilai tersebut tergantung pada adanya pengembangan wisata yang terkontrol, perencanaan yang telah diformulasikan, taman-taman laut dan daerah preservasi yang dibuat, dan peraturan perundang-undangan yang ditulis, diimplementasikan dan ditegakkan oleh pemerintah.

Penilaian daya tarik obyek wisata dilakukan agar ada prioritas penanganan pengembangan kawasan pariwisata, baik dari faktor kemampuan lahannya dalam menyediakan fasilitas wisata maupun kenampakan panorama sekitarnya juga diperhatikan (Aprijanto dan Sugiharto, 2000).

(29)

Soeriatmadja (1997) menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan diberi batasan sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuan pembangunan yang berkelanjutan ialah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapannya dilapangan. Berdasarkan konsep pembangunan yang berkelanjutan pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan (sustainable

marine tourism) dapat diartikan sebagai pengembangan wisata yang berwawasan

lingkungan dengan tidak merusak kondisi sumberdaya alam pesisir yang telah ada, sehingga dapat dimanfaatkan terus-menerus sampai generasi yang akan datang.

Kegiatan wisata alam selain memberikan dampak positif juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, baik dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata alam itu sendiri maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negatif terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya pengetahuan kesadaran serta pendidikan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan (Soeriatmadja, 1997).

Pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan kehilangan dan penurunan mutu kawasan yang tidak diharapkan, sebagai akibatnya adalah hilangnya kawasan yang menarik bagi wisatawan. Fasilitas dan lokasi adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya dan penurunan mutu sumberdaya pesisir. Pemilihan lokasi yang tidak sesuai dapat menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan pemilihan pengembangan, baik sekarang maupun akan datang. Banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan pendugaan terhadap karakteristik proses alami kawasan pesisir (kerusakan akibat badai dan ombak, erosi pantai dan intrusi air laut) adalah sebagai penyebab kegagalan umum perencanaan tata guna lahan, yang mengakibatkan rapuhnya ekosistem dan bahkan infrastruktur (Baehaqie dan Helvoort, 1993).

(30)

2.5. Pengertian Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut ; batas didaratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas dilaut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen, 2001).

Wilayah pesisir adalah suatu jalur saling mempengaruhi antara darat dan laut, yang memiliki ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat (Bakosurtanal, 1990). Batas wilayah pesisir arah ke daratan tersebut ditentukan oleh : (a) Pengaruh sifat fisik air laut, yang ditentukan berdasarkan seberapa jauh pengaruh pasang air laut, seberapa jauh flora yang suka akan air akibat pasang tumbuh (water loving vetation) dan seberapa jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah tawar; (b) Pengaruh kegiatan bahari (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi bahari (desa nelayan) sampai arah ke daratan.

Soegiarto (1976) dalam (Dahuri, 1999), memberikan definisi yaitu : wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Menurut Sugiarto (1986), dalam Sutikno (1999), yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan laut. Selanjutnya Bird (1969), menyatakan bahwa : wilayah pesisir adalah mintakat yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas ke arah daratan hingga batas pengaruh laut masih dirasakan.

(31)

2.6. Potensi Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable

resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3)

jasa-jasa lingkungan (environmental services).

Sumber daya dapat pulih : (a) Hutan Mangrove, merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain. Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah sebagai kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal di negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri, 1996). (b) Terumbu Karang, ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi dibandingkan ekosistem lainnya, demikian pula keanekaragaman hayatinya. Disamping mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Di beberapa tempat di Indonesia, karang batu (hard coral) dipergunakan untuk berbagai kepentingan seperti konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri, dan perhiasan. Dalam industri pembuatan kapur, karang batu kadang-kadang ditambang sangat intensif seperti terjadi di pantai-pantai Bali hingga mengancam keamanan pantai. Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lainnya. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belum optimal dimanfaatkan (Dahuri, 1996).

(32)

Sumber daya tidak dapat pulih (non-renewable resources) meliputi seluruh mineral dan geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas yaitu kelas A (mineral strategis : minyak, gas, dan batu bara), kelas B (mineral vital : emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite); dan kelas C (mineral industri : termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin dan pasir). Berbagai potensi sumber daya mineral wilayah pesisir dan lautan di Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir (Dahuri, 1996).

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasn pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya (Dahuri, 1996)

2.7. Daya Dukung Perairan Pesisir dan Lautan

Pendayagunaan potensi wilayah pesisir dan laut sesuai daya dukung lingkungan adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus mampu ditolerir oleh kemampuan dan daya dukung wilayah pesisir dan lautan. Oleh karena itu, kebijakan yang harus ditetapkan adalah seluruh akumulasi limbah yang dibuang ke perairan harus sesuai dengan kapasitas asimilasi perairan (Dahuri, 1999).

Lebih lanjut, Dahuri (1999) menyatakan bahwa wilayah pesisir dan laut sebagai daerah pertemuan antara daratan dan laut seringkali menjadi tempat terakumulasinya dampak dari lahan atas, laut lepas dan dari wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Akibatnya, konsentrasi bahan pencemar dari waktu ke waktu terus bertambah. Kondisi demikian apabila melebihi kapasitas asimilasi dari perairan pesisir, akan menimbulkan dampak terhadap berbagai ekosistem dan biota di dalamnya. Untuk mencegah meningkatnya bahan-bahan pencemar tersebut, maka setiap kegiatan yang menghasilkan bahan pencemar harus mampu

(33)

meminimalkan dampak negatif terhadap perairan pesisir. Oleh karena itu, perlu mengetahui berapa besar kemampuan asimilasi dari perairan pesisir dan lautan dalam mentolerir bahan pencemar.

Dahuri (1999) menyatakan bahwa jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, pariwisata, dan lain-lain) di atas lahan atas atau DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut.

2.8. Pencemaran Perairan Pesisir

Pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologis yang tidak diinginkan terhadap tanah, air dan udara, yang nantinya dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup pada habitat tertentu (Odum, 1971). Lebih lanjut Gesamp (1986), mendefinisikan bahwa pencemaran perairan pesisir dan laut adalah sebagai dampak negatif terhadap kehidupan biota, sumberdaya, dan kenyamanan (amenities) ekosistem perairan pesisir, serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan limbah (termasuk energi) kedalam laut yang berasal dari kegiatan manusia.

Menurut Connel dan Muller (1974) dalam Mason (1981), pencemaran lingkungan adalah masuknya bahan-bahan yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia, sehingga menimbulkan perubahan yang merusak karakteristik fisik, kimia, biologi atau estetika lingkungan tersebut. Pada dasarnya terjadinya pencemaran merupakan proses biodegradasi limbah dalam sistem daur ulang alami. Pola tersebut menggambarkan bahwa dampak pembuangan limbah ke dalam ekosistem perairan pesisir dan laut akan mempunyai akibat berantai, sesuai dengan dinamika laut dan proses biomagnifikasi yang ada. Diantaranya adalah pola penyebaran limbah sepanjang pesisir karena pengaruh pasang surut, sehingga menimbulkan gangguan kehidupan yang ada pada habitat tersebut. Oleh karena itu penentuan suatu perairan tercemar diperlukan suatu indikator lingkungan (Sutamiharja, 1992).

(34)

Penilaian kualitas perairan pesisir dan peruntukannya didasarkan pada baku mutu yang diukur dari aspek fisik, kimia dan biologis berdasarkan peraturan pemerintah No. 18 tahun 1999, tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun. Beberapa parameter kimia yang mempengaruhi kualitas perairan pesisir diantaranya adalah : COD (chemical oxygen demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua zat organik secara kimiawi dengan air ; BOD (biological oxygen demand) yaitu ukuran banyaknya oksigen yang tersuspensi dalam air untuk waktu lima hari. TSS (total suspended solid) yaitu padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung.

Mc. Corduchy (1970), menyatakan bahwa pencemaran lingkungan pesisir dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari daratan dan dari lautan. Sumber pencemaran yang berasal dari daratan sebagian besar berasal dari kegiatan pertanian, industri rumah tangga, perkotaan dan pariwisata. Pencemaran yang berasal dari laut seperti pembuangan sampah atau limbah dari kapal laut, tumpahan minyak dan pembuangan lumpur dari limbah kegiatan tambang minyak di laut.

(35)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Rempang dan Galang (Relang) Kecamatan Galang Kota Batam. Pulau Rempang dan Galang terletak di perairan Laut China Selatan. Secara administratif, kedua pulau tersebut dibawah pengelolaan pemerintah Kota Batam Kecamatan Galang.

Sebelum masuk menjadi salah satu kecamatan di Kota Batam, Kecamatan Galang adalah merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Dengan berdasarkan Undang-undang No. 53 tahun 1999 yang ditetapkan pada tanggal 4 Oktober 1999, secara resmi masuk menjadi wilayah baru Kecamatan yang berada dalam administrasi Kota Batam.

Secara geografis Kecamatan Galang terletak antara 0,25o-1,08o Lintang Utara dan 104,00o-104,24o Bujur Timur. Kecamatan Galang berbatasan dengan : • Sebelah Utara : Kecamatan Bintan Utara

• Sebelah Selatan : Kecamatan Senayang • Sebelah Timur : Kotif Tanjung Pinang • Sebelah Barat : Laut Malaka (Malaysia)

Pengumpulan data sekunder dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai dengan April 2006 dan survei lapangan untuk memperoleh data primer dilakukan pada bulan Maret untuk survei awal dan dilanjutkan bulan Mei sampai Juni 2006.

3.2. Pengumpulan Data

Pada prinsipnya pengumpulan data dilakukan dengan metode Triangulasi (triangular method), yaitu suatu pengumpulan data dengan menggunakan lebih dari satu metode secara independen. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data lebih lengkap dan akurat tentang obyek yang diteliti. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder, baik data kuantitatif maupun data kualitatif.

(36)

3.2.1. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan lapangan atau observasi. Metode observasi merupakan metode yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi potensi wisata di suatu lokasi penelitian, karena kondisi lingkungan akan teramati dengan jelas dan gamblang, sehingga peneliti mendapatkan gambaran secara kasar potensi kawasan pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam untuk pengembangan ekowisata. Unsur-unsur yang diamati yaitu aspek daya tarik terhadap kondisi fisik yang berbentuk darat, pantai dan laut, potensi pasar, aksesibilitas menuju lokasi, kondisi lingkungan sosial ekonomi, pelayanan masyarakat, prasarana dan sarana penunjang, ketersediaan air bersih, hubungan obyek dengan obyek wisata lain, keamanan, karakteristik wisatawan dan masyarakat. Data primer berupa informasi dari wisatawan dan masyarakat dilakukan pengukuran yang lebih mendalam yaitu dengan melakukan wawancara dan penyebaran kuisioner untuk mendapatkan karakteristik wisatawan dan masyarakat serta motivasi wisatawan mengunjungi Pulau Rempang dan Galang. Jumlah sampel yang dikumpulkan menggunakan teknik judgment sampling, dimana sampel yang diambil berdasarkan pada kriteria tertentu yang terdapat pada daftar pertanyaan dan jumlahnya tidak dibatasi. Jumlah sampel yang dikumpulkan bisa sedikit atau banyak tergantung dari dapat terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut.

3.2.2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder diambil dari beberapa sumber antara lain laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, peraturan perundangan dan publikasi daerah serta peta-peta yang telah dipublikasikan. Data sekunder yang telah dikumpulkan antara lain inventarisasi potensi biofisik termasuk didalamnya : potensi flora, potensi fauna, potensi fisik meliputi : geologi, iklim dan fisika; kondisi sosial ekonomi dan budaya meliputi : kependudukan, sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, sarana prasarana perhubungan dan sarana prasarana ekonomi.

(37)

3.3. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam Perencanaan Pengembangan Ekowisata Kawasan Pesisir Pulau Rempang dan Galang Kecamatan Galang Kota Batam yaitu :

1. Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA)

2. Analisis Daya Dukung Kawasan

3. Analisis Arahan Pengembangan Ekowisata (SWOT)

3.3.1. Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA)

Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) adalah suatu kegiatan yang dilakukan terhadap suatu obyek (lokasi) wisata alam melalui analisis daerah operasi, dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan, guna mendapatkan kepastian kelayakan obyek dapat atau tidaknya suatu obyek dikembangkan menjadi obyek wisata alam.

3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan

Daya dukung (carrying capacity) disini dimaksudkan sebagai kemampuan kawasan untuk menerima sejumlah wisatawan. Daya dukung dapat diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Daya dukung alam perlu diketahui secara fisik, lingkungan dan sosial (Pearce and Kirk dalam Dahyar, 1999). Penentuan daya dukung perlu juga dikaitkan dengan akomodasi, pelayanan, sarana rekreasi yang dibangun di setiap tempat tujuan wisata.

Kebutuhan setiap wisatawan akan ruang sangat bervariasi, tergantung pada latar belakang budayanya. Kebutuhan akan ruang menentukan berapa ukuran fasilitas yang perlu dibangun untuk melayani kebutuhan wisatawan. Pada Tabel 3.1 berikut dikemukakan kriteria kebutuhan ruang yang disusun berdasarkan pengalaman budaya Amerika dan Eropa ( world tourism organization, WTO, 1981 dalam Wong, 1991). Kebutuhan ini perlu dipertimbangkan mengingat pasar

(38)

wisatawan nusantara dan asia sejauh ini belum ada standar yang bisa digunakan sebagai dasar dalam pembangunan fasilitas. Adapun standar kebutuhan ruang dan fasilitas di bawah ini sekaligus merupakan parameter yang diukur dalam penelitian ini. Parameter ini merupakan faktor pembatas utama untuk pengembangan pariwisata di TWAP.

Tabel 1. Standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pantai

1. Kapasitas Pantai Kelas rendah Kelas menengah Kelas mewah Kelas istimewa m2 / Orang 10 15 20 30 Orang / 20-50 m pantai 2,0-5,0 1,5-3,5 1,0-3,0 0,7-1,5 2. Air bersih

Penginapan daerah pesisir 200-300 liter/hari/orang Penginapan daerah pantai tropik 500-1000 liter/hari/orang

Akomodasi (hotel) Ekonomi : ruang yang disyaratkan 10 m2/bed Menengah : ruang yang disyaratkan 19 m2/bed Istimewa : ruang yang disyaratkan 30 m2/bed

3.

Atau 60-100 tempat tidur/ha

Sumber : WTO, 1981 dalam Wong,1991

Analisis data : setelah data terkumpul (panjang pantai pasir putih, luas lahan untuk akomodasi, dan kebutuhan air bersih) kemudian dianalisis dengan membandingkan potensi kawasan dengan standarisasi seperti tersebut di atas. Dari hasil analisa akan dapat ditentukan daya tampung kawasan pesisir Kecamatan Galang Kota Batam untuk menerima jumlah maksimum wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

3.3.3. Analisis Arahan Perencanaan Pengembangan Ekowisata

Arahan perencanaan pengembangan ekowisata dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini dapat membantu menentukan kebijakan yang diperlukan dalam rencana pengembangan potensi wisata di daerah pesisir. Analisa SWOT adalah analisa kualitatif yang digunakan untuk

(39)

mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan strategi suatu kegiatan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman

Pada tahap ini dilakukan penelahaan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pengelolaan wilayah pesisir Kecamatan Galang Kota Batam sebagai kawasan pariwisata

2. Analisis SWOT dan alternatif kebijakan hasil analisis SWOT

Pada tahap ini dilakukan analisis hubungan keterkaitan untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO, dan WT). Untuk mendapatkan prioritas kebijakan maka dilakukan pemberian bobot (nilai) berdasarkan tingkat kepentingan. Bobot/nilai yang diberikan berkisar antara 1-3, angka-angka tersebut mewakili tingkat kepentingan, yaitu :

Nilai 1 berarti tidak penting, Nilai 2 berarti penting Nilai 3 berarti sangat penting

Selanjutnya unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Kemudian bobot setiap alternatif kebijakan tersebut dijumlahkan dengan ranking tertinggi merupakan alternatif kebijakan yang diprioritaskan untuk dilakukan.

1. Analisis Kebijakan

Alternatif kebijakan pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari kekuatan kawasan untuk mendapatkan Peluang (SO), kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi Ancaman yang akan datang (ST) ; pengurangan kelemahan kawasan yang ada dengan memanfaatkan Peluang (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi Ancaman yang akan datang (WT).

Tabel 2. Skema analisis SWOT

Internal-External Strength (S) Weakness (W)

Opportunities (O) SO WO

(40)

Alternatif strategi yang diperoleh dari matrik di atas adalah :

Strategi SO : menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mendapatkan peluang yang sudah ada

Strategi ST : menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

Strategi WO : berusaha mendapatkan keuntungan dan kesempatan yang ada dengan mengatasi kelemahan yang ada

Startegi WT : berusaha meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 4.1.1. Sejarah Kota Batam

Batam merupakan salah satu pulau yang berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Tidak ada literatur yang dapat menjadi rujukan dari mana nama Batam itu diambil, yang jelas Pulau Batam merupakan sebuah pulau besar dengan 329 pulau yang ada di wilayah Kota Batam. Satu-satunya sumber yang dengan jelas menyebutkan nama Batam dan masih dapat dijumpai sampai saat ini adalah Traktat London (1824). Penduduk asli Kota Batam diperkirakan adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan Orang Selat atau Orang Laut. Penduduk ini paling tidak telah menempati wilayah itu sejak zaman Kerajaan Tumasik (sekarang Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke'14. Menurut catatan lainnya, kemungkinan Pulau Batam telah didiami oleh orang laut sejak tahun 231 M yang di zaman Singapura disebut Pulau Ujung. Pada masa jayanya Kerajaan Malaka, Pulau Batam berada di bawah kekuasaan Laksamana Hang Tuah. Setelah Malaka jatuh, kekuasaan atas kawasan Pulau Batam dipegang oleh Laksamana Hang Nadim yang berkedudukan di Bentan (sekarang Pulau Bintan). Ketika Hang Nadim menemui ajalnya, pulau ini berada di bawah kekuasaan Sultan Johor sampai pada pertengahan abad ke.18. Dengan hadirnya kerajaan di Riau Lingga dan terbentuknya jabatan Yang Dipertuan Muda Riau, maka Pulau Batam beserta pulau-pulau lainnya berada di bawah kekuasaan Yang Dipertuan Muda Riau, sampai berakhirnya Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1911.

Pada awalnya Pulau Batam yang kita lihat dan amati sekarang merupakan sebuah pulau yang menjadi pusat pemerintahan dengan status Kotamadya yang bersifat administratif, dimana kedudukannya setingkat dengan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II lainnya. Sebelumnya, daerah ini hanyalah sebuah wilayah Kecamatan, yakni Kecamatan Batam yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tingkat II Kepulauan Riau. Pembentukan Pulau Batam dan wilayah Kecamatan menjadi Kotamadya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983, dengan cakupan

(42)

wilayah pemerintahan sama dengan wilayah Kecamatan Batam dan membawahi 3 (tiga) kecamatan, yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur. Perubahan status tersebut merupakan implementasi atas dasar Dekonsentrasi sebagaimana yang dimaksudkan undang-undang Nomor 5 tahun 1974, tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah sedangkan motivasi dibentuknya Kotamadya Batam, tak lain adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan pembangunan sebagai akibat makin berkembangnya wilayah Pulau Batam sebagai akibat daerah industri dan perdagangan, alih kapal, penumpukan dan basis logistik serta pariwisata.

Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelelawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Siak, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, sebagai pengejawantahan undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kota Batam yang semula sebagai Kotamadya Administratif Batam statusnya berubah menjadi daerah Otonom Kota Batam yang dipimpin oleh Walikota. Untuk itu dalam struktur pemerintahan dan penataaan wilayahnya juga mengalami perubahan dimana dan semula terdiri dan 3 (tiga) Kecamatan setelah adanya pemekaran bertambah menjadi 8 (delapan) Kecamatan, yaitu : Kecamatan Batu Ampar, Nongsa, Sungai Beduk, Bulang, Belakang Padang, Sekupang, Lubuk Baja, dan Galang, yang didalamnya terdiri dari gugusan pulau besar (Batam, Rempang, Galang dan Bulang) dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada periode tahun 1990-1998, melalui kepres No. 28/1992 wilayah Batam diperluas menjadi wilayah BALERANG (Batam, Rempang dan Galang) disamping terjadinya penambahan dinas teknis dan perubahan status beberapa lembaga Instansi Vertikal menjadi Instansi Otonom.

4.1.2. Kondisi Umum

Pulau Rempang dan Galang merupakan pulau-pulau di Kecamatan Galang Kabupaten Daerah Tingkat II Kepulauan Riau dengan luas wilayah Pulau Rempang sekitar 168 km2 dan luas Pulau Galang 80 km2 dan Pulau Galang Baru 32 km2. Dengan masuknya Pulau Rempang dan Galang dan pulau-pulau di

(43)

sekitarnya ke dalam wilayah Kota Batam, maka luas wilayah Kota Batam berubah dari 417,5 km2 (51.500 ha) menjadi 715 km2 (71.500 ha). Dengan demikian, luas wilayah Barelang 115% x luas Singapura. Untuk penggabungan Pulau Rempang dan Galang ini pemerintah telah membangun enam buah jembatan yang menghubungkan Pulau Batam-Pulau Tonton, Pulau Tonton-Pulau Nipah, Pulau Nipah-Pulau Setokok, Pulau Setokok-Pulau Rempang, Pulau Rempang-Pulau Galang, dan Pulau Galang Pulau-Galang Baru dengan panjang total keenam jembatan mencapai 2.194 m.

Kecamatan Galang terletak antara 0,25°-1,08° Lintang Utara dan 104,00°-104,24° Bujur Timur. Secara geografis Kecamatan Galang berbatasan dengan : ● Sebelah Utara : Kecamatan Bintan Utara

● Sebelah Selatan : Kecamatan Senayang ● Sebelah Timur : Kotif Tanjung Pinang

(44)

PETA ADMINISTRASI

PULAU BATAM

350000 350000 375000 375000 400000 400000 425000 425000 5 0000 5 0000 7 5000 7 5000 10 000 0 10000 0 12 500 0 12500 0 Legenda : Pulau Bintan Kab. Karimun Selat Singapura Sumber Data : 1. BAPPEDA of Batam City 2. LANDSAT UTM+ 2005 3. Survey 2006 8 0 8 16 Km Laut Darata n Lokasi Industri Pasir Batas Ka bupaten Batas Ke luraha n Jala n Mang rove

Theresia R achm alia G P052040351

Pengelolaan S um berdaya A lam dan Lingk unagan 2006 2°00' 2° 00 ' 4°00 ' 4° 0 0 ' 100°00' 100°00' 106°00' 106°00' 112°00' 112°00' Lokasi Penelitian

Gambar

Gambar 1.  Bagan alir penelitian Pariwisata
Gambar 2.  Skema konsep ekoturisme dengan output yang dihasilkan
Tabel 1.  Standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata pantai
Gambar 3.  Peta administrasi Kota Batam
+7

Referensi

Dokumen terkait

lebih rinci mengenai potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) di Kawah Putih belum pernah. dilakukan, untuk itu perlu studi dan penilaian terhadap potensi-potensi

1) Menarik wisatawan dalam atau luar negeri dengan obyek daya tarik wisata alam melihat secara langsung hidupan liar satwa endemik Kalimantan yaitu bekantan.

Obyek yang dapat dimanfaatkan sebagai potensi ekowisata di Desa Buluh Awar dianalisis mengacu pada 4 kriteria yakni daya tarik, aksesibilitas, akomodasi, dan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Analisis Daerah Operasional Objek Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) PHKA tahun 2003, persamaan daya dukung

Kota Tidore Kepualauan memiliki beraneka macam produk wisata: (1) atraksi wisata, yaitu berupa daya tarik alam (laut, pantai, gunung) pesona seni budaya yang menawan dan

Kawasan Wisata Alam Sangkima merupakan salah satu obyek wisata yang terletak di Taman Nasional Kutai yang memiliki kekayaan dan daya tarik yang beranekaragam sehingga prospektif

Kriteria potensi ODTWA kawasan mangrove Karangsong yang mendapatkan nilai tinggi yaitu daya tarik obyek wisata mangrove, potensi pasar, pengelolaan dan pelayanan, akomodasi,

Potensi dan Kelayakan Obyek Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan hasil penilaian kriteria pada Tabel 6 diketahui bahwa secara keseluruhan kawasan karst wisata Rammang-Rammang memiliki