Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Illya Adista Pratiwi Kesdu
NIM: 11160700000096
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Illya Adista Pratiwi Kesdu NIM: 11160700000096
Pembimbing
Ilmi Amalia, M. Psi., Psikolog NIP. 19821014 201101 2 005
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) di Fakultas Psikologi.
Jakarta, 4 Juni 2020 Sidang Munaqasyah
Dekan/ Wakil Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 19620724 198903 2 001 NIP. 197005529 200312 1 002
Ilmi Amalia, M.Psi., Psikolog NIP. 19821014 201101 2 005
Anggota
Yufi Adriani, M.Psi., Ph.D NIP. 19820918 200901 2 006
Dr. Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psikolog NIP. 19770608 200501 2 003
v
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi B) Juni 2020
C) Illya Adista Pratiwi Kesdu
D) Pengaruh Moral Disengagement dan Peer Attachment terhadap Perilaku
Cyberbullying
E) xiii + 86 halaman + lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cognitive
restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, peer attachment, usia, dan jenis kelamin
terhadap perilaku cyberbullying.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis regresi berganda. Sampel penelitian ini melibatkan 260 remaja yang berusia 12-15 tahun dan sedang bersekolah di tingkat SMP di Jabodetabek dan Tangerang Selatan yang diambil dengan teknik non-probability
sampling, yakni convenience sampling. Instrumen pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang diadaptasi dari 1) Empat dimensi cyberbullying yang dikemukakan oleh Patchin dan Hinduja (2015) untuk mengukur perilaku cyberbullying; 2) Moral Disengagement
Scale oleh Hymel, Rocke-Henderson & Bonanno (2005) untuk mengukur moral disengagement; 3) Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) oleh Gullone dan Robinson (2005) untuk mengukur peer attachment. Pengujian Confirmatory Factory Analysis (CFA)
dilakukan untuk menguji validitas tiap-tiap item. Sedangkan pengujian statistik dengan menggunakan analisis regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh independent variable terhadap dependent variable. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama cognitive restructuring, minimizing agency,
distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, peer attachment, usia, dan jenis kelamin terhadap perilaku cyberbullying
sebesar 15.6%. Sedangkan sisanya, yakni 84.4% dipengaruhi oleh variabel di luar penelitian. Secara rinci, dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying adalah cognitive restructuring, minimizing
agency, dan peer attachment. Sedangkan dimensi lainnya yakni distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, usia, dan
jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
cyberbullying.
Kata kunci: cyberbullying, moral disengagement, dan peer attachment. G) Bahan bacaan: 66. Buku: 12 + jurnal: 46 + artikel: 4 + disertasi: 1 +
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology B) June 2020
C) Illya Adista Pratiwi Kesdu
D) Effect of Moral Disengagement and Peer Attachment on Cyberbullying E) xiii + 86 pages + appendix
The purpose of this research was to determine the effect of cognitive restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, peer attachment, age, and gender on the behaviour of cyberbullying.
This research used a quantitative approach with multiple regression analysis methods. The sample of this research took on 260 teenagers in the age of 12-15 years old that are currently studying in middle school within the Jabodetabek and South Tangerang that were chosen by non-probability sampling technique, that is convenience sampling. The questionnaires used in this study were adaptations of the 1) Four dimensions of cyberbullying by Patchin and Hinduja (2015) used to measure cyberbullying; 2) Moral Disengagement Scale by Hymel, Rocke-Henderson and Bonanno (2005) used to measure moral disengagement; and 3) Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) by Gullone and Robinson (2005) used to measure peer attachment. Confirmatory factor analysis was used to test the validity of each item. Whereas the statistical testing in this research used multiple regression analysis in order to see the effect of independent variables to the dependent variable.
The results showed that there was a significant effect of cognitive restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, peer attachment, age, and gender on cyberbullying with the result of 15.6%. The remaining 84.4% was influenced by variables outside the research. In detail, dimensions that have significant impact on the behaviour of cyberbullying are; cognitive restructuring, minimizing agency and peer attachment. Meanwhile other dimensions in this research, such as distortion of negative consequences, blaming/dehumanizing the victim, age, and gender did not have significant influence on the behaviour of cyberbullying.
Keywords: cyberbullying, moral disengagement, and peer attachment.
F) Reading materials: 66. Books: 12 + journals: 46 + articles: 4 + dissertation: 1 + research reports: 3.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat dan rahmatnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh Moral
Disengagement dan Peer Attachment terhadap Perilaku Cyberbullying”
dengan tepat waktu.
Tak lupa shalawat serta salam peneliti curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian skripsi ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya serta seluruh civitas akademik Fakultas Psikologi. Terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, dan arahannya selama ini.
2. Ilmi Amalia, M.Psi., Psikolog. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat sabar membantu dan membimbing hingga peneliti bisa menyelesaikan studi tepat waktu. Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, motivasi, semangat dan ilmu yang diberikan kepada peneliti. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu berlipat ganda.
3. Miftahuddin, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta dukungan kepada peneliti sejak awal perkuliahan.
4. Kedua orang tua peneliti, Soni Sonjaya dan Dina Wijayanti, yang selalu memberikan motivasi, dukungan moral maupun materiil, dan doa yang tidak pernah henti kepada peneliti.
5. Adik peneliti, Muhammad Aksa Zhafir, yang selalu memberikan semangat untuk peneliti.
viii
6. Seluruh partisipan yang telah membantu peneliti dalam penelitian. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner peneliti. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT.
7. Laila Arifin Badar, Fitri Azizah, Fairuz Zita, Salsabila, Zlavia Melia Nur Islami, Citra Ayu Lestari, Annisa Mardhatillah, Siti Annisa Nediwati, Nadhira Felicia Ariesgo. Terima kasih atas suka duka, tawa tangis, dukungan selama empat tahun ini. Kehidupan kuliah peneliti yang cukup membosankan ini mungkin akan lebih membosankan kalau gak ada kalian.
8. Sahabat Peneliti, Katerina Mukti, yang selalu mendengarkan keluh kesah perkuliahan dan skripsi, serta membantu peneliti menyebarkan kuesioner kepada kenalannya.
9. Teman-teman seperbimbingan skripsi Bu Ilmi, Pia, Desy, Aisyah, Atha, Icha, Siho, dan Cinu. Terimakasih atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada peneliti, mulai dari sempro sampai sidang munaqosah ini.
10. Kak Zahra dan Kak Biya, yang selalu membantu dan menjawab seluruh pertanyaan peneliti mengenai skripsi.
11. Teman-teman kelas C 2016. Terimakasih atas dukungan dan semangat yang kalian berikan kepada peneliti.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk segala bentuk dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pembaca dan penelitian selanjutnya.
Jakarta, Juni 2020
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i HALAMAN PERSETUJUAN ... iiLEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
1.2.1. Pembatasan Masalah ... 7
1.2.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 10
1.3.2. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2 LANDASAN TEORI ... 12
2.1. Cyberbullying ... 12
2.1.1. Definisi Cyberbullying ... 12
2.1.2. Elemen Cyberbullying ... 13
2.1.3. Bentuk Aktivitas Cyberbullying ... 15
2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying ... 16
2.1.5. Pengukuran Cyberbullying ... 19
2.2. Moral Disengagement ... 21
2.2.1. Definisi Moral Disengagement ... 21
2.2.2. Dimensi Moral Disengagement ... 22
2.2.3. Pengukuran Moral Disengagement ... 25
2.3. Attachment ... 26
2.3.1. Definisi Attachment ... 26
2.3.2. Definisi Peer Attachment ... 28
2.3.3. Dimensi Peer Attachment ... 30
2.3.4. Pengukuran Peer Attachment ... 31
2.4. Kerangka Berpikir ... 32
2.5. Hipotesis Penelitian ... 38
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 40
x
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 41
3.2.1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
3.2.2. Definisi Operasional Variabel ... 41
3.3. Instrumen Pengumpulan Data ... 42
3.3.1. Instrumen Cyberbullying ... 43
3.3.2. Instrumen Moral Disengagement ... 44
3.3.3. Instrumen Peer Attachment ... 45
3.4. Uji Validitas Konstruk ... 46
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Cyberbullying ... 48
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Moral Disengagement ... 49
3.4.2.1. Hasil Uji Validitas Konstruk Cognitive Restructuring ... 49
3.4.2.2. Hasil Uji Validitas Konstruk Minimizing Agency ... 50
3.4.2.3. Hasil Uji Validitas Konstruk Distortion of Negative Consequences ... 51
3.4.2.4. Hasil Uji Validitas Konstruk Blaming/Dehumanizing the Victim ... 52
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Peer Attachment ... 53
3.5. Teknik Analisis Data ... 54
3.6. Prosedur Penelitian ... 56
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 59
4.1. Gambaran Subyek Penelitian ... 59
4.2. Hasil Analisis Deskriptif ... 61
4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 62
4.4. Hasil Uji Hipotesis ... 64
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 73
5.1. Kesimpulan ... 73 5.2. Diskusi ... 74 5.3. Saran ... 77 5.3.1. Saran Teoritis ... 77 5.3.2. Saran Praktis ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN ... 87
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Proporsi Nilai Skala ... 43
Tabel 3.2 Blue Print Instrumen Cyberbullying ... 44
Tabel 3.3 Blue Print Instrumen Moral Disengagement ... 45
Tabel 3.4 Blue Print Instrumen Peer Attachment ... 46
Tabel 3.5 Koefisien Muatan Faktor Cyberbullying ... 49
Tabel 3.6 Koefisien Muatan Faktor Cognitive Restructuring ... 50
Tabel 3.7 Koefisien Muatan Faktor Minimizing Agency ... 51
Tabel 3.8 Koefisien Muatan Faktor Distortion of Negative Consequences ... 51
Tabel 3.9 Koefisien Muatan Faktor Blaming/Dehumanizing the Victim ... 52
Tabel 3.10 Koefisien Muatan Faktor Peer Attachment ... 53
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian ... 59
Tabel 4.2 Gambaran Umum Kedua Subyek Penelitian ... 60
Tabel 4.3 Hasil Analisis Deskriptif ... 62
Tabel 4.4 Norma Skor Variabel ... 63
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 63
Tabel 4.6 Model Summary Analisis Regresi ... 65
Tabel 4.7 ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV ... 66
Tabel 4.8 Koefisien Regresi ... 67
Tabel 4.9 Proporsi Varians Cyberbullying pada setiap Independent Variable ... 70
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian ... 37
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 87
Lampiran 2 Bukti Pengisian Informed Consent Online ... 95
Lampiran 3 Hasil CFA Konstruk ... 96
Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Berganda ... 102
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dengan adanya perkembangan ini menambah kenyamanan serta kemudahan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi secara instan dengan siapapun (Wright, 2018), salah satunya yaitu penggunaan internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2019) menyebutkan bahwa pengguna internet pada tahun 2018 mencapai 64,8% dari jumlah populasi penduduk di Indonesia. Secara spesifik, 171,17 juta jiwa dari 264,16 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan pengguna internet. Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2017 terdapat 143,26 juta jiwa pengguna internet di Indonesia. Peningkatan yang dialami tiap tahunnya menunjukkan bahwa adanya kebutuhan yang tinggi terhadap penggunaan internet.
Dari sekian banyak pengguna internet di Indonesia sebanyak 66,2% remaja berusia 10-14 tahun telah menggunakan internet dan 80,4% diantaranya merupakan siswa yang sedang bersekolah di tingkat SMP (APJII, 2019). Dengan tingginya penggunaan internet pada remaja dapat menambah risiko online, salah satunya cyberbullying (Wright, 2018).
Patchin dan Hinduja (2010) mengemukakan bahwa cyberbullying adalah bentuk lain dari bullying yang telah mendapatkan banyak perhatian dalam beberapa tahun belakangan. Survei yang dilakukan oleh APJII di tahun 2018 menyatakan bahwa 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami
cyberbullying (The Jakarta Post, 2019). Selain itu, data yang diperoleh UNICEF
pada 2016 hampir setengah remaja di Indonesia pada rentang usia 13 hingga 15 tahun pernah mengalami perilaku cyberbullying (Elia, 2017).
Cyberbullying merupakan suatu bentuk perilaku agresif atau pelecehan
tertulis yang terjadi secara online dengan menggunakan komputer dan ponsel yang menjadi perangkat elektronik yang paling banyak digunakan untuk melakukan cyberbullying (Wong et al., 2014). Dengan melalui media ini, seseorang dapat mengirim pesan atau konten yang menyakitkan dan merendahkan target di forum publik yang banyak dikunjungi pengguna online lainnya (Hinduja & Patchin, 2013). Dengan demikian cyberbullying tidak hanya terbatas pada satu jenis komunikasi, namun memungkinkan untuk dilakukan di email, pesan instan, atau situs web (Brewer & Kerslake, 2015).
Vandebosch dan Cleemput (2008) mengidentifikasi beberapa kriteria spesifik perilaku yang dapat dikategorikan sebagai cyberbullying. Pertama, pelaku melakukan perilaku tersebut dengan tujuan untuk menyakiti korban, dan dianggap sebagai suatu hal yang menyakitkan oleh korban. Kedua, menjadi bagian dari pola berulang dari tindakan offline atau online yang negatif. Terakhir, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban dalam kehidupan nyata maupun dunia maya, seperti fisik, usia dan pengetahuan teknologi.
Dalam perilaku cyberbullying terdapat tiga elemen yang penting, yaitu pelaku (perpetrators), korban (victims), dan pengamat (bystanders). Diantara pelaku dan korban tidak memungkinkan adanya kontak fisik, pelaku hanya membahayakan korban secara online (Barlett & Coyne, 2014). Korban
cyberbullying juga cukup yakin atau benar-benar yakin mengenai identitas pelaku cyberbully mereka (Juvonen & Gross, 2008).
Pengamat merupakan seseorang yang menyaksikan perilaku tersebut antara pelaku dan korban (Wachs dalam Wright & Wachs, 2018). Pengamat dapat merespons perilaku cyberbullying dengan tiga hal yang berbeda. Bisa dengan tetap menjadi orang luar, membantu atau memperkuat pelaku, atau mendukung dan membela korban (Bastiaensens et al., 2014). Namun penelitian ini hanya berfokus pada pelaku cyberbullying dikarenakan semakin meningkatnya
cyberbullying yang terjadi saat ini.
Perilaku cyberbullying dapat dilakukan dimana saja termasuk di sekolah dan terus meningkat (Marées & Petermann, 2012). Banyak sekolah telah membuat peraturan bagi siswa mengenai larangan untuk menggunakan telepon seluler selama kelas berlangsung, namun beberapa sekolah menggunakan telepon seluler sebagai media untuk kegiatan belajar-mengajar (Willard, 2007). Peker (2015) menunjukkan bahwa semakin tinggi waktu penggunaan intenet setiap minggunya, maka akan semakin tinggi kemungkinan untuk menjadi pelaku
cyberbullying.
Cyberbullying juga dapat dikaitkan dengan perilaku kesehatan. Van Geel
kuat dengan ideasi bunuh diri daripada bullying. Hal ini disebabkan oleh efek
cyberbullying yang lebih parah karena banyak orang dapat menjangkau melalui
internet dan materi dapat disimpan secara online, sehingga korban dapat melihat kembali pengalaman tersebut (Van Geel et al., 2014).
Dalam beberapa kasus, cyberbullying menjadi salah satu faktor penyebab bunuh diri (LeBlanc dalam American Academy of Pediatrics, 2012). Salah satunya di bulan Oktober 2019 bintang k-pop, Sulli, meninggal dunia karena bunuh diri akibat depresi yang disebabkan oleh komentar-komentar yang kasar dan jahat dari netizen mengenai kehidupan pribadinya (Aida, 2019).
Survei yang dilakukan oleh Hinduja dan Patchin (2019) menunjukkan bahwa di Amerika Serikat pada bulan April 2019 terdapat 736 sampel mengaku pernah melakukan cyberbullying dari 4.972 sampel berusia 12-17 tahun. Perilaku berkomentar negatif merupakan jenis cyberbullying yang paling sering dilakukan selama 30 hari terakhir dalam penelitian ini.
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan pada siswa sekolah menengah pertama (SMP) di SMP Nasional Makassar dengan sampel sebanyak 20 orang menunjukkan bahwa 31,55% pernah melakukan cyberbullying. Pelaku melakukannya dengan motif yang beragam, 70,5% karena faktor dari keluarga, 66,5% karena diri sendiri, dan 82,5% karena adanya pengaruh lingkungan pergaulan (Pandie & Weismann, 2016).
Sementara hasil penelitian di salah satu SMP di Kota Bogor sebanyak 42,7% siswa pernah melakukan cyberbullying, 54,32% siswa mengirim pesan pemaksaan kepada teman di media sosial lebih dari satu kali dan 56,79% suka
mengejek teman di chat room (Malihah & Alfiasari, 2018). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di tingkat SMP memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap perilaku cyberbullying.
Remaja merupakan periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa awal yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2001). Tugas perkembangan masa remaja berpusat pada pemecahan sikap dan pola perilaku, salah satunya adalah mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita (Havigurst dalam Hurlock, 1991). Remaja awal yang dimulai sejak usia 10-14 tahun memiliki cukup banyak resiko karena sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan (Papalia et al., 2009), salah satunya perilaku cyberbullying.
Varjas et al., (2010) mengemukakan beberapa faktor remaja melakukan perilaku cyberbullying, yaitu faktor internal seperti balas dendam, membuat dirinya lebih baik dengan melakukan perilaku tersebut, kebosanan, dan terkadang hanya sekadar iseng. Sedangkan faktor eksternal seperti tidak adanya konsekuensi yang akan didapatkan oleh pelaku dan tidak adanya perlawanan yang dilakukan.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi remaja melakukan perilaku
cyberbullying adalah moral disengagement. Moral disengagement merupakan
proses sosio-kognitif di mana seseorang mampu melakukan perilaku mengerikan terhadap orang lain (Bandura dalam Hymel et al., 2005). Seorang anak membutuhkan suatu standar baik dan buruk dalam perkembangan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau aturan di setiap tingkah lakunya. Artinya,
apabila proses sosial kognitif tidak berjalan dengan semestinya, maka remaja cenderung akan merasa bebas untuk melakukan perilaku yang menyakitkan dan mengakibatkan lebih mudah untuk terlibat dalam perilaku cyberbullying.
Di dalam penelitian yang dilakukan Lazuras et al., (2019), moral
disengagement memiliki keterkaitan untuk terlibat dalam perilaku cyberbullying.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan (Yang et al., 2018) bahwa moral disengagement berhubungan positif dengan perilaku pelaku
cyberbullying.
Faktor lainnya yaitu faktor eksternal yang mempengaruhi cyberbullying adalah peer attachment. Di tahap perkembangan remaja, remaja akan membangun dan mengeksplorasi hubungan dengan teman sebaya. Remaja akan melakukan segala hal untuk membangun hubungan dan mendapatkan penerimaan dari teman sebaya, sehingga dapat mengesampingkan moral mengenai perilaku buruk. Penelitian Burton et al., (2013) menunjukkan bahwa peer attachment memiliki hubungan yang negatif dengan cyberbullying. Sementara itu Carter (2011) menemukan hasil yang berbeda bahwa ada hubungan yang signifikan antara
cyberbullying dengan peer trust dan peer communication.
Whittaker dan Kowalski (2015) menyatakan bahwa karakteristik demografi penting untuk dipertimbangkan dalam kaitannya dengan cyberbullying. Variabel demografi dalam peneliti ini terdiri dari variabel usia dan jenis kelamin. Terkait variabel usia terhadap perilaku cyberbullying, perilaku ini sering menjadi masalah pada siswa sekolah menengah dikarenakan remaja berada di fase transisi dari segi psikologis, fisik atau kognitif pada tahap perkembangan. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Williams dan Guerra (2007), ditemukan bahwa siswa kelas 8 lebih tinggi melakukan bullying melalui internet sebesar 12,9% dibandingkan siswa kelas 5 dan 11. Selain itu remaja berusia 12-15 tahun melakukan perilaku
cyberbullying lebih tinggi daripada remaja berusia 15-18 tahun (Slonje & Smith,
2008).
Variabel kedua terkait demografi adalah jenis kelamin. Laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam menunjukkan bentuk agresi dan konfrontasi langsung ketika menghadapi tekanan, sedangkan perempuan cenderung melakukan penghindaran. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kecenderungan laki-laki dalam melakukan perilaku cyberbullying lebih tinggi (Lee, 2016; Tosuntas et al., 2018). Namun pendapat lain mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin terhadap perilaku
cyberbullying (Fletcher et al., 2014).
Berdasarkan uraian dan fenomena yang telah dipaparkan, perilaku
cyberbullying dianggap penting bagi peneliti untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “Pengaruh Moral Disengagement dan
Peer Attachment terhadap perilaku Cyberbullying.”
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis membatasi ruang lingkup masalah penelitian ini pada pengaruh variabel bebas (moral disengagement, peer
attachment dan faktor demografis) terhadap variabel terikat (cyberbullying).
Adapun batasan konsep masing-masing variabel yang digunakan, yaitu: 1. Cyberbullying
Cyberbullying adalah perilaku yang dilakukan secara berulang dan disengaja
yang menyebabkan orang lain menderita yang dilakukan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & Hinduja, 2015).
2. Moral disengagement
Moral disengagement menurut Bandura dalam Hymel, Rocke-Henderson dan
Bonanno (2005) merupakan proses sosio-kognitif di mana seseorang mampu melakukan perilaku mengerikan terhadap orang lain. Hymel et al., (2005) mengklasifikasikan empat dimensi moral disengagement berdasarkan teori Bandura, meliputi: cognitive structuring (keyakinan membingkai perilaku berbahaya menjadi hal yang positif); minimizing agency (memberikan tanggung jawab pribadi kepada seseorang yang memiliki otoritas lebih tinggi); distortion of negative consequences (menjauhkan diri dari hasil negatif); dan blaming/dehumanizing the victim (menyalahkan dan merendahkan korban).
3. Peer Attachment
Peer attachment merupakan kelekatan dengan teman sebaya yang dinilai dari
perasaan saling percaya, memahami dan menghormati, aksesibilitas, tanggung jawab dan prediktabilitas, konsistensi harapan pada teman sebaya, serta dinilai dari pengalaman isolasi, kecemasan, kemarahan, dan kebencian dengan teman sebaya (Bowlby dalam Armsden & Greenberg, 1983).
4. Variabel demografis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: − Usia
− Jenis kelamin
5. Subyek penelitian ini adalah individu dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Berusia 12-15 tahun dan sedang bersekolah di tingkat SMP di Jabodetabek dan Tangerang Selatan, baik laki-laki maupun perempuan; (2) Pengguna internet aktif (minimal satu hari sekali) baik menggunakan komputer, laptop, atau handphone; (3) Aktif (minimal satu hari sekali) mengakses social media (Instagram, Twitter, Facebook) dan instant
messaging (Whatsapp & Line) (4) Pernah melakukan perilaku cyberbullying
dalam kurun waktu 6 bulan terakhir melalui social media (Instagram, Twitter,
Facebook) dan instant messaging (Whatsapp & Line).
1.2.2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang muncul terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan moral disengagement, peer attachment, faktor demografis terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan cognitive restructuring pada variabel
moral disengagement terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan minimizing agency pada variabel moral
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan distortion of negative consequences pada variabel moral disengagement terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan blaming/dehumanizing the victim pada variabel moral disengagement terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP? 6. Apakah ada pengaruh yang signifikan variabel peer attachment terhadap
perilaku cyberbullying siswa SMP?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan usia pada variabel demografis terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin pada variabel demografis terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh signifikan antara moral disengagement, peer attachment dan faktor demografis terhadap perilaku cyberbullying siswa SMP.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengetahuan dalam pengembangan ilmu psikologi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku cyberbullying yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman bagi keluarga, masyarakat, dan pendidik mengenai perilaku cyberbullying di kalangan remaja. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan untuk membuat kebijakan khusus dan lebih matang untuk mengurangi prevalensi cyberbullying.
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Cyberbullying 2.1.1. Definisi CyberbullyingOlweus (1993) mendefinisikan bullying saat individu merasa diganggu ketika ia berulang kali dan dari waktu ke waktu mendapatkan perilaku negatif dari individu atau kelompok, dan tidak dapat dengan mudah membela dirinya. Bullying merupakan bentuk kekerasan dan serangan yang bertujuan untuk merusak, memberikan penderitaan, dan ketidaknyamanan orang lain atau korban intimidasi, baik secara fisik atau penderitaan emosional (Dracic, 2009). Rigby (2007) mengartikan bullying sebagai penindasan yang terjadi secara berulang, baik psikologis maupun fisik pada orang yang lemah oleh orang atau sekelompok orang yang lebih kuat.
Bullying dapat dilakukan secara online atau yang biasa disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying didefinisikan sebagai kejahatan yang disengaja dan
secara berulang yang ditimbulkan melalui media teks elektronik (Patchin & Hinduja, 2006). Willard (2007) memberikan definisi cyberbullying sebagai perilaku mengirim atau mengunggah hal-hal yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk agresi sosial lain dengan menggunakan internet atau teknologi digital lainnya.
Juvonen dan Gross (2008) menyebutkan cyberbullying adalah penggunaan internet atau perangkat komunikasi digital lain untuk menghina atau mengancam seseorang. Cyberbullying adalah bullying yang terjadi melalui penggunaan teknologi komunikasi elektronik seperti email, pesan instan, media sosial, online
gaming, atau pesan atau gambar yang dikirim ke telepon seluler (Whittaker &
Kowalski, 2014). Patchin dan Hinduja (2015) mengemukakan definisi konseptual
cyberbullying yang baru yaitu perilaku yang dilakukan secara berulang dan
disengaja yang menyebabkan orang lain menderita yang dilakukan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya.
Pada penelitian ini, peneliti akan fokus membahas perilaku cyberbullying berdasarkan definisi yang dipaparkan oleh Patchin dan Hinduja (2015) yaitu perilaku yang dilakukan secara berulang dan disengaja yang menyebabkan orang lain menderita yang dilakukan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya. Peneliti menggunakan teori dari Patchin dan Hinduja (2015) karena penjabaran teori cyberbullying yang jelas dan terperinci.
2.1.2. Elemen Cyberbullying
Patchin dan Hinduja (2015) memaparkan bahwa terdapat empat elemen dalam
cyberbullying, antara lain:
1. Repetition
Repetition atau pengulangan merupakan suatu hal yang penting dalam
perilaku online. Satu pesan teks yang kasar atau komentar media sosial belum tentu dapat dikategorikan sebagai cyberbullying. Namun, suatu konten online yang menjadi viral atau satu unggahan yang dapat dilihat dan disebarkan oleh
orang lain dapat didefinisikan sebagai cyberbullying jika ada bukti keterlibatan. Hal ini dikarenakan korban akan dirugikan setiap kali unggahan tersebut dilihat atau dibagikan kepada orang lain.
2. Intent
Suatu perilaku pasti memiliki tujuan tertentu atau bisa dikatakan perilaku dilakukan dengan sengaja. Dalam game online, seorang pemain lama dengan sengaja menganggu, menyerang atau melecehkan pemain baru karena dianggap lemah dan belum menjadi anggota yang diterima dalam lingkaran sosial.
3. Harm
Dalam perilaku intimidasi, orang yang menjadi sasaran harus dirugikan. Kerugiannya dapat secara fisik, emosional, psikologis, atau behavioral. Dalam lingkungan online kerugian terkadang kurang jelas dan rumit untuk diidentifikasi namun harus tetap ada dalam beberapa bentuk. Kerugian ditentukan berdasarkan pengalaman korban.
4. Imbalance of Power
Dalam bullying adanya ketidakseimbangan kekuatan dilakukan oleh pelaku karena merasa memiliki kekuatan aktual atas korban. Popularitas, fisik, status sosial, kecerdasan, kepercayaan diri, usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi menjadi karakteristik pelaku dalam melakukan bullying.
Namun dalam cyberbullying hal ini dimanifestasikan berbeda karena bergantung pada kemahiran atau kepemilikian konten oleh pelaku seperti
informasi, gambar, atau video yang dapat dijadikan bahan perilaku
cyberbullying.
Adapun penelitian ini menggunakan empat elemen cyberbullying yang dipaparkan oleh Patchin dan Hinduja (2015) yaitu repetition, intent, harm, dan
imbalance of power.
2.1.3. Bentuk Aktivitas Cyberbullying
Menurut Willard (2007), aktivitas yang dilakukan oleh pelaku cyberbullying ialah:
1. Flaming, pertengkaran secara online yang menggunakan bahasa yang kasar dan kejam melalui pesan elektronik.
2. Harassment, perilaku mengirimkan pesan kasar dan menghina secara berulangkali.
3. Denigration, mengirim fitnah mengenai seseorang yang memiliki tujuan untuk merusak reputasi dan pertemanan.
4. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan yang dapat merusak reputasi dan pertemanan.
5. Outing, menyebarkan informasi atau foto seseorang yang tidak pantas. 6. Trickery, membujuk seseorang yang lebih lemah untuk memberikan
informasi atau rahasia yang memalukan dan selanjutnya disebar secara
online.
7. Exclusion, sengaja berbuat kasar terhadap seseorang dalam kelompok online. Terdapat beberapa bentuk aktivitas cyberbullying menurut Office for
1. Personal Intimidation, perilaku mengirimkan pesan yang mengancam, menulis komentar yang tidak pantas, dan mengancam profil media sosial korban tersebut.
2. Impersonation, perilaku membentuk akun profil media sosial atau website tiruan yang berkaitan dengan korban. Pada perilaku ini juga seseorang menggunakannya untuk menghubungi orang lain dan berpura-pura menjadi pemilik akun tersebut.
3. Exclusion, perilaku yang memberhentikan seseorang pada group dalam
website tertentu seperti MySpace atau Facebook.
4. Personal Humiliation, perilaku mengunggah video atau gambar untuk mempermalukan seseorang di dunia nyata.
5. False Reporting, perilaku yang melibatkan pembuatan informasi palsu kepada penyedia layanan agar akun profil atau website yang dimiliki korban dihapus.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk aktivitas yang dipaparkan oleh Willard (2007) karena penjelasannya jelas dan detail.
2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying:
1. Bullying
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Beran dan Li dalam Li (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara bullying dengan
cyberbullying. Sangatlah mungkin bullying yang dimulai di dunia nyata
dilakukan juga di dunia maya. 2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memainkan peran penting dalam kekerasan yang terjadi di sekolah. Penelitian yang dilakukan Hoover dan Olsen dalam Li (2007) menunjukkan bahwa siswa laki-laki lebih memungkinkan untuk melakukan perilaku cyberbullying dibandingkan siswa perempuan. Jenis kelamin menjadi prediktor yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying.
3. Budaya
Bullying menjadi suatu masalah yang universal hampir di seluruh bagian
dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Li (2007) mengindikasi bahwa budaya menjadi prediktor utama dalam cyberbullying. Dalam penelitiannya, siswa Kanada cenderung untuk menjadi pelaku cyberbullying, sedangkan siswa China lebih memungkinkan untuk menjadi korban cyberbullying.
4. Penggunaan Teknologi
Cyberbullying terjadi di dunia maya, maka dapat diasumsikan bahwa siswa
yang memiliki kesempatan terbatas untuk mengakses teknologi akan memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan gangguan di dunia maya. Maka, frekuensi dari penggunaan teknologi yang digunakan siswa dapat memprediksi perilaku cyberbullying (Li, 2007).
5. Kesadaran akan Keamanan Internet
Campbell dalam Li (2007) mengidentifikasi bahwa dengan adanya kesadaran akan keamanan internet dapat mengurangi perilaku bullying di sekolah dan
memberikan pemahaman siswa mengenai keamanan internet. Adanya peningkatan kesadaran dalam menggunakan internet dapat membantu untuk mengurangi perilaku cyberbullying.
6. Prestasi Akademik
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ma dalam Li (2007) prestasi akademik dan tekanan akademik berhubungan dengan intimidasi yang dilakukan di sekolah. Siswa dengan tekanan akademik yang lebih rendah cenderung melakukan bullying terhadap siswa dengan tekanan akademik yang tinggi. Hubungan antara kerja akademik dengan bullying menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara prestasi akademik dengan perilaku
cyberbullying. Maka dari itu, prestasi akademik dianggap berhubungan
dengan cyberbullying dan cyber victimization. 7. Moral Disengagement
Hasil penelitian Bandura et al., (1996) perilaku menyimpang biasanya menggunakan beberapa teknik dari moral disengagement. Selain itu penelitian yang dilakukan Hymel et al., (2005) pada 494 anak SD menyatakan bahwa moral disengagement memiliki peran yang sangat potensial terhadap perilaku bullying. Mengintimidasi teman sebaya merupakan hal yang wajar.
8. Usia
Perilaku cyberbullying sering menjadi masalah bagi siswa sekolah menengah. Penelitian yang dilakukan Williams dan Guerra (2007) menunjukkan siswa kelas 8 lebih tinggi dalam melakukan cyberbullying.
9. Peer Attachment
Carter (2011) menemukan hasil terdapat hubungan antara cyberbullying dengan peer trust dan peer communication pada siswa urban dan suburban. Kualitas keterikatan pada teman sebaya sangat berkaitan dengan kesejahteraan, khususnya terhadap harga diri dan kepuasan hidup. Depresi dan kebencian dapat berkaitan dengan keterikatan (Armsden & Greenberg, 1987). Sangatlah memungkinkan bahwa individu yang memiliki kualitas keterikatan yang rendah dengan teman sebaya melakukan perilaku
cyberbullying.
Perilaku cyberbullying dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang beragam, namun dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus pada beberapa faktor diantaranya moral disengagement (cognitive restructuring, minimizing agency,
distortion of negative consequences, dan blaming/dehumanizing the victim), peer attachment, usia, dan jenis kelamin.
2.1.5. Pengukuran Cyberbullying
Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa alat ukur yang disusun untuk mengukur perilaku cyberbullying, yaitu Cyberbullying Questioner (CBQ) yang disusun oleh Calvete et al., (2010). Alat ukur ini terdiri dari 16 item untuk yang menjelaskan mengenai cyberbullying pada pelaku berusia 12 sampai 17 tahun, seperti mengirimkan pesan ancaman, membuat rumor, meretas, meneror seseorang, dan lainnya.
Alat ukur lainnya yaitu Cyberbullying Perpetration and Victimization (CBP & CBV scale) yang dikembangkan oleh Lee et al., (2015) untuk usia 18
sampai 25 tahun dengan rincian 41 item untuk CBP scale dan 38 item untuk CBV
scale. Topcu dan Erdur-Baker (2018) mengembangkan The Second Revision Cyberbullying Inventory (RCBI-II) yang terdiri dari 10 item dan partisipan
menilai diri mereka sebanyak dua kali pada setiap item. Pertama untuk mengukur
cybervictimization dan yang kedua untuk mengukur perilaku cyberbullying
dengan empat skala.
Patchin dan Hinduja (2015) mengembangkan skala pengukuran
cyberbullying kepada dua pihak yang terlibat, yaitu pelaku dan korban. Cyberbullying Offending Scale (COS) merupakan skala untuk pelaku yang terdiri
dari sembilan item, dan skala untuk korban yaitu Cyberbullying Victimization
Scale (CVS) dengan sembilan item.
Dalam penelitian ini, peneliti mengembangkan alat ukur sendiri yang mengacu pada empat elemen cyberbullying menurut Patchin dan Hinduja (2015) yaitu repetition, intent, harm, dan imbalance of power dengan berbagai aktivitas
cyberbullying seperti flaming, harassment, denigration, impersonation, outing, trickery, dan exclusion. Alat ukur yang digunakan oleh peneliti memiliki item
yang lebih bisa menggambarkan perilaku cyberbullying karena disusun sesuai dengan elemen cyberbullying menurut Patchin dan Hinduja (2015) dan bentuk aktivitas cyberbullying menurut Willard (2007).
2.2. Moral Disengagement
2.2.1. Definisi Moral Disengagement
Bandura dalam Hymel et al., (2005) mendefinisikan moral disengagement sebagai proses sosio-kognitif di mana seseorang mampu melakukan perilaku mengerikan terhadap orang lain. Selain itu Bandura dalam Detert et al., (2008) mendefinisikan
moral disengagement sebagai seperangkat mekanisme kognitif yang
menonaktifkan proses regulasi diri yang demikian membantu untuk menjelaskan mengapa individu sering membuat keputusan yang tidak etis tanpa adanya rasa bersalah.
Bandura et al., dalam Hyde et al., (2010) mendefinisikan moral
disengagement adalah suatu cara dimana seseorang membenarkan tindakan
mereka dan melakukan perilaku yang tidak bermoral. Serangkaian proses sosio-kognitif di mana seseorang dapat melepaskan diri dari standar moral tanpa adanya perasaan menyesal atau bersalah merupakan definisi moral disengagement dari Thornberg dan Jungert (2014). Caroli dan Sagone (2014) memberi definisi moral
disengagement yaitu suatu proses sosial kognitif yang memungkinkan individu
untuk membenarkan perilaku tercela untuk menjaga self-image dan mengurangi disonansi kognitif.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi moral disengagement yang dikembangkan oleh Bandura dalam Hymel et al., (2005) yaitu proses sosio-kognitif di mana seseorang mampu melakukan perilaku mengerikan terhadap orang lain. Peneliti memilih teori ini karena Hymel et al. (2005) mengembangkan dimensi dan alat ukur yang sudah teruji validitasnya baik.
2.2.2. Dimensi Moral Disengagement
Bandura et al., (1996) mengemukakan delapan dimensi moral disengagement, yaitu:
1. Moral Justification
Seseorang tidak melakukan perilaku yang merugikan sampai mereka membenarkan perilaku sendiri. Perilaku yang merugikan dibuat dengan alasan pribadi dan dapat diterima oleh sosial. Moral justification merupakan proses individu yang berusaha merasionalisasikan kekerasan dan kerugian yang dilakukannya terhadap orang lain dengan membuat perilaku tersebut seperti dapat dibenarkan secara moral (Detert et al., 2008).
2. Euphemistic Language
Bahasa menjadi alat berkomunikasi yang mudah untuk membuat perilaku tercela menjadi terlihat tidak kasar, dikarenakan bahasa dapat membentuk pola pikir orang–orang sebagai dasar tindakan. Euphemistic labeling merupakan penggunaan bahasa umum yang baik dan sopan untuk membuat perbuatan yang tercela terlihat tidak berbahaya (Detert et al., 2008).
3. Advantageous Comparison
Dengan adanya advantegous comparison, perilaku yang merugikan dapat dianggap tidak berbahaya. Advantageous comparison adalah membandingkan perilaku yang tidak pantas dengan perilaku yang lebih membahayakan sehingga membuat perbuatan yang sebenarnya dapat diterima oleh orang lain (Detert et al., 2008).
4. Displacement of Responsibility
Dengan adanya pemindahan tanggung jawab, seseorang akan melihat tindakan yang dilakukan muncul dari tekanan sosial atau perintah otoritatif dibandingkan sesuatu yang menjadi tanggung jawab pribadi (Andrus dalam Bandura et al., 1996). Displacement of responsibility dapat dikatakan sebagai pemindahan tanggung jawab. Ketika seseorang melihat perilakunya terbentuk sebagai hasil langsung dari perintah otoritatif (Detert et al., 2008).
5. Diffusion of Responsibility
Pelaksanaan kontrol moral akan melemah ketika pilihan pribadi dikaburkan dengan adanya perpindahan tanggung jawab atas perilaku yang merugikan. Ketika semua orang bertanggung jawab, tidak ada satu orang yang benar-benar merasa bertanggung jawab. Hal ini dapat memperlemah kontrol moral. Kerugian yang dilakukan oleh suatu kelompok selalu dapat dikaitkan dengan perilaku orang lain. Diffusion of responsibility dapat terjadi ketika tidak ada anggota kelompok yang merasa bertanggung jawab secara personal atas perilaku yang tidak pantas yang dilakukan secara bersama-sama dalam sebuah kelompok (Detert et al., 2008).
6. Disregarding or Distorting the Consequences
Ketika seseorang melakukan tindakan yang membahayakan orang lain untuk keuntungan pribadi maupun dorongan sosial, ia akan menghindar atau mengurangi konsekuensi dari tindakan tersebut. Distortion of consequences merupakan pengabaian kemungkinan konsekuensi dari perbuatan yang tercela (Detert et al., 2008).
7. Dehumanization
Dehumanization mendorong pola pikir seseorang yang berbeda. Orang-orang
meminta pembenaran moral atas perilaku yang salah terhadap korban, tetapi mereka menolak tindakan hukuman berdasarkan alasan moral terhadap individu yang digambarkan dalam istilah manusiawi.
8. Attribution of Blame
Perilaku menyalahkan musuh atau keadaan seseorang sebagai pembebasan diri dari perilaku tercela. Dengan Attribution of blame pelaku dapat membebaskan diri dari tuduhan dengan menempatkan kesalahan pada target perilaku kekerasan (Detert et al., 2008).
Hymel et al., (2005) mengacu pada teori Bandura (2002) mengklasifikasikan delapan dimensi moral disengagement menjadi empat dimensi, yaitu:
1. Cognitive Restructuring
Mengacu pada kepercayaan dan argumen yang berfungsi untuk membingkai perilaku berbahaya menjadi suatu hal yang positif melalui hal-hal seperti
moral justification (menggambarkan perilaku sebagai melayani alasan yang
layak atau tujuan moral tertentu), euphemistic labeling (menggunakan bahasa yang membuat negatif tindakan terdengar kurang negatif), dan advantageous
comparisons (membuat tindakan negatif menjadi tampak kurang negatif
2. Minimizing Agency
Strategi kognitif yang mengganti tanggung jawab atas perilaku negatif pribadi dengan cara menyembunyikan tanggung jawab tersebut untuk menghormati otoritas yang lebih tinggi dan atau tanggung jawab kelompok.
3. Distortion of Negative Consequences
Melibatkan strategi yang membantu untuk menjauhkan diri dari bahaya atau untuk menekankan hasil positif dibandingkan hasil negatif yang berkaitan dengan perilaku tersebut.
4. Blaming/Dehumanizing the Victim
Membuat korban turut ikut bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan ini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dimensi moral disengagement yang dikembangkan oleh Bandura dalam Hymel et al., (2005) yang terdiri dari empat dimensi yaitu cognitive restructuring, minimizing agency, distortion of
negative consequences, dan blaming/dehumanizing the victim.
2.2.3. Pengukuran Moral Disengagement
Peneliti menemukan dua instrumen untuk mengukur moral disengagement, yaitu: 1. Moral disengagement scale yang disusun oleh Bandura (1996). Skala ini
terdiri dari 32 item yang mengukur delapan mekanisme.
2. Moral disengagement scale yang disusun oleh Hymel et al., (2005). Skala ini terdiri dari 13 item yang mengukur empat dimensi meliputi: cognitive
restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences, dan blaming/dehumanizing the victim.
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur moral disengagement dengan skala pengukuran moral disengagement yang disusun oleh Hymel et al., (2005). Peneliti menggunakan alat ukur ini karena item sudah sesuai dengan karakteristik sampel penelitian.
2.3. Attachment
2.3.1. Definisi Attachment
Attachment pertama kali dikemukakan oleh John Bowlby pada tahun 1969.
Bowlby dalam Santrock (2012) kelekatan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting karena bayi dan ibunya secara naluriah akan membentuk kelekatan.
Attachment didefinisikan sebagai ikatan emosional yang dibentuk seorang
individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, yang mengikat dalam suatu keterikatan yang bersifat kekal dan sepanjang waktu (Ainsworth & Bell, 1970). Santrock (2012) mendefinisikan kelekatan atau attachment sebagai ikatan emosional yang kuat yang terjadi antara dua orang.
Di masa remaja, kedekatan anak dengan orang tuanya akan berubah, meskipun berubah namun kelekatan anak dengan orang tua akan tetap ada. Goresse dan Ruggieri (2012) pada awalnya seorang individu akan membangun hubungan keterikatan pertama dengan orang tua, lalu pada tahap perkembangan selanjutnya akan membentuk ikatan dengan orang-orang di luar keluarga seperti teman sebaya.
Ketika remaja sudah menjadi lebih mandiri dalam pengambilan keputusan, secara psikologis remaja tetap perlu untuk memiliki kelekatan yang baik dengan orang tua mereka. Santrock (2016) menjelaskan terdapat dua kategori dalam kelekatan, yaitu secure attachment dan insecure attachment. Secure attachment melibatkan ikatan emosional yang positif antara dua orang. Pada masa bayi, kanak-kanak, remaja, pembentukan kelakatan yang aman dengan pengasuh dapat bermanfaat untuk eksplorasi anak terhadap lingkungan dan perkembangan selanjutnya. Di masa dewasa, ikatan tersebut juga bisa antara dua orang dalam hubungan pasangan atau perkawinan. Hasil penelitian Allen et al., dalam Santrock (2012) menemukan bahwa remaja yang memiliki kelekatan yang aman (secure
attachment) pada usia 14 tahun akan cenderung memiliki relasi yang baik, merasa
nyaman dengan keintiman relasi, dan mandiri dalam keuangan yang akan meningkat saat usianya 21 tahun.
Selain itu, insecure attachment adalah kelekatan di mana bayi, anak-anak atau remaja menghindari pengasuh dan menunjukkan resistensi terhadap pengasuh. Kelekatan seperti ini dapat berkaitan dengan kesulitan hubungan dan masalah dalam pengembangan selanjutnya. Banyak penelitian mengenai secure
attachment dan insecure attachment pada masa remaja menggunakan adult attachment interview (AAI) oleh George, Main, dan Kaplan dalam Santrock (2016). Pengukuran ini bertujuan untuk memeriksa ingatan seseorang mengenai hubungan kelekatan yang signifikan. Berdasarkan tanggapan terhadap AAI, remaja diklasifikasikan sebagai kategori aman atau otonom, atau tidak aman yang dapat dikategorikan dalam tiga kategori (Santrock, 2016):
• Dismissing/avoidant attachment
Kategori ini merupakan kategori yang tidak aman di mana individu meremehkan pentingnya kelekatan. Kategori ini dikaitkan dengan pengalaman yang konsisten tentang penolakan. Kemungkinan hasil dari mengabaikan atau menghindar yaitu orang tua dan remaja saling menjauhkan diri satu sama lain.
• Preoccupied/ambivalent attachment
Kategori tidak aman di mana remaja (hyperattuned) dengan pengalaman kelekatan. Hal ini dikarenakan ketidaksediaan orangtua pada remaja. Keadaan ini dapat membuat remaja mencari keterikatan yang tinggi, dan bercampur dengan perasaan marah.
• Unresolved/disorganized attachment
Kategori tidak aman di mana remaja memiliki tingkat ketakutan yang sangat tinggi dan mungkin mengalami disorientasi. Hal ini dapat terjadi karena pengalam traumatis, seperti kematian orang tua atau pelecehan oleh orang tua.
2.3.2. Definisi Peer Attachment
Peer attachment merupakan kelekatan dengan teman sebaya yang dinilai dari
perasaan saling percaya, memahami dan menghormati, aksesibilitas, tanggung jawab dan prediktabilitas, konsistensi harapan pada teman sebaya, serta dinilai dari pengalaman isolasi, kecemasan, kemarahan, dan kebencian dengan teman sebaya (Bowlby dalam Armsden & Greenberg, 1983).
Sullivan dalam Santrock (2012) dalam perkembangan remaja, sahabat memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial karena kebutuhan akan intimasi meningkat di masa remaja awal dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Jika remaja gagal dalam menjalin hubungan persahabatan, mereka akan mengalami kesepian dan perasaan tidak berharga akan menurun. Banyak remaja mengatakan bahwa mereka lebih banyak bergantung pada teman sebayanya dibandingkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan atas kebersamaan. Kelompok teman sebaya merupakan sumber kasih sayang, simpati, pengertian dan tuntunan moral untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua (Papalia et al., 2009). Di tahap perkembangan remaja awal pengaruh dari teman sebaya sangatlah kuat yaitu memuncak di usia 12-13 tahun dan menurun di tahap perkembangan remaja tengah dan akhir.
Di masa remaja awal keterikatan yang tercipta dengan teman sebaya tidak selalu menyebabkan masalah, kecuali remaja memiliki keterikatan yang terlalu kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan aturan yang ada di rumah maupun sekolah untuk mendapatkan popularitas serta persetujuan teman sebaya (Fuligni dalam Papalia et al., 2009). Pertemanan remaja perempuan cenderung lebih dekat dibandingkan remaja laki-laki karena lebih seringnya mereka berbagi rahasia (Brown & Klute dalam Papalia et al., 2009). Remaja yang memiliki pertemanan yang dekat, stabil, dan mendukung akan memiliki pandangan yang baik mengenai diri sendiri, menjalani pendidikan di sekolah dengan baik, mudah bergaul serta memiliki kemungkinan yang kecil untuk menjadi kasar, cemas atau
depresi. (Berndt & Perry, 1990; Buhrmester, 1990; Hartup & Stevens, 1999 dalam Papalia et al., 2009)
Berdasarkan teori di atas, peneliti menggunakan definisi peer attachment yang dikemukakan oleh Bowlby dalam Armsden dan Greenberg (1983) yaitu kelekatan dengan teman yang dinilai dari perasaan saling percaya, memahami dan menghormati, aksesibilitas, tanggung jawab dan prediktabilitas teman sebaya, serta konsistensi harapan pada teman sebaya. Peneliti memilih teori ini karena penjelasan teori yang jelas dan terperinci.
2.3.3. Dimensi Peer Attachment
Armsden dan Greenberg (1987) mengemukakan terdapat tiga aspek pada peer
attachment, yaitu:
1. Trust
Hal ini mengacu pada remaja percaya bahwa teman sebaya memahami dan menghargai kebutuhan dan keinginan mereka (Guarnieri et al., 2010). Keterkaitan dengan kepercayaan remaja bahwa teman sebaya dapat memahami dan menghargai kebutuhan serta keinginan mereka (Goresse & Ruggieri, 2012).
2. Communication
Hal ini mengacu pada persepsi remaja bahwa teman sebaya sensitif dan responsif terhadap keadaan emosional mereka serta menilai tingkat dan kualitas keterlibatan dan komunikasi verbal mereka (Guarnieri et al., 2010). Adanya persepsi remaja bahwa teman sebaya responsif dan peka terhadap
keadaan emosional yang mereka alami, serta menilai kualitas komunikasi verbal (Goresse & Ruggieri, 2012).
3. Alienation
Dalam hal ini dijelaskan mengenai perasaan isolasi, kemarahan, dan keterasingan remaja yang dialami dalam hubungan kedekatan dengan teman sebaya (Gorese & Ruggieri, 2012).
2.3.4. Pengukuran Peer Attachment
Terdapat beberapa instrumen untuk mengukur peer attachment, yaitu:
1. IPPA (Inventory of Parent and Peer Attachment) yang disusun oleh Armsden dan Greenberg (1987). Alat ukur ini merupakan pengembangan dari alat ukur
inventory of parent and peer attachment sebelumnya oleh Armsden dan
Greenberg (1983) yang mengacu pada teori attachment oleh Bowlby. Skala ini terdiri dari tiga dimensi antara lain trust, communication, dan alienation. Pada peer attachment terdiri dari 25 item dengan lima skala yaitu almost
never or never true, not very often true, sometimes true, often true, almost always or always true. Alat ukur ini dapat digunakan pada sampel usia
remaja hingga usia dewasa awal.
2. IPPA-R (Inventory of Parent and Peer Attachment – Revised) yang dikembangkan oleh Gullone dan Robinson (2005). Skala ini terdiri dari 25 item yang merupakan revisi dari skala IPPA oleh Armsden dan Greenberg (1987) dengan perubahan bahasa yang lebih sederhana.
3. AFAS (Adolescent Friendship Attachment Scale) yang dikembangkan oleh Wilkinson (2008). Skala ini terdiri dari 30 item yang mengukur tiga dimensi meliputi: secure, anxious/ambivalent, dan avoidant.
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur peer attachment menggunakan skala pengukuran IPPA-R (Inventory of Parent and Peer Attachment - Revised) yang dikembangkan oleh Gullone dan Robinson (2005) yang terdiri dari 25 item dengan perubahan bahasa yang lebih sederhana.
2.4. Kerangka Berpikir
Pada saat ini terjadi perkembangan yang cukup pesat dalam teknologi seperti berkembangnya media komunikasi antar individu melalui internet, ditambah lagi dengan adanya kemudahan dalam mengakses internet dimanapun dan kapanpun. Meskipun banyak kemudahan yang didapatkan, teknologi juga dapat membawa dampak negatif bagi penggunanya, salah satunya adalah adanya kekerasan yang terjadi secara tidak langsung melalui non-verbal dan non-fisik berupa pengiriman kata-kata intimidasi.
Kekerasan yang terjadi di internet disebut cyberbullying. Cyberbullying menjadi salah satu fenomena yang sering terjadi dan sudah tidak asing lagi bagi remaja. Di masa remaja, individu akan merasakan perubahan di beberapa tahapan dan mengalami beberapa perubahan seperti pada minat, emosi, pola perilaku, dan tubuh. Remaja pelaku cyberbullying memiliki motif yang berbeda-beda dalam melakukan cyberbullying yang biasanya hanya sekadar iseng menganggu, membalas dendam atau merasa kesal akan sesuatu.
Perilaku cyberbullying yang dilakukan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi remaja melakukan cyberbullying adalah moral
disengagement. Moral disengagement merupakan ketidakmampuan seseorang
untuk mengendalikan perilaku yang ia lakukan sehingga dapat menguatkan untuk melakukan perilaku yang bisa menyakiti orang lain. Dimensi moral
disengagement meliputi cognitive restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences, dan blaming/dehumanizing the victim.
Remaja memiliki emosi yang masih belum stabil sehingga masih belum mampu untuk mengendalikan perilaku yang dapat merugikan ataupun menyakiti orang lain. Cyberbullying merupakan contoh perilaku yang tidak bermoral karena menyakiti seseorang yang berada pada posisi lemah.
Cognitive restructuring merupakan salah satu dimensi dari moral disengagement yang mana remaja berpikir bahwa perilaku cyberbullying
merupakan suatu perilaku yang wajar untuk dilakukan pada orang lain yang lebih lemah. Hal ini merupakan suatu pembenaran moral pada perilaku yang salah sehingga remaja akan melakukan hal tersebut secara terus menerus tanpa adanya perasaan bersalah. Dimensi lain dari moral disengagement yaitu minimizing
agency. Dalam melakukan perilaku cyberbullying, remaja akan melemparkan
tanggung jawab atas perilaku menyimpangnya terhadap orang lain tanpa adanya perasaan bersalah darinya.
Selain itu, dimensi distortion of negative consequences yaitu pengabaian konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari perilaku cyberbullying. Remaja akan
cenderung tidak mempedulikan konsekuensi yang ditimbulkan dari perilaku
cyberbullying, misalnya pengabaian bahwa korban akan mengalami trauma atau
pengabaian jika ia dimarahi oleh orang tua atau guru atas perilakunya. Terakhir, dimensi moral disengagement adalah blaming/dehumanizing the victim. Remaja pelaku cyberbullying akan dengan mudah menyakiti korban dan membuat korban lebih menderita. Pelaku cyberbullying akan menyalahan korban bahwa perilaku
cyberbullying disebabkan oleh korban sendiri. Dengan demikian dapat diduga
bahwa moral disengagement memiliki pengaruh dalam terjadinya perilaku
cyberbullying.
Selain moral disengagement, faktor lain yang mempengaruhi remaja dalam melakukan cyberbullying adalah peer attachment. Pengaruh serta hubungan teman sebaya menjadi lebih penting ketika adanya peralihan dari fase anak-anak ke remaja awal. Seperti dalam tugas perkembangan remaja, remaja akan membangun hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya. Anak ingin menjadi bagian suatu kelompok dan bergaul dengan orang lain yang seusianya yang memiliki minat dan sikap yang sama. Dalam tahapan ini remaja sedang mengembangkan identitasnya sendiri. Kelekatan dengan teman sebaya terdiri dari tiga hal yaitu kepercayaan, komunikasi, dan perasaan asing pada teman sebaya.
Ketika remaja membangun kelekatan yang baik dengan teman sebayanya, mereka cenderung akan mendapatkan kepercayaan dari teman sebaya yang dapat memberikan perasaan aman serta keyakinan bahwa teman sebaya akan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu, remaja yang berkomunikasi dengan baik mengenai permasalahan atau pendapatnya dapat
meningkatkan kelekatan. Remaja yang tidak merasa asing pada teman sebayanya akan memiliki kelekatan yang baik.
Sehingga disaat remaja melakukan perilaku cyberbullying, mereka akan merasa mendapatkan dukungan atas perilaku tidak baik tersebut. Remaja akan merasa tetap ada yang menemani dan tidak ditinggalkan oleh teman sebayanya meskipun telah melakukan perilaku cyberbullying. Hal ini mengasumsikan bahwa kelekatan yang baik antara remaja dengan teman sebayanya dapat menciptakan perilaku cyberbullying dikarenakan rasionalitas remaja bahwa cyberbullying bukanlah perilaku yang buruk dan teman sebaya yang lain juga melakukan hal yang sama.
Dalam penelitian ini juga dimasukkan pengaruh faktor demografis yaitu usia dan jenis kelamin. Di tahap perkembangan remaja awal yang berkisar dari usia 12-15 tahun, remaja cenderung melakukan perilaku cyberbullying dikarenakan berada di fase peralihan dan sedang mengalami beberapa perubahan yaitu emosi dan pola perilaku. Pada umumnya remaja yang berusia 12-15 tahun berada di jenjang pendidikan SMP. Semakin tinggi tingkatan kelas di jenjang sekolah, maka semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying. Hal ini disebabkan kakak kelas yang cenderung melakukan cyberbullying kepada adik kelas.
Jenis kelamin dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying. Terdapat perbedaan mengenai pengungkapan emosi pada remaja perempuan dan remaja laki-laki jika tidak menyukai temannya. Remaja perempuan cenderung akan menyindir secara halus atau melakukan suatu hal secara tidak langsung seperti melalui social media untuk menyatakan ketidaksukaannya. Berbeda hal dengan
remaja laki-laki, jika tidak menyukai temannya maka mereka akan cenderung secara langsung dan terbuka untuk mengatakan apa yang tidak disuka dari temannya. Hal ini membuat kemungkinan adanya perbedaan perilaku
cyberbullying antara remaja perempuan dan remaja laki-laki dalam perilaku cyberbullying.
Faktor-faktor yang telah dijabarkan memiliki kemungkinan untuk saling memberikan peran serta satu sama lain dan memberi pengaruh bagi remaja untuk melakukan perilaku cyberbullying. Dari uraian diatas, disusun ringkasan untuk menjelaskan hubungan antar variabel yang sesuai dengan judul penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui kerangka berpikir dibawah ini.
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian Moral Disengagement Cognitive Restructuring Minimizing Agency Distortion of Negative Consequences Blaming / Dehumanizing the Victim Peer Attachment Usia Jenis Kelamin Faktor Demografis Cyberbullying