• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM HAL BANK DILIKUIDASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM HAL BANK DILIKUIDASI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM HAL

BANK DILIKUIDASI

IDA AYU WINDHARI KUSUMA PRATIWI I KADEK ADI SURYA

I WAYAN ANTARA

Fakultas Hukum Universitas Tabanan

ABSTRAK

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting kepada kebidupan masyarakat, dalam menjalankan peranannya maka bank bertindak sebagai salah satu lembaga keuangan yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya lagi dalam bentuk pemberian kredit kepada masyarakat yang membutuhkan. Adapun pemberian kredit dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alatalat pembayaran baru berupa uang giral.

Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, bank dalam menjalankan kegiatannya didasarkan atas prinsip kehati-hatian, sehingga tidak berlebihan jika bank mendapatkan pengawasan dan pembinaan yang khusus dan juga diatur secara ketat. Dengan bermunculan bank-bank baru maka persaingan antar bank menjadi semakin ketat dimana bank berlomba-lomba untuk mencari nasabah baik nasabah dehitur maupun nasabah penyimpan.

Dalam pasal 37 B No. 10 tahun 1998 Perubahan atas tindang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat tersebut dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan yang berbentuk badan hukum. Sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Latar belakang dibentuknya LPS dimulai ketika krisis perbankan tahun 1997 - 1998 yang lalu, dimana untuk menjamin dana masyarakat di bank akibat krisis, pemerintah memberikan jaminan terhadap nasabah, jaminan tersebut semula diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Seluruh Indonesia. Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Pelaksanaan penjaminan bank umum dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sampai dibubarkannya lembaga tersebut pada tanggal 27 Februari 2004. Setelah itu, penjaminan bank umum yang belum selesai pembayarannya dilaksanakan oleh Unit Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah Departemen Keuangan, sedangkan untuk BPR dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Kata Kunci : Bank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lernbaga baru yang diamanatkan oleh pasal 37 B Undnag-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Lembaga ini masih relatif baru di Indonesia. LPS adalah badan hukum yang baru dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada saat sekarang seluruh bank termasuk bank asing wajib

mengikuti program LPS ini. Di samping itu, LPS juga diberi tugas oleh Undang-Undang untuk menangani bank yang tidak sehat atau gagal. Pembentukan LPS ini diperlukan dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat pada bank dan melindungi kepentingan nasabah dalam hal bank gagal atau dilikuidasi.

Likuidasi bank merupakan penutupan suatu bank karena Surat Izin Usaha Perbankan (SIUP) bank tersebut telah dicabut, badan

hukum bank dihubarkan, dan kegiatan operasionalnya dihentikan oleh Direksi Bank.

Likuidasi bank telah menyebabkan kepanikan tersendiri di kalangan masyarakat khususnya nasabah penyimpan, yang menimbulkan efek tetjadinya rush (penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat pada bank-bank yang sehat) sehingga mempengaruhi tingkat kepercayaan pada perbankan nasional.

Tidak dapat disangkal bahwa peran hukum sangat penting bagi dunia perbankan. Dalam situasi seperti ini diharapkan sektor hukum dapat memainkan peranannya dengan baik untuk mengembalikan pulihnya kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan. Namun kenyataannya selama ini sektor hukum belum optimal menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang timbul dari terjadinya likuidasi suatu bank.

Hal ini terjadi karena terdapat beberapa faktor penyebab antara lain :

1. Kurangnya atau tidak adanya hukum yang secara tuntas, khusus dan jelas mengatur prosedur penyelesaian hukumnya.

2. Dari segi aparat hukumnya yang kurang menguasai dan kurang tanggap dalam masalah perbankan.

3. Dari kalangan perbankan sendiri yang kurang mengabaikan aturan-aturan hukum yang ada.

4. Pemerintah yang kurang responsif dengan penegakan hukum di bidang perbankan.

Pengaturan mengenai likuidasi di Indonesia induknya tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Ternyata ketentuan ini terbatas berlakunya untuk likuidasi Perseroan Terbatas pada umumnya dan inipun sumir sifatnya. Ketentuan likuidasi bank, terakhir dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, dengan peraturan pelaksanannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/54/KEP/DIR tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat.

Adapun pencabutan izin usaha bank tersebut dilakukan apabila terjadi halhal berikut :

1. Menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan tindakan penyelamatan yang dilakukan Bank Indonesia belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi bank. Tindakan penyelamatan yang dilakukan Bank Indonesia yang dimaksud adalah : a. Memerintahkan pemegang saham

untuk menambah modal;

b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank;

c. Bank menghapusbukukan kredit yang

macet (write-off) dan

memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.

2. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan.

3. Terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham. (H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, 53)

Tindakan likuidasi ini merupakan langkah yang paling akhir yang dilakukan oleh Bank Indonesia guna menjaga stabilitas sistem perbankan nasional dan untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpanan dana. Ketentuan tersebut ternyata belum mampu menjawab secara tuntas masalah hukum yang timbul sehubungan dengan dilaksanakannya likuidasi. Dengan dilakukannya likuidasi maka kewajiban utama yang dilakukan oleh bank adalah melakukan pembayaran atau pengembalian dana nasabah penyimpan dana tanpa mengabaikan kewajiban kepada pihak-pihak lainnya.

Pada umumnya nasabah menyimpan dana di bank yang dilikuidasi tersebut tidak dapat memperoleh pembayaran atau pengembalian dana secara penuh. Hal inilah yang menimbulkan keresahan dan kekuatan pada nasabah manakala bank dilikuidasi. Kecemasan tersebut nampaknya masih dirasakan oleh nasabah, walaupun pemerintah telah mengeluarkan pernyataan bahwa terhadap bank yang dilikuidasi maka

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM HAL

BANK DILIKUIDASI

IDA AYU WINDHARI KUSUMA PRATIWI I KADEK ADI SURYA

I WAYAN ANTARA

Fakultas Hukum Universitas Tabanan

ABSTRAK

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting kepada kebidupan masyarakat, dalam menjalankan peranannya maka bank bertindak sebagai salah satu lembaga keuangan yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya lagi dalam bentuk pemberian kredit kepada masyarakat yang membutuhkan. Adapun pemberian kredit dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alatalat pembayaran baru berupa uang giral.

Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, bank dalam menjalankan kegiatannya didasarkan atas prinsip kehati-hatian, sehingga tidak berlebihan jika bank mendapatkan pengawasan dan pembinaan yang khusus dan juga diatur secara ketat. Dengan bermunculan bank-bank baru maka persaingan antar bank menjadi semakin ketat dimana bank berlomba-lomba untuk mencari nasabah baik nasabah dehitur maupun nasabah penyimpan.

Dalam pasal 37 B No. 10 tahun 1998 Perubahan atas tindang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat tersebut dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan yang berbentuk badan hukum. Sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Latar belakang dibentuknya LPS dimulai ketika krisis perbankan tahun 1997 - 1998 yang lalu, dimana untuk menjamin dana masyarakat di bank akibat krisis, pemerintah memberikan jaminan terhadap nasabah, jaminan tersebut semula diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Seluruh Indonesia. Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Pelaksanaan penjaminan bank umum dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sampai dibubarkannya lembaga tersebut pada tanggal 27 Februari 2004. Setelah itu, penjaminan bank umum yang belum selesai pembayarannya dilaksanakan oleh Unit Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah Departemen Keuangan, sedangkan untuk BPR dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Kata Kunci : Bank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lernbaga baru yang diamanatkan oleh pasal 37 B Undnag-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Lembaga ini masih relatif baru di Indonesia. LPS adalah badan hukum yang baru dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada saat sekarang seluruh bank termasuk bank asing wajib

mengikuti program LPS ini. Di samping itu, LPS juga diberi tugas oleh Undang-Undang untuk menangani bank yang tidak sehat atau gagal. Pembentukan LPS ini diperlukan dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat pada bank dan melindungi kepentingan nasabah dalam hal bank gagal atau dilikuidasi.

Likuidasi bank merupakan penutupan suatu bank karena Surat Izin Usaha Perbankan (SIUP) bank tersebut telah dicabut, badan

hukum bank dihubarkan, dan kegiatan operasionalnya dihentikan oleh Direksi Bank.

Likuidasi bank telah menyebabkan kepanikan tersendiri di kalangan masyarakat khususnya nasabah penyimpan, yang menimbulkan efek tetjadinya rush (penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat pada bank-bank yang sehat) sehingga mempengaruhi tingkat kepercayaan pada perbankan nasional.

Tidak dapat disangkal bahwa peran hukum sangat penting bagi dunia perbankan. Dalam situasi seperti ini diharapkan sektor hukum dapat memainkan peranannya dengan baik untuk mengembalikan pulihnya kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan. Namun kenyataannya selama ini sektor hukum belum optimal menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang timbul dari terjadinya likuidasi suatu bank.

Hal ini terjadi karena terdapat beberapa faktor penyebab antara lain :

1. Kurangnya atau tidak adanya hukum yang secara tuntas, khusus dan jelas mengatur prosedur penyelesaian hukumnya.

2. Dari segi aparat hukumnya yang kurang menguasai dan kurang tanggap dalam masalah perbankan.

3. Dari kalangan perbankan sendiri yang kurang mengabaikan aturan-aturan hukum yang ada.

4. Pemerintah yang kurang responsif dengan penegakan hukum di bidang perbankan.

Pengaturan mengenai likuidasi di Indonesia induknya tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Ternyata ketentuan ini terbatas berlakunya untuk likuidasi Perseroan Terbatas pada umumnya dan inipun sumir sifatnya. Ketentuan likuidasi bank, terakhir dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, dengan peraturan pelaksanannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/54/KEP/DIR tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat.

Adapun pencabutan izin usaha bank tersebut dilakukan apabila terjadi halhal berikut :

1. Menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan tindakan penyelamatan yang dilakukan Bank Indonesia belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi bank. Tindakan penyelamatan yang dilakukan Bank Indonesia yang dimaksud adalah : a. Memerintahkan pemegang saham

untuk menambah modal;

b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank;

c. Bank menghapusbukukan kredit yang

macet (write-off) dan

memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.

2. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan.

3. Terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham. (H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, 53)

Tindakan likuidasi ini merupakan langkah yang paling akhir yang dilakukan oleh Bank Indonesia guna menjaga stabilitas sistem perbankan nasional dan untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpanan dana. Ketentuan tersebut ternyata belum mampu menjawab secara tuntas masalah hukum yang timbul sehubungan dengan dilaksanakannya likuidasi. Dengan dilakukannya likuidasi maka kewajiban utama yang dilakukan oleh bank adalah melakukan pembayaran atau pengembalian dana nasabah penyimpan dana tanpa mengabaikan kewajiban kepada pihak-pihak lainnya.

Pada umumnya nasabah menyimpan dana di bank yang dilikuidasi tersebut tidak dapat memperoleh pembayaran atau pengembalian dana secara penuh. Hal inilah yang menimbulkan keresahan dan kekuatan pada nasabah manakala bank dilikuidasi. Kecemasan tersebut nampaknya masih dirasakan oleh nasabah, walaupun pemerintah telah mengeluarkan pernyataan bahwa terhadap bank yang dilikuidasi maka

(3)

kewajiban bank terhadap nasabah sepenuhnya akan dibayarkan oleh pemerintah dengan adanya program LPS.

Dalam uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi ?

2. Bagaimanakah Upaya Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi ?

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang dipergunakan dalam pendekatan masalah ini adalah mempergunakan pendekatan secara yuridis normatif, pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengacu pada kepustakaan yaitu pada ketentuan perundang-undangan serta mengacu pada teori-teori yang dikemukakan oleh pakar hukum perdata, pakar hukum perbankan, dan bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi

Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan karena hidup matinya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah. Oleh karena itu guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah wajib berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanggung jawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.

Pada umumnya masyarakat baru akan menyadari betapa pentingnya perlindungan terhadap keamanan dana yang disimpannya, manakala pemerintah mengambil tindakan likuidasi terhadap bank yang bermasalah. Dengan dilikuidasinya suatu bank, maka nasabah terutama nasabah penyimpan dana merasa resah dan takut tidak akan memperoleh

pengembalian atas dana yang disimpannya pada bank yang bersangkutan.

Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melaiui dua cara, yaitu : 1. Perlindungan secara Implisit (Implicit

Deposit Protection), yaitu perlindungan

yang diperoleh melaiui :

a. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan;

b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia;

c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya; d. Mernelihara tingkat kesehatan bank; e. Melakukan usaha sesuai dengan

prinsip kehati-hatian;

f. Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;

g. Menyediakan informasi resiko pada nasabah.

2. Perlindungan secara eksplisit, yaitu pelindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat. (H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, 36)

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa nasabah penyimpan dana pada bank yang dilikuidasi akan terlindungi oleh adanya suatu lembaga penjamin simpanan (Deposit Insurance

Program). “Asuransi jenis ini adalah

pemberian ganti rugi dengan melakukan pembayaran kepada nasabah deposan apabila bank yang ikut program asuransi ini tidak mampu membayar kepada pars deposan penyimpan dana.

Pembentukan lembaga penjaminan simpanan ini ditegaskan dalam Pasal 37B Undang-Undang No. 10 Tahun, 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu bahwa setiap bank diwajibkan untuk menjamin dana masyarakat yang disimpannya dengan membentuk lembaga penjamin simpanan. Dalam menyelenggarakan penjaminan dana

masyarakat, lembaga penjamin simpanan dapat menggunakan :

a. skim dana bersama; b.skim asuransi; c. skim lainnya yang disetujui oleh BI

Adapun latar belakang diselenggarakannya Program Penjaminan Pemerintah, adalah dikarenakan keadaan panik yang semakin menjadi-jadi ketika Pemerintah (Menteri Keuangan) menutup 16 (enam belas) bank swasta pada bulan November 1997. Kebijakan penutupan bank yang semula dimaksudkan sebagai upaya penyehatan sistem perbankan, ternyata berdampak buruk pada sistem perbankan nasional, yaitu terjadinya penarikan besar-besaran oleh nasabah tanpa memperdulikan sehat tidaknya bank yang bersangkutan. Untuk meredam kepanikan nasabah (kreditur) dan memulihkan kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan, maka Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan Program Penjaminan Pemerintah.

Pengaturan mengenai Program Penjaminan Pemerintah tersebut dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Adapun pelaksanaan pemberian jaminan tersebut diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Khusus mengenai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pelaksanaan pemberian jaminan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mana sebelumnya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/12/PBI/2001.

Kewajiban bank peserta yang dijamin melalui Program Penjaminan Pemerintah

adalah kewajiban bank yang berasal dari transaksi yang sah dan tercatat dalam pembukuan bank. Pada dasarnya jenis kewajiban yang dijamin melalui Program Penjaminan Pemerintah baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sama, yaitu simpanan pihak ketiga berupa tabungan, deposito berjangka ataupun bentuk simpanan lainnya. Oleh karena lapangan usaha Bank Umum lebih luas daripada lapangan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR), tentunya jenis kewajiban yang dijamin menjadi lebih banyak. Mengenai jenis-jenis kewajiban yang dijamin melalui program penjaminan pemerintah ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK. 017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan/atau dalam Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Kewajiban yang tidak dijamin berdasarkan program penjaminan pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/ KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, dan/atau Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum disebutkan bahwa “pembayaran penjaminan kepada nasabah penyimpan/kreditur bank peserta dilakukan setelah Bank Indonesia

(4)

kewajiban bank terhadap nasabah sepenuhnya akan dibayarkan oleh pemerintah dengan adanya program LPS.

Dalam uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi ?

2. Bagaimanakah Upaya Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi ?

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang dipergunakan dalam pendekatan masalah ini adalah mempergunakan pendekatan secara yuridis normatif, pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengacu pada kepustakaan yaitu pada ketentuan perundang-undangan serta mengacu pada teori-teori yang dikemukakan oleh pakar hukum perdata, pakar hukum perbankan, dan bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi

Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan karena hidup matinya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah. Oleh karena itu guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah wajib berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanggung jawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.

Pada umumnya masyarakat baru akan menyadari betapa pentingnya perlindungan terhadap keamanan dana yang disimpannya, manakala pemerintah mengambil tindakan likuidasi terhadap bank yang bermasalah. Dengan dilikuidasinya suatu bank, maka nasabah terutama nasabah penyimpan dana merasa resah dan takut tidak akan memperoleh

pengembalian atas dana yang disimpannya pada bank yang bersangkutan.

Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melaiui dua cara, yaitu : 1. Perlindungan secara Implisit (Implicit

Deposit Protection), yaitu perlindungan

yang diperoleh melaiui :

a. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan;

b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia;

c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya; d. Mernelihara tingkat kesehatan bank; e. Melakukan usaha sesuai dengan

prinsip kehati-hatian;

f. Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;

g. Menyediakan informasi resiko pada nasabah.

2. Perlindungan secara eksplisit, yaitu pelindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat. (H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, 36)

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa nasabah penyimpan dana pada bank yang dilikuidasi akan terlindungi oleh adanya suatu lembaga penjamin simpanan (Deposit Insurance

Program). “Asuransi jenis ini adalah

pemberian ganti rugi dengan melakukan pembayaran kepada nasabah deposan apabila bank yang ikut program asuransi ini tidak mampu membayar kepada pars deposan penyimpan dana.

Pembentukan lembaga penjaminan simpanan ini ditegaskan dalam Pasal 37B Undang-Undang No. 10 Tahun, 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu bahwa setiap bank diwajibkan untuk menjamin dana masyarakat yang disimpannya dengan membentuk lembaga penjamin simpanan. Dalam menyelenggarakan penjaminan dana

masyarakat, lembaga penjamin simpanan dapat menggunakan :

a. skim dana bersama; b.skim asuransi; c. skim lainnya yang disetujui oleh BI

Adapun latar belakang diselenggarakannya Program Penjaminan Pemerintah, adalah dikarenakan keadaan panik yang semakin menjadi-jadi ketika Pemerintah (Menteri Keuangan) menutup 16 (enam belas) bank swasta pada bulan November 1997. Kebijakan penutupan bank yang semula dimaksudkan sebagai upaya penyehatan sistem perbankan, ternyata berdampak buruk pada sistem perbankan nasional, yaitu terjadinya penarikan besar-besaran oleh nasabah tanpa memperdulikan sehat tidaknya bank yang bersangkutan. Untuk meredam kepanikan nasabah (kreditur) dan memulihkan kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan, maka Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan Program Penjaminan Pemerintah.

Pengaturan mengenai Program Penjaminan Pemerintah tersebut dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Adapun pelaksanaan pemberian jaminan tersebut diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Khusus mengenai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pelaksanaan pemberian jaminan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mana sebelumnya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/12/PBI/2001.

Kewajiban bank peserta yang dijamin melalui Program Penjaminan Pemerintah

adalah kewajiban bank yang berasal dari transaksi yang sah dan tercatat dalam pembukuan bank. Pada dasarnya jenis kewajiban yang dijamin melalui Program Penjaminan Pemerintah baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah sama, yaitu simpanan pihak ketiga berupa tabungan, deposito berjangka ataupun bentuk simpanan lainnya. Oleh karena lapangan usaha Bank Umum lebih luas daripada lapangan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR), tentunya jenis kewajiban yang dijamin menjadi lebih banyak. Mengenai jenis-jenis kewajiban yang dijamin melalui program penjaminan pemerintah ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK. 017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan/atau dalam Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Kewajiban yang tidak dijamin berdasarkan program penjaminan pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/ KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, dan/atau Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia No. 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 84/KMK.06/2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum disebutkan bahwa “pembayaran penjaminan kepada nasabah penyimpan/kreditur bank peserta dilakukan setelah Bank Indonesia

(5)

mencabut izin usaha bank peserta tersebut”. Sedangkan Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga Bank Perkreditan Rakyat dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu BPR (Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No: 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan).

Upaya Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak menyediakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh nasabah penyimpan dana jika bank dilikuidasi, oleh karena itu bagi nasabah yang ingin mengajukan gugatan kepada pengurus dan atau pemegang saham yang menjadi penyebab kegagalan bank, maka gugatan secara perdata tersebut diajukan dengan dasar hukum Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mengenai pengajuan gugatan dalam Hukum Acara Perdata diatur bahwa gugatan dapat diajukan secara perseorangan dan secara perwakilan atau yang lebih dikenal dengan istilah gugatan perwakilan kelompok (class

action).

Adapun yang dimaksud dengan gugatan kelompok sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, adalah “suatu cara pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”. Yang dimaksud dengan wakil kelompok menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok adalah “satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak

jumlahnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan anggota kelompok adalah sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.

Mengenai cara pengajuan gugatan, menurut Pasal 118 HIR disebutkan “bahwa gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat. (Taufik Makarao, 2004, 19). Ini berarti bahwa gugatan nasabah penyimpan dana terhadap penguras dan/atau pemegang saham sebagai penyebab kesulitan keuangan atau penyebab kegagalan bank tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumya meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan.

Seperti diketahui bahwa gugatan yang diajukan oleh Tim Likuidasi sebagai perwakilan nasabah penyimpan dana ke Pengadilan Negeri tersebut mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama yang akan terjadi yaitu apabila gugatan terhadap pengurus dan/atau pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut diterima atau dimenangkan, maka kekayaan pribadi pengurus dan/atau pemegang saham yang berada dalam penyitaan dapat dilelang untuk digunakan sebagai pelunasan pembayaran terhadap nasabah penyimpan dana yang belum memperoleh pengembalian sirnpanan akibat bank dilikuidasi. Kemungkinan kedua yang bisa terjadi yaitu bahwa gugatan tersebut tidak dikabulkan atau kalah, maka untuk memperjuangkan hak-haknya, maka mereka dapat melakukan upaya-upaya hukum yang lain, seperti upaya-upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, dan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi dapat dilindungan dengan cara sebagai berikut :

a. Perlindungan secara Implisit (Implicit Deposit Protection),

b. Perlindungan secara eksplisit, yaitu “pelindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat.

2. Upaya Hukum Bagi Nasabah

Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Saran

1. Agar Nasabah Penyimpan dana lebih terjamin perlindungan hukumnya sebaiknya pihak Bank, bekerja sama dengan pihak ke tiga, misalnya Asuransi atau Askrindo.

2. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap

Peraturan mengenai Program Penjaminan Pemerintah berkaitan dengan likuidasi bank.

DAFTAR PUSTAKA

H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar

Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta.

Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum

Acara Perdata. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

(6)

mencabut izin usaha bank peserta tersebut”. Sedangkan Pembayaran kewajiban simpanan pihak ketiga Bank Perkreditan Rakyat dilakukan setelah Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu BPR (Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No: 5/17/PBI/2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan).

Upaya Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak menyediakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh nasabah penyimpan dana jika bank dilikuidasi, oleh karena itu bagi nasabah yang ingin mengajukan gugatan kepada pengurus dan atau pemegang saham yang menjadi penyebab kegagalan bank, maka gugatan secara perdata tersebut diajukan dengan dasar hukum Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mengenai pengajuan gugatan dalam Hukum Acara Perdata diatur bahwa gugatan dapat diajukan secara perseorangan dan secara perwakilan atau yang lebih dikenal dengan istilah gugatan perwakilan kelompok (class

action).

Adapun yang dimaksud dengan gugatan kelompok sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, adalah “suatu cara pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”. Yang dimaksud dengan wakil kelompok menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok adalah “satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak

jumlahnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan anggota kelompok adalah sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.

Mengenai cara pengajuan gugatan, menurut Pasal 118 HIR disebutkan “bahwa gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat. (Taufik Makarao, 2004, 19). Ini berarti bahwa gugatan nasabah penyimpan dana terhadap penguras dan/atau pemegang saham sebagai penyebab kesulitan keuangan atau penyebab kegagalan bank tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumya meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan.

Seperti diketahui bahwa gugatan yang diajukan oleh Tim Likuidasi sebagai perwakilan nasabah penyimpan dana ke Pengadilan Negeri tersebut mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama yang akan terjadi yaitu apabila gugatan terhadap pengurus dan/atau pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut diterima atau dimenangkan, maka kekayaan pribadi pengurus dan/atau pemegang saham yang berada dalam penyitaan dapat dilelang untuk digunakan sebagai pelunasan pembayaran terhadap nasabah penyimpan dana yang belum memperoleh pengembalian sirnpanan akibat bank dilikuidasi. Kemungkinan kedua yang bisa terjadi yaitu bahwa gugatan tersebut tidak dikabulkan atau kalah, maka untuk memperjuangkan hak-haknya, maka mereka dapat melakukan upaya-upaya hukum yang lain, seperti upaya-upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, dan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi dapat dilindungan dengan cara sebagai berikut :

a. Perlindungan secara Implisit (Implicit Deposit Protection),

b. Perlindungan secara eksplisit, yaitu “pelindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat.

2. Upaya Hukum Bagi Nasabah

Penyimpan Dana Dalam Hal Bank Dilikuidasi dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Saran

1. Agar Nasabah Penyimpan dana lebih terjamin perlindungan hukumnya sebaiknya pihak Bank, bekerja sama dengan pihak ke tiga, misalnya Asuransi atau Askrindo.

2. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap

Peraturan mengenai Program Penjaminan Pemerintah berkaitan dengan likuidasi bank.

DAFTAR PUSTAKA

H. Malayu S.P. Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar

Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta.

Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum

Acara Perdata. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari proses kalsinasi dapat dilihat dengan cara pemeriksaan kadar kapur bebas pada beton 

positif pada pasien gangguan jiwa khususnya yang mengalami masalah harga diri

Sehingga penulis mampu memecahkan masalah yang ada di Toko Cahaya, Studi Pustaka : digunakan untuk mengumpulkan data dari penelitian terdahulu, pembelajaran dari berbagai

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BOGA BAGI SISWA TUNAGRAHITA JENJANG SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA DI SKh NEGERI 01 PEMBINA PANDEGLANG

Risiko- risiko yang dihadapi bagi mahasiswa yang tidak mengerti fiqih muamalah adalah: (1) ilmu akuntansi syariah hanya dapat digunakan nanti setelah lulus, itupun

Kepulauan Aru sebagaimana termuat dalam aplikasi SPSE, yang dimana proses evaluasi telah dilaksanakan dari tanggal 22 April 2015 dan berakhir pada tanggal 29 April 2015, untuk

ART merupakan bagian dari intervensi yang meliputi komponen restoratif dan preventif terdiri dari pembersihan kavitas gigi secara manual dengan instrumen tangan dan

Budi bukan warga yang baik maka ia tidak membayar pajak... Hakcipta©MGMP Matematika Kota Batam