• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

Sastra sering kali dihubungkan sebagai suatu kata atau kalimat yang mengandung berbagai makna atau banyak makna yang sangat sulit untuk dipahami. Menurut Teeuw (1988: 23) “kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti „mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi‟. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti “alat untuk mengajar”. Adapun pendapat lain tentang sastra, menurut Insan (2011) “sastra itu bermakna „tulisan / karangan yang bagus‟. Itu adalah arti harfiah, atau boleh juga kita sebut arti etimologisnya”.

Dalam karya sastra diperlukannya unsur estetika, menurut Amal (2010) “secara umum, aspek-aspek keindahan dalam sastra lebih banyak ditentukan oleh gaya bahasa, meskipun begitu, aspek keindahan yang lain juga tetap memberikan peranan penting dalam membentuk kesatuan unsur estetika dalam sastra, . . . karena bahasa merupakan media utama karya sastra . . .”. Karena itu, di kalangan masyarakat sekarang masih belum mengerti arti sebenarnya dari sastra tersebut dengan jelas, dan seringkali salah dalam mengartikan sastra, yang dapat mengakibatkan perubahan maksud atau unsur yang terkandung dalam sastra.

1. Unsur-unsur Sastra

Sastra adalah sebuah cawan atau wadah alat sebagai pengajaran untuk membuat sebuah atau sejumlah karya sastra yang akan ditulis dan memiliki berbagai unsur, di antaranya adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.

a. Unsur Intrinsik.

Menurut Jaelani (2012) unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti; tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, dan pusat pengisahan.

(2)

commit to user

1) Tema adalah topik permasalahan yang dibahas dalam cerita. 2) Amanat, saran atau sebuah pesan singkat, yang bersifat mendidik. 3) Perwatakan adalah penokohan.

4) Konflik masalah yang diceritakan.

5) Setting adalah latar dari cerita berupa, latar tempat, suasana, dan waktu. 6) Alur, jalan cerita.

7) Simbol, kata istilah pengganti.

8) Sudut pandang, cara pandang yang digunakan penulis dalam karyanya.

Berdasarkan unsur intrinsik dari sastra, ada yang menyebutkan unsur intrinsik sastra juga memiliki cara penggunaan bahasa, menurut Serenade (2011) “teknik penggunaan bahasa dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata yang dipakainya sedemikian rupa sehingga segala pesannya sampai kepada pembaca”.

Di dalam penggunaan bahasa penulis biasa memiliki khasnya masing-masing menurut Rosyid (2009). Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. b. Unsur Ekstrinsik.

Menurut Serenade (2011) ”Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk karya sastra di luar karya sastra, meliputi: latar belakang kehidupan penulis, keyakinan dan pandangan hidup penulis, adat istiadat yang berlaku pada saat itu, situasi politik (persoalan sejarah), ekonomi, dsb”.

Ada yang mengatakan bahwa unsur ekstrinsik membangun organisme karya sastra, menurut Jaelani (2012) ”Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka”. Dari berbagai macam uraian unsur ekstrinsik, ada beberapa contoh unsur tersebut, berdasarkan contoh (Supeksa, 2010) “(1) Agama pengarang. (2) Pendidikan

(3)

commit to user

pengarang. (3) Ekonomi pengarang. (4). Lingkungan tempat tingal pengarang. (5). Kejadian yang terjadi di lingkungan pengarang”.

2. Novel

Novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel. Dalam bahasa Itali

novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella sebuah

barang baru yang kecil. Sedangkan dalam bahasa Inggris: novel, sebutan itulah yang kemudian masuk ke Indonesia. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris:

novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak

terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut novelet adalah karya yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang daripada cerpen, katakanlah pertengahan di antara keduanya.

a. Pengertian Novel

Nurgiyantoro (2007:18) mengungkapkan novel adalah suatu cerita fiksi yang tidak selesai dibaca sekali duduk dan terdiri dari tema, alur, plot, dan penokohan. Novel merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula yang merupakan kisah nyata.

b. Jenis Novel

Novel terdiri dari 2 jenis yaitu: 1) Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer pada umumnya bersifat artificial, hanya sementara, cepat ketinggalan zaman dan tidak memaksa orang membacanya sekali lagi (Nurgiyantoro, 2007:18).

(4)

commit to user 2) Novel Serius

Novel serius adalah novel yang membutuhkan ketenangan dan konsentrasi tinggi dalam membacanya serta disertai kemauan untuk melakukannya. Novel serius disamping memberikan hiburan dan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan (Nurgiyantoro, 2007: 18).

B. Hakikat Stilistika

1. Aspek Kajian Stilistika dalam Karya Sastra

Sutejo (2010: 2) berpendapat, stilistika atau stylistics (bahasa Inggris) adalah tentang style. Keraf (2010: 112) mengemukakan, istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Ratna (2009: 3) berpendapat, stilistika

(stylistics) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah

cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Lebih lanjut Ratna (2009: 10) mendefinisikan stilistika sebagai: (1) ilmu tentang gaya bahasa; (2) ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra; (3) ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa; (4) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra; dan (5) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahan sekaligus latar belakang sosialnya.

Al-Ma‟ruf (2009a: 47) menegaskan, aspek stilistika berupa bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra yang meliputi: gaya bunyi, gaya kata (diksi), gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif dan citraan. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji aspek stilistika, meliputi: pilihan kata (diksi), gaya bahasa dan juga citraan yang terdapat dalam novel Maryamah Karpov karya Andrea Hirata.

(5)

commit to user 2. Pilihan Kata (Diksi)

Diksi (pilihan kata) merupakan faktor terpenting dalam komunikasi manusia. Jika membicarakan bahasa tidaklah mungkin terlepas dari kata. Keraf (2010: 21) menjelaskan, kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis maupun morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas. Dalam kegiatan berkomunikasi, kata merupakan suatu jaringan untuk memahami orang lain sebagai mitra tutur dan sebaliknya, supaya penutur dapat memahami apa yang mitra tuturnya katakan. Dengan demikian akan terjalin suatu komunikasi dua arah yang baik dan harmonis.

Setiap kata yang terucap dari seseorang pasti mengandung makna bahwa setiap perkataan yang ia ucapkan tersebut merupakan ungkapan sebuah gagasan atau ide yang muncul dari dalam dirinya. Sejalan dengan hal tersebut Keraf (2010: 21) mengatakan, semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.

Darmono (dalam Sayuti, 1985: 62) mengatakan, kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya. Tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dan dunia intuisi penyair. Dari apa yang dipaparkan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa penempatan kata-kata sangat penting artinya untuk menumbuhkan kesan estetik yang membawa pembaca kepada kenikmatan dan pemahaman yang menyeluruh dalam karya sastra yang dihasilkan oleh seorang penulis. Macam-macam diksi yaitu:

1) Kata Konkret

Al-Ma‟ruf (2009b: 103) mengatakan, kata konkret merupakan kata-kata yang dapat melukiskan dengan plastis, membayangkan dengan jitu

(6)

commit to user

akan gagasan yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Lebih lanjut Al-Ma‟ruf (2009b: 103) menyimpulkan:

Dalam karya sastra, pengarang dituntut untuk memperjelas ungkapan agar pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh pengarang. Jika imaji yang ditangkap oleh pembaca merupakan efek dari pengimajian kata-kata yang diciptakan oleh pengarang, maka kata-kata konkret memiliki makna lugas dan jelas itu merupakan syarat atau sebabnya terjadi pengimajinasian tersebut. Dengan kata-kata yang lugas maknanya, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan atau situasi yang dilukiskan oleh pengarang.

Mendasar pada simpulan Al-Ma‟ruf, bahwa kata konkret sama artinya dengan kata denotatif. Keraf (2010: 28) membuat pengertian tentang kata denotatif, yaitu “makna ini (dalam hal ini denotatif) disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan bersifat faktual.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dihadirkannya kata konkret dalam karya sastra adalah memperjelas pembaca dalam mengimajinasikan suatu karya sastra, peristiwa, suasana dan keadaan akan jelas terbayangkan dalam pikiran ketika membaca karya sastra sehingga akan muncul imajinasi yang nyata dalam merangkaikan cerita yang dibaca.

Makna konotatif dan denotatif saling melengkapi dalam lahirnya karya sastra sehingga karya sastra yang lahir akan menjadi indah dan memiliki nilai estetis yang khas.

2) Kata Sapaan Khas Nama Diri

Menurut Saussure (dalam Al-Ma‟ruf, 2009a: 54) ditinjau dari sudut linguistik, nama diri atau sapaan merupakan satuan lingual yang dapat disebut sebagai tanda. Tanda merupakan kombinasi dari konsep (petanda) dan bentuk yang tertulis atau diucapkan atau penanda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nama diri atau sapaan berfungsi sebagai identitas atau penanda maupun simbol untuk menunjukkan orang atau sesuatu yang dimaksud.

(7)

commit to user 3) Kata Serapan

Al-Ma‟ruf (2009a: 56) mengatakan, kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosakata bahasa indonesia. Artinya, dari segi cara penyerapannya, ada kata serapan yang mengalami adaptasi (penyesuaian) dan ada yang mengalami adopsi (dipungut tanpa perubahan). Kata serapan ada yang berasal dari bahasa daerah misalnya Jawa, Batak, dan Sunda dan ada pula yang berasal dari bahasa asing seperti bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Spanyol.

4) Kosakata Bahasa Jawa

Al-Ma‟ruf (2009a: 57) mengatakan, kosakata bahasa Jawa adalah kata dari bahasa Jawa yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasan atau melukiskan sesuatu dalam karya sastra. Kosakata bahasa Jawa itu dirasa lebih tepat dalam mengungkapkan gagasan dengan segala nilai rasa dan muatan maknanya.

5) Kata Vulgar

Kata vulgar adalah kata-kata yang carut dan kasar atau kampungan. Al-Ma‟ruf (2009a: 57) mengatakan, kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek dipandang tabu atau diucapkan atau digunakan dalam berkomunikasi antar warga masyarakat.

6) Kata dan Objek Realitas Alam

Al-Ma‟ruf (2009a: 57) mengatakan, kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti. Dapat disimpulkan bahwa kata dengan objek realitas alam adalah kata atau frasa atau bahkan klausa yang memanfaatkan objek atau penggambaran objek suasana alam. Maknanya tentu dapat dipahami dengan melihat konteks kalimat atau antar kata yang dijelaskan pengarang.

(8)

commit to user 3. Gaya Bahasa

a. Pengertian Gaya Bahasa

Keraf (2010: 23) berpendapat, gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Sementara Aminuddin (1995: 1) mengatakan, gaya merupakan perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya.

Lebih lanjut Aminuddin (1995: 1) menegaskan, sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajinan hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.

Gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda, dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki sejumlah matra hubungan. Aminuddin (1995: 54) mengatakan, matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan objek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri dan dunia penafsiran penanggapnya.

Gaya pada dasarnya adalah bersifat pribadi. Dengan mempelajari gaya bahasa dari seorang penulis, maka kita akan mengetahui dan menilai watak serta kemampuan penulis tersebut. Keraf (2010: 112) menjelaskan, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individu, frasa, klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Secara umum dapat dikatakan gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, hal ini Keraf (2010: 113) menegaskan, gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

(9)

commit to user

Pradopo (dalam Nuroh, 2011: 25) menyatakan, gaya bahasa itu bertujuan untuk menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat serta menimbulkan reaksi tertentu dan atau tanggapan pikiran kepada pembaca. Disamping itu, gaya bahasa merupakan ekspresi ideologi pengarang. Gaya bahasa memiliki fungsi terhadap penyampaian ide pengarang dalam bentuk informasi terutama dalam karya sastra. Oleh karena itu, dalam telaah gaya bahasa (karya sastra), analisis dapat diarahkan pada pilihan kata (diksi), susunan kalimat dan sintaksisnya, kepadatan dan tipe-tipe bahasa kisahannya, pola ritmenya, komponen bunyi dan ciri-ciri formal lainnya.

Sukada (dalam Ratna, 2009: 12) mendefinisikan istilah gaya bahasa dalam sejumlah butir pertanyaan, yaitu:

a) gaya bahasa adalah bahasa itu sendiri, b) yang dipilih berdasarkan struktur tertentu, c) digunakan dengan cara yang wajar, d) tetapi tetap memiliki ciri personal, e) sehingga tetap memiliki ciri personal, f) sebab lahir dari diri pribadi penulisnya yang diungkapkan dengan penuh kejujuran, g) disusun secara sengaja agar menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca dan h) isinya adalah persatuan antara unsur keindahan dan kebenaran.

b. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Karya sastra yang terbentuk puisi banyak memiliki bahasa yang cukup indah saat dibaca. Tak jarang pula untuk menambah nilai keindahan yang terdapat di dalam karyanya, penyair memasukkan atau menuliskan kata-kata yang memiliki makna yang tidak sebenarnya. Ratna (2009: 416) mengungkapkan, unsur karya sastra sebagai akibat cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan efek estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan majas.

Ratna (2009: 164) menjelaskan, majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Lebih lanjut Ratna (2009: 164)

(10)

commit to user

membedakan jenis-jenis majas ke dalam empat kelompok, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c) pertentangan, dan d) majas sindiran.

Penggunaan gaya bahasa yang berwujud majas dapat memengaruhi gaya dan keindahan bahasa sebuah karya sastra. Keraf (2010: 124-127) mengkategorikan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yaitu: (1) gaya bahasa klimaks; (2) gaya bahasa antiklimaks; (3) gaya bahasa paralelisme; (4) gaya bahasa antitesis; (5) gaya bahasa repetisi yang meliputi epizeuksis,

epanalepsi, mesodiplosis, simploke, epistrofa, tautoses, anafora dan anadiplosis.

Lebih lanjut Keraf (2010: 130-145) juga mengkategorikan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yang termasuk gaya bahasa tersebut antara lain:

(1) gaya bahasa retoris (aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asidenton, polisidenton,kiasmus, elipsis, eufimisme, litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsi, erotesis, silepsi, zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks, dan oksimoron); (2) gaya bahasa kiasan (simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan paronomasia).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu: (a) gaya bahasa perbandingan, (b) gaya bahasa pertentangan, (c) gaya bahasa pertautan dan (d) gaya bahasa perulangan. Macam-macam gaya bahasa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Gaya Bahasa Perbandingan

Pradopo (1993: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti; bagai,

(11)

commit to user

sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lain.

(a) Simile

Keraf (2010: 138) berpendapat, simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Sementara itu Agni (2009: 106) mengartikan, gaya bahasa simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan dan lain-lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa simile atau perumpamaan merupakan suatu majas yang membandingkan dua hal atau benda dengan menggunakan kata penghubung, contoh: Bibirnya seperti

delima merekah.

(b) Metafora

Agni (2009: 107) mengartikan metafora adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata „layaknya, bagaikan, dan lain-lain‟. Lebih lanjut, Keraf (2010: 139) berpendapat, metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati,

cindera mata dan sebagainya. Dapat disimpulkan metafora adalah

majas yang membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, padat dan rapi, contoh: Lelaki itu buaya darat.

(c) Personifikasi

Agni (2009: 109) mengartikan gaya bahasa personifikasi adalah pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Keraf (2010: 140) berpendapat, personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Pendapat di atas disimpulkan bahwa personifiksi merupakan majas yang

(12)

commit to user

mengibaratkan benda-benda mati seolah hidup atau bernyawa layaknya manusia. Sebagai contoh majas personifikasi yakni:

Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

(d) Alegori

Agni (2009: 106) mengartikan gaya bahasa alegori adalah menyatakan dengan cara lain melalui kiasan atau penggambaran. Keraf (2010: 140) berpendapat, alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa alegori merupakan bahasa kiasan yang digunakan sebagai sarana pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh, contoh:

Hati-hatilah kamu dalam mengarungi bahtera rumah tangga, melewati lautan kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang. Apabila suami istri, antara nahkoda dan juru mudinya haruslah seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya ia akan sampai ke pulau tujuan.

(e) Antitesis

Keraf (2010: 126) berpendapat, antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Dapat disimpulkan bahwa antitesis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata untuk dua hal yang bertentangan, contoh: Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semua

mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan bangsa dan negara.

(f) Sinestesia

Agni (2009: 107) mengartikan, gaya bahasa sinestesia adalah metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan indera untuk dikenakan pada indera lain. Contoh: Sedap benar melihat

gadis cantik yang selesai dandan.

(13)

commit to user (g) Pleonasme dan Tautologi

Keraf (2010: 133) mengungkapkan:Pada dasarnya plenonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa dengan menggunakan kata yang lebih banyak dari yang diperlukan, namun apabila dihilangkan kata tersebut tidak merubah arti. Sedangkan tautologi menggunakan kata yang lebih namun kata tersebut sebenarnya merupakan perulangan dari kata yang lain, contoh: Saya melihat kecelakaan itu

dengan mata kepala saya sendiri (pleonasme), Bapak pulang ke rumah jam 20.00 malam tadi (tautologi)

(h) Perifrasis

Keraf (2010: 139) menjelaskan, perifrasis adalah gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Kata-kata yang berlebihan tersebut sebenarnya dapat digantikan dengan satu kata saja, contoh:

Ia telah menghembuskan nafas terakhir (= mati, atau meninggal).

(i) Prolepsis

Keraf (2010: 134) berpendapat prolepsis adalah semacam gaya bahasa dimana seseorang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata-kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.

(14)

commit to user

Keraf (2010: 135) menyatakan, koreksio adalah gaya bahasa yang berwujud menegaskan sesuatu kemudian memperbaikinya. Dilakukan dengan sengaja sebagai ekspresi untuk menarik perhatian dan untuk membangkitkan sikap kritis dari pada pembaca atau pendengar.

(2) Gaya Bahasa Pertentangan (a) Hiperbola

Agni (2009: 108) mengartikan, gaya bahasa hiperbola adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan, tetapi kenyataan tersebut tidak masuk akal. Keraf (2010: 135) berpendapat, hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hiperbola merupakan suatu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan yang ada. Contoh: Jika teringat kejadian itu, hatiku hancur berkeping-keping

hingga tak tersisa lagi.

(b) Litotes

Keraf (2010: 132) berpendapat, litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan lebih kecil dari apa yang sebenarnya ada, contoh: Kapan-kapan mampirlah ke gubukku yang

seadanya itu.

(c) Paranomasia

Keraf (2010: 145) menyatakan, paranomasia merupakan kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa paranomasia merupakan gaya bahasa yang mempunyai kata dengan kemiripan bunyi namun

(15)

commit to user

berbeda maknanya., contoh: Tanggal dua kemarin itu gigi saya

tanggal dua.

(d) Oksimoron

Keraf (2010: 136) menegaskan, oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dengan demikian oksimoron dapat diartikan sebagai gaya bahasa pertentangan yang mempergunakan kata-kata yang bertentangan dalam satu frasa yang sama artinya. Contoh: Dengan diam seribu bahasa, sebenarnya para pendemo

itu berteriak untuk suatu keadilan.

(e) Silepsis dan Zeugma

Keraf (2010: 135) menerangkan, gaya bahasa silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Lebih lanjut lagi Keraf (2010: 135) memberi penjelasan, dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Contoh silepsis, yakni: Ia sudah kehilangan arah dan tujuannya. Dalam pembahasan yang sama, Keraf (2010: 135) juga memberi penjelasan lebih lanjut, dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya. Contoh zeugma, yakni: Orang itu

menundukkan kepala dan badannya untuk memberi penghormatan kepada pimpinan mereka.

(f) Satire

Keraf (2010: 144) mengatakan, satire adalah uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaannya atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa satire merupakan gaya bahasa yang mengharuskan seseorang untuk menafsirkan kembali uraian yang

(16)

commit to user

diucapkan dan tidak semata-mata mengartikan hal tersebut dari arti harfiahnya.

(g) Inuendo

Keraf (2010: 144) menjelaskan, inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuende dapat disimpulkan pula sebagai gaya bahasa yang memberikan sindiran halus yang bahkan tidak menyakitkan hati apabila dilihat sambil lalu. Contoh: Setiap kali mendatangi pesta, ia pasti akan

sedikit mabuk karena kebanyakan minum.

(h) Antifrasis

Keraf (2010: 144) mengatakan, antifrasis merupakan semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antifrasis merupakan sebuah ungkapan yang mempunyai makna berbanding terbalik dengan kenyataan. Contoh: Itu dia, si rajin

baru datang (makna dari ungkapan tersebut adalah sebagai sindiran untuk pemalas).

(i) Paradoks

Keraf (2010: 136) mengatakan, paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dapat disimpulkan bahwa paradoks merupakan suatu gaya bahasa yang mengandung ungkapan pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada pada kenyataannya. Contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah

kekayaan ayahnya yang melimpah.

(17)

commit to user

Keraf (2010: 124) menjelaskan, klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa klimaks merupakan pemaparan pikiran atau suatu hal secara berturut-turut dari yang sederhana dan kurang penting, meningkat kepada hal atau gagasan yang penting dan kompleks. Contoh: Sastrawan mempunyai

banyak waktu untuk memilih, merenungkan bahkan menciptakan suasana baru dalam penyampaian maksud karyanya tersebut kepada pembaca.

(k) Antiklimaks

Keraf (2010: 125) menjelaskan, antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Dapat disimpulkan bahwa antiklimaks merupakan kebalikan dari klimaks, dalam antiklimaks gagasan-gagasan yang diungkapkan merupakan urutan dari hal yang penting menuju kepada hal yang semakin tidak penting. Contoh: Ketua pengadilan itu adalah

seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya.

(l) Anastrof

Keraf (2010: 130) mengatakan, anastrof adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Suatu hal yang biasa apabila kita membaca susunan kalimat yang berpola subjek-predikat-objek, namun anastrof dapat disimpulkan bahwa ia membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Contoh: Bersorak-sorak orang di tepi

jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

(18)

commit to user

Keraf (2010: 130) menjelaskan, apofasis merupakan sebuah gaya bahasa di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa gaya bahasa apofasis merupakan semacam gaya di mana penulis berpura-pura menyembunyikan sesuatu, namun sebenarnya justru ia memamerkan sesuatu tersebut. Contoh: Saya tidak mau

mengungkapkan dalam forum ini bahwa sebenarnya saudara merupakan penipu yang berkedok sebagai pengacara.

(n) Hipalase

Keraf (2010: 142) menjelaskan, hipalase merupakan semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Hal tersebut berarti hipalase merupakan suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misal: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah.

(o) Ironi

Keraf (2010: 143) mengatakan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Lebih lanjut Ratna (2009: 447) berpendapat, ironi adalah gaya bahasa ayng berupa sindiran halus. Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa ironi merupakan gaya di mana penulis sebenarnya tidak mengatakan hal yang sebenarnya, melainkan hanya sebuah sindiran. Misal: Tidak diragukan lagi

bahwa Andalah pemimpin yang paling bijaksana, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan semua!

(19)

commit to user

Keraf (2010: 143) menjelaskan, sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Lebih lanjut Ratna (2009: 447) menyatakan, sinisme merupakan sindiran yang agak kasar. Dapat disimpulkan bahwa terdapat sedikit perbedaan antara ironi dan sinisme yakni di dalam penyampaian gaya bahasa tersebut. Ironi memiliki bahasa yang cenderung lebih halus, sedangkan sinisme mempunyai bahasa yang cenderung lebih kasar. Contoh:

Memang kami itu wanita paling canik di seantero jagad ini, sehingga kamu pun mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.

(q) Sarkasme

Keraf (2010: 143) mengatakan, sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Agni (2009: 111) menyatakan, sarkasme adalah gaya bahasa sindiran langsung dan kasar. Dapat disimpulkan bahwa sarkasme merupakan gaya bahasa bersifat menyindir yang paling kasar dari gaya bahasa lainnya. Contoh: Mulutmu Harimaumu.

(r) Histeron Proteton

Keraf (2010: 133) mengatakan, histeron proteton adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Kesimpulannya bahwa gaya bahasa tersebut menyatakan makna yang terbalik dari apa yang biasa dianggap logis. Contoh: Kereta melaju dengan

cepat melebihi kecepatan kuda yang menariknya.

(3) Gaya Bahasa Pertautan (a) Metonimia

Keraf (2010: 142) menyatakan, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu

(20)

commit to user

hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sementara itu Agni (2009: 108) mengartikan, gaya bahasa metonimia adalah pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metonimia merupakan suatu bahasa kiasan yang menggunakan bahasa dari suatu benda atau ciri khas yang sudah dikenal masyarakat umum. Contoh: Pak Bejo ke pasar naik

Honda.

(b) Sinekdoke

Keraf (2010: 142) mengatakan, sinekdoke merupakan semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum

pro toto). Sementara Altenbernd (dalam Pradopo, 1993: 78)

mengatakan, sinekdok merupakan bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa sinekdok ada dua macam yaitu pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan

tutom pro toto (keseluruhan untuk sebagian). Contoh: Mana batang hidungmu belum tampak di bumi ini.

(c) Alusi

Keraf (2010: 141) mengatakan, alusi adalah semacam acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi merupakan gaya bahasa yang menunjuk suatu acuan yang secara tidak langsung menyamakan hal tersebut antara orang, tempat, atau peristiwa. Contoh: Diponegoro kecil itu tak pernah lelah

memperjuangkan haknya.

(21)

commit to user

Keraf (2010: 132) mengatakan, eufemisme adalah semacam acuan berupa acuan ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus. Agni (2009: 110) mengartikan, gaya bahasa eufemisme adalah pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme merupakan suatu gaya bahsa yang mengganti sebuah perkataan yang kasar dengan kata-kata yang lebih halus. Contoh: Ibunya

sudah tidak lagi berada di tengah-tengah mereka.

(e) Eponim

Keraf (2010: 141) mengatakan, eponim merupakan suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan nama tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Dapat disimpulkan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang dikaitkan dengan hal tertentu yang itu menggambarkan sifatnya. Contoh: Toni memang seperti

Hercules.

(f) Epitet

Keraf (2010: 141) mengatakan, epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. agni (2009: 111) mengartikan, epitet adalah melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud. Dapat disimpulkan bahwa epitet merupakan semacam acuan yang menggantikan atau menjelaskan nama orang atau nama barang. Contoh: Puteri malam

telah kembali memancarkan sinarnya.

(22)

commit to user

Keraf (2010: 142) mengatakan, antonomasia merupakan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antonomasia adalah suatu kata-kata untuk menggantikan nama asli orang yang sudah terkenal. Contoh:

Semua harus datang ke acara pernikahan putri raja, begitulah perintah Yang Mulia.

(h) Erotesis

Keraf (2010: 134) menjelaskan, erotesis atau disebut juga pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang sudah terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa erotesis atau pertanyaan retoris adalah suatu pertanyaan yang sebenarnya tidak menghendaki suatu jawaban atau sudah pasti jawabannya. Contoh: Hujan ya?

(i) Paralelisme

Keraf (2010: 126) mengatakan, paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Ratna (2009: 441) berpendapat, paralelisme adalah kesejajaran kata-kata atau frasa dengan fungsi yang sama. Dari pemaparan di atas dapat diartikan bahwa paralelisme adalah kata-kata atau frasa yang memiliki fungsi yang sama. Contoh: Bukan saja gembong narkoba itu harus

dikutuk, tetapi juga diberantas.

(j) Asindenton

Keraf (2010: 131) mengatakan, asidenton merupakan suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat. Beberapa kata,

(23)

commit to user

frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan kata sambung, melainkan hanya dengan menggunakan tanda koma. Contoh: Veni, vidi, vici “Saya datang, saya lihat, saya menang”.

(k) Polisindenton

Keraf (2010: 131) mengatakan, polisidenton merupakan beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa polisidenton merupakan kebalikan dari asindenton. Contoh: Dan kemanakah orang-orang yang gelisah

dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap yang bakal membingungkannya?

(4) Gaya Bahasa Perulangan (a) Asonansi

Keraf (2010: 130) mengatakan, asonansi adalah semacam gaya bahasa yang terwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya hal tersebut dipergunakan dalam puisi dan kadang-kadang dalam prosa. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa asonansi merupakan gaya bahasa yang mempunyai perulangan kata dengan bunyi vokal yang sama. Contoh: Ini luka

penuh luka siapa punya.

(b) Repetisi

Keraf (2010: 127) mengatakan, repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Lebih lanjut dari pernyataan tersebut, Agni (2009: 113) mengatakan, repetisi adalah pengulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat. Dapat disimpulkan bahwa repetisi merupakan

(24)

commit to user

perulangan bunyi, suku kata, kata, farasa, dan klausa dalam satu kalimat yang saling berhubungan. Contoh: Sudikah engkau pergi bersama dinginnya angin malam, bersama sinar rembulan, dan bersama hujan yang rintik-rintik.

(c) Tautotes

Keraf (2010: 127) berpendapat, tautotes merupakan semacam acuan kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Perlu diketahui bahwa tautotes termasuk ke dalam macam-macam repitisi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tautotes merupakan repetisi atas sebuah kata perulangan dalam sebuah konstruksi. Contoh: Kau dan aku saling mencintai.

(d) Anafora

Macam repetisi selanjutnya yakni anafora. Keraf (2010: 127) mengatakan, anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Sedangkan Ratna (2009: 442) berpendapat, anafora adalah kata atau kelompok kata diulang pada baris berikutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anafora merupakan sebuah perulangan yang berada pada tiap baris pertama pada tiap baris berikutnya. Contoh: Apa yang kau perbuat membuatku terluka. Apa

yang kau perbuat juga membuatku patah hati.

(e) Epistrofa

Keraf (2010: 128) berpendapat, epistrofa merupakan perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Dapat disimpulkan bahwa epistrofa merupakan repetis yang menitikberatkan perulangan pada akhir baris atau kalimat. Contoh:

Yang menghidupi adalah aku. Yang memanjakanmu adalah aku. Yang mencukupimu adalah aku.

(25)

commit to user (f) Epanalepsis

Macam repetisi berikutnya yakni epanalepsis. Keraf (2010: 128) mengatakan, epanalepsis merupakan pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh: Kita gunakan hak pilih kita. Kami

perjuangkan hak kami.

(g) Mesodiplosis

Keraf (2010: 128) mengatakan, mesodiplosis merupakan repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis merupakan pengulangan yang berada di tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh: Jangan lupa berdoa kepada Tuhan. Karena dengan

berdoa Tuhan akan mengabulkan permintaan.

(h) Anadiplosis

Keraf (2010: 128) mengatakan, anadiplosis merupakan kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata atau kalimat terakhir menjadi kata atau kalimat pertama berikutnya. Contoh: Dalam hati ada kamu. Dalam kamu

ada cinta. Dalam cinta ada kita.

4. Citraan

Dalam membicarakan karya seni atau karya sastra untuk menimbulkan suasana yang khas, untuk membuat gambaran yang dituliskan menjadi nyata, dan untuk tersampaikannya karya tersebut kepada pembaca, untuk menarik pikiran, maka haruslah karya tersebut hidup dalam pikiran dan penginderaan penikmatnya. Pradopo (1993: 79) mengatakan, gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Untuk menggambarkan tulisan yang

(26)

commit to user

ditulis oleh penulis maka perlulah suatu citraan di dalamnya. Citraan tesebut harus tersampaikan supaya pembaca mampu memahami dan tersampaikan apa yang dimaksudkan oleh penulis dalam karyanya yakni melalui gambaran-gambaran (citraan). Pradopo (1993: 80) menegaskan, gambaran-gambaran pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap suatu objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan.

Citraan atau imaji pada dasarnya terwujud dari adanya bahasa kias di dalam sebuah karya. Terciptanya citraan pada karya sastra sebenarnya dilatarbelakangi oleh realita yang ada di dalam masyarakat, sehingga penulis mampu mengangkat gagasan-gagasan yang ingin diungkapkan ke dalam karyanya. Gagasan-gagasan tersebut dikemas sedemikian rupa dengan berbagai bahasa kias supaya citraan yang muncul dalam karyanya mampu menarik minat pembaca untuk tersampaikannya gagasan-gagasan yang diungkapkan.

Coombes (dalam Al-Ma‟ruf, 2009a: 78) menyatakan bahwa di tangan sastrawan yang baik imaji itu segar dan hidup, berada pada puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, merasakan pengalaman pengarang terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup kuat, ekonomis, dan segera dapat dirasakan dan dekat dengan kehidupan pembaca.

Dalam tulisannya, Pradopo (1993: 81) menjelaskan, gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa citraan sebenarnya muncul dari gambaran-gambaran angan yang dapat dihasilkan dari bermacam-macam indera, seperti: penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Dapat pula gambaran-gambaran angan tersebut muncul melalui pikiran dan gerakan.

(27)

commit to user

Setiap penulis mempunyai ciri khas dan juga keunikan yang membuat gagasannya dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Salah satu cara untuk menyampaikan gagasan yang dituliskan kepada pembaca yakni melalui citraan. Berdasarkan hal tersebut, Nurgiyantoro (2005: 307) membagi citraan kata menjadi tujuh jenis, yaitu: (a) citraan penglihatan, (b) citraan pendengaran, (c) citraan penciuman, (d) citraan pengecapan, (e) citraan gerak, (f) citraan intelektual, dan (g) citraan perabaan. Jenis citraan tersebut di atas akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Citraan Penglihatan

Menurut Hartutik (2010), citraan penglihatan dapat diartikan sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi yang diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang bersifat simbolis. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa citraan penglihatan merupakan suatu rangsangan yang mampu diterima oleh indera penglihatan.

Citraan penglihatan juga bisa merangsang hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata menjadi seolah-olah terlihat, hal ini terjadi apabila citraan penglihatan mampu merangsang segi mental dan pikiran masa lalu seseorang.

Dalam karya sastra khususnya puisi, citraan penglihatan sering digunakan penulis untuk merangsang indera penglihatan untuk melukiskan keadaan, tempat, suasana, dan pemandangan. Citraan penglihatan atau

visual ini mampu merangsang indera penglihatan pembaca untuk dapat

menikmati gagasan atau ide yang penulis ingin sampaikan. 2) Citraan Pendengaran

Citraan pendengaran merupakan citraan yang berkaitan dengan indera pendengaran. Citraan pendengaran tersebut biasanya berupa penyebutan atau penguraian bunyi dan suara. Pradopo (2007: 82) menegaskan, tak jarang citraan jenis ini berupa tiruan bunyi (onomatope).

Citraan pendengaran adalah citraan yang timbul oleh pendengaran. Menurut Hartutik (2010) citraan pendengaran merupakan pelukisan bahasa

(28)

commit to user

yang merupakan perwujudan dari pengalaman indera pendengaran. Dapat disimpulkan bahwa citraan pendengaran akan dengan mudah merangsang imajinasi pembaca yang mempunyai pengalaman dan peristiwa yang akan dibangkitkan kembali melalui rangsangan dengan adanya citraan pendengaran.

3) Citraan Penciuman

Citraan penciuman jarang sekali dijumpai dalam penulisan karya sastra. Namun citraan penciuman merupakan sesuatu yang memiliki fungsi untuk merangsang imajinasi pembaca yang sering digunakan oleh penulis. Menurut Hartutik (2010) citraan jenis ini dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh atas pengalaman indera yang lain.

4) Citraan Pengecapan

Al-Ma‟ruf (2009a: 85) mengatakan, citraan pencicipan disebut juga citraan gustatory, yakni citraan yang muncul dari puisi sehingga seakan-akan mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam, manis, atau pedas.

Citraan pengecapan akan mampu merangsang imajinasi pembaca melalui indera pengecap. Citraan pengecap dalam karya sastra digunakan oleh penulis untuk menghidupkan kembali pengalaman yang pernah dialami pembaca dalam hal yang berkaitan dengan indera pengecapan atau lidah. 5) Citraan Gerak

Pradopo (2007: 87) berpendapat, citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis. Dapat disimpulkan bahwa citraan gerak dalam penulisan karya sastra mampu melukiskan bahwa sesuatu yang sebenarnya tidak dapat bergerak namun mampu bergerak atau digambarkan sebagai sesuatu yang dapat bergerak pada umumnya.

(29)

commit to user

Al-Ma‟ruf (2009a: 83) berpendapat, citraan perabaan atau citraan

tactual adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit). Pada

saat membaca sebuah karya sastra, dapat ditemukan diksi yang menyebabkan seolah-olah merasakan rasa nyeri, dingin, atau panas karena perubahan suhu udara.

Pradopo (dalam Hartutik, 2010) mengartikan, citraan perabaan adalah penggambaran dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan. Citraan perabaan sering menggambarkan sesuatu secara erotik dan sensual sehingga dapat memancing imajinasi pembaca. Dapat disimpulkan bahwa citraan perabaan adalah suatu bentuk citraan dalam karya sastra yang mampu merangsang seorang pembaca yang menikmati karya sastra tersebut dan mampu terbawa oleh citraan yang dihasilkan karya sastra tersebut melalui indra peraba manusia.

3) Hakikat Pendidikan 1. Pengertian Nilai Pendidikan

Dalam KBBI (Suharso dan Ana, 2009: 690) kata nilai mempunyai arti harga, banyak sedikitnya isi, kadar mutu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Sementara itu juga dalam KBBI (Suharso dan Ana, 2009: 127) kata edukatif mempunyai arti bersifat mendidik atau berkenaan dengan pendidikan.

Menurut Waluyo (2002: 27) makna nilai yang diacu dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra khususnya novel akan mengandung berbagai macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca.

Menurut Mustakim (2011: 2) pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itumempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Dan oleh karena itu nilai sesuatu yangsama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorangterhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan.

(30)

commit to user

Beberapa definisi dan uraian mengenai nilai di atas dapat dikatakan bahwa nilai itu merupakan sesuatu yang tidak mudah dirumuskan, sesuatu yang abstrak danmemiliki kriteria yang berbeda. Nilai berhubungan dengan perasaan dan bersifatrelative sehingga tingkat kepuasan nilai masing-masing orang berbeda.

Ada beberapa nilai yang harus dimiliki sebuah karya sastra yang baik. Nilainilai tersebut antara lain: nilai estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya, dan nilai-nilai lainnya. Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnyamengandung nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada anak atau generasi muda. MudjiSutrisno dkk (2003: 63) menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapattergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa manusia, keberadaannya di duniadan dalam masyarakat, apa itu kebudayaannya dan proses pendidikannya, semua itu dipigurakan dalam refleksi konkret fenomental, berdasar fenomena eksistensimanusia, dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi, berada dimasyarakat sampai kepulangannya ke yang menciptakannya.

Nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yangdikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Nilai pendidikansangat erat nilainya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai tersebut bersifat mendidik dan menggugah hati pembacanya.

Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai pendidikan moral, nilai adat,nilai agama (religi), nilai sejarah. (Waluyo, 2002: 27) Dalam novel dapat ditemukan sejumlah nilai edukatif yang dapat dipetik melalui peristiwa-peristiwa yang ada, karakter tokoh, hubunganantartokoh dalam cerita, dan lain-lain. Hal-hal positip maupun negatif akan diketahuisetelah membaca cerita tersebut. Nilai edukatif dalam novel dapat menambahkekayaan batin para penikmatnya.

(31)

commit to user

Nilai edukatif yang terkandung dalam novel cukup banyak. Keteladanan dan petuah-petuah bijak melalui tokoh atau peristiwa. Seseorang dapatmenemukan nilai-nilai edukatif (pendidikan) dari sebuah novel manakala iamau berusaha memahami isinya. Jika perlu, untuk benar-benar memahami isi novel,pembacaan novel dapat dilakukan berulang kali.dari novel yang dibaca tersebut akandiperoleh nilai-nilai edukatif melalui peristiwa-peristiwa yang ada, karakter tokoh dalam novel, hubungan antar tokoh dalam novel, dan lain-lain. Hal-hal positip maupunnegatif akan diketahui setelah membaca novel tersebut. Jadi nilai-nilai edukatif dalam novel akan dapat menambah kekayaan batin para penikmatnya.

Pendidikan merupakan pengalaman yang dilalui atau dimiliki oleh seseorang dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat diperoleh di mana saja dan kapan saja, atau dalam pengertian lainnya pendidikan tidak tergantung oleh tempat dan waktu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mudyahardjo (2001: 3) mengatakan, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Mudyahardjo (2001: 11) menambahkan pengertian bahwa :

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah atau di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan merupakan sesuatu yang baik ataupun buruk yang diterima oleh manusia melalui pengalaman-pengalaman belajar dari pendidikan formal, non-formal, dan informal yang mampu membawa seseorang menjadi lebih dewasa dan mampu mempersiapkan seseorang untuk kehidupannya di masa yang akan datang.

(32)

commit to user

Nilai pendidikan sangat erat hubungannya dengan karya sastra. Dalam sebuah karya sastra yang baik pastilah terkandung nilai pendidikan yang baik-baik pula untuk kehidupan pembacanya. Karya sastra sebagai refleksi kehidupan manusia pastilah mempunyai unsur nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam karya tersebut.

Novel merupakan karya sastra yang berbentuk fiksi atau cerita rekaan, namun ada pula yang merupakan kisah nyata. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti terhadap isi certia dalam novel Maryamah Karpov ini akan dideskripsikan beberapa nilai-nilai pendidikan yang meliputi:

a. Nilai Pendidikan Agama atau Religius

Nurgiyantoro (2005: 326) berpendapat, kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Disamping pengertiannya tersebut, Nurgiyantoro (2005: 317) juga menyatakan, nilai pendidikan agama dalam karya sastra sebagian menyangkut moral, etika dan kewajiban.

Dari apa yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan agama atau religius merupakan nilai yang muncul atau terkandung dalam karya sastra sejak karya sastra itu terlahir. Secara langsung atau tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua karya sastra yang telah ada selama ini sebagian besar mengandung nilai pendidikan agama di dalamnya.

b. Nilai Pendidikan Moral atau Etika

Nurgiyantoro (2005: 321) menjelaskan, moral dalam karya sastra biayanya mencerminkan pandangan hidup pengaang yang bersangkutan, pandangannya tentangan nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam hal ini moral dalam karya sastra dapat diasumsikan sebagai pandangan-pandangan yang muncul dari apa yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastranya tersebut.

Sementara itu, Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 321) menyatakan bahwa nilai moral biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang

(33)

commit to user

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Dari nilai moral yang terdapat dalam berbagai bentuk dan tulisan karya sastra diharapkan pembaca mampu mengambil nilai moral atau etika yang terdapat didalam karya tersebut.

c. Nilai Pendidikan Sosial

Sebagai makhluk sosial, manusia sebagai individu yang tidak dapat hidup sendiri tanpa perantara orang lain mempunyai kewajiban sosial. Kewajiban sosial seorang manusia yakni menjaga kesalarasan hidup bermasyarakat antar individu. Keselarasan hidup manusia sebagai makhluk sosial berkaitan erat dengan hubungan antarindividu satu dengan individu lain dalam masyarakat.

Nurgiyantoro (2005: 325) mengatakan, masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia antara lain dapat berwujud persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan (hubungan suami istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami atau istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan dan lain-lain yang melibatkan interaksi antarmanusia.

Karya sastra sebagai refleksi kehidupan dari penulis maupun dari pembacanya mempunyai sifat sosial. Di dalam penulisan karya sastra mempunyai unsur kehidupan yang kental. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra memiliki nilai sosial yang lahir dari penulis itu sendiri atau deskripsi pembaca yang mempunyai pengalaman-pengalaman tentang hidup dalam perjalanan hidupnya.

d. Nilai Pendidikan Budaya

Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai inti sistem nilai budaya akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai

(34)

commit to user

budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Dapat disimpulkan bahwa sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola.

D. Hasil Penelitian Yang Relevan

Kajian pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Kajian terhadap hasil penelitian sebelumnya ini hanya akan dipaparkan beberapa penlitian sejenis yang berkaitan dengan permasalahan unsur estetika dan nilai edukatif.

Diantaranya Agustina, 2013. Dalam penelitiannya yang berjudul “Etika dan Estetika Dalam Novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra” menyimpilkan bahwa unsur estetika meliputi: paribasan, bebasan, pepindhan, tembunggarba, dasanama, yogyaswara, dan tembung saroja. Nilai etika dalam novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra meliputi etika keselarasan sosial terdapat 10 indikator, dan nilai kebijaksanaan terdapat 15 indikator. Sedangkan unsur-unsur estetika yang terdapat dalam novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra meliputi paribasan terdapat 8 indikator, bebasanterdapat 8 indikator, pepindhan terdapat 14 indikator, tembung garbaterdapat 3 indikator, dasanama terdapat 8 indikator, yogyaswara terdapat 1 indikator, purwakanthi guru swara terdapat 2 indikator, dan tembung sarojaterdapat 6 indikator.

Novi Andari, 2013. Dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai Estetis Dan “Dulce Et Utile” Dalam Novel Keindahan Dan Kesedihan KaryaKawabata Yasunari” Menyimpulkan bahwa: “Keindahan dan Kesedihan” karya Kawabata

(35)

commit to user

Yasunari memiliki nilai estetis yang baik, dalam segi “kesatuan dalam keragaman” (unity in variety), “kontemplasi objektif” (disinterested

contemplation), “distansiestetis” ( aesthetic distance), “penciptaan kerangka

seni” (framing), “ ciptaan” (invention), “imajinasi”, dan “kreasi”. Ditambah dengan gaya bahasa dan pilihan bahasa yang tinggi yangkadangkala sukar untuk dipahami namun semuanya ini dapat menjadikan novel ini suatu karyasastra yang bermutu. Di samping itu, novel ini dapat memberikan hiburan dan manfaat dan nilai bagi para pembacanya.

Ocviyanti Ahadah (2009) dengan judul “Nilai-nilai Edukatif dalam “Novel Mengejar Matahari” karya Titien Wattimena: Tinjauan Sosiologi Sastra. Penelitian tertsebut berkesimpulan berdasarkan analisis struktural, unsure-unsur novel tersebut menunjukkan kepaduan dan hubungan yang harmonis dalam mendukung totalitas makana. Struktur yang membangun novel Mengejar Matahari antara lain tema, penokohan, alur, dan latar. Nilai-nilai edukatif yang menonjol dalam novel Mengejar Matahari karya Titien Wattimena adalah 1. Nilai cinta kasih sayang yang meliputi (a) kasih sayang terhadap sesame, (b) kasih sayang terhadap keluarga, 2. Nlai toleransi, 3. Nilai kesabaran (mampu mengendalikan diri), 4. Nilai tanggung jawab.

Titiek Purwaningsih (2006) dengan judul “Perbandingan Nilai Edukatif dan Karakteristik Tokoh Wanita dalam Novel La Barka karya N.H Dini dengan Larung karya Ayu Utami. Tinjauan intertekstual. Penelitian tersebut berkesimpulan berdasarkan analisis struktur, unsure-unsur kedua novel tersebut menunjukkan paduan dan hubungan yang harmonis dalam mendukung totalitas makna. Struktur yang membangun kedua novel tersebut antara lain, tema, penokohan, alur, dan latar. Adapun berdasarkan perbandingan nilai edukatif dan karakter tokoh wanita melalui tinjauan intertekstualitas dapat dikemukakan kesimpulan bahwa nilai edukatif dalam Novel La Barka dan Larung adalah nilai pendidikan agama, social, moral, dan estetika.

Persamaan nilai edukatif dalam novel La Barka dan Larung adalah nilai pendidikan agama dan sosial. Nilai pendidikan yang disampaikan oleh pengarang kedua novel tersebut adalah kita harus mempercayai adanya Tuhan dan hari akhir

(36)

commit to user

atau kiamat. Nilai social mengajarkan kepada manusia untuk saling tolong-menolong. Perbedaan nilai pendidikan dalam novel La Barka dan Larung adalah pada nilai pendidikan moral dan estetika. Nilai pendidikan moral novel La Barka adalah mengajarkan untuk bijaksana dalam mengajarkan manusia untuk saling menyayangi dan mengupayakan keadilan.

Zhang (2010) dari University of Shanxi Province, China dengan judul “The

Interpretaton of a Novel by Hemingway in Terms of Literary Stylistics” yang

menyimpulkan bahwa masih jauh dari penelitian yang mendalam tentang implikasi sebuah cerita. Karya sastra Hemingway selalu sederhana dan Hemingway dianggap ahli dari pemahaman gaya prosa, yang menjadi ciri khasnya. Keduanya baik novel dan cerita pendeknya menimbulkan/ membangkitkan (pilih sendiri kata yang tepat) kritikan yang sangat banyak, meskipun karya sastranya bernilai sastra yang sangat tinggi daripada lainnya, dia tetap menjadi penulis yang kontroversial. Pembatasan tipis tokohnya, pendek dan tepat, prosa objektif dan tidak peka.

E. Kerangka Berpikir

Sekarang ini banyak orang yang kurang tertarik untuk membaca novel. Karena pandangan mereka membaca novel sangat membosankan. Di sini peneliti ingin memberi sedikit pandangan bahwa membaca novel itu sangat menyenangkan dan menambah pengetahuan, contohnya dalam novel Mimpi-Mimpi Lintang Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Sesuai dengan judulnya, novel ini berkisah tentang kisah pencarian A Ling yaitu cinta sejati Ikal walaupun akhirnya tidak terlalu bahagia. Dalam novel ini menyiratkan sisi inspiratif edukatif. Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini minat membaca menjadi meningkat.

Dalam novel Mimpi-mimpi Lintang Maryamah Karpov karya Andrea Hirata peneliti akan mendiskripsikan tiga hasil penelitian, yaitu: 1) pilihan kata (diksi), 2) gaya bahasa, dan 3) nilai pendidikan yang terdapat di dalamnya. Supaya lebih jelas dapat dilihat pada kerangka berpikir berikut.

(37)
(38)

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Pemenang Lomba Balita Sehat dengan menerapkan metode Weighted Aggregated Sum Product Assessment (WASPAS) diharapkan

Rataan akurasi antara klasifikasi dengan menggunakan seleksi fitur dan tanpa menggunakan seleksi fitur (fullsets) untuk setiap nilai threshold yang berbeda dapat dilihat pada

sehubungan dengan pelaksanaan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim 1992 dan antisipasi Protokol Kyoto 1997) = Implementation of international agreement on climate change (case

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Lembar pengamatan kegiatan guru dan Keterlaksanaan Pembelajaran. Pengamatan kegiatan guru dilakukan oleh

Campur Kode Berupa Kata Campur kode berbentuk kata yang terdapat dalam film My Stupid Boss terjadi atas dua bahasa, yaitu bahasa nusantara (bahasa daerah) dan bahasa asing

Untuk mempelajari BBM ini, terutama agar dapat menerapkan model- model pembelajaran yang terdapat dalam BBM ini Anda diharapkan sudah memiliki pengetahuan tentang

1) Tingkat perkembangan suatu masyarakat tergantung kepada empat faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan tingkat teknologi

Senantiasa menjaga atau mengawasi efisiensi lembaga keuangan (perbankan) agar reaksi optimal atau respons lembaga tersebut terhadap shock rSBI makin memperkuat