• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian dan Pemenuhan Hak-hak Anak di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perceraian dan Pemenuhan Hak-hak Anak di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkawinan

2.1.1 Pengertian Perkawinan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai pasangan suami dan isteri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut hukum islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan pergaulan antara kedua belah pihak dengan tujuan memperoleh keturunan dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Menurut H. Sulaiman Rasyid perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta pertolongan-pertolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim (Sudarsono, 2005: 36) Menurut Su’adah (2005) menyatakan bahwa perkawinan adalah peristiwa masyarakat yang membuat pengantin wanita dan pria menjadi orang dewasa. Setiap orang yang memasuki jenjang perkawinan mempunyai harapan dan berharap ini menjadi permanen, dan akan menjamin bahwa pengaruh kebersamaan akan kekal, serta merupakan pedoman dari harapan untuk keabadian.

(2)

Perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang disatukan melalui ikatan pernikahan yang berdasarkan atas rasa cinta, kasih sayang dan adanya komitmen. Selain itu, perkawinan juga merupakan dasar terbentuknya suatu hubungan kekeluargaan dengan berlandaskan pada peraturan, nilai-nilai dan norma-norma yang harus dijalankan secara bersama-sama baik dalam memilih dan mengambil keputusan.

Perkawinan merupakan pertalian jiwa dan raga yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai seorang suami dan isteri. Dalam tahap awal, ikatan batin sangat dibutuhkan karena di dalamnya mencerminkan kerukunan dan kenyamanan. Terjalinnya ikatan lahir batin inilah yang merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang harmonis dan kekal.

2.1.2 Syarat-syarat Perkawinan

Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi dua, yaitu syarat internal (syarat dalam bentuk materil) dan syarat eksternal (syarat dalam bentuk formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan hal-hal yang

secara umum harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat dalam perkawinan tersebut telah diatur dan dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi:

Pasal 6 ayat:

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(3)

Pasal 7 ayat:

(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila usia pria telah mencapai 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai 16 tahun.

Pasal 8 ayat:

(1) Ketentuan perkawinan yang dilarang adalah sebagai berikut: perkawinan sedarah, perkawinan sesusuan, perkawinan hubungan saudara, dan perkawinan yang bertentangan dengan agama atau kepercayaan masing-masing.

Pasal 9

Seseorang yang terikat dengan tali pernikahan tidak diperbolehkan untuk menikah lagi kecuali telah memperoleh keputusan dari pengadilan dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan.

Pasal 10

Apabila pasangan suami isteri telah becerai kemudian menikah kembali dan bercerai untuk yang kedua kalinya, maka mereka tidak diperbolehkan untuk menikah lagi.

2.1.3 Tujuan Perkawinan

(4)

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami dan isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil. Adapun tujuan dari perkawinan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta mengembangkan keturunan suku-suku bangsa manusia;

2. Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia dalam menyalurkan hasrat dan kasih sayangnya;

3. Untuk memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;

4. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang; dan

5. Menumbuhan kesungguhan untuk bertanggung jawab dalam menerima hak dan kewajiban sebagai keluarga.

(5)

2.1.4 Jenis-jenis Perkawinan

Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspek yaitu sesuatu yang berbeda jenis dan berbeda dalam karakteristiknya. Adapun jenis perkawinan secara universal dapat digolongkan atas beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Isteri atau Suami a. Monogami

Suatu bentuk perkawinan atau pernikahan dimana suami tidak menikah dengan wanita lain dan isteri tidak menikah pria lain. Dengan kata lain, suami hanya memiliki seorang isteri dan suami hanya memiliki seorang isteri.

b. Poligami

Suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu, dan ada banyak alasan yang mendasari terjadinya perkawinan poligami, diantaranya adalah anak, jenis kelamin anak, ekonomi, serta status sosial. Poligami sendiri terbagi atas dua jenis perkawinan, yaitu:

(a) Poligini (banyak isteri) (b) Poliandri (banyak suami)

2. Bentuk Perkawinan Menurut Asal Usul Isteri atau Suami a. Endogami

Suatu perkawinan yang terjadi antara etnis, suku, serta kekerabatan dalam lingkungan yang sama.

b. Eksogami

(6)

3. Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan a. Cross Causin

Yaitu bentuk perkawinan anak-anak yang berasal dari kakak beradik yang berbeda jenis kelamin.

b. Parallel Causin

Bentuk perkawinan anak-anak yang terdiri dari kakak beradik yang sama jenis kelaminnya.

4. Perkawinan Augenis

Yaitu bentuk pernikahan yang bertujuan untuk memperbaki keturunan atau ran. Perkawinan augenis sudah ada sejak dulu. Pada masa Perang Dunia II Hitler memerintah untuk menculik gadi-gadis dan memaksa dengan tindak kekerasan agar mau digauli oleh lelaki jerman dengan tujuan melahirkan keturunan ras Aria yang unggul diakses pada tanggal 26 Maret 2016 pukul 2:32 WIB)

5. Kawin Kontrak

Kawin kontrak atau perkawinan yang terjadi di bawah tangan dilakukan dengan sebuah perjanjian dalam suatu waktu tertentu dan tidak mendapatkan pengakuan yang sah karena tidak terdaftar di instansi yang berwenang. Dalam hukum, kawin kontrak tidak diperbolehkan karena sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membangun keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing

(7)

Pada prinsipnya, perkawinan di Indonesia adalah monogami, yaitu perkawinan yang hanya memperbolehkan suami memiliki satu orang isteri dan isteri hanya memiliki satu orang suami saja karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan wanita menimbulkan akibat secara lahir dan batin baik terhadap keluarga dari pihak pria, keluarga pihak perempuan, masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh dari setelah maupun sesudah menikah.

2.1.5Asas-asas Perkawinan

Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak saling bertentangan. Di Indonesia hukum perkawinan secara garis besar di atur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, maka Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya (Sudarsono, 2015: 6 – 7) Dalam Undang-undang tersebut ditentukan prinsip-prinsip dan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(8)

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu serta mencapai kesejahteraan baik secara spiritual dan materil.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang pria. Apabila terjadi pernikahan poligami dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka hal tersebut hanya bisa diputuskan oleh pengadilan.

d. Calon suami isteri yang usianya belum mencapai 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tuanya serta mereka harus memiliki jiwa dan raga yang matang (benar-benar siap) untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa terjadinya perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, harus ada pencegahan terjadinya perkawinan dibawah umur. Berhubungan dengan ketentuan diatas, maka Undang-undang menetapkan batas umur kawin 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e. Undang-undang ini juga melarang perkawinan sejenis, sedarah, sesusuan, dan setali persaudaraan.

(9)

2.1.6 Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Perkawinan menciptakan hubungan antara seorang pria dan wanita menjadi suatu kesatuan yang utuh, sehingga terciptalah hak dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 31 UUP bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam bermasyarakat dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan status suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan isteri adalah sebagai ibu rumah tangga (Usman, 2006: 337). Adapun hak dan kewajiban dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:

1. Hak dan Kewajiban Suami

a. Memberikan nafkah pada keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara layak;

b. Membantu peran isteri dalam mengurus anak;

c. Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga;

d. Memberikan kebebasan dalam berfikir dan menyampaikan pendapat serta bertindak sesuai dengan aturan dan norma yang sewajarnya;

e. Mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang-wenang; dan

f. Berhak mendapatkan pelayanan terbaik secara lahir batin dari isteri.

2. Hak dan Kewajiban Isteri

(10)

b. Mentaati dan mematuhi perintah suami dalam batas sewajarnya; c. Menjaga kehormatan keluarga;

d. Mengatur dan menguruh rumah tangga dengan baik dan penuh dengan tanggung jawab;

e. Mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suami; dan

f. Berhak mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan perhatian dari suami.

2.2 Anak

2.2.1 Pengertian Anak

Secara umum dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga merupakan cikal-bakalnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang tentang Perkawinan menetapkan batas usia menikah adalah 16 tahun.

Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah semua orang yang berusia di bawh 18 tahun.

(11)

Menurut Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah individu yang belum mencapai usia 18 tahun.

Menurut Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan.

Maka, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan bedasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang melewati usia 21 ta WIB)

Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimana yang dimaksud sebagai anak, tetapi ada perbedaan dalam setiap pemahaman, semua tergantung pada situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dijadikan persoalan.

(12)

Sedangkan dalam Undang-undangNomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan.

2.2.2 Kebutuhan Anak

Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Katz (2003) bahwa kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian, kasih sayang, perlindungan, dukungan, dan pemeliharaan dapat terpenuhi. Bown dan Swanson (2003) mengatakan bahwa kebutuhan utama anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang, pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat. Sedangkan menurut Huttman (2003) ada beberapa kebutuhan anak yang harus terpenuhi, antara lain:

a. Kasih sayang orang tua; b. Stabilitas emosional; c. Pengertian dan perhatian; d. Pertumbuhan kepribadian; e. Dorongan kreatif;

f. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar; g. Pemeliharaan kesehatan;

(13)

i. Perolehan pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan (Huraerah, 2007: 38 – 39)

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga akan mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku menyimpang dan mendorong mereka untuk melakukan indakan kriminal.

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika:

a. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak; b. Tanpa bimbingan dan asuhan;

c. Mengalami sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat; d. Diperlakukan salah secara fisik;

e. Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual;

f. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat;

g. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan jiwa; dan

(14)

2.2.3 Hak-Hak Anak

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan Hak Azasi Manusia. Yang dimaksud sebagai anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang utuh. Secara hukum, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang.

Setiap anak akan mampu memikul tanggung jawab yang telah di cita-citakan tersebut, untuk itu maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental, maupun sosial serta harus memiliki akhlah yang mulia. Dibutuhkan suatu perlindungan dalam mewujudkan kesejahteraan anak yaitu dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa deskriminasi.

Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak, maka dibutuhkan suatu dukungan dari kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin terlaksananya hal-hal di atas.

Dalam Undang-undang Nomor 23 Pasal 2 tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, yang meliputi:

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

(15)

d. Menghargai setiap pendapat anak (Joni dan Tanamas 1999: 105)

Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan Deklarasi Hak-hak Anak.Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak baik individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah, dan masyarakat mengakui hak-hak tersebut dan mendorong upaya untuk memenuhinya. Ada hak-hak anak yang dimaksud dalam deklarasi ini adalah sebagai berikut:

a. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum, sehingga mereka mampu untuk berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial;

b. Setiap anak sejak lahir harus memiliki nama atau identitas kebangsaan; c. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial;

d. Bagi anak cacat berkah untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan khusus untuk perkembangan dan kemampuannya dalam masyarakat;

e. Setiap anak berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh; f. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan sampai kejenjang yang

lebih tinggi;

g. Dalam situasi apapun, anak harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama; dan

h. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi baik berupa keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi (Huraerah, 2007: 32)

(16)

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak menjelaskan tentang hak dan kewajiban anak, yang menyebutkan bahwa:

1. Hak Atas Kelangsungan Hidup

Yaitu termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat hidup yang layak, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan mendapatkan perawatan kesehatan yang baik apabila anak mengalami sakit.

2. Hak untuk Berkembang

Yaitu yang temasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi dan berekspresi. Sama halnya dengan anak penyandang cacat berhak untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan khusus dalam perkembangannya.

3. Hak Memperoleh Kasih Sayang

Yaitu termasuk dai dalam cinta kasih dari kedua orang tua baik berupa perhatian dan rasa kepedulian terhadap anak.

4. Hak Memperoleh Nafkah

Yaitu termasuk di dalamnya pemenuhan anak untuk mendapatkan uang jajan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan sekunder dan primernya.

5. Hak Mendapatkan Identitas

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

6. Hak dalam Beragama

(17)

kecerdasan dan usianya, dan harus mendapat pengawasan serta bimbingan orang tuanya.

7. Hak Mendapat Pengasuhan

Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, serta berkah untuk mendapatkan pengasuhan dari orang tuanya.

8. Hak Mendapat Perlindungan

Yaitu termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan tindak kekerasan (Joni danTanamas, 1999: 30)

Hak-hak anak sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak bukan hanya sekedar hak-hak anak dalam keadaan sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga termasuk dalam kesejahteraan anak yang lebih luas, baik secara sosial, ekonomi sosial, budaya dan bahkan politik. Hak anak untuk menjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud dari perluasan hak-hak anak yang lebih maju (Joni danTanamas, 1999: 109)

2.3 Perceraian

2.3.1 Pengertian Perceraian

(18)

dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku pukul 12:53 WIB)

Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi setiap pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi menimbulkan banyak hal yang tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan semua pihak, termasuk kedua pasangan, anak-anak, dan kedua keluarga besar dari kedua belah pihak.

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tidak lagi ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan melalui putusan pengadilan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti mobil, rumah, perabotan atau harta benda lainnya, dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat menyelesaikannya di pengadilan.

(19)

serta latar belakang dan nilai sosial yangg bisa saja berbeda satu sama lainnya. Akibatnya sistem ini bisa memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan (misalnya perceraian) maka akan timbul masalah-masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian (Su’adah, 2005: 214 – 215)

Dari pengertian diatas, dapat disimpulakan bahwa perceraian adalah putusnya sebuah hubungan perkawinan atau perceraian yang dilakukan baik secara hukum dan perceraian yang dilakukan dengan diam-diam atau hanya dilakukan diatas hitam dan putih. Sehingga mengakibatkan status suami atau isteri telah berakhir.

Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang didalamnya menyangkut banyak aspek seperti emosi, ekonomi, sosial, dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku (Su’adah, 2005: 214)

2.3.2 Faktor Penyebab Perceraian

(20)

terhadap pasangan, ketidaksetiaan, pernikahan tanpa adanya rasa cinta, dan terjadinya pernikahan di usia muda.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian antar suami dan isteri, yaitu sebagai berikut:

1. Kurangnya Komunikasi

Pasangan yang dapat terus membina bahtera rumah tangga perlu mendengarkan dan menghargai satu sama lain sekalipun mereka tidak sependapat dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Selain itu, pada saat berkomunikasi pasangan suami-isteri sebaiknya tidak saling menuduh ataupun menyalahkan satu dengan yang lainnya. Pentingnya interaksi yang positif dalam berkomunikasi dengan pasangan menjadi penentu kelanjutan dari hubungan tersebut.

2. Adanya Perbedaan Pendapat

Selain hubungan komunikasi yang kurang baik, perbedaan pendapat juga mempengaruhi sebuah keharmonisan dalam rumah tangga. Yaitu adanya ketidaksepakatan dalam berpendapat. Misalnya terjadi ketidaksepakatan dalam cara membesarkan anak dan mengatur disiplin anak.

3. Ketidaksetiaan

(21)

4. Pernikahan Tanpa Cinta

Biasanya kasus seperti ini terjadi ketika pernikahan dilakukan atas dasar menutupi kesalahan-kesalahan yang dilakukan bersama. Sehingga pernikahan pun dilakukan karena terpaksa. Dalam sebuah hubungan pernikahan, apabila dilakukan terpaksa dan dijalankan tanpa adanya ikatan cinta, maka pernikahan tersebut tidak akan bertahan lama karena masing-masing diantara mereka tidak ada rasa perduli satu sama lain.

5. Pernikahan Usia Muda

Pernikahan di usia muda memiliki resiko yang paling tinggi untuk bercerai karena pasangan yang menikah di usia muda dianggap belum memiliki kematangan secara emosional (Kertamuda, 2009: 92 – 93)

6. Ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan

Ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang melakukan perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun dapat termasuk dalam ketidaksetaraan.

7. Adanya kekerasan dalam rumah tangga

Faktor perceraian yang dialami oleh pasangan suami dan isteri mempunyai banyak alasan, salah satunya adalah adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga

(22)

bagian dari hidup, teman-teman, hak milik, pendapatan, sikap-sikap, tujuan-tujuan, gagasan-gagasan dan ambisi-ambisi. Oleh sebab itu, ketegangan-ketegangan yang mneghancurkan kelompok keluarga tersebut menggambarkan baik buruknya keperibadian maupun interaksi yang dimiliki masing-masing pasangan (Su’adah, 2005: 233)

2.3.3 Dampak Perceraian

2.3.3.1 Dampak Perceraian Terhadap Mantan Pasangan

a. Sulit melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.

Masalah utama yang dihadapi oleh mantan pasangan suami dan isteri setelah perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosialnya.

Sulitnya dalam melakukan penyesuaian diri ini digambarkan oleh Waller (1930) sebagai masa dimana mantan suami dan mantan isteri merasakan ada sesuatu yang kurang dan hilang dalam kehidupan pribadi mereka. Tanpa disadari, mereka mulai merasakan adanya kerinduan terhadap mantan pasangannya serta kebersamaan yang pernah mereka rasakan. Beberapa orang menganggap bahwa perceraian dapat memberikan perasaan bahagia dan memberikan kebebasan baginya, tapi tanpa disadari muncul perasaan sedih apabila teringat akan masalah dalam rumahtangga di masa yang lalu (Su’adah, 2005: 236)

b. Status hubungan berubah menjadi pertemanan.

(23)

Biasanya mereka memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan maksud agar anak mereka masih tetap dapat berhubungan dan saling membagi pengalaman mereka secara bersama.

c. Status hubungan berubah menjadi permusuhan.

Selain adanya hubungan sebagai teman, adapula hubungan mantan suami dan isteri yang menganggap sebagai musuh yang paling dibenci. Mereka berusahab untuk tidak saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Pada satu kesempatan, apabila mereka dipertemukan dalam situasi atau kegiatan yang berhubungan dengan anak (pesta ulang tahun, pertunangan ataupun pernikahan) maka mereka tidak saling menegur dan tidak berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam pengasuhan anak, mantan pasangan suami dan isteri ini lebih cenderung sepakat untuk tidak mencampuri urusan dan caranya masing-masing (Su’adah, 2005: 235 – 238)

2.3.3.2 Dampak Perceraian Terhadap Anak

1. Adanya perasaan trauma.

(24)

2. Hilangnya rasa aman dalam diri.

Selain adanya perasaan ditinggalkan, anak juga akan kehilangan rasa aman karena kedua orang tuanya tidak lagi bersama dalam mengasuh dan menjaganya dalam satu rumah. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak lebih sering menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temannya daripada memilih untuk tinggal lama dirumah.

3. Merasa dimanfaatkan.

Selain trauma, anak yang berasal dari keluarga yang bercerai biasanya merasa dimanfaatkan oleh satu bahkan kedua orang tua mereka. Beberapa perlakuan orang tua setelah bercerai adalah berusaha menarik perhatian anak untuk menceritakan hal-hal buruk tentang mantan pasangan mereka serta melibatkan anak dalam kondisi permusuhan (Su’adah, 2005: 239) 4. Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan oleh orang tua.

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang sangat sulit bagi anak, terutama menyangkut tentang hubungan dengan orang tuanya yang tidak lagi tinggal bersama. Anak biasanya akan merasa kehilangan dan kesepian serta cenderung menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi dalam keluarganya. Selain itu, tuntutan ekonomi keluarga juga menjadi pemicu timbulnya perasaan ini. Keluarga yang bercerai biasanya ibu atau ayah yang tinggal bersama anak lebih memilih bekerja dari pada menghabiskan waktu dirumah bersama anak demi memenuhi kebutuhan hidup anak dan dirinya. 5. Hilangnya hak dan kewajiban anak.

(25)

yang paling penting adalah ikatan sebagai orang tua dari anak yang dilahirkan selama perkawinan. Setelah bercerai,mantan pasangan suami dan isteri harus mendefinisikan kembali hubungan dan peran mereka sebagai ayah dan ibu yang sudah tidak lagi tinggal bersama dalam satu rumah. Contance Ahrons (1979) mengemukakan bahwa ikatan yang terjadi antara anak dengan orang tua yang tidak serumah lagi membentuk sebuah sistem keluarga yang saling berhubungan satu sama lain. masing-masing keluarga ini mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara, merawat dan mendidik anak mereka.

Menurut Leslie (1967), reaksi anak terhadap perceraian sangat tergantung pada penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman di dalam keluarga. Lebih dari separuh anak dari keluarga tidak bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah yang terbaik untuk keluarganya. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga bahagia lebih dari separuhnya menyatakan kesedihan dan bingung menghadapi perceraian orang tua mereka.

Mereka cenderung menjadi pribadi yang menyendiri akibat hilangnya rasa percaya terhadap kedua orang tuanya. Rasa percaya yang dulu ada kini berubah menjadi perasaan takut dan bingung jika dihadapi situasi antara memilih ibu atau ayah yang akan tinggal bersama dirinya.

2.4 Kerangka Pemikiran

(26)

cinta dan persamaan dalam pendapat, perasaan, dan adanya komitmen serta dibentuk dengan ikatan perkawinan. Dalam ikatan perkawinan terdapat hak dan kewajiaban pasangan suami isteri terhadap anak, yaitu memberikan kebutuhan baik secara pangan, papan, maupun sandang, pemenuhan akan kasih sayang, memberikan pengasuhan yang baik, memberikan kebebasan dalam berpendapat, serta memberikan perlindungan kepada anak.

(27)

PERKAWINAN

PERCERAIAN

FAKTOR MENYEBABKAN PERCERAIAN: 1. Kurang komunikasi

2. Adanya perbedaan pendapat 3. Ketidaksetiaan

4. Pernikahan tanpa cinta 5. Pernikahan usia muda 6. Ketidakseimbangan ekonomi 7. Kekerasan dalam rumah tangga HAK-HAK ANAK:

1. Hak atas kelangsungan hidup 2. Hak untuk berkembang

3. Hak memperoleh kasih sayang 4. Hak memperoleh nafkah 5. Hak mendapatkan identitas 6. Hak dalam beragama 7. Hak mendapat pengasuhan 8. Hak mendapat perlindungan

DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP ANAK: 1. Adanya perasaan trauma 2. Hilangnya rasa aman dalam

diri

3. Merasa dimanfaatkan 4. Merasa ditinggalkan dan

tidak diinginkan orang tua 5. Hilangnya hak dan

kewajiban anak

Gambar 2.1

Gambar

Gambar 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala tuntutan dan penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

Arminareka Perdana disarankan untuk melakukan pengawasan kepada setiap mitra yang berada di berbagai daerah, karena meskipun praktik yang dilakukan pada perusahaan ini telah

Momen kapasitas balok dapat diperhitungkan sebagai momen rencana yang bekerja pada kolom jika daerah sendi plastis sudah direncanakan penulangannya. Ukuran kolom

Susu segar yang baik adalah yang memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), yaitu: 1) tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan,

Bab keempat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan, dengan melihat hasil belajar MIS YPIQ Al-Muzahwirah Kota Makassar sebelum dilakukannya pembelajaran dengan

Seluruh dosen pendidikan matematika Universitas Muhammadiyah purwokerto yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada peneliti... Naser Rulloh, S.Pd Kepala MTs

Dengan mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan segala nikmat kemudahan serta petunjukNya yang telah diberikan sehingga dapat

Hasil dari studi menunjukkan bahwa kolaborasi perancangan interior dan visual grafis pada Museum “Rumah Air” PDAM Surya Sembada Surabaya dapat menghadirkan “cerita” dalam 4 bagian,