BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Belanja Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, belanja daerah merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Mardiasmo (2002) mendefinisikan belanja daerah sebagai semua
pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban
daerah. Sebagai sebuah organisasi atau rumah tangga, pemerintah melakukan
banyak sekali pengeluaran (belanja) untuk membiayai kegiatannya. Pengeluaran-
pengeluaran itu bukan saja untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari akan
tetapi juga untuk membiayai kegiatan perekonomian. Dan selanjutnya dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 20 ayat (3) menyebutkan
bahwa Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) meliputi
semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana
lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak
akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
Belanja Daerah merupakan pembiayaan yang digunakan oleh pemerintah
daerah yang diperoleh baik dari pendapatan asli daerah maupun dari dana
perimbangan. Sehingga diperlukan perencanaan dan pengendalian terhadap
belanja daerah merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan oleh pemerintah
daerah. Belanja daerah yang tidak terencana dan terkendali dengan baik akan
merugikan masyarakat. Sebaliknya, pengelolaan belanja daerah yang dilakukan
secara ekonomis, efisien, dan efektif akan memberikan dampak bagi
kesejahteraan masyarakat. Agar pemerintah daerah dapat mengelola belanja
daerah secara baik yaitu memenuhi prinsip value for money (penghargaan atas
setiap rupiah uang Negara). Dan Belanja daerah diarahkan pada peningkatan
proporsi belanja untuk memihak kepentingan publik dengan berfokus kepada
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat khususnya dibidang kesehatan,
pendidikan dan belanja bagi peningkatan kesejahteraan sosial lainnya. Dalam
penggunaannya, belanja daerah tetap mengedepankan efisiensi, efektivitas dan
penghematan sesuai dengan prioritas sehingga diharapkan dapat memberikan
dukungan bagi program-program strategis daerah.
Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Belanja Daerah
dikelompokkan kedalam belanja langsung dan belanja tidak langsung (M.Ali
Akbar, 2011). Hal tersebut berdasarkan pada peraturan Permendagri yang baru
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah). Belanja Daerah dikelompokkan
menjadi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung.
1. Belanja Tidak Langsung.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang penganggarannya tidak
dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan
(Darise,2008). Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap
bulan dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi dari kewajiban pemerintah
daerah secara periodik kepada pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan
tunjangan) dan kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang umumnya
diperlukan secara periodik. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari :
a. Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan
tunjangan serta pengahasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai
negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
b. Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayarann bunga
utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (Principal Outstanding)
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang.
c. Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi
kepada perusahaan/lembaga tertentu yang menghasilakan produk atau jasa
pelayanan umum masyarakat agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan
d. Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam
bentuk uang atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak
secara terus menerus setiap tahun anggaran, selektif , dan memiliki
kejelasan peruntukan penggunaannya.
e. Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang
bersumber dari pendapatan teknis kepada Kabupaten/Kota atau
pendapatan Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa atau pendapatan
pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
f. Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan
yang bersifat umum atau khusus dari pemerintah kota kepada pemerintah
desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan
peningkatan kemampuan keuangan.
g. Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya
tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan
bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya,
termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang telah ditutup.
2. Belanja Langsung.
Belanja langsung merupakan belanja yang penganggarannya dipengaruhi
secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Sehingga kelompok belanja
Atau dengan kata lain, belanja langsung merupakan belanja-belanja yang
terkait langsung dengan program dan kegiatan. Jenis belanja langsung meliputi:
a. Belanja Pegawai, merupakan belanja yang digunakan untuk pengeluaran
honorium atau upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintah daerah.
b. Belanja Barang dan Jasa, merupakan belanja yang digunakan untuk
pengeluaran pembelian atau pengadaan barang yang nilai manfaatnya
kurang dari 12 (dua belas) bulan dan pemakaian jasa dalam melaksanakan
program dan kegiatan pemerintah daerah.
c. Belanja Modal, merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya
melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan
daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin. Seperti
dalam bentuk tanah, peralayan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Dalam pasal Permendagri No. 13 tahun 2006 pasal 25 disebutkan, sumber
pendapatan daerah yang digunakan untuk membiayai belanja daerah berasal dari:
1. Pendapatan asli daerah (PAD);
2. Dana perimbangan;
3. Lain-lain penerimaan yang sah.
2.2. Daya Serap Belanja Daerah
Dalam Deskripsi dan Analisis APBD (2012) salah satu tolok ukur yang
dapat digunakan untuk melihat kinerja Belanja Daerah yaitu didasarkan pada
dianggap semakin optimal kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah
tingkat penyerapan semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah.
Penyerapan belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam
menggunakan dananya untuk pelayanan ke masyarakat.
Penyerapan Belanja Daerah yang lambat dan juga tidak tuntas dalam arti
kurang jauh dari anggaran yang telah direncanakan, menunjukkan proses
perencanaan yang kurang baik dan sekaligus mengakibatkan menumpuknya dana
sebagai dana idle. Dana idle yang besar secara ekonomi kurang baik karena akan
melewatkan kesempatan Belanja Daerah untuk menstimulasi perekonomian
daerah.
2.2.1. Dana Alokasi Umum
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Perimbangan adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Yang
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah pada hakekatnya mencakup pembagian keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah,
sebagai konsekuensi dari adanya pembagian tugas antara Pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah merupakan
dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan. Jumlah dana perimbangan ditetapkan
setiap tahun anggaran dalam APBN, sebagai komponen terbesar dalam belanja
daerah. Dana perimbangan mempunyai peranan penting dalam mendukung
pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan dari dana perimbangan yaitu diarahkan
untuk memperkuat koreksi ketimpangan horizontal, meningkatkan pelayanan
publik, dan meningkatkan efisiensi melalui anggaran kinerja berdasarkan undang-
undang keuangan Negara. Dana Perimbangan ini diklasifikasikan menjadi tiga
bagian utama, sesuai dengan (pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004) yaitu:
1. Dana Bagi Hasil;
2. Dana Alokasi Umum;
3. Dana Alokasi Khusus.
Dan salah satu jenis dana perimbangan yang paling penting bagi daerah
yang ada di Indonesia yaitu Dana Alokasi Umum atau yang disebut dengan DAU.
Hal tersebut dikarenakan salah satu fungsi dari Dana Alokasi Umum yaitu sebagai
faktor pemerataan kapasitas fiskal. Dana Alokasi Umum merupakan instrument
transfer daerah yang berperan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar
daerah, sekaligus memeratakan kemampuan keuangan antar daerah.
Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tantang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU)
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dipergunakan untuk
Dalam menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah daerah
sangat bergantung pada dana perimbangan dari pemerinntah pusat. Dana Alokasi
Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar
digunakan untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek
pembangunan menjadi sangat berkurang. Salah satu kendala utama yang dihadapi
oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan otonomi daerah yaitu minimnya
pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga
dengan jumlah PAD yang rendah disisi lain telah menyebabkan Pemerintah
Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya
celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah , yang merupakan selisih antara kebutuhan
daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity) (Darise, 2008). Sehingga
dalam perhitungan DAU digunakan konsep kesenjangan fiskal, yaitu selisih antara
kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil maka akan memperoleh DAU yang
relatif kecil. Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan
fiskal besar maka akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Sebagian besar
pengeluaran pemerintah dibiayai dari dana perimbangan, terutama dari dana
alokasi umum. Dalam Prakosa (2004) adapun cara menghitung Dana Alokasi
Umum menurut ketentuan adalah sebagai berikut :
a. Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari
b. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah provinsi dan untuk daerah
kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi
umum sebagaimana ditetapkan di atas.
c. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu
ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk daerah
kabupaten/kota yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan.
d. Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan
proporsi bobot daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Dalam perkembangannya, realisasi DAU senantiasa menunjukkan
kecenderungan peningkatan dari tahun ketahun. Hal tersebut tercermin dari daya
serapnya yang semakin meningkat.
2.2.2. Pendapatan Asli Daerah
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan
fiskal terhadap pemerintah pusat. Peningkatan kemandirian daerah sangat erat
kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah di era otonomi
daerah, maka daerah juga berwenang untuk membuat kebijakan daerah guna
menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk dapat mencapai hal
tersebut maka pendapatan asli daerah juga harus mampu menopang kebutuhan-
kebutuhan daerah (belanja daerah) bahkan diharapkan tiap tahunnya akan selalu
pendapatan asli daerahnya sebagai wujud asas desentralisasi. Semakin tinggi
kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah maka akan
semakin besar pula kemampuan daerah untuk menggunakan Pendapatan Asli
Daerah tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan
daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli
daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri atau penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan
dapat disimpulkan pendapatan asli daerah merupakan penghasilan yang diperoleh
melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan
kas daerah yang berasal dari daerah itu sendiri.
Pendapatan asli daerah juga merupakan usaha daerah untuk meminimalkan
ketergantungan terhadap dana dari pemerintah berupa dana perimbangan.
Pendapatan asli daerah yaitu sumber keuangan daerah yang harus selalu dan terus
menerus ditingkatkan pertumbuhannya. Kenaikan dari jumlah kontribusi
pendapatan asli daerah akan sangat berperan untuk mendukung rencana
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 26 ayat (1) disebutkan
bahwa pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah.
1. Pajak Daerah
Secara umum, pajak daerah memberikan kontribusi terbesar terhadap
penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 menyebutkan bahwa Pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang
yang dapat dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah. Dan Ciri-ciri pajak daerah menurut Josef (2005) dalam
Ferdian (2013) adalah :
a. Pajak daerah yang berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada
daerah sebagai pajak daerah.
b. Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.
c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan ketentuan undang-undang
dan peraturan hukum lainnya.
d. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk
2. Retribusi Daerah
Menurut UU No. 28 Tahun 2009 Retribusi Daerah yang selanjutnya
disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagian pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Retribusi daerah pada umumnya merupakan sumber pendapatan
penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) kedua setelah pajak daerah.
Retribusi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dengan pajak daerah. Pajak
daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib
pajak daerah tanpa ada kontraprestasi langsung yang bisa diterima wajib pajak
atas pembayaran pajak tersebut. Sementara itu, retribusi daerah merupakan
pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib retribusi atas
pemanfaatan suatu jasa tertentu yang disediakan pemerintah. Jadi dalam hal ini
terdapat kontraprestasi langsung yang dapat dinikmati pembayar retribusi. Jenis
retribusi dikelompokan dalam tiga bagian (Darise, 2008) yaitu :
a. Retribusi Jasa Umum
Retribusi jasa umum merupakan retribusi atas jasa yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang atau badan.
b. Retribusi Jasa Usaha
Retribusi Jasa Usaha merupakan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah
dapat disediakan oleh swasta, meliputi pelayanan dengan menggunakan dan
memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal.
c. Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan tertentu merupakan retribusi atas kegiatan tertentu
pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya
alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang diberikan
pemerintah kepada yang membutuhkan. Hal tersebut dikarenakan retribusi
merupakan pembayaran yang terkait dengan pelayanan tertentu. Oleh karena itu
setiap pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan
prestasi dan jasa yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi
daerah terletak pada yang dinikmati oleh masyarakat.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan merupakan
penerimaan Daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan (Halim, 2008). Dengan adanya otonomi daerah, salah satu
kewenangan yang dimiliki oleh daerah yaitu mengelola kekayaan daerahnya
seoptimal mungkin yang tujuannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Dan dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu sumber pendapatan asli daerah
yang sangat penting dan mendapat perhatian khusus yaitu perusahaan daerah.
Pemerintah daerah diberikan izin untuk mendirikan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bersama dengan sektor swasta dan Asosiasi
Pengusaha Daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi daerah sehingga
dapat menunjang pembangunan perekonomian daerah. Dan Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan terdiri dari (Halim, 2008) :
a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah
(BUMD).
b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah atau
BUMN
c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk
menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah,
retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan mencakup
(Darise, 2008;136) :
a. Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan;
b. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan;
d. Bunga deposito;
e. Penerimaan atas tuntutan ganti rugi;
f. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan,pengadaan barang dan jasa oleh daerah serta keuntungan dari
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h. Pendapatan denda pajak dan denda retribusi;
i. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
j. Pendapatan dari pengembalian;
k. Fasilitas sosial dan umum;
l. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
m. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
2.2.3. Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu tujuan dari suatu
proses pembangunan yang berjalan. Proses pembangunan ekonomi pada
hakekatnya adalah upaya meningkatkan kapasitas perekonomian agar mampu
menciptakan lapangan kerja yang pada akhirnya akan mendorong terwujudnya
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang
diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga
merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi
mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke
Pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya,
pertumbuhan ekonomi dapat memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang
dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kuznets dalam Jhingan (2000), pertumbuhan ekonomi
didefinisikan sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara
untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada
penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan
penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Menurut
Sirojuzilam dan Mahalli (2010) pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan
khususnya dalam bidang-bidang ekonomi. Suatu perekonomian dikatakan
mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai saat ini
lebih tinggi dari pada yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan tercapai
apabila jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam
perekonomian tersebut bertambah besar dari tahun-tahun sebelumnya.
Dan dalam konsep regional, pertumbuhan ekonomi daerah dapat
dicerminkan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayahnya
(Sirozujilam dan Syaiful Bahri, 2014). Dan dalam konsep regional, Produk
Domestik Bruto dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
PDRB merupakan indikator ekonomi makro suatu daerah, yang menggambarkan
regional pertumbuhan ekonomi daerah merupakan angka yang menunjukkan
besarnya tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto suatu daerah yang
diukur atas dasar harga konstan. Bagi suatu daerah provinsi, kabupaten/kota
gambaran PDRB yang mencerminkan adanya laju pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat pada data sektor-sektor ekonomi yang meliputi pertanian, pertambangan
dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, bangunan,
perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan
persewaan dan jasa perusahaan dan jasa-jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat dari data konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan
modal bruto, perubahan persediaan, ekspor dan impor.
Kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah
menjadi perhatian pemerintah karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi
nasional merupakan agregat dari pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan
ekonomi antar daerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi
salah satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju dan tertinggal. Dan
pertumbuhan ekonomi daerah dirumuskan sebagai berikut:
��� =����� −�����−� �����−�
× ��� %
Dimana :
PED : Pertumbuhan Ekonomi Daerah
PDRBt : Produk Domestik Regional Bruto Periode Tertentu PDRBt-1 : Produk Domestik Regional Bruto Periode Sebelumnya
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah yaitu dengan cara meningkatkan belanja pemerintah daerah.
dapat dilakukan untuk memacu perkembangan perekonomian daerah. Dan hasil
dari pertumbuhan ekonomi tersebut nantinya diharapkan dapat diarahkan agar
bisa dinikmati masyarakat sampai dilapisan paling bawah, baik dengan sendirinya
maupun dengan campur tangan pemerintah.
2.2.4. Jumlah Penduduk
Penduduk merupakan unsur penting dalam usaha untuk meningkatkan
produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Penduduk memegang peranan
penting karena menyediakan tenaga kerja, tenaga ahli, pimpinan perusahaan dan
tenaga usahawan yang diperlukan untuk menciptakan kegiatan ekonomi.
Disamping itu, pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan bertambah dan
makin kompleksnya kebutuhan (Sadono Sukirno, 1985 dalam Muh. Maidi, 2011).
Menurut Tjiptoherijanto (2002) dalam M. Ali Akbar (2011) kependudukan
memiliki kaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi. Beberapa alasan yang
melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat
strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah ;
Pertama, kependudukan atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan
pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan.
Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan
obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina
dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan.
Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang
bersangkutan. Dan pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan
dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru
dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti
yang luas.
Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat
mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah
penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan
merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk
yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk
tersebut sebagai beban bagi pembangunan.
Dan ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa
dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu
yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan
terabaikan.
Perhatian pemerintah terhadap kependudukan sudah dimulai sejak
pemerintah Orde Baru. Dengan konsep “pembangunan manusia seutuhnya” yang
tidak lain adalah konsep pembangunan kependudukan (M.ali Akbar 2011). Yang
mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan
terarah sejak Repelita 1 pada tahun 1986. Namun sedemikian jauh, walaupun
dalam tatanan kebijaksanaan telah secara serius mengembangkan konsep
pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nampaknya belum
dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan
2.2.5. Hubungan DAU Terhadap Belanja Daerah.
Dana perimbangan merupakan transfer dana dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal
gap) dan pemerataan kemampuan fiskal dalam rangka membantu kemandirian
pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat
(Hadi, 2011) . Dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat menjadi
insentif bagi pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah.
Dan salah satu jenis dana perimbangan yang ditransfer kepada pemerintah
daerah yaitu Dana Alokasi Umum. Dana Alokasi Umum yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga ditujukan untuk mengatasi
ketidak seimbangan vertikal antar tingkat pemerintah dan menyamakan
kemampuan fiskal pemerintah daerah dalam mendorong belanja daerah untuk
kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan nasional. Hubungan dana transfer
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap belanja daerah telah
dijelaskan dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah . Holtz-Eakin, et al
(1985) dalam Bambang Prakosa (2004) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan
sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan Belanja Pemerintah
Daerah.
2.2.6. Hubungan PAD Terhadap Belanja Daerah.
Menurut Mardiasmo (2004), dengan PAD yang tinggi maka belanja daerah
akan semakin besar salah satunya dengan meningkatnya subsidi pemerintah
daerah kepada masyarakat lapaisan bawah. Pendapatan asli daerah adalah
dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya. Semakin besar
kemampuan daerah dalam mengumpulkan PAD maka akan semakin longgar
alokasi belanja daerah.
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah akan
mempengaruhi belanja pemerintah daerah yang dikenal dengan nama tax spend
hipotesis ( Aziz et al, 2000; Doi, 1998; Von Furnsternberg et al, 1986 dalam
Syukriy Abdullah dan Abdul Halim, 2003 ). Dalam hal ini pengeluaran
pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan
pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan
pengeluaran ( Bambang Prakoso, 2004 ). Melihat beberapa hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber
pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. Dan
Pendapatan Asli Daerah ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian suatu
daerah. Semakin banyak Pendapatan Asli Daerah yang didapat semakin
memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri
tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat, yang berarti ini menunjukan bahwa
Pemerintah Daerah tersebut telah mampu untuk mandiri, dan begitu juga
sebaliknya ( Rahmawati, 2010 dalam Ridho, 2011).
Menurut (Tambunan, 2009 dalam Andri dkk, 2014) PAD merupakan salah
satu sumber pembelanjaan daerah. Jika PAD meningkat, maka dana yang dimiliki
oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan
meningkat pula, sehingga Pemerintah Daerah akan berinisiatif untuk lebih
2.2.7. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Daerah
Indikator yang digunakan untuk mengukur Pertumbuhan Ekonomi Daerah
yaitu PDRB. PDRB merupakan nilai bersih barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh berbagai kegiatan ekonomi disuatu daerah dalam periode (Sukirno,2009
dalam Hadi, 2010). Semakin tinggi PDRB perkapita suatu daerah, maka semakin
besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut. Selanjutnya, dengan
peningkatan penerimaan daerah, akan digunakan untuk membiayai program-
program pembangunan daerah. Sehingga Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja
Daerah memiliki hubungan yang positif. Bila PDRB mengalami peningkatan
maka belanja daerah juga akan mengalami peningkatan.
2.2.8. Hubungan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Daerah.
Jumlah penduduk juga mempengaruhi belanja daerah. Jumlah penduduk
yang besar bagi pemerintah daerah oleh para perencana pembangunan dipandang
sebagai asset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban
pembangunan (Devita dkk, 2014) . Sebagai asset apabila dapat meningkatkan
kualitas maupun keahlian atau ketrampilannya sehingga akan meningkatkan
produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur
belanja daerah rendah. Serta persebaran dan mutunya sedemikian rupa hanya
menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah, sehingga menjadi
tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif. .
Perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar akan memerlukan
anggaran yang semakin besar, agar kualitas pertumbuhan ekonomi lebih baik. Dan
penduduk harus selalu dikendalikan. Sehingga, Pertumbuhan jumlah penduduk
yang semakin meningkat akan menyebabkan belanja daerah akan semakin
meningkat. Dimana salah satu tujuan dari penganggaran belanja daerah tersebut
yaitu tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Peneliti Judul Variabel
Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan uraian penjelasan
diatas, maka kerangka konseptual yang menggambarkan pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen yaitu mengenai pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pertumbuhan Ekonomi (PE) dan
Jumlah Penduduk (JP) terhadap Belanja Daerah. Dimana variabel analisisnya
yaitu variabel independen terdiri dari PAD (X1), DAU (X2), Pertumbuhan
(BD) (Y1) dan Daya Serap Belanja Daerah (DSBD) (Y2) sebagai variabel
dependen.
Untuk lebih jelasnya, kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai
berikut:
DAU (X1)
PAD (X2)
PE (X3)
Anggaran Belanja Daerah
Belanja Daerah (BD) (Y1)
Daya Serap Belanja Daerah (DSBD) (Y2)
JP (X4)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dikemukakan sebelumnya ,
maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
H1 : DAU, PAD, Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Penduduk memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Daerah pada
Kabupaten/Kota Sumatera Utara.
H2 : DAU, PAD, Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Penduduk memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap Daya Serap Belanja Daerah pada