• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Keharmonisan Pernikahan dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun pada Karyawan BUMN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Keharmonisan Pernikahan dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun pada Karyawan BUMN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun A. 1. Definisi kecemasan

Kecemasan adalah hal yang sering dihadapi individu berupa

perasaan tidak menentu, perasaan panik, takut, dan ketidakmampuan

untuk memahami sumber ketakutan (Darajat, 1990). Kecemasan

(anxiety)merupakan reaksi ketika seseorang menerima ancaman, semakin berpengaruh dan semakin dekat ancaman tersebut maka akan

semakin tinggi kecemasannya (Salkovis dan Walwick dalan Furer,

2007).

Wright (2000) berpendapat bahwa kecemasan merupakan

ketidaknyamanan pikiran, perasaan yang menakutkan dan menyerang

sebagian peristiwa yang akan datang. Menurut Passer dan Smith

(2007), kecemasan adalah keadaan tegang dan takut sebagai reaksi

normal terhadap munculnya suatu ancaman, yanglebih banyak dipicu

oleh peristiwa eksternal spesifik daripada konflik internal. Kecemasan

mempengaruhi respon tubuh seperti berkeringat, otot menegang, detak

jantung serta nafas yang menjadi lebih cepat. Kecemasan juga

merupakan gangguan psikologis dengan ciri-ciri seperti ketegangan

motorik, pusing, jantung berdebar, adanya pikiran serta harapan yang

(2)

Darajat (1990) mengemukakan ada dua gejala kecemasan, yaitu; a)

Gejala fisik berupa ujung-ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak

jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, dan

gemetar; dan b) Gejala mental berupa perasaan sangat takut akan tertimpa bahaya,

tidak dapat memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram dan ingin lari dari

kenyataan hidup, gelisah, dan perasaan tegang serta bingung. Menurut Aaron T.

Beck (2004), kecemasan berada pada garis kontinum yang sama dengan

pengalaman emosional lainnya, dan setiap semua pengalaman emosional

berkaitan dengan kognisi. Setiap emosi berhubungan dengan tema kognitif

tertentu, dan kecemasan dikaitkan dengan tema „ancaman‟, „bahaya‟ dan „mudah

diserang‟. Kecemasan merupakan hasil dari penafsiran yang berlebihan tentang

suatu bahaya atau kepercayaan yang terlalu rendah pada coping atau

kemampuannya.

Kemudian menurut Sue (2010), kecemasan merupakan emosi dasar

manusia yang menghasilkan reaksi tubuh mempersiapiapkan diri untuk “lawan”

atau “lari” terhadap situasi atau kejadian yang belum terjadi. Sue (2014) juga

menambahkan bahwa kecemasan merupakan kondisi psikologis dan fisiologis

yang dicirikan dengan adanya komponen somatik, emosi, kognitif, dan perilaku

sebagai reaksi normal dari stres. Kecemasan bisa menghasilkan perasaan takut,

khawatir, gelisah.

(3)

Hamilton meliputi 14 komponen yaitu: perasaan gelisah, ketegangan, takut, sulit

tidur, gangguan intelektual (daya ingat menurun), perasaan depresi, gejala

somatik, gejala sensorik, gejala kadiovaskuler, gejala pernapasan, gejala

pencernaan, gejala urogenital, gejala otonom, gejala yang dapat diamati langsung.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan

merupakan keadaan adanya ransangan internal dan eksternal yang mengancam

yang menimbulkan pengalaman emosional yang tidak jelas yang menyebabkan

ketidaknyamanan pikiran, dan perasaan takut akan tertimpa bahaya, sulit

memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram, gelisah, bingung sehingga

mempengaruhi respon respon fisiologis seperti berkeringat, pusing, otot

menegang, jantung berdebar, dan nafas yang menjadi lebih cepat.

A. 2. Aspek-aspek Kecemasan

Empat komponen kecemasan menurut David Sue (2010) adalah:

a. Kognitif (pikiran)

Komponen kognitif dapat bervariasi, berupa khawatir yang ringan

hingga tinggi (panik). Seseorang terus mengkhawatirkan segala

masalah yang bisa terjadi, menjadi sulit untuk berkonsentrasi

maupun mengambil keputusan, mudah bingung, dan lupa.

b. Motorik (pergerakan tubuh)

Individu menunjukkan gerakan yang tidak beraturan, seperti

gemetar hingga guncangan tubuh yang berat.Perilaku yang

(4)

meremas jari-jari, tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau

berdiri di tempat.

c. Somatik (reaksi fisik dan biologis)

Gangguan pada anggota tubuh, berupa; sesak napas, tangan dan

kaki menjadi dingin, mulut kering, diare, sering buang air kecil,

jantung berdebar, berkeringat, tekanan darah tinggi, gangguan

pencernaan, dan kelelahan fisik seperti pingsan.

d. Afektif (perasaan)

Individu mengalami ketegangan yang kronis. Individu

terus-menerus mengalami perasaan gelisah tentang suatu bahaya, mudah

tersinggung, dan tidak tenang.

A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Dibawah ini adalah faktor-faktor yang menyababkan kecemasan,

yaitu:

a. Frustasi (tekanan perasaan)

Menurut Darajat (1990) frustasi merupakan proses yang

menyebabkan orang merasa adanya hambatan terhadap terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhannya, atau menyangka akan terjadi suatu yang hal

mengalangi keinginannya.

b. Konflik

(5)

dorongan atau lebih yang berlawanan dan tidak mungkin dipenuhi

disaat yang sama (Darajat, 1990).

c. Ancaman

Adanya bahaya yang harus diperhatikan. Zain (1994) mengatakan

bahwa ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan dan

dicegah agar tidak terjadi.

d. Harga diri

Harga diri merupakan suatu penilaian yang dibuat oleh individu

tentang dirinya sendiri dan dipengaruhi oleh interaksinya dengan

lingkungan. Merupakan faktor yang dibentuk berdasarkan

pengalaman. Koeswara (1991) mengatakan bahwa terhambatnya

pemuasan kebutuhan harga diri mengakibatkan perasaan rendah diri,

tidak mampu, tidak pantas, tidak berguna, dan lemah.

e. Lingkungan sosial

Lingkungan di sekitar individu dapat mempengaruhi cara berpikir

individu tentang diri sendiri dan orang lain. Pengalaman yang tidak

menyenangkan dengan sahabat, ataupun rekan kerja bisa

memunculkan rasa tidak aman dan kecemasan (Ramaiah dalam Dewi,

2003). Sebaliknya, dukungan sosial dari lingkungan mampu

mengurangi dan mencegah kecemasan individu (Effendi, 1999).

f. Lingkungan keluarga

Menurut Musfir Az-Zahrani (dalam Dewi, 2003), keadaan rumah

(6)

serta adanya ketidakpedulian satu sama lain dapat menyebabkan

ketidaknyamanan serta kecemasan pada anggota keluarga saat berada

di rumah.

g. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan

keluar atas perasaannya sendiri, terutama jika ia merasa marah atau

frustasi dalam jangka waktu yang lama (Ramaiah dalam Dewi, 2003).

h. Sebab-sebab fisik

Masih menurut Ramaiah (dalam Dewi, 2003), pikiran dan tubuh

saling berinteraksi dan dapat menyebabkan kecemasan. Selama

individu mengalami kondisi-kondisi baru, akan terjadi perubahan

yang menyebabkan timbulnya kecemasan.

B. Masa Pensiun

B. 1 Definisi Masa Pensiun

Pensiun merupakan masa seseorang tidak lagi bekerja secara

formal pada suatu perusahaan badan komersial yang terorganisasi

atau dalam pemerintahan karena telah mencapai usia maksimum

sebagai pekerja (Kimmel, 1991). Pensiun merupakan masa transisi ke

pola hidup yang baru sehingga berkaitan erat dengan perubahan

peran, perubahan keinginan dan nilai, serta perubahan pola hidup

(7)

Menurut Cavanaugh dan Fields (2006), pensiun adalah proses

yang kompleks saat seseorang menarik diri dari partisipasi penuh dari

pekerjaan. Dengan demikian, pensiun adalah proses seseorang

berhenti bekerja pada perusahaan/organisasi/pemerintahan karena

telah mencapai usia maksimum serta menimbulkan perubahan peran,

nilai, dan pola hidup.

Soegino (dikutip oleh Respatiningsih, 2008), menyebutkan

aspek kehidupan masa pensiun yang perlu untuk ditelusuri dan diberi

perhatian untuk menjalankan masa pensiun yang memuaskan adalah:

a. Kegiatan. orang dewasa membutuhkan kegiatan agar tidak merasa

gelisah dan sebagai pengisi waktu di masa pensiunnya. Kegiatan

yang dapat dipertimbangkan adalah berjalan-jalan, bermasyarakat,

berpartisipasi dalam bidang pendidikan, bekerja kembali, dan

berekreasi.

b. Kesehatan. Kesehatan yang baik sangat diharapkan di masa ini. Di

sisi lain, individu pun tidak perlu mengeluarkan biaya yang

banyak untuk pengobatan hari tua.

c. Keuangan. Merencanakan keuangan di masa pensiun sangat

penting karena masa pensiun adalah masa yang sangat panjang,

uang pesangon untuk masa pensiun tidak akan cukup untuk

kehidupan keluarga.

d. Sikap positif. Sikap yang positif sangat berpengaruh pada

(8)

berbuat sesuatu yang positif. Mengeluarkan potensi diri, disiplin

dalam menjaga kesehatan, dan membuat hidup lebih bermakna.

e. Hubungan yang serasi terutama dengan pasangan hidup.

Hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga menjelang

pensiun sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan menjaga

kesejahteraan masa tua.

B. 2 Jenis-Jenis Pensiun

Terdapat dua jenis pensiun menurut Hurlock (1991), yaitu:

a. Voluntary Retirement (pensiun secara sukarela)

Individu memutuskan untuk mengakhiri masa kerjanya secara

formal dan sukarela. Hal ini dilakukan dengan alasan kesehatan

atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan

melakukan sesuatu yang lebih berarti jika dibandingkan dengan

pekerjaan selanjutnya.

b. Mandatory Retirement (pensiun berdasarkan peraturan dan kewajiban)

Pensiun dilakukan berdasarkan adanya peraturan yang mengikat

karyawan di tempatnya bekerja tentang batasan usia yang

(9)

B. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun

Menurut Brill dan Hayer (dalam Imama, 2011) disebutkan faktor-faktor

yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun adalah:

a. Menurunnya pendapatan, termasuk gaji, tunjangan fasilitas yang

dulunya bisa ia dapatkan semasa bekerja, serta adanya anak yang

belum mandiri yang masih dalam tanggungan orang tuanya.

b. Hilangnya status atau jabatan seperti pangkat dan golongan

maupun status sosialnya, termasuk didalamnya adalah hilangnya

wewenang penghormatan orang lain atas dirinya.

c. Berkurangnya interaksi sosial dengan teman kerja. Kerja

memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dan

mengembangkan persahabatan. Namun dengan tibanya masa

pensiun, individu tidak memiliki kesempatan yang sama untuk

berinteraksi dengan rekan kerjanya seperti saat ia masih bekerja.

d. Datangnya masa tua, terutama menurunnya kekuatan fisik dan

daya ingat menurun karena proses penuaan yang tidak bisa

dihindari, sehingga muncul perasaan tidak dibutuhkan lagi yang

bisa membuatnya semakin cemas.

Rini (dalam Pradono dan Purnamasari, 2010) menyebutkan faktor-faktor

(10)

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan

Datangnya masa pensiun menyebabkan individu merasa

kehilangan pekerjaan karena pekerjaan tersebut dapat memberikan

kepuasan bagi individu.

b. Usia

Asumsi ketika seseorang memasuki masa tua maka ia akan

semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan

tidak menarik, dan semakin banyak hambatan lain yang membuat

hidupnya semakin terbatas. Pensiun karena memasuki batasan usia

produktif kerja membuat individu merasa ia sudah tidak berguna

lagi.

c. Kesehatan

Kesehatan mental dan fisik merupakan kondisi yang mendukung

keberhasilan individu untuk beradaptasi terhadap masa pensiun.

Hal ini ditambah dengan persepsi individu tersebut terhadap kodisi

fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisiknya sebagai hambatan

besardan bersikap pesimistik terhadap hidup, maka ia akan

mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran.

d. Persepsi individu tentang bagaimana ia akan menyesuaikan diri

dengan masa pensiunnya. Persepsi negatif akan mendatangkan

kecemasan pada individu.

(11)

Individu yang bekerja memiliki status sosial tertentu, jika tiba masa

pensiunnya maka ia akan melepas semua atribut dan fasilitas yang

menempel padanya. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan bagi

sebagian orang.

C. Keharmonisan Pernikahan

C. 1. Definisi Keharmonisan Pernikahan

Keharmonisan pernikahan menurut Walgito (1991) adalah

berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita

sebagai pasangan suami istri yang dilandasi oleh berbagai unsur

persamaan; saling dapat memberi dan menerima cinta kasih yang tulus dan

memiliki nilai-nilai yang serupa. Keharmonisan ditandai dengan suasana

rumah yang teratur, tidak cenderung pada konflik, dan peka terhadap

kebutuhan rumah tangga (Suardiman, 1990).

Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan

istri merasakan kebutuhan emosional mereka terpenuhi, mereka saling

memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang

budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012),

pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan

positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada

kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan

(12)

memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang

budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012),

pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan

positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada

kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Pernikahan harmonis menurut Olson (1993), melakukan interaksi

pernikahan yang sangat baik, melakukan tugas sebagai orang tua dengan

baik, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar dan teman,

suami dan istri saling berusaha untuk menjaga dan meningkatkan kualitas

hubungan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan

pernikahan adalah keadaan yang menggambarkan adanya ketenangan lahir

batin pada suami dan istri karena puas dengan yang telah mereka capai dan

miliki, tidak cenderung pada konflik, peka terhadap kebutuhan rumah

tangga, terpenuhinya kebutuhan seksual, dan pergaulan yang baik antara

anggota keluarga dan masyarakat.

C. 2. Aspek-aspek Keharmonisan Pernikahan

Menurut David D. Olson dan Amy K. Olson (dalam Lestari, 2012),

terdapat sepuluh aspek keluarga harmonis:

a. Resolusi konflik

Aspek ini berkaitan dengan persepsi individu tentang keberadaan

(13)

menyelesaikan masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk

mengakhiri konflik.

b. Komunikasi

Berfokus pada perasaan dan sikap berkaitan dengan komunikasi

dengan pasangan. Aspek ini memperhatikan tingkat kenyamanan

yang dirasakan oleh pasangan saat membagikan dan menerima

informasi emosional dan kognitif.

c. Pembagian peran yang seimbang

Aspek ini berfokus pada perasaan dan sikap individu mengenai

peran dalam pernikahan dan keluarga. Berkaitan dengan hal-hal

pekerjaan, tugas rumah tangga, seksualitas, dan peran sebagai

orang tua. Akan semakin baik jika pembagian peran sama-sama

disetujui oleh pasangan.

d. Kecocokan kepribadian

Aspek ini berfokus pada persepsi individu mengenai perilaku

pasangan dan tingkat kepuasannya tentang perilaku dan kebiasaan

pasangan. Sikap dan perilaku pasangan tidak berdampak atau

dipersepsi secara negatif oleh pasangan. Perbedaan yang ada tidak

akan menimbulkan masalah selama ada penerimaan dan

pengertian.

e. Pemanfaatan waktu luang

Aspek ini berfokus pada ketertarikan individu untuk menggunakan

(14)

bercerita tentang ketertarikan individu dan bersama, serta harapan

untuk menghabiskan waktu luang bersama sebagai pasangan.

f. Pengelolaan keuangan

Aspek ini berkaitan dengan sikap dan perhatian pasangan

mengenai pengaturan hal-hal financial, berupa pembelanjaan dan

pengambilan keputusan tentang keuangan.

g. Relasi seksual

Aspek ini berkaitan dengan perasaan pasangan mengenai kasih

sayang dan hubungan seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran,

dan sikap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas.

h. Pengasuhan anak

Aspek ini berkaitan dengan sikap dan perasaan saat memiliki anak

dan mengasuh anak. Berfokus pada pengambilan keputusan

mengenai disiplin, harapan-harapan untuk anak dan pengaruh

keberadaan anak terhadap hubungan suami-istri.

i. Hubungan dengan keluarga dan teman

Menujukkan sikap dan perasaan mengenai hubungan dengan

keluarga, mertua dan saudara ipar, serta teman. Berkaitan dengan

harapan pada mereka dan kenyamanan saat menghabiskan waktu

bersama keluarga dan teman-teman.

j. Nilai-nilai dan kepercayaan keagaman

(15)

pernikahan semakin baik jika nilai-nilai agama mamiliki bagian

penting dalam pernikahan.

D. Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

D. 1 Definisi Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Menurut Pasal 87 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 2003 (Hukum Online,

2015), karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN dan pengangkatan,

pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan

perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut UU No. 19 Tahun 2003

Pasal 1 Ayat 1, Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut

BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari

kekayaan Negara yang dipisahkan.

D. 2 Masa Pensiun Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor:

PER.02/MEN/1993 Tentang Usia pensiun Maksimum Bagi Peserta

Peraturan Dana Pensiun (Portal HR, 2015) bahwa usia kerja ditetapkan

pada 55 hingga 60 tahun. Ketentuan lebih lanjut ditetapkan dalam

Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP)/Perjanjian Kerja

Bersama (PKB) dengan perusahaan bersangkutan berdasarkan UU No. 13

(16)

E. Masa Dewasa Madya

E. 1 Definisi Masa Dewasa Madya

Masa dewasa madya dikenal dianggap sebagai tahapan hidup yang

berbeda dengan tahapan yang lainnya karena memiliki norma sosial,

aturan, peluang dan tantangannya sendiri (Papalia dkk, 2009). Definisi

kontekstual masa dewasa madya adalah jika seseorang memiliki anak yang

telah dewasa dan/atau dengan orang tua lanjut usia. Masa ini berada dalam

kisaran usia 40-65 tahun. Bagi beberapa orang periode usia dewasa madya

merupakan usia terbaik dalam hidupnya. Periode ini adalah suatu masa

seseorang merasa puas dengan keberhasilannya (Bernie Neugarten, dalam

Fatimah, 2014)

E. 2 Perkembangan pada Masa Dewasa Madya

Menurut Papalia dkk, (2009), dibawah ini adalah perkembangan

yang terjadi pada masa dewasa madya, yaitu: 1) Perkembangan Fisik:

kemunduran kemampuan sensoris, kesehatan, stamina, dan kekuatan,

perubahan hormonal bisa mengarah pada penurunan hasrat seksual,

perempuan mengalami menopause. 2) Perkembangan Neurologis:

kemunduran respon terhadap keterampilan motorik yang rumit.

3) Perkembangan Kognitif: kemampuan mental mencapai puncaknya;

(17)

mencapai puncaknya; namun burnout dan perubahan karir bisa muncul. 4)

Perkembangan Bahasa: Crystallized intelligence meliputi pengetahuan

linguistic meluas. 5) Perkembangan Emosi: emosi negatif seperti marah

dan takut menjadi kurang intens. Kebanyakan merasa optimis akan masa

lalu, kini, dan masa depan. 6) Perkembangan Sosial: Jaringan sosial

cenderung mengecil namun lebih intim. Tanggung jawab ganda mengasuh

anak dan orang tua bisa menyebabkan stres. Anak-anak pergi dari rumah

menghasilkan keadaan empty-nest. 7) Perkembangan identitasdiri/gender: Kesadaran identitas terus berkembang dan transisi usia madya dapat

muncul. 8) Perkembangan Moral: Penilaian moral bisa menjadi lebih

rumit.

E. 3 Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1991), tugas perkembangan

pada masa dewasa madya adalah: 1) Melakukan penyesuaian dengan

berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada masa ini. 2) Memenuhi

tanggung jawab sosial sebagai warga negara, mengembangkan minat pada

waktu luang yang berorientasi pada keluarga. 3) Memantapkan dan

memelihara standar hidup yang mapan. 4) Mempersiapkan diri memasuki

masa pensiun, dan 5) Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan

sebagai individu, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia,

membantu anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab dan

(18)

Tugas-tugas perkembangan ini mengarahkan individu untuk

menyesuaikan diri menuju masa tua. Penguasaan tugas-tugas

perkembangan pada masa ini penting untuk kesejahteraan di masa tua

(successful aging) hingga pada tahun-tahun terakhir kehidupan.

E. 4 Midlife Crisis (Krisis pada masa Dewasa Madya)

Pada masa ini terjadi berbagai perubahan dalam kepribadian dan

gaya hidup. Masa yang konon penuh stres ini dipicu oleh pengkajian dan

evaluasi kembali kehidupan seseorang (Papalia dkk, 2009). Krisis dewasa

madya dikonseptualisasikan sebagai sebuah krisis identitas, bahkan

disebut masa remaja kedua.

Beberapa orang bisa mengalami krisis dewasa madya, namun

beberapa yang lain justru berada di puncak kekuatan. Sebagian yang lain

berada diantara keduanya. Masa dewasa madya adalah satu titik balik

kehidupan, yang berupa transisi psikologis yang melibatkan perubahan

yang signifikan dalam makna, tujuan, arah kehidupan.

F. Dinamika Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun dengan Keharmonisan Pernikahan pada Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Kerja adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah

(KBBI, 2015). Bekerja merupakan cara yang bisa dilakukan untuk

(19)

(Hurlock, 1991). Selain itu, menurut Sarwono (2002) bekerja juga mampu

membuat seseorang memenuhi kebutuhan harga diri, yaitu pertama;

kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri,

kemandirian, dan kedua; kebutuhan akan penghargaan dari orang lain,

status, kepopuleran, dominasi, kebanggaan, perasaan dianggap penting,

dan diapresiai orang lain.

Jika seseorang bekerja pada sebuah perusahaan formal maka akan

dikenai peraturan mengenai batas usia masa kerja yang disebut dengan

istilah pensiun (Kimmel, 1991). Pensiun membawa banyak perubahan

diantaranya perubahan atau penghilangan sumber keuangan, hilangnya

status sosial, terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan dan

rekan kerja, serta munculnya banyak waktu luang, Banyaknya perubahan

yang terjadi pada masa ini membuat pensiun sering dianggap sebagai masa

krisis (penelitian Rachmad, dkk, 1991).

Menurut Unger dan Crawford (dalam Foster, 2008), sikap

mengenai pensiun terdiri dari dua, yaitu sikap positif dan sikap negatif.

Seseorang dianggap memiliki sikap positif terhadap pensiun jika ia

menganggap pensiun sebagai suatu kebebasan dari sekian tahun bekerja,

kesempatan yang baik untuk berpergian dan berlibur, melakukan hobi, dan

memanfaatkan waktu luang. Sebaliknya, seseorang yang memiliki sikap

negatif terhadap pensiun memaknai pensiun sebagai situasi yang

membosankan, melakukan penarikan diri dan muncul perasaan tidak

(20)

faktor terkuat munculnya kecemasan menghadapi masa pensiun dalam diri

seseorang (Foster, 2008).

Kecemasan mengenai pensiun salah satunya disebabkan oleh

perihal keuangan(Santrock, 2009). Perubahan yang signifikan menurun

pada keuangan membuat calon pensiunan merasakan kecemasan tentang

kehidupannya dan keluarga setelah pensiun nanti (Gallo, Bradley, Siegel,

& Kasl, 2000). Dari populasi calon pensiunan dunia, seperempatnya lagi

gagal mengumpulkan tabungan yang signifikan memadai untuk masa tua

(Papalia dkk, 2009). Masalah keuangan besar kemungkinan akan dialami

oleh karyawan BUMN yang hanya memperoleh pesangon yang diberikan

satu kali saat ia pensiun (Fendisidy, 2015), dan juga akan lebih besar

dialami oleh suami sebagai orang yang wajib melindungi istrinya dan

memberikan segala keperluan ekonomi dan rumah tangga sesuai dengan

kemampuannya (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Hak dan Kewajiban

suami-istri).

Selain itu, status sosial yang baik dan perasaan menjadi superior

merupakan salah satu aspek terbentuknya kesejahteraan individu yang

sebagian besar dipengaruhi oleh tempatnya bekerja. Keadaan pensiun akan

membuat seseorang kehilangan statusnya, semakin baik status seseorang

di lingkungan kerja dan masyarakat maka semakin besar pula

kemungkinan individu tersebut mengalami kecemasan jika kehilangan

(21)

pada SDM, dan karyanya yang tidak kalah dengan perusahaan-perusahaan

internasional (Bamboe Doea Team, 2014).

Kinerja karyawan BUMN pun sangat dipengaruhi oleh hubungan

sosial dengan rekan kerja, karena pola kerja BUMN bersifat kolektif dan

mengerjakan tugas bersama-sama (Susilawati dan Widyasari, 2012).

Individu yang memiliki hubungan yang kuat dengan pekerjaan dan rekan

kerjanya akan mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun (Taylor dan

Shore, 1995). Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa hilangnya

kontak dengan rekan kerja adalah salah satu faktor yang bisa

mendatangkan kecemasan menghadapi masa pensiun.

Kondisi yang stressful dan mencemaskan berakibat buruk pada kesehatan (Santrock, 2009). Demikian halnya dengan pensiun yang berada

di peringkat ke-10 untuk kejadian-kejadian yang menimbulkan stress

(berdasarkan penelitian oleh Holmes & Rahe, dalam Foster, 2008). Stress

akan berakibat pada penurunan kesehatan fisik dan mental (Suardiman,

2011). Kecemasan dan kondisi mental yang buruk akan berdampak negatif

pada pernikahan dan sebaliknya (Papalia, dkk, 2009).

Penelitian The Cornell Retirement and Well Being Study(dalam Foster 2008) menemukan bahwa keadaan sebelum dan sesudah pensiun

mengubah pola interaksi keluarga, membuat pasangan dan anggota

keluarga lain harus beradaptasi kembali untuk keselarasan kehidupan

mereka sehari-hari (dalam Newman & Newman, dalam Foster, 2008).

(22)

pasangan menganggap keadaan pensiun akan meningkatkan kemungkinan

konflik diantara mereka karena munculnya terlalu banyak waktu

kebersamaan diantara pasangan, penurunan waktu untuk kebebasan

pribadi dan privasi, pembagian tugas rumah tangga yang baru bisa saja

tidak cocok bagi salah satu atau keduanya, penurunan finansial juga akan

berdampak negatif pada pasangan. Penelitian tersebut juga menunjukkan

bahwa pasangan dari individu yang akan pensiun mengalami kesulitan

yang lebih besar untuk beradaptasi dengan keadaan baru pasangannnya

kelak.

Hal diatas cukup mengkhawatikan karena berdasarkan penelitian

Psikologi Kesehatan pasangan merupakan sumber penting agar

pasangannya terhindar dari gangguan psikologis. Dukungan dari pasangan

sangat dibutuhkan untuk terhindar dari depresi dan perasaan kesepian

setelah terlepas dari lingkungan pekerjaan (Osborne, 2012). Hal ini tidak

didapatkan kecuali dari keadaan dan kualitas pernikahan yang baik.

Kualitas pernikahan dianggap berkontribusi bagi kemampuan

seseorang menghadapi masa pensiun (Solinge dan Henkens, 2005).

Kualitas pernikahan yang berkembang sebelum masa pensiun sangat

mempengaruhi terciptanya pernikahan yang memuaskan setelah masa

pensiun (Hurlock, 1991). Jika kualitas pernikahan yang dibangun sebelum

pensiun memuaskan maka keadaan pernikahan akan tetap memuaskan

(23)

Penelitian oleh Fatima dan Ajmal pada tahun 2012 menemukan

bahwa kepuasan pernikahan merupakan salah satu faktor pembentuk

pernikahan yang harmonis. Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson

(dalam Lestari, 2012) pernikahan yang harmonis ditandai dengan adanya

aspek-aspek berikut; komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan

kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang,

keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual.

Dengan demikian pernikahan yang harmonis akan dibutuhkan untuk

menghadapi masa pensiun agar individu mendapatkan kesejahteraan di

masa tua.

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah ada hubunganantara keharmonisan pernikahan

dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Karyawan Badan

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Dalam skema kerjasama, perguruan tinggi di Indonesia memiliki kesetaraan dengan mitranya di luar negeri, demikian pula dosen yang mengikuti PAR adalah mitra

BERITA DAERAH KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2011 NOMOR 250

Menetapkan : PERATURAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG KABUPATEN GROBOGAN TENTANG PEMBERIAN TALI ASIH DAN / ATAU SANTUNAN UANG DUKA BAGI APARATUR PEMERINTAHAN DESA,

Tenaga administrasi akademik adalah tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tetap perguruan tinggi negeri/swasta (bukan tenaga pendidik yang menjabat pada formasi

Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan bahan perekat tepung tapioka dalam pembuatan pakan ikan dari bahan baku yaitu, bulu ayam, ampas tahu, dan ikan rucah

Setiap Kab/Kota wajib menguraikan tantangan sesuai karakteristikKab/Kota masing-masing terkait pembangunan sektor drainase.Tantangan yang dihadapi secara umum di

sebagian besar status balita di posyandu desa Tayuban adalah baik dengan pengetahuan ibu tinggi yaitu sebanyak 45 orang (56,25%), sedangkan status gizi balita kurang