BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
Tinjuan Pustaka
1.
Tinjauan Mengenai Perjudian
a.
Pengertian Perjudian
Segala bentuk perjudian pada hakekatnya adalah suatu
perbuatan dimana didalamnya ada pertaruhan antara menang dan
kalah dengan mengacu kepada untung – untungan para pemainnya.1
Pada umumnya dalam perjudian yang dijadikan sebagai taruhan
adalah berupa uang dengan nominal yang tidak menentu bahkan tidak
ada batasnya berapa nominal uang yang akan dipertaruhkan. Perjudian
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama, kesusilaan
dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan
Negara ditinjau dari kepentingan nasional.
Perjudian atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (1989) adalah:
Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan. Berjudi adalah memperatuhkan sejumlah uang atau
harta dalam permainan tebakan berdasarkan
kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah
1 Wikipedia Indonesia, Perjudian, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Perjudian
uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah
uang atau harta semula.2
Dalam presfektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak
pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubung dengan itu,
dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana
perjudian sebagai kejahatan.
Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang
dikatakan permainan judi ialah:
Tiap – tiap permaianan, dimana pada umumnya
kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain – lainnya yang tidak diadakannya
antara mereka yang turut berlomba atau bermain,
demikian juga segala pertaruhan lainnya.3
Adapun yang dihukum menurut Pasal ini ialah :
a. Mengadakan atau memberi kesempatan main judi
tersebut sebagai pencaharian. Seorang Bandar atau orang lain yang sebagai perusahaan membuka perjudian, orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Di sini tidak perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum, meskipun di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup sudah cukup, asal perjudian itu belum mendapat izin dari yang berwajib;
b. Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan
untuk main judi kepada umum. Di sini tidak perlu sebagai pencaharian, tetapi harus di tempat umum
2 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://kbbi.web.id/judi
(diakses tanggal 6 Maret 2017)
atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Inipun apabila telah ada izin dari yang berwajib, maka tidak di hukum;
c. Turut main judi sebagai pencaharian.4
Di Indonesia, selain permainan judi dipandang sebagai hal yang
bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila,
permainan judi juga dipandang sebagai suatu hal yang dapat
membahayakan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat Bangsa
dan Negara. Adanya larangan permainan judi ditingkatkan menjadi
kejahatan dengan ancaman pidana yang sangat berat, oleh karena itu
menjadi kewajiban semua pihak untuk ikut berperan aktif dalam
menanggulangi, memberantas, dan paling tidak mencegah timbulnya
perjudian tersebut.
b.
Unsur
–
Unsur Perjudian dalam KUHP
Berkaitan dengan masalah judi atau perjudian yang menjadi
salah satu rangkaian ritual adat, hal ini bukan lagi dianggap masalah
yang sepele. Judi atau perjudian merupakan suatu tindak pidana yang
sudah jelas tercantum didalam Pasal 303 KHUP dan 303 bis KUHP.
Tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 303 memiliki unsur subjektif dan unsur – unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur – unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur
objektif adalah unsur – unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan – keadaan, yaitu di dalam keadaan –
keadaan mana tindakan – tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan.5
Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal
303 KHUP adalah sebagai berikut :
1. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1)
angka 1 KUHP melarang dilakukannya dua macam
perbuatan, masing – masing yakni:
a. Kesengajaan melakukan sebagai usaha yakni
perbuatan – perbuatan menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi;
b. Kesengajaan turut serta sebagai usaha dalam usaha
menawarkan atau memberikan kesempatan untuk
bermain judi.6
1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam
ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif
ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif
meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai
hak untuk itu’,‘melakukan sebagai usaha’,
‘menawarkan atau memberikan kesempatan’,
‘untuk bermain judi’.7
a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’, oleh
pembentuk undang – undang telah diletakkan
didepan unsur – unsur objektif.8 Untuk
memenuhi unsur kesengajaan tersebut, kepada
pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang :
(1) Adanya kehendak atau maksud pelaku
untuk menjadikan kesengajaan menawarkan
5 P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 193
6 P.A.F. Lamintang, Delik – Delik Khusus Tindak Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm. 319.
7
Ibid., hlm. 320.
atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha;
(2) Adanya kehendak atau maksud pelaku
untuk menawarkan atau memberikan
kesempatan untuk bermain judi;
(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang ia
tawarkan atau yang kesempatannya ia
berikan itu adalah untuk bermain judi.9
b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini
menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak
pidana tersebut;10
c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur
ini menunjukan bahwa pelaku haruslah
merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi;11
d) Unsur objektif ‘melakukan sebagai suatu
usaha’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang membuat perbuatan atau kegiatanya menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan material;12
e) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan
kesempatan’ untuk bermain judi, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang terbukti melakukan perbuatan atau
kegiatan menawarkan atau memberikan
kesempatan untuk bermain judi, padahal dia tidak memiliki izin dari kekuasaan yang berwenang untuk melakukan perbuatan atau
kegiatan tersebut sebagai usaha;13
9 Ibid.
10 Ibid., hlm. 321. 11 Ibid.
f) Unsur objektif ‘untuk bermain judi’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang melakukan sebagai usaha, yakni perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada orang untuk
bermain judi.14
2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam
ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah kesengajaan turut serta melakukan sesuatu dalam usaha orang lain menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur
objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan
sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur
‘barangsiapa’,‘tanpa mempunyai hak’, ’turut
dengan melakukan sesuatu’, ’dalam usaha orang
lain tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi’.15
a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh
pembentuk undang – undang ditempatkan di
depan unsur – unsur turut serta, melakukan
sesuatu dan daartoe, yang menunjukan pada usaha orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dengan sengaja telah dilakukan tanpa hak.16
Untuk memenuhi unsur dengan sengaja
tersebut, kepada pelaku maka harus dapat
dibuktikan tentang :
(1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;
(2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan
sesuatu;
(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang
dilakukan orang lain itu merupakan suatu
kesengajaan menawarkan atau member kesempatan untuk bermain judi, yang telah dilakukannya sebagai suatu usaha dan tanpa
hak.17
b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini
menunjukan orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak
pidana tersebut;18
c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur
ini menunjukan bahwa pelaku haruslah
merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi;19
d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan
sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang dengan melakukan sesuatu tindakan tertentu telah memungkinkan para bandar judi
tanpa hak menawarkan atau memberi
kesempatan untuk bermain judi;20
e) Unsur objektif ‘daartoe atau kesengajaan tanpa
hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bemain judi’, unsur ini menunjukan bahwa objek dari keturutsertaan pelaku yang merupakan suatu kesengajaan tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dilakukan oleh orang lain.21
17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid.
2. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1)
angka 2 KUHP melarang dilakukannya dua macam
perbuatan,22 masing – masing yakni:
a. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja menawarkan
atau memberikan kesempatan kesempatan pada khalayak ramai untuk bermain judi;
b. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja turut serta
dalam perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain
judi dengan melakukan sesuatu.23
1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam
ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif
ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif
meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai
hak’, ‘menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk bermain judi kepada khalayak ramai’.24
a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh
pembentuk undang – undang ditempatkan di
depan unsur – unsur menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi
dan kepada khalayak ramai.25 Untuk memenuhi
unsur kesengajaan tersebut, kepada pelaku maka
harus dapat dibuktikan tentang :
(1) Tentang adanya kehendak pelaku untuk
menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi;
(2) Tentang adanya kehendak atau setidak –
tidaknya tentang adanya pengetahuan
22 Ibid. 23 Ibid. 24
Ibid., hlm. 330.
pelaku, bahwa penawaran atau kesempatan untuk bermain judi itu telah ia berikan
kepada khalayak ramai.26
b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini
menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak
pidana tersebut;27
c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur
ini menunjukan bahwa pelaku haruslah
merupakan orang yang tidak mendapat izin dari
kekuasaan yang berwewenang untuk
menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk bermain judi kepada khalayak ramai;28
d) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan
kesempatan untuk bermain judi kepada
khalayak ramai’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk bermain judi kepada khalayak ramai.29
2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam
ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif
ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif
meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai
hak’, ‘turut serta dengan melakukan sesuatu’,
‘dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai’.30
a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh
pembentuk undang – undang ditempatkan
26 Ibid., hlm. 331. 27 Ibid.
28 Ibid.
29 Ibid.
didepan unsur – unsur turut serta, melakukan
sesuatu dan daartoe.31 Untuk memenuhi unsur
dengan sengaja tersebut, kepada pelaku maka
harus dapat dibuktikan tentang :
(1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;
(2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan
sesuatu;
(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia telah
turut serta dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk
bermain judi.32
b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini
menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak
pidana tersebut;33
c) Unsur objektif “tanpa mempunyai hak”, unsur
ini menunjukan bahwa pelaku haruslah
merupakan orang yang tidak mendapat izin dari
kekuasaan yang berwewenang untuk
menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk bermain judi kepada khalayak ramai;34
d) Unsur objektif “turut serta dengan melakukan
sesuatu”, unsur ini menunjukkan harus
dilakukannya in onderneming atau dalam
bentuk tindakan – tindakan yang
memungkinkan kehendak orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai itu dapat
menjadi kenyataan;35
31 Ibid., hlm. 333. 32 Ibid.
33 Ibid., hlm. 334. 34 Ibid.
e) Unsur objektif “dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan
kesempatan untuk bermain judi kepada
khalayak ramai”, unsur ini menunjukkan bahwa
pelaku harus merupakan orang yang terbukti telah tanpa hak turut serta dalam perbuatan orang lain, yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain judi dengan melakukan sesuatu
perbuatan tertentu.36
Perbedaan antara ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP dengan ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah:
(1) Larangan pertama didalam ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak menawarkan atau
memberikan kesempatan kepada khalayak ramai
untuk bermain judi, dengan keterangan bahwa
perbuatan menawarkan atau memberikan
kesempatan kepada khalayak ramaiuntuk bermain
judi itu tidak perlu dilakukan oleh pelaku sebagai
suatu usaha. Sedangkan larangan pertama di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah larangan untuk membuat
perbuatan meneawarkan atau memberikan
kesempatan bermain judi itu sebagai suatu usaha,
dengan keterangan bahwa penawaran atau
pemberian kesempatan untuk bermain judi itu tidak
perlu ditunjukan kepada khalayak ramai.
(2) Larangan kedua didalam ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP itu ialah larangan untuk tanpa hak turut sera dalam
perbuatan menawarkan atau memberikan
kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai,
yang oleh pelakunya tidak perlu dilakukan sebagai
suatu usaha. Sedangkan larangan kedua didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak turut serta dalam perbuatan atau menawarkan kesempatan bermain judi, yang oleh pelakunya
telah dilakukan sebagai suatu usaha, akan tetapi
tidak perlu ditunjukan kepada khalayak ramai.37
3. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP, ialah tanpa hak melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta dalam permainan judi. Dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP tersebut, hanya terdiri dari unsur objektif saja, antara lain
“barangsiapa”, “tanpa mempunyai hak, turut serta”, “sebagai suatu usaha dalam permainan judi”.
Walaupun pembentuk undang – undang tidak
mensyaratkan sesuatu unsur subjektif dalam rumusan tindak pidana tersebut, akan tetapi karena sudah jelas bahwa tindak pidana tersebut merupakan suatu
opzettelijk delictatau suatu delik yang harus dilakukan
dengan sengaja.38
a) Untuk membuktikan pelaku mempunyai
kesengajaan dalam melakukan tindak pidana
tersebut, kepada pelaku maka harus dapat dibuktikan
tentang :
(1) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia
sebenarnya tidak mempunyai izin dari
kekuasaan yang berwenang untuk melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta di dalam permainan judi;
(2) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta di
dalam permainan judi;
(3) Adanya kehendak pelaku untuk menjadikan
keturutsertaannya di dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha;
(4) Adanya pengetahuan pelaku bahwa
keturutsertaannya sebagai suatu usaha itu merupakan kerturutsertaan dalam permainan judi.39
b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini menunjukan
orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303
ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut
sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut;40
c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini
menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi sebagai suatu
usaha;41
d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan
sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang
tanpa hak turut serta dalam permainan judi.42
e) Unsur objektif ‘sebagai suatu usaha’, unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus merupakan orang membuat keturutsertaannya dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha, dengan mensyaratkan bahwa pelaku harus telah terbukti melakukan perbuatan
dengan berulang kali atau setidak – tidaknya
sebanyak lebih dari satu kali;43
f) Unsur objektif ‘dalam permainan judi’, unsur ini
menunjukkan bahwa pelaku harus terbukti
merupakan orang yang membuat keturutsertaannya
sebagai suatu usaha dalam permainan judi.44
Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal
303 bis KHUP adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1
KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain
40 Ibid. 41 Ibid.
42 Ibid., hlm. 337. 43 Ibid.,
“barangsiapa”, “memakai kesempatan yang terbuka
untuk berjudi” dan “yang sifatnya bertentangan
dengan salah satu dari ketentuan – ketentuan yang
diatur dalam Pasal 303 KUHP”.45
a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang
yang apabila ia terbukti memenuhi unsur – unsur
selebihnya dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP maka ia dapat
disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.46
b. Unsur objektif “memakai kesempatan yang terbuka
untuk bermain judi” itu merupakan perbuatan yang dilarang didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP. Yang dimaksud memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi itu bukanlah setiap pemakaian kesempatan yang terbuka karena ada orang yang memberikan
kesempatan untuk berjudi, misalnya seperti
berjualan di tempat dimana kesempatan untuk bemain judi itu telah diberikan oleh seseorang, melainkan hanya pemakaian kesempatan dengan
berjudi atau main judi.47
c. Unsur objektif “yang sifatnya bertentangan dengan
salah satu dari ketentuang – ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP” ialah bukan bertindak sebagai orang yang memberikan kesempatan untuk berjudi melainkan orang yang memakai kesempatan
untuk berjudi.48
2. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 2
KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain
“barangsiapa”, “turut serta berjudi” dan “di atas atau
ditepi jalan umum atau disuatu tempat yang terbuka untuk umum”.49
a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang
yang apabila orang tersebut memenuhi unsur – unsur
selebihnya dari tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan yang diatur Pasal 303bis ayat (1) angka 2 KUHP, dan penyelengaraan dari perjudian yang bersangkutan itu ternyata tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwenang, maka ia dapat
disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.50
b. Unsur objektif “turut serta berjudi”, kata turut serta
jangan diartikan sebagai keturutsertaan atau
deelnemen seperti yang dimaksud dalam ketentuan – ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP melainkan harus diartikan
dalam pengertiannya umum menurut bahasa sehari –
hari, sehingga orang yang in concreto berjudi itu
juga dapat disebut sebagai turut serta berjudi.51
c. Unsur objektif “di atas atau ditepi jalan umum atau
disuatu tempat yang terbuka untuk umum”. Yang dimaksud jalan umum itu ialah jalan yang diperuntukan bagi lalulintas umum. Tempat yang terbuka untuk umum itu ialah tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang yang ingin datang ke tempat tersebut. Kenyataan bahwa pada suatu saat tertentu, tempat tersebut sedang ditutup untuk umum, tidak menghilangkan sifatnya sebagai tempat
yang terbuka untuk umum.52
2.
Tinjauan Mengenai Upacara Adat
a.
Pengertian Upacara Adat
Upacara adat adalah merupakan salah satu tradisi atau bentuk
realisasi wujud kebudayaan yang berkembang di masyarakat
tradisional secara turun menurun dan masih dianggap memiliki nilai –
50 Ibid. 51 Ibid.
nilai yang masih cukup relevan bagi masyarakat.53 Upacara adat erat
kaitannya dengan ritual – ritual keagamaan yang dilakukan oleh
masyarakat berdasarkan kepercayaan yang dianut. Kepercayaan inilah
yang membuat masyarakat kemudian melakukan berbagai perbuatan
atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib
penguasa alam melalui ritual – ritual, baik ritual keagamaan (religious
ceremonies) maupun ritual – ritual adat lainnya.
Didalam hasil penelitian ini, penulis ingin menggambarkan
tentang Upacara Adat Wara di Barito Selatan yang pada umumnya
dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak Taboyan, Suku Dayak
Dusun Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Ngaju yang
menganut agama Hindu/Kaharingan. Didalam pelaksanaan Upacara
Adat Wara itu sendiri penulis kemudian memfokuskan kepada ritual
adat Kaleker Diau yang menyajikan pemainan Dadu Gurak.
Permainan Dadu Gurak ialah perminan dengan menggunakan dadu
balok dimana orang yang ikut bermain dalam permainan tersebut akan
mempertaruhkan sejumlah uang dengan nominal yang tidak terbatas
dan kemudian menebak mata dadu balok yang akan keluar setelah
diguncang oleh Bandar.
Seperti yang telah dipahami, bahwa upacara adat erat kaitannya
dengan ritual – ritual keagamaan dan dalam penelitian ini penulis
tidak hanya melihat dari perspektif keagamaan saja terkhususnya
agama Hindu/Kaharingan, namun penulis juga mencoba melihat dari
53 BASASTRA, Ijurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya”,
persfektif hukum adat dan hukum pidana adat terkait dengan ritual
adat Kaleker Diau yang menyajikan permainan Dadu Gurak ini.
b.
Hukum Adat
Secara umum hukum adat adalah suatu hukum yang hidup
karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat
sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.54
Istilah hukum adat dikemukanan pertama kali oleh Prof. Dr.
Christian Snouck Hurgronsye dalam bukunya yang berjudul “De Accheers” dan kemudian diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen
Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recth Van Nederland
Indie”.55 Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven berpendapat, hukum
adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak
mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi (adat).56 Pendapat lain berasal dari Prof. Mr. Kusumadi
Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula.57
54 Soepomo, Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 3. 55 Bursar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), PT Pradya
Paramitha, Jakarta, 1981, hlm. 60.
56 Wikipedia Indonesia, Hukum Adat, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Menurut_Prof._Mr._Cornelis_van_Vollenhoven (pada tanggal 7 Maret 2017)
57 Prof. H.A.M. Effendy, Pengantar Tata Hukum Indonesia , Mahdi Offset, 1994, hlm.
Secara garis besar, pendapat para ahli tentang hukum adat dapat
disimpulkan sebagai hukum suku bangsa yang berlaku, yang mengatur
pertalian – pertalian hukum orang – orang dibidang kenegaraan,
kemasyarakatan, yang mempunyai akibat – akibat hukum tetapi tidak
dimuat dalam kitab Undang – Undang.58
Didalam teori Mazhab Sejarah Hukum, Friederich Karl Von
Savigny bependapat bahwa:
“Hukum kebiasaan atau hukum adat adalah salah satu
manifestasi dari hukum positif. Hukum adat,
menurutnya menjadi badge atau symbol atau penanda
dari adanya hukum positif yang diakui oleh masyarakat. Kontinuitas dalam hukum adat tidak dapat dijadikan ukuran bahwa hukum kebiasaan tersebut adalah hukum
positif secara total dan hukum kebiasaan (customary
law) bukanlah patokan absolute akan adanya hukum
positif. Hukum kebiasaan hanya menjadi salah satu variabel dalam menentukan hukum positif, tetapi bukan sebagai penentu akan adanya hukum positif. Selain itu
ada peristiwa – peristiwa lain yang harus
dipertimbangkan untuk menetapkan hal tersebut sebagai hukum positif. Dasar dari hukum positif itu sendiri adalah kesadaran dan semangat merakyat
(bangsa) yang bersangkutan.59
R. Soepomo mengelaborasikan hubungan individu dan
masyarakat dalam hukum adat, demikian:
“Paham hukum tradisional, bahwa individu pada asasnya bebas dalam laku perbuatannya, asal tidak
melanggar batas – batas hukum yang telah
ditetapkan baginya, tidak terdapat dalam hukum adat, dimana orang perorangan tidak mempunyai
hak – hak abstrak (misalnya, hak milik, padahal
yang mempunyai hak itu tidak memiliki apa – apa),
58 Dr. Bernard L Tanya,Hukum dalam Ruang Sosial, Genta Publising,Yogyakarta,
2011, hlm.108.
59 Antonius Cahyadi – Fernando Manuliang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana,
melainkan kekuasaan – kekuasaan hukum yang konkret sebagai anggota persekutuan teritorial,
persekutuan geneologis (=darah) dan/atau
persekutuan lain”.60
Dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah peraturan yang
dapat dikatakan lebih luas daripada hukum namun juga tidak
sepenuhnya hukum. Hukum adat lebih luas dari pada hukum, karena
hukum adat mendahului dan merupakan titik – tolak hukum serta
merupakan peraturan hidup yang bersifat sakral dan ritual.61 Dilain
sisi hukum adat juga tidak sepenuhnya hukum, karena dalam
keanekaragamannya yang dinamis terus menerus meloloskan diri dari
pembentukan baku – kodifikasi.62
c.
Hukum Pidana Adat
Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda
“adat delicten recht” atau “hukum pelanggaran adat” dan istilah ini
dikenal dikalangan masyarakat adat.63 Hukum pidana adat adalah
hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang harus
diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah
menggangu keseimbangan masyarakat.64 Jika suatu peristiwa atau
perbuatan mengakibatkan kegoncangan terhadap keseimbangan dalam
60 Ibid., hlm. 109 dikutib dari R. Soepomo, hubungan Individu dan Masyarakat Dalam
Hukum Adat, Gita Karya, d.b Noor Komala 1963, hlm.10.
61 Ibid.
62 Ibid., hlm. 110.
berkehidupan masyarakat, baik peristiwa atau perbuatan itu legal atau
illegal, maka peristiwa atau perbuatan itu adalah melanggar hukum.
Hukum pidana adat memiliki sumber hukumnya baik tertulis
maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah
kebiasaan – kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus
menerus dan turun temurun oleh masyarkat adat yang bersangkuat.65
Sedangkan sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua
peraturan – peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit
atau bahan lainnya.66
Pemberlakuan hukum pidana adat ialah hukum pidana adat akan
tetap berlaku selama masyarakat hukum adat itu masih ada dan tetap
mempertahankannya. Semuanya itu sangat bergantung pada “desa”
(tempat), “kala” (waktu) dan “patra” (keadaan).67 Pemberlakuan
hukum pidana adat tersebut sejalan dengan teori Mazhab Sejarah
Hukum, Friederich Karl Von Savigny yang berpandangan bahwa
hukum positif muncul dalam masyarakat dan dalam kesadaran umum
dari rakyat yang menciptakan dan menumbuhkan hukum positif.68
65 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana , PT.
Fikahati Aneska, Jakarta, 2013, hlm. 111.
66 Ibid., hlm. 114. 67 Ibid., hlm.115. 68
“Hukum positif dalam pengertian ini adalah hukum yang tercatat maupun yang tertulis bahkan hukum adat masyarakat setempat, maka dari itu hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif
yang terbentuk sesuai dengan perjalanan dan
perkembangan masyarakat.”69
Dalam hukum pidana adat untuk membuktikan adanya suatu
pelanggaran maka harus ada terjadinya delik adat terlebih dahulu.
Menurut Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven yang dimaksud dengan
delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun
dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan
adat yang kecil saja.70
Hilman Hadikusuma berpendapat terkait yang dimaksud dengan
delik adat ialah :
“suatu peristiwa atau perbuatan yang menggangu kesimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau dengan upacara adat”.71
Seperti yang telah dipahami, bahwa perbuatan – perbuatan yang
bertentangan dengan hukum adat ialah merupakan delik adat. Terkait
dengan masalah tersebut, Ter Haar menganggap bahwa suatu
pelanggaran (delik) ialah:
69 Ibid., hlm. 136, dikutip dari Soejono Soekanto dan Purnandi Purbatjaraka, aneka
Cara Pembedaan Hukum, Citra Bakti, bandung, 1994, hlm. 18.
70I Made Widnyana, op.cit.,, hlm. 19 dikutip dari Surjono Wignjodipuro, Pengantar dan
Azas – Azas Hukum Adat, PT. Alumni, Bandung, 1971, hlm. 316.
71
“setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap kesimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada
barang – barang kehidupan material dan immaterial
orang seorang, atau dari pada orang – orang banyak
yang merupakan satu keastuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat
ialah reaksi adat (adat reactie) karena reaksi mana
keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran
berupa barang –barang atau uang)”.72
Berdasarkan uraian Ter Haar, maka terganggunya keseimbangan
masyarakat dapat terjadi bukan saja terhadap suatu yang berwujud
nyata, akan tetapi juga terhadap suatu yang tidak bewujud dan hal ini
disebabkan oleh masyarakat hukum adat memiliki alam pikiran yang
komunalisme dan religious magis yang kuat.73
Jadi yang dimaksud dengan delik adat itu adalah perbuatan atau
kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban,
kemanan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum masyarakat
bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun
perbuatan penguasa sendiri.74
Dari beberapa pandangan tersebut, maka didalam hukum pidana
adat memiliki 2 (dua) kategori dalam terjadinya delik adat ialah
adanya tata – tertib adat yang dilanggar dan keseimbangan masyarakat
terganggu.
72 Ibid., hlm. 117 – 118, dikutip dari Tet Haar, B. Bzn., Asas – asas dan Susunan
Hukum Adat, hlm. 128, Terjemahan Kng. Soebekti Poespnoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960.
73 Ibid., hlm. 118.
1) Tata-tertib Adat Dilanggar
Tata-tertib adat adalah ketentuan – ketentuan adat yang
bersifat tradisional yang harus ditaati oleh setiap orang dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, seperti ketentuan – ketentuan
yang bersifat adat sebenarnya adat, adat-istiadat, adat nan diadatkan dan adat nan teradat. Apabila kesemua ketentuan adat itu ada yang dilanggar, maka terjadilah delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat. Apabila reaksi dan koreksi itu tidak ada lagi, dan pihak yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran, maka walaupun menurut ketentuan yang berlaku peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran, maka hal tersebut tidak lagi merupakan delik. Hukum adat tidak mengenal sistem hukum yang statis, maka hukum pidana adat pun tidak statis. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, begitu pula dengan pelanggaran terhadap hukum adat. Terjadinya delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar ketentuan adat yang dipertahankan oleh petugas hukum adat, dapat juga terjadi
dikarenakan yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan.75
2) Keseimbangan Masyarakat Terganggu
Keseimbangan dalam masyarakat akan menjadi terganggu dikarenakan peristiwa yang terjadi bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu, tempat dan keadaan. Keseimbangan itu dapat dibedakan
antara keseimbangan masyarakat pada umumnya,
keseimbangan kelompok, keseimbangan kerabat atau keluarga. Jadi terjadinya delik adat ada yang sifatnya bertentangan dengan rasa keadilan umum, bertentangan dengan asas kesamaan hak dan kerukunan yang umum, dan
ada yang hanya bertentangan dengan hak – hak kerukunan
kekerabatan, kekeluargaan atau perorangan. Dalam tata hukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai suatu delik ialah setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak, setiap pelanggaran sepihak terhadap kebendaan dalam hidup yang berwujud atau tidak berwujud dari orang seorang, dalam
bentuk kesatuan atau dari sejumlah orang (sekelompok).76
Apabila diamati dari beberapa definisi tentang tindak pidana
adat (delik adat), pada pokonya terdapat empat unsur yang
menunjukan kapan terjadinya suatu tindak pidana adat (delik adat)
antara lain:
1) Seketika adanya perbuatan yang dilakukan oleh
perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri;
2) Seketika perbuatan itu bertentangan dengan norma – norma
hukum adat;
3) Seketika perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan
kegoncangan karena menggangu keseimbangan dalam masyarakat; dan
4) Atas perbuatan tersebut kemudian menimbulkan reaksi dari
masyarakat yang berupa sanksi/kewajiban adat.77
Didalam menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya
asas legalitas sebagaimana diatur oleh sistem KUHP, dimana
mengharuskan adanya suatu undang – undang terlebih dahulu yang
mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang atau
tidak boleh dilakukan.78 Karena suatu tindak pidana adat terjadi
apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut, dipandang akan menggangu keseimbangan
kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.79
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, hukum
muncul dalam masyarakat. munculnya hukum tersebut dalam
masyarakat mengandung 3 (tiga) nilai identias untuk terpenuhinya
tujuan dari hukum itu sendiri ialah Kepastian Kepastian Hukum,
77 I Made Widnyana, op.cit., hlm. 120. 78 Ibid.
Keadilan Hukum dan Kemanfaatan Hukum.80 Dalam hal penulisan hasil penelitian ini, penulis lebih memfokuskan kepada pembahasan
tentang Kepastian hukum yang mana pada hakikatnya merupakan
tujuan utama dari hukum. Hukum bertugas menciptakan kepastian
hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan
makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua
orang.81
3.
Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum (onrechtmatige atau wederrechtelijk) dalam
hukum pidana merupakan hal pokok yang harus ada atau mutlak dan setiap
rumusan delik tindak pidana. Seperti yang diketahui, dalam hal untuk
terpenuhinya suatu rumusan delik didalam rumusan suatu tindak pidana Van
Hamel merumuskan 4 (empat) unsur delik (strafabaar feiti) sebagai berikut:
a. Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang – Undang
(eene wettelijke omschreven menschelijke gedraging);
b. Bersifat melawan hukum (onrechtmatig);
c. Yang patut dipidana (strafwaarding en aan schuld te wijten); dan
d. Dilakukan dengan kesalahan.82
80
Rasjuddin Dungge, Hubungan 3 Tujuan Hukum Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadialan, diakses dari http://rasjuddin.blogspot.co.id/2013/06/hubungan-3-tujuan-hukum-kepastian-hukum.html (pada tanggal 7 Maret 2017)
81
Rahman Amin, Falsafah Keadilan, Kepastia n Hukum dan Penegak Hukum, diakses dari http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2014/03/hukum-pidana.html (pada tanggal 7 Maret 2017)
Dari keempat unsur delik terpenuhinya rumusan tindak pidana,
didalam penelitan ini, penulis lebih memfokuskan untuk mebahas terkait
dengan unsur delik sifat melawan hukum (onrechtmatig) yang merupakan
unsur objektif dari suatu tindak pidana.
Bambang Poernomo membagi perbuatan melawan hukum ke dalam 2
(dua) bentuk, yaitu perbutan melawan secara formil dan perbuatan hukum
secara materil.83
a.
Sifat Melawan Hukum Formil
Sifat melawan hukum formil ialah dimana suatu perbuatan telah
cocok dengan rumusan undang – undang, maka perbuatan itu sudah
jelas bersifat melawan hukum.84 Dengan demikian, tidak perlu lagi
diselidiki lebih lanjut apakah perbuatan tersebut bersifat melawan
hukum atau tidak, dengan kata lain dengan sendirinya dianggap
perbuatan itu telah melawan hukum.
Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum formil, melawan
hukum hanya perlu dibuktikan apabila ada kata melawan hukum yang
tercantum didalam rumusan tindak pidana itu sendiri. 85 Apabila tidak
ada kata melawan hukum yang tercantum didalam pasal, maka
melawan hukum bukanlah unsur tindak pidana dan karenanya tidak
perlu dibuktikan.
83 Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakata, 1985, hlm. 132. 84 Frans Maramis, Hukum Pidana Umun dan Tertulis Di Indonesia, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2012, hlm. 108.
85
b.
Sifat Melawan Hukum Materil
Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan yang
dapat di buktikan melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat di
dalam undang – undang (tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas
– asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukum materil bukan
hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang saja,
tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam
pergaulan masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum. Sifat melawan hukum materil menurut para ahli dibedakan
menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu sifat melawan hukum materil dalam
fungsi negatif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif.
a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif
Dalam arti negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan
seseorang memenuhi rumusan delik dalam undang – undang
(melawan hukum secara formil), namun apabila dilihat dari isinya ternyata bukan perbuatan yang tercela (tidak melawan hukum secara materiil), maka terhadapnya tidaklah
dikenakan suatu hukuman.86
b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif
Dalam arti positif diartikan meskipun suatu perbuatan tidak
memenuhi unsur delik, namun menurut masyarakat perbuatan
itu tercela, maka secara positif perbuatan itu dianggap
sebagai melawan hukum.87
Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum yang material,
apabila kata melawan hukum tidak tercantum dalam rumusan pasal
maka unsur melawan hukum juga tidak perlu dibuktikan.88 Ajaran sifat melawan hukum meteril tidak memiliki fungsi positif, yaitu tidak
memiliki fungsi untuk menghukum seseorang yang perbuatannya
tidak dilarang undang – undang. Fungsi positif dari ajaran sifat
melawan hukum materil dihalangi dan dilarang oleh legalitas yang
terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.89
4.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan
rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris disebut
dengan law enforcement. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma – norma hukum secara
nyata90 sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan –
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara demi
mewujudkan ide – ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan
kepastian hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat,
namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan.91 Kendatipun demikian tidak dapat
pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu
88 Frans Maramis, op.cit. hlm. 110. 89
Ibid.
adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis),
belum tentu berguna bagi masyarakat. Penegakan hukum dapat ditinjau dari
2 (dua) sudut antara lain:
a. Subjeknya, dalam hal ini penegakan hukum dapat dilakukan oleh
subjek yang dalam arti luas dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek yang dalam arti sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri ada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya di artikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
b. Objeknya, yaitu dari segi hukumnya dan dalam hal ini
pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.
Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai – nilai
keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun
nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 92
Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional penegakan hukum
adalah menyerasikan hubungan nilai – nilai dengan yang terjabarkan
didalam kaidah – kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.93
Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah:
a. Faktor Hukum
92Ibid, hlm. 33 – 34.
93 Soejono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ,
Dalam penyelenggaran hukum dilapangan, ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadian yang disebabkan oleh konsepsi keadilan yang merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan normatif.
Suatu kebijakan atau tindakan yang sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
Hakikatnya penyelengaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement namun peace maintenance karena penyelenggraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian. 94
b. Faktor Penegak Hukum
Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum atau aparatur penegak hukum ialah merupakan satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum. dalam proses berkerjannya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
1) Institusi penegak hukum berserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
2) Berdaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya;
3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum meterielnya maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah mempehatikan ketiga aspek tersebut, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara
nyata.95
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegak hukum mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contonya adalah pendidikan. Dalam hal ini berfokuskan kepada Polisi sebagai aparat penegak hukum, dimana pendidikan yang diterima oleh Polisi
cendrung kepada hal – hal yang praktis konvensional sehingga
banyak Polisi yang mengalami hambatan dalam tujuannya sebagai
aparat penegak hukum.96
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat yang bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Adanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsi hukum yang bersangkutan. Namun masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini
penegak hukum sebagai pribadi).97
e. Faktor Kebudayaan
Menurut Soerjono Soekanto, kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, dimana mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang
seharusnya dilakukan, dan apa yang dilarang.98
B.
Hasil Penelitian dan Analisis
1.
Hasil Penelitian
a.
Eksistensi Upacara Adat Wara di Barito Selatan
Masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah khususnya di
Barito selatan memiliki upacara adat yang sangat sakral yang
dinamakan Upacara Adat Wara. Upacara adat sakral ini mirip dengan
upacara Ngaben yang biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali.
Di Barito Selatan upacara ini dilakukan oleh masyarakat penganut
agama Hindu/Kaharingan.
Di Barito Selatan Upacara ritual kematian yang dianut oleh
agama Hindu/Kaharingan terbagi menjadi 3 (tiga) jenis antara lain :
a. Upacara tingkat Kecil/Alit
1) Ngandrei apui ramai/laba;
2) Ngalangkang 1 Tahun;
3) Ngalangkak 2 Tahun;
4) Ngalanhkang 3 Tahun.
b. Upacara tingkat Sedang/Madya
1) Namak;
2) Ngungkar Tulang.
c. Upacara tingka Besar/Gala
1) Wara Biasa;
2) Wara Nabela;
3) Wara Naluyang;
4) Wara Tutui Kanen matei Iwek;
5) Wara Tutui Kanen metei Karewau;
6) Wara Ngariring Nyalimat;
7) Gawe;
8) Manenga Lewu.99
Dalam hal penulisan hasil penelitian ini, penulis lebih fokus
untuk membahas terkait dengan upacara adat Wara. Upacara adat
Wara termasuk didalam kategori upacara tingkat besar/gala dan hanya
satu kali dalam dilakukan oleh pihak keluarga yang
menyelenggarakan. Terkait dengan waktu pelaksanaan dan pembagian
rangkian ritual didalam upacara adat wara ini, maka upacara adat wara
dibedakan menjadi 6 (enam) kategori,antara lain:
1. Wara Biasa, upacara ini dilakukan hanya satu kali
pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang
99 Hasil Musyawarah Daerah Bidang Upacara Ritual Agama Hindu Kaharingan
direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau, kaleker diau dan kahing diau dengan jumlah 7 (tujuh) lapak:
a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;
b. Saramin manu diau 1 (satu) lapak;
c. Kaleker diau 4 (emapt) lapak;
d. Kahing diau 1 (satu) lapak.100
2. Wara Nabela, upacara ini dilakukan hanya satu kali
pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau, kaleker diau dan kahing diau dengan jumlah 7 (tujuh) lapak:
a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;
b. Saramin manu diau 1 (satu) lapak;
c. Kaleker diau 4 (emapt) lapak;
d. Kahing diau 1 (satu) lapak.101
3. Wara Naluyan, upacara ini dilakukan hanya satu kali
pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Pada dasarnya rangkaian upacara adat wara kategori ini sama dengan rangkaian upacara adat wara Biasa dan uapacra adat wara Nabela namun yang membedakan ialah dalam penyajian rangkaian ritual adatnya. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau,dan kaleker diau
dengan jumlah 7 (tujuh) lapak.102
4. Wara Tutui Kanen Matei Iwek, upacara ini dilakukan hanya
satu kali pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun
yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Yang membedakan upacara wara ini dengan 2 (dua) kategori upacara wara sebelumnya ialah dalam upacara ini hewan yang harus di korbankan adalah Babi sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini antara lain:
a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;
b. Saramin diau 1 (satu) lapak;
c. Kahing diau 1 (satu) lapak;
d. Kaleker diau 4 (empat) lapak;103
5. Wara Tutui Kanen Matei Karewau, upacara ini dilakukan
hanya satu kali pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 14 (empat belas) hari/malam. Didalam upacara adat wara ini hewan yang harus dikorbankan adalah kerbau sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini anatra lain:
a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;
b. Sarami diau 3 (tiga) lapak;
c. Kahing diau 3 (tiga) lapak;
d. Kaleker diau 7 (tujuh) lapak.104
6. Wara Nalimat, upacara ini dilakukan hanya satu kali
pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 14 (empat belas) hari/malam. Sama halnya dengan upacara wara yang sebelumnya, hewan yang harus dikorbankan adalah kerbau sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini antara lain:
a. Saung manu diau 2 (dua) lapak;
b. Saramin diau 5 (lima) lapak;
c. Kahing diau 5 (lima) lapak;
d. Kaleker diau 9 (Sembilan) lapak.105
Dalam pelaksanaan Upacara Adat Wara di Barito Selatan itu
sendiri, upacara adat yang sering dilaksanakan termasuk kategori
upacara adat Wara Tutui Kanen Matei Iwek. Dalam penelitian ini
penulis memfokuskan penelitian pada kategori upacara adat wara
tersebut.
Seperti yang sudah di jelaskan diatas sebelumnya, dalam
upacara adat Wara Tutui Kenen Iwek, ritual adat yang disajikan antara
lain; saung manu diau, saramin diau, kahing diau, dan kaleker diau.
a. Saung manu diau merupakan permainan sabung ayam dimana
dalam ritual ini 2 (dua) ekor ayam diadu dengan dipasangkan
taji atau pisau kecil pada kaki dua ayam jantan yang diadu.
Taji berfungsi sebagai senjata untuk membunuh lawannya.
Rangkaian ritual ini dimaknai bahwa pertarungan 2 (dua)
ekor ayam tersebut ialah pertarungan antara roh yang telah
meninggal dengan manusia sebagai lambang agar roh
mendapat kemakmuran di Lewu Tatau (surga);106
b. Saramin diau merupakan permainan kartu yang dimainkan
oleh masyarakat yang mengikuti ritual adat tesebut.
Permainan kartu ini biasanya dimainkan sembari berkumpul
bersama masyarakat sekitar tempat pelaksanaan upacara adat.
Permainan ini dilakukan untuk memberikan hiburan kepada
roh yang diupacara adatkan, karena masyarkat penganut
Agama Hindu/Kaharingan dan keluarga yang
melaksakanakan upacara tersebut mempercayai bahwa
106
permainan kartu merupakan permainan yang dilakukan untuk
memberikan hiburan kepada roh orang yang telah meninggal
sehinggal jalan menuju Lewu Tatau (surga) dibukakan dan
diberi kelancaran;107
c. Kahing diau merupakan mainanan dadu dalam bentuk gasing
putar yang kemudia diputarkan. Sama halnya dengan saramin
diau, permainan kahing diau ini dianggap sebagai permainan
yang dilakukan untuk memberikan hiburan kepada roh orang
yang telah meninggal sehingga jalan menuju Lewu tatau
(surga) diiringi dengan kebahagiaan;108
d. Kaleker diau merupakan suatu ritual yang didalamnya
menyajikan permainan judi yang sering dikenal dengan
istilah Dadu Gurak. Dalam upacara adat ini, penyelenggara
menyediakan 4 (empat) lapak yang digunakan untuk
permainan dadu, kemudian masyarakat sekitar tempat
berlangsungnya upacara adat tersebut dapat ikut bermain
dengan mempertaruhkan sejumlah uang untuk menebak
angka dadu yang akan keluar. Rangkaian ritual ini dimaknai
107
Wawancara dengan Bapak Yanto selaku anggota Majelis Dearah Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Barito Selatan, 30 Agustus 2016 di Dinas Perpustakaan dan Kerarsipan Daerah Kabupaten Barito Selatan.
108
sebagai jalan untuk roh orang meniggal yang diupacara
adatkan agar dapat sampai ke Lewu Tatatu (surga).109
Dalam pelaksanaan upacara adat wara tersebut, pihak
penyelenggara harus mengajukan permohonan izin dan permohonan
rekomendasi untuk melaksanakan upacara adat tersebut kepada:
a. Kepolisian Sektor Dusun Selatan dan Kepolisian Resot
Barito Selatan untuk perihal perijinan mengumpulkan orang banyak;
b. Panggulu Agama Hindu Kaharingan Kelurahan Buntok Kota,
Barito Selatan;
c. Majelis Resort Agama Hindu Kaharingan Kecamatan Dusun
Selatan, Barito Selatan;
d. Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Barito
Selatan;
e. Ketua Rukun Tetangga (RT) tempat upacara adat wara
berlangsung.110
b.
Dadu Gurak dalam Prespektif Ajaran Agama
Hindu/Kaharingan.
Dari 4 (empat) jenis rangkaian ritual adat yang disajikan dalam
upacara adat wara, kemudian penulis memfokuskan kepada ritual adat
Kaleker Diau yang menyajikan permainan Dadu Gurak.
Pada dasarnya, setiap ritual memiliki sejarahnya masing –
masing. Pengaruh dari kebiasaan yang membudaya dan agama dari
masyarakat yang melaksanakan ritual adat tersebut yang menjadikan
109 Wawancara dengan Bapak Yanto selaku anggota Majelis Dearah Agama Hindu
Kaharingan Kabupaten Barito Selatan, 30 Agustus 2016 di Dinas Perpustakaan dan Kerarsipan Daerah Kabupaten Barito Selatan.
110 Permohanan Izin Pelaksanaan Upacara Ritual Rukun Kematian Agama Hindu
suatu upacara adat akan berbeda dari ajaran aslinya. Tidak diketahui
jelas bagaimana ritual adat Kaleker Diau dapat menyajikan permainan
Dadu Gurak, namun didalam hukum adat maupun ajaran agama
Hindu/Kaharingan permainan dadu gurak pada dasarnya tidak diakui
sebagai ritual yang sebenarnya. Hal tersebut dikuatkan oleh
pernyataan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kalimantan Tengah
mengatakan bahwa permainan Dadu Gurak bukanlah merupakan adat
Dayak, bahkan tidak ada dalam adat Dayak itu sendiri dan didalam
ajaran agama Hindu/Kaharingan.111
Dadu Gurak hanyalah suatu kebiasaan yang dianggap sebagai
ritual adat yang dilakukan masyarakat seketika ada Upacara Adat
Wara. Anggapan dari masyarakat tersebut diartikan bahwa Dadu
Gurak ini adalah suatu ritual yang memang harus dilaksanakan untuk
memenuhin salah satu syarat dalam Upacara Adat Wara tersebut,
sehingga pada saat upacara adat berlangsung permainan Dadu Gurak
selalu diadakan didalam upacara tersebut. Namun karena anggapan
oleh masyartakat tersebut mengakibatkan bahwa Upacara Adat Wara
tidak murni lagi karena adanya kebiasaan yang memang pada
dasarnya hal tersebut bukan merupakan ritual adat yang sebenarnya.
Hal ini pun diakui oleh Polres Barito Selatan bahwa Upacara Adat
111 Hizbut Tahrir Indonesia, HTI Kalteng “Kebiasaan Judi Bukan Adat Dayak!”,
Wara tidak murni lagi karena telah melibatkan Bandar judi dan
permainan judi seperti Dadu Gurak.112
c.
Pelaksanaan Ritual Adat Dadu Gurak
Pada dasarnya pelaksanaan Upacara Ritual Rukun Kematian
Agama Hindu/Kaharingan terkhususnya Upacara Adat Wara di Barito
Selatan tidak dilaksanakan setiap tahunnya, tergantung dengan pihak
keluarga yang ingin melaksanakan upacara tersebut. Tidak
dilaksanakan setiap tahunnya dalam hal ini dimaksudkan ialah
terkadang dengan selang waktu 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahun
setelah Upacara Adat Wara sebelumnya dilaksanakan, baru kemudian
ada dilaksanakannya Upacara Adat Wara kembali. Namun tidak
menutup kemungkinan juga dapat dilaksanakan ditahun berikutnya
setelah Upacara Adat Wara sebelumnya dilaksanakan, karena untuk
pelaksanaan upacara adat ini kembali lagi kepada pihak keluarga yang
ingin melaksanakan upcara tersebut, asalkan tidak melewati batas
ketentuan waktu pelaksanaan Upacara Adat Wara seperti yang telah
dijelaskan di sub bab sebelumnya.
Pelaksanaan Upacara Adat Wara di Barito Selatan yang menjadi
objek penelitian oleh penulis ialah Upacara Ritual Adat Rukun
Kematian Agama Hindu/Kaharingan “Wara Tutui Kanen Iwek” yang
dilaksanakan mulai tanggal 24 Agustus 2016 sampai dengan 28
112 Antara Kalteng, Polres Barsel Bubarkan Judi di Ritual, diakses dari
Agustus 2016 di Kelurahan Buntok Kota, RT. 016, RW. 002,
Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan.
Seluruh ritual dalam Upacara Adat Wara dilakukan sepanjang
tanggal 24 Agustus 2016 sampai dengan 28 Agustus 2016. Ritual
yang dilakukan antara lain:
1) Hari pertama Rabu, tanggal 24 Agustus 2016
a) Pembukaan, dimana ketua panitia pelaksana Upacara
Adat Wara ini yang merupakan anak dari arwah yang
diupacara adatkan menyampaikan maksud dan tujuan
dilaksanakannya upacara adat tersebut untuk
menghantarkan arwah orang tua dari keluarga yang
melaksanakan upacara tersebut;
b) Basarah, pihak keluarga menyerahkan sesajen kepada
Kandong/Wadian Wara sesuai dengan petunjuk yang
telah diberikan. Sesajen yang diserahkan berupa :
(1) Gong;
(2) Uang logam;
(3) Beras putih;
(4) Beras kuning;
(5) Dupa;
(6) Lilin;
(7) Daun sawang;
(8) Bunga;
(10)Tuak adat.113
c) Pener Adat, dalam pener adat ini seluruh pihak yang
terlibat seperti keluarga pelaksana membicarakan hal
yang terkait dengan tata cara pelaksanaan ritual bersama
Kandong/Wadian Wara, kemudian membicarakan terkait
dengan denda adat apabila terjadi keributan yang
mengakibatkan kegiatan terhambat/gagal/melanggar
ketentuan adat. Denda berupa :
(1) Menggantikan seluruh biaya pelaksanaan upacara;
(2) 2 (dua) buah sangku atau mangkuk kuningan yang
berasal dari tembaga;
(3) 5 (lima) buah penduduk atau sesajen lengkap dengan
isi perlengkapannya sesuai dengan persyaratan dari
Kandong/Wadian Wara;
(4) 20 (dua puluh) gram emas murni;
(5) 2 (dua) buah gong;
(6) 14 (empat belas) buah talam atau nampan;
(7) Tampung tawar selengkapnya sesuai dengan
petunjuk Kandong/Wadian Wara;114
Ketiga rangkaian kegiatan tersebut dilakukan dalam
bentuk suatu ibadah singkat dengan tatacara Agama
113 Wawancara dengan Bapak Rayuanto selaku Kandong/Wadian Wara tanggal 23
Agustus 2016, di lokasi berlangsungnya Upacara Adat Wara, Jl. Panglima Batur Gg. Karya RT. 016, RW. 002.
114 Wawancara dengan Bapak Diro Asman, selaku Ketua Panitia Pelaksana Upacara
Hindu/Kaharingan yang dilakukan oleh
Kandong/Wadian Wara dan dihadiri oleh masyarakat
sekitar tempat berlangsungnya Upacara Adat Wara.
2) Hari kedua Kamis, tanggal 25 Agustus 2016, melaksanaan
Wara. Dihari kedua ini, segala rangkaian ritual upacara adat
dilakukan, seperti saung manu diau, saramin diau, kahing
diau, dan kaleker diau. Rangkaian ritual tersebut diikuti
oleh masyarakat sekitar tepat berlangsungnya Upacara Adat
Wara.
3) Hari ketiga Jumat, tanggal 26 Agustus 2016, melanjutkan
kegiatan Ritual Wara. Kegiatan yang dilakukan sama
halnya dengan kegiatan pada hari kedua.
4) Hari keempat Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016, membuat
babea/ membuat Panguta Diaw/ sesajen untuk Upacara
Ritual. Segal bentuk sesajen untuk persembahan
dipersiapakn oleh keluarga yang melaksanakan upacara adat
tersebut seperti hewan babi, ayam, beras dan lain
sebagainya sesuai dengan permintaan dari Kandong/Wadian
Wara.
5) Hari kelima Minggu, tanggal 28 Agustus 2016
a) Mengantar panguta diau atau sesajen ke Pemakaman,
segala sesajen yang telah disediakan kemudian
diantarkan ke makam orang (Arawah Diau/ Orang yang
melaksanakan upacara adat ini. Dalam penelitian ini
yang diritual adatkan ialah orang tua laki – laki (ayah)
dari keluarga yang melaksanakan Upacara Adat Wara
ini. Setelah sesajen disediakan dan keluarga berkumpul,
kemudian anak dari arwah diau membongkar makam
arwah diau dan mengambil tulang – tulang dari arwah
diau tersebut yang sebelumnya dibersihkan terlebih
dahulu dengan air yang berada didalam gong dan