• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP terhadap Permainan Dadu Gurak dalam Upacara Adat Wara di Barito Selatan T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP terhadap Permainan Dadu Gurak dalam Upacara Adat Wara di Barito Selatan T1 BAB II"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

Tinjuan Pustaka

1.

Tinjauan Mengenai Perjudian

a.

Pengertian Perjudian

Segala bentuk perjudian pada hakekatnya adalah suatu

perbuatan dimana didalamnya ada pertaruhan antara menang dan

kalah dengan mengacu kepada untung – untungan para pemainnya.1

Pada umumnya dalam perjudian yang dijadikan sebagai taruhan

adalah berupa uang dengan nominal yang tidak menentu bahkan tidak

ada batasnya berapa nominal uang yang akan dipertaruhkan. Perjudian

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama, kesusilaan

dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan

Negara ditinjau dari kepentingan nasional.

Perjudian atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut

kamus besar Bahasa Indonesia (1989) adalah:

Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan. Berjudi adalah memperatuhkan sejumlah uang atau

harta dalam permainan tebakan berdasarkan

kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah

1 Wikipedia Indonesia, Perjudian, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Perjudian

(2)

uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah

uang atau harta semula.2

Dalam presfektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak

pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubung dengan itu,

dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang

Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana

perjudian sebagai kejahatan.

Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang

dikatakan permainan judi ialah:

Tiap – tiap permaianan, dimana pada umumnya

kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau

permainan lain – lainnya yang tidak diadakannya

antara mereka yang turut berlomba atau bermain,

demikian juga segala pertaruhan lainnya.3

Adapun yang dihukum menurut Pasal ini ialah :

a. Mengadakan atau memberi kesempatan main judi

tersebut sebagai pencaharian. Seorang Bandar atau orang lain yang sebagai perusahaan membuka perjudian, orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Di sini tidak perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum, meskipun di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup sudah cukup, asal perjudian itu belum mendapat izin dari yang berwajib;

b. Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan

untuk main judi kepada umum. Di sini tidak perlu sebagai pencaharian, tetapi harus di tempat umum

2 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://kbbi.web.id/judi

(diakses tanggal 6 Maret 2017)

(3)

atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Inipun apabila telah ada izin dari yang berwajib, maka tidak di hukum;

c. Turut main judi sebagai pencaharian.4

Di Indonesia, selain permainan judi dipandang sebagai hal yang

bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila,

permainan judi juga dipandang sebagai suatu hal yang dapat

membahayakan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat Bangsa

dan Negara. Adanya larangan permainan judi ditingkatkan menjadi

kejahatan dengan ancaman pidana yang sangat berat, oleh karena itu

menjadi kewajiban semua pihak untuk ikut berperan aktif dalam

menanggulangi, memberantas, dan paling tidak mencegah timbulnya

perjudian tersebut.

b.

Unsur

Unsur Perjudian dalam KUHP

Berkaitan dengan masalah judi atau perjudian yang menjadi

salah satu rangkaian ritual adat, hal ini bukan lagi dianggap masalah

yang sepele. Judi atau perjudian merupakan suatu tindak pidana yang

sudah jelas tercantum didalam Pasal 303 KHUP dan 303 bis KUHP.

Tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur

dalam Pasal 303 memiliki unsur subjektif dan unsur – unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur – unsur yang melekat

pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur

objektif adalah unsur – unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan – keadaan, yaitu di dalam keadaan –

(4)

keadaan mana tindakan – tindakan dari si pelaku itu

harus dilakukan.5

Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal

303 KHUP adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1)

angka 1 KUHP melarang dilakukannya dua macam

perbuatan, masing – masing yakni:

a. Kesengajaan melakukan sebagai usaha yakni

perbuatan – perbuatan menawarkan atau

memberikan kesempatan untuk bermain judi;

b. Kesengajaan turut serta sebagai usaha dalam usaha

menawarkan atau memberikan kesempatan untuk

bermain judi.6

1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam

ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif

ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif

meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai

hak untuk itu’,‘melakukan sebagai usaha’,

‘menawarkan atau memberikan kesempatan’,

‘untuk bermain judi’.7

a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’, oleh

pembentuk undang – undang telah diletakkan

didepan unsur – unsur objektif.8 Untuk

memenuhi unsur kesengajaan tersebut, kepada

pelaku maka harus dapat dibuktikan tentang :

(1) Adanya kehendak atau maksud pelaku

untuk menjadikan kesengajaan menawarkan

5 P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1997, hlm. 193

6 P.A.F. Lamintang, Delik Delik Khusus Tindak Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung,

1990, hlm. 319.

7

Ibid., hlm. 320.

(5)

atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha;

(2) Adanya kehendak atau maksud pelaku

untuk menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk bermain judi;

(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang ia

tawarkan atau yang kesempatannya ia

berikan itu adalah untuk bermain judi.9

b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

pidana tersebut;10

c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur

ini menunjukan bahwa pelaku haruslah

merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau

memberikan kesempatan untuk bermain judi;11

d) Unsur objektif ‘melakukan sebagai suatu

usaha’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang membuat perbuatan atau kegiatanya menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi itu sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk

mendapatkan keuntungan material;12

e) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan

kesempatan’ untuk bermain judi, unsur ini menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang terbukti melakukan perbuatan atau

kegiatan menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk bermain judi, padahal dia tidak memiliki izin dari kekuasaan yang berwenang untuk melakukan perbuatan atau

kegiatan tersebut sebagai usaha;13

9 Ibid.

10 Ibid., hlm. 321. 11 Ibid.

(6)

f) Unsur objektif ‘untuk bermain judi’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang melakukan sebagai usaha, yakni perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada orang untuk

bermain judi.14

2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam

ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah kesengajaan turut serta melakukan sesuatu dalam usaha orang lain menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 1 terdiri dari unsur subjektif dan unsur

objektif. Unsur subjektif ialah unsur ‘dengan

sengaja’ dan unsur objektif meliputi unsur

‘barangsiapa’,‘tanpa mempunyai hak’, ’turut

dengan melakukan sesuatu’, ’dalam usaha orang

lain tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi’.15

a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh

pembentuk undang – undang ditempatkan di

depan unsur – unsur turut serta, melakukan

sesuatu dan daartoe, yang menunjukan pada usaha orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dengan sengaja telah dilakukan tanpa hak.16

Untuk memenuhi unsur dengan sengaja

tersebut, kepada pelaku maka harus dapat

dibuktikan tentang :

(1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;

(2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan

sesuatu;

(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa yang

dilakukan orang lain itu merupakan suatu

(7)

kesengajaan menawarkan atau member kesempatan untuk bermain judi, yang telah dilakukannya sebagai suatu usaha dan tanpa

hak.17

b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

menunjukan orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

pidana tersebut;18

c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur

ini menunjukan bahwa pelaku haruslah

merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk melakukan sebagai usaha yakni perbuatan menawarkan atau

memberikan kesempatan untuk bermain judi;19

d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan

sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang dengan melakukan sesuatu tindakan tertentu telah memungkinkan para bandar judi

tanpa hak menawarkan atau memberi

kesempatan untuk bermain judi;20

e) Unsur objektif ‘daartoe atau kesengajaan tanpa

hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bemain judi’, unsur ini menunjukan bahwa objek dari keturutsertaan pelaku yang merupakan suatu kesengajaan tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi yang dilakukan oleh orang lain.21

17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid.

(8)

2. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1)

angka 2 KUHP melarang dilakukannya dua macam

perbuatan,22 masing masing yakni:

a. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja menawarkan

atau memberikan kesempatan kesempatan pada khalayak ramai untuk bermain judi;

b. Tanpa mempunyai hak, dengan sengaja turut serta

dalam perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain

judi dengan melakukan sesuatu.23

1) Tindak pidana pertama yang dimaksud didalam

ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif

ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif

meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai

hak’, ‘menawarkan atau memberikan kesempatan

untuk bermain judi kepada khalayak ramai’.24

a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh

pembentuk undang – undang ditempatkan di

depan unsur – unsur menawarkan atau

memberikan kesempatan untuk bermain judi

dan kepada khalayak ramai.25 Untuk memenuhi

unsur kesengajaan tersebut, kepada pelaku maka

harus dapat dibuktikan tentang :

(1) Tentang adanya kehendak pelaku untuk

menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi;

(2) Tentang adanya kehendak atau setidak –

tidaknya tentang adanya pengetahuan

22 Ibid. 23 Ibid. 24

Ibid., hlm. 330.

(9)

pelaku, bahwa penawaran atau kesempatan untuk bermain judi itu telah ia berikan

kepada khalayak ramai.26

b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

pidana tersebut;27

c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur

ini menunjukan bahwa pelaku haruslah

merupakan orang yang tidak mendapat izin dari

kekuasaan yang berwewenang untuk

menawarkan atau memberikan kesempatan

untuk bermain judi kepada khalayak ramai;28

d) Unsur objektif ‘menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk bermain judi kepada

khalayak ramai’, unsur ini menunjukan bahwa pelaku harus terbukti merupakan orang yang menawarkan atau memberikan kesempatan

untuk bermain judi kepada khalayak ramai.29

2) Tindak pidana kedua yang dimaksud didalam

ketentuan Pasal 303 ayat (1) angka 2 terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif

ialah unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur objektif

meliputi unsur ‘barangsiapa’, ‘tanpa mempunyai

hak’, ‘turut serta dengan melakukan sesuatu’,

‘dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak ramai’.30

a) Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ itu oleh

pembentuk undang – undang ditempatkan

26 Ibid., hlm. 331. 27 Ibid.

28 Ibid.

29 Ibid.

(10)

didepan unsur – unsur turut serta, melakukan

sesuatu dan daartoe.31 Untuk memenuhi unsur

dengan sengaja tersebut, kepada pelaku maka

harus dapat dibuktikan tentang :

(1) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta;

(2) Adanya kehendak pelaku untuk melakukan

sesuatu;

(3) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia telah

turut serta dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk

bermain judi.32

b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini

menunjukan orang yang apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak

pidana tersebut;33

c) Unsur objektif “tanpa mempunyai hak”, unsur

ini menunjukan bahwa pelaku haruslah

merupakan orang yang tidak mendapat izin dari

kekuasaan yang berwewenang untuk

menawarkan atau memberikan kesempatan

untuk bermain judi kepada khalayak ramai;34

d) Unsur objektif “turut serta dengan melakukan

sesuatu”, unsur ini menunjukkan harus

dilakukannya in onderneming atau dalam

bentuk tindakan – tindakan yang

memungkinkan kehendak orang lain untuk menawarkan atau memberikan kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai itu dapat

menjadi kenyataan;35

31 Ibid., hlm. 333. 32 Ibid.

33 Ibid., hlm. 334. 34 Ibid.

(11)

e) Unsur objektif “dalam perbuatan orang lain yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk bermain judi kepada

khalayak ramai”, unsur ini menunjukkan bahwa

pelaku harus merupakan orang yang terbukti telah tanpa hak turut serta dalam perbuatan orang lain, yakni tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak ramai untuk bermain judi dengan melakukan sesuatu

perbuatan tertentu.36

Perbedaan antara ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP dengan ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah:

(1) Larangan pertama didalam ketentuan pidana yang

diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak menawarkan atau

memberikan kesempatan kepada khalayak ramai

untuk bermain judi, dengan keterangan bahwa

perbuatan menawarkan atau memberikan

kesempatan kepada khalayak ramaiuntuk bermain

judi itu tidak perlu dilakukan oleh pelaku sebagai

suatu usaha. Sedangkan larangan pertama di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP ialah larangan untuk membuat

perbuatan meneawarkan atau memberikan

kesempatan bermain judi itu sebagai suatu usaha,

dengan keterangan bahwa penawaran atau

pemberian kesempatan untuk bermain judi itu tidak

perlu ditunjukan kepada khalayak ramai.

(2) Larangan kedua didalam ketentuan pidana yang

diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP itu ialah larangan untuk tanpa hak turut sera dalam

perbuatan menawarkan atau memberikan

kesempatan bermain judi kepada khalayak ramai,

yang oleh pelakunya tidak perlu dilakukan sebagai

suatu usaha. Sedangkan larangan kedua didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP ialah larangan untuk tanpa hak turut serta dalam perbuatan atau menawarkan kesempatan bermain judi, yang oleh pelakunya

telah dilakukan sebagai suatu usaha, akan tetapi

tidak perlu ditunjukan kepada khalayak ramai.37

(12)

3. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP, ialah tanpa hak melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta dalam permainan judi. Dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP tersebut, hanya terdiri dari unsur objektif saja, antara lain

“barangsiapa”, “tanpa mempunyai hak, turut serta”, “sebagai suatu usaha dalam permainan judi”.

Walaupun pembentuk undang – undang tidak

mensyaratkan sesuatu unsur subjektif dalam rumusan tindak pidana tersebut, akan tetapi karena sudah jelas bahwa tindak pidana tersebut merupakan suatu

opzettelijk delictatau suatu delik yang harus dilakukan

dengan sengaja.38

a) Untuk membuktikan pelaku mempunyai

kesengajaan dalam melakukan tindak pidana

tersebut, kepada pelaku maka harus dapat dibuktikan

tentang :

(1) Adanya pengetahuan pelaku bahwa ia

sebenarnya tidak mempunyai izin dari

kekuasaan yang berwenang untuk melakukan sebagai suatu usaha yakni perbuatan turut serta di dalam permainan judi;

(2) Adanya kehendak pelaku untuk turut serta di

dalam permainan judi;

(3) Adanya kehendak pelaku untuk menjadikan

keturutsertaannya di dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha;

(4) Adanya pengetahuan pelaku bahwa

keturutsertaannya sebagai suatu usaha itu merupakan kerturutsertaan dalam permainan judi.39

b) Unsur objektif ‘barangsiapa’, unsur ini menunjukan

orang yang apabila dia memenuhin semua unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 303

(13)

ayat (1) angka 2 KUHP, maka ia dapat disebut

sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut;40

c) Unsur objektif ‘tanpa mempunyai hak’, unsur ini

menunjukan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yang tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwewenang untuk menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi sebagai suatu

usaha;41

d) Unsur objektif ‘turut serta dengan melakukan

sesuatu’, unsur ini menunjukan bahwa orang yang

tanpa hak turut serta dalam permainan judi.42

e) Unsur objektif ‘sebagai suatu usaha’, unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus merupakan orang membuat keturutsertaannya dalam permainan judi itu sebagai suatu usaha, dengan mensyaratkan bahwa pelaku harus telah terbukti melakukan perbuatan

dengan berulang kali atau setidak – tidaknya

sebanyak lebih dari satu kali;43

f) Unsur objektif ‘dalam permainan judi’, unsur ini

menunjukkan bahwa pelaku harus terbukti

merupakan orang yang membuat keturutsertaannya

sebagai suatu usaha dalam permainan judi.44

Unsur – unsur tindak pidana perjudian menurut Pasal

303 bis KHUP adalah sebagai berikut :

1. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan

pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1

KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain

40 Ibid. 41 Ibid.

42 Ibid., hlm. 337. 43 Ibid.,

(14)

“barangsiapa”, “memakai kesempatan yang terbuka

untuk berjudi” dan “yang sifatnya bertentangan

dengan salah satu dari ketentuan ketentuan yang

diatur dalam Pasal 303 KUHP”.45

a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang

yang apabila ia terbukti memenuhi unsur – unsur

selebihnya dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP maka ia dapat

disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.46

b. Unsur objektif “memakai kesempatan yang terbuka

untuk bermain judi” itu merupakan perbuatan yang dilarang didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP. Yang dimaksud memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi itu bukanlah setiap pemakaian kesempatan yang terbuka karena ada orang yang memberikan

kesempatan untuk berjudi, misalnya seperti

berjualan di tempat dimana kesempatan untuk bemain judi itu telah diberikan oleh seseorang, melainkan hanya pemakaian kesempatan dengan

berjudi atau main judi.47

c. Unsur objektif “yang sifatnya bertentangan dengan

salah satu dari ketentuang ketentuan yang diatur dalam Pasal 303 KUHP” ialah bukan bertindak sebagai orang yang memberikan kesempatan untuk berjudi melainkan orang yang memakai kesempatan

untuk berjudi.48

2. Tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan

pidana yang diatur dalam Pasal 303 bis ayat (1) angka 2

KUHP terdiri dari unsur – unsur objektif antara lain

“barangsiapa”, “turut serta berjudi” dan “di atas atau

ditepi jalan umum atau disuatu tempat yang terbuka untuk umum”.49

(15)

a. Unsur objektif “barangsiapa” menunjukan orang

yang apabila orang tersebut memenuhi unsur – unsur

selebihnya dari tindak pidana yang dimaksud didalam ketentuan yang diatur Pasal 303bis ayat (1) angka 2 KUHP, dan penyelengaraan dari perjudian yang bersangkutan itu ternyata tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwenang, maka ia dapat

disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.50

b. Unsur objektif “turut serta berjudi”, kata turut serta

jangan diartikan sebagai keturutsertaan atau

deelnemen seperti yang dimaksud dalam ketentuan – ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP melainkan harus diartikan

dalam pengertiannya umum menurut bahasa sehari –

hari, sehingga orang yang in concreto berjudi itu

juga dapat disebut sebagai turut serta berjudi.51

c. Unsur objektif “di atas atau ditepi jalan umum atau

disuatu tempat yang terbuka untuk umum”. Yang dimaksud jalan umum itu ialah jalan yang diperuntukan bagi lalulintas umum. Tempat yang terbuka untuk umum itu ialah tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang yang ingin datang ke tempat tersebut. Kenyataan bahwa pada suatu saat tertentu, tempat tersebut sedang ditutup untuk umum, tidak menghilangkan sifatnya sebagai tempat

yang terbuka untuk umum.52

2.

Tinjauan Mengenai Upacara Adat

a.

Pengertian Upacara Adat

Upacara adat adalah merupakan salah satu tradisi atau bentuk

realisasi wujud kebudayaan yang berkembang di masyarakat

tradisional secara turun menurun dan masih dianggap memiliki nilai –

50 Ibid. 51 Ibid.

(16)

nilai yang masih cukup relevan bagi masyarakat.53 Upacara adat erat

kaitannya dengan ritual – ritual keagamaan yang dilakukan oleh

masyarakat berdasarkan kepercayaan yang dianut. Kepercayaan inilah

yang membuat masyarakat kemudian melakukan berbagai perbuatan

atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib

penguasa alam melalui ritual – ritual, baik ritual keagamaan (religious

ceremonies) maupun ritual – ritual adat lainnya.

Didalam hasil penelitian ini, penulis ingin menggambarkan

tentang Upacara Adat Wara di Barito Selatan yang pada umumnya

dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak Taboyan, Suku Dayak

Dusun Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Ngaju yang

menganut agama Hindu/Kaharingan. Didalam pelaksanaan Upacara

Adat Wara itu sendiri penulis kemudian memfokuskan kepada ritual

adat Kaleker Diau yang menyajikan pemainan Dadu Gurak.

Permainan Dadu Gurak ialah perminan dengan menggunakan dadu

balok dimana orang yang ikut bermain dalam permainan tersebut akan

mempertaruhkan sejumlah uang dengan nominal yang tidak terbatas

dan kemudian menebak mata dadu balok yang akan keluar setelah

diguncang oleh Bandar.

Seperti yang telah dipahami, bahwa upacara adat erat kaitannya

dengan ritual – ritual keagamaan dan dalam penelitian ini penulis

tidak hanya melihat dari perspektif keagamaan saja terkhususnya

agama Hindu/Kaharingan, namun penulis juga mencoba melihat dari

53 BASASTRA, Ijurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya”,

(17)

persfektif hukum adat dan hukum pidana adat terkait dengan ritual

adat Kaleker Diau yang menyajikan permainan Dadu Gurak ini.

b.

Hukum Adat

Secara umum hukum adat adalah suatu hukum yang hidup

karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat

sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam

keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.54

Istilah hukum adat dikemukanan pertama kali oleh Prof. Dr.

Christian Snouck Hurgronsye dalam bukunya yang berjudul “De Accheers” dan kemudian diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen

Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recth Van Nederland

Indie”.55 Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven berpendapat, hukum

adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak

mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasi (adat).56 Pendapat lain berasal dari Prof. Mr. Kusumadi

Pujosewoyo, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang “adat” dan sekaligus “hukum” pula.57

54 Soepomo, Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 3. 55 Bursar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), PT Pradya

Paramitha, Jakarta, 1981, hlm. 60.

56 Wikipedia Indonesia, Hukum Adat, diakses dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Menurut_Prof._Mr._Cornelis_van_Vollenhoven (pada tanggal 7 Maret 2017)

57 Prof. H.A.M. Effendy, Pengantar Tata Hukum Indonesia , Mahdi Offset, 1994, hlm.

(18)

Secara garis besar, pendapat para ahli tentang hukum adat dapat

disimpulkan sebagai hukum suku bangsa yang berlaku, yang mengatur

pertalian – pertalian hukum orang – orang dibidang kenegaraan,

kemasyarakatan, yang mempunyai akibat – akibat hukum tetapi tidak

dimuat dalam kitab Undang – Undang.58

Didalam teori Mazhab Sejarah Hukum, Friederich Karl Von

Savigny bependapat bahwa:

“Hukum kebiasaan atau hukum adat adalah salah satu

manifestasi dari hukum positif. Hukum adat,

menurutnya menjadi badge atau symbol atau penanda

dari adanya hukum positif yang diakui oleh masyarakat. Kontinuitas dalam hukum adat tidak dapat dijadikan ukuran bahwa hukum kebiasaan tersebut adalah hukum

positif secara total dan hukum kebiasaan (customary

law) bukanlah patokan absolute akan adanya hukum

positif. Hukum kebiasaan hanya menjadi salah satu variabel dalam menentukan hukum positif, tetapi bukan sebagai penentu akan adanya hukum positif. Selain itu

ada peristiwa – peristiwa lain yang harus

dipertimbangkan untuk menetapkan hal tersebut sebagai hukum positif. Dasar dari hukum positif itu sendiri adalah kesadaran dan semangat merakyat

(bangsa) yang bersangkutan.59

R. Soepomo mengelaborasikan hubungan individu dan

masyarakat dalam hukum adat, demikian:

“Paham hukum tradisional, bahwa individu pada asasnya bebas dalam laku perbuatannya, asal tidak

melanggar batas – batas hukum yang telah

ditetapkan baginya, tidak terdapat dalam hukum adat, dimana orang perorangan tidak mempunyai

hak – hak abstrak (misalnya, hak milik, padahal

yang mempunyai hak itu tidak memiliki apa – apa),

58 Dr. Bernard L Tanya,Hukum dalam Ruang Sosial, Genta Publising,Yogyakarta,

2011, hlm.108.

59 Antonius Cahyadi Fernando Manuliang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana,

(19)

melainkan kekuasaan – kekuasaan hukum yang konkret sebagai anggota persekutuan teritorial,

persekutuan geneologis (=darah) dan/atau

persekutuan lain”.60

Dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah peraturan yang

dapat dikatakan lebih luas daripada hukum namun juga tidak

sepenuhnya hukum. Hukum adat lebih luas dari pada hukum, karena

hukum adat mendahului dan merupakan titik – tolak hukum serta

merupakan peraturan hidup yang bersifat sakral dan ritual.61 Dilain

sisi hukum adat juga tidak sepenuhnya hukum, karena dalam

keanekaragamannya yang dinamis terus menerus meloloskan diri dari

pembentukan baku – kodifikasi.62

c.

Hukum Pidana Adat

Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda

“adat delicten recht” atau “hukum pelanggaran adat” dan istilah ini

dikenal dikalangan masyarakat adat.63 Hukum pidana adat adalah

hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang harus

diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah

menggangu keseimbangan masyarakat.64 Jika suatu peristiwa atau

perbuatan mengakibatkan kegoncangan terhadap keseimbangan dalam

60 Ibid., hlm. 109 dikutib dari R. Soepomo, hubungan Individu dan Masyarakat Dalam

Hukum Adat, Gita Karya, d.b Noor Komala 1963, hlm.10.

61 Ibid.

62 Ibid., hlm. 110.

(20)

berkehidupan masyarakat, baik peristiwa atau perbuatan itu legal atau

illegal, maka peristiwa atau perbuatan itu adalah melanggar hukum.

Hukum pidana adat memiliki sumber hukumnya baik tertulis

maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah

kebiasaan – kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus

menerus dan turun temurun oleh masyarkat adat yang bersangkuat.65

Sedangkan sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua

peraturan – peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit

atau bahan lainnya.66

Pemberlakuan hukum pidana adat ialah hukum pidana adat akan

tetap berlaku selama masyarakat hukum adat itu masih ada dan tetap

mempertahankannya. Semuanya itu sangat bergantung pada “desa”

(tempat), “kala” (waktu) dan “patra” (keadaan).67 Pemberlakuan

hukum pidana adat tersebut sejalan dengan teori Mazhab Sejarah

Hukum, Friederich Karl Von Savigny yang berpandangan bahwa

hukum positif muncul dalam masyarakat dan dalam kesadaran umum

dari rakyat yang menciptakan dan menumbuhkan hukum positif.68

65 I Made Widnyana, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana , PT.

Fikahati Aneska, Jakarta, 2013, hlm. 111.

66 Ibid., hlm. 114. 67 Ibid., hlm.115. 68

(21)

“Hukum positif dalam pengertian ini adalah hukum yang tercatat maupun yang tertulis bahkan hukum adat masyarakat setempat, maka dari itu hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif

yang terbentuk sesuai dengan perjalanan dan

perkembangan masyarakat.”69

Dalam hukum pidana adat untuk membuktikan adanya suatu

pelanggaran maka harus ada terjadinya delik adat terlebih dahulu.

Menurut Prof . Mr. Cornelis van Vollen Hoven yang dimaksud dengan

delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun

dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan

adat yang kecil saja.70

Hilman Hadikusuma berpendapat terkait yang dimaksud dengan

delik adat ialah :

“suatu peristiwa atau perbuatan yang menggangu kesimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau dengan upacara adat”.71

Seperti yang telah dipahami, bahwa perbuatan – perbuatan yang

bertentangan dengan hukum adat ialah merupakan delik adat. Terkait

dengan masalah tersebut, Ter Haar menganggap bahwa suatu

pelanggaran (delik) ialah:

69 Ibid., hlm. 136, dikutip dari Soejono Soekanto dan Purnandi Purbatjaraka, aneka

Cara Pembedaan Hukum, Citra Bakti, bandung, 1994, hlm. 18.

70I Made Widnyana, op.cit.,, hlm. 19 dikutip dari Surjono Wignjodipuro, Pengantar dan

Azas – Azas Hukum Adat, PT. Alumni, Bandung, 1971, hlm. 316.

71

(22)

“setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap kesimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada

barang – barang kehidupan material dan immaterial

orang seorang, atau dari pada orang – orang banyak

yang merupakan satu keastuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat

ialah reaksi adat (adat reactie) karena reaksi mana

keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran

berupa barang –barang atau uang)”.72

Berdasarkan uraian Ter Haar, maka terganggunya keseimbangan

masyarakat dapat terjadi bukan saja terhadap suatu yang berwujud

nyata, akan tetapi juga terhadap suatu yang tidak bewujud dan hal ini

disebabkan oleh masyarakat hukum adat memiliki alam pikiran yang

komunalisme dan religious magis yang kuat.73

Jadi yang dimaksud dengan delik adat itu adalah perbuatan atau

kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban,

kemanan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum masyarakat

bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun

perbuatan penguasa sendiri.74

Dari beberapa pandangan tersebut, maka didalam hukum pidana

adat memiliki 2 (dua) kategori dalam terjadinya delik adat ialah

adanya tata – tertib adat yang dilanggar dan keseimbangan masyarakat

terganggu.

72 Ibid., hlm. 117 118, dikutip dari Tet Haar, B. Bzn., Asas asas dan Susunan

Hukum Adat, hlm. 128, Terjemahan Kng. Soebekti Poespnoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960.

73 Ibid., hlm. 118.

(23)

1) Tata-tertib Adat Dilanggar

Tata-tertib adat adalah ketentuan – ketentuan adat yang

bersifat tradisional yang harus ditaati oleh setiap orang dalam

pergaulan hidup bermasyarakat, seperti ketentuan – ketentuan

yang bersifat adat sebenarnya adat, adat-istiadat, adat nan diadatkan dan adat nan teradat. Apabila kesemua ketentuan adat itu ada yang dilanggar, maka terjadilah delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum adat dan masyarakat. Apabila reaksi dan koreksi itu tidak ada lagi, dan pihak yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran, maka walaupun menurut ketentuan yang berlaku peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran, maka hal tersebut tidak lagi merupakan delik. Hukum adat tidak mengenal sistem hukum yang statis, maka hukum pidana adat pun tidak statis. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru, begitu pula dengan pelanggaran terhadap hukum adat. Terjadinya delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar ketentuan adat yang dipertahankan oleh petugas hukum adat, dapat juga terjadi

dikarenakan yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan.75

2) Keseimbangan Masyarakat Terganggu

Keseimbangan dalam masyarakat akan menjadi terganggu dikarenakan peristiwa yang terjadi bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat menurut waktu, tempat dan keadaan. Keseimbangan itu dapat dibedakan

antara keseimbangan masyarakat pada umumnya,

keseimbangan kelompok, keseimbangan kerabat atau keluarga. Jadi terjadinya delik adat ada yang sifatnya bertentangan dengan rasa keadilan umum, bertentangan dengan asas kesamaan hak dan kerukunan yang umum, dan

ada yang hanya bertentangan dengan hak – hak kerukunan

kekerabatan, kekeluargaan atau perorangan. Dalam tata hukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai suatu delik ialah setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak, setiap pelanggaran sepihak terhadap kebendaan dalam hidup yang berwujud atau tidak berwujud dari orang seorang, dalam

bentuk kesatuan atau dari sejumlah orang (sekelompok).76

(24)

Apabila diamati dari beberapa definisi tentang tindak pidana

adat (delik adat), pada pokonya terdapat empat unsur yang

menunjukan kapan terjadinya suatu tindak pidana adat (delik adat)

antara lain:

1) Seketika adanya perbuatan yang dilakukan oleh

perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri;

2) Seketika perbuatan itu bertentangan dengan norma – norma

hukum adat;

3) Seketika perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan

kegoncangan karena menggangu keseimbangan dalam masyarakat; dan

4) Atas perbuatan tersebut kemudian menimbulkan reaksi dari

masyarakat yang berupa sanksi/kewajiban adat.77

Didalam menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya

asas legalitas sebagaimana diatur oleh sistem KUHP, dimana

mengharuskan adanya suatu undang – undang terlebih dahulu yang

mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang atau

tidak boleh dilakukan.78 Karena suatu tindak pidana adat terjadi

apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai

perbuatan yang tidak patut, dipandang akan menggangu keseimbangan

kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.79

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, hukum

muncul dalam masyarakat. munculnya hukum tersebut dalam

masyarakat mengandung 3 (tiga) nilai identias untuk terpenuhinya

tujuan dari hukum itu sendiri ialah Kepastian Kepastian Hukum,

77 I Made Widnyana, op.cit., hlm. 120. 78 Ibid.

(25)

Keadilan Hukum dan Kemanfaatan Hukum.80 Dalam hal penulisan hasil penelitian ini, penulis lebih memfokuskan kepada pembahasan

tentang Kepastian hukum yang mana pada hakikatnya merupakan

tujuan utama dari hukum. Hukum bertugas menciptakan kepastian

hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan

makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

orang.81

3.

Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum (onrechtmatige atau wederrechtelijk) dalam

hukum pidana merupakan hal pokok yang harus ada atau mutlak dan setiap

rumusan delik tindak pidana. Seperti yang diketahui, dalam hal untuk

terpenuhinya suatu rumusan delik didalam rumusan suatu tindak pidana Van

Hamel merumuskan 4 (empat) unsur delik (strafabaar feiti) sebagai berikut:

a. Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang – Undang

(eene wettelijke omschreven menschelijke gedraging);

b. Bersifat melawan hukum (onrechtmatig);

c. Yang patut dipidana (strafwaarding en aan schuld te wijten); dan

d. Dilakukan dengan kesalahan.82

80

Rasjuddin Dungge, Hubungan 3 Tujuan Hukum Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadialan, diakses dari http://rasjuddin.blogspot.co.id/2013/06/hubungan-3-tujuan-hukum-kepastian-hukum.html (pada tanggal 7 Maret 2017)

81

Rahman Amin, Falsafah Keadilan, Kepastia n Hukum dan Penegak Hukum, diakses dari http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2014/03/hukum-pidana.html (pada tanggal 7 Maret 2017)

(26)

Dari keempat unsur delik terpenuhinya rumusan tindak pidana,

didalam penelitan ini, penulis lebih memfokuskan untuk mebahas terkait

dengan unsur delik sifat melawan hukum (onrechtmatig) yang merupakan

unsur objektif dari suatu tindak pidana.

Bambang Poernomo membagi perbuatan melawan hukum ke dalam 2

(dua) bentuk, yaitu perbutan melawan secara formil dan perbuatan hukum

secara materil.83

a.

Sifat Melawan Hukum Formil

Sifat melawan hukum formil ialah dimana suatu perbuatan telah

cocok dengan rumusan undang – undang, maka perbuatan itu sudah

jelas bersifat melawan hukum.84 Dengan demikian, tidak perlu lagi

diselidiki lebih lanjut apakah perbuatan tersebut bersifat melawan

hukum atau tidak, dengan kata lain dengan sendirinya dianggap

perbuatan itu telah melawan hukum.

Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum formil, melawan

hukum hanya perlu dibuktikan apabila ada kata melawan hukum yang

tercantum didalam rumusan tindak pidana itu sendiri. 85 Apabila tidak

ada kata melawan hukum yang tercantum didalam pasal, maka

melawan hukum bukanlah unsur tindak pidana dan karenanya tidak

perlu dibuktikan.

83 Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakata, 1985, hlm. 132. 84 Frans Maramis, Hukum Pidana Umun dan Tertulis Di Indonesia, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2012, hlm. 108.

85

(27)

b.

Sifat Melawan Hukum Materil

Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan yang

dapat di buktikan melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat di

dalam undang – undang (tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas

– asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukum materil bukan

hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang saja,

tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam

pergaulan masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan melawan

hukum. Sifat melawan hukum materil menurut para ahli dibedakan

menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu sifat melawan hukum materil dalam

fungsi negatif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif.

a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif

Dalam arti negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan

seseorang memenuhi rumusan delik dalam undang – undang

(melawan hukum secara formil), namun apabila dilihat dari isinya ternyata bukan perbuatan yang tercela (tidak melawan hukum secara materiil), maka terhadapnya tidaklah

dikenakan suatu hukuman.86

b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif

Dalam arti positif diartikan meskipun suatu perbuatan tidak

memenuhi unsur delik, namun menurut masyarakat perbuatan

itu tercela, maka secara positif perbuatan itu dianggap

sebagai melawan hukum.87

Menurut penganut ajaran sifat melawan hukum yang material,

apabila kata melawan hukum tidak tercantum dalam rumusan pasal

(28)

maka unsur melawan hukum juga tidak perlu dibuktikan.88 Ajaran sifat melawan hukum meteril tidak memiliki fungsi positif, yaitu tidak

memiliki fungsi untuk menghukum seseorang yang perbuatannya

tidak dilarang undang – undang. Fungsi positif dari ajaran sifat

melawan hukum materil dihalangi dan dilarang oleh legalitas yang

terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.89

4.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan

rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris disebut

dengan law enforcement. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya

upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma – norma hukum secara

nyata90 sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan –

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara demi

mewujudkan ide – ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan

kepastian hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat,

namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan

hukum untuk mencapai suatu keadilan.91 Kendatipun demikian tidak dapat

pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu

88 Frans Maramis, op.cit. hlm. 110. 89

Ibid.

(29)

adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis),

belum tentu berguna bagi masyarakat. Penegakan hukum dapat ditinjau dari

2 (dua) sudut antara lain:

a. Subjeknya, dalam hal ini penegakan hukum dapat dilakukan oleh

subjek yang dalam arti luas dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjek yang dalam arti sempit.

Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri ada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya di artikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Objeknya, yaitu dari segi hukumnya dan dalam hal ini

pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.

Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai – nilai

keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun

nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut

penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 92

Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional penegakan hukum

adalah menyerasikan hubungan nilai – nilai dengan yang terjabarkan

didalam kaidah – kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah

dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.93

Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto adalah:

a. Faktor Hukum

92Ibid, hlm. 33 – 34.

93 Soejono Soekanto, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ,

(30)

Dalam penyelenggaran hukum dilapangan, ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadian yang disebabkan oleh konsepsi keadilan yang merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan normatif.

Suatu kebijakan atau tindakan yang sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

Hakikatnya penyelengaraan hukum bukan hanya mencakup law

enforcement namun peace maintenance karena penyelenggraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian. 94

b. Faktor Penegak Hukum

Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum atau aparatur penegak hukum ialah merupakan satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum. dalam proses berkerjannya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

1) Institusi penegak hukum berserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

2) Berdaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk

mengenai kesejahteraan aparatnya;

3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum meterielnya maupun hukum acaranya.

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah mempehatikan ketiga aspek tersebut, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara

nyata.95

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegak hukum mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contonya adalah pendidikan. Dalam hal ini berfokuskan kepada Polisi sebagai aparat penegak hukum, dimana pendidikan yang diterima oleh Polisi

cendrung kepada hal – hal yang praktis konvensional sehingga

banyak Polisi yang mengalami hambatan dalam tujuannya sebagai

aparat penegak hukum.96

(31)

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat yang bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Adanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsi hukum yang bersangkutan. Namun masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini

penegak hukum sebagai pribadi).97

e. Faktor Kebudayaan

Menurut Soerjono Soekanto, kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, dimana mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang

seharusnya dilakukan, dan apa yang dilarang.98

B.

Hasil Penelitian dan Analisis

1.

Hasil Penelitian

a.

Eksistensi Upacara Adat Wara di Barito Selatan

Masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah khususnya di

Barito selatan memiliki upacara adat yang sangat sakral yang

dinamakan Upacara Adat Wara. Upacara adat sakral ini mirip dengan

upacara Ngaben yang biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali.

(32)

Di Barito Selatan upacara ini dilakukan oleh masyarakat penganut

agama Hindu/Kaharingan.

Di Barito Selatan Upacara ritual kematian yang dianut oleh

agama Hindu/Kaharingan terbagi menjadi 3 (tiga) jenis antara lain :

a. Upacara tingkat Kecil/Alit

1) Ngandrei apui ramai/laba;

2) Ngalangkang 1 Tahun;

3) Ngalangkak 2 Tahun;

4) Ngalanhkang 3 Tahun.

b. Upacara tingkat Sedang/Madya

1) Namak;

2) Ngungkar Tulang.

c. Upacara tingka Besar/Gala

1) Wara Biasa;

2) Wara Nabela;

3) Wara Naluyang;

4) Wara Tutui Kanen matei Iwek;

5) Wara Tutui Kanen metei Karewau;

6) Wara Ngariring Nyalimat;

7) Gawe;

8) Manenga Lewu.99

Dalam hal penulisan hasil penelitian ini, penulis lebih fokus

untuk membahas terkait dengan upacara adat Wara. Upacara adat

Wara termasuk didalam kategori upacara tingkat besar/gala dan hanya

satu kali dalam dilakukan oleh pihak keluarga yang

menyelenggarakan. Terkait dengan waktu pelaksanaan dan pembagian

rangkian ritual didalam upacara adat wara ini, maka upacara adat wara

dibedakan menjadi 6 (enam) kategori,antara lain:

1. Wara Biasa, upacara ini dilakukan hanya satu kali

pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang

99 Hasil Musyawarah Daerah Bidang Upacara Ritual Agama Hindu Kaharingan

(33)

direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau, kaleker diau dan kahing diau dengan jumlah 7 (tujuh) lapak:

a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;

b. Saramin manu diau 1 (satu) lapak;

c. Kaleker diau 4 (emapt) lapak;

d. Kahing diau 1 (satu) lapak.100

2. Wara Nabela, upacara ini dilakukan hanya satu kali

pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau, kaleker diau dan kahing diau dengan jumlah 7 (tujuh) lapak:

a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;

b. Saramin manu diau 1 (satu) lapak;

c. Kaleker diau 4 (emapt) lapak;

d. Kahing diau 1 (satu) lapak.101

3. Wara Naluyan, upacara ini dilakukan hanya satu kali

pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Didalam uapacra adat ini ada hewan yang dikorbankan yang mana telah disesuaikan dengan petunjuk dari Kandong/Wadian Wara. Pada dasarnya rangkaian upacara adat wara kategori ini sama dengan rangkaian upacara adat wara Biasa dan uapacra adat wara Nabela namun yang membedakan ialah dalam penyajian rangkaian ritual adatnya. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini hanya saung diau, sarami diau,dan kaleker diau

dengan jumlah 7 (tujuh) lapak.102

4. Wara Tutui Kanen Matei Iwek, upacara ini dilakukan hanya

satu kali pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun

(34)

yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Yang membedakan upacara wara ini dengan 2 (dua) kategori upacara wara sebelumnya ialah dalam upacara ini hewan yang harus di korbankan adalah Babi sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini antara lain:

a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;

b. Saramin diau 1 (satu) lapak;

c. Kahing diau 1 (satu) lapak;

d. Kaleker diau 4 (empat) lapak;103

5. Wara Tutui Kanen Matei Karewau, upacara ini dilakukan

hanya satu kali pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 14 (empat belas) hari/malam. Didalam upacara adat wara ini hewan yang harus dikorbankan adalah kerbau sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini anatra lain:

a. Saung manu diau 1 (satu) lapak;

b. Sarami diau 3 (tiga) lapak;

c. Kahing diau 3 (tiga) lapak;

d. Kaleker diau 7 (tujuh) lapak.104

6. Wara Nalimat, upacara ini dilakukan hanya satu kali

pelaksanaan dengan penentuan waktu pelaksanaan antara tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Agustus pada tahun yang direncanakan dan rangkaian ritual adat berlangsung selama 14 (empat belas) hari/malam. Sama halnya dengan upacara wara yang sebelumnya, hewan yang harus dikorbankan adalah kerbau sesuai dengan petunjuk Kandong/Wadian Wara. Rangkaian ritual adat yang disajikan dalam upacara ini antara lain:

a. Saung manu diau 2 (dua) lapak;

b. Saramin diau 5 (lima) lapak;

c. Kahing diau 5 (lima) lapak;

d. Kaleker diau 9 (Sembilan) lapak.105

Dalam pelaksanaan Upacara Adat Wara di Barito Selatan itu

sendiri, upacara adat yang sering dilaksanakan termasuk kategori

(35)

upacara adat Wara Tutui Kanen Matei Iwek. Dalam penelitian ini

penulis memfokuskan penelitian pada kategori upacara adat wara

tersebut.

Seperti yang sudah di jelaskan diatas sebelumnya, dalam

upacara adat Wara Tutui Kenen Iwek, ritual adat yang disajikan antara

lain; saung manu diau, saramin diau, kahing diau, dan kaleker diau.

a. Saung manu diau merupakan permainan sabung ayam dimana

dalam ritual ini 2 (dua) ekor ayam diadu dengan dipasangkan

taji atau pisau kecil pada kaki dua ayam jantan yang diadu.

Taji berfungsi sebagai senjata untuk membunuh lawannya.

Rangkaian ritual ini dimaknai bahwa pertarungan 2 (dua)

ekor ayam tersebut ialah pertarungan antara roh yang telah

meninggal dengan manusia sebagai lambang agar roh

mendapat kemakmuran di Lewu Tatau (surga);106

b. Saramin diau merupakan permainan kartu yang dimainkan

oleh masyarakat yang mengikuti ritual adat tesebut.

Permainan kartu ini biasanya dimainkan sembari berkumpul

bersama masyarakat sekitar tempat pelaksanaan upacara adat.

Permainan ini dilakukan untuk memberikan hiburan kepada

roh yang diupacara adatkan, karena masyarkat penganut

Agama Hindu/Kaharingan dan keluarga yang

melaksakanakan upacara tersebut mempercayai bahwa

106

(36)

permainan kartu merupakan permainan yang dilakukan untuk

memberikan hiburan kepada roh orang yang telah meninggal

sehinggal jalan menuju Lewu Tatau (surga) dibukakan dan

diberi kelancaran;107

c. Kahing diau merupakan mainanan dadu dalam bentuk gasing

putar yang kemudia diputarkan. Sama halnya dengan saramin

diau, permainan kahing diau ini dianggap sebagai permainan

yang dilakukan untuk memberikan hiburan kepada roh orang

yang telah meninggal sehingga jalan menuju Lewu tatau

(surga) diiringi dengan kebahagiaan;108

d. Kaleker diau merupakan suatu ritual yang didalamnya

menyajikan permainan judi yang sering dikenal dengan

istilah Dadu Gurak. Dalam upacara adat ini, penyelenggara

menyediakan 4 (empat) lapak yang digunakan untuk

permainan dadu, kemudian masyarakat sekitar tempat

berlangsungnya upacara adat tersebut dapat ikut bermain

dengan mempertaruhkan sejumlah uang untuk menebak

angka dadu yang akan keluar. Rangkaian ritual ini dimaknai

107

Wawancara dengan Bapak Yanto selaku anggota Majelis Dearah Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Barito Selatan, 30 Agustus 2016 di Dinas Perpustakaan dan Kerarsipan Daerah Kabupaten Barito Selatan.

108

(37)

sebagai jalan untuk roh orang meniggal yang diupacara

adatkan agar dapat sampai ke Lewu Tatatu (surga).109

Dalam pelaksanaan upacara adat wara tersebut, pihak

penyelenggara harus mengajukan permohonan izin dan permohonan

rekomendasi untuk melaksanakan upacara adat tersebut kepada:

a. Kepolisian Sektor Dusun Selatan dan Kepolisian Resot

Barito Selatan untuk perihal perijinan mengumpulkan orang banyak;

b. Panggulu Agama Hindu Kaharingan Kelurahan Buntok Kota,

Barito Selatan;

c. Majelis Resort Agama Hindu Kaharingan Kecamatan Dusun

Selatan, Barito Selatan;

d. Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Barito

Selatan;

e. Ketua Rukun Tetangga (RT) tempat upacara adat wara

berlangsung.110

b.

Dadu Gurak dalam Prespektif Ajaran Agama

Hindu/Kaharingan.

Dari 4 (empat) jenis rangkaian ritual adat yang disajikan dalam

upacara adat wara, kemudian penulis memfokuskan kepada ritual adat

Kaleker Diau yang menyajikan permainan Dadu Gurak.

Pada dasarnya, setiap ritual memiliki sejarahnya masing –

masing. Pengaruh dari kebiasaan yang membudaya dan agama dari

masyarakat yang melaksanakan ritual adat tersebut yang menjadikan

109 Wawancara dengan Bapak Yanto selaku anggota Majelis Dearah Agama Hindu

Kaharingan Kabupaten Barito Selatan, 30 Agustus 2016 di Dinas Perpustakaan dan Kerarsipan Daerah Kabupaten Barito Selatan.

110 Permohanan Izin Pelaksanaan Upacara Ritual Rukun Kematian Agama Hindu

(38)

suatu upacara adat akan berbeda dari ajaran aslinya. Tidak diketahui

jelas bagaimana ritual adat Kaleker Diau dapat menyajikan permainan

Dadu Gurak, namun didalam hukum adat maupun ajaran agama

Hindu/Kaharingan permainan dadu gurak pada dasarnya tidak diakui

sebagai ritual yang sebenarnya. Hal tersebut dikuatkan oleh

pernyataan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kalimantan Tengah

mengatakan bahwa permainan Dadu Gurak bukanlah merupakan adat

Dayak, bahkan tidak ada dalam adat Dayak itu sendiri dan didalam

ajaran agama Hindu/Kaharingan.111

Dadu Gurak hanyalah suatu kebiasaan yang dianggap sebagai

ritual adat yang dilakukan masyarakat seketika ada Upacara Adat

Wara. Anggapan dari masyarakat tersebut diartikan bahwa Dadu

Gurak ini adalah suatu ritual yang memang harus dilaksanakan untuk

memenuhin salah satu syarat dalam Upacara Adat Wara tersebut,

sehingga pada saat upacara adat berlangsung permainan Dadu Gurak

selalu diadakan didalam upacara tersebut. Namun karena anggapan

oleh masyartakat tersebut mengakibatkan bahwa Upacara Adat Wara

tidak murni lagi karena adanya kebiasaan yang memang pada

dasarnya hal tersebut bukan merupakan ritual adat yang sebenarnya.

Hal ini pun diakui oleh Polres Barito Selatan bahwa Upacara Adat

111 Hizbut Tahrir Indonesia, HTI Kalteng “Kebiasaan Judi Bukan Adat Dayak!”,

(39)

Wara tidak murni lagi karena telah melibatkan Bandar judi dan

permainan judi seperti Dadu Gurak.112

c.

Pelaksanaan Ritual Adat Dadu Gurak

Pada dasarnya pelaksanaan Upacara Ritual Rukun Kematian

Agama Hindu/Kaharingan terkhususnya Upacara Adat Wara di Barito

Selatan tidak dilaksanakan setiap tahunnya, tergantung dengan pihak

keluarga yang ingin melaksanakan upacara tersebut. Tidak

dilaksanakan setiap tahunnya dalam hal ini dimaksudkan ialah

terkadang dengan selang waktu 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahun

setelah Upacara Adat Wara sebelumnya dilaksanakan, baru kemudian

ada dilaksanakannya Upacara Adat Wara kembali. Namun tidak

menutup kemungkinan juga dapat dilaksanakan ditahun berikutnya

setelah Upacara Adat Wara sebelumnya dilaksanakan, karena untuk

pelaksanaan upacara adat ini kembali lagi kepada pihak keluarga yang

ingin melaksanakan upcara tersebut, asalkan tidak melewati batas

ketentuan waktu pelaksanaan Upacara Adat Wara seperti yang telah

dijelaskan di sub bab sebelumnya.

Pelaksanaan Upacara Adat Wara di Barito Selatan yang menjadi

objek penelitian oleh penulis ialah Upacara Ritual Adat Rukun

Kematian Agama Hindu/Kaharingan “Wara Tutui Kanen Iwek” yang

dilaksanakan mulai tanggal 24 Agustus 2016 sampai dengan 28

112 Antara Kalteng, Polres Barsel Bubarkan Judi di Ritual, diakses dari

(40)

Agustus 2016 di Kelurahan Buntok Kota, RT. 016, RW. 002,

Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan.

Seluruh ritual dalam Upacara Adat Wara dilakukan sepanjang

tanggal 24 Agustus 2016 sampai dengan 28 Agustus 2016. Ritual

yang dilakukan antara lain:

1) Hari pertama Rabu, tanggal 24 Agustus 2016

a) Pembukaan, dimana ketua panitia pelaksana Upacara

Adat Wara ini yang merupakan anak dari arwah yang

diupacara adatkan menyampaikan maksud dan tujuan

dilaksanakannya upacara adat tersebut untuk

menghantarkan arwah orang tua dari keluarga yang

melaksanakan upacara tersebut;

b) Basarah, pihak keluarga menyerahkan sesajen kepada

Kandong/Wadian Wara sesuai dengan petunjuk yang

telah diberikan. Sesajen yang diserahkan berupa :

(1) Gong;

(2) Uang logam;

(3) Beras putih;

(4) Beras kuning;

(5) Dupa;

(6) Lilin;

(7) Daun sawang;

(8) Bunga;

(41)

(10)Tuak adat.113

c) Pener Adat, dalam pener adat ini seluruh pihak yang

terlibat seperti keluarga pelaksana membicarakan hal

yang terkait dengan tata cara pelaksanaan ritual bersama

Kandong/Wadian Wara, kemudian membicarakan terkait

dengan denda adat apabila terjadi keributan yang

mengakibatkan kegiatan terhambat/gagal/melanggar

ketentuan adat. Denda berupa :

(1) Menggantikan seluruh biaya pelaksanaan upacara;

(2) 2 (dua) buah sangku atau mangkuk kuningan yang

berasal dari tembaga;

(3) 5 (lima) buah penduduk atau sesajen lengkap dengan

isi perlengkapannya sesuai dengan persyaratan dari

Kandong/Wadian Wara;

(4) 20 (dua puluh) gram emas murni;

(5) 2 (dua) buah gong;

(6) 14 (empat belas) buah talam atau nampan;

(7) Tampung tawar selengkapnya sesuai dengan

petunjuk Kandong/Wadian Wara;114

Ketiga rangkaian kegiatan tersebut dilakukan dalam

bentuk suatu ibadah singkat dengan tatacara Agama

113 Wawancara dengan Bapak Rayuanto selaku Kandong/Wadian Wara tanggal 23

Agustus 2016, di lokasi berlangsungnya Upacara Adat Wara, Jl. Panglima Batur Gg. Karya RT. 016, RW. 002.

114 Wawancara dengan Bapak Diro Asman, selaku Ketua Panitia Pelaksana Upacara

(42)

Hindu/Kaharingan yang dilakukan oleh

Kandong/Wadian Wara dan dihadiri oleh masyarakat

sekitar tempat berlangsungnya Upacara Adat Wara.

2) Hari kedua Kamis, tanggal 25 Agustus 2016, melaksanaan

Wara. Dihari kedua ini, segala rangkaian ritual upacara adat

dilakukan, seperti saung manu diau, saramin diau, kahing

diau, dan kaleker diau. Rangkaian ritual tersebut diikuti

oleh masyarakat sekitar tepat berlangsungnya Upacara Adat

Wara.

3) Hari ketiga Jumat, tanggal 26 Agustus 2016, melanjutkan

kegiatan Ritual Wara. Kegiatan yang dilakukan sama

halnya dengan kegiatan pada hari kedua.

4) Hari keempat Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016, membuat

babea/ membuat Panguta Diaw/ sesajen untuk Upacara

Ritual. Segal bentuk sesajen untuk persembahan

dipersiapakn oleh keluarga yang melaksanakan upacara adat

tersebut seperti hewan babi, ayam, beras dan lain

sebagainya sesuai dengan permintaan dari Kandong/Wadian

Wara.

5) Hari kelima Minggu, tanggal 28 Agustus 2016

a) Mengantar panguta diau atau sesajen ke Pemakaman,

segala sesajen yang telah disediakan kemudian

diantarkan ke makam orang (Arawah Diau/ Orang yang

(43)

melaksanakan upacara adat ini. Dalam penelitian ini

yang diritual adatkan ialah orang tua laki – laki (ayah)

dari keluarga yang melaksanakan Upacara Adat Wara

ini. Setelah sesajen disediakan dan keluarga berkumpul,

kemudian anak dari arwah diau membongkar makam

arwah diau dan mengambil tulang – tulang dari arwah

diau tersebut yang sebelumnya dibersihkan terlebih

dahulu dengan air yang berada didalam gong dan

Referensi

Dokumen terkait

yang dilakukan adalah memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dan dengan..

Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan. orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau

Keterlibatan secara fisik orang yang turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin, yang dimaksudkan pada bentuk pertama, terdiri dari perbuatan menawarkan kesempatan

Orang yang dianggap pelaku tidak langsung ialah setiap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman

Unsur ini menunjukkan bahwa pelaku haruslah merupakan orang yng terbukti melakukan perbuatan atau kegiatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi,

Keterlibatan secara fisik orang yang turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin, yang dimaksudkan pada bentuk pertama, terdiri dari perbuatan menawarkan kesempatan

Keterlibatan secara fisik orang yang turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin, yang dimaksudkan pada bentuk pertama, terdiri dari perbuatan menawarkan kesempatan

Keterlibatan secara fisik orang yang turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin, yang dimaksudkan pada bentuk pertama, terdiri dari perbuatan menawarkan kesempatan