BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu pra eksperimental dengan tipe pre dan post
design.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu Penelitian
Rancangan penelitian dimulai bulan November 2015 dan pelaksanaan
penelitian dimulai dari bulan April 2016 hingga Desember 2016 di Poliklinik
Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik
Medan.
3.2.2 Tempat Penelitian
1. Pengambilan sampel dan pengisian status penelitian dilakukan di
Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP
Haji Adam Malik Medan.
2. Pengambilan dan pemeriksaan sampel darah pasien kusta yang berobat ke
Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP
Haji Adam Malik Medan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Jalan
Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan untuk pemeriksaan kadar
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Target
Pasien kusta di RSUP Haji Adam Malik Medan.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Pasien kusta baru yang berobat ke Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan
April 2016 hingga Desember 2016.
3.3.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah bagian populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Pasien kusta baru yang didiagnosis dengan kusta tipe PB dan MB
b. Pasien kusta baru berusia diatas 15 tahun
c. Pasien yang telah menandatanganiinformed consent
3.4.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
a. Pasien kusta yang sedang hamil atau menyusui
b. Pasien kusta yang berhenti minum obat kusta
c. Pasien kusta yang disertai penyakit kronis seperti gangguan hati,
3.5 Besar Sampel
Besar sampel diperoleh dengan perhitungan rumus sebagai berikut:
0 = beda rerata yang bermakna, ditetapkan sebesar 0,5
Maka: n ≥
Jumlah sampel minimal penderita kusta yang diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah sebanyak 13 orang.
3.6 Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel secara consecutive
sampling.
3.7 Identifikasi Variabel
3.7.1 Variabel bebas : MDT
3.7.2 Variabel terikat : kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung
3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja Penelitian 3.8.1 Alat dan Bahan
a. Status penelitian diisi oleh peneliti berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan dermatologis terhadap subyek penelitian.
b. Sysmex pouch K800 dengan metode fotometri untuk mengukur kadar
hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit.
c. Impedance untuk menghitung sel darah berdasarkan perubahan arus
listrik. Besarnya amplitudo masing-masing pulsa sebanding dengan
volume partikel yang dideteksi.
d. Fotometri untuk mengukur konsentrasi hemoglobin berdasarkan
intensitas warna yang diserap (cyanmethemoglobin).
e. Tabung vacuitaner yang berisikan antikoagulan EDTA.
f. Spuit 10 cc untuk pengambilan darah.
Untuk pengambilan masing-masing sampel darah dibutuhkan satu pasang
sarung tangan, satu buah alat ikat pembendungan (torniquet), satu buah needle
(jarum), satu buah tabung yang berisi Ethylenediaminetetraacetid acid (EDTA),
kapas alkohol (alcohol swab) 70%, dan satu buah plester luka.
3.8.2 Cara Kerja Penelitian a. Pencatatan Data Dasar
1) Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik Divisi
Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam
Malik Medan meliputi identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan
2) Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta dan
pemeriksaan basil tahan asam (BTA) oleh peneliti bersama dengan
pembimbing di Poliklinik Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan. Pasien didiagnosis
kusta jika memenuhi setidaknya satu dari tiga tanda kardinal.4
3) Kusta kemudian dikategorikan menurut tipe kusta dengan
menggunakan klasifikasi WHO yakni tipe PB dan MB.
4) Pasien kusta yang telah diberi informed consent, bersedia dan
sudah menandatangani lembar kesediaan untuk ikut berpartisipasi
dalam penelitian, diwawancara untuk mengisi status penelitian.
b. Pengolahan Sampel Darah
1) Pengambilan sampel darah pasien kusta yang berobat ke Poliklinik
Divisi Kusta SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji
Adam Malik Medan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Jalan
Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan. Cara pengambilan sampel
darah adalah sebagai berikut: gunakan sarung tangan, lalu pilih
tangan yang banyak melakukan aktivitas. Lokasi penusukan harus
bebas dari luka atau sikatrik. Pasang tourniquet pada lengan atas
dan pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan
berulang kali agar vena jelas terlihat. Darah diambil dari vena
mediana cubiti pada lipat siku. Lokasi penusukan didesinfeksi
dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari dalam ke
luar. Vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 450 dengan
tabung yang berisi EDTA sebanyak 5 cc. Agar aliran darah bebas,
pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya. Kemudian
tourniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang
penusukan dengan kapas alkohol. Selanjutnya tempat bekas
penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah
lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester. Sampel
darah dapat diletakkan di dalam tas dengan suhu kamar.
2) Sampel darah diproses di Laboratorium Klinik Prodia Jalan
Letjend. S. Parman No. 17/223G Medan dengan fotometri
menggunakan reagen SLS yang bebas sianida. Hasil yang
diperoleh dicatat sebagai kadar hemoglobin berupa hasil angka
dalam satuan g/dl, (nilai normal laki-laki yaitu 13-17 g/dl dan
perempuan 12-15,5 g/dl), MCV berupa hasil angka dalam satuan
fL (nilai normal 80-100 fL), MCHC berupa hasil angka dalam
satuan g% (nilai normal 32-36 g%), dan hitung retikulosit berupa
hasil angka dalam satuan %, (nilai retikulosit normal yaitu 0,5 -
1%).
3) Selanjutnya kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung
retikulosit pada pasien kusta dicatat oleh peneliti.
4) Kemudian pasien kusta diberi pengobatan sesuai tipe kusta dengan
MDT-PB dan MDT-MB, dan selanjutnya setelah 3 bulan pertama
dilakukan pemeriksaan sampel darah dengan prosedur yang sama
dengan diatas untuk mengukur kadar hemoglobin, MCV, MCHC,
5) Selanjutnya kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung
retikulosit pada pasien kusta dideskripsikan oleh peneliti.
3.9 Definisi Operasional
3.9.1 Anemia Hemolitik
Definisi : anemia yang terjadi karena produksi sel darah merah tidak
seimbang dengan kerusakan sel darah merah yang
disebabkan karena siklus sel darah merah menjadi pendek.
Alat/cara ukur : klasifikasi berdasarkan hasil laboratorium darah yaitu
penurunan kadar hemoglobin (laki-laki < 13 g/dl,
perempuan < 12 g/dl) dan peningkatan hitung retikulosit (>
1 %).
Hasil ukur : normal dan anemia hemolitik
Skala ukur : skala nominal
3.9.2 Kadar hemoglobin
Definisi : jumlah protein pengangkut oksigen dalam sel darah merah
di darah subjek penelitian yang diambil dari vena medianus
cubiti.
Alat/cara ukur : metode fotometri
Hasil ukur : angka dalam satuan g/dl
Skala ukur : rasio
3.9.3 Kadar MCV
Definisi : ukuran atau volume rata-rata eritrosit di darah subjek
Alat/cara ukur : metode fotometri
Hasil ukur : angka dalam satuan fL
Skala ukur : rasio
3.9.4 Kadar MCHC
Definisi : rata-rata konsentrasi hemoglobin didalam eritrosit di darah
subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti.
Alat/cara ukur : metode fotometri
Hasil ukur : angka dalam satuan g%
Skala ukur : rasio
3.9.5 Hitung retikulosit
Definisi : persentase jumlah sel darah merah yang imatur di darah
subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti.
Alat/cara ukur : metode fotometri
Hasil ukur : angka dalam satuan %
Skala ukur : rasio
3.9.6 Tipe kusta
Definisi : klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan bakteriologis.
Alat/cara ukur : klasifikasi kusta menurut WHO
Hasil ukur : tipe PB dan tipe MB
3.10Kerangka Operasional
Gambar 3.1 Diagram Kerangka Operasional Penelitian
3.11 Pengolahan dan Analisis Data
Análisis dilakukan dengan uji T berpasangan, uji Wilcokson serta uji Mc
Nemar untuk analisis kejadian anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan
mendapat MDT, dengan nilai signifikansi < 0,05.
3.12 EthicalClearance
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan sampel biologis, yaitu
manusia yang menyetujui dan menandatangani informed concent untuk ikut dalam Pasien kusta baru yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pengukuran kedua kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung retikulosit
Analisis dengan uji T berpasangan, uji Wilcokson, dan uji Mc Nemar
Subjek penelitian
Pengobatan MDT-PB dan MDT-MB sesuai dengan diagnosis selama 3 bulan pertama
penelitian ini, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etik
Penelitian Fakultas Kedokteran USU nomor: 400/TGL/KEPK FK USU-RSUP
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran kadar hemoglobin, MCV,
MCHC dan hitung retikulosit pada 15 orang subjek kusta dimulai dari bulan April
hingga Desember 2016. Semua subjek kusta telah menjalani anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensorik, pemeriksaan motorik, penebalan saraf
dan pemeriksaan BTA untuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya dilakukan
pengukuran kadar hemoglobin, MCV, MCHC dan hitung retikulosit pada subjek
penelitian serta analisis kejadian anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan
mendapat MDT. Hasil lengkap data pasien dapat dilihat pada lampiran.
4.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian
Karakteristik subjek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan
karakteristik demografik pasien kusta meliputi jenis kelamin, usia, dan tipe kusta.
4.1.1 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin n %
Laki-laki 8 53,3
Perempuan 7 46,7
Total 15 100,0
Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Dari tabel 4.1
diatas didapatkan subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan subjek perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 8 orang (53,3%)
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,
sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan perempuan. Pada penelitian
ini, pasien lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan.
Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan diakibatkan karena
faktor lingkungan dan sosial budaya. Pada kebudayaan tertentu akses perempuan
ke layanan kesehatan sangat terbatas.4 Perbedaan dalam rasio jenis kelamin yang
terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak juga mencerminkan paparan
terhadap infeksi daripada kerentanan terhadap jenis penyakit.33
Penelitian ini sama dengan penelitian oleh Scheelbeek et al yang
menemukan bahwa pasien kusta baru di daerah Cebu, Filipina yang terbanyak
adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 150 kasus dan pada perempuan sebesar
54 kasus pada tahun 2010.49 Hasil yang sama juga ditemukan oleh Tosepu et al
yang melaporkan jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki 55,9% dan perempuan
44,1% di Bombana, Sulawesi Tenggara.50 Hasil yang lain oleh Ramos et al
menemukan pasien kusta berjenis kelamin laki-laki sebesar 64,5% dan perempuan
35,6% di Etiopia Tenggara.51 Kumar et al menemukan laki-laki lebih banyak
daripada perempuan yaitu sebesar 68,3%.52
4.1.2Karakteristik berdasarkan usia
Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia
Kelompok usia (tahun) n %
15-29 6 40,0
30-44 6 40,0
45-59 2 13,3
≥ 60 1 6,7
Dari tabel 4.2 diatas tampak bahwa kusta memiliki frekuensi kejadian
terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun dan 30-44 tahun yaitu sebanyak 6
orang (40%) dan paling sedikit pada kelompok usia ≥ 60 tahun yaitu 1 orang (6,7
%). Pada penelitian ini perlu diingat bahwa pasien yang dijadikan subjek adalah
pasien dengan usia ≥ 15 tahun.
Informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur saat timbulnya
penyakit kusta tidak menggambarkan spesifik umur. Kusta dapat terjadi di segala
usia yaitu antara bayi sampai usia lanjut.4 Paling sering terjadi sekitar umur 20
hingga 30 tahun yaitu pada usia muda dan produktif. Penurunan dari transmisi
penyakit biasa terjadi pada usia yang lebih tua.4,53
Tingginya angka kejadian kusta pada usia dewasa dihubungkan dengan
periode inkubasi penyakit kusta yang lama dan berhubungan dengan tempat
tinggal pasien di daerah endemi kusta serta risiko keterpaparan dengan sumber
penularan kusta yang lebih sering terjadi pada usia dewasa.56
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Scheelbeek et al menemukan bahwa
pasien kusta di Cebu Filipina pada tahun 2010 berada pada kelompok usia antara
15-29 tahun dan terendah ditemukan oleh kelompok usia diatas 60 tahun.49 Hasil
lain oleh Ramos et al melaporkan bahwa yang terbanyak ditemukan pada usia
diatas 35 tahun 55,5%.51 Penelitian lainnya oleh Viera et al menyatakan bahwa
rentang usia terbanyak yaitu antara 18 hingga 37 tahun dengan usia rata-rata 28 ±
13,1 tahun.54 Hasil penelitian Fajar et al juga melaporkan insiden kusta di Medan
4.1.3 Karakteristik berdasarkan tipe kusta
Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tipe kusta
Tipe kusta n %
PB 1 6,7
MB 14 93,3
Total 15 100,0
Dari tabel 4.3 didapatkan berdasarkan tipe kusta bahwa rata-rata subjek
penelitian memiliki tipe kusta yaitu MB sebanyak 14 orang (93,3%) dan yang
paling rendah yaitu tipe kusta PB sebanyak 1 orang (6,7%). Ini kemungkinan
karena tipe kusta MB disertai lesi kulit lebih dari 5 dan IB positif bersifat lebih
menular dibandingkan tipe PB dengan lesi kulit 1-5 dan IB negatif.5
Pada penelitian di Brazil ditemukan bahwa mayoritas pasien kusta terdapat
pada tipe kusta MB yaitu sebesar 61%.54 Penelitian ini sesuai dengan penelitian
oleh Scheelbeek et al menyatakan bahwa tipe kusta terbanyak yaitu tipe MB
sebesar 88,2%.49 Ramos et al menemukan tipe kusta terbanyak adalah MB pada
laki-laki sebesar 92,7% dan MB pada perempuan sebesar 84,8%.51 Varkevisser et
al melaporkan dari tahun 1993-1997 di Aceh ditemukan terbanyak yaitu tipe MB
sebesar 65,8%.56
Penelitian oleh Kumar et al menunjukkan tipe kusta MB lebih banyak
terjadi dibandingkan keseluruhan pasien kusta baru (65,9%). Sifat penyakit kusta
yang kronis, berbagai faktor sosial seperti tingkat pengetahuan kusta dan tingkat
ekonomi yang rendah, serta faktor lingkungan berupa daerah endemi kusta
merupakan alasan mengapa kusta MB merupakan tipe yang paling banyak pada
4.2Profil Kadar Hemoglobin, MCV, MCHC dan Hitung Retikulosit pada Pasien Kusta
4.2.1 Profil kadar hemoglobin pada pasien kusta
Tabel 4.4 Kadar hemoglobin sebelum dan sesudah MDT
Pasien Sebelum
Dari tabel 4.4 diatas tampak adanya penurunan kadar Hb sesudah 3 bulan
mendapat MDT, dimana kadar normal hemoglobin pada laki-laki 13-17 g/dl dan
perempuan 12-15,5 g/dl. Kadar Hb sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean
13,907 g/dl, SD 1,3656 g/dl, (Min-Max, 12,1–16,7 g/dl) dan sesudah MDT
dideskripsikan sebagai mean 11,320 g/dl, SD 1,6367 g/dl, (Min-Max, 8,6–14,1
g/dl). Dari tabel 4.4 juga terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum
dan sesudah mendapat MDT.
Penurunan kadar Hb pada penelitian ini kemungkinan karena adanya
reaksi anemia hemolitik, dimana semakin lama dapson diberikan maka semakin
toksik hidroksilamin akan mengakibatkan penghancuran abnormal dari sel darah
merah sehingga ditemukan penurunan kadar hemoglobin.8,9,12 Namun, anemia
juga dapat terjadi karena berbagai kondisi seperti sosial ekonomi yang rendah,
malnutrisi, infeksi parasit serta penyakit kronis.16
Hasil penelitian yang sama ditemukan oleh Al-Sieni et al menyatakan
bahwa terjadi penurunan kadar hemoglobin (Hb) sebesar 10-30% baik pada pria
ataupun wanita sesudah 3 bulan pemberian MDT.15 Penelitian oleh Deps et al
menyatakan pada pasien yang mendapat MDT dapson pada 3 bulan pertama terapi
ditemukan penurunan kadar Hb dan kadar hematokrit.16 Penelitian oleh Singh et
al menemukan bahwa kadar Hb menurun sebesar 17% setelah 90 hari mendapat
MDT.17 Dari semua penelitian diatas disimpulkan bahwa penurunan kadar Hb
merupakan reaksi anemia hemolitik akibat adanya efek samping dapson yang
dinilai cukup tinggi.15-17
4.2.2 Profil kadar MCV pada pasien kusta
Tabel 4.5 Kadar MCV sebelum dan sesudah MDT
Dari tabel 4.5 diatas kadar MCV menunjukkan rata-rata normal sesudah 3
bulan mendapat MDT, dimana kadar normal MCV 80-100 fL. Kadar MCV
sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 83,460 fL, SD 4,9676 fL, (Min-Max,
70,2–89,5 fL) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 88,807 fL, SD
10,3877 fL, (Min-Max, 65,9–101,6 fL). Tabel diatas 4.5 juga menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0,05) sebelum dan sesudah mendapat
MDT.
Pada penelitian ini ditemukan kadar MCV yang normal. Ini kemungkinan
karena kadar hemoglobin yang kurang atau tidak cukup jumlahnya akibat dari
pembuatan sel eritrosit terganggu atau terjadi pemecahan sel yang tinggi, namun
volumenya masih normal sehingga kadar MCV tampak normal. Ini biasa terlihat
pada anemia hemolitik akut. Pada anemia hemolitik kronis dapat dijumpai ukuran
eritrosit yang besar dilihat dari peningkatan MCV. Namun, perubahan dari kadar
MCV ini sifatnya dapat berubah-ubah.46,47
Penelitian yang berbeda dilaporkan oleh Singh et al yang menemukan
kadar MCV yang meningkat sebesar 3% sesudah 90 hari mendapat MDT. Dari
gambaran hematologi menunjukkan abnormalitas baik sebelum dan sesudah
mendapat MDT. Penelitian ini menemukan efek samping akibat dapson sangat
tinggi. Oleh karena itu diperlukan terapi suportif yang diberikan bersama dengan
4.2.3 Profil kadar MCHC pada pasien kusta
Tabel 4.6 Kadar MCHC sebelum dan sesudah MDT
Pasien Sebelum
Max, 30,3–36,7 g%) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean 31,920 g%,
SD 1,5992 g%, (Min-Max, 28,9–34,5 g%). Pada tabel 4.6 diatas juga
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah
mendapat MDT.
Penurunan kadar MCHC pada penelitian ini kemungkinan terjadi karena
kadar Hb per unit volume eritrosit dijumpai menurun yang menyebabkan ukuran
eritrosit lebih kecil. Ini merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah
berikatan dengan oksigen disertai kadar Hb yang terbatas.46,47
ini menyimpulkan bahwa penurunan ini merupakan reaksi dari anemia namun
tidak berhubungan dengan perubahan hitung sel darah merah.15 Penelitian oleh
Singh et al menemukan sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah
mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari ditemukan MCHC menurun 1%.17
4.2.4 Profil kadar hitung retikulosit pada pasien kusta
Tabel 4.7 Kadar hitung retikulosit sebelum dan sesudah MDT
Pasien Sebelum
Dari tabel 4.7 diatas tampak terjadinya peningkatan hitung retikulosit
sesudah 3 bulan mendapat MDT, dimana kadar normal hitung retikulosit 0,5-1%.
Hitung retikulosit sebelum MDT dideskripsikan sebagai mean 1,218 %, SD
0,2119 %, (Min-Max, 0,8–1,7 %) dan sesudah MDT dideskripsikan sebagai mean
2,341 %, SD 1,0500 %, (Min-Max, 1,2–4,7 %). Pada tabel 4.7 diatas juga
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan sesudah
Pada penelitian ini ditemukan peningkatan retikulosit, dimana retikulosit
merupakan sel darah merah baru yang dilepaskan oleh sumsum tulang. Apabila
terjadi hemolisis maka terjadi peningkatan produksi sel darah merah sekitar dua
atau tiga kali lipat dari normal.Umur retikulosit didalam darah individu normal
akan bertahan dalam waktu 1 hari. Apabila produksi sel darah meningkat, maka
retikulosit akan dilepaskan secara prematur dan bertahan di sirkulasi dalam waktu
2 hingga 4 hari.47
Penelitian yang sama dilaporkan oleh Singh et al menemukan kejadian
sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi dapson
dalam waktu 90 hari ditemukan, hitung retikulosit meningkat 36,5%.17 Penelitian
oleh Halim et al melaporkan terdapat peningkatan hitung retikulosit sesudah
mendapat MDT dengan rata-rata 7,3 ± 1,0 % dengan nilai p < 0,05. Retikulosit
meningkat sebesar 4 kali lipat selama penelitian berlangsung. Ini menunjukkan
bahwa dapson dapat menginduksi terjadinya hemolisis.41
4.3 Analisis kejadian anemia hemolitik sesudah mendapat MDT
4.3.1 Anemia hemolitik sesudah 3 bulan mendapat MDT
Tabel 4.8 Kejadian Anemia hemolitik
Keterangan Sebelum MDT Sesudah MDT p
n % n %
Normal 15 100,0 5 33,3
0,002
Anemia Hemolitik 0 0 10 66,7
Total 15 100,0 15 100,0
Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan terjadinya anemia hemolitik sebesar
mengkonsumsi MDT. Tabel diatas juga menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan (p < 0,05) pada anemia hemolitik sebelum dan sesudah 3 bulan
mendapat MDT.
Anemia hemolitik merupakan anemia yang dihubungkan dengan
pemendekan umur sel darah merah yang kurang dari 120 hari, dimana akibat
adanya destruksi yang cepat dari pembuluh darah. Apabila dicurigai anemia
hemolitik maka perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap disertai hitung
retikulosit. Peningkatan hitung retikulosit merupakan tanda penting pada anemia
hemolitik sebagai respon dari sumsum tulang.58
Hemolisis dapat terjadi secara akut, subakut ataupun kronis. Anemia
hemolisis akut biasa terjadi gangguan pada membran sel darah merah baik
turunan atau yang didapat, hemoglobinopati dan abnormalitas enzim sel darah
merah. Pada hemolisis subakut atau kronis dijumpai pada hemolisis imunologi,
mekanikal, infeksi dan toksik yang berhubungan dengan obat yaitu dapson. Pada
anemia hemolitik akut terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan hemoglobinuria,
hipotensi, syok, delayed jaundice disertai demam. Pada anemia hemolitik subakut
ataupun kronis terjadi secara perlahan ataupun tersembunyi, dimana ditandai
dengan anemia ringan hingga sedang, hipokolestrolemia, serta ukuran MCV yang
bervariasi yaitu ukuran eritrosit normal (normositik) ataupun eritrosit besar
(makrositik).58,59 Namun perubahan MCV ini bersifat adaptif dan dapat
berubah-ubah.46 Pada beberapa kasus, hemolisis bersifat asimptomatik dan tidak
menunjukkan adanya gambaran makrositik ataupun retikulositosis. Oleh karena
dehidrogenase, peningkatan kadar bilirubin indirect dan penurunan kadar
haptoglobin.58
Penelitian yang sama oleh Deps et al menemukan bahwa kejadian anemia
hemolitik setelah mengkonsumsi MDT selama 90 hari sebesar 56,5%.14 Penelitian
yang dilaporkan oleh Al-Sieni et al menyatakan bahwa anemia hemolitik terjadi
sebesar 30% setelah 3 bulan mengkonsumsi MDT.15 Penelitian lain oleh Deps et
al menyatakan bahwa anemia hemolitik dijumpai sebesar 51% pada pasien yang
mendapat MDT dapson pada 3 bulan pertama terapi ditandai dengan penurunan
kadar Hb dan kadar hematokrit.16 Penelitian oleh Singh et al menemukan kejadian
anemia hemolitik sebesar 12% yaitu sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang
dinilai setelah mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari.17 Dari penelitian diatas
disimpulkan bahwa efek samping yang terjadi akibat MDT ini cukup tinggi
sehingga boleh menghentikan sementara obat yang menjadi penyebab dan
memberikan terapi suportif. Namun, jika efek samping tidak dapat teratasi maka
obat dihentikan dan WHO menganjurkan agar obat penyebab diganti dengan
terapi alternatif.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Dalam penelitian ini didapatkan 15 sampel kusta dalam kurun waktu
sekitar delapan bulan menunjukkan terjadinya anemia hemolitik sebesar
66,7% dan adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05) sebelum dan
sesudah 3 bulan mendapat MDT.
b. Hasil sebelum mendapat MDT ditemukan kadar hemoglobin normal
dengan rata-rata 13,907 g/dl, MCV normal dengan nilai rata-rata 83,460
fL, kadar MCHC normal dengan nilai rata-rata 33,213 g% dan hitung
retikulosit normal dengan rata-rata 1,218 %. Namun, sesudah 3 bulan
mendapat MDT ditemukan penurunan kadar hemoglobin dengan rata-rata
11,320 g/dl, MCV normal dengan nilai rata-rata 88,807 fL, penurunan
kadar MCHC dengan nilai rata-rata 31,920 g% dan peningkatan retikulosit
dengan rata-rata 2,341%.
c. Terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) kadar hemoglobin, MCHC
dan hitung retikulosit pada pasien kusta sebelum dan sesudah 3 bulan
mendapat MDT. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p <
0,05) kadar MCV pada pasien kusta sebelum dan sesudah 3 bulan
mendapat MDT.
5.2 Saran
a. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, diharapkan
dalam prosedur pemeriksaan penyakit kusta karena kadar tersebut dapat
dijadikan salah satu sebagai prediktor anemia hemolitik pada penyakit
kusta.
b. Diharapkan sebelum pemberian MDT dan setiap 3 bulan sesudah
pemberian MDT, pasien kusta melakukan pemeriksaan rutin laboratorium
darah lengkap dan hitung retikulosit untuk memantau efek samping MDT.
c. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melihat kejadian anemia hemolitik
dengan pemeriksaan kimia darah dan hapusan darah tepi.
d. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melihat efektivitas pemberian
suplemen penambah darah sebagai terapi tambahan dalam penanganan
anemia hemolitik untuk meningkatkan kesembuhan pasien kusta karena
efek samping obat MDT sehingga pengobatan dapat terus diberikan sesuai