BAB 151.
§ 1916. Dewan Perantjang Nasional dalam usaha menjusun program pembangunan semesta sudah tentu mengutamakan tentang alat, jang akan merintis dan memimpin penjelenggaraan pembangunan itu serta bertanggungdjawab, jaitu pemerintah pusat/daerah dalam arti seluasnja.
Pemerintahan sedjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 terus menerus dalam pertumbuhan. Sebagaimana dalam batin Tanah air Indonesia bertumbuh pahamnja tentang ideologi dibidang politik, ekonomi
dan kebu
dajaan, maka demikian pula dalam lahirnja terdapat proses pertumbuhan mengenai bidang2 tersebut, jang dapat kita lihat dalam manifestasinja
dalam soal pemerintahan.
Mengenai, soal pemerintahan pada umumnja, chususnja pemerintah an didaerah, Pemerintah bersama unsur2 masjarakat jang ikut serta
membangunnja, menghadapi suatu proses pertumbuhan. Udjud pemerintahan jang satu disusul dengan transformasi kepada udjud jang lain, begitu seterusnja. Suatu hat jang dapat dimengerti karena revolusi sedang berlangsung terus, jang bermakna perobahan tjepat dalam tiga bidang utama, jaitu: madju (excelsior), maka tentu lebih hebat lagi keinginan madju, ketidak puasan, beraneka paham jang seringkali bertentangan satu sama lain, ditanah air kita, jang oknum Indonesianja sangat bhinneka bukan sadja geografis, tetapi memang keadaannja lahir batinnja sangat heterogeen, begitu pula hasrat hatinja dan tindaktanduknja.
Tiap Pemerintah, golongan dan aliran senantiasa mengusahakan langkah2 madju dalam menjusun dan menjempurnakan pemerintahan itu.
Resultante dari usaha2/ pengaruh2 dari unsur2 tersebut adalah rangkaian
udjud pemerintahan jang susulmenjusul, ganti berganti, baik susunannja, perimbangannja, kelengkapannja.
Dalam tiap udjud pemerintahan nampak faktor apa jang dititikberat kan pada suatu saat (fase) revolusi, antara lain:
(a) pada proklamasi 17 Agustus 1945 adalah titik berat pada pernjataan kemerdekaan.
(b) pada pembentukan KNI. 2 pusat/daerah ditekankan pada mobilisasi golongan2 ideologi untuk menjertai revolusi.
(c) pada Undang2 no. 22/1948 dipusatkan perhatian pada pembagian
tugas kewadjiban dan kewenangan pusat dan daerah dan ditetapkan rangka susunan pemerintahan daerah bertingkat tiga.
(d) pada Undang2 no. 1/1957, ditekankan pada unsur2 ideologi daerah dan
pemerintahan jang kolegial.
(e) pada Penetapan Presiden no. 6/1959, perhatian dipusatkan kepada djiwa Manifesto Politik, antara lain kesatuan antara pusat dan daerah dalam sate tangan (gubernur/walikota/bupati kepala daerah) jang djadi as roda executip dan pemberi bahan + pengawas legislatip.
Kini Manifesto Politik mendorongkan kearah demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin, sedangkan hidang kebudajaanpun akan disalurkan pimpinannja.
Dalam iklim sekarang maka muntjul faktor2 jang diutamakan:
(1) pimpinan jang politic akseptabel atas dukungan golongan ideologi dan fungsionil,
(2) pimpinan jang memiliki kemampuan tehnis.
(3) pimpinan jang menertibkan soal2 politik, ekonomi dan kebudajaan
dan
(4) pimpinan, jang mengorganisir ok num2 politik, ekonomi dan kebu
dajaan, agar dapat direalisir langkah2 sosialisasi a la Indonesia (ke
satuan Pemerintah + Masjarakat dalam amal usaha untuk Negara/ masjarakat) dengan demokrasi dan ekonomi terpimpinnja.
Untuk Dewan Perantjang Nasional kiranja pada tempatnja, kalau diminta perhatian tentang masalahmasalah pokok sebagai berikut:
Suatu complex persoalan dihadapi sekitar pemerintahan itu. Dalam menjadari, seberapa djauh sudah tertjapai daja tjipta didaerah dibidang pemerintahan, keuangan, pembangunan dan lainlain, jang sampai sekarang oleh karena ruparupa hal — belum pernah dikupas setjara djudjur dan terang, dengan penuh pengertian, bahwa antara pusat dan daerah, antara golongan dengan golongan, antara kita dengan kita, tjukup toleransi dan kemampuan harga menghargai.
Sebab, seterusnja banjak halhal positip jang telah tertjapai didaerah jang belum pernah dimusjawarahkan, karena seakanakan tertutup oleh tabir tuntutantuntutan daerah/golongangolongan mengenai soalsoal formil. kan dapat kiranja anggotaanggota jang terhormat dari Dewan Perantjang Nasional mempeladjari masalah itu untuk kelak kemudian mentjiptakan pola jang akan dituruti guna perbaikan pelaksanaan Pemerintah Daerah ini.
Pedoman dalam pelaksanaan Pemerintah Daerah bagi Pemerintah ialah dekrit P.J.M. Presiden dan sebagai akibat daripada gagasan itu adalah penuangan pikiran itu dalam bentuk Penetapan Presiden No. 6/1959 jang di sempurnakan. Pasalpasal dari Undangundang No. 1/1957 jangtidak ber tentangan dengan djiwa dari pada Penetapan Presiden No. 6/1959 jang di
sempurnakan itu serta sesuai dengan demokrasi terpimpin itu sudah dan tengah diselenggarakan didaerahdaerah seluruh tanahair.
Pelaksanaan ke arah itu dari sehari kesehari akan mendapat tempat berpidjak jang lebih meluas, sehingga achirnja dengan diperoleh suatu kestabil an dalam Pemerintah Daerah usaha2 lain dalam lapangan ekonomi, sosial,
politik dan kulturil dapat dilaksanakan pula dengan kekuatan dan ketjakap an jang makin berganda.
Pusat itu akan membawa akibat jang luas dalam pelaksanaan Pemerintah Daerah.
Bukan sadja materie ini terletak pada lapangan ekonomi, keuangan sematamata tetapi pula bidangbidang seperti politik, pendidikan dan lain sebagainja oleh karena Daerah dan Pusat itu bukanlah pembagian2 daerah
melainkan adalab kesatuan jang tidak dapat terpisahpisah.
Dalam sebuah teritoir jang meliputi dari Sabang sampai Merauke de ngan beraneka ragam daerah jang berbedabeda tetapi bersatu djuga ta' mungkinlah segala sesuatu dalam pelaksanaan tugas2 Pemerintah Daerah jang
telah diserahkan, berdjalan menurut garis2 jang kita tetapkan, melainkan
sesuai dengan perkembangan kemasjarakatan, segala sesuatu akan berdja lan menurut irama daerah, dalam segala lapangan.
Dengan katakata pendahuluan ini maka dapatlah kita memasuki raian jang dimaksud.
§ 1918. Perkembangan daerahdaerah otonom 1950 — 1960.
Pada scat mulai berdirinja Negara Kesatuan Republik Indonesia hanja di Djawa sadja telah didirikan daerahdaerah otonom jang statusnja ditentukan oleh UndangUndang Dasar Sementara 1950 jo. UndangUndang No. 22 tahun 1948. Dapat dikatakan bahwa pada waktu itu seluruh wilajah Djawa Madura ketjuali wilajah kota otonom Djakarta Raya — telah terbagi habis dalam wilajah daerahdaerah otonom dimaksud, jaitu daerah otonom propinsi (termasuk Daerah Istimewa Jogjakarta), sedangkan daerah daerah otonom propinsi sendiri telah pula terbagibagi dalam daerah daerah otonom Kabupaten, Kota Besar dan Kota Ketjil.
Di Sumatera hanja terdapat 3 daerah otonom propinsi dan belum dapat dilaksanakan pembentukan daerahdaerah otonom dibawah tingkatan Propinsi menurut UndangUndang. Walaupun demikian guna memenuhi tjitatjita rakjat diberbagai daerah di Sumatera dengan tjara jang tidak melalui saluran2 hukum sebagaimana wadjarnja oleh penguasapenguasa
jang berwenang di Daerahdaerah itu telah diusahakan dengan, sebaik baiknja untuk djuga mentjiptakan daerahdaerah jang dengan mempedomani UndangUndang No. 22 tahun 1948 dapat pula mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri, jaitu jang dinamakan Kabupatenkabupaten Otonoom dan Kotakota otonoom jang diberi nama Kota A dan Kota B.
Begitu pula di Kalimantan jang waktu itu masih merupakan suatu propinsi administratip chusus di Kalimantan Timur — Selatan telah dapat dibentuk oleh Gubernur Kalimantan, kabupatenkabupaten otonom dan satu kota otonoom.
Berhubung dasardasar hukuniuja daerah kabupatenkabupaten otonom dan kotakota otonoom jang telah dibentuk oleh penguasapenguasa jang berwenang didaerah itu diraguragukan maka daerahdaerah otonom dalam prakteknja tidak dapat berkembang dengan sehat; berhubung dengan itu Pemerintah merasa perlu untuk memberikan dasardasar hukum jang juridis dapat dipertanggung djawabkan.
Singkatnja dalam tahun 1950 sebetulnja diseluruh wilajah Negara ber dasarkan UndangUndang No. 22 tahun 1948 hanja terdapat:
11 kota — besar (tingkat 11) hanja di Djawa/Madura sadja. 8 kota — ketjil (tingkat III).
Selainnja daerahdaerah otonom jang dimaksud UndangUndang No. 22 tahun 1948 jang dimaksud diatas terdapatlah banjak sekali lain2 daerah
jang berhak mengatur dan' mengurus rumahtangganja sendiri berdasar kau peraturanperaturan jang beranekawarna tjorak dan ragamnja, jang masih diakui hak hidupnja oleh UndangUndang Dasar Sementara. Djumlah
10. Daerah Federasi NeoSwapradja2 (Daerah Maluku Selatan, lihat ad. 7).
Nos. 7 sampai dengan 10 adalah Daerah jang dimaksud oleh Undang
14 di Maluku, NeoSwapradja2 jang lebih ketjil lagi
jang mengadakan federasi dalam bentuk Daerah (Neo
17. Daerah Bahagian jang dimaksud oleh Undangundang No. 44/1950, Undangundang N.I.T.
18. Daerah Anak Bahagian jang dimaksud oleh UndangUndang No.44/ 1950, UndangUndang N.I.T.
19. Daerah ex UndangUndang 44/1950 N.I.T. jang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah R.I.
20. Daerah ex UndangUndang 44/1950 N.LT. jang dibentuk dengan
§ 1919. Kemadjuankemadjuan dalam perkembangan pemerintahan dae rahdaerah otonom jang mempunjai status UndangUndang No. 22/1948 jo. daerahdaerah tingkat II jang termasuk dalam masingmasing daerah tingkat I.
N.B. Sulawesi kini masih sadja merupakan suatu daerah propinsi jang administratip, dikepalai oleh seorang Gubernur pegawai Negeri/wakil pemerintah pusat. Setjara administratip pula Sulawesi telah dibagi dalam 4 wilajah residenkoordinator, jang tidak sadja berada dalam perintah guber nur Sulawesi tetapi dapat hubungan pula langsung dengan Menteri Dalam Negeri atau sebaliknja dihubungi langsung oleh pemerintah pusat.
§ 1920. Pembentukan DaerahDaerah Swatantra.
Pada saat berlaktnja kembali UndangUndang Dasar 1945 berdasar kan dekrit Presiden tanggal 5 Djuli 1959 (Surat Keputusan Prdsiden R.I. No. 150 tahun 1959) kenjataannja diseluruh wilajah Negara telah terbentuk daerahdaerah swatantra, baik Tingkat 1 maupun Tingkat Il (termasuk Kotapradja) dimaksud oleh UndangUndang No. 1/1957 tentang pokokpo kok pemerintahan daerah, ketjuali di Sulawesi, dimana walaupun sudah ter bagi dalanr daerah2 swatantra Tingkat If, pada waktu ini berhubung perkem
bangan keadaan daerah ini, masih sadja belum dapat dibentuk/dibagi dalam daerahdaerah Swatantra Tingkat 1. Perlu ditegaskan disini, bahwa kini oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah sedang giat diusahakan agar Daerah2 Tingkat I di Sulawesi ini dapat dibentuk dalam djangka
waktu jang tidak lama lagi (Rantjangan UndangUndang pembentukannja telah lama disiapkan dan kini sedang dalam penindjauan kembali).
Mengenai persoalan ini perlu didjelaskan sebagai berikut:
Pada masa Kabinet Karya bersamasama dengan rentjana Undang Undang pembentukan DaerahDaerah Tingkat II di Sulawesi, telah di adjukan suatu rentjana UndangUndang untuk membagi Sulawesi men djadi 4 daerah Swatantra Tingkat I. Akan tetapi berkenaan dengan situasi politik dewasa itu Kabinet Karya telah mentutuskan untuk menunda se mentara waktu pefnbitjaraan mengenai UndangUndang pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi itu.
Menurut Rantjangan UndangUndang tersebut diatas, Sulawesi dibagi dalam 4 Daerah Tingkat I, jaitu: SulawesiUtara, SulawesiTengah, Sulawesi Selatan dan SulawesiTenggara.
Sekarang ini Pemerintah (Kabinet Karya) bermaksud untuk menjele saikan pembentukan DaerahDaerah Tingkat I di Sulawesi. Penjelesaian dimaksud diharapkan dalam waktu singkat dapat dilaksanakan, sesudah diadakan penelitian dengan seksama mengenai pembagiannja jang wadjar ditindjau dari segala sudut antara lain bestuurstechnis, kepentingan ekono mi, keamanan dan lain².
Pembagian wilajah negara dalam daerahdaerah swatantra Tingkat II itu dapat dikatakan belum tetap, karena sampai dewasa ini mungkin masih sadja ada tuntutantuntutan wadjar dari masjarakat didaerah eq. Pemerintah Daerah dan Wakil²nja di D.P.R. jang masih belum dapat dipenuhi; a.l.
a. penindjauan kembali pembagian' dalam Daerah" Tingkat II di Daerah Tingkat I Sumatera Utara jang telah dilaksanakan berdasarkan atas UndangUndang Darurat No. 7, 8 dan 9 tahun 1956. Pada waktu UndangUndang Darurat tersebut dibitjarakan dalam D.P.R. untuk di tetapkan sebagai UndangUndang maka timbul usulusul dari beberapa anggota D.P.R. untuk membentuk DaerahDaerah Tingkat II Baru i.c: Kotapradja selain dari DaerahDaerah Tingkat II dimaksud dalam UndangUndang Darurat tersebut, misalnja usul membagi Daerah Tingkat II Tapanuli mendjadi 5 Daerah Tingkat II, Nias mendjadi 2 Daerah Tingkat II, DeliSerdang mendjadi 2 Daerah Tingkat II, Padang Sidempuan dan Begawan didjadikan Kotapradja;
b. demikian djuga diterima usul dan tuntutantuntutan untuk memetjah: 1. Daerah Tingkat If Batanghari, Daerah Tingkat II Merangin diwi
kedjurusan otonomi wadjarjang modern jang harus sesuai pula dengan djiwa Penetapan Presiden No. 6/1959.
Untuk mentjapai hash kemadjuan jang sebaikbaiknja Pemerintah sedang giat mengusahakan penjempurnaan penjusunan aparatur2 Daerah
Daerah Swatantra jang ada itu sesuai dengan djiwa Penetapan Presiden No. 6/1959.
§ 1921. Penjerahan urusan2 kepada Daerahdaerah Swatantra.
Seperti dimaklumi sedjak berdirinja Negara R.I. mendjelang berlakunja UndangUndang Nasional tentang pokokpokok pemerintahan daerah jang pertama (UndangUndang No. 22/1948) dapat dikatakan bahwa hampir se luruh urusan pemerintahan adalah dalam tangan Pemerintah Pusat, Daerah Daerah jang sudah berotonomi. peninggalan dari pemerintah pendjadjahan adalah bermatjammatjam tjorakragamnja dan sebagian besar hak kewe nangan dan tugas kewadjibannja tidak djelas, agak kabur. Perkembangan keadaan diberbagaibagai daerah tidak sama, berbedabeda dan berbelit belit, lebihlebih diluar Djawa, terutama diwilajah bekas N.I.T. dimana terdapat banjak sekali swapradjaswapradja, daerahdaerah gabungan swa pradja neoswapradja.
Neoswapradja, jang juridis formil telah mempunjai hake otonomi lebih
luas dari pada daerahdaerah otonom jang ada di Djawa/Madura, malahan pula melebihi dari pada hakhak otonomi jang dimiliki oleh daerahdaerah otonom jang berstatus propinsipropinsi otonom. Dalam usaha Pemerintah Pusat untuk mengkonsolidir kekuasaannja diseluruh wilajah negara, banjak urusanurusan dipusatkan dalam tangan Pemerintah Pusat dan didaerah daerah jang djauh letaknja dari Pusat di Djakarta dipertjajakan ketangan wakilwakilnja jang ada didaerah (para Gubernur, Kepala Djawatan Pusat) hal mama tidak lebih mendjernihkan keadaannja jang sudah ruwet itu.
Dengan berlakunja UndangUndang No. 22/1948, sekali gus untuk seluruh Djawa (terketjuali wilajah Kotapradja DjakartaRaya) telah diben tuk daerahdaerah otonomi dimaksud UndangUndang tersebut dan kemu dian selangkah demi selangkah pembentukan daerahdaerah otonom terse but dilaksanakan untuk Sumatera, Kalimantan. Pelaksanaan dibekas wi lajah Indonesia Timur berlaku seret sekali; walaupun demikian djuga disini telah dibentuk daerah Tingkat I Irian Barat sebagai daerah otonom perdju angan jang chusus ditudjukan untuk melantjarkan usahausaha pembebasan Irian Barat dari Pemerintah Belanda dan Daerah Tingkat I Maluku jang meliputi tiga daerah tingkat 11 dan I Kotapradja Ambon.
Baru sesudah UndangUndang No. 1/1957 mengganti UndangUndang No. 22 tahun 1948 dibentuk pula tiga daerah tingkat I dan duapuluhenam daerah tingkat II di Nusa Tenggara dan tigapuluhtudjuh daerah tingkat II di Sulawesi.
atas hakhak otonom daerahdaerah lama, jang isinja lebih luas dan meli puti pula urusanurusan jang termasuk urusan rumahtangga Daerah Ting kat I, ditambah pula dengan kenjataan bahwa disini tidak pernah ada peme rintahan daerah otonom jang lebih tinggi daripada „Daerah” jang tingkatan nja disamakan dengan Tingkat II UndangUndang No.1/1957, maka pe netapan batasbatas rumahtangga antara Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II dibagian wilajah negara ini mengalami banjak sekali kesukaran kesukaran dan kesulitankesulitan. Untuk melaksanakan usaha pendesentrali sasian urusanurusan dad pusat kepada daerah swatantra disini memerlukan penindjauan jang mendalam dan diperhatikan hakhak otonomi jang njata telah dimiliki oleh DaerahDaerah swatantra, hal mana sudah barang tentu tidak dapat dilaksanakan dalam waktu jang singkat.
Tak heran kiranja bahwa didalam peraturan perundangan mengenai desentralisasi/pengisian otonomi/medebewind daerah terdapat beberapa matjam prinsip:
d. pengembalian/pemusatan kembali kewenangan daerah kepada/oleh pusat.
e. pengakuan hakhak jang dahulu telah dimiliki oleh daerah.
Dalam hubungan ini maka perlu pemerintah mentjurahkan segala tenaga, pikiran dan pengalaman untuk dapat menjelesaikan pelaksanaan UndangUndang No. 6/1959 dengan sebaikbaiknja, karena mengingat riwajatnja keadaan urusan pamongpradja itu adalah berlainan. sekali di berbagaibagai daerah: Djawa/Madura, Sumatera, Kalimantan dan wilajah
negara bagian Timur.
Perlu pula diminta perhatian disini, bahwa isi otonomi daerah jang meli puti bidang rumahtangga daerah tidak dapat diatur setjara seragam dalam satu peraturan sadja, tetapi diatur dalam beberapa djenis peraturan per undangan. Ini disebabkan karena usahausaha jang bersangkutan dengan pembentukan daerah² itu tidak dapat dilakukan sekaligus dalam suatu wak tu jang bersamaan, tetapi dalam waktu jang berbedabeda, dan sangat dipengaruhi oleh taraf perkembangan ketatanegaraan serta mated king akan diaturnja itu (misalnja penjerahan tugas urusan pemerintahan umum tidak diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah tetapi dalam UndangUndang).. Dalam garisgaris besarnja, urusan rumahtangga daerah ditetapkan:
(b). Sebagai pelaksanaan, kelandjutan daripada ketentuan Undang Undang pembentukkannja jang hanja menjebut garisgaris besarnja daripada u,rusanurusan itu (Djawa).
3. Dalam UndangUndang tersendiri (lihat UndangUndang No. 6/1959). 4. Setjara sumier disebut dalam UndangUndang pembentukkannja, ja
itu dengan menjebut dengan singkat bahwa urusanurusan jang dahulu dimiliki daerah adalah tetap mendjadi urusan daerah (daerahdaerah bekas witajah N.I.T.).
Mengenai urusanurusan rumahtangga Daerah Tingkat II didjelaskan Iebih landjut bahwa selain daripada urusanurusan jang telah dimilikinja berdasarkan UndangUndang pembentukkannja, maka urusanurusan lain nja dapat diserahkan oleh Daerah Tingkat I jang meliputi wilajahnja daerah jang bersangkutan itu dengan Peraturan Daerah Tingkat I jang bersangku tan berdasarkan pasal 31 ajat (4) UndangUndang No. 1/1957.
Persoalan penjerahan urusanurusan kepada Daerah Tingkat II ini agak sulit melaksanakannja, oleh karena pada waktu ini banjak Pemerin tah Daerah Tingkat I belum bersedia menjerahkan sebagian urusannja ke pada Daerah Tingkat II dalam wilajahnja dan sebaliknja daerahdaerah Tingkat II tetap menuntut penjerahanpenjerahan itu dari Daerah Tingkat I jang bersangkutan.
Mengenai penjerahan urusanurusan kepada DaerahDaerah Tingkat II tersebut Pemerintah sedang menindjau setjara , mendalam tentang tjara pelaksanaannja dengan antara lain mengadakan inventarisasi isi oonom masingmasing daerah, baik daerah Tingkat I maupun DaerahDaerah Tingkat II/Kotapradja. dahulu hares menjelidiki kepentingan mana dari pada. urusanurusan itu jang dapat diserahkan dan hal ini perlu penindjauan setjara saksama dengan DepartemenDepartemen jang bersangkutan, tidak sadja mengenai hal materinja, tetapi djuga mengenai hal alatalat perlengkapannja, keuangan dan pegawaipegawainja.
urusanurusan jang telah diatur dalam peraturanperaturan perudangan jang ada itu tidak lantjar dan mentjari usahausaha serta djalan untuk dapat mengatasi kesulitankesulitan itu dengan memberikan pertimbangan atau usulusul kepada Pemerintah.
Pemerintah menganggap perlu membentuk Panitia tersebut terachir itu dengan maksud untuk memudahkan penjerahanpenjerahan njata dari pada urusanurusan jang setjara formal telah didjadikan urusan rumah tangga daerah, oleh karena pehgalaman membuktikan bahwa diadakan peraturanperaturan tentang penjerahanpenjerahan dari sesuatu urusan itu sadja belum berarti daerah jang bersangkutan sudah dapat memelihara kepentingan jang diserahkan kepadanja bilamana penjerahanpenjerahan itu tidak diikuti dengan petundjukpetundjuk/Instruksiinstruksi dari Peme rintah Pusat c.q. Departemen jang bersangkutan jang mengatur halhal jang bersangkutan dengan urusan itu misalnja soal kepegawaian, keuangan inpentaris dan lainlain dan djuga dengan mengingat kesediaan dan ke mampuan Daerah jang, bersangkutan.
§ 1922. Pengawasan mengenai perundangundangan daerah.
Tugas pengawasan mengenai perundangundangan daerah terutama meliputi:
a. pengawasan terhadap putusanputusan dan peraturanperaturan daerah (djuga jang tidak memerlukan. pengesahan dari ,badan pengawasan
jang lebih tinggi tingkatnja) dari daerahdaerah otonom tingkat ke1 dan tingkat keII tentang halhal dilapangan pemerintahan kedaerahan jang sebagian besar bersifat sosialekonomi & umum (termasuk padjak daerah dan retribusidaerah) jang tidak menjinggung soalsoal keuangan daerah, kepegawaiandaerah, organisasidaerah dan keswapradjaan;
b. pengawasan atas pelaksanaan tepat (richtige uitvoering) dari per aturanperundangan umum (dari Pemerintah Pusat) di daerahdaerah otonom;
c. Peradilan administratip;
d. memimpin Pemerintah Daerah dalam mendjalankan roda pemerin tahannja dengan memberi petundjukpetundjuk, pedomanpedoman atau instruksiinstruksi.
Pekerdjaan pengawasan terhadap putusanputusan/peraturanperaturan daerah itu terdiri atas:
1.. penindjauan materienja dari beberapa segi (umpamanja: penindjauan dari sudut hokumagraria, hukumperdata, hukumpidana, hukum padjak d.1.1., dari suduf juridisformeel);
2. penindjauan bentuk peraturandaerahnja, penjusunan dan perumusan ketentuanketentuannja,dan disamping itu
1. penjelidikan apakah putusanputusan/peraturanperaturan daerah ter sebut bertentangan atau tidak dengan peraturanperundanganjang lebih tinggi tingkatnja;
2. penjelidikan apakah putusanputusan/peraturanperaturan daerah itu bertentangan atau tidak dengan kepentingan mum;
3. penjelidikan apakah putusanputusan/peraturanperaturan daerah itu bestuurspolitisch dapat dipertanggungdjawabkan;
5. penjelidikan tentang apakah Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan suatu putusan (seperti pemberian izinizin atau penolakan permohonan permohonan izin) menjalahgunakan wewenangnja (detournement de pouvoir/mesuse of power atau „bestuursexeesen"). kekurangan ,qualified personnel”, jaitu teuagatenaga jang_ mempunjai pendidikan hukum (terutama: hukum administratip/hukum..pemerintahan) dan jang berpengalaman atau faham dalam bidang „perundangundangan daerah” dan „perundangundangan pusat”.
Persoalanpersoalan jang menimbulkan kesulitankesulitan termaksud dapat digambarkan sebagai berikut:
Sebagaimana telah diketahui „UndangUndang Pembentukan” dari beberapa daerahswatantra — di Djawa dan diluar Djawa (baik jang tingkat keI, maupun jang tingkat keII) adalah tidak seragam, pula s i f a t dan 1 u a s nja urusanrumahtangga daerah dan kewadjibandaerah dan kewa djibandaerah di beberapa daerahotonom adalah b e r b e d a, sehingga kadangkadang menimbulkan persoalanpersoalan sekitar „kompetensi” dan „jurisdiksi”.
„Ada daerahdaerahswatantrabekasswapradja” jang mempunjai suatu otonomi jang l e b iii 1 u a s daripada daerahdaerah swatantra lainnja, ka rena „urusanrumahtangganja” sebagian besar masih disandarkan kepada djiwa „Zelfbestuursregelen 1938” (luar Djawa) atau „Lang (Politiek) con tract” (umpamanja: Daerah Istimewa Jogjakarta).
N.B.: Daerah Istimewa Jogjakarta: „...:.. urusanurusan rumahtangga dan kewadjibankewadjiban lain jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut. undangundang pem bentukannja, d i l an d j u t k a n, sehingga ada ketetapan lain de ngan UndangUndang”; dan .... pranatanpranatan dulu jang belum diganti dengan peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta, b e r l a k u terus sebagai peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Sekarang timbul pertanjaan:
a. apakah tidak sejogjanja, bilamana kepada daerahdaerah swatantra diberikan otonomi jang s a m a 1 u a s n j a dengan suatu daerahbekas swapradja, umpamanja „Daerah Istimewa Jogjakarta”, sehingga kedu dukan s e m u a daerahdaerah otonom (jang sama tingkatnja) mendja di sederadjat (tidak ada diskriminas)?
atu landschap jang statuutnja adalah „Zelfbestuursregelen 1938”, dan disamping itu kepada daerahdaerah diluar Djawa jang tidak meliputi suatu „locale gemeenschap” dulu, diberi wewenang untuk
mengatur dan mengurus s e m u a hal dalam wilajahnja jang dulu diatur/diurus dengan residentsverordeningen/residentskueren.
b. apakah peraturanperaturan perundangan umum. (algemene verorde ningen seperti „ordennanties”) jang berasal dari zaman Pemerintah Hindia Belanda dan jang dulu hanja berlaku untuk „rechstrecks bestuurd gebied”, setelah swapradjaswapradja dibentuk mendjadi „daerah swatantra biasa” atau „daerah istimewa” (dus mendjadi.,,recht streeks bestuurd gebied" karena sifat keswapradjaan tidak ada), d a p a t atau harus dilakuk an djuga dalam wilajahbekasswapradja (se perti dulu dalam zaman „kolonial)”, dengan lain perkataan: apakah „jurisdictiegebied” peraturanperaturanperundangan umum dari zaman Pemerintah Hindia Belanda (umpamanja: Hinderordonnantie) de ngan sendirinja meliputi „daerahdaerahswapradja"/,,daerahdaerah istimewa) (bekas swapradja)”?
Atau: apakah berlakunja suatu peraturanperundangan umum (seperti „ordenantie”) didalam wilajah „daerahswatantrabekasswapradja”, harus dinjatakan terlebih dahulu dengan suatu „undangundang special”?
Pemerintah lebih tjondong pada pendirian bahwa dengan lenjapnja sifat keswapradjaan itu, wilajah bekaslandschap otomatis mendjadi „daerah jang sederadjat dengan „rechtstreeks bestuurd gebied”, se hingga peraturanperaturan umum (a.l. „ordonnantie”) dengan sen dirinja berlaku dalam „daerah bekasswapradja” tersebut, ketjuali bilamana PembuatUndangUndang dengan tegas menjatakan lain vide suatu undangundang.
Probleem ini adalah berguna untuk dipertimbangkan/dipeladjari.
§ 1923. Materie peraturandaerah.
Dengan demikian tertjapailah:
Lebih bermanfaat dan praktis bilamana semua Pemerintah Daerah m e n gc o d i f i c e e r setjara systematis peraturanperaturan daerahnja (jang telah diseragamkan/diretool) dalam suatu code (administrative code), seperti "penal code", burgerlijk wetboek etc., sehingga mendapat o v e r z i c h t jang djelas tentang semua djenis dari public service (dari masingmasing daerah) jang diatur dalam peraturandaerah jang bijgewerkt"; pula ,administrative code' itu mudah dipergunakan daripada „Tambahan Lembaran Daerah”.
Hingga kini peraturanperaturan daerah dari Daerah tingkat keI dan ke II itu h anj a dikumpulkan setjara urutan chronologis dan didjilid setjara tahunan dalam sesuatu „Tambahan Lembaran Daerah” dari Daerah Tingkat keseragaman jang fundamenteel dan essentieel), maka dengan demikian hampir tertjapai:
a. kesatuan dan keseragaman dalam perundangundangan daerah selu ruh Indonesia;
b. kesatuan dan keseragaman dalam policy pemerintahan di daerah daerah seluruh Indonesia;
c. kesatuan dan keseragaman dalam penggunaan bahasa perundangan, atau legistative language", dan istilahistilah resmi;
d. kesatuan dan keseragaman dalam penjusunan/perumusan peraturan peraturan daerah;
e. dan……..mendjamin efficiency dan stabiliteit dalam mendjalankan roda pemerintahan di daerahdaerah dengan tidak banjak personeel. Seandainja ada daerah swatantra jang memerlukan perubahan/tambahan dari suatu peraturan jang terdapat didalam „administrative codenja”, maka perubahan/tambahan tersebut dapat disarankan kepada daerahdaerah lain nja untuk diadopteer c.q. diadopteer.
Hal ini merupakan suatu kerdjasama (cooperatie) antardaerah demi ke pentingan kesatuan perundangundangan daerah, d.1.l.nja.
Keseragaman/kesatuan dalam perundangundangan daerah dapat merupa kan suatu pengganti jang wadjar untuk sentralisasi.
Memang harus diakui, bahwa pekerdjaan pengawasan seperti diurai kan diatas, tidak selalu berdjalan dengan lantjar, jaitu tidak sadja karena kita mengalami kesulitankesulitan jang bersifat juridis dan/atau bestuur politisch, akan tetapi djuga karena peraturanperaturan daerah itu kadang kadang memerlukan penindjauan technic oteh beberapa instansi pemerin tah pusat lainnja, umpamanja penindjauan dari sudut perekonomian, perdagangan, pertanian, fiskal dan lainlain, jang memakan banjak.waktu.
Disamping itu agak sukar untuk menentukan apakah atau sampai di manakah suatu peraturandaerah bestuurpolitisch dapat dipertanggung djawabkan, karena tidak selalu kita mempunjai gambaran jang djelas tentang keadaankeadaaan setempat, umpamanja tentang perkembangan
kemasjarakatan, tihgkat kemadjuan dari rakjat didaerah jang bersangkutan minkan kebidjaksanaan Pemerintah Daerah serta kemampuannja didalam melaksanakan perentjanaan jang telah ditentukan didalamnja untuk tahun jang bersangkutan.
Kebidjaksanaan pada bidang pengisian Otonomi jang seluasluasnja kepada Daerah sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 18 menghendaki puta pemberian atau pengalihan sumber sumber keuangan jang seluasluasnja pula dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah jang perlu mendapat pengaturan jang seksama.
Dengan adanja pemberian otonomi jang seluasluasnja, maka diharap kan bahwa perkembangan dan pertumbuhan Daerah &kan berdjalan lebih lantjar. Kebutuhankebutuhan serta pelaksanaan fungsi sosial terhadap Masjarakat karena diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Daerah jang lebih mengetahui kekurangankekunangan serta kelemahankelemahannja akan lebih mendapat perhatian.
Dalam pada itu tidaklah boleh dilepaskan kenjataan, hal mana sangat mendjadi buahpemikiran dari pada Daerahdaerah Swatantra, bahwa jang hingga sekarang diserahkan kepada Daerah ialah tugasspada bidang sosial
mempengaruhi a.l., kepadatan penduduk, luas Daerah kegiatan rakjat dalam lapangan ekonomi, sifat suku, dsb,nja mengakibatkan adanja pembangunan pula jang sangatberbedabeda, hal mana mudah menimbulkan kesalahfa haman dengan melontarkan tuduhantuduhan terhadap Pemerintah Pusat sebagai anakemas dan anaktiri.
Dalain hubungan ini, karena rentjana jang merupakan rentjana pemba ngunan keseluruhan hingga sekarang belum dapat disusun oleh Daerah dan dihimpun oleh Departemen Dalain Negeri dan Otonomi Daerah, sangat dirasakan keperluan adanja suatu poly pembangunan jang akan meliputi
seluruh Daerah dengan disamping itu adanja rentjana jang bersifat lokaal,
Dalain hal pembangunan ini, saja berpendapat bahwa untuk dapat mengadakan pembangunan seperti jang dihasratkan, terlebih ,dahulu harus diadakan suatu pemerintahan Daerah jang stabiel dengan pula adanja aparaturaparatur pada bidang ,tehnik dan administrasi jang tjukup effisien,
serta
adanja pengawasan2 financieel jang intensip, hingga dengan demikian akan
dihilangkan sifatsifat dan ditjegah pemborosan serta pemakaian keuangan jang disediakan itu setjara „ondoelmatig”.
Sangat pula akan memberi pengaruh terhadap lantjarnja pembangunan Daerah adanja harga barangbarang serta material dan perhubungan jang stabiel, sehingga tidak akan terdjadi adanja perubahanperubahan dalam rentjana biaja jang telah ditetapkan.
§ 1925. Keuangan Daerah dalam hubungannja dengan Perimbangan Ke uangan antara Negara dan Daerah.
Sebagai dimakltuni dalam Nota Keuangan tahun 1960, jang telah disam paikan kepada D.P.R., Pemerintah sudah menjatakan, bahwa mengenai pem biajaan pemerintahan DaerahDaerah, Pemerintah tetap bermaksud untuk melaksanakan UndangUndang No. 32 tahun .1956 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 77) tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Da erah beserta peraturanperaturan pelaksanaannja.
UndangUndang Perimbangan Keuangan pada tanggal 31 Desember 1956 disahkan dan diundangkan pada hari itu pula sebagai UndangUndang No. 32 tahun 1956 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 77), sesudah diadakan beberapa tambahan oleh D.P.R. jang tidak mengubah sistim perimbangan keuangan jang dirantjangkan semula. UndangUndang No. 32 tahun 1956 jang mulai berlaku pada tanggal 1 Djanuari 1957 hanja menentukan dasar dasar pokok serta garisgaris besarnja sadja dari pada perimbangan keuangan sedangkan pelaksanaan selandjutnja akan diatur dalam peraturan2
pemerintah
Dalain tahun 1957 dikeluarkanlah beberapa peraturan pelaksanaan daripada UndangUndang no. 32 tahun 1956 tersebut, jaitu:
b. Peraturan Pemerintah tentang pemberian gandjaran, subsidi dan sum bangan (P.P.No. 4 tahun 1957), berdasarkan pasal 7, 8 dan 9 Undang Undang No. 32 tahun 1956;
c. Peraturan Pemerintah tentang Panitia Negara Perimbangan Keuangan (P.P. No.5 tahun 1957), berdasarkan pasal 10 UndangUndang No. 32 tahun 1956;
d. Peraturan Pemerintah tentang perobahan Peraturan Pemerintah No.5 tahun 1957, (P.P.No. 33 tahun 1957). Disamping itu dalam rangka pelaksanaan perimbangan keuangan ditetapkan pula:
1. UndangUndang Darurat tentang Peraturan Umum Padjak Daerah (UndangUndang Darurat No. 11 tahun 1957):
2. UndangUndang Darurat tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah (UndangUndang Darurat No. 12 tahun 1957);
(c) Kotapradja DjakartaRaya kedelapan djenis padjak tersebut diatas karena diwilajah DjakartaRaya tidak terdapat DaerahDaerah tingkat II.
Selama tatausaha dan penagihan padjakpadjak itu belum diambil alih oleh Daerah jang berkepentingan, maka jang diberikan kepadanja ialah
P.P.No. 12 tahun 1958 tersebut, jang disebut Peraturan Pemerintah tentang penetapan persentasi dari penerimaan beberapa padjak Negara untuk Daerah, agak berlainan dengan rantjangan, jang telah ada pada Pemerintah dalam tahun 1957 sebelum diadakan Musjawarah Nasional, jakni:
(1) Dalam rantjangan P.P. tahun 1957 dimaksud, diatur pemberian bagian kepada Daerah menurut sistim „fonds” (,,pot") dan djumlah persentasi dari padjakpadjak Negara untuk Daerah tiap tahun dimasukkan dalam „fonds” (,,pot") itu dahulu dan sesudahnja baru dibagikan ke pada daerahdaerah swatantra seluruhnja mengingat faktorfaktor jang dapat mempengaruhi keadaan keuangan Daerah berdasarkan pasal 6 UndangUndang No. 32 tahun 1956 a.l. faktorfaktor:
a) luas daerah,
d) tingkat ketjerdasan rakjat, padjak Negara, jang persentasinja tiap tahun ditetapkan oleh Pemerintah untuk daerah, diserahkan langsung kepada tiap Daerah jang berkepentingan, agar dengan demikian dapat diketahui besarnja djumlah jang mendjadi hak daerah masingmasing, djadi tidak dibagikan lagi mengingat faktor faktor tersebut dalam pasal 6 UndangUndang No. 32 tahun 1956. Dalam pada itu dalam pasal 6 dari pada P.P. No. 12 tahun 1958 ditentukan, bahwa penerimaan masingmasing Daerah berdasarkan pasalpasal dalam P.P. No. 3 tahun 1957 dan P.P. No. 12 tahun 1958 tidak boleh melebihi djumlah „plafond” tundjangan, jang diberikan kepada daerah swatantra itu dalam tahun 1957.
Dalam rangka perimbangan keuangan dikeluarkan pula surat keputusan Perdana Menteri tertanggal 6$1958 no. 359/P.N./1958 jang menentukan. bahwa mulai tanggal 171958 kepada Daerah diserahkan 10% dari penda patan Pembajaran Bukti Ekspor (P.B.E.) dari barangbarang, jang dihasil kan oleh Daerah jang bersangkutan dan diekspor.
Sedjak awal tahun 1958 oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan bantuan dari Panitia Negara Perimbangan Keuangan telah dimulai dengan menindjau penjempurnaan dari pada:
a) UndangUndang 'No. 32 tahun 1956, karena dalam UndangUndang ini masih terdapat kelemahankelemahan antara lain tidak dinjatakan dengan tegas mengenai sistim „fonds” (,,pot").
b) P.P. No. 12 tahun 1958, jang hanja berlaku untuk tahun 1958, karena sistim „plafond” tundjangan termaktub dalam pasal 6 mendapat ke tjaman dari pihak Daerah dan boleh dikatakan perimbangan keuangan, jang diharapharapkan, belum dapat direalisir dalam tahun 1958.
Dalam awal tahun 1959 Pemerintah mengeluarkan P.P.No. 14 tahun 1959 tentang penetapan persentasi dari beberapa penerimaan Negara untuk Daerah guna mengganti P.P. No. 12 tahun 1958. Dengan mempergunakan bahanbahan, jang telah diperoleh, serta menghapuskan kelemahan kelemahan jang ada pada P.P.No. 12 tahun 1958, ditentukan dalam P.P.No.14 tahun. 1959 al:
1) Penghapusan adanja prinsip „plafond” seperti tertjantum dalam pasal 6 P.P.No. 12 tahun 1958.
2) Penetapan bagian untuk Kotapradja DjakartaRaya dari penerimaan padjak meterai, padjak kekajaan, padjak perseroan, bea keluar/masuk dan tjukai.
3) Penetapan bagian tiaptiap Daerah tingkat I dari penerimaan tjukai.
4) Penetapan persentasi tersendiri terhadap beberapa Daerah tingkat II, jang tidak mina dengan bagian beberapa padjak Negara untuk daerah
daerah swatantra jang bersamaan. Penetapan ini dianggap perm diada kan, karena pada dasarnja perimbangan keuangan bertudjuan a.l. untuk menggantikan pemberian tundjangan (subsidi dahulp) dengan sistim penjerahanpenjerahan sumbersumber penghasilan Negara, jang mendjadi pendapatan pokok dan tulang punggung dari keuangan Negara, sehingga dengan demikian Dacrah tidak lagi menggantungkan diri kepada Pemerintah Pusat, melainkan dapat menudju kearah „self supporting” dengan mengintersivir sumbersumber pendapatan Daerah dan mengadakan sumbersumber baru.
Berdasarkan pendapat: belum diperoleh tjukup pengalaman tentang pelaksanaan penjerahan sebagian dari pendapatan Negara kepada Daerah, lagi pula belum dapat diketahui kelemahankelenahannja dalam pelaksana an itu dan djuga karena bagi Negara dan Daerah perlu adanja ketentuan jang pasti untuk menjusun anggaran tahun 1960, maka Pemerintah mengang gap perlu untuk memperpaudjang berlakunja P.P.No.14 tahun 1959, jang hanja berlaku untuk tahun 1959 sadja, dengan 1 (satu) tahun lagi.
Berhubung dengan penghapusan sistim Bukti Ekspor (B.E.) dan dike luarkannja peraturan tentang Pungutan Ekspor (Pueks) olch Pemerintah
pada tanggal 2581959, maka dianggap perlu pula untuk mengubah Surat Keputusan Perdana Menteri tertanggal 681959 No. 359/P.M./1958 terse but tadi sedemikian, sehingga mulai 2581959 kepada Daerah diserahkan 100/o dari pendapatan Pungutan Ekspor (Pucks) dirnaksud.
Ditjatat disini, bahwa keuangan Daerah sangat erat hubungannja de ngan keuangan Negara dan merupakan suatu keseluruhannja jang satu sama lain tidak dapat dipisahpisahkan. Kebidjaksaaraan keuangan Negara ti
dak dapat dipisahpisahkan. Kebibjaksanaan keuangan Negara tidak dapat dilepaskan dari garisgaris politik, jang telah ditetapkan dalam Manifesto Politik Presiden, jang diumumkan pada tanggal 1781959 dan jang ditudju kan untuk pelaksanaan triprogram Kabinet Kerdja. Mengikuti kebidjak sanaan Pemerintah dalam bidang keuangan itu, maka pengolahan keuangan Daerah akan disesuaikan djuga dengan dasar tersebut dengan dimana perlu mengadakan tindakantindakan guna memungkinkan terwudjudnja pro gram utama Pemerintah, jang telah diletakkan itu, jalah program sandang pangan.
Dibawah ini dipermaklumkan djumlahdjumlah rupiah jang diperoleh daerahdaerah swatantra seluruhnja dari Pemerintah Pusat tiaptiap tahun
sedjak tahun 1951.
Tahun 1951 ialah sebesar Rp. 1.065.808.000.—1952 „ 1.887.511.000. —
§ 1926. Pindjaman Daerah Untuk Pembangunan.
Berdasarkan pasal 60 ajat (2) a UndangUndang No. 1/1957 Daerah dapat mengadakan pindjaman guna melaksanakan 'pembangunan jang biaja
nja djauh melampaui kekuatan keuangannja. Pindjaman ini dimaksudkan untuk menambah kekajaan dan penghasilan Daerah.
Karena pindjaman ini harus dibajar kembali dan pula dibajar bunga nja, maka pindjaman itu hanja dapat diadakan untuk pembangunan objek objek jang (akan) membawa penghasilan Daerah, sehingga, pembajaran
angsuran dan bunganja tidak mengurangi penghasilan Daerah semula. De ngari perkataan lain, objekobjek dimaksud harus dapat membiajai sendiri dan jang lazim disebut „Selfliquidating objects”.
Biaja untuk pembangunan objek jang tidak membawa penghasilan, harus ditutup dengan keuangan Daerah sendiri atau subsidi dari Pemerintah Pusat.
Berdasarkan sjarat tersebut diatas,. oleh beberapa Daerah diadjukan permintaan pindjaman jang bertudjuan hanja untuk dapat menambah ke uangan Daerah dengan hendak mengadakan perusahaanperusahaan jang seharusnja dapat diserahkan kepad'a inisiatip rakjat untuk menjelenggarakan nja, seperti: pabrik es, pertjetakan, bioskop dan lainlain. Ada pendapat bahwa dengan tjara demikian ini Pemerintah Daerah menjaingi dan meng halanghalangi inisiatip rakjat dan melupakan tugasnja untuk membimbing rakjat kearah itu.
Sedangkan Manifesto Politik Pemerintah jang diutjapkan oleh Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dan program Kabinet Kerdja inengharuskan ikut serta Daerah dalam perusahaanperusahaan jang bersifat setengah vitaal dan jang sebelumnja lazimnja diselenggarakan oleh pihakpihak partikelir agar dengan demikian dapat membantu Pemerintah dalam melaksanakan programnja jang utama.
Hingga sekarang pindjaman jang dapat diadakan oleh Daerah ialah hanja pindjaman untuk pembangunan objekobjek jang mengenai kepen tingan umum dan bersifat vitaal seperti: pasar, listrik, saluran air minum jang kedua inilah jang oleh Daerah selalu ditempuh; karena ternjata bagi Daerah merupakan tjara jang tidak begitu sulit dan beban jang paling ringan. Akan tetapi berhubung dengan keadaan keuangan Negara dewasa ini, kesem patan mengadakan pindjaman ini sangat terbatas sekali. Hasrat untuk mem bangun besar sekali dan dengan kurang memperhatikan kemampuan, kadangkadang diadjukan rentjana jang besar bahkan mewah sekali, jang bagi
Daerah bersangkutan kemudian akan ternjata kurang doelniatig dan akan mendjadi beban jang berat, jang semestinja dapat dihindari, umpamanja membangun seuah pasarbertingkat diibukota Ketjamatan.
dan untuk dapat memenuhi sjarat ini kerapkali tarip pemakaian atau peng hasilan objek jang akan dibangun harus dinaikkan, hal niana tidak selalu
diadakan berdasarkan alasan memberatkan beban rakjat, sehingga memper sulit permintaan pindjaman atau mempersulit pembajaran kembali pindja man jang telah diberikan kepada Daerah. Beberapa Daerah tidak (dapat) membajar kembali pindjamannja, karena tidak dapat tambahan penghasilan lantaran tarip lama dipertahankan.
Dengan persediaan kredit dalam Anggaran Belandja Negara dan/atau kredit dari Bank Tabungan Pos guna pindjaman kepada Daerah jang sangat terbatas, djika Daerahdaerah menggunakan tjara jang seefisienefisiennja, dapat diadakan pembangunan jang berfaedah pula, apabila Daerah untuk kepentingan dan kemadjuan rakjat dan daerahnja inengutamakan doelmatig heid dan kesederhanaan serta meninggalkan segala kemewahan dan kepen' tingan sesuatu golongan.
Hingga kini Daerah selalu tergantung dari atau menggantungkan diri pada Pemerintah Pusat untuk mendapat bantuan keuangan guna membiajai pembangunan jang dikehendaki, baik berupa pindjaman, maupun jang beru pa subsidi. Sebagai dorongan untuk pembiajaan sebagian dari pembangun an Daerah, telah ditetapkan untuk menjerahkan sebagian dari basil Pueks dulu P.B.E. kepada Daerah jang menghasilkan. Akan tetapi dalam kenjataan nja uang ini belum dapat digunakan scbagaimana mestinja dengan tjara sebaikbaiknja.
Apabila uang ini dibagikan kepada Daerahdaerah Tingkat II setjara merata, bagian jang diterima tiap Daerah tidak akan berarti guna pemba ngunan, karena djumlahnja tidak banjak, sedangkan untuk membagi se imbang dengan djumlah Pueks, jang dihasilkan masingmasing Daerah Tingkat 11, selain dari pada masih didjumpai kesulitan tehnis, pun tidak akan memberi kemungkinan banjak bagi Daerah jang sama sekali tidak atau kurang menghasilkan Pueks.
Sekalipun demikian dengan bidjaksana oleh Daerah hasil Pueks ini dapat didjadikan modal guna pembangunan dengan mengatur sedemikian rupa, hingga dapat digunakan oleh Daerah Tingkat II setjara bergilir untuk pembangunan jang bersifat development.
Dalam pada itu mengadakan pindjaman setjara umum dengan menge luarkan obligasi oleh Daerah pada dewasa kiranja sedikit sekali ke mungkinannja akan berhasil, karena selain uang jang ditanam dalam pin djaman itu hanja akan memberi laba (bunga) jang tidak banjak, pemilik uang tidak akan ikut merasakan manfaatnja. Hanja masjarakat setempat dalam Daerah jang mengadakan pindjaman itulah jang akan merasakan dan menikmati basil dari pembangunan jang akan dibiajai dengan pindja man tersebut.
Dengan demikian pindjaman setjara umum kiranja hanja akan berhasil, djika dalam wilajah jang berkepentingan para hartawan dapat dikerahkan untuk memberi „sumbangan” guna membangun jang dikehendaki dengan menanam uangnja dalam pindjaman umum itu.
§ 1928. ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH.
dalam organisasi. kerdjanja, sistim itu dilaksanakan dengan konsekwen.
Dengan keluarnja Penetapan Presiden No. 6 tahun .1959, bentuk dan susunan serta kekuasnan, tugas dan kewadjiban pemerintah daerah jang diatur dalam undangundang. No. 1 tahun 1957 mengalami beberapa peru bahan radikal, jaitu diselaraskan dengan faham demokrasi terpimpin. Dalam uraian mengenai Organisasi pemerintah daerah ini diperhatikan/difikirkan persesuaian ketentuan jang berlaku berdasar UndangUndang No. 1 tahun 1957 berhubung dengan dikeluarkannja .Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959.
§ 1929. Organisasi Pemerintah Daerah.
Berdasar UndangUndang no. 1 tahun 1957 perlengkapan pemerintah daerah terdiri atas D.P.R.D. dan D.P.D. Kepala Daerah tidak disebutkan sebagai orgaan tersendiri, melainkan exofficio adalah Ketua dan anggota D.P.D. hal mama dianuti berhubung dengan prinsip pemerintahan kole gial.
Djumlah anggota D.P.R.D. dan D.P.D. ditentukan dalam undang undang pembentukan masingmasing daerah, dengan memperhatikan ketentuanketentuan pokoknja dalam undangundang No. 1 tahun 1957.
Bagi banjak daerah diluar Djawa, djumlah anggota D.P.R.D.nja dite tapkan sudah mengikuti ketentuan minimaalnja, oleh karena sedikitnja djumlah penduduk.
Dalam prakteknja hal itu sering menimbulkan kesulitan D.P.R.D. dan D.P.D., masingmasing mempunjai ketuanja, djadi tidak ditangan seorang pendjabat.
Ketua dan Wakil Ketua D.P.R.O. dipilih oleh dan dari para anggota D.P.R.D., tanpa kwalifikasi tertentu;
Berdasarkan Penetapan Presiden No.6 tahun 1959, sebagai perleng kapan pemerintah daerah disebutkan Kepala Daerah dan D.P.R.D.
Dalam mendjalankan tugasnja Kepala . Daerah dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harlan (B.P.H.). Djadi prinsip pemerintahan kolegial telah ditinggalkan. Pimpinan pemerintah seharihari berada ditangan se orang (Kepala Daerah), jang dalam mendjalankan pimpinan itu dibantu oleh para anggota B.P.H.
§ 1930. Tjara bekerdja D.P.R.D.
Untuk ketertiban kerdja, D.P.R.D. menetapkan peraturan tatatertib, jang memerlukan pengesahan oleh instansi atasan; untuk mempermudah oleh pemerintah pusat telah dikeluarkan pedoman tatatertib jang dapat dipakai sebagai dasarnja. Tatatertib itu terikat pada beberapa ketentuan dalam UndangUndang No. 1 tahun 1957.
Didalam tatatertib itu diatur a.l. halhal sebagai berikut: a. Tjara menetapkan pimpinan D.P.R.D.
d. Kewenangan serta kewadjiban para anggota,
Ada ketjenderungan disementara daerah, untuk mengikuti tiaratiara bekerdja Parlemen dengan sekaligus mengoper pula hakhak kewenangan parlemen, jang tidak dapat dibenarkan seluruhnja.
Dengan tiadanja lagi D.P.D. dalam rangka Penetapan Prdsiden No. 6 tahun 1959, perlu diadakan perubahan dalam tatatertib itu. Djuga perlu diatur lagi tjara mengambil sesuatu keputusan jang hams disesuaikan de ngan hikmat musjawarah.
§ 1931. Tjara bekerdja D.P.D.
Untuk ketertiban tiara bekerdja D.P.D., sebaiknja ditetapkan pedoman oleh pemerintah pusat untuk melantjarkan pembuatan pedoman tatakerdja
Dengan berlakunja Penetapan Prdsiden No.6 tahun 1959, hapusnja instituut D.P.D. Berta adanja B.P.li. jang mendampingi Kepala Daerah, diperlukan pengaturan tatakerdjanja lebih landjut.
§ 1932. BadanBadan lain.
Kalau dikatakan diatas, bahwa dalam sistim UndangUndang No. 1 tahun 1957, pemerintah daerah terdiri atas D.P.R.D. dan D.P.D., ini tidak berarti bahwa tidak ada badanbadan lain jang dapat mendjalankan tugas kewenangan daerah atau dapat pula mengadakan hubungan keluar.
(D.P.R.D. dan D.P.D. sesungguhnja hanja mempunjai fungsi dalam pim pinan).
Jang terpenting ialah Sekretaris daerah. la adalah pegawai daerah jang diangkat dan diperhentikan oleh atas usul D.P.D., dengan mengingat sjaratsjarat kepegawaian.
la adalah Sekretaris D.P.R.D. dan D.P.D. Berta, tehnis memimpin
kantor Sekretariat daerah.
Dikeluarkannja Penetapan Prdsiden No. 6 tahun 1959 menghendaki pemikiran chusus untuk menjelesaikan masalah Sekretaris di daerah, oleh karena telah adanja Sekretaris Daerah dan Sekretaris dari pendjabat pamong pradja tertinggi di daerah jbs., jang masingmasing memegang tehnis pim pinan dikantornja dan sekarang pimpinannja dikatukan ditangan Kepala Daerah baru.
Adahja komisikomisi ataupun panitiapanitia jang chusus dibentuk oleh D.P.R.D. merupakan badan pula jang dapat bertindak tersendiri dalam sesuatu hubungan dinas dengan pemerintah daerah.
Chusus mengenai kepegawaian daerah akan dibitjarakan lebih lan djut dalam angka 12.
§ 1933. Tjara pemmdjukan anggota D.P.R.D.
Anggota D.P.R.D. harus memenuhi sjaratsjarat sebagaimana dite tapkan dalam pasal 8 UndangUndang No. 1 tahun 1957 jo perubahannja; serta dipilih melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 19 tahun 1956. Tjara pemilihannja ialah pemilihan langsung, dengan mengikuti sistim kombinasi daripada personen dan lijstenstelsel. Dalam praktek suarasuara jang diberikan atas nama, tidak dihonoreer sebagaimana mestinja. Seorang anggota D.P.R.D., menurut sistim Undang Undang No. 19 tahun 1956, adalah wakil rakjat dan bukan wakil partai. Berhubung itu, tidak ada hak recall bagi partai jang mempunjai anggota anggotanja jang duduk dalam D.P.R.D.
Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 tidak membawakan sesuatu pe rubahan dalam D.P.R.D. selain bahwa para anggotanja harus bersedia untuk disumpah dan dilantik dalam rangka pengalihan statusnja mendjadi D.P.R.D baru.
§ 1934 Tjara pemilihan anggota D.P.D./B.P.11.
Berdasar UndangUndang No. 1 tahun 1957, anggotaanggota D.P.D. dipilih oleh dan dari anggotaanggota D.P.R.D. atas dasar perwakilan berimbang Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1957 mengatur tjaratjara menjusun D.P.D. itu dan memuat beberapa esentialia sebagai berikut:
a. Setjara mathematis mengatur tjara penjusunan suatu perwakilan ber imbang.
b. Merupakan paduan daripada personen dan lijstenstelsel dengan mak sud:
1. Mendjamin kebebasan seseorang dalam memilih.
2. Suatu kursi jang telah diperoleh sesuatu penggolongan tidak akan terlepas lagi daripadanja.
c. Mendjamin lebih adanja kestabilan pemerintahan.
Dengan tiadanja lagi D.P.D. setelah penetapan Presiden berlaku, timbul persoalan bagaimana menjusun B.P.H. Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonorni Daerah No. 8 tahun 1959 tentang pengangkatan dan pemberhentian B.P.H. mengatakan bahwa anggota B.P.H. diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah tingkat I bagi daerah tingkat II jang wilajahnja meli puti daerah tingkat II tersebut, sedapatdapatnja dari tjalontjalon jang diadjukan oleh D.P.R.D. dari anggota atau diluar anggota Dewan tersebut.
Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan:
l. Dilepaskannja sistim perwakilan berimbang, bahkan dapat diangkat seseorang mendjadi anggota B.P.H. dari luar D.P.R.D.
2. Dengan lebih mengutamakan sjaratsjarat ketjakapan supaja dapat melaksanakan tugasnja sebaiknja.
Untuk lebih mendjamin bahwa tugas bantuan itu akan dapat dikerdja kan dengan sebaiknja maka selajaknjalah kepada Kepala Daerah jbs. diberi kan peranan penting dalam pengangkatan B.P.H. itu, jaitu memberikan per timbanganpertimbangannja sebagaimana nampak dalam instruksi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah kepada daerahdacrah chusus mengenai
Hasil pemilihan Kepala Daerah itu memerukan pengesahan dari in stansiatasan.
Pengesahan ini merupakan tindakkonstitutief. Djadi baru setelah disahkan oleh instansi atasan, jang terpilih sebagai Kepala Daerah didu dukkan sah mendjadi Kepala Daerah.
Dalam Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 ditetapkan, bahwa Ke pala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
a. Presiden bagi Daerah tingkat 1.
b. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan persetudjuan Presiden bagi Daerah tingkat II.
Kepala Daerah itu diangkat dari antara tjalontjalon jang diadjukan oleh D.P.R.D jbs.
Apabila dari pentjalonan itu tidak ada tjalon jang memenuhi sjarat untuk diangkat mendjadi Kepala Daerah, D.P.R.D. di minta untuk mengada kan pentjalonan kedua.
Apabila djuga pada pentjalonan jang' kedua ini tidak ada tjalon jang memenuhi sjarat, Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah tingkat I diluar pentjalonan,. dan bagi daerah tingkat oleh Menteri Dalam Ne geri dan Otonomi Daerah dengan persetudjuan Prdsiden.
Pengangkatan Kepala Daerah tersebut dilakukan dengan mengingat sjaratsjarat pendidikan, ketjakapan dan pengalaman dalam pemerintahan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Prdsiden No. 4 tahun 1959, a.l. jang penting:
1. Berdjiwa proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi perdjoangan Kemerdekaan R.I.
Sjaratsjarat itu relatief lebih berat bila dibandingkan dengan sjarat sjarat Kepala Daerah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerin tah No. 44 tahun 1957, djustru untuk:
1. Lebih mendjamin adanja hubungan jang erat antara Pusat dan daerah serta adanja unity of command.
2. Dapat diangkatnja Kepala Daerah jang tjakap serta mendapat tjukup dukungan didaerah, mengingat akan besarnja kekuasaan dan tanggung
d. Tidak lagi memenuhi ketentuanketentuan tentang incompatibiliteiten. Ketentuanketentuan ini masih berlaku sepenuhnja bagi D.P.R.D. StijlPenetapan Presiden No. 6 tahun 1959.
Anggota D.P.D. berdasar UndangUndang No. 1 tahun 1957 dipilih untuk suatu masa pemilihan D.P.R.D., ketjuali djika is berhenti baik atas kemauan sendiri atau karena meninggal dunia maupun karena sesuatu keputusan karena tidak lagi memenuhi sjaratsjarat keanggotaan D.P.R.D., ataupun karena sesuatu keputusan lain dari D.P.R.D. jbs.
Berhubung sistim pemerintahan kolegial dengan institution pertanggung an djawab Kolegial D.P.D., setiap saat dapat didjatuhkan setjara keselu ruhannja oleh D.P.R.D. bila kebidjaksanaannja dalam mendjalankan peme rintahan daerah tidak dibenarkan. Bahkan kesalahan seorang anggota D.P.D. harus dipertanggungdjawabkan oleh seluruh D.P.D. jang tidak dapat mengakibatkan djatuhnja.
Sistim itu dalam prakteknja menundjukkan kelemahankelemahannja dan Penetapan Prdsiden No. 6 tahun 1959 telah meninggalkan sistim itu sepenuhnja.
e. keputusan D.P.R.D. jang memperhentikannja sebagai Kepala Daerah. f. keputusan D.P.R.D. jang memperhentikan D.P.D.
Dalam sistim ini, mudah sekali Kepala Daerah ikut serta djatuh bersama D.P.D. sekalipun ia tidak bersalah.
umumnja dalam rangka Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 itu, kepada Pemerintah Pusat telab diberikan kewenangan untuk mengangkat seorang Wakil Kepala Daerah didaerahdaerah tingkat 1 tertentu jang tidak sadja mewakili Kepala Daerah djika ia berhalangan, melainkan jang harus pula seharihari membantunja.
Dengan adanja wakil Kepala Daerah, tidak berarti bahwa pimpinan pemerintahan daerah lalu ada dalam tangan dua pendjabat, karena jang mem punjai kewenangan dan tanggungdjawab tertinggi dalam soalsoal pemerinta han daerah adalah tetap Kepala Daerah sedangkan Wakil Kepala Daerah adalah sematamata membantu dalam mendjalankan tugas kewadjibannja.
Wakil Kepala Daerah (bagi daerah tingkat I) diangkat oleh Presiden, dengan mengingat sjaratsjarat jang berlaku bagi pengangkatan Kepala Daerah berdasar Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959, tapi dapat pula menjimpang dari sjaratsjarat itu. Ia diangkat untuk suatu masa djabatan jang sama dengan D.P.R.D. jbs., berstatus sebagai pegawai negeri, tidak dapat diberhentikan oleh D.P.R.D.
§ 1939. Kepegawaian Daerah.