• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Ansietas dengan Kejadian Dispepsia Fungsional Menjelang Ujian pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Stambuk 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Ansietas dengan Kejadian Dispepsia Fungsional Menjelang Ujian pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU Stambuk 2015"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi

Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia

memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang

mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan and Sadock, 2010).

Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Dimana cemas merupakan kekhawatiran yang

tidak jelas objeknya, tetapi takut adalah kekhawatiran yang memiliki objek yang jelas

(Maramis, 2005). Kesimpulan yang dapat ditarik dari kecemasan adalah respon

terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau

konfliktual (Kaplan and Sadock, 2010).

2.1.2. Epidemiologi

Jumlah penderita gangguan kecemasan baik akut maupun kronik diperkirakan

mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2

banding 1 (Hawari, 2001).

2.1.3. Tingkat Ansietas

Menurut Stuart dan Laraia (2005), ada empat tingkat kecemasan atau ansietas

yang dialami oleh individu, yaitu:

1. Kecemasan ringan

2. Kecemasan sedang

3. Kecemasan berat

(2)

2.1.4. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala kecemasan menurut Hawari (2001), yaitu:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan

5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

6. Keluhan-keluhan somatik.

2.1.5. Dampak Ansietas

Dampak kecemasan yaitu sulit konsentrasi, sulit memilih jawaban yang benar,

khawatir, takut, gelisah, dan gemetar saat menghadapi ujian (Hawari, 2001).

2.1.6. Skor Ansietas HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety)

HRS-A dikembangkan oleh Dr. M. Hamilton tahun 1959. Berdasarkan

penelitian-penelitian sebelumnya, para peneliti tidak melakukan uji validitas dan

reabilitas karena instrumen ini sudah baku (Baladewa, 2010). Nursalam (2003) juga

telah melakukan uji validitas dan reliabilitas HRS-A. Hasil dari penelitiannya tersebut

didapatkan korelasi dengan HRS-A (rhitung = 0,57-0,84) dan (rtabel = 0,349). Hasil

koefisien reliabilitas dianggap reliable jika r > 0,40. Hal ini menunjukkan bahwa

HRS-A cukup valid dan reliabel.

2.2. Dispepsia Fungsional 2.2.1. Definisi

Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) yang khusus membicarakan tentang

kelainan gastrointestinal, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai:

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,

(3)

2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan

endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab

keluhan tersebut

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum

diagnosis ditegakkan

(Djojoningrat, 2009)

2.2.2. Etiologi

Beberapa faktor yang diduga menyebabkan sindroma dispepsia yaitu:

1. Asam lambung

2. Dismotilitas lambung

3. Gastritis dan duodenitis kronis (peranan Helicobacter Pylori)

4. Stres psikososial

5. Faktor lingkungan dan lain-lain (makanan, genetik, dan obat-obatan)

(Mudjaddid, 2009)

2.2.3. Klasifikasi

Dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang

paling mencolok atau dominan (Djojoningrat, 2001).

a. Dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer like dispepsia) : bila gejalanya seperti terbakar,

dominan nyeri di epigastrium (ulu hati) terutama saat lapar/ epigastric hunger

pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida dan obat antisekresi asam,

disertai nyeri pada malam hari.

b. Dispepsia tipe seperti dismotilitas (dismotility like dispepsia) : dimana yang lebih

dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.

c. Dispepsia tipe non-spesifik : dimana tidak ada keluhan yang bersifat dominan

(4)

Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia

fungsional (pengaruh dari nervus vagus) (Sujono, 2002).

2.2.4. Manifestasi klinis

Gejala dispepsia menurut konsensus Roma III:

1. Epigastric pain, nyeri subjektif, berupa sensasi yang tidak menyenangkan,

beberapa pasien merasa terjadi kerusakan jaringan.

2. Postprandial fullness, perasaan yang tidak nyaman seperti makanan

berkepanjangan di perut.

3. Early satiation, perasaan bahwa perut sudah terlalu penuh segera setelah mulai

makan, tidak sesuai dengan ukuran makanan yang di makan, sehingga makan

tidak dapat diselesaikan. Sebelumnya, kata “cepat kenyang” digunakan, tapi

kekenyangan adalah istilah yang benar untuk hilangnya sensasi nafsu makan

selama proses menelan makanan.

4. Epigastric burning, adalah perasaan subjektif yang tidak menyenangkan dari

panas.

(Geeraerts and Tack, 2008).

2.2.5. Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diaujkan untuk menerangkan patogenesis

terjadinya gangguan ini, antara lain:

1. Sekresi asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional disuga adanya peningkatan

sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak

enak diperut (Djojoningrat, 2009).

2. Helicobacter pylori (Hp)

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum

sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan H.

(5)

dengan angka kekerapan H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada

kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia

fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan

konservatif baku (Djojoningrat, 2009).

3. Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi

perlambatanpengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai

50% kasus), gangguanakomodasi lambung saat makan, dan

hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaanini dapat ditemukan pada

setengah atau duapertiga kasus dispepsia fungsional.Perlambatan

pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia

fungsionaldengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati

(Djojoningrat, 2009).

4. Ambang ransang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagi reseptor, termasuk reseptor kimiawi,

reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampak kasus dispepsia

mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau

duodenum. Bagaimana mekanismenya masih belum dipahami

(Djojoningrat, 2009).

5. Disfungsi otonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas

gastrontestinal pada kasus dispepsia (Djojoningrat, 2009).

6. Diet dan faktor lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus

dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2009).

7. Psikologis

Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan

mencetus keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan

(6)

sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi

otonom dan motilitas tetap masuh kontroversi (Djojoningrat, 2009).

Gangguan psikis dan faktor lingkungan dapat menimbulkan dispepsia

fungsional (Tarigan, 2001). Faktor psikis dan emosi (ansietas) dapat mempengaruhi

fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung,

mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang

rangsang nyeri. Pasien dispepsia umumnya menderita ansietas, depresi, dan neurotik

lebih jelas dibandingkan orang normal (Mudjaddid, 2009).

Peran faktor psikososial pada dispepsi fungsional sangat penting karena dapat

menyebabkan hal-hal di bawah ini:

1. Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna

2. Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul

3. Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya

4. Mempengaruhi prognosis

(Mudjaddid, 2009)

2.3. Hubungan Dispepsia dengan Ansietas

Faktor psikis dan emosi seperti pada kecemasan dapat mempengaruhi fungsi

saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi

motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang

nyeri. Pasien dispepsia umumnya menderita ansietas lebih jelas dibandingkan orang

normal (Mudjaddid, 2009).

Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung

(7)

1. Jalur neurogen: Rangsangan konflik emosi pada kortek serebri mempengaruhi kerja

hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nukleus vagus, nervus vagus dan kemudian

ke lambung.

2. Jalur neurohumoral: Rangsangan pada kortek serebri diteruskan ke hipotalamus

anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon

ini merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang

selanjutnya merangsang produksi asam lambung

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya kompensasi finansial ada yang bersifat langsung dan ada yang tidak langsung. Kompensasi langsung terdiri dari pembayaran yang diterima dalam bentuk gaji,

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor1. Nilai

Kode etik  merupakan aturan2 susila, atau sikap akhlak yg ditetapkan bersama dan diaati bersama oleh para anggota, yg. tergabung dalam

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Penerapan Breast

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W5, 2017 26th International CIPA Symposium 2017, 28

Perfect Page Scanning; iThresholding; adaptive threshold processing; deskew; autocrop; relative cropping; fixed crop; add/ remove border; electronic color dropout; dual stream

Dalam penulisan ini telah dibuat apliksai program Visual Basic 6.0 yang bertujuan untuk memudahkan dalam penginputan data barang, data customer dan proses penjualan, yang

Berdasarkan situasi tersebut, penulis tertarik untuk membuat Website kursus bahasa Inggris yang dinamis dan interaktif sebagai media informasi dalam bidang pendidikan dan