UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU
Papilio demoleus
DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN
SISTEM PENANGKARAN
FEBRINA MAHAYANI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio demoleus dari Telur hingga Imago dengan Sistem Penangkaran adalah benar karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Febrina Mahayani
ABSTRAK
FEBRINA MAHAYANI. Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio
demoleus dari Telur hingga Imago dengan Sistem Penangkaran. Dibimbing oleh
DEDY DURYADI SOLIHIN dan LIN NURIAH GINOGA.
Pemanfaatan kupu-kupu sering tidak diimbangi dengan menjaga kelestariannya di alam. Penangkaran dilakukan sebagai upaya pengembangan tumbuhan dan satwaliar dengan tetap memelihara kemurnian jenisnya. Salah satu jenis kupu-kupu yang dapat dimanfaatkan adalah P. demoleus. Pembuatan taman kupu sebagai objek ekoeduwisata di Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan salah satu bentuk pemanfaatan kupu-kupu. Meningkatkan harapan hidup kupu-kupu diharapkan mampu menghasilkan jumlah populasi yang besar tanpa merusak alam. Sistem penangkaran dikombinasikan dengan laboratorium untuk meningkatkan harapan hidup kupu-kupu hingga tahap imago. Proses perkawinan terjadi di kubah dan perawatan di laboratorium dengan dilakukan pengamatan kopulasi imago, siklus hidup, harapan hidup, perubahan morfologi, rasio seks, dan faktor abiotik. Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F1 34.11 ± 2.70 hari (29-40 hari) dan satu siklus hidup F2 berlangsung lebih lama yaitu 39.07 ± 3.30 hari (33-45 hari). Kurva kelangsungan hidup tipe I, mortalitas tinggi terjadi pada usia dewasa. Mortalitas tertinggi pada fase pupa 33.33 persen. Kematian pada tiap fase banyak disebabkan parasit, bakteri, dan kegagalan eklosi. Harapan hidup kupu-kupu P.demoleus meningkat menjadi 44.60 persen dari harapan hidupnya sebesar 2 persen di alam liar. Penelitian sistem penangkaran yang efektif dan renovasi fasilitas kubah, menjadi penunjang terciptanya taman kupu di IPB.
ABSTRACT
FEBRINA MAHAYANI. Efforts to Increase Life Expectancy of the Papilio
demoleus Butterfly from egg until Imago with Captive Breeding System.
Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN and LIN NURIAH GINOGA.
Utilization of butterflies are often not balanced with maintaining sustainability in nature. Captive breeding is done as an effort to cultivation the plant and wildlife with maintain the purity of the strain. One species of butterfly that can be used is
P.demoleus. Establishment the garden of butterfly for ecoedutourism object in
Bogor Agricultural University (BAU), is a manifestation of utilizing the butterflies. Increase the life expectancy of a butterfly and be expected to have produced a big population without nature destructive. Captive breeding system was combined with laboratory treatment to increase the life expectancy of a butterfly until imago phase. The process of spawning be located at the dome and treatments performed in the laboratory with observed the imago copulation, life cycle, life expectancy, metamorphosis of P.demoleus, sex ratio, and abiotic factors. Mostly,life cycle of P.demoleus F1 is 34.11 ± 2.70days (29-40 days) and a F2 life cycle is longer 39.07 ± 3.30 days (33-45 days). Survival curve type I, high mortality rate was occurs in adult stage. At the pupa’s phase in the amount of 33.33 percent is the highest mortality. Many deaths in each phase due to parasites, bacteria, and eclosion failure. P.demoleus butterfly life expectancy increased to 44.60 percent from his life expectancy that is 2 percent in the wild. Research about captive breeding system effectivity and renovation of the dome facilities, is support the realization of a butterfly garden at the BAU.
UPAYA PENINGKATAN HARAPAN HIDUP KUPU-KUPU
Papilio demoleus
DARI TELUR HINGGA IMAGO DENGAN
SISTEM PENANGKARAN
FEBRINA MAHAYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Upaya Peningkatan Harapan Hidup Kupu-Kupu Papilio demoleus dari Telur hingga Fase Imago dengan Sistem Penangkaran berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Mei 2014.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Ibu Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi selaku pembimbing atas segala bimbingan, dukungan dan saran selama berlangsungnya penelitian dan penulisan skripsi. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muhadiono, MSc selaku penguji. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Heri yang telah membantu selama penelitian di laboratorium Pusat Penelitian Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan kubah plaza Institut Pertanian Bogor (IPB), serta kepada Pak Hari, Bu Catur, Kak Andi, Kak Yuli, Kak Syamsul, Kak Dani, Dela, Areza. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Edi Sutrisno yang telah memberikan pengarahan dan pengetahuan mengenai sampel yang digunakan dalam penelitian, serta kepada seluruh pihak di Museum Serangga dan Taman Kupu Taman Mini Indonesia Indah yang telah memberikan izin dalam pengambilan sampel. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Kakak, seluruh keluarga, teman-teman khususnya Kicep, Siti, Yuli, Erma, Uli, Kuro, Indah, Deli, serta seluruh Biologi 47 atas doa, semangat dan kasih sayangnya.
Skripsi ini belum sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
METODOLOGI 2
Waktu dan Tempat 2
Bahan dan Alat 2
Metode 2
Tahap Persiapan 2
Identifikasi Jenis Kelamin 3 Pemeliharaan dalam Laboratorium 3
Parameter Pengamataan 4
Faktor Abiotik 4
Analisis Data 5
HASIL 5
Kopulasi Imago Parental dan Perbanyakan Keturunan 5 Siklus Hidup dan Perubahan Morfologi 7 Harapan Hidup dan Tabel Kehidupan 9 Sinkronisasi Kemunculan Imago 12
Faktor Abiotik 12
PEMBAHASAN 14
SIMPULAN 17
SARAN 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 20
DAFTAR TABEL
1. Waktu hidup parental P. demoleus (n=7) 6
2. Kopulasi imago parental 6
3. Kopulasi imago F1 6
4. Kopulasi imago F2 7
5. Siklus hidup kupu-kupu P. demoleus P (n=7), F1 dan F2 (n=28) dan uji T 8 6. Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago 10 7. Tabel kehidupan P. demoleus 10 8. Rasio pertigahari dan rasio total 12 9. Kondisi faktor abiotik pada tiap generasi 13
DAFTAR GAMBAR
1. a. P. demoleus jantan, b. P. demoleus betina. 3 2. a. Telur P. demoleus pada pucuk daun jeruk, b. Pupa yang siap dipindahkan ke
kandang pupa, c. Cawan petri dan toples yang digunakan dalam pemeliharaan
ulat, d. Papilod. 4
3. a. Pergantian kulit dari Instar 4 ke instar 5, b. Osmeterium 8 4. Metamorfosis P. demoleus. 9 5. Kurva ketahanan hidup P. demoleus 11 6. Mortalitas P. demoleus pada beberapa fase 11 7. Suhu dan kelembaban Lab PPSHB akhir bulan Januari-Awal Mei 2014 13 8. Suhu dan kelembaban kubah akhir bulan Februari-Awal Mei 2014 14
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keseimbangan ekosistem alam tidak terlepas dari peran serta anggota biotik di dalamnya seperti serangga, salah satunya adalah kupu-kupu. Peran ekologi kupu-kupu dalam ekosistem tidak hanya sebagai herbivora semata, tetapi juga sebagai komponen yang penting dalam penyerbukan (Subahar et al. 2007). Proses penyerbukan yang dilakukan oleh kupu-kupu membantu terbentuknya buah dan biji dari tanaman berbunga sehingga secara ekologis kupu-kupu memberikan sumbangan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memperkaya biodiversitas.
Manfaat lain dari kupu-kupu yaitu sebagi indikator lingkungan, semakin banyak jenis kupu-kupu di suatu lingkungan menandakan semakin baik kualitas lingkungannya (Dewi 2003). Manfaat kupu-kupu antara lain meliputi manfaat ekologi, endemisme, konservasi, pendidikan, budaya, estetika dan ekonomi (Rahayuningsih et al. 2012).
Secara ekonomi kupu-kupu memiliki nilai jual yang tinggi mulai dari pemanfaatannya sebagai benda koleksi, cindera mata, hingga objek wisata. Meningkatnya pemanfaatan kupu-kupu khususnya manfaat ekonomi mengakibatkan pada eksploitasi, yang mengancam kelestarian kupu-kupu di alam. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa penangkaran adalah upaya pengembangan tumbuhan dan satwaliar dengan tetap memelihara kemurnian jenisnya.
Papilio demoleus merupakan anggota dari famili Papilionidae. Famili
Papilionidae disebut juga sebagai kupu ekor walet atau swallow tail (Triplehorn & Johnson 2005). Jeruk merupakan tanaman inang dari larva P.demoleus. Lewis (2012) menyatakan larva P. demoleus memakan hamper semua varietas jeruk. Menurut Saxena dan Goyal (1978) spesifikasi tanaman inang ini, disebabkan kupu-kupu betina mendapatkan rangsangan kimia berupa bau atraktan dari ether serta 80% etanol yang terlarut dalam tanaman inang, kombinasi antara bau dan warna dari tanaman inang menciptakan respon oviposisi (peletakan telur) dari kupu-kupu.
Matsumoto (2002) menyatakan spesies ini tersebar di daerah tropis dan subtropis di benua Asia, Australia, kepulauan Taiwan, Hainan, Papua Nugini, Sumba, Flores, Alor, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Fillipina, dan Maluku. Persebarannya dari India ke Nepal, Cina bagian selatan, dan Jepang, dari selatan melalui Malaysia dan Indonesia. P. demoleus tercatat ditemukan beberapa tahun terakhir ini di Republik Dominika (Guerrero et al. 2004). Mulai tahun 1970 spesies ini menginvasi pulau Jawa, Kalimantan, Filipina, dan Sumatera, yang didukung dengan adanya hutan yang menyediakan tanaman jeruk (Matsumoto 2002).
Saputro (2007) menyatakan P. demoleus merupakan salah satu dari keragaman kupu-kupu yang ada di Institut Pertanian Bogor. Penangkaran kupu P.
demoleus memanfaatkan kubah di plaza IPB. Kubah di plaza IPB dapat
Pengembangan ini memerlukan jumlah yang banyak dari kupu-kupu. Sistem penangkaran yang baik diharapkan mampu menyediakan jumlah yang ideal untuk pemanfaatan kupu secara maksimal. Keberhasilan hidup kupu-kupu hingga tahap imago sangat dipengaruhi oleh tehnik pemeliharaan. Sistem penangkaran yang dikombinasikan dengan penggunaan laboratorium dilakukan sebagai upaya meningkatkan harapan hidup kupu-kupu hingga tahap imago.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan meningkatkan harapan hidup kupu-kupu Papilio
demoleus dari telur hingga imago dan menghitung siklus hidup kupu-kupu Papilio
demoleus dalam penangkaran.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2014 hingga Mei 2014 di laboratorium Pusat Penelitian Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan kubah plaza Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengamatan dan pemeliharaan kupu-kupu P. demoleus parental (P) pada tanggal 28 Januari 2014 – 25 Februari 2014, Filial 1 (F1) tanggal 22 Februari 2014 – 4 April 2014, dan Filial 2 (F2) tanggal 29 Maret 2014- 15 Mei 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur, ulat dan pupa P.
demoleus (berasal dari Museum Serangga dan Taman Kupu Taman Mini
Indonesia Indah (MSTK TMII)), tanaman inang yaitu jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) dan tanaman jeruk dari jenis Citrus microcarpa, tanaman penghasil
nektar (soka, pacar air, jengger ayam, pagoda, dll). Alat yang digunakan adalah cawan petri, toples, kandang pupa (40cmx40cmx40cm), papilod, kuas,
termohigrometer, light meter, kamera digital, dan mikroskop stereo.
Metode
Tahap Persiapan
kandang pupa, sedangkan telur dan ulat dirawat dalam toples di laboratorium. Pemeliharaan dilakukan hingga telur, ulat dan pupa mencapai tahap imago. Imago yang telah eklosi di identifikasi jenis kelaminnya. Tanggal, jenis kelamin, dan rasio seks perminggu dari eklosi individu yang pertama dicatat hingga eklosi individu yang terakhir.
Identifikasi Jenis Kelamin
Imago yang telah eklosi diidentifikasi jenis kelaminnya sebelum dimasukkan kedalam kubah. Jantan dan betina pada kupu-kupu P. demoleus
memiliki pola sisik yang mirip. Ciri imago P. demoleus memiliki sejumlah besar bintik tak beraturan pada sayap, bagian atas sayap berwarna warna hitam dengan bintik-bintik berwarna orange, pada bagian dorsal sisi dalam sayap belakang terdapat bintik merah. Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat bagian ujung ventral abdomen (Gambar 1). Imago jantan terdapat lubang di bagian ujung ventral abdomen sedangkan ujungnya betina tertutup. Secara morfologi juga dapat dilihat perbedaan antara imago betina dan jantan, biasanya imago betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan sisi sayap belakang berwarna orange sedangkan pada jantan warnanya cenderung pucat dan kuning. Identifikasi juga dapat dilakukan saat fase pupa. Imago yang telah diidentifikasi kemudian dilepaskan dalam kubah penangkaran.
a b
Gambar 1 a. P. demoleus jantan, b. P. demoleus betina.
Pemeliharaan dalam Laboratorium
dalam cawan petri (Gambar 2C). Telur dirawat hingga menetas dan disediakan makanan berupa pucuk daun. Tiap perkembangan ulat diamati dan dirawat sesuai dengan fasenya. Instar kedua pada ulat diberi makan daun muda, semakin tinggi instarnya semakin tua daun yang diberikan. Pemberian pakan dan pembersihan kotoran dilakukan setiap hari. Semakin tinggi tingkat instarnya semakin banyak kebutuhan pakannya. Ulat pada fase instar 3 hingga 5 dirawat dalam toples (Gambar 2C) hingga menjadi kepompong. Kepompong dipindahkan ke kandang kepompong dengan cara ditempelkan pada sebidang karton menggunakan lem (Gambar 2B). Imago yang telah keluar dari kepompong diidentifikasi seksnya kemudian dibawa ke kubah dengan papilod (Gambar 2D).
a b
c d
Gambar 2 a. Telur P. demoleus pada pucuk daun jeruk, b. Pupa yang siap dipindahkan ke kandang pupa, c. Cawan petri dan toples yang digunakan dalam pemeliharaan ulat, d. Papilod.
Parameter Pengamataan
Parameter yang diamati adalah faktor biotik dan abiotik. faktor biotik meliputi pengamatan jumlah individu yang bertahan hidup, lama siklus hidup, perubahan morfologi, dan rasio seks. Faktor abiotik terdiri dari pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya.
Faktor Abiotik
Pengukuran faktor abiotik berupa pengukuran suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Pengukuran ini dilakukan di laboratorium dan kubah pada pukul 09.00; 13.00; dan 16.00 WIB. Suhu dan kelembapan diukur dengan
Analisis Data
Data perkembangan siklus hidup F1 dan F2 dibandingkan. Waktu rata-rata siklus hidup diuji menggunakan uji t dengan (P<0.01) dan (P<0.05). Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago dihitung dan dicatat. Nilai persentasi harapan hidup dihitung dengan rumus:
Analisis tabel kehidupan dilakukan terhadap siklus hidup kupu-kupu F1 dan F2. Nilai nx, lx, dx, qx, Lx, dan ex dihitung dengan rumus sebagai berikut:
lx = nx x 100 no
dx = lx− l(x+1) qx = Lx =
Tx = ex =
keterangan:
x: fase atau kelas umur
nx: rata-rata jumlah individu yang hidup pada fase tersebut
lx: jumlah individu yang hidup pada masing-masing interval waktu (densitas awal
cohort dibuat 100)
dx: jumlah yang mati pada usia antara x ke x+1 qx: proporsi kematian pada fase tersebut
Lx: jumlah individu yang hidup antara fase tersebut dengan fase berikutnya Tx: jumlah total individu yang hidup mulai fase tersebut hingga individu punah ex: harapan hidup pada awal interval umur tersebut
F1: filial atau turunan 1 F2: filial atau turunan 2
Rasio seks indukan juga dihitung dengan rumus: R= M/F (M: jumlah jantan dan F: jumlah betina). Rasio seks pertigahari dihitung untuk menentukan sinkronisasi kemunculan imago. Pencatatan tanggal eklosi dari awal individu eklosi hingga eklosi individu terakhir dan pencatatan jenis kelamin, sebagai perhitungan rasio seks total.
HASIL
Kopulasi Imago Parental dan Perbanyakan Keturunan
Tabel 1 Waktu hidup parental P. demoleus (n=7)
Waktu eklosi imago parental ini menentukan pasangan untuk kopulasi imago. Tabel 2 menunjukkan satu pasang imago jantan dan betina kopulasi. Satu hari setelah kopulasi, betina menghasilkan telur sebanyak 34 telur dalam waktu satu minggu. Keterangan : (-) = tidak terjadi perkawinan
Tabel 4 Kopulasi imago F2
keterangan : (-)= tidak terjadi perkawinan
Satu pasang imago parental menghasilkan 28 individu F1. Individu F1 yang berhasil kopulasi sebanyak tiga pasang dengan waktu kopulasi tanggal 27, 29 dan 30 Maret 2014 (Tabel 3).
Hasil dari ketiga pasang imago ini sebanyak 89 telur dalam jangka waktu satu minggu. Individu F2 hasil kopulasi imago F1 berhasil menjadi imago dengan jumlah 28. Imago F2 tidak terjadi kopulasi sehingga tidak menghasilkan keturunan (Tabel 4).
Siklus Hidup dan Perubahan Morfologi
Parental
P. demoleus memiliki rata-rata siklus hidup 54.43 ± 3.10 hari dengan kisaran waktu 48-57 hari. Waktu yang dibutuhkan generasi parental untuk menyelesaikan satu siklus hidup lebih lama dari generasi F1 dan F2.Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F1 34.11 ± 2.70 hari dengan waktu tersingkat yaitu 29 hari dan waktu terpanjang 40 hari. Satu siklus hidup F2 berlangsung lebih lama yaitu 39.07 ± 3.30 hari dengan waktu tercepat 33 hari dan waktu terlama 45 hari (Tabel 5). P. demoleus F1 dan F2 memiliki waktu terlama pada fase pupa dan waktu tersingkat pada fase prepupa (Tabel 5). Rincian satu siklus perindividu F1 dan F2 dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Uji T dengan taraf uji 5% dan 1 % pada instar 1, instar 2, instar 3 dan instar 4 berbeda nyata, sedangkan fase instar 5 hingga imago tidak berbeda nyata. Fase telur berbeda nyata pada taraf uji 5% dan tidak berbeda nyata pada taraf uji 1% (Tabel 5 dan Lampiran 3).Keterangan : *Berbeda nyata; **Tidak berbeda nyata
a b
Gambar 3 a. Pergantian kulit dari Instar 4 ke instar 5, b. Osmeterium.
Gambar 4 Metamorfosis P. demoleus.
Harapan Hidup dan Tabel Kehidupan
Individu F1 mengalami penurunan jumlah individu menjadi 85.29% pada fase telur ke instar 1 kemudian konstan dari instar 2 hingga imago. Mortalitas pada individu F2 terjadi pada tiap fase dengan mortalitas tertinggi pada fase telur ke instar 1 dan fase pupa ke imago (Tabel 6). Bila dibandingkan dengan parental individu yang berhasil hidup dari pupa menjadi imago lebih banyak terjadi pada F1 dan F2 dengan persentase 33.33% (P), 100% (F1), dan 71.79 (F2) (Tabel 6). Keberhasilan hidup P. demoleus dari fase telur hingga imago, persentase tertinggi terjadi pada F1 yaitu 82.35% dan persentase terendah pada generasi parental yaitu 20%. Persentase rata-rata individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago adalah 44.60% (Tabel 6).
Tabel kehidupan menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi dilihat dari nilai dx terbesar yaitu 33.33% pada fase pupa. Harapan hidup tiap fasenya dapat dilihat dari nilai ex dengan harapan tertinggi pada fase instar 1 yaitu 5.75% dan terendah pada fase imago yaitu 0.50%. Nilai lx menunjukkan kelangsungan hidup individu
P. demoleus mengalami penurunan tiap fasenya, dengan nilai 21.14% untuk
kelangsungan hidup imago betina (Tabel 7).
Telur Instar 1 Instar 2 Instar 3
Instar 4
Instar 5 Imago
Tabel 6 Jumlah individu yang berhasil hidup dari fase telur hingga imago Keterangan : L= Larva; Parental diambil dari alam liar
Tabel 7 Tabel kehidupan P. demoleus
x nx lx dx qx Lx Tx ex Log lx
Keterangan: L= larva; Ins= Instar; I= Imago
Gambar 5 Kurva ketahanan hidup P. demoleus.
a b
c d
e f
Gambar 6 Mortalitas P. demoleus pada beberapa fase:
Sinkronisasi Kemunculan Imago
Rasio jantan dan betina pertiga hari pada parental menunjukkan jantan lebih sedikit daripada betina yaitu 1/3 dan 1/2 dengan rasio total 2/5 (Tabel 8). Rasio pada F1 menunjukkan jantan lebih banyak eklosi pada tiga hari pertama dan tiga hari terakhir waktu eklosi, waktu eklosi tiga hari kedua betina lebih banyak dari jantan dengan rasio total 14/14 (Tabel 8). Individu F2 betina lebih banyak dari jantan pada waktu eklosi dihari ke 7 hingga 9, dan pada hari lain jantan lebih banyak dari betina dengan rasio total 16/12 (Tabel 8). Waktu eklosi jantan dan betina yang cocok pada F2 berada pada kisaran tanggal 3-8 Mei 2014. Kondisi imago F2 yang cacat menyebabkan kopulasi tidak dapat terjadi.
Tabel 8 Rasio pertigahari dan rasio total Periode eklosi rasio total
Tabel 9 Kondisi faktor abiotik pada tiap generasi
Rata-rata suhu di laboratorium PPSHB paling tinggi pada siang hari (29.67 ± 1.37°C) dan paling rendah pada sore hari (26.95 ± 1.53°C) dengan suhu minimal 23°C dan maksimal 32°C. Kelembaban rata-rata selama akhir bulan Januari hingga awal Mei 2014 berkisar antara 82.21 ± 1.37 % hingga 86.64 ± 1.53 % dengan kelembaban maksimal 76 % dan maksimal 81 % (Lampiran 4 dan Gambar 7). Intensitas cahaya dengan tambahan cahaya lampu berkisar antara 197.07±45.55 lux dan 305.79±58.41 lux dengan intensitas minimal 98 lux dan maksimal 410 lux (Lampiran 5).
Gambar 7 Suhu dan kelembaban laboratorium PPSHB akhir bulan Januari-Awal Mei 2014.
Gambar 8 Suhu dan kelembaban kubah akhir bulan Februari-Awal Mei 2014.
PEMBAHASAN
Kupu-kupu P. demoleus dapat melakukan kopulasi (perkawinan) di dalam kubah plaza IPB dengan ukuran diameter 13 m dan tinggi 9 m. Ukuran kandang mempengaruhi proses perkawinan kupu-kupu. Penelitian Nurjannah (2010) menggunakan kandang berukuran 3 x 2 x 3 m, ukuran ini ditentukan dengan mengadakan penelitian awal mengenai luasan minimum agar pasangan imago dapat melakukan perkawinan. Sedangkan pada penelitian Tresnawati (2010) menggunakan kandang dengan ukuran 1.5 x 1 x 2 m tidak terjadi perkawinan pada kupu-kupu Graphium Agamemnon dan Graphium doson. Menurut Harberd (2005) idealnya ukuran kandang imago minimal memiliki luas 20 m2 dengan ketinggian 2.30 m dan lebih baik berbentuk persegi panjang dari pada persegi.
Satu pasang parental P. demoleus dengan umur 3 hari (jantan) dan 2 hari (betina) berhasil melakukan perkawinan. Umur dari jantan dan betina harus sesuai agar dapat melakukan melakukan perkawinan disebabkan waktu matang untuk bereproduksi antara jantan dan betina berbeda. Kupu-kupu jantan memerlukan waktu 2-3 hari untuk kawin, sedangkan kupu-kupu betina dapat kawin 2-3 jam setelah menetas (Dewi 2003).
Uji T untuk fase prepupa tidak terdapat hasil perhitungan (P value), karena lama siklusnya seragam sehingga tidak dapat dibandingkan. Berdasarkan uji T pada taraf uji 5% dan 1% fase instar 1 hingga instar 4 siklus F1 dan F2 berbeda nyata, pada fase instar 5 hingga imago uji T menunjukkan tidak berbeda nyata. Sedangkan pada fase telur pada taraf uji 5% siklusnya berbeda nyata dan pada taraf uji 1% tidak berbeda nyata. Perbedaan lama siklus ini kemungkinan disebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi, kepadatan pada F2 lebih tinggi, tingkat adaptasi dan tingkat stress yang berbeda pada individu F1 dan F2.
Keberhasilan hidup P. demoleus dari fase telur hingga imago, persentase tertinggi terjadi pada filial pertama yaitu 82.35% dan persentase terendah pada generasi parental yaitu 20%. Bila diambil rata-rata keberhasilan dari tahap telur hingga imago dari generasi P, F1 dan F2, penangkaran ini telah meningkatkan harapan hidup kupu-kupu P.demoleus menjadi 44.60% dari harapan hidupnya di alam liar yang sangat kecil. Jefferey (2006) menyatakan kupu-kupu hanya memiliki kesempatan 2% untuk dapat bertahan hidup di alam liar. Hal ini menunjukkan perawatan yang intensif meningkatkan harapan hidup kupu-kupu.
Tabel kehidupan menunjukkan rata-rata individu dari F1 dan F2 tertinggi terdapat pada fase telur dan terendah pada fase imago. Kurva ketahanan hidup menunjukkan kurva tipe I yang berarti mortalitas banyak terjadi pada fase dewasa. Mortalitas banyak terjadi pada generasi parental dan F2 hal ini kemungkinan disebabkan banyaknya parasit dan tingkat stress yang tinggi akibat kegiatan pembersihan kotoran.
Penyebab mortalitas pada tiap fase dapat disebabkan oleh parasit, bakteri, dan tingkat stress tinggi. Telur yang terserang parasit terdapat banyak lubang di setiap sisinya dan dari lubang tersebut keluar serangga seperti lalat. Di Thailand, dua jenis parasit telur yang ditemukan adalah Ooencyrtus malayensis Ferriere (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Tetrastichus sp. (Hymenoptera: Eulophidae), selain itu Pteromalus puparum Linnaeus (Hymenoptera: Pteromalidae) adalah parasit kepompong dari P. demoleus (Lewis 2012). Kepompong yang terserang parasit lama-lama akan menghitam yang mungkin disebabkan oleh Pteromalus
puparum. Pteromalus puparum dewasa meletakkan telurnya ke dalam tubuh inang
pada saat stadia prepupa atau pupa yang baru terbentuk (Himawati dan Wijayanti 2010).
Mortalitas pada tahap larva ditandai dengan aktifitas larva yang tidak mau makan kemudian lama kelamaan menghitam dan mati. Larva yang stress tidak mau makan, respirasi berjalan cepat, energi banyak berkurang namun pemasukan sedikit, metabolisme menjadi terganggu (Tresnawati 2010). Larva mati dengan mengeluarkan cairan hitam yang berbau tidak sedap kemungkinan disebabkan oleh bakteri. Tes bakteriologis haemolymph dari larva dan kepompong yang terinfeksi mengungkapkan adanya bakteri dari genus Bacillus (Badawi 2009). Tingginya mortalitas kemungkinan juga disebabkan kepadatan yang tinggi sehingga larva saling serang dan berujung pada kematian. Cambell et al. (2004) menyatakan kepadatan populasi yang tinggi dapat mengubah keseimbangan hormonal, yang akan mengurangi fertilitas dan meningkatkan agresivitas.
material genetik akibat mutasi. Jusuf (2001) menyatakan perubahan organisme terjadi karena terjadinya perubahan bahan genetik yang disebut dengan mutasi yang dapat terjadi pada tingkat kromosom dan gen.
Rasio total jantan dan betina pada parental, F1 dan F2 menunjukkan jumlah betina lebih banyak pada generasi parental dan jumlah yang seimbang pada F1 dan jantan yang lebih banyak pada F2. Nurjannah (2010) menyatakan jantan yang lebih banyak dari betina menyebabkan imago betina stress dan betina yang lebih banyak dari jantan menyebabkan betina tidak dapat pasangan kawin. Ketidaksinkronan reproduksi mengakibatkan betina tidak memiliki pasangan kawin sehingga terjadi penurunan kepadatan populasi (Calabrese et al. 2008). Sinkronisasi jenis kelamin ini tidak hanya ditentukan dari jumlah jantan dan betina tetapi juga dipengaruhi waktu eklosi dari jantan dan betina, jantan harus eklosi terlebih dahulu dari betina.
Suhu saat perawatan generasi parental hingga F2 berkisar antara 27-28°C. Larva dapat berkembang baik pada suhu 26-28o C (Rouly 2001). Perkembanagan larva jantan dan betina dipengaruhi oleh suhu. Fischer dan Fiedler (2000) menyatakan pada suhu tinggi larva jantan dengan ukuran tubuh besar akan mengalami penurunan berat badan yang drastis sedangkan pada larva betina tidak terjadi perubahan berat badan pada semua suhu. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan rata-rata ukuran pupa betina lebih besar dari pupa jantan. Kelembaban di laboratorium berkisar antara 70-96%. Kelembaban yang memungkinkan untuk kehidupan serangga adalah 50-90% (Romoser 1973). Cuaca mempengaruhi intensitas cahaya saat perawatan, pada generasi parental cenderung hujan, cerah pada generasi F1, dan cerah berawan saat generasi F2. Kupu-kupu saat generasi F1 dan F2 menunjukkan jumlah yang lebih banyak dari generasi parental. Populasi kupu-kupu meningkat secara signifikan selama periode suhu tinggi dan curah hujan rendah (Boonvanno et al. 2000).
Kubah tempat pemeliharan imago memiliki intensitas cahaya yang tinggi berkisar antara 1 020 - 19 990 Lux. Rata-rata intensitas cahaya tertinggi berada pada generasi F1, saat generasi ini terdapat tiga pasang imago yang berhasil kopulasi berbeda dengan generasi parental dengan satu pasang imago yang kawin. Peningkatan intensitas cahaya secara pesat meningkatkan aktivitas berpasangan. McDonald dan Nijhout (2000) menyatakan hal ini mungkin disebabkan prilaku jantan lebih menyukai mengejar betina yang bertengger pada substrat yang terpapar cahaya. Aktivitas kawin tertinggi terjadi pada suhu 32-34°C (McDonald dan Nijhout 2000). Rata-rata suhu tertinggi terjadi saat generasi F2 tetapi tidak terjadi kopulasi saat generasi F2 hal ini kemungkinan disebabkan kondisi imago yang cacat. Kendala utama dari proses kopulasi di kubah adalah tingginya jumlah predator seperti kadal dan cicak serta kondisi kubah dengan banyak paranet yang rusak mengakibatkan kupu-kupu tidak mengalami kopulasi.
Kubah tempat penangkaran dengan diameter 13m dan tinggi 9m memiliki luas lingkaran kubah ±133m2. Kapasitas kupu-kupu dalam suatu ruangan dipengaruhi oleh ukuran dari suatu jenis kupu-kupu. Kupu-kupu P. demoleus
memiliki ukuran bentang sayap ±9cm. Idealnya luas bidang 1m2 diisi oleh seekor kupu-kupu, hal ini dimaksudkan agar kupu-kupu selalu dapat terlihat di taman (Syaputra 2011). Mewujudkan terciptanya taman kupu yang ideal sebagai objek wisata ekoeduwisata di IPB diperlukan penangkaran kupu-kupu jenis P. demoleus
atau kupu-kupu jenis lain secara intensif.
SIMPULAN
Rata-rata satu siklus hidup P. demoleus F1 34.11 ± 2.70 hari (29-40 hari) dan satu siklus hidup F2 berlangsung lebih lama yaitu 39.07 ± 3.30 hari (33-45 hari). Tiap fase kehidupan F1 dan F2 berbeda nyata pada fase larva Instar 1 hingga instar 4 dan tidak berbeda nyata pada fase telur, instar 5 hingga imago yang dibuktikan dengan uji T pada taraf 1%. Penangkaran dengan kombinasi laboratorium berhasil meningkatkan harapan hidup kupu-kupu P.demoleus dari telur hingga imago menjadi 44.60% dari harapan hidupnya di alam liar yang sangat kecil. Peningkatan populasi kupu-kupu untuk pemanfaatan pembuatan ekoeduwisata di kubah plaza IPB dibutuhkan penangkaran kupu-kupu jenis P.
demoleus atau kupu-kupu jenis lain secara intensif.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Badawi A. 2009. Studies on some aspects of the biology and ecology of the citrus butterfly Papilio demoleus L. in Saudi Arabia (Papilionidae, Lepidoptera).
Journal of Applied Entomology 91: 286-292.
Boonvanno K, Watanasit Sb, Permkamc S. 2000. Butterfly diversity at Ton Nga-Chang Wildlife Sanctuary, Songkhla Province, Southern Thailand.
ScienceAsia 26: 105-110. butterfly Lycaena tityrus(Lepidoptera: Lycaenidae). Oikos 90(2): 372-380.
Guerrero KA, Veloz D, Boyce SL, Farrell BD. 2004. First New World documentation of an Old World citrus pest, the lime swallowtail Papilio
demoleus (Lepidoptera: Papilionidae), in the Dominican Republic
(Hispaniola). American Entomologist 50(4): 227-229.
Harberd R. 2005. Manual of tropical butterfly farming. [Internet]. [Diunduh 2014 8 September]. Tersedia pada: http://www.darwininitiative.org.uk/ documents/13005/3192/13005%20FR%20App7%20Manual%20of%20Tr opical%20Butterfly%20Farming.pdf.
Himawati MK, Wijayanti R. 2010. Lepidoptera dan parasitoid yang berasosiasi pada tanaman kenanga (Kananga odorata (Lam.) Hook.F & Thomson).
Caraka Tani XXV(1): 15-20.
Jeffrey N. 2006. Butterfly conservation. [Internet]. [Diunduh pada 2014 5 Juli]. Tersedia pada: http://www.grandyart.com/artists/nick-jeffrey/conservation.
Jusuf M. 2001. Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID) : CV. Sagung Seto.
Lewis DS. 2012. Lime Swallowtail, Chequered Swallowtail, Citrus Swallowtail
Papilio demoleus Linnaeus (Insecta: Lipidoptera: Papilionidae). EENY 444
[Internet]. [Diunduh 2014 5 Juli]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu.
Matsumoto K. 2002. Papilio demoleus (Papilionidae) in Borneo and Bali. J.
McDonald AK, Nijhout HF. 2000. The effect of environmental conditions on mating activity of the Buckeye butterfly, Precis coenia. Journal of
Research on the Lepidoptera 35:22-28.
Nurjannah ST. 2010. Biologi Troides helena helena dan Troides helena
hephaestus (Papilionidae) di penangkaran [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Putra RE, Dahelmi, Widiana. 2012. Lama stadia pradewasa kupu-kupu Papilio
demoleus (Lepidoptera:Papilionidae) pada tanaman Citrus hystrix
(Rutaceae). [Internet]. [Diunduh 2014 5 Juli]. Tersedia pada: http://www.jurnal.stkip-pgri-sumbar.ac.id.
Rahayuningsih M, Oqtafiani R, Priyono B. 2012. Keanekaragaman jenis kuku-kupu superfamili Papilionoidae di Dukuh Banyuwindu Desa Limbangan kecamatan Limbangan kabupaten Kendal. Jurnal MIPA 35(1): 11-20.
Rouly H. 2001. Studi siklus hidup dan teknik pemeliharan kupu-kupu pada pohon jeruk (Cytrus sp.) dalam kandang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Romoser WS. 1973. The Science of Entomology. New York (US): Macmillan Publishing Co.,Inc. p 449.
Saputro NA. 2007. Keanekaragaman jenis kupu-kupu di kampus IPB Darmaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saxena KN, Goyal S. 1978. Host-plant relations of the citrus butterfly Papilio
demoleus L.: orientational and ovipotational responses. Entomologia
Experimentalis et Applicata 24 (1): 1–10.
Smith AG. 1978. Environmental factors influencing pupal colour determination in Lepidoptera. I. experiments with Papilio polytes, Papilio demoleus and
Papilio polyxenes. Proc. R. Soc. Lond. 200(1140): 295-329
Subahar TS, Anzilni FA, Devi NC. 2007. Butterfly (Lepidoptera: Rhopalocera) distribution along an altitudinal gradient on Mount Tangkuban Parahu West Java, Indonesia. Raffles Bull Zool 55(1): 175-178.
Syaputra M. 2011. Pengelolaan penangkaran kupu-kupu di Pt. Ikas Amboina dan
Bali Butterfly Park Tabanan Bali [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Tresnawati E. 2010. Siklus hidup dan pertumbuhan kupu-kupu Graphium
Agamemnon L. dan Graphium doson C&R. (Papilionidae : Lepidoptera)
dengan pakan daun cempaka dan daun sirsak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study
21
Lampiran 1 Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 1)
No.
Fase (hari) Jenis
Kelamin Total keterangan
Telur
Larva Prepupa Pupa Imago
Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5
1 P. demoleus 1 2 1 2 2 3 5 1 11 3 Betina kondisi imago baik
2 P. demoleus 2 3 2 2 2 2 6 1 10 1 Jantan diserang predator
3 P. demoleus 3 3 2 2 2 3 6 1 11 2 Betina diserang predator
4 P. demoleus 4 3 2 2 2 3 7 1 12 8 Jantan kondisi imago baik
5 P. demoleus 5 3 2 2 2 3 7 1 11 4 Betina kondisi imago baik
6 P. demoleus 6 3 2 2 2 4 8 1 11 7 Betina kondisi imago baik
7 P. demoleus 7 3 2 2 2 4 8 1 11 3 Betina kondisi imago baik
8 P. demoleus 8 2 2 2 2 2 6 1 11 1 Betina diserang predator
9 P. demoleus 9 2 2 2 2 3 6 1 11 5 Jantan kondisi imago baik
10 P. demoleus 10 2 2 2 2 3 6 1 11 6 Jantan kondisi imago baik
11 P. demoleus 11 2 2 2 2 4 8 1 11 5 Jantan kondisi imago baik
12 P. demoleus 12 3 2 3 2 3 7 1 11 2 Jantan cacat
13 P. demoleus 13 3 2 2 2 2 6 1 11 5 Jantan kondisi imago baik
14 P. demoleus 14 3 2 2 2 3 7 1 10 2 Jantan diserang predator
15 P. demoleus 15 3 3 2 2 3 5 1 11 2 Jantan diserang predator
16 P. demoleus 16 2 2 2 2 4 7 1 11 7 Betina kondisi imago baik
17 P. demoleus 17 3 2 2 2 3 7 1 11 4 Jantan kondisi imago baik
18 P. demoleus 18 3 2 2 2 3 7 1 11 6 Betina kondisi imago baik
19 P. demoleus 19 3 2 2 2 3 6 1 11 3 Betina kondisi imago baik
21 P. demoleus 21 3 2 2 2 3 6 1 11 3 Betina Kondisi lemah
22 P. demoleus 22 2 2 3 2 2 6 1 11 4 Jantan cacat
23 P. demoleus 23 3 2 3 2 2 7 1 11 3 Betina kondisi imago baik
24 P. demoleus 24 3 2 3 2 2 7 1 12 2 Jantan kondisi lemah
25 P. demoleus 25 3 2 3 2 4 6 1 11 3 Jantan cacat
26 P. demoleus 26 3 2 2 2 4 7 1 11 2 Betina diserang predator
27 P. demoleus 27 3 2 2 2 3 6 1 11 3 Betina diserang predator
28 P. demoleus 28 3 2 2 2 3 8 1 11 2 Betina cacat
Rata-rata 2.71 2 2.18 2 3 6.5 1 11 3.71 34.11 Simpangan Baku 0.46 0.27 0.39 0 0.67 0.96 0 0.38 1.92 2.70
Waktu minimum 2 1 2 2 2 4 1 10 1 29
Waktu maksimum 3 3 3 2 4 8 1 12 8 40
Lampiran 2 Rincian siklus hidup Papilio demoleus (Filial 2)
No.
Fase (hari)
Jenis
Kelamin Total keterangan Telur Larva Prepupa Pupa Imago
Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5
1 P. demoleus 1 3 4 2 2 3 7 1 10 2 jantan cacat
2 P. demoleus 2 3 4 2 3 4 6 1 11 2 jantan cacat
3 P. demoleus 3 3 4 2 3 4 7 1 11 3 jantan cacat
4 P. demoleus 4 3 4 2 5 5 6 1 11 5 betina normal
5 P. demoleus 5 3 4 3 3 4 5 1 11 3 betina cacat
6 P. demoleus 6 3 5 7 2 2 6 1 11 2 jantan cacat
7 P. demoleus 7 4 4 9 2 3 7 1 11 2 betina Normal*
23
9 P. demoleus 9 2 3 4 2 9 5 1 11 3 betina Normal*
10 P. demoleus 10 3 3 3 7 5 4 1 11 4 jantan Normal*
11 P. demoleus 11 4 2 2 5 2 6 1 11 2 jantan cacat
12 P. demoleus 12 4 2 2 5 2 6 1 11 2 jantan cacat
13 P. demoleus 13 3 2 2 2 7 8 1 11 5 betina Normal*
14 P. demoleus 14 3 2 2 2 7 8 1 12 3 betina Normal*
15 P. demoleus 15 3 2 2 2 7 9 1 11 3 betina cacat
16 P. demoleus 16 3 2 2 3 6 12 1 11 3 jantan Normal*
17 P. demoleus 17 3 4 6 3 2 6 1 11 3 betina cacat
18 P. demoleus 18 2 2 3 4 2 6 1 11 2 jantan cacat
19 P. demoleus 19 2 2 3 4 2 6 1 11 2 jantan cacat
20 P. demoleus 20 3 2 3 4 2 7 1 11 4 jantan normal
21 P. demoleus 21 3 2 3 4 2 8 1 11 3 betina normal
22 P. demoleus 22 3 2 3 4 5 8 1 11 5 jantan Normal*
23 P. demoleus 23 3 3 4 2 7 7 1 11 3 jantan cacat
24 P. demoleus 24 3 3 4 3 5 9 1 11 6 betina Normal*
25 P. demoleus 25 2 2 4 3 5 9 1 11 2 jantan Normal*
26 P. demoleus 26 4 3 3 3 5 10 1 11 3 betina Normal*
27 P. demoleus 27 3 2 3 3 7 8 1 10 2 betina cacat
28 P. demoleus 28 3 2 3 3 5 9 1 11 1 jantan cacat
Rata- rata 3.04 2.86 3.46 3.21 4.32 7.21 1.00 10.96 3.00 39.07 Simpangan baku 0.58 0.97 1.97 1.23 2.07 1.71 0.00 0.33 1.19 3.30
Waktu minimum 2 2 2 2 2 4 1 10 1 33
Waktu maksimum 4 5 9 7 9 12 1 12 6 45
Lampiran 3 Uji T rata-rata siklus hidup F1 dan F2 dengan (P<0.05) dan (P<0.01)
t-test Telur Larva Prepupa Pupa Imago Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5
P<0.05
Hypothesized Mean Difference 0 0 0 0 0 0 0 0 0
df 27 27 27 27 27 27 27 27 27
t Stat -2.2021 -4.2039 -3.375 -5.2325 -3.0479 -1.9285 #DIV/0! 0.32798 1.85814 P(T<=t) one-tail 0.01819 0.00013 0.00112 8.2E-06 0.00255 0.03219 #DIV/0! 0.37273 0.03704 t Critical one-tail 1.70329 1.70329 1.70329 1.70329 1.70329 1.70329 #DIV/0! 1.70329 1.70329 P(T<=t) two-tail 0.03638 0.00026 0.00225 1.6E-05 0.00511 0.06437 #DIV/0! 0.74546 0.07409 t Critical two-tail 2.05183 2.05183 2.05183 2.05183 2.05183 2.05183 #DIV/0! 2.05183 2.05183
P<0.01
Hypothesized Mean Difference 0 0 0 0 0 0 0 0 0
df 27 27 27 27 27 27 27 27 27
25
Lampiran 4 Faktor abiotik di laboratorium PPSHB akhir bulan Januari – awal Mei 2014
Tanggal pagi siang sore ket
t Rh Int. Cahaya t Rh Int. Cahaya t Rh Int. Cahaya
27
28 April 27 89 237 28 85 244 28 85 210 C 30 April 29 85 145 29 85 293 28 85 150 C 2 Mei 30 84 294 30 82 305 28 86 231 C 4 Mei 28 85 256 30 80 260 28 85 240 C 6 Mei 30 80 298 31 77 330 29 85 221 C 7 Mei 28 85 275 30 85 377 28 88 178 CB 8 Mei 28 85 240 31 84 387 29 84 134 C 10 Mei 29 85 238 30 85 296 28 86 132 C rata-rata 27.66 85.00 246.77 29.67 82.21 305.79 26.95 86.54 197.07
SD 1.05 3.08 39.36 1.37 3.38 58.41 1.53 2.85 45.55 min 26 80 109 25 76 189 23 81 98 max 30 90 323 32 91 410 30 96 289 Keterangan : H= Hujan, CB= Cerah berawan, C= Cerah, M= Mendung
t = suhu (°C), Rh = kelembaban (%), int. cahaya = intensitas cahaya (lux)
Lampiran 5 Faktor abiotik di kubah awal bulan Februari – awal Mei 2014
Tanggal pagi siang sore ket
29
24 April 28.5 85 2400 30 80 5650 28 86 1720 CB 26 April 29 89 12330 33 79 18760 30 79 9780 CB 28 April 28.5 90 2360 28 80 3970 30 80 1210 C 30 April 33 78 12380 31 74 19930 30 83 2150 C 2 Mei 30 80 7580 32 75 15230 28 80 3230 C 4 Mei 29 86 2160 32 76 7600 30 85 2400 C 6 Mei 33 79 6290 35 65 19820 31 85 3230 C 7 Mei 28 85 3780 32 80 19890 28 83 1870 CB 8 Mei 29 82 2920 31 80 19370 32 80 1530 C 10 Mei 30 81 3970 30 82 10250 29 82 2310 C rata-rata 29.36 83.14 7187.21 31.09 77.58 14447.44 27.91 83.74 3745.35
SD 1.73 4.13 4129.24 2.58 7.22 5777.07 2.49 4.63 2649.15 min 24 75 2160 25 64 2030 23 75 1020
max 33 92 15690 35 96 19990 33 96 10900 Keterangan : H= Hujan, CB= Cerah berawan, C=Cerah, M=Mendung
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 22 Februari 1992 dari Ayah Broto Sumarsono (alm) dan Ibu Anik Sri Suryani. Penulis adalah Putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Depok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Uji Talenta Mandiri (UTM) IPB dan diterima di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Biologi Dasar Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tahun ajaran 2013/2014 semester ganjil dan genap, asisten praktikum Fisiologi tumbuhan tahun ajaran 2013/2014. Penulis pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gentra Kaheman IPB.